Pendekar Lembah Naga Jilid 60

Tiba-tiba dia melihat bayangan berkelebat di bawah. Gerakan bayangan itu bukan main ringannya, maka dia langsung mengintai. Dengan heran dia melihat bahwa bayangan itu bukan lain adalan bayangan Kim Hwa Cinjin, ketua Pek-lian-kauw sendiri. Dan kakek tua itu kini berindap-indap menghampiri jendela sebuah kamar dan sinar lampu yang menimpa wajah tua itu memperlihatkan senyum iblis yang membuat Sin Liong bergidik.

Melihat kakek itu kini mengintai dari jendela, dia tertarik dan cepat dia melayang ke atas genteng lalu dengan hati-hati membuka genteng untuk melihat apa yang sedang terjadi di dalam kamar yang diintai sendiri oleh ketua Pek-lian-kauw itu. Dan hampir saja Sin Liong terjengkang di atas genteng, hampir saja dia berseru keras sesudah melihat apa yang ada di dalam kamar itu!

Kamar itu besar, tidak seperti kamar Ciauw Ki tadi. Di sudut kamar, mengelilingi sebuah meja yang penuh masakan dan arak sehingga bau arak sampai tercium olehnya dari atas genteng, duduk tiga orang lelaki yang hampir telanjang bulat, hanya mengenakan cawat saja! Mereka itu minum arak sambil tertawa-tawa gembira.

Salah satu di antara ketiga orang itu berusia kurang lebih empat puluh tahun, kumisnya tebal pendek dan jenggotnya terpelihara rapi, yang dua orang berusia sekitar tiga puluh tahun dengan muka halus. Ketiganya bertubuh tegap dan rata-rata wajah mereka dapat dikatakan tampan dan gagah, rambut mereka digelung ke atas seperti rambut para tosu Pek-lian-kauw.

Akan tetapi bukan ketiga orang itu yang mengejutkan hati Sin Liong, melainkan apa yang nampak di atas sebuah pembaringan yang ada di tengah kamar itu. Di atas pembaringan itu rebah seorang wanita, rebah terlentang dan lekuk lengkung tubuhnya nampak nyata di bawah pakaian dalam yang tipis sekali. Sedangkan pakaian luar wanita itu berserakan di bawah tempat tidur dan wanita itu kelihatan seperti orang yang tidur nyenyak.

Dapat dibayangkan alangkah terkejut rasa hati Sin Liong ketika melihat wanita ini karena dia mengenalnya sebagai Bi Cu! Dan dara itu tentu dibius, pikirnya dengan kedua tangan dikepal dan mulai berubah merah, sepasang matanya mencorong seperti mata naga yang marah!

"Sayang dia terpaksa dibius," kata si kumis tebal. "Kalau tidak dia tentu akan menolak dan melawan mati-matian!"

"Aku lebih senang apa bila dia melawan dan meronta, tidak seperti sekarang ini, mirip mayat!" cela orang ke dua sambil menenggak araknya.

"Dan aku lebih senang kalau dia itu mau menyerahkan diri dengan manis dan suka rela. Mengapa suhu tidak mempergunakan obat perangsang saja?"

"Seorang dara yang berhati baja seperti dia itu sukar dapat dipengaruhi obat perangsang, ah, betapa pun juga, dia mulus dan masih remaja. Hemm, biarlah kalian menonton dulu, aku akan menjadi orang pertama..."

"Ah, jangan begitu, suheng! Engkau harus mengalah kepadaku! Biarlah aku dulu yang..."

"Tidak, aku dulu! Aku yang termuda dan aku lebih pantas baginya!"

Si kumis tebal tertawa. "Ha-ha-ha, kita berebutan seperti anak kecil, seolah-olah kita tidak pernah mendapatkan seorang perawan remaja. Sudahlah, lebih baik kita undi saja!"

"Atau kita berpetak tangan, siapa menang dia mendapatkan dulu!"

Mendengar percakapan itu lega bukan main rasa hati Sin Liong. Jelaslah bahwa mereka itu belum sempat mengganggu Bi Cu. Bi Cu belum ternoda dan kedatangannya belum terlambat! Dia tidak mau membuang waktu lagi.

Saat tiga orang tosu itu sedang main petak tangan untuk menentukan siapa yang berhak mendapatkan tubuh dara itu lebih dulu, tiba-tiba terdengar suara keras di atas kamar dan juga di luar rumah. Suara keras di atas kamar itu terjadi karena Sin Liong menerjang genteng sampai bobol lantas tubuhnya melayang ke dalam kamar laksana seekor naga melayang dari angkasa menerobos awan gelap. Sedangkan suara ke dua lebih keras lagi, yaitu suara sorak-sorai yang gegap-gempita dari banyak orang berkelahi dan beradunya senjata-senjata tajam!

Semua orang yang berada di kamar itu terkejut. Demikian pula dengan Kim Hwa Cinjin yang sedang mengintai dengan hati berdebar penuh ketegangan nafsu birahi itu menjadi terkejut bukan main. Dia melihat betapa pemuda yang menjadi tamunya, dan yang telah ditundukkannya dengan ilmu sihir lalu diserahkan kepada Ciauw Ki untuk dimiliki wanita muridnya itu untuk malam ini dan dia sendiri akan mengintai di kamar Ciauw Ki, tiba-tiba melayang turun ke dalam kamar. Akan tetapi lebih kaget lagi ketika dia mendengar suara hiruk-pikuk di luar.

Perhatiannya terbagi, akan tetapi dia menganggap keadaan di luar situ lebih berbahaya, maka tanpa mempedulikan keadaan di dalam kamar itu, karena dia memandang rendah kepada Sin Liong dan percaya bahwa tiga orang muridnya akan dapat menghadapinya, Kim Hwa Cinjin cepat melompat keluar.

Dia terkejut sekali melihat bahwa yang menimbulkan suara gaduh itu adalah penyerbuan dari pasukan pemerintah terhadap sarang Pek-lian-kauw. Anggota-anggota Pek-lian-kauw yang tadinya masih berpesta-pora, kini menghadapi serbuan pasukan pemerintah dengan gugup. Bahkan ada beberapa orang muridnya yang masih telanjang bulat terpaksa harus melawan musuh, karena mereka itu tadi sedang bersenang-senang dengan pasangannya di dalam kamar, dikejutkan oleh suara itu sehingga keluar dan lupa memakai pakaiannya!

Sementara itu, dengan ringan sekali Sin Liong telah melayang turun ke dalam kamar. Dia pun mendengar suara ribut-ribut di luar dan dia merasa khawatir. Dia harus dapat cepat melarikan Bi Cu dari kamar ini dan keluar dari perkampungan Pek-lian-kauw, karena apa bila sampai dia dikepung oleh semua tokoh beserta anggota Pek-lian-kauw, akan sulitlah baginya untuk dapat menolong Bi Cu. Apa lagi Bi Cu berada dalam keadaan pingsan terbius seperti itu, tidak mampu bergerak sendiri.

Ketiga orang tosu Pek-lian-kauw yang memenangkan hadiah murid wanita baru itu juga terkejut bukan main. Mereka segera mengenal pemuda yang menjadi tamu ketua mereka dan yang siang tadi sudah ditawan kemudian diberikan kepada sumoi mereka. Marahlah mereka dan serentak mereka maju menerjang Sin Liong, biar pun mereka dalam keadaan hampir telanjang seperti itu.

Melihat gerakan mereka, tahulah Sin Liong bahwa mereka itu ternyata adalah tokoh-tokoh besar Pek-lian-kauw, dan tentu merupakan murid-murid utama dari ketua Pek-lian-kauw. Maka dia pun cepat mengelak dan menangkis, kemudian dengan beberapa jurus San-in Kun-hoat, dengan mengisi kedua tangannya dengan Thian-te Sin-ciang, Sin Liong balas menyerang.

Tiga orang tosu itu cepat menangkis tetapi seorang demi seorang berteriak kaget sekali, dan tubuh mereka terlempar lalu menabrak dinding kamar karena mereka itu tidak tahan beradu lengan yang terisi Thian-te Sin-ciang itu. Sejenak mereka nanar dan pusing akibat terbanting keras pada dinding kamar dan kesempatan ini digunakan oleh Sin Liong untuk menyambar tubuh Bi Cu.

Tanpa mempedulikan keadaan tubuh dara itu yang hanya tertutup pakaian dalam tipis, dia lalu memondongnya dan melarikan diri meloncat keluar melalui lubang di atas genteng, kemudian dengan cepat dia pun meloncat ke tempat yang agak sunyi di belakang rumah karena di banyak tempat kini nampak obor-obor dan orang-orang berkelahi dengan hebat dan mati-matian! Dia tidak tahu apa yang telah terjadi, siapa yang sedang bertempur itu, dan dia pun tidak peduli. Yang paling penting adalah menyelamatkan Bi Cu dan selama dia masih berada di dalam perkampungan itu, keselamatan Bi Cu terancam bahaya.

Maka larilah dia, menyusup-nyusup di antara tempat-tempat yang gelap. Beberapa kali dia berpapasan dengan anggota Pek-lian-kauw atau anggota pasukan penyerbu sehingga terpaksa dia merobohkan mereka ini dengan tendangan-tendangan kakinya.

Tiba-tiba terdengar suara yang sangat nyaring melengking, seolah-olah datang dari atas langit. "Liong-te... di mana engkau...?!"

Sin Liong terkejut bukan main seolah-olah mendengar kilat menggelegar pada siang hari yang panas. Tentu saja dia mengenal suara itu! Suara Ceng Han Houw! Celaka, pikirnya, kiranya para penyerbu Pek-lian-kauw itu adalah pasukan pemerintah yang agaknya telah dipimpin sendiri oleh Ceng Han Houw. Pangeran ini malah jauh lebih lihai dan berbahaya dari pada semua orang Pek-lian-kauw.

Maka Sin Liong mempercepat larinya, berloncatan dan akhirnya dia berhasil keluar dari perkampungan Pek-lian-kauw yang geger itu. Setelah memasuki sebuah hutan yang amat gelap, cukup jauh dari perkampungan itu, hatinya lega. Akan tetapi dia pun tidak mungkin dapat melanjutkan larinya karena hutan itu gelap sekali.

Maka dia mencari tempat yang bersih lantas dia merebahkan tubuh Bi Cu ke atas tanah berumput tebal di bawah pohon-pohon besar. Dia berusaha menyadarkan Bi Cu, akan tetapi dara yang sudah terbius ini sama sekali tidak mungkin dapat siuman sebelum obat biusnya habis pengaruhnya. Dia seperti orang pingsan, atau orang yang tertidur nyenyak sekali.

Sin Liong yang maklum bahwa bahaya masih belum lewat dan tentu kaum Pek-lian-kauw, bahkan yang lebih berbahaya lagi, pasukan yang dipimpin Han Houw tentu akan mengejar dan mencarinya, tak berani membuat api unggun sehingga untuk melindungi tubuh Bi Cu yang setengah telanjang itu dari serangan nyamuk dan hawa dingin, dia lalu melepaskan bajunya dan menyelimuti Bi Cu dengan baju itu. Kemudian dia memegang kedua tangan Bi Cu, menyalurkan sinkang sehingga hawa hangat memasuki tubuh dara itu, melindungi tubuhnya dari hawa dingin yang menusuk tulang.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Sin Liong sudah mendengar suara orang-orang memasuki hutan itu. Terpaksa dia memondong lagi tubuh Bi Cu yang masih juga belum siuman. Dia merasa marah sekali. Orang-orang Pek-lian-kauw itu sungguh keji, membius Bi Cu sampai semalam suntuk belum juga siuman, tentu dengan maksud yang amat kotor dan keji! Dengan bantuan sinar matahari pagi yang remang-remang, dia terus melangkah memasuki hutan sambil memondong tubuh Bi Cu.

Tiba-tiba saja dari balik pohon-pohon besar berloncatan tiga orang tosu, seorang di antara mereka yang berkumis tebal membentak, "Pemuda iblis, mau lari ke mana engkau?!"

Sin Liong kaget sekali dan dia segera mengenal bahwa tiga orang tosu ini adalah mereka yang tadi malam hendak memperkosa Bi Cu di dalam kamar itu. Akan tetapi karena dia menduga bahwa selain mereka tentu masih terdapat banyak orang Pek-lian-kauw yang agaknya sudah tersebar di dalam hutan, dan mengingat lagi bahwa mungkin akan muncul Ceng Han Houw sehingga akan menyukarkan dia melindungi Bi Cu, dia lalu membalikkan tubuh dan berlari tanpa berkata apa-apa.

Tiga orang tosu Pek-lian-kauw itu mengejar dengan marah. Sesudah beberapa lamanya berlari, Sin Liong menoleh dan mengerling ke belakang. Ternyata pengejarnya tetap hanya tiga orang tosu itu. Giranglah hatinya dan dia pun cepat menurunkan tubuh Bi Cu ke atas rumput, kemudian dengan tenang dia menanti kedatangan mereka.

Tiga orang tosu itu adalah murid-murid pilihan dari Kim Hwa Cinjin. Kalau pada waktu Sin Liong masuk ke dalam kamar untuk menolong Bi Cu mereka itu tidak sempat melakukan perlawanan yang gigih adalah disebabkan mereka bertiga berada dalam keadaan hampir telanjang. Kini mereka sudah siap siaga dengan pakaian lengkap.

Melihat pemuda itu sudah menurunkan tubuh dara yang telah menjadi sumoi mereka dan menjadi kekasih mereka bertiga sebab oleh suhu mereka telah diberikan kepada mereka, tiga orang tosu ini segera menerjang ke depan. Semalam, setelah mengenakan pakaian, mereka lalu melakukan pengejaran, tanpa mempedulikan kegegeran yang terjadi di dalam perkampungan Pek-lian-kauw dan melihat pemuda itu lenyap di dalam hutan, mereka lalu mencari-cari sampai jauh ke dalam hutan. Karena keadaan sangat gelap, maka mereka menunggu dan pada pagi hari itu, benar saja mereka melihat pemuda yang dikejarnya berjalan memondong tubuh calon korban mereka.

Setelah merasa yakin bahwa pengejarnya hanya tiga orang murid Pek-lian-kauw itu saja, timbullah kemarahan di hati Sin Liong. Tiga orang itu jahat sekali dan tadi malam hampir saja menodai kehormatan Bi Cu yang sedang pingsan, sebab itu, orang-orang seperti ini patut dihajar, bahkan patut dibunuh!

Melihat mereka bertiga menyerangnya dengan tangan kosong, dengan pukulan berbentuk tamparan yang dia tahu tentulah merupakan pukulan yang beracun, dia sama sekali tidak mau mengelak dan menerima pukulan itu dengan tubuhnya, hanya menggerakkan kepala agar mukanya jangan sampai terkena pukulan.

"Plak! Plak! Plak!"

Pukulan atau tamparan tiga orang tosu itu semuanya mengenai dada, pundak, dan leher. Akan tetapi, betapa kagetnya tiga orang tosu itu ketika tangan mereka seperti mengenai besi baja saja dan lebih kaget lagi hati mereka ketika tangan mereka itu melekat tanpa dapat ditarik kembali lantas sinkang mereka membanjir keluar melalui tangan mereka ke dalam tubuh pemuda itu.

Mereka meronta, akan tetapi makin kuat mereka meronta, maka makin hebat lagi tenaga rontaan itu membanjir keluar dari tangan mereka. Si kumis tebal terbelalak memandang wajah Sin Liong yang tersenyum dingin, dan dia lalu berseru tergagap-gagap,

"Thi... khi... i... beng...!"

Mereka pernah mendengar dari guru mereka mengenai ilmu yang mukjijat ini, akan tetapi belum pernah melihat sendiri ilmu yang mereka anggap hanya terdapat dalam dongeng itu. Akan tetapi kini, merasakan betapa tenaga sinkang mereka memberobot keluar tanpa dapat dicegah, mereka teringat akan ilmu itu dan mereka ketakutan setengah mati. Makin lemaslah mereka, muka mereka telah menjadi pucat karena kehabisan tenaga.

Tiba-tiba timbul perasaan kasihan dalam hati Sin Liong. Mengapa dia harus membunuh orang, pikirnya. Memang tiga orang ini amat jahat akan tetapi kejahatan mereka itu belum merupakan alasan yang kuat bagi dia untuk berubah menjadi Giam-lo-ong alias malaikat pencabut nyawa! Tangan kirinya bergerak enam kali dan tiga orang tosu Pek-lian-kauw itu berteriak dan roboh terjengkang, kedua pundak mereka patah-patah tulangnya.

Untuk menghukum mereka, Sin Liong sengaja menghabiskan sinkang mereka dengan jalan mempergunakan ilmu Thi-khi I-beng kemudian menampar remuk tulang-tulang kedua pundak mereka. Dengan demikian, meski pun kesehatan ketiga orang itu akan dapat pulih lagi, namun mereka sulit diharapkan akan dapat menjadi ahli-ahli silat yang pandai. Boleh dikata mereka dibuat menjadi tapa daksa dan lenyap kekuatan mereka.

"Sin Liong..."

Pemuda itu cepat membalik dan giranglah dia melihat Bi Cu sudah bergerak, maka cepat dia menghampiri dan berlutut di dekatnya. "Bi Cu, kau sudah siuman...?" teriaknya. "Hayo cepat kita melarikan diri, banyak musuh jahat yang sedang mengejar kita!" Sin Liong lalu merangkul dan hendak memondongnya kembali.

"Ihhh...!" Bi Cu menjerit dan tangan kanannya menampar.

"Plakkk!"

Pipi kiri Sin Liong kena ditampar dengan keras karena memang pemuda itu selain sama sekali tidak menyangka-nyangka, juga tidak mau menangkis. Dia terbelalak memandang dengan heran dan menyangka bahwa obat bius semalam masih mempengaruhi otak dara ini sehingga melakukan tamparan dalam keadaan masih belum sadar benar!

"Manusia cabul kau! Mata keranjang kau! Ceriwis kau!"

Mendengar caci-maki Bi Cu dan melihat betapa Bi Cu dengan susah payah menggunakan dua telapak tangan untuk menutupi bagian-bagian depan tubuhnya kemudian cepat-cepat membalikkan tubuh membelakanginya, tidak sadar bahwa dengan berbuat demikian dara itu memperlihatkan dua buah bukit pinggul yang indah bentuknya, yang dapat kelihatan melalui pakaian dalam yang tipis itu, mengertilah Sin Liong dan mukanya berubah merah sekali.

"Bi Cu, jangan salah mengerti," katanya lirih sambil menunduk, tidak berani terlalu lama memandang dua bukit menonjol beserta garis punggung itu, "ketahuilah bahwa ketika aku melarikanmu dari Pek-lian-kauw, engkau sudah berada dalam keadaan seperti sekarang ini sementara aku tak mempunyai banyak waktu untuk mencari pakaian untukmu karena keadaan amat berbahaya dan semalam di dalam hutan ini... tak mungkin mencari pakaian untukmu dan sekarang..."

"Ihh, cerewet amat sih! Yang mereka pakai itu apa lagi kalau bukan pakaian!" bentak Bi Cu.

Sin Liong menoleh ke arah telunjuk yang menuding itu dan hampir dia menampar kepala sendiri. Mengapa dia sebodoh itu? Sin Liong tertawa lalu menghampiri seorang di antara tiga tosu tadi yang paling kecil tubuhnya, kemudian dengan paksa dia lalu menanggalkan pakaian luar tosu ini yang sudah tak mampu bergerak lagi dan hanya dapat menyeringai menahan nyeri ketika baju dan celana luarnya dilucuti karena kedua pundak yang hancur itu membuat dia tidak mampu menggerakkan tangan.

"Nah, pakailah ini, Bi Cu."

Bi Cu tidak banyak cakap lagi, segera menyambar pakaian itu kemudian lari ke belakang batang pohon besar untuk memakai jubah serta celana yang masih kebesaran untuknya itu. Diam-diam Sin Liong menahan ketawa. Tinggal merangkapkan jubah dan celana itu di luar pakaian dalamnya saja, kenapa harus bersembunyi di balik pohon segala?

Tak lama kemudian Sin Liong melihat Bi Cu muncul dari balik pepohonan dan kembali dia harus menahan ketawanya karena memang Bi Cu nampak lucu sekali dalam pakaian tosu yang kebesaran itu. Biar pun dia sudah menahan-nahan ketawanya, tetap saja mulutnya bergerak-gerak meruncing dan hal ini nampak oleh dara itu.

"Ehh, ehh, kenapa kau mecuca-mecucu seperti itu? Kau mentertawakan aku, ya?"

"Ti... tidak, hanya... kau lucu sekali dalam pakaian itu, Bi Cu."

"Buatmu lucu, buatku sama sekali tidak lucu! Ehh, Sin Liong, apa sih yang terjadi dengan diriku? Yang teringat olehku hanya bahwa aku ikut bersama Kim Hwa Cinjin dan diambil murid olehnya."

"Engkau telah terjebak ke dalam perangkap yang berbahaya, Bi Cu. Pek-lian-kauw adalah perkumpulan pemberontak, jahat dan cabul. Aku mendapatkan dirimu pingsan akibat obat bius, dan hampir saja engkau dinodai oleh tiga orang keji itu!" Sin Liong menuding ke arah tiga orang tosu yang masih rebah di atas tanah, salah seorang di antara mereka hanya memakai cawat saja karena pakaiannya telah dilucuti.

Muka Bi Cu menjadi merah sekali dan matanya terbelalak, membayangkan kemarahan. "Apa?! Bukankah mereka itu murid-murid Kim Hwa Cinjin...?"

"Benar, dan agaknya engkau diambil murid dengan maksud yang amat kotor dan keji."

"Keparat! Kalau begitu mereka ini patut dibunuh!" Bi Cu melangkah maju, akan tetapi Sin Liong cepat memegang tangannya.

"Sudahlah, Bi Cu. Mereka sudah terhukum dan mereka selanjutnya tak akan mampu lagi mengganggu wanita. Mari kita cepat pergi karena masih banyak musuh yang mengejar, bahkan ada pasukan pemerintah..."

Mendengar ini, wajah Bi Cu sudah berubah pucat dan dia cepat memegang tangan Sin Liong. "Pasukan? Wah, ke mana kita harus lari?"

"Mari kau ikut denganku!" Sin Liong menggandeng tangannya kemudian mengajaknya lari menyusup ke dalam hutan yang lebih gelap.

Mereka berlari terus, akan tetapi tiba-tiba dari depan terdengar suara hiruk-pikuk banyak orang sehingga terpaksa dia mengambil jurusan lain dan terus melarikan diri, makin lama semakin jauh ke dalam hutan lebat yang sama sekali tidak dikenalnya.

Pada senja hari itu, terpaksa mereka berhenti di bawah pohon yang lebat di tengah hutan karena semenjak tadi Bi Cu sudah mengomel dan mengeluh saja karena lapar dan lelah. Sehari itu mereka berlari-larian terus tanpa berkesempatan makan, bahkan tidak sempat bercakap-cakap karena lelah.

Sekarang tanpa berkata apa-apa lagi Bi Cu sudah menjatuhkan diri ke bawah pohon itu, bersandar pada batang pohon melepaskan lelah dengan mata terpejam. Kasihan sekali rasa hati Sin Liong melihat dara ini, maka dia pun lalu duduk di atas tanah di depannya.

Dara itu diam saja, hanya bersandar dengan wajah pucat dan mata terpejam, kelihatan amat lelah dan menderita. Kerutan alisnya membuat Sin Liong ragu-ragu untuk bertanya, karena kerutan itu membayangkan bahwa Bi Cu kembali sedang ‘ngambek’.

Agaknya Bi Cu merasakan pula keheningan ini. Dia membuka kedua matanya, bertemu pandang dengan Sin Liong, menarik napas panjang, bibirnya bergerak-gerak namun tidak mengeluarkan suara sampai akhirnya sepasang mata yang jeli itu terpejam kembali.

Sin Liong menelan ludah, memberanikan hatinya. Suasana itu sangat mencekam hatinya, karena biasanya, ketika berdua dengan Bi Cu amatlah gembira karena kelincahan serta kejenakaan dara itu, dan sekarang dara itu demikian pendiam dan dingin.

"Bi Cu... sudah lama aku mencarimu..."

Bi Cu merapatkan pelupuk matanya. Ada sedu sedan naik dari dadanya. Ingin sekali dia memaki, ingin dia menjerit, mencela mengapa baru sekarang Sin Liong muncul, padahal dia sudah mencarinya sejak mereka berpisah, betapa dia amat merindukan kehadiran Sin Liong, betapa dia amat membutuhkan Sin Liong untuk menemaninya, untuk membantu dirinya kalau menghadapi bahaya. Dan sekarang, baru sekarang pemuda itu muncul, dan dalam keadaan hatinya penasaran itu tiba-tiba pemuda itu menyatakan bahwa telah lama mencarinya. Akan tetapi dia menahan kegemasannya, dan dengan suara datar dingin dia bertanya tanpa membuka matanya,

"Mau apa kau mencariku?"

Sin Liong mengangkat muka memandang wajah yang menunduk dan mata yang terpejam itu, dia merasa heran bukan main. Bukankah selama dia mencari Bi Cu, di mana-mana dia menemukan keterangan bahwa dara itu pun sedang mencari-carinya? Mengapa dara itu kini kelihatan marah dan berduka?

"Bi Cu, tentu saja aku mencarimu. Sejak kita berpisah, aku tak pernah melupakanmu, Bi Cu. Aku sangat mengkhawatirkan keadaanmu, mengingat betapa engkau hidup sebatang kara di dunia ini, aku menjelajah sampai jauh dan akhirnya baru aku dapat keterangan tentang engkau beberapa hari yang lalu dan..."

Tiba-tiba Sin Liong menghentikan kata-katanya. Dia bengong memandang dara itu yang ternyata kini telah menangis tersedu-sedu, menyembunyikan muka di balik kedua tangan dan dari celah-celah jari tangannya menetes air matanya. Sekarang Bi Cu telah menangis terisak-isak dan sesenggukan seperti anak kecil!

"Ehh, kau kenapa Bi Cu...?"

Bi Cu mencoba mengangkat mukanya. Matanya masih terpejam dan basah oleh air mata yang bercucuran, lalu dengan susah payah dia berkata di antara isaknya,

"Mengapa kau... kau tidak membiarkan aku mati saja...? Kenapa engkau menolongku...? Hu-hu-huk, aku memang anak... celaka... kenapa kau pedulikan aku? Kau orang kejam...! Kau telah memaksaku pergi... kau kira aku takut bahaya dan takut mati? Kau menyuruh aku pergi... hu-huukk... aku lalu terlunta-lunta, mati-matian mencarimu... hu-huuuhh... dan sekarang kau masih... pura-pura mencariku...?"

Sin Liong merasa kasihan sekali dan dia mendekat, menyentuh pundak dara itu. "Bi Cu, ketahuilah bahwa dulu itu aku menyuruhmu pergi karena engkau terancam bahaya hebat. Kau masih belum tahu alangkah jahatnya pangeran itu. Aku melakukan semua itu hanya demi keselamatanmu, Bi Cu."

"Kenapa...? Kenapa engkau pedulikan keselamatanku...?"

"Entahlah. Mungkin karena engkau sebatang kara, seperti juga aku. Dan aku... senang sekali berada di dekatmu, melakukan perjalanan bersamamu, Bi Cu."

Bi Cu makin mengguguk dan kini dia merangkul, menangis di pundak Sin Liong. Pemuda itu menjadi terharu, tak dapat menahan kedua matanya menjadi basah dan dia mengusap rambut kepala dara itu. "Sudahlah, Bi Cu, jangan menangis. Bukankah kita sudah saling jumpa dengan selamat?"

"Sin Liong, jangan... jangan tinggalkan aku lagi..."

"Tidak! Aku bersumpah tidak akan meninggalkanmu lagi, Bi Cu."

Isak tangis itu mereda dan mereka masih saling rangkul. Pada saat itu tidak ada sedikit pun perasaan cinta asmara di dalam batin mereka, yang ada hanyalah perasaan saling membutuhkan dan saling menyukai bagaikan kakak dan adik, atau bagaikan dua orang sahabat yang senasib sependeritaan saja.

"Kau akan mengantarku ke utara untuk mencari musuhku...?"

Sin Liong terkejut dan teringatlah dia akan ocehan yang keluar dari mulut Kui Hok Boan ketika orang itu menjadi miring otaknya. Mendengar ucapan yang keluar dari orang yang terserang tekanan batin sehingga hampir gila itu, mudah diduga bahwa pembunuh ayah kandung Bi Cu tentulah Kui Hok Boan! Akan tetapi bagaimana dia dapat berterus terang kepada Bi Cu tentang hal ini?

Kalau Bi Cu tahu tentang hal itu, tentu dara ini akan berusaha membalaskan kematian ayahnya, dan kalau itu terjadi, dia sendiri yang akan menjadi bingung. Mungkinkah dia membiarkan orang lain atau Bi Cu sekali pun membunuh Kui Hok Boan lantas dengan demikian akan menyusahkan hati kedua orang adik tirinya, Kui Lan dan Kui Lin yang disayangnya? Sin Liong menjadi bingung akan tetapi dengan suara lirih dia menjawab,

"Ya, tentu saja..."

Kembali hening dan Bi Cu masih bersandar pada pundak Sin Liong. Tangisnya terhenti dan tiba-tiba saja terdengar suara lirih, suara berkeruyuk yang hanya dapat didengar oleh mereka berdua saja.

Suara lirih ini seperti suara gaib yang sama sekali melenyapkan kedukaan dan keharuan hati mereka, yang dalam seketika memulihkan watak Bi Cu yang sebenarnya. Tiba-tiba saja dara yang tadi menangis sesenggukan sedemikian sedihnya, kini tertawa begitu geli dan gembira, bebas lepas dan dia telah melangkah mundur sambil menudingkan telunjuk kirinya ke arah wajah Sin Liong.

Pemuda ini pun tersenyum, memandang wajah Bi Cu penuh pesona. Siapa tak akan ikut tersenyum gembira melihat dara seperti ini? Tadi di waktu menangis, wajah dara itu tentu akan meluluhkan hati siapa pun juga, akan tetapi setelah sekarang tertawa, dengan mata yang masih agak kemerahan dan pipi agak basah itu bersinar dan berseri-seri, bibir yang merah itu terbuka sedikit dengan sopan, nampak sedikit ujung deretan giginya pada saat tertawa, membentuk lesung pipit pada sebelah kiri mulutnya saja, ahh, betapa manisnya, betapa cerahnya, seolah-olah matahari yang baru muncul dari balik awan hitam yang tadi menghalanginya!

"Ihhh, tak tahu malu!" Bi Cu berseru sambil tertawa geli.

"Apa yang tak tahu malu?" Sin Liong bertanya, hanyut dalam kegembiraan dara itu.

"Hi-hik-hik, masih tanya lagi. Perutmu yang tak tahu malu, siapa lagi! Aku mendengar ada ayam jantan berkeruyuk di dalamnya tadi!"

Sin Liong tertawa. "Dan aku pun mendengar ada ayam betinanya yang berkotek, entah dalam perut siapa! Tak mungkin dalam perutku ada ayam jantan dan ayam betinanya!"

Bi Cu tertawa dan menutup mulutnya. "Dalam perutku! Memang perut kita keduanya tak tahu malu!"

Melihat dara itu kini telah pulih kembali kegembiraannya, Sin Liong lalu duduk di atas akar pohon. "Bi Cu, selama ini engkau ke mana sajakah? Bagaimana engkau sampai dapat terjatuh ke tangan orang-orang Pek-lian-kauw?"

Wajah Bi Cu masih berseri gembira, akan tetapi dia menarik napas panjang. "Ahh, semua ini gara-gara engkau menyuruhku pergi ketika itu, kemudian banyak hal menimpa diriku." Dia lalu menceritakan semua pengalamannya, sampai akhirnya dia hampir saja ditangkap oleh pasukan pemerintah dan kemudian ditolong oleh Kim Hwa Cinjin dan diajak pergi ke Pek-lian-kauw untuk menjadi muridnya.

"Hemm, Ceng Han Houw memang berhati palsu! Dia telah berjanji tak akan mengganggu engkau, akan tetapi tetap saja pasukannya hendak menangkapmu. Akan tetapi mengapa engkau mau diambil murid oleh tosu itu, Bi Cu? Apakah kau tidak tahu bahwa dia adalah ketua Pek-lian-kauw yang jahat?"

"Aku tidak tahu, andai kata aku tahu pun agaknya hal itu tidak mempengaruhi, karena aku tidak mengenal Pek-lian-kauw. Dan dia telah menolongku, Sin Liong, dia yang membunuh belasan orang prajurit itu, dan dia begitu lihai sehingga aku kagum sekali. Entah kenapa, biar pun di lubuk hatiku aku tidak suka menjadi muridnya, akan tetapi ternyata aku telah menerimanya dan turut dengan dia ke pusat perkumpulan itu. Aku diperlakukan dengan amat baik dan manis oleh semua muridnya, dan dalam pesta itu, aku minum arak pesta ulang tahun kemudian tidak ingat apa-apa lagi sampai aku siuman di dalam hutan ini. Dan mereka itu... ahh, mereka harus dibunuh!" Dara itu meloncat bangun ketika teringat akan tiga orang tosu Pek-lian-kauw itu.

Akan tetapi Sin Liong sudah memegang lengannya. "Tenanglah, mereka sudah terhukum dan mungkin sekarang Pek-lian-kauw sudah hancur oleh pasukan pemerintah."

"Ehh, apa maksudmu?"

"Engkau diberi obat bius hingga tak ingat apa-apa, untung kedatanganku belum terlambat dan engkau sudah selamat. Inilah yang terpenting. Ketika aku membawamu keluar dari sarang Pek-lian-kauw, di malam itu pula Pek-lian-kauw diserbu oleh pasukan pemerintah. Mungkin hal itu ada hubungannya dengan belasan orang prajurit yang telah dibunuh oleh Kim Hwa Cinjin. Kalau yang memimpin penyerbuan pasukan itu Ceng Han Houw sendiri, dan aku yakin akan hal ini karena aku mendengar suaranya, maka tentu tidak akan ada orang Pek-lian-kauw yang dapat lolos."

"Sin Liong, bagaimana engkau dapat menolongku? Ke mana saja engkau pergi selama kita berpisah?"

"Sesudah kita saling berpisah pada tempo hari, aku terpaksa mengantar Pangeran Ceng Han Houw menemui seseorang di selatan. Setelah beres, aku lalu kembali ke utara dan mulai mencarimu."

"Sin Liong, engkau adalah adik angkat seorang pangeran. Kalau engkau adik angkatnya, mengapa pangeran itu memusuhimu?"

"Tidak memusuhi, Bi Cu. Hanya dia itu... ahhh, kelak engkau pun akan mengerti sendiri. Sekarang tak perlu kita membicarakan dia, engkau tahu... mungkin sekarang dia bersama pasukannya sedang mencari-cari di dalam hutan ini!"

"Aku tidak takut!" Tiba-tiba Bi Cu berseru. "Dan sekali ini, jangan engkau mengorbankan diri untukku lagi. Aku tidak sudi pergi dengan selamat tetapi harus meninggalkanmu. Aku tak tahan hidup sendiri lagi tanpa engkau yang menemaniku, selalu gelisah dan bingung. Sin Liong, berjanjilah lagi, bahwa engkau takkan meninggalkan aku, apa pun yang terjadi. Kita akan menghadapi bahaya bersama, dan kalau perlu, aku tidak takut mati, asal selalu bersamamu!"

Kembali keharuan menyelinap di dalam hati Sin Liong. Entah mengapa, dia pun memiliki perasaan persis seperti yang secara jujur diucapkan oleh dara itu. Kalau dia terpaksa mau berpisah dari Bi Cu seperti yang sudah terjadi, adalah karena dia ingin melihat dara itu terbebas dari bencana. Maka kini dia mengangguk dan berkata lirih,

"Percayalah, aku tidak akan akan meninggalkanmu lagi, Bi Cu."

"Sin Liong, sudah berkali-kali engkau berhasil menolongku. Bagaimana mungkin dengan kepandaianmu yang tidak seberapa tinggi... ah, aku tahu sekarang! Engkau tentu memiliki kepandaian hebat yang kau sembunyikan. Betul, tidak? Jika tidak, mana mungkin engkau bisa mengalahkan tiga orang tokoh Pek-lian-kauw itu? Juga tak mungkin engkau mampu melarikan aku yang dalam keadaan pingsan itu lolos dari Pek-lian-kauw! Sudah lama hal ini menjadi pikiranku. Engkau tentu memiliki kepandaian tinggi, Sin Liong."

"Ahh, engkau tahu bahwa aku tidak memiliki kepandaian apa-apa, Bi Cu."

"Ilmu silatmu tentu tinggi..."

"Tidak lebih tinggi dari pada ilmu silatmu."

"Benarkah?"

Dara itu menarik napas panjang, memandang dengan penuh keraguan kepada Sin Liong. Bagaimana pun juga, dia belum pernah menyaksikan dengan mata kepala sendiri tentang kepandaian pemuda ini. Maka dia pun belum yakin benar. Mendadak telinganya kembali menangkap suara berkeruyuk dan kebetulan sekali kembali perut mereka berdua yang mengeluarkan bunyi itu secara berbareng! Bi Cu tertawa lagi.

"Ihh, lekas kau mencari makanan untuk mendiamkan perut-perut tak tahu malu ini, Sin Liong."

Sin Liong mengerutkan alisnya. Dia merasa sangsi untuk meninggalkan Bi Cu seorang diri di tempat itu, akan tetapi untuk menolak permintaan itu pun dia tidak tega karena maklum bahwa memang dara itu lapar sekali, seperti juga dia sendiri.

"Aku harus melihat dulu di mana terdapat makanan di sini." Dia lalu memanjat sebatang pohon besar.

Tentu saja kalau dia menghendaki, sekali loncat saja dia sudah akan dapat melayang naik ke puncak pohon, akan tetapi dia tidak mau menunjukkan kepandaiannya secara terang-terangan kepada Bi Cu, khawatir kalau-kalau sikap Bi Cu akan berubah bila mana melihat bahwa dia mempunyai kepandaian yang jauh lebih tinggi dari pada dara itu. Maka dia lalu memanjat sampai ke puncak dan dari situ dia memandang ke sekeliling.

"Heiiii, di sebelah barat sana ada sebuah dusun!" teriaknya dari atas. Lalu dia bergegas turun, disambut oleh Bi Cu dengan wajah berseri.

"Kalau begitu, kau cepatlah ke sana mencari makanan, Sin Liong. Perutku sudah sangat lapar."

"Bi Cu, apakah tidak sebaiknya kalau kita berdua yang pergi ke sana? Dengan demikian akan lebih aman bagimu, bukan? Dusun itu tidak jauh, paling lama berjalan satu jam akan sampai..."

"Tidak, Sin Liong. Aku lelah sekali. Lagi pula tempat ini amat sunyi, siapa yang akan dapat menggangguku? Aku masih mampu menjaga diri. Jangan khawatir, lekaslah kau mencari makanan, biar kutunggu di sini."

Sin Liong mulai mengenal kekerasan hati Bi Cu, maka dia menghela napas panjang dan berkata, "Baiklah, harap engkau jangan pergi ke mana-mana, Bi Cu. Kau tunggulah aku di sini saja, aku pergi tak akan lama." Sin Liong akhirnya menyetujui untuk meninggalkan Bi Cu, karena dia pun berpikir bahwa kalau Bi Cu tidak ikut, dia akan dapat pergi ke dusun itu dan kembali dalam waktu yang jauh lebih cepat. Lagi pula hari telah menjelang gelap, apa bila masih ada pengejaran dan pencarian dari fihak pasukan pemerintah sekali pun, tentu mereka itu akan menundanya dan akan melanjutkan besok pagi.

Sin Liong sudah melangkah ke depan ketika Bi Cu memanggil, "Sin Liong..."

Pemuda itu berhenti membalikkan tubuh. "Ada apa, Bi Cu?"

"Jangan lupa... ehh, kau carikan pakaian untukku!"

"Pakaian? Akan tetapi engkau sudah..."

"Hushhh, siapa sudi memakai pakaian ini terus-terusan? Aku ingin pakaian wanita yang sopan dan pantas, berikut sepatunya. Maukah kau...?"

"Tentu saja! Akan kucarikan untukmu, jangan khawatir."

Bi Cu tersenyum sambil memandang dengan sepasang mata bersinar-sinar dan wajah berseri penuh perasaan syukur dan terima kasih. Sin Liong menelan ludah. Bukan main manisnya Bi Cu kalau sudah begitu! Bukan hanya manis, akan tetapi juga ada sesuatu yang menyentuh perasaannya, yang membuat dia merasa terharu, membuat dia merasa ingin untuk merangkul dara itu, mendekapnya, menghiburnya, menyenangkan hatinya.

Akan tetapi Sin Liong melawan perasaan ini dengan membalikkan tubuhnya lagi kemudian mulai melangkah meninggalkan Bi Cu, menuju ke arah barat. Tanpa disadarinya sendiri, bibirnya meruncing lantas dia mendengar mulutnya sendiri bersiul-siul! Perasaan senang yang bukan karena sesuatu, melainkan perasaan nyaman di hati, yang membuat segala sesuatu nampak indah!

Memang demikianlah, senang atau susah bukan datang dari luar, melainkan tergantung dari keadaan batin kita sendiri, sungguh pun keadaan itu pun dipengaruhi oleh keadaan luar. Senang mau pun susah masih berada dalam daerah terbatas, daerah terkurung dari kesibukan si aku. Kalau si aku merasa diuntungkan, maka senanglah batin, kalau si aku merasa dirugikan, maka susahlah batin. Batin seperti ini berada dalam cengkeraman si aku yang bukan lain adalah pikiran itu sendiri.

Pikiran mencatat segala pengalaman, baik yang senang mau pun yang susah, lalu pikiran menciptakan si aku, yaitu gambaran tentang diri sendiri, sebagai penikmat kesenangan mau pun penderita kesusahan. Timbullah keinginan untuk mengulang atau melanjutkan kesenangan dan menjauhkan kesusahan. Keinginan ini yang lalu menciptakan lingkaran setan, yang menyeret kita di antara gelombang-gelombang kesenangan dan kesusahan sehingga keadaan kehidupan kita menjadi seperti sekarang ini.

Setiap manusia berlomba-lomba untuk mendapatkan kesenangan, dan demi kesenangan yang dikejar inilah maka terjadi perebutan persaingan, permusuhan, kebencian, cemburu, iri hati dan lain sebagainya. Pengejaran kesenangan memisah-misahkan antara manusia, memupuk dan memperkuat si aku.

Keadaan bahagia sama sekali tidak dapat disamakan dengan kesenangan, biar pun kita biasanya menganggap bahwa kesenangan adalah kebahagiaan! Kebahagiaan berada di atas senang dan susah, sama sekali tidak tersentuh oleh keduanya itu. Keadaan bahagia adalah lenyapnya si aku, lenyapnya keinginan mengejar kesenangan serta menghindari kesusahan yang hanya merupakan kesibukan pikiran belaka yang terpengaruh oleh masa lalu, kenangan lalu, pengalaman lalu, ingin mengulang yang menyenangkan dan menjauhi kesusahan. Keadaan bahagia tidak dapat diulang-ulang, merupakan sesuatu yang selalu baru. Keadaan bahagia baru mungkin ada kalau terdapat cinta kasih! Cinta kasih baru nampak sinarnya apa bila batin dalam keadaan hening dalam arti kata tidak dipengaruhi oleh kesibukan pikiran atau si aku yang selalu ingin senang!

Setelah merasa yakin bahwa Bi Cu tak bisa melihatnya lagi, Sin Liong lalu mengerahkan kepandaiannya, mempergunakan ginkang dan ilmu berlari cepat, berlompatan dan berlari bagai seekor kijang muda saja menyusup-nyusup antara pohon-pohon dan semak-semak menuju ke barat, ke arah dusun yang tadi dilihatnya dari atas puncak pohon.

Biar pun dusun itu kecil saja dan tidak ada restorannya, namun tidak sukar bagi Sin Liong untuk mendapatkan sekedar roti gandum dan sebotol arak, bahkan dia juga membeli satu stel pakaian yang masih baru milik seorang gadis petani yang tentu saja mau menjual pakaiannya dengan harga yang jauh lebih tinggi dari pada harga sebenarnya. Akan tetapi untuk sepatunya, Sin Liong terpaksa hanya dapat memperoleh sepasang sepatu bekas saja, bersama kaus kakinya yang masih baik. Dengan girang pemuda ini lalu berlari cepat kembali ke dalam hutan.

Cuaca sudah mulai gelap ketika dia sampai di dalam hutan itu. Hatinya berdebar penuh kegembiraan membayangkan betapa akan senangnya hati Bi Cu bila melihat dia kembali membawa makanan dan arak, bahkan membawa pula pakaian dan sepatu yang cukup baik untuk dara itu. Dibayangkannya betapa wajah manis itu akan menjadi semakin manis karena senyum yang cerah dan sepasang mata yang bersinar-sinar, dan terutama sekali betapa sepasang mata itu memandang kepadanya dengan penuh kegembiraan.

Tiba-tiba saja bayangan ini dihancurkan oleh berkelebatnya bayangan dan tahu-tahu ada seorang laki-laki berdiri di hadapannya, bertolak pinggang sambil memandang kepadanya dengan senyum dikulum dan sinar mata penuh ejekan. Dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati Sin Liong ketika mengenal orang ini yang bukan lain adalah Pangeran Ceng Han Houw!

"Pangeran...!"

"Liong-te, apakah engkau sudah lupa menyebutku Houw-ko? Apakah engkau sudah lupa bahwa kita adalah saudara angkat? Bukan main, di mana pun ada keributan, di situ pasti ada engkau! Sama sekali tidak kusangka bahwa engkau tahu-tahu bisa berada di sarang Pek-lian-kauw, dan ketika aku melihat bayanganmu berkelebat, aku segera mengenalmu. Sayang aku terlalu sibuk dengan tosu-tosu pemberontak itu sehingga baru sekarang aku dapat menyusulmu."

"Houw-ko, di antara kita sudah tidak ada urusan apa-apa lagi. Kini engkau mengejarku dengan maksud apakah?" tanyanya, harap-harap cemas karena dia tidak tahu apakah Bi Cu sudah tertawan lagi oleh pangeran yang berwatak palsu ini.

"Ha-ha-ha, adik angkatku yang selalu menjauhi wanita, yang tidak pernah mau menerima cinta kasih wanita, yang alim dan suci, ternyata selalu menjadi pelindung wanita! Ha-ha, aku yakin bahwa sekali engkau jatuh cinta, engkau akan menyerahkan segala-galanya kepada wanita. Beberapa kali engkau mengorbankan diri untuk wanita-wanita, untuk dara bernama Bi Cu itu, untuk Kui Lan dan Kui Lin, ha-ha-ha, padahal engkau selalu menolak kalau kusuruh wanita-wanita cantik melayanimu. Sungguh engkau mengherankan hatiku, Liong-te."

"Sudahlah, aku tidak ingin berbicara tentang wanita. Sebetulnya, ada keperluan apa lagi maka engkau menghadangku, Houw-ko? Masih belum puaskah hatimu telah menghinaku di hadapan banyak orang kang-ouw? Aku telah mengaku kalah, aku juga telah menerima penghinaanmu tanpa banyak melawan. Harap saja engkau tahu bahwa kini di antara kita sudah tidak ada urusan apa-apa lagi dan aku tidak ingin berurusan lagi denganmu."

Pangeran itu menggeleng-geleng kepalanya sehingga hiasan di atas topinya yang terbuat dari pada bulu itu bergerak-gerak melambai-lambai. "Tidak, Liong-te, aku belum merasa puas. Engkau tentu mengerti, tempo hari aku menghinamu dengan sengaja hanya untuk memancing kemarahanmu supaya engkau suka melawanku. Akan tetapi engkau memang manusia aneh, luar biasa sekali, tahan hinaan, tahan ujian. Engkau hebat dan inilah yang membuat aku penasaran, Liong-te. Sekarang, mau tak mau, engkau harus melayani aku untuk bertanding mengadu ilmu. Ingin sekali aku melihat apakah engkau betul-betul kalah olehku, bukan hanya pengakuan kosong belaka!"

Sin Liong merasa sebal dan muak. Dia menggelengkan kepalanya dan diam-diam hatinya merasa lega. Agaknya pangeran ini belum sempat melihat Bi Cu. Inilah satu-satunya hal yang terpenting baginya. Dia lalu berkata, "Pangeran Ceng Han Houw, di depan banyak orang aku sudah menyatakan tidak akan melawanmu, sekarang pun, aku mengulang lagi pernyataanku bahwa aku tidak mau mengadu ilmu denganmu. Ilmu yang kupelajari bukan untuk diperlombakan, bukan untuk disombongkan. Kalau engkau mau memborong gelar Pendekar Lembah Naga, atau Pendekar Nomor Satu di Dunia, silakan saja, engkau boleh memilikinya semua. Aku tidak butuh akan segala gelar itu. Nah, sekarang minggirlah dan biarkan aku lewat."

"Liong-te! Begini keras kepalakah engkau? Dengar, sekali ini, tanpa seorang pun saksi, aku memaksa engkau untuk kita saling menguji kepandaian. Mau tak mau engkau harus melayaniku, kalau tidak engkau tetap akan kuserang sampai mati! Nah, kau sambutlah ini!"

Pangeran itu sudah menerjang dengan hebatnya! Ada angin dahsyat menyambar ketika dia menyerang, padahal pukulannya itu masih jauh, dalam jarak hampir satu meter namun hawa pukulannya telah menyambar sedemikian hebatnya.....
Terima Kasih atas dukungan dan saluran donasinya🙏

Halo, Enghiong semua. Bantuannya telah saya salurkan langsung ke ybs, mudah-mudahan penyakitnya cepat diangkat oleh yang maha kuasa🙏

Traktiran: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan) ataupun bisa melalui via Trakteer yang ada dibawah

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar