Karena Ciauw Si harus membantu dua orang, maka tentu saja keadaan mereka bertiga tetap terdesak oleh dua orang kakek sakti itu dan jika dilanjutkan, agaknya tentu akhirnya seorang di antara mereka akan roboh oleh Lam-hai Sam-lo. Pada saat perkelahian sedang memuncak serunya, tiba-tiba terdengar teriakan halus,
"Lam-hai Sam-lo, kalian bikin ribut lagi? Mundurlah!"
Dua orang kakek itu memandang dan kaget bukan main melihat pemuda yang menegur mereka itu. Cepat mereka meloncat mundur dan menghampiri pemuda yang berpakaian indah itu, lalu menjatuhkan diri berlutut.
"Harap paduka mengampuni hamba, pangeran. Bukanlah hamba berdua, melainkan dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang inilah yang membikin kacau!" kata Hai-liong-ong Phang Tek dengan muka ketakutan.
Yang muncul itu bukan lain adalah Ceng Han Houw dan Sin Liong! Seperti kita ketahui, dua orang muda ini melakukan perjalanan ke selatan untuk mencari Ouwyang Bu Sek, sesuai dengan janji Sin Liong untuk membawa Han Houw kepada suheng-nya itu untuk dapat berguru kepada kakek cebol botak itu. Mereka singgah di Yen-ping dan kebetulan melihat perkelahian itu.
Meski pun ada orang berlutut kepadanya dan minta ampun, namun pada saat itu sang pangeran sama sekali tidak memandang kepada mereka, melainkan memandang kepada Lie Ciauw Si yang berdiri dengan pedang Pek-kong-kiam di tangan, berdiri dengan sikap gagah. Keringat yang membasahi kening dan lehernya, dan rambut yang kusut terjurai di atas keningnya itu menambah manis dara ini, sehingga Han Houw memandang laksana orang terkena pesona, penuh kagum.
Ciauw Si sendiri merasa sangat terkejut melihat munculnya dua orang pemuda remaja itu dan terheran-heran sesudah melihat dua orang lawan tangguh itu berlutut dan menyebut pangeran kepada pemuda yang mengenakan topi bulu indah dan berpakaian mewah itu. Akan tetapi pada waktu melihat pemuda yang tampan gagah ini memandang kepadanya, dia merasa jantungnya berdebar dan cepat menundukkan mukanya.
Sesudah dara itu menundukkan mukanya, barulah Han Houw menyadari bahwa dia tadi telah memandang kepada gadis itu secara berlebihan. Cepat dia menarik napas panjang dan kini mengalihkan pandang matanya kepada Hai-liong-ong dan Kim-liong-ong.
"Hemm, Ji-lo, apa lagi yang terjadi di sini? Kulihat engkau menyerang kedua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang."
"Pangeran, mereka itu melanggar peraturan yang telah hamba tetapkan sebagai bengcu baru atas pengangkatan paduka," kata Hai-liong-ong dengan harapan untuk mendapatkan dukungan dari pangeran ini.
Ceng Han Houw menoleh kepada Sin-ciang Gu Kok Ban dan Tiat-thouw Tong Siok. Dua orang itu berdiri dengan sikap hormat.
"Benarkan ji-wi sengaja melakukan pengacauan dan menentang bengcu?"
"Sama sekali tidak, pangeran!" Gu Kok Ban menjawab tegas. "Biasanya, semenjak dulu, perkumpulan kami selalu memberi sumbangan secara suka rela kepada bengcu, sesuai dengan kemampuan kami. Akan tetapi, sekarang kedua orang bengcu baru menentukan jumlah sumbangan yang terlalu besar bagi kami sehingga tidak dapat terbayar. Kami telah minta kelonggaran akan tetapi mereka malah marah lalu mengandalkan kepandaian untuk menyerang kami. Untunglah ada lihiap ini yang datang menolong, kalau tidak tentu kami berdua telah tewas di tangan mereka."
"Hemm, benarkah itu, Ji-lo?" bentak pangeran.
"Mereka... mereka sengaja tidak mau taat...," Hai-liong-ong mencoba untuk membantah.
"Hemm, seorang pemimpin baru dapat disebut baik bila dia itu tidak hanya mementingkan diri sendiri belaka, akan tetapi memperhatikan keluh-kesah dan kesulitan anak buahnya! Kalian menyalahkan anak buah hanya karena urusan uang, apakah kalian masih kurang memperoleh upah dari kerajaan?"
"Ampun, pangeran... hamba hanya ingin menjalankan tata tertib..."
"Diam! Kalian tak boleh menjatuhkan keputusan dan peraturan seenak kalian sendiri saja. Setiap peraturan baru haruslah diundangkan dan lebih dulu disetujui oleh semua anggota dan semua perkumpulan yang berada dalam lingkungan kita. Mengertikah kalian?"
"Hamba... hamba mengerti!" jawab Hai-liong-ong.
"Syukur... kalau tidak, tentu kalian berdua akan mengalami nasib seperti Hek-liong-ong! Nah, lekas minta maaf kepada pimpinan Sin-ciang Tiat-thouw-pang!"
Dua orang kakek itu tidak berani membantah dan mereka lalu bangkit berdiri dan menjura kepada Gu Kok Ban dan Tong Siok yang cepat membalas pula penghormatan itu.
"Juga kepada nona itu!" kata pula Han Houw.
Muka dua orang kakek itu menjadi merah. Mereka tidak mengenal nona ini, akan tetapi karena takut kalau-kalau pangeran menjadi semakin marah, mereka lalu menjura kepada Ciauw Si dan minta dimaafkan. Ciauw Si juga membalas penghormatan itu, karena dia sendiri tidak tahu bagaimana duduknya perkara, hanya tadi dia membela dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang karena melihat mereka didesak dan ditindas.
"Sekarang pergilah dan tunggu perintahku," kata Han Houw.
Dua orang kakek itu mengangguk, kembali memberi hormat dan tanpa sepatah pun kata mereka lalu pergi meninggalkan tempat itu seperti dua ekor anjing yang dibentak oleh majikannya.
Melihat semuanya ini, Ciauw Si menjadi terkejut dan terheran-heran, juga amat kagum. Pemuda yang disebut pangeran itu masih demikian muda, akan tetapi dua orang seperti dua orang kakek tadi yang mempunyai kepandaian hebat sekali, bahkan setingkat dengan kepandaian tokoh-tokoh terbesar di dunia kang-ouw, bersikap demikian takut-takut dan tunduk kepada pangeran muda ini! Betapa besar pengaruh dan kekuasaan pangeran ini, pikirnya.
Akan tetapi dia tidak berani bertemu pandang secara langsung dengan Han Houw, karena setiap kali bertemu pandang dia melihat seolah-olah pandang mata pemuda bangsawan ini menembus dan menjenguk ke dalam hatinya. Ciauw Si merasa jantungnya berdebar aneh, dan tanpa disadarinya, kedua pipinya menjadi merah sekali. Walau pun dia sudah berusia dua puluh empat tahun dan merupakan seorang gadis yang cantik sekali, namun belum pernah dia jatuh cinta, belum pernah dia tergila-gila kepada seorang pria, dan baru sekali ini dia mempunyai perasaan yang aneh sekali ketika berhadapan dengan Pangeran muda ini!
Sekarang Han Houw menghadapi dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang dan Ciauw Si yang masih berdiri menundukkan muka dan pedang tadi telah disimpannya kembali ke dalam sarung pedang yang tergantung di punggungnya. Sejenak Han Houw memandang wajah yang menunduk itu, kemudian berkata sambil tersenyum kepada Gu Kok Ban,
"Aihh, ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang boleh merasa beruntung sekali telah memperoleh seorang pembantu seperti nona ini yang amat lihai."
"Maaf, pangeran, sebenarnya kami selamanya belum pernah bertemu dengan lihiap ini, sama sekali tidak pernah mengenalnya dan baru sekarang kami bertemu dengan lihiap ini yang datang-datang langsung menolong kami. Bahkan kami belum sempat menghaturkan terima kasih kepadanya."
"Ahhh... sungguh mengagumkan! Kalau begitu nona tentu seorang pendekar wanita yang gagah perkasa dan budiman!" Han Houw memuji, sikapnya bagaikan orang yang lebih dewasa, padahal usia pangeran ini baru sekitar delapan belas atau sembilan belas tahun saja sedangkan nona itu sudah berusia dua puluh empat tahun.
Melihat betapa nona yang cantik dan gagah perkasa itu semakin menunduk mendengar pujian ini, Han Houw lalu berkata lagi, "Bolehkan kami mengetahui siapakah nama nona dan mengapa nona turun tangan membantu kedua ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang yang tidak nona kenal ini?"
Dengan jantung berdebar karena merasa sangat malu terhadap pangeran ini, suatu hal yang sangat mengherankan bagi Ciauw Si sendiri, gadis ini mengangkat mukanya yang menjadi kemerahan dan menjura kepada mereka semua dengan sekali gerakan saja, lalu berkata, suaranya halus,
"Namaku adalah Lie Ciauw Si dan maafkanlah apa bila aku lancang mencampuri urusan orang-orang lain yang sama sekali belum kukenal. Kalau tadi aku sampai turun tangan membantu ji-wi pangcu ini, adalah aku melihat mereka diperlakukan dengan sewenang-wenang oleh dua orang yang menyebut diri mereka bengcu tadi."
Semenjak kecil Ciauw Si ikut kakeknya dan hidup di kalangan orang-orang gagah, maka dia tidak biasa terikat oleh segala peraturan sopan santun, dan wataknya terbuka serta jujur. Itulah pula sebabnya mengapa di hadapan seorang pangeran, dia masih bersikap begitu bersahaja dan seakan-akan tidak menghormati pangeran itu yang biasanya selalu dihormati dan dijilat oleh sikap orang-orang di sekitarnya.
Sikap dara ini saja sudah menimbulkan perasaan suka yang sangat besar di dalam dada Han Houw. Sikap seperti itu pulalah yang diperlihatkan Sin Liong maka pangeran itu pun merasa suka kepadanya, dan kini, begitu berjumpa, memang hatinya sudah amat tertarik oleh wajah, tubuh, dan kegagahan Ciauw Si, maka sikap terbuka ini makin memperbesar rasa sukanya.
Dengan wajah berseri Han Houw berseru, "Ahhh, ternyata nona seorang pendekar yang gagah perkasa dan budiman, yang tanpa memandang bulu selalu akan membantu fihak tertindas. Sungguh kami merasa kagum sekali, nona Lie!"
"Dan kami berdua beserta seluruh anggota Sin-ciang Tiat-thouw-pang juga menghaturkan banyak terima kasih atas budi pertolongan lihiap," Gu Kok Ban berkata sambil menjura, lalu dia mempersilakan pangeran bersama Sin Liong yang sudah mereka kenal sebagai seorang pemuda luar biasa berilmu tinggi, juga Ciauw Si, untuk duduk di dalam.
Mula-mula Ciauw Si menolak. "Terima kasih, aku hanya kebetulan lewat saja dan setelah urusan ini selesai aku hendak melanjutkan perjalananku."
"Aihh, Lie-siocia, mengapa begitu sungkan? Setelah pertemuan yang amat kebetulan ini, agaknya kita sudah ditakdirkan untuk menjadi sahabat, apa lagi kalau mengingat bahwa baru saja nona sudah menyelamatkan nyawa ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang, maka aku ikut mengharap agar nona sudi memenuhi undangan kami, dan berbicara di dalam untuk mempererat persahabatan," kata Han Houw.
Ciauw Si tersenyum dan tidak mampu menolak lagi. Gu Kok Ban dan Tong Siok dengan sibuk lalu memerintah anak buahnya agar mempersiapkan pesta kecil untuk menghormati pangeran, Sin Liong dan Ciauw Si.
"Perkenalkanlah, Lie-siocia, aku adalah Ceng Han Houw, adik tiri dari sri baginda kaisar dan aku adalah kuasanya dalam melakukan pemeriksaan ke daerah-daerah. Dan dia ini bernama Sin Liong, adik angkatku yang lihai!"
Han Houw tidak mau menyebutkan nama keturunan Sin Liong, sesuai dengan keinginan Sin Liong. Dia sedang berusaha mengambil hati dan menyenangkan Sin Liong, maka dia tak mau menyinggung perasaan adiknya itu. Dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang juga memperkenalkan diri kepada Lie Ciauw Si yang dijamu dengan segala kehormatan itu.
Semenjak tiba di tempat itu, Sin Liong tidak pernah membuka mulut dan dia tidak begitu mempedulikan nona yang gagah perkasa itu karena memang tidak mengenalnya.
"Apa bila kami boleh mengetahui, Lie-lihiap murid dari perguruan manakah? Ilmu silatmu sungguh sangat lihai dan mengagumkan sekali, bahkan kami orang-orang tua yang bodoh tak dapat mengenalnya," kata Tong Siok dengan suaranya yang parau dan besar, sesuai dengan tubuhnya yang tinggi besar, kepala botak dan mukanya yang bopeng kasar.
"Ah, ji-pangcu, ilmu silatku hanya hasil kupelajari dari sana-sini, tidak ada harganya untuk disebut," jawab dara itu secara sembarangan saja, dan jelas bahwa gadis ini memang tak ingin memperkenalkan perguruannya. Melihat ini, Pangeran Ceng Han Houw tertawa.
"Hemm, pangcu, banyak pendekar yang tidak ingin diketahui asal-usulnya, dan Lie-siocia ini agaknya juga termasuk seorang di antara para pendekar budiman yang penuh rahasia, maka janganlah bertanya tentang sumber kepandaiannya yang tinggi."
Mereka makan minum dan seperti biasanya, Han Houw pandai sekali bersikap ramah dan menyenangkan. Ada saja bahan percakapan bagi pangeran yang memang cerdik ini, apa lagi karena hatinya memang sangat tertarik kepada gadis itu, maka dia bersikap manis sekali sehingga diam-diam Ciauw Si makin tertarik.
Secara memutar dan tak langsung, seolah-olah bercerita sambil lalu saja, pangeran yang masih amat muda ini menyatakan betapa dia sangat dikasihi oleh sri baginda, dipercaya sekali sehingga memiliki kekuasaan besar di istana. Lalu diceritakannya tanpa disengaja agaknya, bahwa dia masih belum menemukan seorang wanita yang dianggapnya patut untuk mendampinginya.
"Sebagai seorang pangeran yang dekat dengan kaisar, tentu saja banyak gadis diberikan kepadaku," katanya sambil tersenyum dan menggerakkan kedua pundak seakan-akan dia ‘terpaksa’ oleh keadaan itu, "akan tetapi sesungguhnya aku sudah merasa muak dengan wanita-wanita yang hanya pandai bersolek, bernyanyi atau menari itu, karena mereka itu adalah orang-orang lemah. Padahal sejak kecil aku paling suka akan kegagahan!"
"Ilmu kepandaian silat dari Pangeran Ceng Han Houw amat tinggi, lihiap," kata Tong Siok, bukan untuk menjilat tetapi berkata dengan sejujurnya karena dia pun sudah tahu bahwa pangeran ini memiliki kepandaian yang amat lihai.
Mendengar ini, semakin kagumlah hati Ciauw Si. Hebat pemuda bangsawan ini, pikirnya. Begitu tampan dan ganteng, gagah perkasa, berkedudukan tinggi, manis budi bahasanya pandai bergaul dan tidak sombong, dapat menguasai orang-orang kang-ouw yang gagah dan lihai, dan ternyata malah mempunyai kepandaian yang tinggi pula! Jarang menjumpai seorang pria seperti ini memang!
Agaknya Han Houw dapat menyelami isi pikiran gadis itu melalui sinar mata mereka yang saling bertemu. Kini Ciauw Si lebih berani menentang pandangan mata pangeran itu, dan beberapa kali dia merasa betapa pandang mata yang bersinar tajam itu penuh arti ketika bertemu dengan pandang matanya.
Juga sang pangeran merasa betapa gadis itu kini tidak mengelak lagi, bahkan berusaha untuk menyatakan perasaan melalui sinar mata dan senyum pada bibirnya yang indah itu. Maka bangkitlah Han Houw, menjura ke arah Ciauw Si, kemudian berkatalah pangeran ini dengan suaranya yang halus dan kata-katanya yang teratur rapi seperti layaknya seorang pangeran yang berpendidikan tinggi.
"Lie-siocia, sudah semenjak jaman dulu para pendekar selalu mengutamakan perkenalan melalui ilmu silat yang menjadi kebanggaannya dan yang dilatihnya semenjak kecil. Kini, biar pun kita telah saling berkenalan, namun rasanya masih belum puas hati ini kalau aku belum mengenal ilmu kepandaian nona secara langsung. Maka, berilah kehormatan dan kebahagiaan padaku untuk mengenal ilmu silatmu, nona!" Ini merupakan tantangan untuk adu ilmu, tantangan yang amat halus dan sopan.
Wajah Ciauw Si kembali menjadi kemerahan. Dia cepat-cepat membalas penghormatan pangeran itu, berdiri dengan sikap lemah gemulai.
"Ahh, mana aku berani, pangeran? Kepandaianku biasa saja, sebaliknya pangeran tentu memiliki kepandaian yang amat hebat, karena dengan kedudukan pangeran yang begitu tinggi, apa sulitnya mencari guru yang amat pandai! Pula, ilmu pukulan adalah permainan yang berbahaya, maka aku khawatir kalau-kalau tangan kita yang tidak bermata ini akan mendatangkan mala petaka."
Ini bukan penolakan mutlak, bukan pula tanda takut, bahkan mengandung kekhawatiran kalau sampai mencelakakan pangeran itu. Han Houw tersenyum, "Nona, jangan mengira aku tidak tahu bahwa nona sudah mencapai tingkat yang sedemikian tingginya sehingga di setiap ujung jari nona seakan-akan sudah bermata, mana mungkin melukai orang kalau tidak dikehendaki oleh nona sendiri? Marilah, harap nona tidak sungkan karena sungguh aku ingin sekali menyaksikan kelihaian nona."
"Kami pun berharap agar lihiap sudi membuka mata kami dengan ilmu lihiap yang tinggi dan agar pertemuan ini menjadi semakin menggembirakan," kata pula Sin-ciang Gu Kok Ban memuji. Diam-diam ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang ini pun ingin sekali menyaksikan sendiri kelihaian sang pangeran yang hanya pernah didengarnya saja.
Oleh karena pada dasarnya Ciauw Si memang ingin sekali menguji kepandaian silat dari pangeran yang amat menarik hatinya ini, akhirnya setelah semua orang kecuali Sin Liong membujuknya, dia lantas berkata, "Baiklah, pangeran, akan tetapi kuharap pangeran suka menaruh kasihan dan jangan menurunkan tangan besi."
"Ha-ha-ha, nona bisa saja merendah. Akulah yang mohon kemurahan nona agar jangan sampai aku roboh mengukur tanah dalam beberapa jurus saja. Nah, silakan, nona."
Han Houw sudah menjauhkan diri dari meja kursi, berdiri di tengah ruangan yang lebar itu menanti Ciauw Si. Dua orang ketua itu memandang penuh perhatian, ada pun Sin Liong yang tidak merasa tertarik karena dia sudah mengenal betul watak pangeran yang mata keranjang dan pandai merayu wanita itu merasa jemu dan juga tidak senang, melanjutkan makan minum dan nampaknya tidak mengacuhkan pertandingan adu ilmu itu.
"Mulailah, pangeran," Ciauw Si berkata setelah berhadapan dengan pangeran itu, segera memasang kuda-kuda dengan gagahnya dan tersenyum manis, matanya menyambarkan kerling maut yang membuat jantung Han Houw makin terguncang.
Memang kekuasaan cinta asmara benar-benar mengherankan. Sekali Ciauw Si terpikat, maka secara otomatis muncullah sifat-sifat kewanitaan yang penuh pikatan dalam dirinya, karena terbawa naluri kewanitaannya! Padahal biasanya, gadis pendekar ini lebih dikenal sebagai seorang wanita yang keras dan agak dingin bila menghadapi kaum pria, bahkan mudah marah kalau mendengar mulut pria mengeluarkan kata-kata yang menggoda, atau melihat pandang mata yang penuh kagum ditujukan kepadanya. Sekarang dia memasang kuda-kuda dengan gerakan indah dan mempersilakan lawannya sambil tersenyum manis!
"Ahhh, engkau terlampau sungkan, Lie-siocia. Biarlah aku bergerak lebih dulu, maafkan," Tiba-tiba Han Houw lalu bergerak maju dan mengirim serangan yang cukup cepat dan dia menggunakan tenaga sinkang-nya yang kuat. Memang pangeran ini ingin sekali menguji sendiri kepandaian dara yang telah menjatuhkan hatinya ini.
"Hiaattttt...!"
Dia menyusulkan serangan lain sehingga secara bertubi-tubi pangeran ini telah mengirim empat kali pukulan yang susul menyusul, sangat cepat dan angin pukulan sampai terasa oleh mereka yang duduk di depan meja. Dua orang ketua itu terkejut bukan main karena dari serangan pertama ini saja sudah membuktikan bahwa nama besar pangeran muda ini bukanlah nama kosong belaka.
"Haaaiiitttt...!"
Ciauw Si bergerak dengan amat indah, langkah-langkahnya teratur dan tubuhnya seperti menari-nari ketika dia mengelak secara beruntun dengan sangat mudahnya, seolah-olah serangan yang sangat cepat serta bertenaga itu bukan apa-apa baginya, dan dia masih sempat melempar kerling dan senyum.
Akan tetapi, pada saat itu Sin Liong tertegun di atas kursinya. Dia mengenal ilmu silat yang dimainkan oleh gadis itu! Itulah langkah-langkah Thai-kek Sin-kun! Tidak salah lagi! Thai-kek Sin-kun yang dimainkan dengan amat baiknya oleh gadis itu. Mudahlah diduga bahwa tentu gadis itu menerima pelajaran Thai-kek Sin-kun dari tangan pertama!
Ada hubungan apakah antara gadis ini dengan mendiang kakeknya, atau dengan ayah kandungnya? Mulailah Sin Liong tertarik sekali dan sekarang dia pun mengikuti jalannya pertandingan itu dengan penuh perhatian.
Diam-diam Ceng Han Houw juga girang dan kagum sekali. Tepat dugaannya. Nona ini bukanlah seorang gadis kang-ouw biasa, bukan seorang ahli silat biasa. Jelas bahwa ilmu silatnya bersumber dari ilmu silat yang amat tinggi! Maka makin hebatlah dia melancarkan serangannya.
Akan tetapi semua serangan Han Houw dapat dielakkan atau ditangkis dengan baiknya oleh gadis itu! Bahkan ketika pangeran itu sengaja mengerahkan tenaga dan mengadu lengan untuk menguji tenaga lawannya, dia merasakan lengannya tergetar, tanda bahwa lengan halus itu penuh berisi tenaga sinkang pula! Makin kagum dan tertarik pula hatinya. Benar-benar seorang dara yang jarang terdapat, seorang gadis pilihan!
Di lain fihak, Ciauw Si juga terkejut dan kagum bukan main. Biar pun dia mengenal ilmu silat pangeran ini sebagai ilmu silat tingkat tinggi yang bersumber dari ilmu silat golongan sesat, namun harus diakuinya bahwa ilmu silat yang dimiliki pangeran itu amat hebat, dan tenaga sinkang-nya juga amat kuat! Kiranya pangeran ini benar-benar seorang yang lihai! Karena ingin memamerkan kepandaiannya, gadis itu tiba-tiba mengubah gerakannya dan tiba-tiba saja tubuhnya berputaran seperti gasing dan dengan gerakan ini dia menyerang lawan!
"Ehhhh...!" Pangeran Ceng Han Houw terkejut sekali.
Terpaksa dia main mundur dan bersikap waspada, dan karena tubuh gadis itu berpusing sedemikian cepatnya sambil keempat kaki tangannya kadang-kadang menyerang secara tiba-tiba, Han Houw tidak dapat mengandalkan kelincahan tubuh mengelak, namun harus menjaga diri dengan tangkisan-tangkisan cepat.
Kembali Sin Liong menahan napas. Itu adalah In-keng Hong-wi (Awan Mencipta Angin dan Hujan), jurus ke delapan dari San-in Kun-hoat! Jelaslah bahwa gadis ini memang ada hubungannya dengan Cin-ling-pai, tidak salah lagi!
Dengan jurus yang hebat ini, Pangeran Han Houw langsung terdesak. Pangeran ini cepat menggunakan langkah-langkah Pat-kwa-po maka barulah dia berhasil menghindarkan diri dari serangan dahsyat itu.
"Hebat...!" serunya kagum ketika nona itu menghentikan serangannya dengan jurus luar biasa itu.
Tiba-tiba saja Ceng Han Houw melakukan dorongan kedua tangannya ke depan. Melihat betapa dahsyatnya serangan ini, dan terutama karena ingin menguji tenaga lawan, juga ada dorongan dari hatinya untuk mengadu telapak tangan dengan pangeran yang makin menarik hatinya itu, Ciauw Si cepat mendorongkan kedua tangannya pula.
"Plakkk!"
Dua pasang telapak tangan itu saling bertemu dan untuk beberapa detik lamanya mereka saling dorong. Ciauw Si merasa betapa kuatnya lawan, dan dia hampir saja tidak mampu menahan ketika tiba-tiba pangeran itu mengurangi tenaganya sehingga kekuatan mereka berimbang.
Tentu saja Ciauw Si merasakan hal ini dan kini mereka merasakan betapa ada getaran-getaran halus menjalar melalui dua telapak tangan mereka yang saling melekat, getaran yang aneh dan terus menjalar sampai ke jantung, yang membuat pipi mereka berwarna merah sekali dan kedua mata mereka saling pandang bagaikan tidak mau berpisah lagi. Pandang mata yang mengandung kemesraan, dan getaran dari sentuhan telapak tangan itu berubah hangat dan nikmat, mendatangkan rasa malu kepada Ciauw Si yang cepat menarik kedua tangannya sambil berseru,
"Aku mengaku kalah...!"
Ceng Han Houw tertawa. "Ha-ha-ha, sungguh nona terlampau merendah! Selama hidup belum pernah aku Pangeran Ceng Han Houw berjumpa dengan seorang yang demikian lihai seperti nona. Sungguh aku merasa takluk dan kagum sekali, Lie-siocia!"
"Pangeran terlalu memuji..." Ciauw Si tersipu malu, akan tetapi isi hatinya hanya dia yang tahu, girang dan bangga bukan main!
Mereka melanjutkan makan minum dan Sin Liong hanya mendengarkan saja ketika Han Houw dan dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang memuji-muji Ciauw Si. Akan tetapi kini dia pun mulai memperhatikan nona itu karena dia amat tertarik melihat ilmu-ilmu silat Cin-ling-pai dimainkan secara demikian baiknya oleh nona ini.
Ia teringat akan cucu perempuan yang pergi meninggalkan Cin-ling-pai untuk mencari Cia Bun Houw, ayahnya! Gadis inikah cucu kakeknya itu, keponakan dari ayah kandungnya? Agaknya, melihat ilmu silatnya, tidak akan salah lagi kalau gadis ini menerima semua ilmu yang dimainkannya tadi dari kakeknya secara langsung, karena melihat betapa sempurna dan baiknya dia memainkannya.
Sayang bahwa dahulu dia tidak begitu memperhatikan sehingga sama sekali lupa akan nama cucu kakeknya atau saudara misannya itu ketika kakeknya menyebutkan nama itu secara sambil lalu. Benarkah nona Lie Ciauw Si ini keponakan ayah kandungnya? Akan tetapi, oleh karena dia sendiri hendak menyembunyikan hubungan keluarga dengan fihak Cin-ling-pai, maka dia pun diam saja, hanya dia berkeputusan untuk memperhatikan gadis ini dan melindunginya dari mara bahaya!
"Eh, Liong-te, kenapa sejak tadi kau diam saja? Apakah engkau tidak kagum melihat ilmu kepandaian Lie-siocia yang demikian hebatnya?"
Sin Liong terkejut dan mukanya berubah merah ketika semua orang, juga nona cantik itu memandang kepadanya.
"Lie-siocia, engkau tidak tahu bahwa adik angkatku ini memiliki ilmu silat yang amat tinggi, jauh lebih tinggi dari pada tingkat ilmuku sendiri!" kata pula sang pangeran sambil tertawa kepada Ciauw Si.
Mendengar ini, terkejutlah Ciauw Si. Dia tadi sudah melihat pemuda remaja yang tampan dan pendiam itu, tetapi sama sekali tidak memperhatikannya. Namun sekarang pangeran itu menyatakan bahwa adik angkat pangeran ini mempunyai kepandaian lebih tinggi lagi! Padahal pangeran itu sendiri sudah memiliki kepandaian hebat!
Maka gadis ini memandang dengan kaget dan penuh keheranan kepada Sin Liong, lalu dia pun berkata, "Ahh, pengertianku dalam ilmu silat masih amat dangkal..."
Mendengar ini, Sin Liong merasa kasihan terhadap nona ini. Seorang nona yang gagah perkasa, tetapi di balik pandang mata yang membayangkan kekerasan hati itu terkandung keramahan dan agaknya nona ini sudah terdidik baik untuk merendahkan diri, maka dia cepat bangkit berdiri kemudian menjura. "Ilmu silat Lie-lihiap sungguh amat tinggi sekali! Sungguh aku merasa kagum."
Ciauw Si balas menjura dan mengucapkan terima kasih atas pujian itu. Kemudian atas bujukan fihak tuan rumah yang diperkuat oleh Pangeran Ceng Han Houw, akhirnya Ciauw Si merasa sungkan untuk menolak ketika dia dipersilakan untuk tinggal selama beberapa hari di situ.
Selain fihak tuan rumah amat ramah dan baik kepadanya, juga adanya pangeran itu di situ merupakan daya tarik yang sangat kuat karena diam-diam gadis ini ingin berkenalan lebih akrab dengan Han Houw. Sementara itu, diam-diam Sin Liong selalu mengamati dan menjaga agar dara itu jangan sampai diganggu siapa pun juga.
"Nona Lie Ciauw Si, aku tak perlu menyembunyikan perasaanku kepadamu lagi, aku jatuh cinta kepadamu, nona."
Hening sekali di dalam taman itu mengikuti ucapan Han Houw ini. Mereka duduk saling berdampingan di atas bangku panjang dalam taman di belakang rumah ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang. Semenjak tadi mereka duduk dalam taman bercakap-cakap dan setelah tinggal dua hari di situ, Ciauw Si sudah menjadi sahabat baik Han Houw. Mereka makin saling tertarik dan akhirnya, pada senja itu, ketika mereka duduk bercakap-cakap dalam taman, Han Houw dengan terus terang menyatakan cintanya!
Mendengar ucapan itu, Ciauw Si segera mengangkat muka memandang wajah pangeran itu dengan sinar mata tajam penuh selidik. Sekarang dia sudah bisa menguasai rasa malu dan sungkan terhadap pangeran yang selalu ramah dan manis budi kepadanya itu, dan saat mendengar pengakuan hati ini, dia ingin sekali meyakinkan dirinya bahwa pangeran itu bicara dari lubuk hatinya.
"Jangan kau ragu-ragu, nona, aku sungguh telah jatuh cinta kepadamu semenjak pertama kali berjumpa, aku kagum melihat kepandaian, kagum melihat kegagahanmu, dan kagum melihat kecantikanmu. Aku cinta padamu dan aku ingin dapat hidup bersamamu sebagai suami isteri."
Meski pun usianya baru sembilan belas tahun, namun Han Houw sudah memiliki banyak pengalaman dengan para wanita, maka mengaku cinta secara terang-terangan seperti itu bukan merupakan hal yang aneh baginya dan dapat dilakukannya dengan tenang-tenang saja! Tidak demikian dengan Ciauw Si. Walau pun usianya sudah dua puluh empat tahun, namun pengalaman ini merupakan yang pertama kali dalam hidupnya!
"Pangeran, sesungguhnyakah apa yang kau ucapkan tadi?" akhirnya terdengar Ciauw Si bertanya, suaranya halus tergetar karena hatinya merasa terharu.
Pangeran itu memegang tangan Ciauw Si, dan dari pertemuan antara kedua tangan itu kembali terdapat getaran halus yang langsung keluar dari perasaan hati mereka.
"Ciauw Si, apakah engkau tak percaya kepadaku? Pandanglah mataku dan engkau tentu dapat menjenguk hatiku melalui mataku. Sungguh mati, selama hidupku baru sekali ini aku jatuh cinta, walau pun sudah banyak wanita diberikan kepadaku sebagai selir. Belum pernah aku jatuh cinta kepada wanita seperti sekali ini, Ciauw Si. Aku cinta kepadamu, perlukah aku bersumpah?"
"Mungkinkah itu? Engkau adalah seorang pangeran yang berkedudukan tinggi sekali, ada pun aku... aku hanyalah seorang gadis..."
"Yang cantik dan manis, yang gagah perkasa, yang budiman, juga aku percaya dan yakin bahwa engkau adalah keturunan keluarga yang amat gagah perkasa!" sambung pangeran itu dan dengan penuh perasaan dia menggenggam tangan yang kecil hangat itu. Namun dengan lembut Ciauw Si menarik tangannya dari genggaman sang pangeran, kemudian menunduk dan alisnya berkerut.
"Tetapi, pangeran... hendaknya kau ingat baik-baik bahwa aku tentu jauh lebih... tua dari padamu! Ingat, usiaku sekarang sudah dua puluh empat tahun dan engkau tentu paling banyak dua puluh... dan..."
Akan tetapi Han Houw sudah merangkulnya dan membiarkan Ciauw Si terisak menangis di pundaknya. Dia mengelus rambut yang halus itu, mulutnya berbisik mesra dekat telinga Ciauw Si.
"Ciauw Si... kenapa engkau meragukan semua itu? Cinta kasih tidak mengenal usia, tidak mengenal kedudukan, bukan? Aku cinta padamu, berikut keadaanmu, kedudukanmu, dan usiamu. Aku mencinta engkau, karena engkau adalah engkau! Nah, apakah kini engkau masih ragu, Ciauw Si? Aku akan mengawinimu, bukan hanya menjadi selirku, aku akan mengambilmu sebagai isteri!"
"Tapi... tapi..."
Tiba-tiba saja Han Houw memegang kedua pundak gadis itu, lalu mendorongnya halus ke belakang sehingga mereka kini saling berhadapan, beradu pandang. "Dengar baik-baik, Ciauw Si! Aku cinta kepadamu, dan tidak ada hal-hal yang akan dapat menahan cintaku kepadamu, kecuali satu, yaitu apa bila engkau tidak dapat menerimanya! Akan tetapi, dari sikapmu, dari pandang matamu, dari suaramu, aku benar-benar yakin bahwa engkau pun cinta kepadaku, bukankah benar dugaanku, Ciauw Si?"
Sejenak mereka saling memandang dan perlahan-lahan ada dua butir air mata mengalir turun di atas kedua pipi yang agak pucat itu. Ciauw Si mengangguk, dan bibirnya berbisik lirih, "Aku... aku cinta padamu, pangeran..."
Gadis itu tidak melanjutkan kata-katanya, tidak dapat karena dengan cepat dan dibarengi seruan tertahan saking gembiranya Han Houw sudah menarik tubuh gadis itu ke dalam dekapannya, kemudian dia mencium bibir gadis itu dengan sepenuh hatinya!
Ciauw Si tersentak kaget. Selamanya baru sekarang dia mengalami ini dan kekagetan membuat tubuhnya menegang kaku, akan tetapi ketika dia merasakan ciuman mesra dari pria yang telah menjatuhkan hatinya itu, dia menjadi terharu lalu dia pun balas merangkul dan membiarkan dirinya hanyut dalam kemesraan yang timbul karena ciuman mesra itu.
Bagai dalam keadaan mimpi atau setengah sadar, Ciauw Si menyerah saja ketika dipeluk, dibelai, diciumi seluruh mukanya dan dia tenggelam ke dalam kemesraan yang membuat dirinya seperti mabuk. Setelah gelombang kegairahan yang menggelora itu agak mereda, Ciauw Si merebahkan kepala di atas dada pangeran itu dalam keadaan lemas laksana kehabisan tenaga.
Dia mendengar suara jantung pangeran itu yang berdentaman keras di dekat telinganya dan dia merasa sangat berbahagia, perasaan yang baru sekarang dirasakannya selama hidupnya. Jari-jari tangan yang membelai rambutnya itu terasa amat mesra, membuatnya memejamkan mata dengan hati merasa tenteram dan damai.
"Yakinkah engkau kini akan cinta kasih antara kita berdua, Ciauw Si? Lenyapkah sudah keraguanmu bahwa aku mencintamu dengan seluruh jiwa ragaku, dan bahwa sebenarnya engkau pun mencintaku?"
"...aku yakin... demi Tuhan, aku yakin dan bahagia... aku tak ragu-ragu lagi, pangeran...," bisik gadis itu dengan suara menggetar dan bibir tersenyum penuh kebahagiaan. Ciuman-ciuman tadi masih membuatnya pening, namun kepeningan yang penuh nikmat, seperti orang mabuk arak yang baik.
"Kekasihku... calon isteriku yang baik, kalau begitu mari kau ikut bersamaku ke kamarku, akan kubuktikan kepadamu cinta kasihku yang mendalam, Ciauw Si..."
Akan tetapi, begitu mendengar kata-kata ini, secepat kilat Ciauw Si menarik tubuhnya dari pelukan pangeran itu, cepat meloncat ke belakang lalu memandang dengan mata berkilat kepada pangeran itu.
"Kau... kau..."
Pangeran Ceng Han Houw terkejut bukan main melihat perubahan pada diri kekasihnya ini. "Ciauw Si, mengapa kau? Kau kelihatan marah, kenapa?"
"Pangeran, seperti itukah cintamu?"
"Ehh...? Kenapa? Apa salahku kepadamu, Ciauw Si?"
Wajah itu menjadi merah dan suaranya terdengar kaku dan dingin, "Hemm, engkau masih bertanya lagi? Engkau... mengajakku ke kamarmu! Patutkah itu? Begitu kotor dan rendah cintamu!"
Kini pangeran itulah yang terbelalak. "Ahhh? Bagaimana ini? Apa salahnya bagi kita yang saling mencinta untuk menumpahkan dan membuktikan cinta kasih antara kita di dalam kamar? Apa kotornya dan apa rendahnya hal itu, Ciauw Si? Sungguh aku tak mengerti..."
"Hemmm, jangan pura-pura tidak mengerti, pangeran! Kau kira aku semacam perempuan yang mudah saja kau rayu kemudian kau bujuk untuk menyerahkan kehormatanku? Aku bukan perempuan murah seperti itu!"
"Ehh, ehhh... nanti dulu, Ciauw Si, mengapa engkau berpandangan demikian? Aku cinta padamu... dan kalau aku mengajakmu ke kamarku, itu adalah karena cintaku kepadamu, sama sekali bukan dengan maksud yang tidak baik. Apa salahnya bila kita mengadakan hubungan, setelah kita saling mencinta?"
Kini Ciauw Si yang menjadi bingung. Benar-benarkah pangeran itu tidak menganggap hal seperti itu kotor, rendah dan menghina wanita? "Pangeran, seorang wanita yang sopan dan bersih sampai mati tidak akan mau menyerahkan kehormatannya kepada pria mana pun, kecuali kepada laki-laki yang telah resmi menjadi suaminya!"
"Ahhh...!" Kini wajah pangeran itu berseri. "Ahh, maafkan aku, Ciauw Si! Engkau benar, sungguh aku sudah lupa diri. Hal ini adalah karena setiap kali orang menyerahkan wanita untuk menjadi selirku, tidak pernah ada upacara apa-apa. Maka aku pun menjadi terbiasa dan bebas! Aku girang, aku bangga bahwa engkau berbeda dengan mereka! Tentu saja! Aku bersumpah tidak akan menjamahmu lagi sebelum kita resmi menjadi pengantin! Kau maafkanlah aku, Ciauw Si, bukan maksudku untuk menghinamu, sungguh mati, bukan..."
Pelan-pelan muka yang merah padam itu mulai menjadi normal kembali dan amarahnya mereda. Akhirnya wanita itu duduk lagi di samping pangeran dan memegang tangannya.
"Kaulah yang harus memaafkan aku, pangeran. Aku tadi terkejut sekali maka aku menjadi marah ahhh, engkau memang mengejutkan aku dengan ajakan itu. Syukur engkau tidak berniat buruk, engkau tidak sengaja... percayalah, setelah kita resmi menjadi suami isteri, aku tentu bersedia menyerahkan segala-galanya kepadamu dengan tulus ikhlas dan rela, pangeran."
Sang pangeran lalu merangkul dan kembali Ciauw Si merebahkan kepalanya di atas dada pangeran itu. Perasaannya nyaman sekali, makin besar kebahagiaannya bahwa pangeran ini sungguh-sungguh amat mencinta kepadanya, bukan sekedar hendak mempermainkan dirinya!
Mereka berdua tidak tahu bahwa tidak jauh dari situ, sepasang mata selalu mengintai dan mata ini adalah mata Sin Liong! Sejak tadi pemuda ini selalu mendengarkan percakapan mereka. Tadi dia mengalami ketegangan, tetapi akhirnya dia merasa lega dan dia merasa heran mengapa pangeran itu sekali ini benar-benar jatuh cinta dan tidak mempunyai niat buruk terhadap dara itu. Dia pun tidak mengintai lebih jauh karena tahu bahwa gadis itu tidak memerlukan perlindungannya lagi. Maka pergilah dia dari tempat sembunyinya.
"Ciauw Si, sungguh sikapmu tadi juga sangat mengejutkan dan mengkhawatirkan hatiku, akan tetapi akhirnya aku malah merasa bangga sekali! Engkau adalah gadis idamanku, cantik, gagah perkasa, budiman, dan juga bukan wanita murahan! Ahhh, sungguh aneh sekali. Kita saling mencinta seperti ini, akan tetapi aku belum pernah mendengar riwayat dirimu! Ciauw Si, ceritakanlah tentang keluargamu agar aku tahu kepada siapa aku harus meminangmu kelak."
Dengan hati terasa nyaman gadis itu lalu menceritakan keadaannya, bahwa ibunya telah menjadi janda dan bahwa ibunya adalah puteri ketua Cin-ling-pai dan dia sendiri dididik ilmu silat oleh ketua Cin-ling-pai yaitu kakeknya. Bahwa dia sedang pergi meninggalkan Cin-ling-pai untuk mencari seorang pamannya, yaitu Cia Bun Houw yang amat dirindukan oleh kakeknya.
Dapatlah dibayangkan alangkah kaget hati Pangeran Ceng Han Houw mendengar bahwa gadis yang dicintanya itu adalah keponakan dari pendekar Cia Bun Houw, dan puteri dari pendekar wanita Cia Giok Keng yang pada saat itu sedang menjadi buronan! Akan tetapi hatinya terasa lega karena betapa pun juga, secara pribadi dia sama sekali tidak memiliki permusuhan apa pun dengan para pendekar itu. Yang memusuhi para pendekar she Cia dan Yap adalah Hek-hiat Mo-li dan Kim Hong Liu-nio, guru dan kakak seperguruannya, namun dia sendiri secara pribadi sama sekali tidak pernah bermusuhan dengan mereka. Apa lagi, gadis ini biar pun masih keluarga dari pendekar itu, nyatanya she Lie, bukan she Yap atau she Cia atau Tio! Maka tenanglah hatinya, bahkan dia merangkul dan berkata dengan suara penuh kebanggaan.
"Aihh! Kiranya engkau adalah cucu ketua Cin-ling-pai, bahkan muridnya! Pantas saja ilmu kepandaianmu demikian hebatnya, kekasihku," Dan dia mencium Ciauw Si yang merasa girang akan pujian itu.
Biar pun melakukan hubungan kelamin sebelum dia menikah merupakan pantangan keras bagi Ciauw Si, namun dia tidak dapat menolak ketika pangeran itu kembali mendekapnya, membelai dan menciuminya. Betapa pun juga, harus diakuinya bahwa ada gairah di dalam hatinya yang bernyala, bergelora dan yang mendorongnya untuk membalas penumpahan kasih sayang dari pangeran ini.
Sampai senja terganti malam gelap dan terdengar suara ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang mencari mereka, barulah mereka berdua bangkit dan sambil berpegangan tangan mereka pergi meninggalkan taman itu. Sambil melangkah perlahan-lahan, pangeran itu bertanya ke mana kekasihnya hendak pergi dan bagaimana dia dapat mengajukan pinangan.
"Sudah terlalu lama aku meninggalkan Cin-ling-pai," jawab Ciauw Si. "Dari sini aku akan kembali ke Cin-ling-san, kemudian aku akan pulang ke rumah ibuku di Sin-yang dan aku... aku akan menanti kunjunganmu di sana, pangeran."
Diam-diam hati pangeran itu terharu. Dia tidak berani menceritakan, akan tetapi dia dapat membayangkan betapa hati kekasihnya ini akan merana dan menderita pukulan hebat kalau mengetahui bahwa kakeknya, ketua Cin-ling-pai, telah meninggal dunia dan betapa ibunya kini telah menjadi buronan pemerintah!
"Baiklah, kekasihku, engkau tunggu saja. Kelak akan tiba waktunya aku mencarimu dan meminangmu dari ibumu. Sementara itu, jika engkau membutuhkan bantuanku, atau bila hendak mencariku, datanglah saja ke istana. Kalau engkau mengaku sebagai tunanganku atau sahabatku kemudian memperlihatkan cincin ini, tentu engkau akan diterima dengan kehormatan sebagai tamu agung."
Setelah berkata demikian, Pangeran Ceng Han Houw mencabut cincin yang dipakainya di jari manis tangan kirinya, sebuah cincin bermata mutiara yang amat indah, kemudian dia memegang tangan kanan Ciauw Si dan memasangkan cincinnya itu ke jari telunjuk Ciauw Si. Pas sekali!
Ciauw Si mencium cincin di jari tangannya itu dan barulah mereka memasuki ruangan di mana dua orang ketua telah menanti dan mereka itu memandang dengan wajah berseri. Sebagai orang-orang tua berpengalaman mereka maklum akan apa yang terjadi di antara dua orang muda itu. Sin Liong juga sudah menanti mereka di situ dan mereka lalu makan malam dengan penuh kegembiraan.
Pada keesokan harinya, Lie Ciauw Si melanjutkan perjalanannya, atau lebih tepat lagi, dia mengakhiri perjalanannya untuk kembali ke Cin-ling-san dengan hati ringan dan penuh kebahagiaan. Sedangkan Pangeran Ceng Han Houw bersama Sin Liong lalu melanjutkan perjalanannya mencari Ouwyang Bu Sek…..
********************
Sementara itu, dua pasang suami isteri pendekar di lereng bukit Bukit Bwee-hoa-san, Yap Kun Liong, Cia Giok Keng, Cia Bun Houw dan Yap In Hong menjadi terkejut sekali ketika mereka mendengar suara bising dari pasukan kerajaan yang menyerbu ke lereng itu.
Terlambat, pikir mereka dan diam-diam mereka merasa kasihan kepada mata-mata yang menyampaikan berita kepada mereka tadi. Tentu sudah tertangkap. Akan tetapi, mereka tidak sempat memikirkan nasib mata-mata itu karena pasukan telah muncul dan mereka harus cepat bertindak.
Mengingat akan keadaan adiknya yang sedang mengandung, Kun Liong lantas menyuruh isterinya, Cia Giok Keng, menemani In Hong untuk lebih dahulu melarikan diri ke utara, sedangkan dia sendiri bersama Bun Houw akan menghadapi pasukan yang menyerbu dari selatan itu. Dua orang wanita pendekar itu mula-mula tidak setuju dan mereka ingin menghadapi musuh di samping suami mereka.
"Apa artinya empat orang dari kita menghadapi musuh yang ratusan orang, bahkan ribuan orang banyaknya?" bantah Kun Liong. "Tidak, kalian berdua harus pergi lebih dulu, apa lagi Hong-moi sedang mengandung, tidak baik untuk mempergunakan tenaga melakukan pertempuran."
"Apa yang dikatakan oleh Liong-ko itu sungguh tepat, dan kita tidak boleh ragu-ragu lagi," sambung Bun Houw. "Apa lagi kita bukanlah pemberontak, dan sama sekali tidak pernah terkandung di dalam hati kita hendak menentang pemerintah, apa lagi melawan pasukan kerajaan. Kita hanya membela diri, maka biarlah kalian melarikan diri lebih dahulu, kami berdua akan menahan mereka kemudian setelah mendapat kesempatan, kami pun tentu akan melarikan diri."
"Akan tetapi ke mana kami harus pergi?" Cia Giok Keng, nyonya muda yang masih amat bersemangat itu membantah.
In Hong yang di dalam hatinya juga tidak setuju, akan tetapi karena maklum bahwa dalam keadaan mengandung tak mungkin baginya untuk bisa mengerahkan tenaga sepenuhnya tanpa membahayakan kandungannya, hanya diam saja.
"Kau ajaklah Hong-moi lari ke rumah anak kita di Yen-tai, dan untuk sementara kalian bersembunyi di sana, kami akan menyusul kalian secepatnya," Kun Liong berkata dengan tergesa-gesa karena suara bising kini semakin mendekat. "Jangan lupa, hati-hatilah agar jangan sampai ada yang tahu bahwa kalian memasuki Yen-tai agar anak kita tidak sampai terbawa-bawa."
Karena kini pasukan kerajaan sudah datang dekat, dua orang nyonya itu tidak membuang waktu lagi dan cepat mereka melarikan diri ke utara, berlawanan dengan pasukan yang naik ke bukit dari selatan.
Biar pun sedang mengandung, tetapi karena tingkat kepandaiannya memang sudah amat tinggi, In Hong dapat melarikan diri dengan cepat tanpa membahayakan dirinya, tanpa mengerahkan tenaga banyak-banyak. Dengan cepat dua orang wanita perkasa ini sudah turun dari lereng Bukit Bwee-hoa-san.
Akan tetapi ketika mereka tiba di kaki bukit itu, tiba-tiba saja dari balik semak-semak dan pohon-pohon berlompatan keluar pasukan pemerintah yang agaknya sudah berjaga-jaga di tempat itu! Dalam waktu yang cepat sekali telah muncul puluhan orang prajurit, bahkan agaknya tak kurang dari seratus orang! Dan seorang perwira telah bergerak meneriakkan aba-aba kepada mereka untuk bergerak menangkap dua orang pendekar wanita itu.....!