Pendekar Lembah Naga Jilid 49

Yap In Hong adalah seorang wanita yang cantik jelita meski pun dalam keadaan sedang mengandung lima bulan, sedangkan Cia Giok Keng, walau pun usianya sudah mendekati lima puluh tahun, juga masih tampak cantik, maka para prajurit itu segera tersenyum dan menyeringai girang pada waktu menerima perintah yang dianggapnya menyenangkan dan sangat ringan itu.

Mereka seperti segerombolan srigala yang berebut saling mendahului hendak menerkam dua ekor kelinci. Akan tetapi begitu orang-orang pertama menerjang, ternyatalah bahwa yang disangka kelinci-kelinci gemuk itu adalah dua ekor singa betina yang amat liar dan hebat! Dua orang wanita itu langsung menggerakkan kaki tangan dan dalam segebrakan saja empat orang prajurit telah terlempar dan mengaduh-aduh, tak mampu bangkit berdiri lagi!

Gegerlah para pasukan itu dan baru teringat oleh mereka bahwa kedua orang wanita ini adalah pemberontak-pemberontak, buronan yang memiliki kepandaian amat tinggi! Maka mereka lalu mengurung dan menerjang dari semua jurusan. Terjadilah pertempuran yang hebat karena betapa pun juga, dua orang itu tidak mau menyerah begitu saja.

Sayang bahwa Yap In Hong sedang mengandung sehingga dia tidak berani mengerahkan tenaga sinkang terlalu kuat. Andai kata tidak demikian, tentu amukannya akan membuat seratus orang pasukan itu tidak berdaya, apa lagi ada Cia Giok Keng yang membantunya. Sekarang mereka dikepung rapat dan terdesak oleh serangan bertubi-tubi, biar pun tidak mudah pula bagi para prajurit itu untuk dapat merobohkan dua orang wanita perkasa ini.

"In Hong, larilah, biar aku menahan tikus-tikus ini!" kata Cia Giok Keng.

"Tidak, kita lari berdua, atau tinggal berdua!" In Hong berkata.

Mendadak Cia Giok Keng membentak ke arah para pengeroyoknya dengan suara lantang dan melengking tinggi, "Mundurlah kalian! Kami tidak ingin membunuh kalian! Akan tetapi kalau kalian mendesak, apa boleh buat, kami harus mempertahankan diri!"

Setelah berkata demikian, nyonya yang perkasa ini sudah mencabut pedangnya sehingga nampaklah sinar berkilauan putih. Nyonya itu sudah mencabut pedangnya yang sejak tadi tak pernah dipergunakan, yaitu Gin-hwa-kiam.

Memang kedua orang nyonya ini sudah beberapa kali menerima pesan dari suami-suami mereka bahwa mereka itu bukanlah pemberontak-pemberontak, oleh karena itu mereka tak boleh membunuh pasukan kerajaan yang hanya menerima perintah atasannya. Maka ketika dikeroyok tadi, mereka hanya mengandalkan kaki tangan untuk menjaga diri.

Menghadapi ancaman itu, tentu saja para prajurit tidak mau mundur, bahkan mereka kini pun mengeluarkan senjata masing-masing dan mengurung dua orang wanita itu dengan ketat.

"Lebih baik kalian berdua menyerah saja dari pada harus menghadapi kekerasan!" bentak seorang perwira.

"Majulah! Siapa maju lebih dulu akan mampus lebih dulu," In Hong yang sudah marah itu pun membentak.

Empat orang prajurit menyeringai, kemudian dengan tombak di tangan mereka menubruk ke arah nyonya cantik yang sedang mengandung ini. Akan tetapi nampak sinar hijau dan empat orang itu memekik ngeri dan roboh, tewas seketika karena mereka telah menjadi korban serangan Siang-tok-swa (Pasir Harum Beracun) yang dilepas oleh Yap In Hong tadi. Gegerlah para prajurit dan mereka itu segera menerjang dengan senjata mereka. Cia Giok Keng memutar pedangnya dan Yap In Hong juga melawan sambil kadang-kadang merobohkan beberapa orang dengan pasir beracun itu.

Tiba-tiba saja terdengar bentakan halus dari luar kepungan. "Ibu, jangan takut, aku datang membantumu!"

"Ciauw Si...!" Cia Giok Keng berseru dengan isak tertahan pada saat dia mengenal suara puterinya yang telah pergi untuk bertahun-tahun itu.

Kepungan itu mulai bobol dan rusak akibat mengamuknya Lie Ciauw Si dari sebelah luar. Dara ini marah bukan kepalang melihat ibunya terkepung, maka dia melempar-lemparkan para prajurit seperti orang melempar-lemparkan rumput kering saja!

Tingkat kepandaian Lie Ciauw Si memang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan ibunya, dan walau pun dia tidak dapat dikatakan selihai In Hong, akan tetapi nyonya ini sedang mengandung sehingga tidak dapat mengeluarkan kepandaiannya.

Munculnya dara yang mengamuk hebat itu membuat para prajurit yang tadinya memang sudah sangat gentar menghadapi kedua orang nyonya yang benar-benar lihai itu menjadi kalang kabut.

"Ibu... bibi... lari...!" Ciauw Si berseru setelah berhasil membuka kepungan itu.

Mereka kemudian melarikan diri, In Hong di depan, dan Giok Keng bersama puterinya di belakang sambil menahan para prajurit yang mengejar mereka. Dengan menggunakan ilmu berlari cepat, dan ditambah lagi karena para pengawal pengejar itu sudah merasa gentar dan mereka menanti bala bantuan, akhirnya tiga orang wanita ini dapat melarikan diri dan tidak dapat disusul lagi oleh para prajurit.

Sementara itu, Yap Kun Liong dan Cia Bun Houw juga sudah mengamuk ketika mereka dikurung oleh banyak sekali prajurit. Mereka tidak mau membunuh, hanya merobohkan para pengeroyok tanpa mengakibatkan luka parah. Memang mereka sengaja mengamuk hanya untuk menahan agar para prajurit tidak melakukan pengejaran kepada isteri-isteri mereka. Mereka melihat seorang nenek muka hitam beserta seorang wanita cantik yang berdiri di belakang pasukan, dan tahulah dua orang pendekar ini bahwa yang memimpin pengepungan ini bukan lain adalah musuh-musuh lama mereka, yaitu Hek-hiat Mo-li dan muridnya, Kim Hong Liu-nio yang lihai!

Melihat mereka, dua orang pendekar ini menjadi amat marah, akan tetapi juga kaget dan khawatir akan keselamatan isteri mereka yang telah lebih dulu melarikan diri. Dua orang wanita itu adalah orang-orang yang kejam dan cerdik, maka sebaiknya kalau mereka itu dipancing agar makin menjauhi arah larinya isteri mereka. Kun Liong lalu berteriak nyaring dan meloncat jauh sambil berseru.

"Bun Houw, lari...!"

Bun Houw tidak membantah dan meloncat, mengikuti kakak iparnya dan mereka berdua melarikan diri ke barat.

Memang sejak tadi Kim Hong Liu-nio sudah merasa amat heran melihat bahwa dua orang wanita isteri kedua orang pendekar tidak nampak. Tidak mungkin kedua orang wanita itu bersembunyi karena keduanya adalah wanita-wanita yang berkepandaian tinggi. Tentu mereka itu kebetulan sedang pergi, pikirnya. Maka ketika melihat dua orang pendekar itu melarikan diri, Kim Hong Liu-nio mengeluarkan aba-aba untuk melakukan pengejaran.

Dia maklum akan kelihaian kedua orang pendekar itu, maka walau pun dia dibantu oleh gurunya, dia tidak berani ceroboh turun tangan sendiri tanpa bantuan pasukan yang besar jumlahnya. Kim Hong Liu-nio mengira bahwa tentu dua orang pendekar itu akan memberi tahu isteri-isteri mereka untuk bersama-sama melawan pasukan atau bersama melarikan diri, maka dia mengajak gurunya untuk melakukan pengejaran.

Tentu saja Kun Liong dan Bun Houw bukan melarikan diri karena takut, melainkan untuk memancing mereka itu mengejar supaya isteri-isteri mereka sempat meloloskan diri dari Bwee-hoa-san. Mereka sama sekali tidak pernah mimpi bahwa isteri-isteri mereka itu kini tengah menghadapi pengeroyokan para prajurit yang oleh Kim Hong Liu-nio memang telah ditugaskan untuk melakukan penjagaan di sekeliling bukit itu!

Setelah merasa cukup jauh meninggalkan Bwee-hoa-san dan tak lagi berlari terlalu cepat sehingga pasukan itu dapat mengikuti mereka terus, dua orang pendekar itu berhenti di luar sebuah hutan. Dengan bertolak pinggang mereka menanti datangnya pasukan yang masih dipimpin oleh nenek muka hitam dan muridnya itu. Setelah mereka tiba dekat, Cia Bun Houw lalu membentak dengan suara lantang berwibawa,

"Berhenti kalian semua! Sebagai prajurit-prajurit kerajaan, apakan kalian telah lupa bahwa keluarga Cin-ling-pai semenjak dahulu adalah keluarga pendekar yang selalu membantu pemerintah menghadapi para pemberontak? Mendiang ayahku, Cia Keng Hong, bahkan menjadi sahabat baik dari mendiang Panglima The Hoo! Kalau sekarang kami sekeluarga dianggap pemberontak, hal itu hanyalah fitnah semata! Dan pada suatu hari kami pasti akan dapat membongkar rahasia fitnah busuk ini!"

Melihat sikap pendekar yang amat gagah itu, dan juga mendengar ucapan itu, maka para prajurit, terutama mereka yang sudah lama mengenal nama besar keluarga Cin-ling-pai, nampak gentar. Dan benar saja, mereka berhenti bergerak dan hanya berdiri memandang kepada dua orang pendekar itu. 

Melihat ini, Bun Houw dan Kun Liong cepat melompat ke depan dan masing-masing telah menerjang Kim Hong Liu-nio dan Hek-hiat Mo-li! Dua orang wanita itu cepat menyambut serangan mereka dan dari mulut Hek-hiat Mo-li keluar suara meringkik yang aneh seperti seekor kuda marah, padahal nenek ini bermaksud tertawa karena hatinya gembira sekali memperoleh kesempatan untuk bertanding melawan seorang musuh-musuhnya! Memang nenek ini sudah pikun, namun dia masih lihai sekali ketika menyambut terjangan Yap Kun Liong.

Kun Liong yang sudah maklum akan kelihaian nenek bermuka hitam ini, begitu melihat si nenek menangkis pukulannya dengan tangan kirinya, sengaja dia mengadukan lengannya kemudian seketika itu pula dia mengerahkan tenaga Thi-khi I-beng! Memang ilmu ini tidak boleh sembarangan dipergunakan, tetapi menghadapi seorang tokoh besar selihai nenek ini, dia tidak ragu-ragu lagi untuk mempergunakannya.

"Dukkk!"

Dua lengan bertemu dan menempel ketat karena Kun Liong sudah menggunakan tenaga menyedot.

"Iihhh-heh-heh-heh…!" Hek-hiat Mo-li terkekeh.

Tiba-tiba Kun Liong merasa betapa kini tenaga yang seketika tadi membanjir dari nenek itu telah berhenti sama sekali dan sebaliknya jari-jari tangan berkuku panjang yang hitam dan mengeluarkan bau busuk telah menyerang dengan gerakan menggores ke arah nadi pergelangan tangannya! Inilah serangan berbahaya sekali maka terpaksa dia menyimpan tenaga Thi-khi I-beng dan menarik kembali lengannya!

Ternyata Ilmu Thi-khi I-beng telah dapat dipunahkan secara demikian mudah dan liciknya oleh nenek itu, yaitu dengan menyimpan sinkang dan menyerang tempat berbahaya yang berdekatan dengan bagian tubuh yang menempel! Memang selama ini nenek itu sudah mempelajari semua ilmu-ilmu para musuhnya yang lihai untuk mencari jalan menghadapi ilmu-ilmu itu, termasuk Ilmu Thi-khi I-beng yang ditakuti!

Sesudah tahu bahwa Thi-khi I-beng tidak akan dapat memenangkannya melawan nenek ini, Yap Kun Liong lalu bersilat dengan gaya yang aneh sekali dan inilah ilmu silat aneh yang didapatkannya dengan mengambil inti sari kitab Keng-lun Tai-pun ciptaan Bun Ong!

“Ahhh…! Ohhh…!”

Terdengar nenek itu berkali-kali berseru karena heran dan bingungnya menghadapi ilmu silat aneh ini yang memang tidak pernah dikenal di dunia kang-ouw, merupakan ilmu silat tunggal dari Kun Liong. Akan tetapi, nenek itu pun hebat bukan main. Meski pun semua serangannya gagal menghadapi perlawanan Kun Liong, namun dia pun selalu berhasil menghindarkan diri dari pukulan-pukulan ampuh pendekar itu.

Keanehan ilmu sitat Kun Liong memang kadang-kadang menghasilkan satu atau dua kali pukulan, akan tetapi semua pukulan yang mengandung hawa sinkang amat kuat itu tidak melukai tubuhnya yang dilindungi kekebalan yang luar biasa.

Sementara itu, pertandingan antara Cia Bun Houw melawan Kim Hong Liu-nio juga amat seru dan mati-matian. Akan tetapi, jelaslah bahwa tingkat Cia Bun Houw masih jauh lebih tinggi, terutama dalam kekuatan sinkang. Pendekar ini maklum bahwa lawannya sangat lihai dan mahir bermacam-macam ilmu silat, sehingga jika dia hanya mengandalkan ilmu silat, agaknya akan sulit baginya untuk memperoleh kemenangan. Maka, Bun Houw lebih mengandalkan tenaga Thian-te Sin-ciang yang sangat kuat dan memang benarlah, begitu dia mengerahkan seluruh tenaganya, Kim Hong Liu-nio tidak kuat menghadapinya dan hanya main mundur terus, sama sekali tidak berani mengadu lengan.

Kalau dilanjutkan pertempuran dua lawan dua itu, agaknya sudah dapat dipastikan bahwa Kim Hong Liu-nio akan roboh lebih dulu, dan kalau sudah demikian, tentu Hek-hiat Mo-li yang agaknya tidak akan mungkin dapat mengalahkan Yap Kun Liong itu pun akan celaka bila mana dikeroyok dua! Kim Hong Liu-nio bisa melihat kenyataan ini, maka dia segera berteriak memerintahkan pasukan untuk turut mengeroyok! Majulah seratus lebih prajurit itu mengepung dan mengeroyok Kun Liong dan Bun Houw.

"Bun Houw, marilah kita pergi!" Yap Kun Liong berseru nyaring karena mereka maklum bahwa dikeroyok demikian banyak orang amat berbahaya, apa lagi karena mereka tidak ingin membunuh para prajurit itu.

Keduanya lalu mengirim serangan yang dahsyat ke arah dua orang wanita itu, memaksa mereka itu mundur lantas menggunakan kesempatan itu untuk meloncat tinggi ke atas, melampaui kepala para pengeroyoknya dan mereka terus berloncatan pergi dari tempat itu memasuki hutan.

Pasukan itu mengejar sambil berteriak-teriak. Akan tetapi sekali ini dua orang pendekar itu memang sengaja hendak melarikan diri, maka tentu saja dengan ilmu berlari cepat, pasukan itu tidak mungkin sanggup menyusul mereka, sedangkan guru dan murid yang kalau mau dapat menyusul itu pun merasa jeri untuk menghadapi mereka berdua saja.

Dengan jalan memutari hutan itu, akhirnya dua orang pendekar ini pun dapat melakukan perjalanan secepatnya, bergegas menyusul isteri-isteri mereka menuju ke kota pelabuhan Yen-tai, tempat tinggal Souw Kwi Beng dan isterinya, Yap Mei Lan, puteri dari pendekar Yap Kun Liong…..

********************

"Suheng, aku sute-mu Sin Liong datang menghadap!"

Sudah tiga kali Sin Liong berteriak sambil berdiri di depan goa-goa besar itu bersama Han Houw, namun belum juga ada jawaban. Seperti telah dijanjikannya, Sin Liong mengajak Han Houw mendaki ke puncak Bukit Tai-yun-san di sebelah selatan Propinsi Kwang-tung dan tiba di depan goa-goa puncak itu yang menjadi tempat tinggal suheng-nya atau lebih tepat gurunya, yaitu Ouwyang Bu Sek. Namun, sampai tiga kali dia berteriak, suheng-nya itu tidak pernah menjawab atau muncul.

"Jangan-jangan suheng-mu itu tidak berada di sini, sedang pergi," kata Han Houw dengan suara bernada kecewa.

"Dia pasti ada, Houw-ko, tadi aku sempat melihat bayangannya berkelebat ketika kita tiba di puncak."

"Kalau begitu, mengapa dia tidak keluar?" Han Houw bertanya heran, tidak enak dan juga sangat kagum bagaimana Sin Liong dapat melihat berkelebatnya bayangan itu sedangkan dia tidak.

Sin Liong kembali menghadap ke goa, mengerahkan khikang dan berseru dengan sangat nyaring, sampai gemanya terdengar dari empat penjuru, "Suheng Ouwyang Bu Sek! Aku Sin Liong datang untuk bicara dengan suheng, urusan penting sekali!"

Setelah gema suara itu lenyap, tiba-tiba terdengar suara dari... atas! Pangeran Ceng Han Houw terkejut dan memandang ke atas, akan tetapi tidak ada apa-apa di atas, meski pun dia berani bersumpah, bahwa suara itu memang terdengar dari atas, seakan-akan turun dari langit! Itulah ilmu mengirim suara dari jauh yang telah mencapai tingkat amat tinggi, sehingga dengan kekuatan khikang pemilik ilmu itu dapat mengirim suaranya dari mana pun.

"Sute, mau apa engkau bawa-bawa orang asing ke sini?"

Walau pun suara itu datangnya dari atas, namun Sin Liong tahu bahwa suheng-nya itu memang bersembunyi di dalam goa di depannya. Maka dia menjura ke arah goa itu dan berkata, "Suheng yang baik, dia ini bukanlah seorang asing, melainkan kakak angkatku bernama Ceng Han Houw! Keluarlah, suheng, dan mari kita bicara dengan baik."

"Kalau aku tidak mau keluar, kau mau apa?"

Sin Liong tidak merasa heran lagi dengan keanehan watak suheng-nya itu. Dia telah tahu bagaimana harus menanggulangi watak aneh itu, maka dengan suara dingin dia berkata, "Aku tidak mau apa-apa, hanya aku tahu bahwa suheng Ouwyang Bu Sek bukanlah orang yang berwatak bong-im-pwe-gi (orang tidak ingat budi)!"

Tiba-tiba nampak bayangan hitam berkelebat dan tahu-tahu di depan dua orang muda itu telah berdiri seorang kakek yang membuat Han Houw terkejut bukan kepalang. Kakek itu cebol dengan tubuh seperti kanak-kanak, akan tetapi kepalanya besar sekali dan botak, dan wajahnya yang sama sekali bukan kanak-kanak lagi, melainkan wajah seorang kakek tua renta yang amat lucu. Pakaiannya sederhana dan kedua kakinya telanjang.

Sekarang dengan sepasang matanya yang agak menjuling itu dia menghadapi Sin Liong sambil bertolak pinggang dan berkata penuh teguran, "Kalau engkau hendak mengatakan bahwa aku bong-im-pwe-gi, sungguh engkau terlalu sekali, sute! Hehh, satu kali engkau menyelamatkan aku dari tangan Sam-lo, apakah selamanya aku harus mengingat budi itu terus?"

"Maaf, suheng, bukan maksudku demikian. Akan tetapi aku sungguh ingin bertemu dan berbicara denganmu," kata Sin Liong sungguh-sungguh. Memang ucapannya tadi hanya dipergunakan untuk memancing keluar kakek cebol yang berwatak aneh ini, dan dia telah berhasil.

"Ho-ho, sejak dulu engkau pintar bicara. Mau apa kau ingin bertemu dengan aku? Ha-ha, bocah nakal, jangan kau bilang bahwa engkau merasa rindu kepada kakek buruk macam aku ini!" Ouwyang Bu Sek tertawa bergelak dan mulut yang terbuka lebar itu sudah tidak ada giginya sama sekali.

"Tidak, suheng, aku tidak rindu kepadamu." Sin Liong menjawab sejujurnya karena akan percuma saja membohongi suheng-nya ini. "Namun aku datang karena aku perlu sekali memperkenalkan kakak angkatku Ceng Han Houw ini kepada suheng."

Kini kakek itu menghadapi Han Houw, bertolak pinggang dan matanya yang menjuling itu memandang penuh perhatian. Dia melihat seorang pemuda remaja yang sangat tampan dan gagah, yang berdiri sambil menjura padanya, yang mempunyai sepasang mata amat tajam dan dari gerak-geriknya dia bisa menduga bahwa pemuda remaja ini tentu memiliki kepandaian yang lumayan.

"Hemmm, aku tidak suka kepadanya, dia terlalu tampan... hemm, dan dia she Ceng lagi, seperti she bangsawan istana raja! Mau apa kau bawa dia berjumpa denganku?"

"Suheng, karena dia ini adalah kakak angkatku, maka dengan sendirinya dia pun terhitung sute-mu sendiri. Houw-ko ingin sekali belajar ilmu yang tinggi di bawah pimpinan suheng."

"Wah, aku tidak mau menerima murid, apa lagi setampan ini!"

"Bukan murid suheng, melainkan sute-mu! Dia ingin belajar ilmu dari suhu kita."

"Ahh, mana bisa itu?, Sute, kenapa kau ceritakan tentang suhu...?"

"Ingat, suheng, dia ini kakak angkatku, bukan orang lain. Dan percayalah, dia ini seorang yang bercita-cita besar, malah lebih besar dari pada cita-citaku. Dia ingin menjadi orang terpandai di kolong langit, ingin menjadi jagoan nomor satu!"

"Uwah, mana bisa? Orang yang halus seperti ini mana tahan uji? Mana tahan derita? Aku tidak mau...!"

Sejak tadi Han Houw diam saja bukan karena dia tidak bisa bicara, melainkan karena dia mengikuti setiap gerak-gerik kakek itu dan mendengarkan setiap omongan, dan pangeran yang sangat cerdik ini sudah dapat menduga akan kelemahan dari kakek aneh ini, maka kini dialah yang berkata, "Locianpwe, menilai orang lain jangan melihat keadaan luarnya saja. Melihat keadaan luar locianpwe ini, siapa orangnya yang akan dapat menilai bahwa locianpwe memiliki ilmu kepandaian yang hebat? Demikian pula dengan aku, biar pun aku kelihatan begini, jangan dikira bahwa aku tidak tahan uji! Dan adikku Sin Liong ini sudah berjanji akan membawaku kepada locianpwe untuk diterima sebagai murid atau pun sute, terserah. Apa bila hal itu sampai tidak terlaksana, apakah bukan berarti bahwa locianpwe menjadi suheng dari orang yang tidak dapat memegang janji?"

Sejenak kakek itu tertegun, kemudian membanting kakinya yang kecil. "Wah-wah, kakak angkatmu ini malah lebih pintar lagi bicaranya dibandingkan engkau, sute! Dan lagaknya seperti dia ini seorang bangsawan tinggi saja! Apa artinya bagiku menjadi guru atau pun suheng dari seorang bangsawan kecil?"

Han Houw sudah dapat menduga isi hati kakek ini yang ternyata diam-diam merupakan seorang yang agaknya amat mengagungkan kedudukan tinggi, maka tanpa meragu lagi dia berkata, "Locianwe, harap jangan memandang rendah padaku! Aku memang seorang bangsawan tinggi karena aku adalah seorang pangeran, adik kaisar yang sekarang ini!"

Benar saja. Kakek itu undur dua langkah dan memandang dengan kedua mata terbelalak kepada pemuda tampan itu, lantas menoleh kepada Sin Liong dengan mata mengandung penuh pertanyaan.

Sin Liong mengangguk dan berkata, "Memang betul apa yang dikatakannya itu, suheng."

Sejenak kakek itu melongo, kemudian dia mengerutkan alisnya dan bertanya kepada Han Houw, suaranya kasar seolah-olah dia tidak tahu bahwa pemuda ini seorang pangeran!

"Hei, apa kamu bisa berdiri jungkir balik dengan kepala di bawah, kaki di atas dan kedua lengan bersedakap?"

Han Houw tersenyum mengejek. Matanya yang cerdik dapat menangkap kepura-puraan kakek itu yang agaknya tidak menghargai kedudukannya akan tetapi dia dapat menduga bahwa kakek itu sangat terkesan, dan kini hendak mengujinya.

"Apa sih sukarnya begitu saja?" katanya.

Dia memilih sebuah batu halus di depan goa, kemudian sekali menggerakkan kakinya, dia sudah berjungkir balik, dengan kepala yang bertopi itu di atas batu, dan kakinya di atas, kedua lengannya bersedakap.

"Hemm, jangan turunkan kaki sebelum kuperintahkan!" kata Ouwyang Bu Sek, kemudian dia menggandeng tangan Sin Liong. "Hayo sute, aku mau bicara denganmu!"

Keduanya lalu memasuki goa dan tidak nampak lagi, juga tidak terdengar suara mereka. Namun Han Houw yang berkemauan keras untuk memperoleh ilmu-ilmu tinggi sehingga akan terpenuhi cita-citanya menjadi jagoan nomor satu di dunia, tetap dalam keadaan jungkir balik, bahkan memejamkan matanya untuk memusatkan perhatian dan mematikan semua panca inderanya!

Ouwyang Bu Sek mengajak Sin Liong ke dalam goa dan di sini dengan suara berbisik agar jangan sampai terdengar oleh Han Houw, kakek cebol ini berkata kepada Sin Liong, "Hayo ceritakan siapa dia sebetulnya dan mengapa engkau bersusah payah membujukku untuk menerimanya sebagai murid, sute!"

Walau pun kadang-kadang dia merasa tidak cocok dengan watak Han Houw yang curang dan kejam, namun sesungguhnya Sin Liong merasa suka sekali kepada pangeran itu, apa lagi mengingat bahwa mereka sudah bersumpah mengangkat saudara. Maka sedikit pun juga dia tidak ingin menjerumuskan Han Houw ke dalam mala petaka dan sekarang pun dia masih ingin melindunginya, biar pun dia masih teingat apa yang pernah dilakukan oleh Han Houw terhadap Bi Cu untuk memaksanya. Oleh karena itulah pada saat ditanya oleh suheng-nya ini, dia masih hendak menutupi pemaksaan yang dilakukan oleh Han Houw dengan cara mengancam Bi Cu tempo hari.

"Kami memang sudah saling bersumpah mengangkat saudara, suheng, dan seperti telah diceritakannya tadi, dia adalah adik tiri seayah dengan sri baginda kaisar yang sekarang. Dia amat disayang oleh kaisar dan mempunyai kedudukan tinggi sekali di istana. Dia juga bercita-cita tinggi, ingin memiliki ilmu silat yang paling lihai, ingin menjadi jagoan nomor satu di dunia."

Wajah kakek itu berseri. "Engkau tidak membohongi aku, bukan sute? Kini aku sudah tua sekali, aku sudah tidak kuat lagi mengajarkan ilmu-ilmuku kepada seorang murld, engkau pun tahu akan hal ini, mengapa engkau memaksa dia berguru kepadaku di sini?"

"Aku bersumpah bahwa apa yang kuceritakan kepadamu tidak bohong, suheng. Dan aku pun tidak mengharapkan engkau berpayah-payah mengajarnya sendiri. Bagaimana kalau suheng mengajarkan ilmu-ilmu dari suhu kepadanya? Dia sudah kuceritakan tentang suhu Bu Beng Hud-couw, dan dia ingin sekali menjadi murid beliau."

Kakek itu nampak terkejut. "Hemm, ahhh, kau lancang, sute. Tidak mudah menjadi murid suhu, harus kulihat dulu orang itu..."

"Terserah kepada suheng, aku hanya telah berjanji membawanya ke sini untuk kemudian mempertemukannya dengan suheng dan agar suheng menerimanya."

"Nanti dulu..., bagaimana wataknya? Apakah dia seorang yang mengenal budi?"

Sin Liong berpikir sejenak lalu tanpa ragu-ragu lagi dia mengangguk. Dia mengenal watak pangeran itu. Memang Han Houw mengenal budi, sungguh pun agaknya juga tidak akan mudah melupakan kesalahan orang kepadanya. Pendeknya, pendendam dan pembayar budi yang kuat!

"Jangan khawatir, suheng. Dia seorang pangeran yang mengerti akan kedudukannya, dan dia tidak akan melupakan orang yang telah menolongnya."

Memang benar dugaan Sin Liong ini. Akan tetapi dia tidak tahu bahwa biar pun Han Houw suka membalas budi yang dilimpahkan kepadanya, akan tetapi dia lebih pendendam dan tidak akan pernah melupakan kesalahan orang kepadanya.

Watak seperti ini merupakan watak umum dari manusia! Agaknya kita akan cepat-cepat menolak dan membantah bila kita dikatakan berwatak seperti Pangeran Ceng Han Houw itu! Akan tetapi maukah kita membuka mata memandang diri sendiri dengan sejujurnya? Bukankah kita ini merupakan orang-orang yang ingin membalas budi orang lain namun di samping itu ingin pula membalas perbuatan orang lain terhadap kita yang kita anggap jahat dan merugikan?

Kita condong untuk membalas kebaikan orang dengan kebaikan yang lebih besar lagi, menghadapi keramahan orang dengan keramahan yang lebih besar lagi, namun kita pun ingin membalas kejahatan orang lain dengan kejahatan yang lebih merugikan lagi! Kalau kita diberi sejengkal kita ingin membalas sedepa, apa bila kita dicubit kita ingin balas memukul.

Tidakkah semua ini digerakkan oleh si aku yang ingin di atas selalu? Karena aku lebih dibaiki orang, aku ingin memperlihatkan bahwa aku lebih baik lagi dari dia, dari siapa pun juga. Pendeknya, agar dilihat bahwa akulah yang terbaik! Tetapi sebaliknya, kalau si aku diganggu, aku pula yang ingin membalas dengan gangguan yang lebih kejam lagi supaya hati yang mendendam, dan hati ialah si aku itu pula, menjadi puas. Si aku ingin selalu menang, ingin selalu serba lebih, tidak mau kalah baik, tidak pula mau kalah berani, biasanya si aku tidak mau menyebut lebih kejam, melainkan lebih berani!

Inilah sebabnya kenapa di antara saudara, di antara sahabat baik, di antara suami isteri, sering kali terjadi pertentangan dan percekcokan. Seribu satu kali kebaikan dari saudara, sahabat, suami atau isteri akan lenyap tanpa bekas oleh adanya sekali saja kesalahan! Pikiran ini, si aku ini, selalu mengejar kesenangan, maka apa yang menyenangkan aku, itulah baik, sebaliknya apa yang tidak menyenangkan aku, itu adalah buruk!

Apa bila setiap perbuatan didasari atas penilaian baik dan buruk yang pada hakekatnya adalah menyenangkan atau tidak menyenangkan aku, maka perbuatan yang berpusat pada diri sendiri itu sudah pasti akan menimbulkan pertentangan! Ini sudah jelas! Setelah kita membuka mata dan memandang dengan waspada dan kita dapat melihat semua ini, melihat berarti mengerti, mengerti berarti bertindak, apakah kita tidak dapat bebas dari penilaian baik buruk yang menimbulkan tindakan yang mengandung pertentangan ini?

Sesudah dia merasa yakin akan keadaan Ceng Han Houw, Ouwyang Bu Sek kemudian mengajak Sin Liong keluar.

"Sekarang kau boleh pergi, sute, apa bila engkau mau meninggalkan bocah itu di sini, terserah. Akan tetapi kalau ternyata dia tidak ada gunanya, maka dia akan kulemparkan ke dalam jurang!" kata kakek itu dengan lantang karena memang disengaja agar dapat didengar oleh Han Houw yang ternyata masih berdiri dengan jungkir balik di atas batu yang rata dan licin itu.

"Didik dia baik-baik, suheng, ingat, dia adalah kakak angkatku. Katakan kepada Houw-ko bahwa kelak kami akan dapat saling jumpa lagi. Selamat tinggal, suheng."

"Selamat jalan, sute."

Ceng Han Houw mendengar ini semua akan tetapi dia diam saja, tidak membuka kedua matanya. Dia maklum bahwa kakek cebol itu sedang mengujinya, maka dia pun hendak memperlihatkan bahwa dia merupakan seorang calon murid yang baik!

Bagi orang yang belum pernah berlatih ilmu silat tinggi, berdiri berjungkir balik seperti itu tentu saja merupakan siksaan, bahkan tidak mungkin dapat bertahan sampai lama. Akan tetapi, Han Houw adalah murid Hek-hiat Mo-li, sudah mempunyai kepandaian yang cukup tinggi, sehingga berdiri jungkir balik seperti itu hanya merupakan permainan kanak-kanak saja baginya.

Dia mendengar semua percakapan antara adik angkatnya dan kakek itu sesudah mereka keluar dari dalam goa, juga mendengar langkah kaki Sin Liong pergi dari situ. Kemudian dia dapat mendengar kakek itu pergi pula meninggalkan tempat itu sehingga keadaan di sekeliling tempat itu sunyi sekali.

Han Houw masih tetap berdiri jungkir balik. Sejam, dua jam, tiga, empat, lima jam! Celaka, pikirnya. Apa bila hanya berjungkir balik seperti itu sampai beberapa jam saja dia masih kuat, akan tetapi kalau terus dilanjutkan tanpa ada ketentuan kapan kembalinya kakek itu, benar-benar merupakan siksaan hebat. Celaka! Dia merasa serba salah!

Jika terus berjungkir balik seperti itu, setelah lewat lima jam kepalanya mulai pening dan terutama sekali lehernya mulai terasa pegal-pegal dan lelah. Akan tetapi kalau menyudahi jungkir balik itu dan menurunkan kaki, tentunya akan disalahkan oleh kakek cebol tadi. Ini merupakan ujian!

Bukankah kakek cebol tadi sudah mengatakan bahwa dia tidak boleh menurunkan kedua kakinya sebelum diperintah oleh si kakek itu? Dan sekarang kakek itu tak pernah muncul! Agaknya hendak menyiksanya atau mempermainkan, atau bisa juga menjebaknya. Kalau dia menurunkan kakinya, tentu si kakek itu akan muncul dan menyatakan bahwa dia tidak memenuhi syarat sebagai murid! Celaka, kakek cebol itu sungguh sadis!

Han Houw mempertahankan diri, memejamkan mata dan menutup panca inderanya untuk melakukan ujian itu sekuatnya. Kembali waktu merayap lewat dengan sangat melelahkan. Hari sudah menjadi gelap! Sungguh pun dia tidak membuka mata, akan tetapi dia dapat merasakan perbedaan antara terang dan gelap dari balik pelupuk matanya. Kini hari telah menjadi gelap dan kakek itu masih juga belum datang membebaskannya!

Bukan main hebatnya penderitaan yang dirasakan oleh Han Houw pada saat-saat itu. Dan malam terus merayap tanpa ada perubahan pada dirinya. Dia merasa betapa kepalanya sudah menjadi besar, sebesar gantang, sebesar kepala kakek cebol itu! Bermacam warna menari-nari di depan matanya. Kedua pundak dan lehernya seperti sudah berubah menjadi batu, kaku dan tidak dapat merasakan apa-apa lagi!

Celaka, akan matikah dia? Tetapi, Han Houw adalah seorang pemuda yang sangat keras hati dan penuh semangat, terlebih lagi di dalam mengejar ilmu yang dicita-citakannya ini. Dia berkeras tidak akan menyerah sebelum tubuhnya yang menyerah dan roboh dengan sendirinya! Maka dikeraskanlah hatinya dan dia terus berjungkir balik seperti itu sampai semalam suntuk lewat!

Menjelang pagi, dengan hati penuh dendam Han Houw sudah membayangkan kakek itu sebagai iblis jahat yang sengaja menyiksanya. Berbagai umpat caci dan kutuk memenuhi benaknya, dilontarkan kepada penyiksanya. Namun mulutnya tetap terkatup dan kedua matanya terus terpejam. Setelah matanya yang terpejam kembali melihat cahaya di luar pelupuk matanya, akhirnya telinganya mendengar langkah kaki dan tahulah dia bahwa kaki telanjang kakek botak cebol itulah yang mendekatinya lalu terdengar suara kakek itu mengomel.

"Masih bertahan juga? Hemmm, menjemukan benar anak ini! Namun aku masih belum memerintahkanmu untuk menurunkan kaki, dan coba sekarang kau taati perintahku. Nah, kau tahan pernapasanmu sesudah menyedot sebanyak mungkin hawa, kemudian dorong hawa itu ke pusar, lalu tarik naik ke kepala, ya... ya... teruskan lagi...!"

"Brukkkk!"

Tubuh Han Houw terguling bagaikan sebatang balok, kepalanya terasa nyeri bukan main, terputar-putar rasanya hingga matanya berkunang-kunang, seluruh bagian atas tubuhnya nyeri semua!

"Ha-ha-ha, heh-heh-heh, engkau kena kuakali! Ha-ha, bagaimana rasanya? Sakit? Hayo katakan, apakah engkau masih ingin belajar dari aku? Akan kuajarkan lain ilmu yang lebih menyakitkan lagi! Hayo katakan, masih terus ingin belajar?"

Han Houw memejamkan kedua matanya, berusaha mengusir kepeningan yang membuat kepalanya seperti dipukuli palu besar, dan dadanya sesak. Namun dia mempertahankan, bahkan menekan semua ini, lalu dia bangkit duduk dan menjawab,

"Aku masih ingin belajar dari locianpwe, biar sampai mati pun aku tidak gentar!"

Diam-diam Ouwyang Bu Sek merasa heran dan juga girang. Tadinya dia tidak percaya bahwa seorang pangeran akan sanggup bertahan menghadapi siksaan seperti itu. Akan tetapi ternyata anak ini keras hati, tidak kalah dibandingkan dengan Sin Liong!

"Engkau benar-benar ingin belajar?" tanyanya, mulai merasa kalah.

"Benar, locianpwe."

"Dan engkau mau membayarku dengan selaksa tail perak?"

"Hal itu mudah dilaksanakan."

"Bagaimana kalau membayarku dengan kedudukan yang tinggi di kota raja?"

"Kedudukan yang tinggi sudah sepantasnya bagi locianpwe yang berilmu tinggi. Apa bila memang dikehendaki, tentu dapat kulaksanakan pula."

Tiba-tiba kakek itu tertawa dan merasa sudah cukup menguji. Memang dia telah menguji pangeran ini dan andai kata pangeran itu tidak memuaskan hatinya, bukan hal yang tak mungkin kalau dia melaksanakan kata-katanya di depan Sin Liong kemarin, yaitu hendak melemparkan pemuda ini ke dalam jurang! Akan tetapi, sikap Han Houw yang demikian keras hati, tahan uji, dan juga janji-janji yang diberikan oleh pangeran ini kepadanya telah membuat hatinya puas sekali.

Dia membandingkan pemuda ini dengan Sin Liong dan menganggap bahwa pangeran ini malah lebih baik, lebih berguna baginya dari pada sute-nya itu! Kakek ini sama sekali tidak pernah menduga bahwa terdapat perbedaan besar sekali antara Sin Liong dan Han Houw.

Sin Liong memiliki kesederhanaan wajar dan juga memiliki kejujuran, namun sebaliknya, pangeran ini angkuh dan tidak pernah mau kalah oleh siapa pun juga, di samping itu, juga di sudut hatinya terkandung kekejaman dan kebuasan, akan tetapi semua itu ditutup oleh sikapnya yang ramah dan ini membuktikan betapa cerdik dan berbahaya dia.

Di lubuk hatinya, Han Houw merasa sakit hati dan benci sekali terhadap kakek ini yang bukan hanya sudah mempermainkannya, bahkan sudah menyakitinya dan menyiksanya. Namun kebenciannya itu sedikit pun tidak nampak pada wajahnya yang tampan!

"Heh-heh-heh, baik, baiklah! Engkau akan menjadi muridku, pangeran. Ha-ha-ha!" Sambil berkata demikian tangannya bergerak.

Han Houw merasa betapa leher dan punggungnya tertotok kemudian kesehatannya pulih kembali, peningnya lenyap, bahkan dia merasakan sesuatu kenyamanan yang aneh pada tubuhnya.

"Tubuhku terasa nyaman sekali, locianpwe!"

"Tentu saja, heh-heh-heh. Apa kau kira jungkir balik hampir sehari semalam itu tidak ada gunanya?"

Han Houw merasa tidak puas pada waktu kakek itu menyatakan bahwa dia akan menjadi muridnya. Bukan itu yang dikehendakinya. Dia harus dapat menjadi murid guru mereka, yaitu Bu Beng Hud-couw! Akan tetapi Han Houw amat cerdik, maka dia tidak menyatakan hal ini secara berterang, takut kalau-kalau kakek itu menjadi tidak senang hatinya.

"Locianpwe, aku adalah seorang pangeran dan juga kakak dari Liong-te, akan tetapi ilmu silatku kalah jauh apa bila dibandingkan dengan dia. Mana mungkin aku dapat memenuhi cita-citaku sebagai jagoan silat nomor satu di dunia ini kalau oleh adik angkatku sendiri saja aku masih kalah lihai!"

"Ha-ha-ha! Heh-heh! Tentu saja engkau tak akan menang melawan sute, sedangkan aku sendiri pun tidak akan mampu mengalahkannya!"

Han Houw mengerutkan alisnya, lalu menggeleng-geleng kepalanya dan seperti berbicara kepada diri sendiri, "Aihhh, pantas... pantas... Liong-te kadang-kadang besar kepala dan menyombongkan kepandaiannya! Ternyata dia demikian lihai sehingga locianpwe sendiri yang menjadi suheng-nya masih kalah lihai olehnya! Sungguh penasaran dan sukar untuk dipercaya bagaimana seorang suheng yang menurut Liong-te bahkan sudah membimbing dirinya dapat dikalahkan oleh sute sendiri yang dibimbingnya ini!"

"Aha, mana kau tahu, pangeran? Memang benar aku yang telah membimbingnya, akan tetapi kalau aku menjadi murid suhu hanya berhasil menafsirkan isi kitab-kitab suhu saja, sebaliknya sute telah melatih ilmu-ilmu yang amat sukar itu."

"Maksud locianpwe, gurunya dan guru locianpwe yang bernama Bu Beng Hud-couw?"

"Ha, engkau sudah tahu?"

"Liong-te pernah menceritakan kepadaku, bahkan Liong-te yang merasa paling pandai itu menyombongkan diri mengatakan bahwa sesudah dia mempelajari semua kitab dari Bu Beng Hud-couw, jangankan hanya locianpwe yang menjadi suheng-nya, meski Bu Beng Hud-couw sendiri tidak akan mampu menandinginya!"

"Omong kosong! Sombong dia!" kakek itu membentak marah dan diam-diam Han Houw merasa girang bahwa dia mulai berhasil membakar hati kakek aneh ini.

"Dan buktinya locianpwe mengaku sendiri tidak mampu menandinginya!"

"Memang benar karena aku tidak mempelajari ilmu-ilmu itu, akan tetapi akulah yang telah membimbingnya, dan mana mungkin dia dapat menandingi suhu? Berani benar dia bicara seperti itu!"

"Jalan satu-satunya bagi locianpwe adalah mempelajari sendiri kitab-kitab itu, kemudian menunjukkan bahwa tidak benar locianpwe sebagai suheng-nya kalah oleh sute-nya!"

Kakek itu menarik napas panjang, lalu duduk di atas tanah, kelihatan makin pendek dan sepasang matanya makin menjuling, wajahnya kelihatan berduka.

"Tidak mungkin... aku telah terlalu tua untuk mempelajari..."

"Jika begitu, tentu Liong-te akan tetap menyombongkan diri ke mana-mana, mengabarkan kepada seluruh dunia kang-ouw bahwa suheng-nya yang sakti, yang sangat terkenal dan bernama Ouwyang Bu Sek itu, juga suhu-nya yang maha sakti Bu Beng Hud-couw tidak akan mampu menandinginya."

"Tidak boleh... ini sama sekali tidak boleh dan harus dicegah!" Kakek yang sudah panas hatinya itu sekarang meloncat dan berjingkrak bagai cacing terkena abu panas, mukanya kemerahan dan dia sudah menjadi marah sekali.

"Sebaiknya dilaporkan saja kepada locianpwe Bu Beng Hud-couw." Han Houw memancing karena dia ingin sekali dapat berjumpa dengan manusia dewa yang ilmu-ilmunya sudah dipelajari oleh adik angkatnya itu.

"Tidak bisa... tidak mungkin... beliau tidak mungkin mau mengurus keramaian dunia... ah, tidak mungkin itu."

"Kalau begitu, masih ada satu jalan lain untuk menundukkan kesombongan Liong-te dan mencuci bersih nama baik locianpwe dan nama baik Bu Beng Hud-couw."

"Ehh? Kau ada jalan, pangeran? Bagaimana?"

"Biarlah aku yang mempelajari ilmu-ilmu dari locianpwe Bu Beng Hud-couw, dan akulah yang akan mewakili locianpwe dan Bu Beng Hud-couw untuk mengalahkan dia!"

Wajah kakek itu berseri, akan tetapi hanya sebentar. "Hemm, tetapi kitab-kitab itu sudah kubakar..., sungguh pun masih ada kitab-kitab yang belum pernah dipelajari orang, akan tetapi... ahhh, kurasa tidaklah mudah mempelajari kitab-kitab itu... dan memang sute Sin Liong lihai sekali..."

"Ilmu apakah yang telah dipelajarinya dari kitab Bu Beng Hud-couw?"

"Hanya tiga belas jurus Hok-mo Cap-sha-ciang, akan tetapi ilmu ini hebat bukan main dan sukar dikalahkan."

"Bukankah dahulu locianpwe yang membimbingnya? Tentu locianpwe dapat mengajarkan kepadaku, dan aku akan berlatih sebaik mungkin agar dapat mengatasi Liong-te."

Kembali kakek itu menggeleng kepalanya. "Tidak mungkin... kitab-kitab itu sudah kubakar dan aku tidak hafal semua isinya, hanya sebagian saja dan tentu tidak cukup untuk dilatih sempurna dan tidak akan dapat mengalahkan dia."

Akan tetapi Han Houw tidak putus asa. Dia tahu bahwa kakek di depannya ini lihai bukan main, mungkin lebih lihai dari pada suci-nya atau subo-nya, akan tetapi kalau dia hanya menerima bimbingan dari kakek ini tentu tidak akan dapat mengalahkan Sin Liong! Dia harus mempelajari ilmu-ilmu dari Bu Beng Hud-couw!

"Locianpwe, bagaimana kalau aku mempelajari kitab-kitab yang lain itu?"

"Wah, sulit sekali... sulit sekali... baru menafsirkan isinya saja aku sendiri sudah pening. Tulisan-tulisan kuno itu sukar sekali dan aku..."

"Harap locianpwe tidak memandang rendah kepadaku. Semenjak kecil aku hidup di istana yang penuh dengan simpanan tulisan-tulisan kuno dan aku pun telah banyak mempelajari isinya. Barang kali aku dapat membantu locianpwe, kemudian aku melatih ilmu-ilmu itu di bawah bimbingan locianpwe."

Kakek itu berseru girang. "Benarkah itu? Wah, kalau begitu engkau lebih hebat dari Sin Liong, pangeran! Hayo, kita melakukan upacara pengangkatan guru dan engkau menjadi sute-ku pula, jangan banyak membuang waktu!"

Bukan main girangnya hati Han Houw. Dia sudah berhasil! Maka dengan taat dia segera mengikuti kakek itu memasuki sebuah goa besar yang gelap. Goa ini berbeda dengan goa di mana dulu kakek itu membawa Sin Liong masuk. Memang, dia selalu memindah-mindahkan kitab-kitab pusaka yang disembunyikannya.

"Berlututlah, sute, dan ikuti kata-kataku."

Han Houw berlutut di samping kakek itu, menghadap ke dalam goa. Dia mencoba untuk menembus kegelapan itu dengan matanya, akan tetapi dia tidak melihat apa-apa, hanya melihat dinding batu yang gelap. Namun, tiba-tiba dia merasa bulu tengkuknya meremang dan dia merasa seram sekali, seolah-olah ada hawa aneh berada di dalam goa itu, maka cepat-cepat dia pun mengikuti kakak seperguruan yang aneh ini memberi hormat dengan berlutut delapan kali dan menirukan kata-kata sumpah yang diucapkan oleh Ouwyang Bu Sek.

"Teecu (murid) bersumpah untuk mempelaiari ilmu-ilmu dari kitab-kitab pusaka suhu Bu Beng Hud-couw dengan tekun dan mempergunakan ilmu-ilmu itu untuk menjunjung tinggi nama suhu, dan tidak akan menurunkan kepada siapa pun tanpa ijin dari suhu."

Demikianlah, Han Houw mengucapkan sumpah tanpa dia mengerti isinya. Apakah artinya ‘menjunjung tinggi nama suhu’ itu? Dan kalau dia tidak akan pernah bertemu dengan Bu Beng Hud-couw, bagaimana mungkin dia bisa memperoleh ijin suhu itu apa bila hendak menurunkan ilmu-ilmu itu kepada orang lain? Akan tetapi dia tidak peduli akan ini semua karena hatinya berdebar girang akibat usahanya sudah hampir berhasil.

Kakek itu lalu mengeluarkan sebuah peti hitam setelah dia melumuri tangan, muka dan leher juga kakinya, pendeknya semua bagian tubuh yang nampak, juga tubuh Han Houw yang tidak tertutup pakaian, dengan bubuk putih.

"Racun yang dioleskan pada peti ini dapat membunuh seketika apa bila tersentuh tangan yang tidak memakai obat penawar ini, pangeran," kata kakek itu dan Han Houw bergidik ngeri.

Diam-diam dia memperhatikan bahwa biar pun dia telah bersumpah menjadi murid Bu Beng Hud-couw, berarti dia sudah menjadi sute dari kakek ini, Ouwyang Bu Sek masih tetap menyebutnya ‘pangeran’, hal ini berarti bahwa kakek ini tetap menghargainya dan tentu mempunyai pamrih dalam cara sebutan yang menjilat itu.....!
Terima Kasih atas dukungan dan saluran donasinya🙏

Halo, Enghiong semua. Bantuannya telah saya salurkan langsung ke ybs, mudah-mudahan penyakitnya cepat diangkat oleh yang maha kuasa🙏

Traktiran: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan) ataupun bisa melalui via Trakteer yang ada dibawah

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar