Pendekar Lembah Naga Jilid 62

"Sudahlah, jangan kau menangis saja. Hatiku menjadi makin bingung dan kacau kalau engkau menangis."

Mereka duduk di dalam sebuah kuil tua. Sun Eng menangis sambil menyandarkan kepala di dada Lie Seng yang merangkulnya dan mengelus rambutnya yang hitam dan halus itu.

Akan tetapi Sun Eng menangis makin sedih. "Betapa tidak akan hancur dan terharu rasa hatiku, koko..." Dia masih terisak-isak. "Melihat ada seorang pria di dunia yang kotor ini, pria seperti engkau yang begini mencintaku... dan aku... aku seorang hina yang ternyata sekarang malah membuat hidupmu menderita, menjauhkan engkau dari keluargamu, dari ibu kandungmu... aku merasa berdosa kepadamu, koko..."

"Sudahlah, Eng-moi, berapa kali engkau mengemukakan hal itu? Aku sudah bilang, aku tidak peduli semua itu! Yang terpenting dalam hidupku hanya engkau seorang, Eng-moi! Biar keluargaku sendiri, biar ibu kandungku sendiri, kalau pendapatnya tidak tepat, ingin menghina dan memburukkanmu, biarlah aku menjauhkan diri dari mereka."

Sun Eng merangkul dan mereka berangkulan. Lie Seng menciumi wajah kekasihnya itu, matanya yang basah air mata, bibirnya yang menyambutnya dengan penuh kemesraan dan terbuka sehingga sejenak mereka tenggelam ke dalam perasaan cinta asmara yang menggelora. Tak pernah kedua orang ini merasa bosan untuk bermesraan, di mana saja dan kapan saja. Cinta mereka makin berakar mendalam.

"Hanya maut yang akan dapat memisahkan kita, Eng-moi!"

Sun Eng memegang tangan Lie Seng, lalu menciumi jari-jari tangan itu dengan hati penuh perasaan terharu dan bersyukur. "Lie-koko, engkau dari keluarga besar, engkau cucu dari pendekar sakti, ketua Cin-ling-pai, dan seluruh keluargamu terdiri dari pendekar-pendekar kenamaan, dan engkau... engkau sudah mengangkat aku dari jurang kehinaan ke tempat yang amat tinggi, terlampau tinggi untukku..."

"Sudahlah, Eng-moi, jangan merendahkan diri sendiri."

"Tidak, koko, akan tetapi aku selalu merasa rendah diri bila aku tidak melakukan sesuatu untukmu, untuk keluargamu, bukan untuk mengangkat diriku, melainkan setidaknya untuk mengimbangi selisih yang begini jauh antara engkau dan aku..."

Lie Seng mengecup bibir itu lantas bertanya dengan suara main-main, "Habis, apa yang akan kau lakukan, sayang?"

"Entahlah, koko, entahlah. Akan tetapi aku harus melakukan sesuatu demi engkau, demi keluargamu. Harus!" Wanita yang masih basah kedua matanya itu mengepal tinju, akan tetapi dia segera tenggelam lagi ke dalam pelukan dan cumbu rayu Lie Seng.

Lama setelah gelora asmara yang bergelombang menenggelamkan mereka agak mereda, mereka sudah duduk kembali, Lie Seng menyandarkan tubuhnya pada dinding kuil tua itu, sedangkan Sun Eng bersandar kepadanya dengan kedua mata dipejamkan.

"Lie-koko, setelah aku mengakibatkan engkau terpisah dari keluargamu, lalu ke mana kita sekarang hendak pergi?" terdengar Sun Eng bertanya halus.

"Kita akan ke Yen-tai!"

"Yen-tai di timur itu, di pantai?"

"Benar, Eng-moi, kita ke sana."

"Mau apa ke sana, koko? Ke rumah siapa?"

"Aku mempunyai seorang suci (kakak seperguruan) di sana, Eng-moi. Dia sudah menikah dan kini tinggal bersama suaminya di sana. Suaminya seorang pengusaha besar, maka biarlah kita ke sana, aku akan minta bantuan suci supaya bisa mendapatkan pekerjaan di sana."

Sun Eng girang sekali dan dia banyak bertanya tentang suci dari kekasihnya itu. Lie Seng lalu menceritakan siapa suci-nya itu. "Dia adalah puteri dari paman Yap Kun Liong, dia lihal sekali, dan suaminya juga seorang pendekar muda, peranakan Portugis akan tetapi baik hati dan gagah perkasa karena ibunya dahulu adalah seorang pendekar wanita yang kenamaan."

Sesudah banyak bercerita mengenai Souw Kwi Beng dan Yap Mei Lan, Lie Seng lalu mengajak kekasihnya melanjutkan perjalanan menuju ke Yen-tai. Semakin kagum sajalah hati Sun Eng mendengar penuturan itu. Kiranya, semua keluarga kekasihnya terdiri dari orang-orang hebat belaka, pendekar-pendekar kenamaan.

Mengingat akan semua ini, makin menyesal hatinya, mengapa dia sebagai murid suami isteri pendekar Cia Bun Houw dan Yap In Hong sampai menyeleweng! Andai kata tidak tentu dia pun akan termasuk ‘keluarga besar’ dari para pendekar itu, sebagai cucu murid ketua atau pendiri Cin-ling-pai! Dia semakin merasa bahwa dengan masuknya ke dalam lingkungan keluarga perkasa itu sebagai kekasih Lie Seng, dia merupakan satu-satunya kambing hitam buruk di antara domba-domba berbulu tebal putih yang bersih dan indah! Namun sikap yang amat mencinta dari Lie Seng, terutama sekali perasaan hatinya sendiri terhadap pemuda ini, membuat dia berani melanjutkan perjalanan bersama kekasihnya, biar pun hatinya merasa tidak enak dan merasa rendah diri.

Tentu saja Yap Mei Lan menyambut kedatangan sute-nya itu dengan hati girang sekali. Demikian pula Souw Kwi Beng menyambut Lie Seng dengan gembira. Lie Seng dan Sun Eng dipersilakan masuk kemudian suami isteri muda yang kaya raya itu menjamu mereka dengan hidangan lezat dalam suasana meriah, karena Yap Mei Lan gembira sekali akan kedatangan sute-nya. Bagaimana pun juga, Lie Seng bukan hanya sute-nya, akan tetapi lebih dari itu malah adik, yaitu termasuk adik tirinya. Bukankah ibu kandung sute-nya itu, kini menjadi isteri dari ayah kandungnya sendiri?

"Bagaimana kabarnya dengan ayahku, sute? Dan juga bagaimana dengan ibumu? Juga bibi In Hong dan paman Bun Houw?" pada saat mereka makan minum sambil bercakap-cakap, Mei Lan tak dapat menahan diri lagi lalu menanyakan keadaan empat orang yang menjadi buruan pemerintah itu, dengan alis berkerut dan wajah khawatir.

Berdebar rasa jantung Lie Seng dan Sun Eng. Memang sejak tadi Lie Seng sudah hendak menceritakan mengenai keadaannya dan mengenai perselisihannya dengan keluarganya tentang diri Sun Eng. Tadi hanya secara sepintas lalu ketika dia dan Sun Eng datang, dia memperkenalkan kekasihnya itu sebagai seorang sahabat sehingga suami isteri muda itu hanya tahu bahwa gadis ini bernama Sun Eng dan hanya menduga, melihat sikap serta gerak-gerik dua orang muda itu, bahwa agaknya ada apa-apa di dalam persahabatan itu. Kini Mei Lan menanyakan tentang ibunya!

"Mereka... mereka semua baik-baik saja, suci. Kini mereka tinggal dalam keadaan aman di Yen-ping..."

"Ehhh...?" Yap Mei Lan kelihatan heran kemudian saling pandang dengan suaminya yang tampan dan yang semenjak tadi hanya mendengarkan saja. Souw Kwi Beng mengerutkan alisnya memandang Lie Seng dengan penuh selidik, lalu dia pun ikut bicara.

"Seng-te, sejak kapankah engkau berjumpa dengan ayah mertuaku?"

"Kurang lebih tiga bulan kami berdua baru meninggalkan Yen-ping dan mereka berempat masih berada di sana dengan aman... ehhh, ada apakah?" Lie Seng bertanya, hatinya terasa tidak enak.

"Ah, kalau begitu engkau belum tahu, sute," kata Mei Lan. "Mereka sekarang telah pindah lagi, sesudah mereka diserbu musuh di Yen-ping. Baru saja kami menerima berita dari ayah tentang hal itu." Mei Lan lalu menceritakan berita yang didengarnya dari Yap Kun Liong.

Ternyata keluarga pendekar yang telah meninggalkan Yen-ping lalu diam-diam melarikan diri dan bersembunyi di kota Bun-cou di Propinsi Ce-kiang itu diam-diam mengirim berita kepada Yap Mei Lan dan suaminya.

"Mereka diserbu musuh? Ahh, lalu... mereka kini berada di mana?"

"Di Bun-cou, di Propinsi Ce-kiang."

Mei Lan lalu menceritakan lagi dengan jelas dan Lie Seng mendengarkan dengan tangan dikepal.

"Kalau aku tahu, tentu aku tidak akan pergi dan akan membantu mereka menghadapi musuh!" katanya.

Diam-diam Sun Eng merasa gelisah sekali sekaligus juga menyesal, karena kekasihnya itu terpaksa meninggalkan keluarganya demi dia!

"Sudahlah, sute. Mereka kini sudah selamat dan karena berada di tempat yang semakin jauh dari kota raja, agaknya di selatan itu mereka dapat hidup aman. Aku sudah mengirim perbekalan dan uang kepada mereka, melalui orang kepercayaan suamiku yang sedang mengadakan pelayaran ke selatan. Lalu, engkau sendiri bersama adik Sun Eng ini, ada keperluan apakah kalian datang ke sini? Ataukah hanya untuk menengok suci-mu ini?"

Lie Seng menarik napas panjang. Sekarang saat yang digelisahkan sudah tiba, dia harus menceritakan semuanya kalau dia menghendaki tinggal bersama kekasihnya di Yen-tai ini.

"Sebetulnya amat sulit bagiku menceritakan semua ini, suci. Akan tetapi karena agaknya aku telah terpencil dan hanya engkaulah satu-satunya orang yang dapat kuharapkan akan mau mengerti keadaanku, maka aku sengaja datang mengunjungimu, suci, harap engkau berdua suamimu suka berbelas kasihan kepadaku."

Tentu saja Mei Lan terkejut bukan main mendengar kata-kata sute-nya yang dikeluarkan dengan nada berduka itu. "Sute, apakah yang sudah terjadi? Tentu saja aku akan suka membantu sedapat mungkin!"

Tentu saja agak berat bagi Lie Seng untuk menceritakan urusannya dengan Sun Eng dan melihat keraguannya itu, Souw Kwi Beng yang tahu diri lalu berkata, "Lie-te, kalau engkau merasa sungkan dan ragu untuk bercerita di hadapanku, biarlah aku mengundurkan diri dulu..."

"Ah, tidak... tidak sama sekali, suci-hu (kakak ipar)," Kemudian dia menoleh kepada Sun Eng lalu berkata, "Eng-moi, sebaiknya engkaulah yang bercerita kepada suci Yap Mei Lan, dan aku yang bercerita kepada suci-hu Souw Kwi Beng."

Sun Eng balas memandang kemudian dia mengangguk. Melihat ini, Mei Lan lalu bangkit dari duduknya, memegang tangan Sun Eng sambil berkata, "Marilah, adik Sun Eng, kita bicara di dalam."

Dua orang wanita itu lalu meninggalkan ruangan itu dan masuk ke dalam kamar Mei Lan. Sesudah mereka pergi, Lie Seng merasa lebih leluasa dan berceritalah dia kepada Souw Kwi Beng tentang hubungannya dengan Sun Eng, bahwa ibu kandungnya dan pamannya telah menyatakan tidak setuju dengan perjodohan mereka.

"Mereka itu tidak setuju karena Eng-moi tadinya adalah murid dari paman Cia Bun Houw dan menurut paman, Eng-moi pernah menyeleweng, pernah tergoda oleh kaum pria. Ibu tak setuju aku menikah dengan seorang gadis yang bukan perawan lagi. Itulah persoalan kami, cihu, sehingga terpaksa aku bersama Eng-moi pergi meninggalkan mereka. Karena tidak tahu harus pergi ke mana lagi, maka aku mengajaknya ke sini dengan harapan cihu suka menolongku dan memberi pekerjaan agar aku bersama Eng-moi dapat hidup di kota ini dan kalau mungkin, kuharap suci dan cihu dapat meresmikan pernikahan kami."

Souw Kwi Beng mengangguk-angguk dan kedua alisnya yang tebal berkerut. Dia sendiri merasa kecewa mendengar bahwa kekasih Lie Seng adalah seorang wanita yang pernah tergoda oleh kaum pria! Dia masih belum dapat membayangkan sampai berapa jauhnya kata ‘menggoda’ itu, akan tetapi kalau sampai gadis itu tidak perawan lagi, tentu godaan dan penyelewengan itu sudah terlalu mendalam. Namun, cinta kasih memang aneh dan dia sendiri tidak berani mencampuri.

"Tentu saja aku sanggup menolongmu dengan pekerjaan yang kau perlukan, dan supaya engkau dapat tinggal di kota ini pun bukan hal yang sukar dan dapat kuatur sebaiknya. Hanya mengenai peresmian pernikahanmu, hemm... agaknya hal itu amat sukar. Kurasa suci-mu juga akan sependapat denganku bahwa kami tentu saja takkan berani bertindak selancang itu, melampaui ibu kandungmu serta ayah kandung isteriku untuk meresmikan pernikahanmu, seakan-akan mereka orang-orang tua itu kini sudah tidak ada saja. Tidak, Seng-te, kurasa hal ini tidak mungkin."

Lie Seng menarik napas panjang. "Andai kata tak mungkin pun tak mengapa. Kami telah mengambil keputusan untuk hidup bersama, dinikahkan secara resmi atau pun tidak, bagi kami sama saja!" Ucapan ini mengandung kepedihan hati akan tetapi juga mengandung keputusan nekat.

Sementara itu, di dalam sebuah kamar, Sun Eng juga bercerita kepada Mei Lan. Akan tetapi berbeda dengan cerita Lie Seng, wanita ini menceritakan segalanya tanpa ditutup-tutupi lagi.

Dia menceritakan penyelewengannya pada saat dia masih menjadi murid Cia Bun Houw, betapa melihat kedua orang gurunya itu dalam keadaan pengasingan diri tidak melakukan hubungan suami isteri, membuat dia merasa kasihan terhadap Bun Houw dan dia sudah mencoba untuk merayu gurunya sendiri. Kemudian betapa dia terpikat oleh godaan kaum pria sehingga dalam kepatahan hatinya akibat dibenci oleh kedua gurunya, dia melakukan penyelewengan-penyelewengan dan akhirnya tidak diakui lagi sebagai murid suami isteri pendekar itu.

Kemudian, diceritakan pula tentang penyesalannya, mengenai usahanya menolong kedua gurunya itu sehingga dia pun bertemu dengan Lie Seng. Betapa dia sudah menceritakan semua pengalamannya itu kepada Lie Seng, kemudian mereka masing-masing berpisah selama satu tahun untuk menjajagi hati masing-masing dan akhirnya bertemu lagi tetapi cinta mereka bahkan semakin mendalam.

"Demikianlah, enci. Akutahu akan keadaan diriku. Aku mengenal sepenuhnya siapa diriku, seorang murid murtad, seorang gadis tak tahu malu yang hina dan rendah. Aku pun tahu benar bahwa aku tidak pantas menjadi isteri Lie-koko, dan aku sudah menyatakan hal ini terus terang kepadanya. Akan tetapi, dia begitu mencintaku, enci, dan aku... kalau engkau masih percaya kepada hati yang sudah rusak ini, saat aku melihat betapa murni cintanya kepadaku, aku rela mati untuknya, enci. Ketika dia bentrok dengan keluarganya, dengan ibu kandungnya sendiri, mau rasanya aku membunuh diri. Akan tetapi aku tahu, cara itu bahkan akan membuat Lie-koko menjadi makin berduka saja, maka aku menuruti segala kehendaknya dan begitulah, kami berdua tiba di sini. Agaknya, sekarang nasib Lie-koko terletak dalam tangan enci..." Dan menangislah Sun Eng.

Sejenak Yap Mei Lan termenung, membiarkan gadis itu menangis. Dalam hatinya terjadi perang. Tentu saja dia tidak dapat menyalahkan ibu tirinya, atau ibu kandung Lie Seng yang kini menjadi isteri ayah kandungnya, juga tidak menyalahkan suami Isteri Cia Bun Houw. Siapa orangnya yang merasa senang melihat puteranya berjodoh dengan seorang gadis yang begitu rusak batinnya, yang telah menjadi permainan kaum pria, bahkan yang begitu tak tahu malu untuk menggoda dan mengajak main gila kepada suhu-nya sendiri?

Akan tetapi, mereka sudah saling mencinta di antara mereka berdua, dan terutama sekali dia tidak meragukan cinta wanita ini kepada sute-nya. Baginya, cinta kasih asmara adalah urusan dalam dari dua orang yang bersangkutan dan orang lain sama sekali tidak boleh menilainya, tidak boleh mencampurinya.

Tentu saja apa bila menurut suara hatinya sendiri, dia pun akan merasa kecewa melihat sute-nya berjodoh dengan seorang gadis yang sudah pernah menyeleweng seperti Sun Eng ini. Akan tetapi dia maklum bahwa campur tangan perasaannya ini tidaklah benar, setidaknya, tidak akan membahagiakan hati sute-nya. Maka dia menarik napas panjang.

"Sudahlah, adik Eng. Yang terpenting bagi kalian adalah isi hati kalian masing-masing. Tentu saja kami akan suka menolong kalian, terutama kekasihmu adalah sute-ku yang tersayang. Mari kita temui mereka dan kita bicarakan lebih lanjut." Mereka lalu keluar dan kembali ke ruangan tadi.

Melihat kekasihnya masuk bersama suci-nya dengan kedua mata agak membengkak dan merah oleh tangis, maka mengertilah Lie Seng bahwa Sun Eng tentu telah menceritakan segala-galanya, termasuk penyelewengannya. Oleh karena itu dia cepat menyambut dan menggandeng tangan kekasihnya, meremas jari-jari tangan Sun Eng dan dari sentuhan ini seakan-akan dia sudah menghibur dan membesarkan hati kekasihnya itu. Kemudian mereka duduk mengelilingi meja seperti tadi.

Memang tepatlah pendapat Souw Kwi Beng yang dikatakan kepada Lie Seng tadi. Yap Mei Lan dengan rela dan senang hati mau menolong sute-nya dan dia setuju sepenuhnya apa bila suaminya memberi pekerjaan yang layak kepada sute-nya. Akan tetapi dia tidak berani kalau harus meresmikan pernikahan kedua orang muda itu.

"Hal itu tak mungkin bisa kami lakukan, sute. Harap sute memakluminya, ibu kandungmu masih ada, pamanmu masih ada, mana mungkin aku bersama suamiku berani bertindak demikian lancangnya untuk menjadi walimu dan meresmikan pernikahanmu? Hal itu tentu saja menjadi lain bila andai kata ibu kandungmu itu memberi kekuasaan dan persetujuan kepada kami. Harus engkau ingat bahwa ibu kandungmu berarti juga ibu tiriku, maka aku sama sekali tidak berani. Ayah tentu akan marah sekali kepadaku apa bila aku sampai berani selancang itu. Maka, kau maafkanlah kami berdua, sute." 

Lie Seng dapat menerima alasan-alasan mereka itu dan demikianlah, mulai hari itu juga, Lie Seng diberi pekerjaan oleh Souw Kwi Beng. Karena perdagangan Kwi Beng meliputi perdagangan barang-barang hasil bumi yang diangkut dengan perahu-perahu, dan setiap hari banyak sekali perahu-perahu hilir mudik di pelabuhan Yen-tai, maka Lie Seng diberi tugas untuk mengawasi kelancaran pemuatan hasil bumi ke perahu-perahu itu, menjaga jangan sampai ada kecurangan. Selain pekerjaan, suami isteri yang kaya ini menyediakan pula sebuah rumah lengkap dengan segala perabotnya untuk Lie Seng dan Sun Eng.

Penyambutan yang amat baik ini makin mengharukan hati Sun Eng. Dia merasa semakin terpukul melihat kebaikan Mei Lan, suci dari kekasihnya. Semakin dia kagum kepada Lie Seng dan keluarganya, semakin dia merasa dirinya kecil dan tidak berharga, rendah dan tidak patut menjadi teman hidup seorang pendekar seperti Lie Seng! Oleh karena itu, biar pun pada lahirnya dia kelihatan berbahagia dan hidup sebagai suami isteri yang belum sah bersama Lie Seng, penuh dengan kemesraan dan cinta kasih, akan tetapi di dalam batinnya wanita muda ini selalu penuh dengan penyesalan terhadap diri sendiri!

Sudah menjadi kebiasaan kita pada umumnya, untuk selalu menilai perbuatan-perbuatan kita yang telah lalu, menimbulkan penyesalan, rasa takut, dan sebagainya. Bahkan telah kita terima sebagai sesuatu yang benar dan mutlak penting bahwa penyesalan terhadap perbuatan yang lampau dapat menyadarkan kita dan membuat kita tidak lagi melakukan perbuatan yang kita anggap keliru dan yang mendatangkan penyesalan itu. Akan tetapi, benarkah hal ini? Benarkah bahwa penyesalan dapat membersihkan kita dari perbuatan sesat di masa mendatang?

Penyesalan selalu datang kalau perbuatan itu SUDAH dilakukan. Dan biasanya, seperti yang dapat kita lihat setiap hari di sekeliling kita, di dalam kehidupan masyarakat, dalam kehidupan kita sendiri, penyesalan pun makin lama akan semakin menipis dan kemudian hilang. Sementara itu, perbuatan kita masih saja penuh dengan kesesatan! Lalu, setelah menilai dan mengingat, timbul penyesalan kembali.

Perbuatan sesat dan penyesalan hanya susul-menyusul belaka, seperti dalam lingkaran setan yang tak ada putus-putusnya, seperti kalau kita makan makanan yang pedas, yang terasa enak segar di mulut akan tetapi sebenarnya tidak baik bagi perut. Ketika makan sangatlah enaknya sehingga kita yang terlalu mementingkan keenakan itu tidak lagi ingat kepada perut kita sendiri. Baru sesudah perut kita sakit melilit-lilit, kita merasa menyesal dan sadar bahwa terlalu banyak makanan pedas itu tidak baik untuk perut. Akan tetapi, penyesalan ini dalam sedikit waktu sudah terlupa lagi apa bila kita menghadapi makanan pedas yang segar enak bagi mulut itu! Kenyataannya demikianlah!

Pengejaran kesenangan membuat kita buta dan baru sesudah kesenangan itu terdapat lalu timbullah hal-hal yang tidak menyenangkan, seperti segala macam kesenangan yang memiliki muka ganda sehingga senang dan susah tidak terpisahkan, akhirnya timbul penyesalan! Jadi penyesalan itu pada hakekatnya timbul karena akibat dari kesenangan itu mendatangkan kesusahan kepada kita! Jadi bukanlah si perbuatan sesat itu sendiri yang kita sesalkan, melainkan si akibat yang buruk dari perbuatan yang mendatangkan kesenangan itu!

Semua ini akan nampak jelas sekali jika kita waspada terhadap segala gerak-gerik lahir batin kita sendiri, bila kita waspada terhadap segala sesuatu yang bergerak dalam pikiran kita. Kewaspadaan adalah kesadaran dan kesadaran adalah pengertian, dan pengertian ini akan melahirkan perbuatan yang spontan, perbuatan yang tidak lagi dikendalikan oleh pertimbangan dan penilaian pikiran.

Karena perbuatan yang dikendalikan oleh pikiran, oleh si aku, sudah pasti perbuatan itu berdasarkan untung rugi bagi si aku, dan perbuatan seperti ini sudah pasti menimbulkan konflik yang kemudian berakhir dengan kedukaan, termasuk penyesalan yang tidak ada gunanya itu. Kewaspadaan setiap saat terhadap diri sendirilah yang akan melenyapkan perbuatan-perbuatan sesat yang hanya terjadi dan hanya dilakukan dalam keadaan TAK SADAR. Bukan penyesalan yang melenyapkan kesesatan-kesesatan itu!

Yang amat penting untuk kita sadari adalah bahwa kewaspadaan setiap saat terhadap diri sendiri lahir batin ini haruslah tidak dikendalikan oleh si aku! Jadi yang ada hanyalah pengamatan saja, kewaspadaan saja, kesadaran akan diri sendiri tanpa ada aku yang mengamati, tanpa ada aku yang waspada dan sadar! Karena apa bila ada si aku yang mengatur serta mengendalikan semua kewaspadaan di dalam pengamatan itu, maka itu hanya permainan pikiran atau si aku yang tentu mengandung pamrih dalam pengamatan itu, pamrih untuk sesuatu, untuk mencapai sesuatu, entah yang sesuatu itu dinamakan kesenangan, kedamaian, kesucian dan sebagainya. Semua tindakan dari pikiran atau si aku yang selalu mengejar kesenangan pastilah menimbulkan konflik dan kesengsaraan.

Yap Mei Lan berdua suaminya, Souw Kwi Beng, sedang duduk di ruangan depan rumah mereka. Setelah Lie Seng bekerja di tempat pemuatan barang-barang hasil bumi, yaitu di pelabuhan, semakin banyaklah waktu bagi Kwi Beng untuk menemani isterinya di rumah. Sudah dua bulan lebih Lie Seng bekerja di situ dan suami isteri ini merasa senang dapat menolong Lie Seng yang tampak hidup cukup bahagia dengan Sun Eng, ada pun bantuan Lie Seng itu ternyata juga membuat pekerjaan Kwi Beng menjadi ringan.

Semenjak tadi suami isteri ini memandang kepada pemuda yang berdiri di atas jalan raya di depan rumah gedung mereka itu. Pemuda itu tampan dan gagah, bertubuh tinggi tegap, memakai jubah kulit macan dan sebuah topi yang indah dari bulu rubah dan dihiasi bulu burung yang berwarna biru keemasan.

"Waspadalah, sikap orang itu amat mencurigakan," bisik Yap Mei Lan kepada suaminya, namun pendekar wanita ini nampak tenang saja, pura-pura tidak melihat kepada pemuda itu akan tetapi biar pun tidak melihat langsung dari sudut matanya, dia selalu mengawasi gerak-geriknya.

Pemuda itu agaknya merasa bimbang, akan tetapi kemudian dia melangkah memasuki pekarangan yang luas dan ditumbuhi banyak pohon sehingga kelihatan teduh itu, dengan langkah tenang dan lebar menghampiri ruangan depan di mana suami isteri itu sedang duduk.

Melihat betapa pemuda yang dicurigai isterinya itu memasuki pekarangan rumah mereka, Souw Kwi Beng lalu bangkit dari tempat duduknya, melangkah keluar untuk menyambut. Pemuda ini mungkin seorang tamu, pikirnya.

Souw Kwi Beng adalah seorang saudagar yang mempunyai hubungan amat luas, bahkan dengan luar negeri, maka tidak mengherankan andai kata pemuda asing yang pakaiannya aneh dan menyolok itu mengunjunginya. Dia tidak curiga seperti isterinya dan menyambut kedatangan tamu itu dengan senyum lebar di wajahnya yang tampan.

"Selamat datang di tempat kami, saudara. Tidak tahu siapakah saudara ini, datang dari mana dan hendak mencari siapa?" tegur Souw Kwi Beng dengan sikap ramah.

Pemuda jangkung tegap itu sejenak memandang kepada Kwi Beng dengan sinar mata tertarik dan kagum akan ketampanan pria peranakan Portugis ini, kemudian dia menoleh ke arah Mei Lan yang juga sudah bangkit dari kursinya dan menuruni undak-undakan di depan rumahnya.

Ada sesuatu di dalam sinar mata pemuda ganteng itu yang membuat kedua pipi pendekar wanita ini menjadi kemerahan. Kedua mata yang mencorong itu mengandung kegairahan yang kurang ajar, pikirnya. Kalau hanya mata pria yang memandangnya dengan kagum saja, hal ini sudah biasa bagi Mei Lan, namun pandang mata ini aneh sekali, seolah-olah sinar mata itu memiliki kekuasaan untuk menelanjanginya, seolah-olah sinar mata itu bisa menggerayangi tubuhnya dan memandang tembus pakaian yang menutupi tubuhnya!

Pemuda tampan itu tidak menjawab pertanyaan yang diajukan secara sopan dan hormat oleh Souw Kwi Beng, melainkan kini dia memutar tubuh menghadapi Mei Lan, kemudian terdengar dia bertanya dengan suara langsung dan lantang, sedikit pun tak menunjukkan sikap sopan seperti patutnya seorang pria terhadap seorang wanita yang belum pernah dikenalnya.

"Apakah engkau yang bernama Yap Mei Lan?"

Tentu saja suami isteri itu terkejut dan juga merasa tidak senang, terutama sekali Mei Lan yang mukanya menjadi semakin merah, kini bukan merah karena jengah atau malu, akan tetapi merah karena marah.

"Aku adalah nyonya Souw Kwi Beng!"

Akan tetapi nampak pemuda itu telah menggerakkan tangannya dengan kesal. "Aku tidak ada urusan dengan Souw Kwi Beng, melainkan dengan Yap Mei Lan! Engkau orangnya, bukan?"

Mei Lan semakin marah dan dia sudah hendak menerjang dan menghajar pria kurang ajar ini, akan tetapi Kwi Beng sudah berdiri di dekatnya dan menyentuh lengannya, mencegah isterinya terburu nafsu, kemudian dia menghadapi pemuda itu.

"Kami tidak mengerti kenapa saudara yang tidak kami kenal bersikap seperti ini. Memang betul bahwa isteriku bernama Yap Mei Lan. Lalu saudara mau apa dan siapakah engkau?" Karena sikap orang itu, maka Kwi Beng juga menanggalkan penghormatannya.

Pemuda itu tertawa dan wajahnya memang tampan. "Bagus! Yap Mei Lan, engkau puteri dari Yap Kun Liong, bukan? Nah, aku datang untuk menangkapmu! Ayahmu dan bibimu adalah pemberontak-pemberontak buronan, maka engkau harus menjadi tawananku."

Makin kaget kedua orang suami isteri itu. "Siapakah engkau manusia sombong?" Yap Mei Lan bertanya dengan sinar mata tajam penuh selidik.

"Ha-ha, ingin mengenalku? Aku adalah Pangeran Ceng Han Houw dan sebaiknya engkau menyerah saja baik-baik. Engkau akan kutawan terlebih dahulu sebagai sandera dan baru sesudah seluruh keluarga Cin-ling-pai, para pemberontak buronan itu menyerah, engkau akan kubebaskan lagi."

Dapat dibayangkan betapa kagetnya rasa hati Yap Mei Lan dan Souw Kwi Beng. Akan tetapi kekagetan Mei Lan ini disertai rasa marah yang makin hebat. Dia telah mendengar tentang pangeran ini, yang kabarnya adalah adik seperguruan dari Kim Hong Liu-nio yang memusuhi keluarga Cin-ling-pai.

"Siapa sudi menyerah? Pertama, aku tidak bersalah apa pun terhadap pemerintah. Ke dua, aku tidak tahu apakah engkau ini benar seorang pangeran ataukah hanya pengacau saja karena engkau tidak membawa surat perintah atau kuasa atau pasukan. Dan ke tiga, andai kata benar engkau pangeran, aku pun tidak akan sudi menyerah karena aku tahu benar bahwa ayahku dan semua keluarga Cin-ling-pai bukanlah pemberontak!"

"Ha-ha-ha, apakah engkau menghendaki aku menggunakan kekerasan? Aku sebenarnya tidak suka mempergunakan kekerasan terhadap seorang wanita, apa lagi terhadap wanita secantik engkau..."

"Keparat sombong, tutup mulutmu yang kotor!" Yap Mei Lan sudah membentak dan dia pun telah menerjang dengan pukulan tangan kiri dari kepalan tangannya yang kecil tetapi yang mendatangkan angin pukulan dahsyat itu.

"Bagus! Aku girang sekali melawan orang-orang pandai dari Cin-ling-pai! Hayo keluarkan semua kepandaianmu!" kata Han Houw.

Dia memang gembira melihat betapa pukulan wanita ini sangat hebat, hal yang memang sudah disangkanya mengingat bahwa wanita cantik ini bukan orang sembarangan, namun puteri kandung dari pendekar sakti Yap Kun Liong. Cepat dia mengelak, tetapi sebelum dia sempat membalas Mei Lan sudah menyerangnya bertubi-tubi, tubuhnya yang langsing itu bergerak demikian cepatnya, kadang-kadang berputar laksana gasing, tahu-tahu telah menyerang dari arah-arah lain sehingga wanita itu seakan-akan sudah mengubah dirinya menjadi banyak dan menyerang lawan dari semua jurusan!

"Bagus sekali...!" Han Houw menggerakkan kaki tangan, mengelak dan menangkis.

Memang hebat dan indah serangan-serangan yang dilakukan oleh Yap Mei Lan. Dia telah menggunakan Ilmu Silat Pat-hong-sin-kun (Ilmu Silat Delapan Penjuru Angin) yang dahulu diwarisinya dari mendiang Bun Hwat Tosu, dan dia mengisi kedua lengannya itu dengan tenaga sakti Thian-te Sin-ciang yang diwarisinya dari mendiang Kok Beng Lama!

Tentu saja serangan-serangannya itu amat hebatnya, juga dibandingkan dengan Lie Seng, Mei Lan memiliki kelebihan. Lie Seng hanya mewarisi ilmu-ilmu dari Kok Beng Lama saja, sebaliknya Mei Lan mempunyai dua sumber dari ilmu-ilmunya, yaitu Kok Beng Lama dan Bun Hwat Tosu. Di samping itu, melihat bakatnya yang hebat, dia pun mewarisi khikang yang amat hebat dari Kok Beng Lama yang sengaja menurunkan ilmu ini kepada Mei Lan.

Di lain fihak, Yap Mei Lan amat terkejut ketika melihat betapa semua serangannya dapat dielakkan atau ditangkis oleh pangeran itu! Lebih terkejut lagi dia ketika mereka beradu lengan, dia merasa tubuhnya tergetar hebat, tanda bahwa pangeran ini memiliki tenaga yang amat kuat!

Han Houw juga mengerti bahwa boleh dibilang semua anggota keluarga Cin-ling-pai, atau golongan mereka, mempunyai ilmu silat yang sangat tinggi, maka biar pun sekarang yang dihadapinya hanya seorang wanita cantik yang kelihatan lemah lembut, dia sama sekali tak berani memandang ringan. Maka dia pun bersilat dengan cepat sambil mengerahkan tenaganya.

Dalam keadaan seperti itu, setiap bertemu dengan lawan pandai, kumatlah penyakit Han Houw. Dia ingin sekali menguras dan mengenal ilmu-ilmu lawan. Maka dalam menghadapi Mei Lan dia pun lebih banyak bertahan dari pada menyerang, karena lebih dulu dia ingin melihat lawannya mengeluarkan seluruh kepandaiannya, baru dia akan merobohkannya dan menawan wanita ini sebagai sandera.

Melihat betapa isterinya agaknya belum juga dapat mengalahkan pangeran itu, Souw Kwi Beng menjadi tidak sabar. Dia mengerti bahwa tingkat kepandaiannya masih jauh kalau dibandingkan dengan tingkat isterinya atau pun pangeran itu, akan tetapi sebagai seorang suami, tidak mungkin dia mendiamkannya saja melihat isterinya berkelahi dengan orang lain.

Karena itu dia lalu mengeluarkan suara bentakan nyaring kemudian turunlah dia ke dalam gelanggang perkelahian itu. Begitu menerjang maju, dia mainkan ilmu silat yang diperoleh dari ibunya, yaitu Jit-goat Sin-ciang-hoat dan menggunakan tenaga Im-yang Sinkang. Dia menyerang dengan pukulan-pukulan keras, akan tetapi kadang kala diselingi pula dengan totokan-totokan yang disebut It-ci-san, yaitu totokan satu jari yang amat ampuh dan yang merupakan ilmu andalan dari ibunya.

"Hemm, bagus!" Pangeran Ceng Han Houw menjadi semakin gembira.

Dia melihat bahwa pria tampan ini tidak begitu hebat gerakan mau pun tenaganya, namun mempunyai ilmu silat yang aneh dan juga indah kuat. Mulailah dia dikeroyok dua dan Han Houw memang sudah memperoleh tingkat yang amat tinggi sehingga pengeroyokan dua orang suami isteri itu sama sekali tidak membuat dia terdesak. Bahkan kini mulailah dia mengeluarkan jurus-jurus serangan balasan yang membuat Mei Lan dan terutama sekali Kwi Beng, terdesak dan sering kali terpaksa meloncat jauh ke belakang karena memang hantaman pangeran itu berbahaya dan kuat bukan main.

Beberapa kali Mei Lan menyuruh suaminya mundur, akan tetapi Kwi Beng sama sekali tidak mau. Hal ini amat mengkhawatirkan hati Mei Lan. Dia pun tahu bahwa pangeran ini memang lihai bukan main dan dia mengerti sampai di mana tingkat kepandaian suaminya maka tentu saja melawan pangeran itu amat berbahaya bagi suaminya.

Tiba-tiba dia lalu mengerahkan khikang-nya dan mengeluarkan suara teriakan melengking nyaring yang menggetarkan keadaan di sekelilingnya. Kwi Beng sendiri sampai terhuyung dan meloncat ke belakang akibat tergetar oleh suara isterinya itu. Han Houw terkejut dan sejenak dia termangu, dan saat itu digunakan oleh Mei Lan untuk menerjangnya dengan tamparan-tamparan Thian-te Sin-ciang.

"Plak-plak-plakkk!"

Han Houw terhuyung dan walau pun dia berhasil menangkis, namun serangan itu sangat hebatnya sehingga membuat dia lengah dan terdesak, terutama lengah karena lengking yang hebat tadi. Akan tetapi pangeran ini segera membuat gerakan aneh dan tahu-tahu tubuhnya sudah berjungkir balik dan tiba-tiba Mei Lan menjerit lantas cepat meloncat jauh ke belakang karena tanpa diduga-duganya, ada kaki yang menyerang ke arah ubun-ubun kepalanya dengan hebatnya karena pangeran itu tahu-tahu sudah berjungkir balik dengan aneh.

"Ha-ha-ha!" Han Houw tertawa dan dia pun meloncat dan berdiri seperti biasa lagi.

Untuk menghadapi suami isteri itu, dia tidak perlu menggunakan ilmu simpanannya. Kalau tadi dia terpaksa mempergunakan jurus Hok-te Sin-kun adalah karena dia terkejut hingga terdesak oleh pukulan-pukulan sakti wanita cantik itu.

"Lebih baik engkau menyerah saja, Yap Mei Lan, dan mengingat akan kecantikanmu, aku tentu akan bersikap manis kepadamu."

Wajah yang cantik itu menjadi semakin merah. "Manusia busuk!" bentaknya dan dia pun telah menerjang lagi, dibantu oleh suaminya yang juga marah karena pemuda itu bersikap dan berbicara kurang ajar kepada isterinya.

Pada saat itu, terdengar bentakan nyaring, "Manusia dari mana berani mengacau di sini?" Bentakan itu disusul menyambarnya sesosok bayangan dan tahu-tahu Lie Seng sudah berada di situ dan pemuda ini menerjang dengan pukulan yang amat kuat ke arah dada Han Houw.

"Ehhh…!" Han Houw menarik tubuh ke belakang untuk mengelak karena dia mengenal pukulan ampuh.

Melihat Lie Seng sudah datang membantu, Souw Kwi Beng meloncat lantas menyerang dengan tendangan dari atas ke arah pundak kiri Han How. Akan tetapi pangeran ini sudah siap sedia, lengan kirinya menyampok dan begitu kaki Kwi Beng tertangkis, tubuhnya lalu terlempar dan terpelanting. Tentu dia akan terbanting keras kalau lengannya tidak segera disambar oleh Mei Lan.

Lie Seng terkejut bukan main melihat betapa mudahnya orang itu mengelak dari pukulan-pukulannya yang hebat tadi, dan alangkah mudahnya pula dia membuat tendangan Kwi Beng selain gagal juga membuat Kwi Beng terlempar. Tahulah dia bahwa lawan ini bukan orang sembarangan, apa lagi dia melihat sendiri betapi suci-nya dan suami suci-nya tidak mampu mengalahkannya.

"Pengacau, siapakah engkau?!" bentaknya.

"Sute, dia adalah Pangeran Ceng Han Houw, katanya datang untuk menangkap aku!" kata Mei Lan yang sudah siap untuk menggempur lagi.

Hatinya menjadi besar dengan kemunculan sute-nya karena dia maklum bahwa agaknya kepandaiannya sendiri tidak akan mampu menandingi lawan. Namun kalau sute-nya turut membantunya, dia yakin akan dapat mengalahkan pangeran yang benar-benar amat lihai ini.

Lie Seng terkejut dan alisnya yang tebal berkerut. Sejenak dia memandang pangeran itu penuh perhatian. Adiknya, Lie Ciauw Si dahulu pernah menyebut-nyebut nama pangeran ini, malah menurut adiknya, pangeran ini amat baik, memberi adiknya sebuah cincin yang sudah terbukti pula kekuasaannya karena cincin itu dulu mampu mengundurkan pasukan pemerintah!

"Benarkah engkau Pangeran Ceng Han Houw?" tanyanya meragu.

"Benar, dan siapakah engkau, kepandaianmu boleh juga."

Akan tetapi Lie Seng tidak ingin memperkenalkan diri atau berkenalan, malah sebaliknya dia menegur pangeran itu, "Kalau begitu, kenapa engkau hendak menangkap suci-ku ini? Apa salahnya?"

"Ha-ha-ha-ha, agaknya orang-orang Cin-ling-pai dan golongannya masih juga belum mau menginsyafi dosa-dosanya. Yap Mei Lan ini adalah puteri dari Yap Kun Liong, seorang pemberontak buruan. Aku hendak menangkapnya untuk sandera, agar para pemberontak itu suka menyerah."

"Hemm, mana ada aturan demikian? Bila memang hendak menangkap, mana surat kuasa atau surat perintah untuk menangkapnya? Keluarga Cin-ling-pai baru dituduh saja sebagai pemberontak, yang hanya merupakan fitnah belaka. Andai kata benar mereka melakukan hal-hal yang dianggap memberontak, apa hubungannya hal itu dengan suci? Jika hendak menangkap, harus ada surat kuasa atau surat perintah dan alasan-alasannya yang kuat mengapa dia hendak ditangkap?"

Melihat sikap yang tenang dan tegas dari pria muda yang gagah ini, Pangeran Ceng Han Houw merasa kagum sehingga dia meragu. "Siapakah engkau yang berani bicara seperti ini terhadap Pangeran Ceng Han Houw?"

"Aku orang biasa, yang menjunjung keadilan dan kebenaran. Aku Lie Seng, dan menurut penuturan adikku Ciauw Si, yang namanya Pangeran Ceng Han Houw adalah orang yang baik dan gagah, akan tetapi apa bila benar engkau pangeran itu dan kini engkau bersikap seperti ini, hendak menangkap orang secara membabi-buta, sungguh aku kecewa atas penuturan adikku itu!"

Han Houw terkejut. Ah, kiranya pria yang gagah ini adalah kakak kandung dari Ciauw Si? Sejenak dia termangu dan meragu. Dia merasa tidak enak kalau harus memperlihatkan kekerasan di depan kakak kandung Ciauw Si, dara yang tidak pernah dapat dilupakannya itu. Dia menarik napas panjang lalu berkata,

"Semua perbuatanku ini adalah tugasku sebagai pangeran, demi baktiku kepada negara. Akan tetapi kalau memang kalian menghendaki surat kuasa, tunggulah. Aku akan datang lagi membawa surat kuasa dan setelah demikian, kuharap kalian tak akan membangkang lagi karena aku pun tidak ingin menggunakan kekerasan!" Sesudah berkata demikian, dia menjura dan membalikkan tubuhnya lalu melangkah pergi meninggalkan halaman rumah itu.

Para tetangga yang berkerumun di depan melihat perkelahian itu pun lalu bubar karena mereka tak berani mencampuri. "Mari kita bicara di dalam!" kata Souw Kwi Beng kepada isterinya dan Lie Seng, suaranya mengandung kesungguhan dan diliputi kegelisahan.

Sesudah tiba di ruangan dalam, mereka bertiga lalu berunding dengan wajah serius dan suara penuh kesungguhan. "Pangeran itu benar-benar mempunyai kepandaian yang amat lihai, sute. Aku sendiri, terus terang saja, akan sukar untuk dapat mengalahkannya!"

Ucapan yang sejujurnya dari sang suci ini membuat Lie Seng terkejut sekali. Suci-nya itu mempunyai ilmu kepandaian yang amat tinggi, bahkan masih lebih tinggi dari pada tingkat kepandaiannya sendiri, akan tetapi sekarang suci-nya mengatakan bahwa dia tak mampu mengalahkan pangeran ini!

"Betapa pun juga kita akan melawannya, suci! Biarlah aku akan membantu suci, kurasa dengan majunya kita berdua, tidak mungkin dia akan mampu banyak berlagak!” kata Lie Seng, masih merasa terkejut.

Akan tetapi Souw Kwi Beng menggeleng kepala dan menarik napas panjang. “Hendaknya kalian berdua ingat bahwa yang kalian hadapi bukan seorang tokoh kang-ouw yang dapat dihadapi dengan tenaga dan ilmu silat. Akan tetapi kalau benar dia itu seorang pangeran yang memiliki kekuasaan besar, dan mengingat pula akan keadaan keluarga Cin-ling-pai yang dianggap pemberontak buronan oleh pemerintah, kita harus berhati-hati. Kita tentu saja dapat melawan musuh-musuh dari dunia kang-ouw dengan tenaga dan kekerasan, akan tetapi tidak mungkin kita dapat melawan pemerintah.

Melihat wajah suaminya yang penuh kegelisahan itu, Mei Lan menjadi ikut khawatir. “Jadi, bagaimana sekarang baiknya?” tanyanya sambil memandang kepada suaminya, maklum bahwa suaminya yang amat mencintanya itu sebenarnya mengkhawatirkan keselamatan dirinya, bukan keselamatan diri sendiri.

Selagi tiga orang itu saling pandang dengan wajah khawatir, tiba-tiba saja masuk seorang wanita setengah berlari-lari, mukanya pucat dan napasnya terengah. Wanita itu ternyata adalah Sun Eng, dan ketika melihat Lie Seng berada di situ bersama suci-nya dan suami suci-nya, Sun Eng mengeluh panjang dengan penuh kelapangan dada.

“Ahhh... syukurlah kalian tidak apa-apa...,” katanya terengah. “Aku... aku tadi mendengar laporan bahwa kalian berkelahi... maka aku segera lari ke sini..."

Lie Seng sudah merangkul kekasihnya kemudian membawanya duduk menghadapi meja. “Tenanglah, Eng-moi. Kami tidak apa-apa, dan memang ada urusan yang amat penting dan mengkhawatirkan. Kau dengarlah.”

Lalu dengan singkat dia menceritakan mengenai kemunculan Pangeran Ceng Han Houw yang hendak menangkap Yap Mei Lan sebagai puteri pemberontak.

Tentu saja Sun Eng menjadi ikut gelisah sekali, dan dia yang pemberani dan berhati keras itu segera berkata, “Kenapa kita tidak cari saja pangeran busuk itu dan membunuhnya?"

"Ah, tak mungkin kita lakukan itu, Eng-moi. Engkau pun tahu betapa keluarga Cin-ling-pai telah difitnah, dituduh pemberontak. Jika kita sampai membunuh seorang pangeran tentu dosa itu akan semakin dibesar-besarkan. Selain itu, pangeran itu amat lihai, bahkan suci dan aku sendiri tidak dapat menandinginya."

"Ohhh...?” Sun Eng memandang pucat dan hampir tidak percaya bahwa ada pangeran yang memiliki kepandaian setinggi itu. “Habis, bagaimana baiknya?”

"Itulah yang sedang kami bertiga rundingkan ketika engkau tiba tadi,” jawab Lie Seng.

Kembali suasana menjadi hening, sunyi yang mencekam perasaan sebab mereka merasa tegang dan khawatir.

“Kalau tidak boleh melawan, jadi... apakah kita harus melarikan diri?” akhirnya Yap Mei Lan berkata, hatinya penuh dengan rasa penasaran.

"Agaknya itulah satu-satunya jalan, kalau kita sudah dimusuhi pula oleh pemerintah, tidak ada jalan lain...,” kata suaminya.

"Tapi, engkau sudah begitu royal dengan hadiah-hadiahmu kepada boleh di bilang semua pejabat dari yang terendah sampai yang tertinggi di Yen-tai ini! Hadiah yang kau berikan kepada mereka bahkan lebih besar dari pada gaji yang mereka terima!” isterinya mencela.

Souw Kwi Beng menarik napas panjang. “Isteriku, memang hubungan kita dengan para pejabat di Yen-tai ini sudah sangat baik, dari mereka itu kita percaya akan memperoleh perlakukan baik. Akan tetapi, pangeran itu dari kota raja! Tentu kekuasaannya jauh lebih besar sehingga para pejabat di sini tentu tidak mampu menentangnya. Betapa pun juga, aku akan menghubungi mereka dan..."

Souw Kwi Beng menghentikan kata-katanya karena pada saat itu pula muncullah seorang pelayannya yang memberitahukan bahwa ada seorang tamu utusan Ciong-taijin mohon bertemu dengan tuan rumah. Empat orang itu saling pandang dan Kwi Beng lalu minta kepada pelayannya agar tamu itu langsung diantar masuk ke dalam ruangan itu.....

Traktiran: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan) ataupun bisa melalui via Trakteer yang ada dibawah

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar