Kim Hong Liu-nio memang sangat cerdik. Dia tahu bahwa dia sudah memiliki kedudukan yang tinggi dan terhormat, sebab itu dia pun tidak mau merendahkan diri menuruti gairah rangsangan nafsu yang dibangkitkan oleh mendiang Panglima Lee Siang dan kemudian dipelihara dan dipupuk oleh pikirannya sendiri yang menghidupkan kembali kenikmatan itu melalui kenang-kenangan. Dia dapat menahan diri dan menanti saat yang baik.
Kemudian, sesudah melihat kelemahan kaisar muda yang tampan itu, wanita ini berlaku amat cerdik dan mulailah dia mendekati kaisar dan mempergunakan kecantikannya untuk memikat kaisar muda itu melalui lirikan matanya yang jeli, senyuman bibirnya yang merah merekah, dan melalui suaranya yang merdu merayu!
Pada jaman itu, kehidupan kaum bangsawan, dan terutama sekali kaisar, pada umumnya memang tidak terpisahkan dari kehidupan bersenang-senang, terutama sekali kehidupan sex bagi kaum prianya. Bagi kaum pria bangsawan ini, kaum wanita dianggap sebagai benda hidup yang kedudukannya hanya sebagai penghibur kaum pria, sebagai hal yang selain menjadi sumber kesenangan juga menjadi sumber kebanggaan.
Pada jaman itu, agaknya kaum wanita menyadari dan menerima saja kedudukan itu, dan pada sebagian kaum wanita, yang terpenting bagi mereka hanyalah mendapatkan suami yang berkedudukan tinggi atau pun yang kaya raya! Bagi sebagian besar di antara kaum wanita di jaman itu, lebih baik menjadi isteri muda yang ke sekian belas atau ke sekian puluh dari seorang pria tua bangsawan atau hartawan dari pada menjadi isteri tunggal seorang pria muda yang miskin tanpa kedudukan! Inilah sebabnya mengapa kaum pria tua yang bangsawan atau hartawan, sangat mudahnya mempunyai koleksi kaum wanita yang menjadi isteri-isteri mudanya, menjadi pelayan-pelayan yang setia, dan setiap waktu bisa saja memperpanjang deretan bini muda!
Terutama sekali kaisar! Bagi hampir semua wanita pada jaman itu, menjadi selir kaisar merupakan anugerah seperti bintang jatuh dari langit! Bahkan menjadi dayang saja sudah merupakan kehormatan besar yang diimpikan oleh hampir setiap orang dara!
Ini adalah akibat dari pemujaan yang melampaui batas terhadap sang kaisar, sehingga setiap orang ibu menggambarkan kehebatan kaisar serta kehidupan di istana itu kepada puteri-puterinya sejak mereka masih kecil, menjejalkan kesenangan-kesenangan yang tak mungkin dapat mereka rasakan, seperti kesenangan-kesenangan di dalam sorga saja, ke dalam kepala-kepala kecil itu sehingga tentu saja bagi anak-anak perempuan itu semakin dewasa makin menariklah gambaran tentang kehidupan yang sangat mulia itu.
Dari dalam kamar-kamar indah mewah istana kaisar inilah lantas mengalir perkembangan kehidupan sex yang lalu dijadikan kitab-kitab ilmu senggama dan tersebar luas hingga ke seluruh dunia!
Kaisar Ceng Hwa pun tak terkecuali. Dia menjadi kaisar dalam usia sembilan belas tahun, sedang menginjak usia remaja yang berkembang sehingga dia begitu mudah diperhamba oleh kesenangan-kesenangan sex yang seolah-olah didorong-dorongkan kepadanya oleh para pejilat dalam istana. Bahkan ibunya sendiri, ibu suri, mendatangkan guru-guru yang khusus bertugas mengajarkan hal-hal mengenai hubungan pria dan wanita kepada kaisar muda ini, dan beberapa orang wanita muda yang cantik dan berpengalaman dipilih untuk mengajarkan hal-hal itu dalam praktek kepada sang kaisar muda.
Hal seperti ini bukan merupakan dongeng, melainkan merupakan kenyataan yang tercatat di dalam sejarah. Demikianlah, tidak mengherankan bila dalam waktu singkat saja Kaisar Ceng Hwa, seperti juga para kaisar ratusan bahkan ribuan tahun sebelumnya, telah jatuh menjadi seorang hamba nafsu birahinya sendiri! Mulailah dia mencari-cari, memilih-milih di antara para puteri dayang-dayang dan dara-dara yang cantik jelita untuk mengisi harem istana, untuk secara bergilir atau berkelompok menghiburnya, melayaninya, baik di taman mau pun di dalam kamar tidurnya.
Kemudian muncullah Kim Hong Liu-nio! Pada suatu senja, seorang pengawal melaporkan kepada kaisar bahwa wanita ini mohon menghadap. Ketika itu kaisar sedang bersenang-senang di dalam taman dengan ditemani oleh lima orang selirnya yang paling disukanya. Kaisar itu duduk di pinggir kolam ikan, memberi makan ikan-ikan emas, dibantu oleh dua orang selirnya sedangkan yang tiga orang lainnya memainkan alat musik yang-khim dan suling, melagukan nada-nada merdu dari lagu yang romantis sehingga suasana menjadi romantis sekali.
Mendengar bahwa Kim Hong Liu-nio minta menghadap, kaisar cepat-cepat memberi tahu kepada para pengawal agar wanita perkasa itu langsung saja memasuki taman, dan dia melepaskan rangkulannya pada dua orang selirnya, bahkan memberi isyarat kepada selir lain untuk menghentikan permainan mereka.
Lima orang selir itu sudah mengenal pula siapa adanya Kim Hong Liu-nio, maka mereka pun duduk dengan tenang dan hormat karena mereka tahu bahwa wanita ini mempunyai kedudukan yang tinggi dan terhormat, dikenal sebagai penyelamat nyawa kaisar!
Biasanya kaisar melihat Kim Hong Liu-nio sebagai seorang wanita yang gagah perkasa, yang menimbulkan kagum dan hormat. Belum pernah selama ini dia menggambarkan Kim Hong Liu-nio sebagai seorang wanita dengan daya tarik kewanitaannya, namun sebagai seorang pendekar wanita yang serba keras dan kokoh kuat di balik kecantikannya. Akan tetapi ketika itu dia belum begitu ‘matang’ dalam penilaiannya terhadap wanita dan sudah lama dia tidak berjumpa dengan wanita itu.
Maka kini, ketika memandang Kim Hong Liu-nio memasuki pintu taman dan melangkah menghampiri tempat itu, sepasang matanya yang telah terbiasa menilai wanita, sekarang memandang penuh perhatian dan penilaian! Bukan hanya wajah yang cantik segar dihias rambut yang disanggul tinggi itu, melainkan juga pandang matanya menurun ke leher, ke arah dada yang membusung angkuh, kepada tubuh yang tegak namun tinggi semampai, pinggang yang amat ramping dan pinggul yang membesar, kemudian langkah yang begitu tegap namun mengandung kelembutan dan daya tarik yang menjanjikan kemesraan.
Kaisar muda itu tertegun dan kagum! Kiranya Kim Hong Liu-nio ini bukanlah seorang yang seperti yang digambarkan semula, seorang wanita penyembelih musuh yang kejam dan berdarah dingin, melainkan di samping itu juga seorang wanita cantik yang mempunyai kecantikan, kelembutan dan kehangatan dengan bentuk tubuh yang menggairahkan!
Begitu menghadap, Kim Hong Liu-nio segera memberi hormat, berlutut kemudian berkata, "Perkenankan hamba membicarakan sesuatu dengan paduka tanpa didengar oleh orang lain."
Kaisar Ceng Hwa tersenyum sambil matanya tidak pernah meninggalkan wajah dan tubuh wanita yang sedang berlutut di hadapannya itu. Nampak leher yang berkulit putih mulus dan berbentuk panjang seperti leher angsa yang jenjang. Lalu dia memberi isyarat kepada para selirnya untuk meninggalkan taman.
Para selir itu tidak berani membantah, dengan sikap hormat mereka segera meninggalkan taman, sambil berlari-lari kecil dengan langkah seperti penari-penari yang lemah gemulai, meninggalkan bau semerbak harum.
Kini mereka tinggal berdua saja. Para pengawal hanya menjaga di sebelah luar taman, sama sekali tidak berani memperlihatkan diri atau mengganggu kaisar.
"Nah, sekarang kita hanya berdua saja di sini, lihiap. Apa yang hendak kau bicarakan?" Kaisar berkata halus.
"Ampunkan hamba yang berani minta untuk berbicara empat mata dengan paduka, akan tetapi karena yang hamba hendak bicarakan ini mengenai para pemberontak yang amat berbahaya, maka sangat tidak baik apa bila sampai terdengar orang lain. Hamba hendak membicarakan mengenai empat orang pemberontak yang berhasil lolos itu, sri baginda, yaitu pemberontak Cia Bun Houw, Cia Giok Keng, Yap Kun Liong, dan Yap In Hong."
"Oohh, tentang mereka?" Kaisar yang muda itu tidak begitu tertarik.
Tentu saja dia sudah mendengar tentang adanya para pemberontak yang kabarnya telah melawan pasukan kerajaan, membunuh banyak pasukan termasuk Panglima Lee Siang. Akan tetapi dia yang setiap harinya hanya bersenang-senang, mana sempat memikirkan soal pemberontakan kecil yang lebih patut disebut pengacau-pengacau itu saja? Apa bila yang memberontak itu merupakan pasukan besar, tentu saja persoalannya menjadi lain.
Dia lebih tertarik untuk memandang ke arah dada yang menonjolkan dua bukit tertutup baju sutera dari wanita di depannya itu, dan ketika wanita itu bicara sambil menengadah, dia melihat wajah cantik dengan bibir yang amat manis bergerak-gerak terbuka, kadang-kadang sedikit memperlihatkan sebelah dalam mulut kecil yang merah. Hatinya tergerak dan darahnya bergolak.
Kim Hong Liu-nio dapat melihat keadaan kaisar yang muda dan tampan itu. Wanita ini melihat kesempatan baik sekali, maka dia lalu menangis dalam keadaaan masih berlutut, kemudian tanpa dapat dilihat kaisar saking cepatnya, dia telah melonggarkan bagian atas tubuhnya sehingga dari atas kaisar yang duduk itu dapat melihat melalui celah-celah baju itu sedikit bagian dari dadanya, lereng dua buah bukit yang membusung.
"Ahh, kenapa kau menangis, lihiap?" Kaisar itu kaget juga karena sama sekali tak pernah dia dapat membayangkan bahwa wanita yang gagah perkasa ini dapat menangis! Makin kelihatanlah sifat kewanitaan pendekar wanita ini, apa lagi melihat celah baju bagian atas itu.
"Hamba... hamba teringat akan kematian tunangan hamba, Panglima Lee Siang di tangan para pemberontak itu, sri baginda... maafkan hamba... hamba merasa berduka karena kini hamba menderita kesepian yang menyesak di dada..."
Kaisar Ceng Hwa memang sudah mendengar dari para pengawal penyelidik akan adanya hubungan antara wanita perkasa ini dengan Panglima Lee Siang, dia tahu bahwa ‘ada main’ antara mereka berdua, akan tetapi mendengar pengakuan wanita itu, dia pura-pura kaget dan bertanya,
"Ahh, jadi engkau telah menjadi isteri mendiang Lee-ciangkun?"
Wajah Kim Hong Liu-nio menjadi kemerahan, terutama sekali kedua pipinya. Sama sekali bukan karena malu atau jengah, namun akibat pengerahan sinkang-nya yang mendorong darah lebih banyak naik ke mukanya dan hal ini hanya dapat dilakukan oleh orang yang telah memiliki kepandaian tinggi.
"Belum, sri baginda... hamba belum menikah, akan tetapi dia sudah menjanjikan hal itu kepada hamba..." Walau pun matanya masih agak basah air mata, namun dia tersenyum malu-malu dan sepasang mata itu mengerling tajam.
Melihat ini, kaisar muda itu makin tertarik. "Sudahlah, jangan kau menangis, lihiap, dan kau ke sinilah, duduklah di sini agar lebih enak kita bicara."
Jantung Kim Hong Liu-nio berdebar keras, bukan karena takut melainkan karena tegang gembira melihat ada tanda-tanda usahanya menarik perhatian kaisar itu berhasil agaknya!
"Hamba... hamba mana berani...?"
"Aku yang memerintahkan, mengapa tidak berani? Ke sinilah!"
"Ba... baik, sri baginda..." Kim Hong Liu-nio bangkit berdiri, memberi hormat dan dengan kedua kaki jelas kelihatan gemetar dia melangkah maju ke depan kaisar, sampai dekat sekali.
Kaisar memegang tangan wanita itu lantas menariknya duduk di atas bangku bertilamkan kasur dan beludru lembut itu. Kaisar merasa betapa tangan itu selain gemetar, juga amat hangat dan mengeluarkan getaran yang sangat terasa sampai ke seluruh lengannya. Dia makin tertarik, apa lagi mencium bau harum yang keluar dari tubuh wanita itu.
"Hemmm, engkau sungguh cantik, lihiap...," bisik kaisar.
"Aihhhh... sri baginda..." Kim Hong Liu-nio mengeluh dan menunduk, nampak takut-takut seperti seekor kelinci dalam dekapan harimau.
Kaisar makin tertarik, dia meraih dan merangkul, kemudian memaksa wanita itu menoleh kepadanya dan mencium mulut Kim Hong Liu-nio. Beberapa lamanya kaisar menciumnya, kemudian kaisar melepaskan ciumannya dan matanya terbelalak. Selama dia mengenal wanita, belum pernah dia merasakan ciuman sehebat itu! Bukan saja wanita ini membalas ciumannya dengan penuh api menggelora, malah dia juga merasakan getaran yang amat menggoncangkan jantungnya.
Tanpa banyak cakap lagi, sri baginda kaisar bangkit dan menggandeng tangan wanita itu, diajak meninggalkan taman dan langsung masuk ke dalam kamar. Para selir yang melihat ini saling pandang dan diam-diam mereka pun merasa heran kenapa kaisar kini bersikap demikian mesra terhadap pendekar wanita itu! Namun, tentu saja tidak ada seorang di antara mereka berani membuka mulut, bahkan lalu berlutut membiarkan mereka berdua lewat. Para pengawal yang terdiri dari orang-orang kebiri sebab mereka adalah pengawal-pengawal di bagian keputren itu juga menunduk saja dengan sikap tegak.
Mulai saat itu, kaisar yang muda itu mengangkat Kim Hong Liu-nio sebagai kekasihnya yang baru dan dari wanita ini dia memperoleh pengalaman yang amat hebat dan belum pernah dia dapatkan dari wanita lain. Memang, dengan tenaga sinkang-nya yang sangat kuat, mudah saja bagi Kim Hong Liu-nio untuk mempermainkan kaisar muda itu sehingga menjadi tergila-gila kepadanya, walau pun usianya sudah tiga puluh lima tahun dan jauh lebih tua dibandingkan dengan para selir yang usianya belum ada dua puluh tahun itu.
Dan semenjak hari itu pula Kim Hong Liu-nio memperoleh ijin dari kaisar untuk memimpin pasukan-pasukan pilihan, untuk mengejar dan mencari musuh-musuhnya, yaitu keluarga Cia dan Yap yang menjadi buronan itu. Bahkan dia segera menyebar mata-mata untuk menyelidiki di mana mereka itu bersembunyi.
Untuk memperkuat dirinya karena dia tahu bahwa semua musuh-musuhnya itu memiliki kepandaian tinggi, Kim Hong Liu-nio segera mendatangkan gurunya, Hek-hiat Mo-li, yang kemudian menanti di kota raja dan siap untuk turun tangan kalau tempat sembunyi para pemberontak itu sudah dapat ditemukan.
Memang kekuasaan inilah yang diinginkan oleh Kim Hong Liu-nio. Dia pun tidak berambisi untuk memikat kaisar untuk selamanya. Dia tahu bahwa kaisar masih amat muda dan dia sendiri sudah jauh lebih tua sehingga tak mungkin dia akan dapat terus mempertahankan kaisar dalam pelukannya.
Karena itu, sesudah dia berhasil mendapatkan kepercayaan kaisar dan diberi kekuasaan menggunakan pasukan untuk menghadapi para musuh yang dicap pemberontak itu, dia sudah merasa puas dan hanya kadang-kadang saja dia memenuhi panggilan kaisar dan melayaninya. Tapi wanita ini lebih banyak pergi keluar kota raja sehingga akhirnya kaisar kembali kepada para selirnya yang muda-muda dan hal ini tentu saja menggirangkan hati para selir muda itu.
Di dalam keluarga kaisar terdapat seorang pangeran, yaitu kakak tiri dari kaisar muda itu. Pangeran ini sudah berusia hampir tiga puluh tahun, bernama Pangeran Hung Chih dan dia amat populer di antara para menteri-menteri tua yang setia. Pangeran ini merupakan calon kaisar ke dua setelah Ceng Hwa, dan memang dibandingkan dengan kaisar muda itu, dia lebih menaruh perhatian terhadap pemerintahan.
Pangeran Hung Chih inilah yang didukung oleh para menteri tua yang merasa tidak setuju ketika pemerintah memusuhi keluarga Cia di Cin-ling-pai. Mereka tahu bahwa keluarga itu sejak dahulu adalah keluarga pendekar-pendekar yang setia kepada kaisar. Mereka tahu benar bahwa keluarga itu dimusuhi gara-gara Kim Hong Liu-nio yang berhasil memikat kaisar, padahal wanita itu adalah seorang kepercayaan raja liar Sabutai!
Dengan jujur dan halus Pangeran Hung Chih sendiri yang mendekati kaisar yang menjadi adik tirinya itu dan memperingatkan kaisar agar tidak terlalu memberi kebebasan kepada Kim Hong Liu-nio yang mungkin saja menjadi mata-mata Raja Sabutai dan kelak hanya akan merugikan kerajaan sendiri.
"Ahhh, dia adalah seorang pendekar wanita yang gagah perkasa, bahkan dahulu pernah menyelamatkan nyawaku, mana mungkin dia mempunyai niat buruk? Lagi pula, dia minta pasukan untuk menangkap para pemberontak yang telah melawan pasukan kerajaan dan telah membunuh Lee-ciangkun, bukankah hal itu baik sekali?" demikian antara lain kaisar membantah.
Pangeran Hung Chih tidak berani mendesak. Betapa pun juga, peringatan dari pangeran ini telah membuat kaisar lebih berhati-hati dan kini jarang dia memanggil wanita itu untuk melayani dia bermain asmara…..
********************
Pagi yang cerah indah di lereng Bukit Bwee-hoa-san. Bukit ini, sesuai dengan namanya, penuh dengan bunga Bwee yang sedang mekar karena musim semi telah menjelang tiba. Memang amat sedap dipandang dan terasa nyaman di hati melihat bunga-bunga mekar di lereng yang subur dan berhawa sejuk itu, dengan ratusan ekor kupu-kupu beterbangan di sekitar bunga-bunga, mengepak-ngepakkan sayapnya yang beraneka warna itu dengan sibuknya. Di antara kupu-kupu yang memiliki warna bermacam-macam ini nampak pula beberapa ekor lebah yang gerakannya amat gesit terbang menyusup di antara daun-daun dan bunga sibuk mencari atau mengumpulkan madu.
Ada dua buah pondok kecil di lereng yang sunyi itu, agak terlindung oleh pohon-pohon besar di tepi hutan. Dua pondok kecil inilah yang menjadi tempat tinggal sementara, atau tempat persembunyian dari dua pasang suami isteri kakak beradik, yaitu Yap Kun Liong bersama Cia Giok Keng, dan Cia Bun Houw bersama Yap In Hong!
Sejak mereka melarikan diri dari penjara kota Po-teng di mana mereka ditawan, empat orang pendekar ini melarikan diri dan tinggal berpindah-pindah dari satu ke lain tempat sembunyi karena mereka maklum bahwa mereka terus dikejar-kejar pasukan pemerintah. Akhirnya, mereka tiba di lereng Bukit Bwee-hoa-san ini dan bersembunyi di tempat sunyi ini.
Sudah dua bulan mereka tinggal di tempat ini, dan mereka, terutama sekali Yap In Hong, merasa khawatir dengan keadaan mereka sebagai buronan itu karena kini nyonya muda ini sudah mengandung lima bulan! Seperti telah diceritakan di bagian depan, walau pun sudah belasan tahun dia melarikan diri bersama Cia Bun Houw dan sudah dianggap isteri pendekar itu, namun karena belum mendapat restu dari orang tua, kedua orang pendekar ini selalu tinggal terpisah, yaitu tidak pernah berkumpul sebadan seperti layaknya suami isteri.
Kemudian, sesudah lewat belasan tahun menahan derita ini, mereka menghadap ketua Cin-ling-pai ayah Cia Bun Houw dan mendapatkan restu dari kakek Cia Keng Hong yang telah menginsyafi kesalahannya dan merasa menyesal bahwa dengan kekerasan hatinya dia telah menyiksa batin puteranya sendiri dan mantunya.
Barulah mereka menjadi suami isteri dalam arti yang sebenarnya, dan baru sekarang Yap In Hong mengandung untuk pertama kalinya. Namun, dalam keadaan mengandung dia kini harus menjadi buronan, gara-gara fitnah yang dijatuhkan oleh Lee Siang yang hendak memenuhi permintaan Kim Hong Liu-nio, kekasihnya!
Pada pagi hari yang cerah itu, seperti biasa pendekar Yap Kun Liong dan pendekar Cia Bun Houw sedang bekerja di ladang sayur mereka tak jauh dari kedua pondok mereka itu. Untuk menghindarkan terlalu banyak hubungan dengan orang lain, kedua orang pendekar ini menanam sendiri berbagai macam sayur untuk kebutuhan makan sehari-hari mereka, sehingga mereka tidak perlu sering berbelanja ke bawah bukit, dan cukup hanya sebulan sekali saja berbelanja beras, bumbu, teh serta beberapa keperluan lain. Untuk lauk pauk cukup dengan tanaman sayur mereka sendiri dan daging binatang yang dapat mereka tangkap di dalam hutan-hutan di sekitar tempat itu.
Pendekar Yap Kun Liong kini sudah berusia lima puluh dua tahun, namun masih nampak muda dan gagah penuh semangat, sedangkan pendekar Cia Bun Houw yang berusia tiga puluh enam tahun itu kelihatan sehat gagah, biar pun di wajahnya yang tampan terbayang kekhawatiran. Tentu saja pendekar ini merasa amat gelisah bila mengingat akan keadaan isterinya yang mengandung pertama sudah harus menjadi buronan seperti itu.
Suara derap kaki kuda tunggal memecahkan kesunyian pagi hari yang tenteram itu. Dua orang pendekar itu terkejut, menunda cangkul masing-masing, saling pandang, kemudian mereka menoleh ke arah suara datangnya derap kaki kuda itu. Nampaklah oleh mereka seorang laki-laki berpakaian petani membalapkan kuda menuju ke sana, melalui sebuah lorong atau jalan setapak dengan cepat.
Tentu saja dua orang pendekar ini menjadi curiga karena walau pun orang itu berpakaian petani, namun cara orang itu duduk di atas kuda membuktikan bahwa orang itu adalah seorang ahli menunggang kuda dan tubuh orang itu yang duduk tegak jelas mengandung kekuatan terlatih. Maka begitu penunggang kuda itu melewati tempat kerja mereka dan terus membalap menuju ke arah pondok, dua orang pendekar ini pun cepat meninggalkan cangkul mereka di atas ladang, kemudian berlari mengejar. Tentu saja mereka tak begitu khawatir karena isteri mereka bukan orang-orang lemah, apa lagi yang datang berkunjung secara mencurigakan ini hanya satu orang saja.
Baru saja penunggang kuda itu meloncat turun dari kudanya di depan dua buah pondok itu, orang ini sudah berteriak dengan suara lantang. "Cia-taihiap! Yap-taihiap! Harap lekas keluar!"
Yang keluar adalah Cia Giok Keng dan Yap In Hong, dua orang pendekar wanita itu yang tadi telah mendengar suara derap kaki kuda dan sudah siap-siap. Dan pada saat itu juga, Cia Bun Houw dan Yap Kun Liong juga sudah berada di situ.
"Siapakah engkau dan mau apa?" Yap Kun Liong berkata dengan suara halus akan tetapi penuh wibawa.
Orang itu sejenak memandang kepada dua orang pendekar ini. Dia belum pernah bertemu muka dengan mereka, namun dia telah memperoleh gambaran jelas tentang wajah kedua orang pendekar itu, maka kini dia mengenal mereka dan cepat menjura dengan hormat.
"Harap ji-wi taihiap sudi memaafkan saya kalau saya mengganggu dan mengejutkan ji-wi. Kedatangan saya ini membawa berita penting sekali, yaitu bahwa pada hari ini juga akan ada pasukan yang datang menyerbu ke sini, maka harap ji-wi taihiap dan ji-wi lihiap dapat bersiap-siap untuk meninggalkan tempat ini."
Sekali menggerakkan tubuh dan tangan, Cia Bun Houw sudah mencengkeram leher baju orang itu tanpa dia mampu mengelak lagi. Tentu saja Bun Houw menggunakan gerakan ini untuk menguji dan dia tahu bahwa orang ini tidak memiliki ilmu silat yang tinggi, karena reaksinya ketika dia bergerak jauh kurang dan amat terlambat. Maka dia lalu menghardik dengan suara mengancam untuk membikin takut orang itu agar jangan membohong.
"Siapa engkau?!"
Orang itu kellhatan tenang saja dan ini sudah membuktikan bahwa dia tidak mempunyai iktikad buruk. "Nama saya Lie Tek," jawabnya cepat.
"Mengapa engkau datang memperingatkan kami dan bagaimana engkau dapat mengenal kami?" tanya Bun Houw lagi tanpa melepaskan cengkeramannya.
"Harap Cia-taihiap tidak salah sangka. Biar pun saya belum pernah bertemu dengan ji-wi taihiap, namun kami semua sudah memperoleh gambaran cukup jelas tentang ji-wi. Saya adalah salah seorang di antara banyak mata-mata yang disebar oleh Pangeran Hung Chih untuk menyelamatkan ji-wi taihiap dari pengejaran pasukan yang dipimpin oleh Kim Hong Liu-nio dan sekarang saya datang untuk memberi peringatan kepada ji-wi karena sudah pasti hari ini pasukan itu akan datang menyerbu karena tempat ini telah mereka ketahui."
Cia Bun Houw melepaskan cengkeramannya. Dengan tenang Yap Kun Liong lalu minta kepada orang yang mengaku bernama Lie Tek itu untuk bercerita selengkapnya tentang mereka yang mengaku mata-mata yang disebar oleh Pangeran Hung Chih.
Lie Tek, mata-mata itu lalu menceritakan secara singkat tentang diri Pangeran Hung Chih. Ternyata pangeran yang tidak setuju dengan sikap kaisar mengenai keluarga Cin-ling-pai yang dianggap pemberontak, pada saat melihat betapa Kim Hong Liu-nio berhasil merayu kaisar lalu mendapatkan kekuasaan untuk mengerahkan pasukan mencari para pendekar yang buron itu dan diperkenankan pula menumpasnya, diam-diam telah berunding dengan para menteri tua hingga akhirnya mereka mengambil keputusan untuk secara diam-diam membantu para pendekar itu agar jangan sampai terdapat oleh para pengejarnya.
"Pangeran Hung Chih dan para menteri tua yakin akan kesetiaan keluarga Cia dan Yap, oleh karena itu beliau berusaha melindungi, sungguh pun tentu saja tidak berani secara berterang, karena Kim Hong Liu-nio telah memperoleh dukungan dari sri baginda sendiri." Demikian Lie Tek mengakhiri penuturannya secara singkat.
Empat orang pendekar yang mendengarkan menjadi terharu kemudian diam-diam mereka mencatat nama Pangeran Hung Chih sebagai seorang pangeran yang bersahabat.
"Kalau begitu, kami berterima kasih sekali dan maafkan sikapku, Lie-twako," kata Cia Bun Houw.
Mata-mata itu menjura dan berkata, "Saya telah menyampaikan tugas, harap ji-wi berdua dan lihiap berdua suka cepat meninggalkan tempat ini sebelum terlambat, dan saya pun tidak berani lama-lama tinggal di sini. Saya mohon diri, ji-wi taihiap!"
Cia Bun Houw dan Yap Kun Liong membalas penghormatan itu. Lie Tek lalu meloncat ke atas punggung kudanya, kemudian membalapkan kuda itu menuju lereng melalui arah yang berlawanan dengan ketika dia datang diikuti pandang mata keempat orang pendekar itu yang masih bersikap tenang.
Empat orang pendekar ini tidak tahu bahwa ketika Lie Tek tiba di sebuah tikungan di balik bukit, tiba-tiba muncul belasan orang mata-mata musuh, yaitu mata-mata dari pasukan Kim Hong Liu-nio. Dia ditangkap dan tidak mungkin dapat melawan menghadapi belasan orang itu. Dia disiksa agar mengaku, akan tetapi Lie Tek tetap menutup mulutnya sampai akhirnya dia mati dalam siksaan!
Kemudian para mata-mata ini cepat mengirim berita kepada Kim Hong Liu-nio yang lantas mengerahkan seratus orang lebih pasukan untuk mengepung dan menyerbu…..!
********************
Kita tinggalkan dulu keadaan empat orang pendekar yang terancam bahaya maut itu, dan mari kita mengikuti perjalanan Lie Ciauw Si. Kita hanya mengetahui bahwa gadis puteri Cia Giok Keng atau adik dari Lie Seng ini telah meninggalkan Cin-ling-pai beberapa tahun yang lalu akibat melihat kakeknya berduka saja. Dia mengambil keputusan untuk mencari pamannya, Cia Bun Houw yang dia tahu menjadi penyebab dari kedukaan kongkong-nya.
Ketika itu Cia Bun Houw berdua Yap In Hong masih mengasingkan diri dalam kedukaan akibat kemarahan Cia Keng Hong yang tidak menyetujui perjodohan di antara mereka sehingga usaha Lie Ciauw Si mencari kedua orang ini sama sekali tidak pernah berhasil. Ciauw Si yang keras hati itu tidak mau kembali ke Cin-ling-pai sebelum bertemu dengan orang yang dicarinya.
Dia merantau sampai jauh ke barat, kemudian pada akhir-akhir ini dia pergi merantau ke selatan. Dia sudah menjelajahi dunia kang-ouw, bertanya-tanya ke sana-sini, namun tidak ada seorang pun tokoh kang-ouw yang dapat memberi keterangan kepadanya di mana gerangan adanya pendekar Cia Bun Houw, sungguh pun mereka itu tahu belaka siapa adanya pendekar putera ketua Cin-ling-pai itu.
Pada suatu hari Ciauw Si tiba di kota Yen-ping. Ketika sedang berjalan-jalan di sepanjang tepi Sungai Min-kiang di Propinsi Hokkian dan tiba di dekat sarang perkumpulan Sin-ciang Tiat-thouw-pang, secara kebetulan Ciauw Si melihat empat orang sedang ribut mulut.
Dia tidak mengenal empat orang itu, namun sangat tertarik karena melihat bahwa empat orang laki-laki tua itu bukanlah orang-orang biasa, hal ini dapat dilihat jelas dari sikap dan gerak-gerik mereka. Di tempat itu terdapat pula dua kelompok orang-orang yang sedang menonton, semuanya memperlihatkan sikap orang-orang yang ahli dalam ilmu silat, akan tetapi agaknya mereka merasa takut dan segan untuk mencampuri percekcokan itu.
Empat orang itu memang bukan orang-orang sembarangan. Yang sedang marah-marah adalah dua orang kakek yang usianya sudah enam puluh tahun lebih, yang seorang tinggi besar dan mukanya brewok menyeramkan, tangannya memegang sebatang tongkat dan dengan tongkatnya ini beberapa kali dia menuding ke arah muka dua orang kakek yang dimarahi dan yang usianya kurang lebih lima puluh tahun.
Kakek ke dua yang marah juga berusia enam puluh tahun lebih, tubuhnya kecil pendek akan tetapi kepalanya gundul lonjong dan matanya tajam. Kakek ini menyeramkan sekali karena dia hanya memakai celana hitam hingga di bawah betis, sedangkan tubuh atasnya yang kurus itu telanjang sama sekali, seperti juga kedua kakinya. Suaranya lantang dan nyaring.
Kakek muka brewok itu bukan lain adalah Hai-liong-ong Phang Tek, sedangkan kakek ke dua yang tak berbaju adalah Kim-liong-ong Phang Sun. Seperti telah kita ketahui, mereka berdua adalah tokoh-tokoh besar di selatan yang terkenal dengan julukan Lam-hai Sam-to (Tiga Orang Tua Laut Selatan).
Tadinya mereka bertiga bersama dengan Hek-liong-ong Cu Bi Kun, namun seperti sudah diceritakan di bagian depan, orang ini telah tewas oleh Pangeran Ceng Han Houw ketika Cu Bi Kun bermaksud membunuh Sin Liong. Kemudian seperti yang telah diputuskan oleh Pangeran Ceng Han Houw, Lam-hai Sam-lo yang kini tinggal dua orang itu kini menjadi tokoh terbesar di selatan, dan menjadi bengcu (pemimpin) dari dunia sesat di selatan!
Ada pun dua orang kakek berusia lima puluh tahun yang sedang menghadapi kemarahan dua orang bengcu ini adalah ketua dari Sin-ciang Tiat-thouw-pang, yaitu Sin-ciang Gu Kok Ban dan Tiat-thouw Tong Siok. Telah kita ketahui bahwa ketika dalam pemilihan bengcu di selatan, memang sudah terjadi bentrokan antara kedua orang tokoh ini dengan Lam-hai Sam-lo, akan tetapi karena ketika itu fihak Sin-ciang Tiat-thouw-pang merasa kalah kuat, maka mereka ini lalu mundur dan mengalah. Akan tetapi mengapa kini dua orang bengcu itu marah-marah kepada pemimpin Sin-ciang Tiat-thouw-pang ini?
Walau pun dia tidak mengenal empat orang itu, namun Ciauw Si amat tertarik, menduga bahwa tentu mereka itu merupakan tokoh-tokoh penting dalam kalangan kang-ouw, maka diam-diam dia pun mendengarkan dengan penuh perhatian.
Tiat-thouw Tong Siok yang bertubuh tinggi besar, kepalanya botak dan mukanya bopeng terkenal lebih keras wataknya dari pada suheng-nya. Dengan kedua mata terbelalak lebar serta kemarahan yang tidak disembunyikan lagi dia berteriak, "Semenjak dahulu semua perkumpulan memberi sumbangan suka rela kepada bengcu sekuat kemampuan masing-masing. Sekarang bengcu menentukan jumlah seenak perut sendiri. Peraturan manakah ini?"
Kim-liong-ong Phang Sun yang kecil pendek dan bertelanjang baju itu tertawa mengejek dan berkata, "Eh-ehh, Tong Siok, berani engkau mengeluarkan suara macam itu? Setiap orang raja baru berhak menjatuhkan keputusan baru dan juga mengubah peraturan lama dengan peraturan baru! Kami pun demikian. Sebagai bengcu baru kami telah menjatuhkan keputusan bahwa tiap perkumpulan yang berlindung di bawah kami harus mengeluarkan pembayaran sesuai dengan yang sudah kami taksir dan keputusan kami inilah peraturan baru!"
Sebelum sute-nya sempat mengeluarkan kata-kata keras, Sin-ciang Gu Kok Ban sudah cepat berkata, "Harap ji-wi bengcu suka bersabar. Terus terang saja, perkumpulan kami agak mundur dan lemah dalam hal keuangan, maka harap ji-wi suka menerima seadanya dulu menurut kemampuan kami. Lain kali tenti kami akan berusaha memenuhi permintaan ji-wi seperti jumlah yang telah ditentukan itu."
"Pangcu," kata Hai-liong-ong Phang Tek. "Keputusan bengcu mana boleh diganggu gugat dan ditawar-tawar lagi? Kalau kami tidak melaksanakan keputusan kami sendiri, maka hal itu sungguh akan menurunkan wibawa kami dan mengacau ketertiban."
"Habis, kalau kami tidak sanggup membayar iuran paksaan ini, kalian mau apa?" bentak Tiat-thouw (Kepala Besi) Tong Siok penuh kemarahan, toya besinya sudah tergetar dalam genggaman tangannya.
"He-heh-heh!" Kim-liong-ong (Raja Naga Emas) Phang Sun, adik dari Phang Tek, tertawa mengejek. "Apa bila kalian tidak mau membayar, hanya ada dua kemungkinan. Pertama, Sin-ciang Tiat-thouw-pang harus mengganti ketuanya dengan orang yang lebih bijaksana dan dapat mentaati peraturan kami. Yang ke dua, bubarkan saja perkumpulan Sin-ciang Tiat-thouw-pang agar tidak membikin kacau!"
"Kami tidak mau mengganti ketua, tidak mau membubarkan perkumpulan, juga tidak mau membayar uang paksa, kalian mau apa?" Tiat-thouw Tong Siok membentak, tidak keburu dicegah oleh Sin-ciang (Tangan Sakti) Gu Kok Ban.
"Bagus! Kalau begitu kami akan mengirim kalian berdua ke neraka!" kata Hai-liong-ong (Raja Naga Laut) Phang Tek yang juga sudah marah menyaksikan sikap bandel dari dua orang ketua perkumpulan yang memang sejak dahulu menentangnya itu.
Kim-liong-ong Phang Sun sudah menerjang si muka bopeng Tong Siok. Kakek bertubuh kecil pendek ini bergerak dengan kecepatan kilat, tahu-tahu tubuhnya sudah melayang dan tangannya yang kecil itu sudah bergerak menyambar ke arah kepala lawan.
Ciauw Si yang menonton terkejut sekali karena dia mengenal gerakan yang amat lihai dan pukulan si kakek kecil itu mengeluarkan suara bercuitan! Tong Siok adalah wakil ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang yang berjuluk Si Kepala Besi, maka tentu saja kepandaiannya cukup hebat dan lebih dari itu, dia telah mengenal kesaktian lawan, maka dia tidak berani ceroboh, cepat dia melempar tubuh ke belakang, berjungkir balik dan toya besinya diputar dalam serangan balasan yang dahsyat pula. Namun, sambil tertawa mengejek si kakek kecil itu menggerakkan tangan kiri menangkis.
"Ting-ting-cringgg...!"
Tiga kali tongkat besi bertemu dengan tangan kiri yang terlindung gelang emas sehingga terdengar suara berdencing nyaring dan tubuh wakil ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang itu terhuyung.
Pada saat itu pula, Hai-liong-ong Phang Tek juga sudah menyerang Gu Kok Ban dengan tongkatnya. Gu Kok Ban maklum akan kesaktian lawan, segera dia mencabut sepasang siang-kiamnya dan menyambut tongkat itu. Terjadilah pertandingan yang amat seru dan hebat, karena Gu Kok Ban dan Tong Siok yang maklum bahwa tingkat kepandaian dua orang lawan itu masih lebih tinggi, tetap melawan dan tidak mau mundur, bertekad untuk membela nama perkumpulan sampai napas terakhir!
Betapa pun nekatnya mereka itu, tetap saja mereka tak mampu membendung datangnya serangan lawan yang bertubi-tubi. Dua orang kakek yang memakai julukan raja naga itu memang mempunyai ginkang yang amat tinggi tingkatnya sehingga gerakan mereka jauh lebih cepat, membuat Gu Kok Ban dan Tong Siok menjadi repot sehingga harus memutar senjata mereka cepat-cepat untuk melindungi tubuh sendiri.
"Cinggg-cinggg...! Wuuuutttt...!"
Tong Siok terkejut bukan main. Selain toya besinya kena ditangkis, juga jari tangan kanan kakek kecil itu hampir saja menusuk pelipis kepalanya. Kalau dia tidak cepat melempar tubuh ke belakang dan jari telunjuk itu mengenal pelipis, tentu kepalanya sudah berlubang dan nyawanya melayang. Akan tetapi si kecil tertawa dan menendang.
Tanpa dapat dihindarkan lagi tubuh Tong Siok yang tinggi besar itu mencelat kemudian bergulingan sampai beberapa meter jauhnya. Namun dia tidak terluka, hanya terkejut dan meloncat bangun lagi dengan muka pucat!
Tetapi, sebelum dia menerjang lagi, tiba-tiba nampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu seorang dara yang cantik telah menyerang kakek kecil itu dengan amat hebatnya! Begitu menyerang, jari-jari tangan dara ini bercuitan menusuk dengan bertubi-tubi ke arah tujuh jalan darah di bagian depan tubuh Kim-liong-ong!
"Ehh... ehhh...!" Kim-liong-ong Phang Sun kaget bukan main sebab semua tangkisannya luput karena jari tangan itu sudah ditarik kembali kemudian dengan kecepatan kilat telah menusuknya lagi. Terpaksa dia meloncat ke belakang, maklum akan bahayanya serangan nona yang baru datang ini.
Ternyata begitu menerjang Ciauw Si telah menggunakan jurus Ilmu Silat San-in Kun-hoat yang ampuh. San-in Kun-hoat (Ilmu Awan Gunung) ini hanya mempunyai delapan jurus, akan tetapi setiap jurus merupakan gerakan yang amat hebat dan berbahaya sekali bagi lawan. Tadi Ciauw Si sudah menyerang dengan jurus ke lima yang disebut San-in Ci-tian (Awan Gunung Mengeluarkan Kilat), maka tentu saja Kim-liong-ong menjadi kaget bukan main.
Sebaliknya, Ciauw Si tidak heran melihat lawannya dapat menghindarkan diri karena dia memang maklum bahwa kakek pendek kecil ini amat lihai, maka dia pun lalu menerjang lagi, sekali ini mengatur langkah menurut Ilmu Thai-kek Sin-kun dan terus mengejar dan menghujankan serangan kepada Kim-liong-ong Phang Sun!
Terjadilah perkelahian yang lebih seru lagi dan diam-diam kakek kecil pendek itu terkejut bukan main karena dara cantik ini benar-benar memiliki dasar ilmu silat tinggi yang amat kokoh kuat dan bersih! Selagi dia menduga-duga siapa adanya dara ini, Tong Siok yang merasa beruntung sekali memperoleh bantuan seorang dara yang lihai sudah menerjang lagi dengan tongkat besi.
Tentu saja Kim-liong-ong menjadi sibuk juga dikeroyok dua oleh lawan yang pandai ini sehingga dia banyak main mundur, mengelak dan kadang-kadang menggunakan gelang emasnya untuk menangkis. Dua tangannya kini mengeluarkan hawa dingin yang berbau amis sebab kakek ini sudah mengerahkan ilmunya yang amat keji, yaitu pukulan-pukulan beracun!
Betapa pun juga, karena kini Ciauw Si yang melihat penggunaan ilmu pukulan beracun telah mencabut pedangnya, kakek kecil itu tetap terdesak hebat. Sinar pedang bergulung-gulung bagai seekor naga putih ketika Ciauw Si memutar pedang Pek-kong-kiam. Sesuai dengan namanya, pedangnya ini terbuat dari pada baja putih, pemberian dari kakeknya.
Di lain fihak, melihat datangnya bantuan seorang dara lihai di fihak musuh, Hai-liong-ong Phang Tek menjadi marah dan juga khawatir melihat adiknya terdesak. Dia mengeluarkan teriakan nyaring dan mendesak Gu Kok Ban dengan tongkatnya.
Didesak secara hebat itu, Gu Kok Ban menjadi gugup sehingga kakinya kena ditendang dan membuat dia terguling. Dengan girang Hai-liong-ong menubruk dengan tongkatnya, mengirim pukulan maut ke arah kepala lawan.
"Tranggg…!"
Tongkatnya terpental dan ternyata yang menangkisnya adalah cahaya putih yang diikuti pedang Pek-kong-kiam di tangan Ciauw Si. Dara yang bermata tajam ini melihat bahaya mengancam ketua pertama dari Sin-ciang Tiat-thouw-pang, maka dengan kecepatan kilat dia telah menyelamatkan nyawa orang itu. Gu Kok Ban meloncat bangun dan membalas serangan lawan dengan senjata siang-kiamnya, sekarang dibantu oleh dara itu sehingga Hai-liong-ong terpaksa harus memutar tongkat agar lolos dari ancaman maut.
Kini Hai-liong-ong yang dikeroyok dua itu terdesak hebat, akan tetapi sebaliknya Tong Siok yang ditinggalkan Ciauw Si terancam dan terdesak hebat oleh Kim-liong-ong, sampai Ciauw Si meloncat lagi membantu wakil ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang ini! Demikianlah, perkelahian itu menjadi seru bukan main di mana Ciauw Si berloncatan ke sana-sini untuk membantu jika seorang di antara dua ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang itu terdesak!
Munculnya dara ini benar-benar membuat para penonton, yang terdiri dari orang-orang Sin-ciang Tiat-thouw-pang dan banyak pula orang-orang dari golongan sesat yang turut menyaksikan pertandingan itu, menjadi gempar! Mereka belum pernah melihat dara ini, dan sekali muncul dara ini telah berani main-main dengan Lam-hai Sam-lo.
Dan ternyata dara ini memiliki tingkat kepandaian yang hebat! Akan tetapi, mereka tidak berani turun tangan, karena mereka semua merasa jeri terhadap Lam-hai Sam-lo yang kini tinggal dua orang itu.....