Pendekar Lembah Naga Jilid 46

"Akan tetapi... mengapa ayah tirimu itu membius kita, Sin Liong? Padahal dia begitu baik dan ramah..." Bi Cu tiba-tiba menahan kata-katanya karena teringat kini betapa sinar mata tuan rumah itu amat kurang ajar seperti hendak menelanjanginya, sinar mata yang seperti dapat dia rasakan menjelajahi tubuhnya, sinar mata cabul!

Kembali Sin Liong menarik napas panjang. Inilah bagian-bagian yang paling sukar dalam pertanyaan-pertanyaan Bi Cu, dan dia tidak boleh berbohong. "Bi Cu, Kui Hok Boan itu hendak menangkap kita, hendak menyerahkan kita kepada pasukan pemerintah, bahkan dia telah mengirim surat kepada seorang perwira di kota raja, memberi tahukan mengenai adanya kita di rumahnya."

"Ahhh, sungguh jahat!" teriak Bi Cu. "Sungguh sikap manisnya itu hanya sebagai topeng domba di balik muka srigala! Akan tetapi... bagaimana engkau kemudian bisa mengetahui pengkhianatannya itu dan dapat melarikan diri, bahkan membawa aku yang masih terbius nyenyak?" Gadis itu memandang penuh perhatian pada wajah Sin Liong, seperti hendak menyelidiki keadaan pemuda itu. 

"Kalau tidak ada Lan-moi dan Lin-moi, tentu sekarang kita sudah tertawan oleh pasukan kerajaan, Bi Cu. Tadi malam, tanpa diketahui orang lain Lin-moi memasuki kamarku lewat jendela lantas dia menceritakan semuanya. Dia bersama Lan-moi disuruh mengantarkan surat oleh ayah mereka untuk seorang perwira di kota raja. Karena merasa curiga mereka berdua membuka surat itu di tengah jalan maka tahulah mereka bahwa surat itu berisi pemberi tahuan bahwa kita berada di rumah mereka. Karena tidak berani membangkang, Lan-moi melanjutkan perjalanan ke kota raja, akan tetapi surat itu baru akan diserahkan pagi hari tadi, sedangkan Lin-moi bertugas pulang untuk memberi tahu kepada kita. Nah, setelah mendengar penuturan Lin-moi itu, aku lalu memasuki kamarmu lewat jendela dan membawamu kabur dari sana, dibantu oleh Lin-moi yang menarik perhatian para penjaga sehingga mudah bagiku untuk berlari keluar."

"Hebat sekali! Adik-adik tirimu itu sungguh manis dan gagah, Sin Liong, aku makin suka kepada mereka! Sungguh aneh, ayah tirimu itu demikian curang, akan tetapi sebaliknya anak-anaknya demikian baik. Bagaimana ini?"

Sin Liong menggelengkan kepala. "Aku sendiri pun tak mengerti, semalam suntuk dua hal yang berlawanan itu menghantui pikiranku."

"Aihhh, aku tahu! Tentu saja begitu..." Tiba-tiba Bi Cu berseru dan wajahnya berseri-seri, sikapnya seperti orang yang baru saja dapat memecahkan suatu teka-teki yang sulit.

"Apa yang kau tahu? Bagaimana?"

"Tentu saja! Ayah tirimu itu seorang yang curang dan khianat, pendeknya seorang yang jahat! Akan tetapi Lan Lan dan Lin Lin tidak menuruti watak ayah mereka, tetapi mewarisi watak gagah dan baik dari mendiang ibumu! Tentu saja begitu, maka mereka demikian baik."

Sin Liong mengangguk-angguk, dan dia dapat percaya pendapat ini, juga hatinya girang sebab ucapan Bi Cu itu sekaligus memuji-muji ibunya yang dikatakannya gagah dan baik, padahal Bi Cu belum pernah bertemu dengan ibunya.

"Sin Liong, marilah kita kembali ke sana. Aku harus menghajar ayah tirimu yang curang dan jahat itu!" tiba-tiba Bi Cu berkata sambil mengepal tinjunya.

Diam-diam Sin Liong tersenyum dalam hati melihat lagak ini. Dia tahu bahwa kepandaian Bi Cu masih jauh untuk dapat menandingi kepandaian ayah tirinya.

"Mana mungkin itu, Bi Cu? Sekarang pun agaknya sudah ada pasukan yang menuju ke dusun itu, bahkan setelah menerima penjelasan, tentu akan mengejar kita ke sini."

"Ohh! Kalau begitu, bagaimana baiknya? Di mana kita ini sekarang, dan hendak pergi ke mana?"

"Aku sengaja mengambil jalan pegunungan yang penuh hutan liar ini, Bi Cu. Aku berlari menuju ke barat dan setelah sampai di sini, kita menyusuri pegunungan ini membelok ke utara. Kita akan pergi ke Lembah Naga dan ke tempat tinggal mendiang ayahmu untuk menyelidiki kematian ayahmu, tanpa melewati kota raja."

"Baik, dan aku berterima kasih kepadamu, Sin Liong," Bi Cu memegang lengan pemuda itu. "Percayalah, kalau ada kesempatan, aku akan membalas pertolonganmu itu, dan aku tidak akan ogah untuk menggendongmu semalam suntuk!"

"Wah, kalau bisa jangan terjadi hal itu. Sebagai seorang laki-laki yang digendong seorang wanita, aku pasti akan ditertawakan orang,." Sin Liong menjawab. "Mari kita melanjutkan perjalanan. Di depan itu ada hutan besar, kita memasuki hutan dan mencari sesuatu yang dapat dimakan."

Demikianlah, pemuda dan pemudi remaja ini lalu melanjutkan perjalanan mereka, masuk keluar hutan, naik turun gunung dan jurang-jurang karena mereka melalui jalan liar yang sama sekali tidak mereka kenal. Penunjuk jalan mereka hanyalah matahari. Mereka tahu arah utara, yaitu jika pagi hari matahari berada di sebelah kanan mereka dan pada sore hari matahari berada di sebelah kiri mereka.

Kadang-kadang mereka melewati dusun pegunungan dan di setiap dusun mereka diterima dengan ramah dan baik oleh para penghuni dusun yang rata-rata berwatak polos, jujur dan penuh peri kemanusiaan itu. Akan tetapi Sin Liong dan Bi Cu yang masih hijau dan belum berpengalaman dalam taktik sebagai buronan itu tidak tahu bahwa justru di dusun-dusun inilah mereka meninggalkan jejak yang sangat jelas! Para pemburu mereka tentu akan mudah mencari keterangan tentang mereka di dusun-dusun ini, dan tentu para penghuni dusun yang jujur itu akan menceritakan kepada siapa pun juga tentang mereka berdua!

Mereka telah melakukan perjalanan beberapa hari lamanya dan mereka sudah melewati batas Propinsi Ho-pei dan Shen-si, melalui kaki Pegunungan Tai-hang-san. Pada hari itu, pagi-pagi sekali mereka telah tiba di depan sebatang sungai yang besar dan karena pada waktu itu banyak turun hujan, maka air sungai meluap dan membanjir! Tidak nampak satu pun perahu di sekitar tempat itu, maka dua orang muda itu berdiri di tepi pantai dengan bimbang ragu dan bingung.

"Wah, mengapa sungai ini menghalangi perjalanan kita?" Bi Cu mengomel dan bersungut-sungut.

"Aihh, Bi Cu, engkau sungguh tidak adil apa bila menyalahkan sungai ini. Sudah beratus tahun, mungkin ribuan tahun lamanya, sungai ini tentu sudah berada di sini dan mengalir tiada hentinya. Dan hari ini, kita yang muncul di sini. Mengapa kau menyalahkan dia yang tidak berdosa? Lebih tepat menyalahkan kita yang mengambil jalan sampai di sini."

Bi Cu semakin cemberut. "Menyalahkan sungai tidak benar, menyalahkan diri sendiri pun apa gunanya? Sekarang ini bagaimana? Menyeberang sungai ini tanpa perahu, sungguh tidak mungkin!"

"Heran mengapa tidak ada perahu di sini?" Sin Liong menoleh ke kanan kiri.

"Tidak heran! Sungai banjir begini, tentu para nelayan sudah pergi. Mau apa berperahu di tempat berbahaya begini? Ikan-ikan pun tentu pada sembunyi, dan tidak ada pelancong yang begitu gila untuk menyeberang. Tentu perahu-perahu itu sudah ditarik ke darat oleh para nelayan agar jangan diseret pergi oleh air bah."

"Wah-wah, agaknya engkau mengerti betul tentang kehidupan nelayan."

"Tentu saja! Suhu pernah mengajakku hidup beberapa bulan di perkampungan nelayan dan aku malah pernah membantu mereka mencari ikan."

"Kalau begitu engkau tentu pandai berenang?"

"Tentu saja!"

"Wah, engkau ini gadis si segala bisa!"

"Apa engkau tidak pandai berenang, Sin Liong?"

Tentu saja Sin Liong dapat berenang dengan baik, karena ketika dia hidup secara liar di dalam hutan pun dia sudah sering kali mandi di telaga kecil di dalam hutan yang cukup dalam. Akan tetapi dia menggelengkan kepala dan merenungi sungai itu, seperti hendak mengukur dan menaksir dengan pandang matanya apakah mungkin menyeberangi sungai lebar yang sedang banjir itu dengan cara berenang.

"Bi Cu, apakah engkau dapat berenang menyeberangi sungai ini?"

"Hanya orang gila yang akan berenang menyeberangi sungai banjir seperti ini! Dia tentu akan hanyut dan tewas. Tidak, kurasa aku tak akan mampu menyeberanginya, Sin Liong. Lebih baik kita mencari perahu. Kalau kita menyusuri tepi sungai, tentu akhirnya kita akan bertemu orang yang mempunyai perahu."

Sin Liong setuju dan mereka berdua lalu berjalan mengikuti aliran sungai yang menuju ke timur itu. Setelah matahari naik tinggi, mereka tiba di sebuah perkampungan nelayan dan benar seperti diduga oleh Bi Cu tadi, perahu-perahu nelayan itu mereka ungsikan sampai jauh ke daratan supaya jangan terseret oleh banjir, dan setiap perahu itu dicancang pada sebatang pohon.

Giranglah hati mereka berdua melihat ini, lantas dengan wajah berseri mereka berlari-lari menghampiri sebuah rumah yang berada pada barisan pertama. Sin Liong menghampiri daun pintu rumah itu dan mengetuknya. Ketukan itu seperti aba-aba saja karena serentak muncullah banyak orang dengan pakaian seragam. Pasukan tentara kerajaan! Melihat ini, Bi Cu mengeluarkan jerit tertahan.

"Ha, inilah mereka, buronan-buronan itu!" teriak seorang anggota pasukan.

"Tangkap mereka!" bentak seorang perwira.

"Bi Cu, lari...!" Sin Liong berseru, cepat menggandeng tangan gadis itu dan melarikan diri menjauhi dusun.

Hanya sebentar saja Bi Cu menjadi gugup. Dia lalu teringat bahwa dialah yang lebih kuat dari pada Sin Liong, maka dialah yang sepatutnya memimpin untuk menyelamatkan diri mereka berdua.

"Lekas... ke sungai...! Tak mungkin lari...!" katanya dan memang kini terdengar derap kaki kuda yang ditunggangi para anggota pasukan itu. Kini Bi Cu yang berbalik menarik tangan Sin Liong diajak lari menuju ke sungai.

Setelah tiba di tepi sungai Sin Liong berkata, "Tapi... tapi... mana mungkin kita berenang di air yang deras itu...?"

"Kita terpaksa, hanya jalan satu-satunya. Lihat, mereka sudah dekat! Hayo cepat!" Bi Cu menarik tangan Sin Liong dan keduanya terjun ke dalam air sungai!

Gelagapan juga Sin Liong ketika terseret arus air yang amat kuat. Bi Cu menggerakkan kaki tangan melawan arus sambil berusaha menarik pundak baju Sin Liong. Akan tetapi pada saat itu pula beberapa orang tentara telah meloncat turun dari atas punggung kuda mereka, memegang busur berikut anak panah, lalu mereka menyerang dua orang yang melarikan diri itu dengan anak panah.

Melihat ini, Sin Liong cepat menggerakkan tangan dan kaki untuk menangkis dan setiap anak panah yang datang menyambar tepat ke arah mereka, bisa diruntuhkannya dengan gerakan ini. Akan tetapi, gerakannya itu membuat Bi Cu menjadi sibuk bukan main. Dara ini tidak melihat adanya serangan itu karena dia sibuk melawan arus.

"Ahh... ehhh... kau jangan meronta-ronta... kau menurut sajalah kutarik... aku pasti akan menyelamatkanmu, Sin Liong...!" Bi Cu berkata dengan terengah-engah dan menarik Sin Liong makin ke tengah.

Arus air sungai itu makin deras dan kuat bukan main. Sin Liong merasakan hal ini dan dia terkejut bukan main. Bahaya di air ini ternyata lebih besar dari pada bahaya yang menanti di darat. Kenapa dia tadi menurut saja pada waktu ditarik oleh Bi Cu? Kenapa dia masih bersikeras untuk menyembunyikan kepandaiannya? Apa bila dia tadi berada di darat, dia masih mampu memanggul Bi Cu untuk melarikan diri dan serangan-serangan anak panah itu tidak ada artinya baginya. Namun, kini sudah terlanjur dan dia harus melawan arus air yang amat kuat itu.

"Menyelamlah... kita menyelam... itu mereka membawa anak panah...!" baru sekarang Bi Cu melihat pasukan anak panah itu berjajar di tepi sungai.

Bi Cu berusaha untuk menarik Sin Liong menyelam, dan Sin Liong tetap meronta untuk menangkisi anak panah yang menyambar-nyambar. Rontaannya ini membuat Bi Cu amat kewalahan dan akhirnya mereka terseret oleh arus air yang kuat hingga bergulingan dan gelagapan!

Sin Liong timbul kembali dan bisa melihat seorang pemuda berpakaian mewah di pantai. Agaknya pemuda itu mencegah pasukan anak panah untuk melakukan serangan, karena pemuda itu bukan lain adalah Ceng Han Houw dan tak jauh dari pemuda itu berdiri Kim Hong Liu-nio!

"Sin Liong... ah... hauppp...!" Bi Cu meraih-raih sehingga akhirnya mereka dapat saling berpegangan lagi.

"Jangan pergunakan anak panah, tapi tangkap mereka hidup-hidup!" terdengar Han Houw berseru. Kemudian dia berteriak pula, "Liong-te, mengapa kau membunuh diri? Aku akan menolongmu, jangan khawatir, tidak akan ada yang mengganggumu. Kau tangkaplah tali ini!" Han Houw segera melontarkan sehelai tali panjang dan tali itu meluncur cepat sekali, ujungnya terjatuh di dekat Sin Liong.

"Tidak... jangan pegang tali itu... mereka akan membunuhmu...!" Bi Cu membantah sambil merangkul Sin Liong, mencegah pemuda itu memegang ujung tali.

Karena ini, ujung tali itu terbawa hanyut oleh air sehingga terpaksa Han Houw menariknya kembali, menggulungnya dan kembali dia memutar-mutar tali di atas kepalanya.

"Liong-te, kau tangkap ujung tali, jangan khawatir, aku akan melindungimu!"

Tali itu dilemparkan dengan sangat kuatnya dan kini tepat mengenai tubuh Sin Liong yang cepat menangkapnya.

"Jangan, Sin Liong...!"

"Tidak apa-apa, Bi Cu. Dia adalah kakak angkatku, lebih baik kita di darat dari pada mati konyol di air. Di darat, setidaknya kita bisa membela diri." Kemudian ditambahnya sambil tersenyum, sengaja memanaskan hati gadis yang wataknya keras ini, "Apakah engkau takut menghadapi mereka di darat?"

"Aku?! Takut?!" Bi Cu membentak. "Hayo kita mendarat!"

Sin Liong saling berpegang tangan dengan Bi Cu, ada pun tangannya yang sebelah lagi memegangi ujung tali yang dia libatkan pada lengannya. Kini tali itu ditarik oleh Han Houw ke pinggir. Akan tetapi saking derasnya air, dua orang muda itu masih terbanting-banting dan terguling-guling.

Sesudah mereka tiba dalam jarak sekitar tiga meter dari tepi sungai, tiba-tiba Han Houw mengeluarkan seruan keras dan membetot tali itu sekuat tenaga. Karena tali itu melibat lengan Sin Liong, maka pemuda ini tertarik dan melayang ke atas bersama Bi Cu yang saling berpegang tangan dengan dia!

Sin Liong berjungkir balik ketika turun ke atas tanah, akan tetapi dia melihat betapa Bi Cu sudah ditolong oleh Han Houw yang tadi dengan cekatan telah menyambut tubuh dara itu dengan tangkas. Sin Liong merasa bersyukur, akan tetapi betapa kaget hatinya ketika dia melihat Han Houw menangkap kedua lengan dara itu dan ditelikungnya ke belakang.

"Houw-ko... apa yang kau lakukan itu...?!" bentaknya.

Para anggota pasukan langsung mengurungnya dengan senjata ditodongkan, akan tetapi Han Houw membentak mereka, menyuruh mereka itu mundur. Kim Hong Liu-nio hanya memandang dengan senyum dingin, agaknya wanita ini sengaja membiarkan saja segala yang dilakukan oleh sute-nya yang juga merupakan junjungannya.

"Pangeran, sebaiknya kita bunuh saja bocah keparat ini!" kata Kim Hong Liu-nio perlahan sambil memandang kepada Sin Liong. Semenjak Han Houw menjadi pangeran di dalam istana Kerajaan Beng, suci ini menyebut pangeran terutama sekali di tempat umum.

Sambil tersenyum Han Houw menoleh kepada perempuan cantik itu. "Ehh, suci, apa kau lupa bahwa dia itu adik angkatku yang tercinta? Siapa yang berani membunuhnya akan berhadapan dengan aku sendiri! Bukankah begitu, Liong-te? Bukankah kita sudah saling bersumpah sebagai kakak beradik?"

"Memang benar, Houw-ko, akan tetapi sikapmu ini sungguh tidak dapat dinamakan sikap seorang kakak angkat yang baik. Hayo kau lepaskan Bi Cu."

"Nona ini? Ha-ha, dia ini cantik dan gagah pula, pantas kalau engkau jatuh cinta padanya, Liong-te..."

"Jangan bicara yang tidak-tidak!" Sin Liong langsung memotong dan wajahnya berubah merah sekali. Ada pun Bi Cu meronta-ronta hendak melepaskan kedua tangannya, akan tetapi tangan yang memegang kedua pergelangan tangannya itu terlalu kuat baginya.

"Ha-ha, engkau masih seperti dulu, Liong-te, kokoh kuat seperti batu karang, dingin beku seperti es di musim salju. Akan tetapi sekali api cinta membakar hatimu, engkau segera berkobar bagaikan lautan api. Ha-ha-ha! Liong-te, aku terpaksa menawan dia ini supaya engkau tidak melakukan kenekatan yang bukan-bukan. Jika engkau menyerah baik-baik, maka aku tidak akan mengganggu dia ini."

Sin Liong mengerutkan alisnya. Dia memang suka terhadap Han Houw dan dia percaya kepada pangeran ini, akan tetapi dia juga tahu bahwa pangeran ini mempunyai watak aneh luar biasa dan kalau sudah hendak membunuh orang, agaknya sama seperti kalau membunuh ayam saja.

"Kau berjanji akan membebaskan dia?"

"Aku berjanji, asal engkau menyerah dan engkau penuhi pula permintaanku yang patut."

"Permintaanmu yang patut?" Sin Liong tersenyum mengejek.

"Benar-benar patut dan sudah semestinya. Akan kukatakan kepadamu nanti, akan tetapi agar tetap aman, engkau menyerah. Suci, totok dia dan Sin Liong, jika engkau melawan, maka nona ini akan kubunuh lebih dulu!"

Kim Hong Liu-nio tersenyum mengejek. "Apa sukarnya untuk merobohkan setan cilik ini, pangeran?" Sesudah berkata demikian, wanita itu menghampiri Sin Liong lantas tangan kirinya bergerak cepat sekali.

Kalau Sin Liong mau, tentu saja dia akan dapat mengelak atau menangkis, akan tetapi dia melihat sinar mata dari Han Houw dan dia tidak berani berkutik. Dia tahu betul bahwa sekali dia melawan, sekali pukul saja Han Houw akan mampu membunuh Bi Cu! Maka dia menyimpan tenaganya dan membiarkan dirinya ditotok. Begitu dua jari tangan Kim Hong Liu-nio mengenai tubuhnya, maka robohlah Sin Liong dalam keadaan lumpuh, tak mampu menggerakkan kaki tangannya.

"Ha-ha-ha, mari kita bicara baik-baik dalam rumah, Liong-te. Ringkus dia dan belenggu baik-baik, juga nona ini!"

Tiba-tiba Bi Cu merasa pundaknya ditekan dan dia pun mengeluh lirih, lalu terguling dan lumpuh karena dia telah ditotok pula oleh Han Houw. Para prajurit cepat mengikat kedua kaki tangan Sin Liong dan Bi Cu, mengikat kedua tangan ke belakang tubuh, kemudian beramai-ramai mereka menggotong kedua orang tawanan itu memasuki sebuah rumah yang paling besar di antara rumah-rumah nelayan itu, karena ini adalah rumah kepala dusun itu.

Atas perintah Han Houw, Bi Cu yang dibelenggu kaki tangannya itu dibawa ke dalam sebuah kamar dan direbahkan ke atas pembaringan, sedangkan Sin Liong didudukkan di atas sebuah bangku ruangan luar, di mana terdapat sebuah meja dan Han Houw duduk di atas kursi di belakang meja itu dengan lagak bagai seorang hakim yang hendak mengadili seorang pesakitan.

Pangeran ini lalu melepaskan topinya karena hawa dalam rumah itu agak panas, bahkan juga melepaskan baju bulunya dan memakai pakaian biasa dari sutera tipis sehingga dia kelihatan lebih tampan. Sambil tersenyum dia lalu memandang kepada Sin Liong, lantas memberi isyarat dengan tangan agar para pengawal yang menjaga di ruangan itu pergi semua.

Tanpa diminta, Kim Hong Liu-nio yang tadinya duduk pula di sudut, mengangkat pundak kemudian pergi meninggalkan ruangan itu. Wanita ini maklum pula bahwa sang sute yang menjadi junjungannya itu ingin berbicara berdua saja dengan tawanannya, maka sebelum sute itu minta dia pergi, dia telah mendahuluinya meninggalkan ruangan. Meski pun Ceng Han Houw seorang pangeran yang sudah sepantasnya memerintah dia, namun dia selalu merasa tidak enak kalau diperintah pangeran yang menjadi sute-nya ini, apa lagi di depan para prajurit atau orang-orang lain.

Sin Liong masih dalam keadaan terbelenggu dan tertotok. Jika dia menghendaki, agaknya dia akan mampu membebaskan diri dari totokan itu, apa lagi dari belenggu yang baginya tidak banyak berarti itu.

Akan tetapi Sin Liong bukanlah orang yang bodoh untuk bertindak ceroboh. Dia pun tahu bahwa keselamatan Bi Cu terancam bahaya, maka dia berpura-pura tidak berdaya sambil memikirkan bagaimana cara sebaiknya untuk menolong Bi Cu dan pergi membebaskan diri dari Han Houw dan pasukannya. Untuk melawan dengan kekerasan, amat berbahaya bagi keselamatan Bi Cu. Dia sendiri tidak takut menghadapi Han Houw, Kim Hong Liu-nio dan pasukannya, akan tetapi bagaimana dengan Bi Cu? Apa artinya dia dapat lolos kalau dara itu tertawan!

Han Houw kini tertawa dengan sikapnya yang khas, tertawa dan tersenyum lepas hingga wajahnya semakin menarik dan tampan. Sepasang matanya yang tajam itu memandang wajah Sin Liong ketika dia tertawa.

"Ha-ha-ha, sungguh tak kuduga kita akan saling berhadapan seperti ini, kau terbelenggu seperti seorang musuh! Rasanya bagai mimpi saja, atau seperti sedang main sandiwara!" Kembali pangeran itu tertawa seperti orang yang merasa amat geli melihat peristiwa yang lucu.

"Hemm, aku sendiri juga merasa sangat heran, Houw-ko, kenapa engkau melakukan hal seperti ini kepadaku setelah dahulu engkau mengajakku untuk bersembahyang dan saling bersumpah menjadi kakak dan adik angkat," Sin Liong berkata dengan suara dan sikap dingin.

Han Houw mengangkat alis, membelalakkan mata dan mengembangkan dua lengannya. "Aih, kenapa engkau malah menyalahkan aku, Liong-te? Aku selalu baik kepadamu, akan tetapi pada suatu waktu yang lalu engkau bahkan pergi meninggalkan aku tanpa pamit! Kemudian engkau juga merendahkan namaku dengan menjadi seorang pelayan restoran di kota raja. Adik angkatku menjadi pelayan restoran, bukankah itu berarti engkau hendak menyeret namaku ke dalam lumpur? Bukan itu saja, malah keluarga Cia, termasuk ayah kandungmu, Cia Bun Houw itu, semua menjadi pemberontak, melawan pemerintah dan membunuh banyak orangnya pemerintah sehingga tentu saja sebagai keluarga dari Cia Bun Houw itu engkau ikut terseret! Dan sesudah engkau dikepung dan nyaris tenggelam akulah yang menolongmu! Nah, katakan salah siapa semua ini?"

Sin Liong tahu akan kelihaian kakak angkatnya ini memutar lidah, maka dia merasa tidak perlu untuk menanggapi.

"Sudahlah, Houw-ko, sekarang katakan apa kehendakmu setelah engkau menawan kami berdua?" Dia tahu bahwa tentu Han Houw ingin minta dia melakukan sesuatu yang amat penting bagi pangeran itu, dan sebagai sandera atau cara untuk memaksanya maka Bi Cu ditawan.

"Hemm, agaknya engkau tergesa-gesa ingin melihat dara itu bebas, Liong-te! Ah, sebagai kakak angkatmu, aku berhak pula mengetahui apakah dia itu patut menjadi calon iparku? Memang dia cantik manis, akan tetapi aku mendengar bahwa dia itu berjuluk Kim-gan Yan-cu dan menjadi pemimpin para pengemis! Engkau memilih seorang wanita pengemis untuk menjadi jodohmu? Ahh, apakah tidak ada wanita lain di dunia ini, Liong-te? Biar pun dia cantik manis, akan tetapi..."

"Sudahlah, Houw-ko, aku tidak mau berbantahan lagi. Dia bukan apa-apaku, dan karena bukan apa-apa itulah maka aku tidak ingin dia celaka karena aku. Kau bebaskan dia dan mari kita bicara baik-baik."

"Ha-ha-ha, engkau cinta padanya! Benar, aku dapat melihat ini! Sungguh heran, padahal kalau engkau menginginkan seorang isteri, aku dapat memilihkan salah seorang di antara puteri-puteri istana yang cantik-cantik. Akan tetapi kata orang, cinta memang buta! Dan karena engkau mencinta gadis itulah maka dia kutawan, karena hendak kutukar dengan sesuatu darimu."

"Lekas kau katakan, apakah kehendakmu, Pangeran Ceng Han Houw?!" bentak Sin Liong marah.

Pangeran itu mengerutkan alisnya mendengar sebutan itu. "Liong-te, apa engkau sudah melupakan dan hendak melanggar sumpah kita bahwa kita telah mengangkat saudara? Seorang gagah tidak akan melanggar janji dan sumpahnya sendiri!"

"Baikiah, Houw-ko, nah, lekas katakan, apakah kehendakmu sebenarnya?"

"Liong-te, kita adalah kakak dan adik angkat, maka sepatutnya harus duka sama dipikul dan suka sama dinikmati. Bukankah begitu? Nah, aku sangat tertarik akan kepandaianmu yang amat hebat itu, Liong-te. Maka, aku minta agar engkau suka menceritakan semua rahasia kepandaianmu itu, sebab menurut pengakuanmu, engkau adalah murid Ouwyang Bu Sek, akan tetapi kepandaianmu malah melebihi tingkat kepandaian Ouwyang Bu Sek, ini menurut penuturan Lam-hai Sam-lo. Nah, sekarang ceritakan terus terang kepadaku, dari mana engkau memperoleh kepandaian hebat itu? Kuharap engkau bersikap jujur!"

Sin Liong mengerutkan kedua alisnya. Tentu saja dalam keadaan biasa dia tidak akan mau membuka rahasia ini. Akan tetapi dia tahu bahwa keselamatan Bi Cu tergantung dari pertanyaan ini agaknya, maka dia menjadi bimbang.

"Dan engkau akan membebaskan gadis itu kalau aku menceritakannya kepadamu?"

"Tergantung dari sikapmu, Liong-te. Kalau engkau jujur, tentu saja akan kubebaskan dia. Aku tidak begitu gila untuk mengganggu gadis yang kau cinta."

Sin Liong marah mendengar ini, akan tetapi dia merasa tak perlu untuk berbantah tentang hal itu. "Baiklah, aku percaya bahwa engkau masih memiliki kegagahan untuk memegang janjimu."

Dulu pada saat melakukan perjalanan bersama pangeran itu, Sin Liong pernah bercerita bahwa dia dibimbing ilmu silat oleh Ouwyang Bu Sek, suheng-nya itu, dan bahwa dia tak pernah bertemu dengan gurunya yang disebut Bu Beng Hud-couw itu, akan tetapi dia tak pernah memberi penjelasan lebih jauh tentang cara dia mempelajari ilmu-ilmu yang aneh itu. Dia tahu bahwa pangeran itu amat tertarik, bahkan sudah menyatakan ingin berguru kepada manusia dewa yang disebut Bu Beng Hud-couw namun belum pernah dilihatnya sendiri itu, dan kini pangeran itu minta penjelasan.

"Seperti yang telah kuceritakan kepadamu dahulu, Houw-ko, aku mempelajari ilmu silat di bawah bimbingan dan petunjuk suheng Ouwyang Bu Sek. Sebetulnya dialah guruku, akan tetapi dia tidak mau disebut guru, minta disebut suheng karena katanya aku sebetulnya juga murid Bu Beng Hud-couw seperti dia! Akan tetapi, seperti telah kuceritakan padamu, aku sendiri selama hidupku belum pernah bertemu atau melihat suhu Bu Beng Hud-couw itu."

"Hemm...!" Han Houw mengerutkan alisnya karena merasa tidak puas dengan keterangan yang memang pernah didengarnya ini. "Tentu ada sesuatu yang menyebabkan Ouwyang Bu Sek tidak mau disebut guru, dan kenyataannya, kepandaianmu lebih tinggi dari pada dia. Sebagai sute-nya, apa lagi muridnya, tidak mungkin kepandaianmu dapat melampaui dia. Ceritakan terus terang, Liong-te."

Sin Liong menarik napas panjang. Tak mungkin dia menyembunyikan lagi. Pangeran ini terlampau cerdik, dan Bi Cu berada di tangannya. "Baiklah, Houw-ko. Sesungguhnya hal ini merupakan rahasia, akan tetapi apa boleh buat, kepadamu akan kuceritakan dengan terus terang. Suheng Ouwyang Bu Sek memiliki simpanan kitab-kitab dari suhu Bu Beng Hud-couw dan aku sudah mempelajari kitab-kitab itu, sedangkan suheng yang sudah tua tidak mau mempelajarinya, akan tetapi tentu saja aku mempelajarinya atas petunjuk dan bimbingannya."

"Ahhh...! Begitukah?" teriak Han Houw dengan girang. "Di mana adanya kitab-kitab itu?"

"Kitab-kitab itu telah dibakar oleh suheng."

"Ahhh...! Akan tetapi Ouwyang Bu Sek tentu masih menyimpan kitab-kitab lain atau minta kitab-kitab lain dari suhu-nya yang sangat luar biasa itu! Liong-te, sekarang engkau harus membawaku kepada Ouwyang Bu Sek dan membujuknya supaya dia suka menerimaku sebagai muridnya atau sute-nya, mempelajari ilmu-ilmu dari Bu Beng Hud-couw!"

Sin Liong terkejut bukan main, kemudian menggeleng kepalanya. "Hal itu tidak mungkin, Houw-ko!"

Wajah yang tampan itu menjadi muram. "Liong-te, engkau lupa bahwa aku adalah kakak angkatmu sendiri? Dan engkau tidak ingin membantuku untuk memenuhi cita-citaku, yaitu menjadi jagoan nomor satu di dunia ini?"

"Bukan begitu, Houw-ko. Akan tetapi aku tidak berani, karena suheng sudah memesan agar jangan bicara dengan orang lain tentang suhu dan kitab-kitab itu."

"Akan tetapi aku bukan orang lain! Aku adalah kakak angkatmu!"

"Houw-ko, kau mintalah yang lain akan tetapi jangan itu. Bagaimana kalau sampai suheng marah kepadaku?"

"Aku hanya ingin mewarisi ilmu-ilmu dari Bu Beng Hud-couw, mengapa dia akan marah? Dan engkau akan membantuku hingga berhasil, hingga mau menerimaku dan memintakan ilmu-ilmu dari Bu Beng Hud-couw, engkau harus membantuku!"

"Eh, apa maksudmu?" Sin Liong memandang tajam melihat sikap keras dan suara penuh ancaman itu.

"Mari kau lihat sendiri!" Han Houw lalu mengangkat tubuh Sin Liong, dibawanya masuk ke dalam kamar di mana terdapat Bi Cu yang masih terlentang dalam keadaan terbelenggu kaki tangannya.

Dara itu memandang dengan mata terbelalak pada saat melihat Han Houw membawa Sin Liong masuk kemudian membelenggu kedua tangan Sin Liong pada tiang yang berada di dalam kamar itu. Gadis itu masih dalam keadaan setengah lumpuh oleh totokan sehingga hanya dapat menggerakkan tubuhnya sedikit saja, ada pun kedua pergelangan tangannya masih dibelenggu ke belakang punggungnya, demikian pula kedua pergelangan kakinya telah dibelenggu, sedangkan sepatunya telah dicopot dari kedua kakinya.

"Houw-ko, apa yang hendak kau lakukan ini?" tanya Sin Liong dengan wajah mengandung kekhawatiran.

Han Houw tersenyum dan menengok ke arah pembaringan di mana tubuh Bi Cu rebah terlentang. "Kau tentu tidak ingin melihat dia terganggu, bukan?"

"Maksudmu?!" Sin Liong membentak.

"Berjanjilah bahwa engkau hendak membantuku sampai aku diterima oleh Ouwyang Bu Sek!"

"Sejak tadi sudah kukatakan bahwa hal itu tak mungkin dapat kulakukan!" kata Sin Liong memancing, untuk melihat apa yang akan dilakukan pangeran itu kalau dia menolak.

"Kalau engkau menolak, maka terpaksa engkau akan melihat dia ini kuperkosa di depan matamu!"

Sin Liong terbelalak. "Tidak, tak mungkin engkau mau melakukan itu! Aku tidak percaya, hanya gertak kosong belaka!"

"Gertak kosong, ya? Nah, kau boleh lihat!"

Pangeran itu dengan tersenyum lalu melangkah menghampiri pembaringan di mana Bi Cu rebah terlentang dengan kedua mata terbelalak dan muka pucat. Kemudian setelah dekat, dengan cepat tangannya meraih ke arah dada Bi Cu.

Dara ini menjerit kemudian menggulingkan tubuhnya. Biar pun tubuhnya masih setengah lumpuh, tapi rasa takut mendatangkan tenaga tambahan dan tubuhnya dapat bergulingan menelungkup sehingga cengkeraman Han Houw kini mengenai leher bajunya.

"Breeetttt...!"

Sekali renggut saja baju Bi Cu sudah terobek berikut pakaian dalamnya sehingga nampak punggungnya yang telanjang, putih mulus.

"Jangan...! Houw-ko, jangan...! Aku menerima permintaanmu!" Sin Liong berseru.

Sekali renggut saja, kedua tangannya telah terlepas dari belenggu, demikian pula kedua kakinya. Akan tetapi, Han Houw juga sudah menubruk Bi Cu dan menaruh cengkeraman tangannya ke arah ubun-ubun kepala dara itu.

"Kau maju, dia mati!" katanya tenang.

Diam-diam pangeran ini terkejut dan kagum sekali melihat betapa pemuda itu sekaligus dapat membebaskan totokan dan juga dapat mematahkan belenggu kaki tangannya. Sin Liong tersentak kaget dan berdiri tak bergerak.

"Aku sudah berjanji kepadamu maka kau lepaskan gadis itu, Houw-ko!"

"Tidak, engkau harus bersumpah dulu bahwa engkau akan berusaha sampai aku berhasil diterima oleh Ouwyang Bu Sek menjadi muridnya."

"Baiklah, aku bersumpah untuk berusaha sampai engkau diterima menjadi muridnya dan sekarang kau lepaskan dia."

"Demi nama baik ayah dan ibu kandungmu!" Pangeran itu menyambung.

Sin Liong merasa penasaran sekali. Pangeran itu tidak percaya kepadanya!

"Baik, demi nama baik ayah dan ibu kandungku!"

Han Houw tertawa girang dan turun dari atas pembaringan. "Terima kasih, Liong-te. Aku memang sudah yakin engkau akan memenuhi permintaanku!"

"Dan sekarang, kau bebaskan dia!"

Han Houw bertepuk tangan dan muncullah lima orang pengawal. "Carikan pakaian untuk nona ini. Cepat!"

Lima orang pengawal itu memberi hormat dan cepat keluar. Tak lama kemudian mereka telah datang kembali membawa pakaian yang diminta itu, kemudian mereka keluar lagi.

"Nah, kau boleh bebaskan dia dan memberi pakaian ini untuk kekasihmu itu, Liong-te. Aku menanti di luar."

Setelah berkata demikian. Han Houw tersenyum dan melangkah keluar dari dalam kamar, sengaja menutupkan daun pintu dan membiarkan Sin Liong berdua saja dengan Bi Cu di dalam kamar itu.

Bi Cu tadi mendengarkan semua percakapan itu, akan tetapi dia tidak tahu betapa Sin Liong telah membikin putus semua belenggu kaki tangannya. Kini, dia merasa betapa Sin Liong melepaskan ikatan kedua tangan dan kakinya dan tiba-tiba dia merasa jalan betapa jalan darahnya mengalir kembali dengan normal sehingga dia dapat menggerakkan kaki tangannya. Bi Cu tidak tahu bahwa ketika melepaskan ikatan kedua pergelangan tangan tadi, seperti tidak sengaja jari tangan Sin Liong menekan punggung dan membebaskan totokan yang membuat Bi Cu lumpuh.

"Apa yang kau janjikan tadi, Sin Liong?" Bi Cu berbisik ketika dia sudah lepas dari ikatan.

Kini dia telah memakai baju yang diberikan oleh Han Houw tadi. Hanya bajunya saja yang dipakainya, karena celananya sendiri tidak ikut terobek. Dia tidak peduli betapa pakaian dalamnya juga ikut robek, dan dia hanya menutupi tubuhnya dengan baju itu yang cukup tebal, baju seorang wanita petani yang kuat.

"Tidak apa-apa, Bi Cu. Engkau sudah bebas maka cepatlah engkau pergi jauh-jauh dari tempat ini."

"Dan kau?"

"Aku tidak dapat ikut pergi."

"Kalau begitu aku tidak mau! Kita berdua mengalami mala petaka, kita senasib, mana mungkin sekarang aku harus menyelamatkan diri sendiri dan pergi meninggalkan engkau di tangan mereka yang jahat? Tidak, kita harus lari berdua, atau mati berdua. Mari kau ikut lari bersamaku!" Bi Cu menengok ke arah jendela dan memegang tangan Sin Liong hendak ditariknya untuk diajak lari.

"Engkau tidak mungkin bisa melarikan diri seperti itu, Bi Cu. Tempat ini sudah terkurung oleh pasukan. Engkau harus mengambil jalan dari pintu dan pergi biasa. Mereka tak akan mengganggumu karena sudah berjanji kepadaku."

"Tapi..." Bi Cu membantah dan dia meloncat ke tepi jendela, membuka daun jendela dan memandang keluar. Benar saja, di sana berdiri deretan pasukan yang berbaris rapi dan ketat, dengan senjata di tangan.

"Ihhhh...!" Dia menjerit lirih dan menutupkan kembali daun jendela. "Kau benar, banyak pasukan menjaga di sana."

"Sudahlah, Bi Cu, kau pergilah, mari kuantar keluar. Kita harus berpisah di sini sekarang, berpisah sementara. Aku harus ikut dengan mereka."

"Tapi..." Bi Cu kini memegang kedua tangan Sin Liong dan memandang wajah pemuda itu. "Kapan kita dapat saling jumpa kembali...?"

Sin Liong tersenyum. "Kita pasti berjumpa kembali kelak. Nah, sekarang kau pergilah dan hati-hatilah, Bi Cu, jangan bertualang dengan para pengemis itu, dan juga jangan mencari permusuhan karena di dunia ini banyak orang jahat yang lihai sekali. Mari kuantar kau keluar."

Mereka lalu melangkah keluar, dan ternyata Han Houw sudah menunggu di luar. Melihat pangeran ini, sepasang mata Bi Cu bersinar penuh kemarahan dan dua pipinya menjadi merah. Han Houw tersenyum, lalu menjura dengan lembut.

"Nona, harap engkau suka maafkan segala yang telah terjadi tadi, percayalah bahwa aku tetap menghormatmu sebagai kekasih adik angkatku..."

"Houw-ko! Hentikan ucapan seperti itu!" Sin Liong berseru marah.

Pangeran itu hanya tersenyum, lantas mengantar mereka keluar sampai di depan rumah, baru Bi Cu melihat bahwa di sana banyak sekali prajurit yang sudah mengepung rumah itu sehingga kalau menggunakan kekerasan untuk melarikan diri jelas amat sukar.

"Nah, pergilah engkau, Bi Cu dan selamat jalan," kata Sin Liong sambil melirik ke arah Kim Hong Liu-nio yang berdiri di samping.

"Tapi... tapi engkau...," Bi Cu berkata lirih.

"Jangan hiraukan aku, kita kelak akan saling jumpa kembali. Selamat jalan."

"Ha-ha-ha, perpisahan antara dua orang yang diam-diam sudah saling mencinta, betapa mengharukan!" kata Han Houw.

Hampir saja Sin Liong lupa diri dan sepasang tangannya sudah terkepal. Dia mendengar gerakan di sebelah kiri maka tahulah dia bahwa Kim Hong Liu-nio juga sudah siap untuk menerjang apa bila dia menyerang sang pangeran.

"Houw-ko, engkau harus berjanji lebih dulu bahwa engkau dan anak buahmu tidak akan mengganggu Bi Cu, kalau engkau tidak mau berjanji, sampai bagaimana pun aku tidak akan membawamu kepada Ouwyang Bu Sek!"

Melihat sikap pemuda ini kemudian mendengar suaranya yang keras serta mengandung ancaman, Han Houw lalu tersenyum dan berkata, mengangkat tangan kanannya dengan penuh lagak, "Baik, aku berjanji bahwa aku dan anak-anak buahku tak akan mengganggu nona ini." Suaranya lantang sehingga terdengar oleh semua prajurit. Barulah lega hati Sin Liong mendengar ini.

"Nah, pergilah, Bi Cu."

Nona itu nampak ragu-ragu, memandang kepada Sin Liong dengan khawatir, kemudian dia mengangguk dan berlari dari sana melewat jalan di mana berbaris pasukan di kanan kirinya. Setelah jauh, sebelum membelok, dia berhenti dan menengok, melihat Sin Liong masih berdiri mengikutinya dengan pandangan matanya, dan di sebelah Sin Liong berdiri pangeran itu dan wanita cantik yang amat lihai itu. Kemudian dia melanjutkan larinya dan membelok di tikungan jalan, lalu lenyap dari pandang mata Sin Liong yang menarik napas panjang karena hatinya merasa lega. Yang paling penting adalah keselamatan Bi Cu dan setelah dara itu bebas, barulah hatinya lega.

"Nah, kapan kita berangkat ke selatan?" tanyanya kepada Han Houw.

"Besok pagi-pagi, aku harus membereskan urusan di kota raja dulu dan berunding dengan suci."

Sin Liong tidak peduli lagi. Dia lalu memasuki kamar untuk beristirahat dan mencari jalan bagaimana sebaiknya menghadapi Ouwyang Bu Sek, karena dia sudah berjanji dan dia harus berhasil membuat Han Houw diterima sebagai murid suheng-nya itu…..

********************

Setelah Kaisar Ceng Hwa naik tahta, keadaan di Kerajaan Beng-tiauw kelihatan tenteram dan tenang, atau setidaknya demikianlah laporan-laporan yang diterima oleh Kaisar Ceng Hwa dari para bawahannya. Kaisar Ceng Hwa masih terlalu muda ketika naik tahta, masih hijau dan kurang pengalaman sungguh pun dia berusaha dengan sungguh-sungguh untuk menjadi kaisar yang baik.

Memang, semenjak para thaikam tidak lagi berkuasa di kota raja dan terutama di istana, yaitu semenjak Kaisar Ceng Tung kembali menduduki tahta kerajaan, keadaan di istana tidaklah seburuk ketika para thaikam masih merajalela. Akan tetapi, setelah Kaisar Ceng Hwa menduduki tahta kerajaan, para thaikam kecil yang tadinya hanya bertugas sebagai pelayan-pelayan di dalam istana, terutama di dalam bagian-bagian di mana tinggal para puteri, mulai beraksi mendekati raja muda itu. Kaisar Ceng Hwa memang masih hijau dan mudah tergelincir oleh sikap dan kata-kata yang manis menjilat-jilat.

Kim Hong Liu-nio yang dianggap sebagai seorang wanita yang berjasa besar di istana, sudah menyelamatkan Kaisar Ceng Hwa ketika masih menjadi pangeran, kini merupakan seorang tokoh yang amat disegani dan juga dihormati di istana. Bahkan wanita ini, seperti juga Pangeran Ceng Han Houw, memperoleh kekuasaan istimewa untuk memasuki istana setiap waktu, bahkan diperbolehkan pula untuk menghadap kaisar tanpa dipanggil!

Kesempatan ini sekarang dipergunakan sebaiknya oleh Kim Hong Liu-nio. Seperti telah diketahui, wanita yang usianya sudah tiga puluh lima tahun itu akhirnya jatuh cinta kepada seorang pria yang tadinya selalu dipandang rendah. Dia jatuh cinta kepada Panglima Lee Siang, bahkan dengan suka rela sudah menyerahkan diri, menyerahkan kehormatannya kepada pria yang dicinta itu. Akan tetapi, seperti yang sudah diceritakan di bagian depan, kekasihnya itu, Panglima Lee Siang, tidak dapat lama menjadi pria pertama yang berada dalam pelukannya. Lee Siang tewas di tangan Lie Seng!

Sejak saat itulah, bukan saja Kim Hong Liu-nio mendendam sakit hati yang amat besar kepada keluarga Cin-ling-pai, yang tadinya hanya ditentangnya karena dia diperintah oleh gurunya. Kini dia sendiri mempunyai dendam pribadi atas kematian kekasihnya.

Di samping dendam ini, juga ada sesuatu yang tumbuh di dalam hatinya. Kalau dahulu dia bersikap dingin dan membenci pria, semenjak ia menyerahkan dirinya kepada Lee Siang, semenjak dia menikmati belaian dan pencurahan kasih sayang seorang pria, sesudah dia merasakan permainan cinta antara dia dengan Lee Siang, wataknya kini ternyata sudah berubah sama sekali.

Sikap dan pandang matanya pada kaum pria telah mengalami perubahan besar, terutama terhadap pria-pria muda dan tampan, dan di dalam sinar mata itu terkandung gairah nafsu yang amat besar! Wanita ini merasa amat tersiksa oleh gairah yang mendesak-desak ini, membuat dirinya selalu kehausan, haus akan belaian dan kasih sayang seorang laki-laki!

Padahal, apa bila melihat kenyataan betapa tadinya wanita ini hanya merupakan seorang dayang di kerajaan kecil pimpinan Raja Sabutai, sekarang sudah menjadi seorang wanita terhormat di istana Kerajaan Beng yang sangat besar, hidup terhormat dan mulia, segala kehendaknya tentu terlaksana, tentu semua orang condong mengatakan bahwa dia telah mendapatkan kemuliaan dan kebahagiaan hidup! Akan tetapi nyatanya tidaklah demikian keadaannya!

Memang merupakan kenyataan seperti terbukti dari catatan sejarah jaman dahulu sampai keadaan hidup di dalam masyarakat modern sekarang ini, bahwa manusia selalu menilai kebahagiaan hidup manusia dengan ukuran harta benda, kedudukan, nama besar, dan lain-lain nilai yang dianggap menyenangkan jasmani dan perasaan belaka. Sudah menjadi pendapat umum yang sudah diterima bahwa orang yang berhasil mengumpulkan harta benda disebut ‘maju’, ‘mulia’, senang, bahagia dan sebagainya.

Kalau seorang mengatakan bahwa si Polan sekarang sudah maju, sudah mulia hidupnya, sudah senang, dan sebagainya, tidak salah lagi bahwa yang dimaksudkannya itu adalah bahwa si Polan telah berhasil mengumpulkan harta benda, telah menjadi kaya raya, atau disebut sudah makmur hidupnya! Bahkan perkumpulan-perkumpulan, baik perkumpulan sosial, budaya, politik, agama sekali pun, disebut ‘maju’ apa bila gedungnya bertambah gagah. Pendeknya, semua penilaian diukur dari dasar harta benda!

Akan tetapi benarkah kenyataannya demikian, yaitu bahwa manusia akan hidup bahagia bila sudah berhasil mengumpulkan banyak harta benda? Berbahagiakah manusia kalau sudah mempunyai kedudukan tinggi? Berbahagiakah manusia kalau sudah memperoleh kekuasaan besar atas manusia-manusia lain, bila sudah tenar namanya, dan sebagainya lagi itu? Bila kita mau membuka mata melihat kenyataannya dan tidak secara membuta mengikuti serta menerima saja anggapan dan pendapat umum yang sudah lapuk dan berkarat itu, kita akan melihat keadaan yang sama sekali tidak demikian!

Memang harus diakui bahwa semua kemuliaan duniawi itu, kedudukan, kekuasaan, harta benda, nama besar, dapat mendatangkan kesenangan, tapi setiap kesenangan itu selalu tak terpisahkan dari kesusahan. Demikian pula semua itu jika dianggap sebagai sumber kesenangan, maka kenyataannya menjadi pula sumber kesusahan!

Ada yang mengatakan tidak mungkin! Marilah kita melihat kenyataannya! Harta benda, kedudukan, nama tenar, dan sebagainya itu hanya nampaknya saja menyenangkan bagi yang belum memilikinya. Akan tetapi bagi yang telah memilikinya, kesenangannya sudah hambar dan tidak terasa lagi. Bila yang belum memilikinya hanya membayangkan segi senangnya saja, maka yang memilikinya telah bosan dengan segi senangnya, merasakan pula secara langsung segi kebalikannya, yaitu segi susahnya.

Misalnya yang mempunyai harta bisa saja sewaktu-waktu kehilangan hartanya itu, yang berkedudukan kehilangan kedudukannya, yang namanya tenar kehilangan ketenarannya, dan membayangkan semua kehilangan ini saja sudah merupakan siksaan batin terhadap si pemilik. Hal ini tentu saja tidak dapat dirasakan oleh mereka yang belum memilikinya, namun akan terasa kebenarannya oleh mereka yang telah memilikinya. Memiliki sesuatu itu, yang nampaknya menyenangkan, merupakan ikatan, sehingga yang memiliki selalu akan menjaga miliknya itu, karena hanya yang memiliki saja yang akan dapat kehilangan!

Apakah dengan kenyataan ini, lalu kita harus menyingkirkan semua milik itu, menolak harta benda, kedudukan, ketenaran dan sebagainya? Tentu saja tidak! Melainkan kita harus mengerti dan sadar bahwa semua itu hanya merupakan semacam pakaian saja bagi manusia, bukan merupakan keperluan mutlak bagi kehidupan! Sadar dan mengerti pula dengan membuka mata memandang penuh kewaspadaan bahwa semua itu, kalau sampai menjadi ikatan di mana kita melekatkan batin, akan berbalik menjadi siksaan karena menimbulkan rasa takut akan kehilangan, menimbulkan duka kalau semua itu sampai terlepas dari tangan kita!

Pengertian inilah yang akan membebaskan kita dari ikatan, sehingga sungguh pun kita memiliki harta benda, memiliki kedudukan, atau memiliki nama yang tenar, kita tak akan mabok, tidak akan terikat, mengerti bahwa semua itu hanyalah sesuatu yang tidak abadi, sesuatu yang fana, yang sekali waktu dapat saja terlepas dari kita.

Pengertian ini yang membebaskan, sehingga kita tidak terikat oleh semua itu, tidak lagi semua yang dianggap sumber kesenangan itu berakar dalam hati sanubari kita. Karena, kalau sampai berakar segala sumber kesenangan itu dalam batin kita, kemudian suatu waktu semua itu dicabut, maka akar-akarnya akan tercabut dan membuat batin kita terluka dan berdarah sehingga timbuilah duka!

Tak mungkin ada kebahagiaan tanpa adanya kebebasan! Bebas bukan berarti kita lalu menjadi apatis, menjadi lemah, menjadi pessimis, atau menjadi pemurung yang putus asa. Sama sekali bukan! Bebas berarti tidak terikat oleh apa pun juga! Tentu saja yang dimaksudkan adalah ikatan batin! Sekali kita terikat, maka muncullah duka.

Kita bisa saja menjadi seorang berharta, bisa saja menjadi seorang berkedudukan tinggi, menjadi seorang yang tenar namanya. Namun semua itu kita punyai tanpa kita miliki, atau lebih jelas kita mempunyai semua itu hanya lahir belaka, tidak mendalam menjadi ikatan batin.

Apakah kita dapat membebaskan diri seperti ini? Jawabannya hanya dapat ditemukan di dalam penghayatan, karena jawaban tanpa penghayatan di dalam hidup kita sehari-hari hanya akan menjadi teori kosong belaka, menjadi bahan perdebatan untuk menonjolkan diri sebagai orang yang sok tahu!

Hemm... pusing, kan? Semua gara-gara nafsu Kim Hong Liu-nio mendadak jadi gede.....!

Traktiran: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan) ataupun bisa melalui via Trakteer yang ada dibawah

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar