Sikap kita, senyum kita, ucapan-ucapan kita, semua itu terkendali, semua itu munafik dan palsu, tidak sewajarnya, semua itu ‘demi kesopanan’. Apakah sikap yang dibuat-buat itu sopan? Kalau kita bicara dengan orang lain, terutama kalau kita bicara dengan orang yang lebih tinggi kedudukannya dari pada kita, atau lebih kaya, atau lebih pintar menurut anggapan kita, maka otomatis muncullah kepalsuan kita, senyum kita, pandang mata kita, kata-kata kita, semua itu "disesuaikan" dalam pertemuan itu sehingga kita menjadi manusia lain, yang berbeda dengan pembantu kita, yang berbeda dengan keluarga kita dan sebagainya!
Sopan santun pura-pura dan palsu! Beginikah kebudayaan kita? Beginikah peradaban kita? Betapa menyedihkan bila hal itu kita namakan kebudayaan, peradaban yang hanya merupakan kepintaran berpura-pura belaka, pandai bermanis selagi perasaan sepahit-pahitnya, pandai menghormat dan bersikap sopan selagi hati menghina dan membenci! Dan kita telah terdidik semenjak kecil untuk berpura-pura seperti itu!
Semenjak kecil kita dijejali pelajaran-pelajaran bagaimana harus bersikap sebagai orang yang sopan, sebagai yang orang berbudaya, terpelajar dan sebagainya! Kita tak pernah diperkenalkan kepada apa yang dinamakan kesopanan itu, dalam arti kata menyelami, mendalami, mengerti dan menghayati, dan bukan sekedar sikap lahiriah yang pura-pura belaka!
Kalau sudah ada rasa hormat dalam batin kita terhadap sesamanya, rasa hormat yang timbul bukan karena pura-pura, bukan karena penjilatan, melainkan rasa hormat yang dengan sendirinya muncul di mana terdapat cinta kasih terhadap sesama, apa bila sudah ada rasa cinta seperti itu di dalam batin kita, maka segala kepura-puraan itu, segala kesopanan hampa, segala kemunafikan, akan sirna dan hubungan antara manusia akan menjadi lain sama sekali!
Kalau segala kepalsuan itu sudah tidak ada, dan bila mana hubungan antara manusia didasari cinta kasih, maka hubungan itu baru benar-benar akan ada! Tetapi sebaliknya, hubungan seperti yang ada sekarang ini, hanyalah hubungan semu belaka, hubungan antara dua gambaran dari aku dan engkau yang keduanya palsu, tidak sewajarnya, tidak seadanya, dan dalam hubungan seperti itu, tentu saja muncul pertentangan-pertentangan.
Sopan santun pura-pura dan palsu! Beginikah kebudayaan kita? Beginikah peradaban kita? Betapa menyedihkan bila hal itu kita namakan kebudayaan, peradaban yang hanya merupakan kepintaran berpura-pura belaka, pandai bermanis selagi perasaan sepahit-pahitnya, pandai menghormat dan bersikap sopan selagi hati menghina dan membenci! Dan kita telah terdidik semenjak kecil untuk berpura-pura seperti itu!
Semenjak kecil kita dijejali pelajaran-pelajaran bagaimana harus bersikap sebagai orang yang sopan, sebagai yang orang berbudaya, terpelajar dan sebagainya! Kita tak pernah diperkenalkan kepada apa yang dinamakan kesopanan itu, dalam arti kata menyelami, mendalami, mengerti dan menghayati, dan bukan sekedar sikap lahiriah yang pura-pura belaka!
Kalau sudah ada rasa hormat dalam batin kita terhadap sesamanya, rasa hormat yang timbul bukan karena pura-pura, bukan karena penjilatan, melainkan rasa hormat yang dengan sendirinya muncul di mana terdapat cinta kasih terhadap sesama, apa bila sudah ada rasa cinta seperti itu di dalam batin kita, maka segala kepura-puraan itu, segala kesopanan hampa, segala kemunafikan, akan sirna dan hubungan antara manusia akan menjadi lain sama sekali!
Kalau segala kepalsuan itu sudah tidak ada, dan bila mana hubungan antara manusia didasari cinta kasih, maka hubungan itu baru benar-benar akan ada! Tetapi sebaliknya, hubungan seperti yang ada sekarang ini, hanyalah hubungan semu belaka, hubungan antara dua gambaran dari aku dan engkau yang keduanya palsu, tidak sewajarnya, tidak seadanya, dan dalam hubungan seperti itu, tentu saja muncul pertentangan-pertentangan.
Saat Han Houw minta kepada pembesar kota Ceng-lung untuk menyampaikan laporannya kepada Raja Sabutai tentang hasilnya membasmi Jeng-hwa-pang, pembesar itu terkejut bukan main, akan tetapi dengan tergopoh-gopoh dia cepat mengutus pasukan kecil untuk menyampaikan berita itu ke utara.
Para pembesar itu baru tahu bahwa dua orang pemuda ini ternyata memiliki kepandaian luar biasa, karena kalau tidak demikian, mana mungkin dua orang itu mampu membasmi perkumpulan Jeng-hwa-pang yang amat ditakuti itu?
Pada malam harinya, kembali dua orang muda itu dijamu secara besar-besaran oleh para pejabat di Ceng-lun. Han Houw nampak gembira bukan main dan minum sampai hampir mabuk. Malam makin larut dan akhirnya para pembesar itu minta diri, meninggalkan dua orang muda itu melanjutkan bersenang-senang dengan dilayani oleh delapan orang gadis cantik manis yang melayani sambil tersenyum-senyum. Karena dipaksa dan dibujuk oleh Han Houw, Sin Liong minum arak agak banyak pula. Meski pun dia tidak sampai mabuk, akan tetapi seluruh tubuhnya terasa panas dan dia mulai pening.
"Houw-ko, aku pun hendak mengaso. Biarlah aku kembali ke kamar lebih dulu dan kalau engkau belum puas, kau lanjutkan sendiri pesta ini," katanya sambil bangkit sendiri.
Han Houw tertawa bergelak dan mengangkat cawan yang penuh arak. "Ha-ha-ha, engkau sudah hendak tidur? Ha-ha-ha! Bagus, bagus, dan selamat Liong-te, selamat bersenang-senang, ha-ha-ha!"
Sin Liong memandang kakak angkatnya dengan alis berkerut, dia tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh kakaknya itu. Akan tetapi Han Houw hanya tertawa sambil merangkul pinggang salah seorang di antara empat orang gadis cantik yang berpakaian serba merah, maka dia pun mengira bahwa kakak angkatnya itu sudah mabuk.
Dia tersenyum, menggeleng kepala lalu membalikkan tubuhnya meninggalkan ruangan itu untuk pergi ke kamar yang sudah disediakan untuknya. Dia tidak tahu bahwa empat orang yang berpakaian serba hijau saling pandang, tersenyum lalu mereka pun membayanginya dari jauh.
Karena terlalu banyak minum, Sin Liong segera melempar tubuhnya ke atas pembaringan tanpa membuka pakaian atau sepatunya. Kepalanya terasa pening dan tubuhnya panas. Tiba-tiba dia terkejut karena biar pun dia pening dan mengantuk, namun pendengarannya masih tajam sekali sehingga sedikit gerakan di pintu itu cukup membuat dia terkejut dan menoleh.
Dia terbelalak heran ketika melihat empat orang gadis berpakaian serba hijau yang tadi melayaninya makan minum, kini memasuki kamarnya itu dan gadis terakhir menutupkan pintu kamar. Mereka itu tersenyum-senyum memandang kepadanya dengan sikap sangat genit.
"Hee! Mau apa kalian masuk ke sini...?" Sin Liong sudah bangkit duduk lantas menegur dengan gugup.
Empat orang pelayan yang muda dan cantik-cantik itu sangat genit, dan tadi pada waktu melayaninya makan minum sudah membuat dia bingung dan gugup sehingga dia tidak dapat menolak mereka yang ikut-ikut Han Houw membujuknya sehingga dia minum terlalu banyak.
Empat orang itu tertawa cekikikan sesudah mendengar pertanyaan ini, dan mereka lalu mulai menanggalkan pakaian luar mereka! Dengan sikap genit seorang di antara mereka berkata, "Ah, kongcu..., masih bertanya mau apa? Hik-hik, apa pun mau asal kongcu yang menyuruh...! Kami berempat memang ditugaskan untuk melayanimu, kongcu..."
Sepasang mata Sin Liong makin terbelalak ketika dia melihat betapa empat orang wanita itu kini tinggal memakai pakaian dalam yang tipis berwarna hijau muda sehingga terkena sorotan lampu, nampak lekuk lengkung tubuh mereka membayang di balik pakaian dalam yang tipis itu.
"Tidak..., tidak...! Kalian layani saja Houw-ko..."
"Ahh, kongcu tidak usah khawatir. Pangeran sudah ada yang melayani, yaitu empat orang gadis berpakaian merah tadi. Kami bertugas melayanimu, kongcu, dan kami beruntung sekali karena kami merasa lebih senang melayanimu..."
"Ehh, mengapa?" Sin Liong merasa heran mendengar bahwa mereka ini lebih senang melayaninya dari pada melayani Han Houw.
"Hik-hik, karena... semua orang pun dapat melihat bahwa kongcu adalah seorang perjaka tulen..."
Wajah Sin Liong menjadi merah dan jantungnya berdebar kencang ketika melihat empat orang gadis cantik itu dengan langkah memikat maju menghampirinya, lenggang mereka seperti empat orang penari.
"Mari kubantu kongcu menanggalkan pakaian. Hawanya begini panas..."
"Biar kupijit badanmu, kongcu, engkau tentu lelah..."
"Kongcu hendak minum apa?"
"Aku yang akan mengipasimu, kongcu..."
Akan tetapi Sin Liong meloncat menghindarkan mereka. "Aku... aku... mau mencari hawa sejuk..." katanya gagap dan seperti orang takut setan pemuda ini lari keluar dari kamar itu.
Tentu saja empat orang gadis itu melongo, saling pandang lalu tertawa cekikikan. Sikap pemuda itu malah menimbulkan gairah di hati mereka karena jelaslah bahwa pemuda itu belum pernah berdekatan dengan wanita, dan hal ini sangat menarik hati mereka. Sambil tertawa-tawa mereka menyambar pakaian luar mereka, memakainya kembali dan mereka lalu keluar dari kamar, cekikikan dan berlomba untuk mencari pemuda itu.
Tiba-tiba muncullah Han Houw dan dia lalu berbisik-bisik dengan mereka, seperti orang yang mengatur siasat dan disambut oleh empat orang pelayan itu dengan tertawa geli.
Sementara itu, Sin Liong melarikan diri ke dalam taman dengan jantung berdebar tegang. Tubuhnya penuh keringat karena pengalaman tadi membuat dia menjadi sangat tegang. Dia sudah mengenal taman ini siang tadi dan tahu bahwa di situ terdapat sebuah telaga buatan kecil yang airnya jernih. Taman itu sunyi, dan di bagian utara telaga kecil itu amat indahnya.
Malam itu bulan bersinar terang dan cahayanya membuat permukaan air telaga kuning keemasan. Air sedemikian heningnya sehingga bulan bagaikan tenggelam ke dasarnya, tersenyum kepadanya. Ketika Sin Liong berdiri di tepi telaga dan memandang, bulan yang bundar itu membentuk wajah. Wajah yang berubah-ubah, wajah keempat orang pelayan wanita tadi yang kini tersenyum memikat kepadanya.
Dia bergidik, walau pun tubuhnya terasa gerah. Sin Liong mengusir semua bayangan itu dengan duduk di tepi telaga yang sunyi dan menujukan pikirannya kepada pelajaran ilmu yang pernah dilatihnya di bawah bimbingan dan petunjuk Ouwyang Bu Sek. Di antara ilmu yang didapatinya di dalam kitab pemberian guru mereka yang pernah dilihatnya, yaitu Bu Beng Hud-couw, terdapat ilmu semedhi untuk menghimpun tenaga Im-kang dan waktunya tepat sekali pada saat itu.
Ilmu itu harus dilakukan dengan cara merendam diri di dalam air, di bawah sinar bulan purnama. Dan saat itu bulan purnama, dan di depannya terdapat air telaga yang bening dan jernih. Dia akan dapat melakukan ilmu ‘menyedot dan menghimpun hawa Im’ dengan sebaiknya. Apa lagi dia memang sedang merasa panas, dan latihan itu dapat mengusir gangguan bayangan empat orang wanita tadi yang telah mengejarnya!
Karena taman itu sunyi dan tidak kelihatan ada seorang pun kecuali dirinya, Sin Liong tidak ragu-ragu lagi lalu menanggalkan semua pakaiannya, dan dengan hati-hati dia lalu turun ke dalam air telaga. Air yang sejuk sekali menyambutnya hingga dia merasa segar sekali. Dia terus melangkah ke tengah telaga di mana airnya mencapai perutnya, namun ketika dia duduk bersila, air merendam tubuhnya sampai ke leher.
Mulailah Sin Liong bersemedhi dan mengatur napas menurut pelajaran yang ada di dalam kitab ciptaan Bu Beng Hud-couw dan mulailah dia menghimpun tenaga dari hawa Im yang berlimpahan bersama dengan sinar bulan purnama memenuhi telaga itu!
Dia segera merasakan betapa hawa yang sangat dingin itu meresap ke dalam tubuhnya, bergerak-gerak di dalam pusar karena hawa di dalam tubuhnya segera menolak hawa Im yang amat kuat itu. Namun dengan menurutkan petunjuk pelajaran itu dia tidak menolak, melainkan menghimpun dan menerima.
Mula-mula memang tubuhnya menggigil, akan tetapi makin lama hawa dingin itu semakin berkurang dan dia mulai merasa nyaman sehingga kalau dia tidak waspada, dia dapat tertidur dan akibatnya tentu akan berbahaya sekali baginya.
Tiba-tiba terdengar suara ketawa cekikikan yang amat mengejutkan hati Sin Liong dan dia terbelalak memandang ke pinggir telaga di mana empat orang pelayan cantik tadi sudah berdiri sambil tertawa-tawa dan mereka itu mulai menanggalkan pakaian mereka dengan cepat! Kini bukan hanya pakaian luar yang mereka tanggalkan, melainkan berikut pakaian dalam pula sehingga mereka itu semua berbugil!
"Aihhh, kongcu mandi mengapa tidak mengajak kami?"
"Mari kugosokkan punggungmu, kongcu."
"Kongcu, kau ajari aku renang, hi-hik!"
Tiga orang sudah terjun, kemudian sambil tertawa-tawa menghampiri dan mengurung Sin Liong, bersiram-siraman air dengan tangan mereka sambil tertawa-tawa. Orang ke empat sudah tergesa-gesa menanggalkan pakaian untuk terjun pula.
Empat orang wanita itu tertawa semakin geli ketika melihat keadaan Sin Liong. Memang lucu sekali keadaan pemuda ini. Dia bengong dan tetap mendekam dalam air, tidak berani bergerak sama sekali! Dia bertelanjang bulat, bagaimana dia berani bergerak? Kalau dia melarikan diri, tentu ketelanjangannya akan terlihat orang! Akan tetapi berdiam saja di situ juga tak mungkin. Empat orang wanita itu telah mendekatinya, bahkan mulai meraba-raba sambil tertawa-tawa.
"Jangan... pergilah kalian... pergilah..." Dia berkata gagap, akan tetapi keempat orang itu semakin geli tertawa-tawa, memperlihatkan dada mereka yang terbuka sambil melakukan gerakan-gerakan memikat di hadapan Sin Liong sehingga pemuda ini memejamkan mata agar tidak melihat semua pemandangan itu.
"Aihh, kongcu, mengapa malu-malu?"
"Malu-malu kucing, hi-hik..."
"Kongcu, berilah cium padaku..."
Sin Liong tidak dapat bertahan lagi. Dia membuka sepasang matanya dan tiba-tiba kedua tangannya bergerak. Air terpercik ke sekelilingnya.
"Aduhhh...!"
"Ahh, mataku..."
Empat orang wanita itu menjerit, cepat menggunakan kedua tangan menutupi muka dan mereka memejamkan mata karena percikan air itu bagaikan jarum-jarum saja menusuki muka mereka! Mereka hanya merasakan air bergerak kuat, kemudian sunyi.
Ketika akhirnya mereka berani membuka mata, ternyata pemuda yang tadi merendam diri bertelanjang di antara mereka itu telah lenyap. Demikian pula tumpukan pakaian pemuda itu di tepi telaga telah lenyap pula!
Dengan kecewa dan juga terheran-heran empat orang gadis cantik itu keluar dari dalam telaga. Muncullah Han Houw dan dengan kecewa pula dia berkata, "Ah, kalian sungguh bodoh! Mengapa kalian tidak memeganginya dan tidak berhasil menundukkannya? Tolol!"
Dan dengan gemas pangeran ini pun pergi dari sana, kembali ke dalam kamarnya. Dia merasa amat penasaran karena belum juga dapat berhasil menggoda adik angkatnya itu. Selama adik angkatnya itu dapat bertahan dan tinggal menjadi seorang perjaka, dia akan selalu merasa ‘kalah’ dan hal ini amat tidak enak baginya. Dia tidak mau kalah, dalam hal apa pun juga.
Dan apa bila dia sudah berhasil menemukan guru adik angkatnya itu, dia pun tidak akan mau kalah dalam hal ilmu silat. Akan tetapi sekarang, dia tidak saja kalah dalam ilmu silat, bahkan kalah pula dalam keteguhan hati mempertahankan kemurnian dirinya. Dia hanya menang dalam kedudukan dan pangeran ini mulai merasa menyesal dan kecewa.
Sementara itu, ketika tadi dia menggunakan akal untuk membuat empat orang wanita itu terpaksa menutupi muka mereka, Sin Liong berhasil melarikan diri tanpa mereka lihat dan pada saat dia melarikan diri, dia melihat Han Houw mengintai dari balik sebatang pohon, tidak jauh dari telaga buatan itu! Hatinya merasa penasaran bukan main karena dia dapat menduga bahwa kembali kakak angkatnya itulah yang tadi berusaha untuk menyeret dan menjatuhkannya dalam pelukan wanita-wanita itu!
Mulailah Sin Liong merasa betapa berbahayanya bila dia melanjutkan perjalanan bersama kakak angkatnya itu. Ada ketidak cocokan dalam banyak hal di antara mereka, meski pun harus diakuinya bahwa dia merasa suka kepada Han Houw dan mengagumi pangeran itu.
Karena dia merasa marah dengan perbuatan Han Houw yang jelas hendak menyeretnya jatuh ke dalam permainan cinta kotor dengan wanita-wanita itu, Sin Liong tidak kembali ke dalam kamarnya, melainkan terus melarikan diri pergi dari kota Ceng-lun. Bahkan kuda tunggangnya tidak diambilnya dan dia melanjutkan perjalanan seorang diri, menggunakan ilmunya berlari cepat melintasi padang pasir dan menyeberangi tembok besar, memasuki daerah selatan. Dia meninggalkan Han Houw begitu saja!
Sin Liong melakukan perjalanan jauh menuju selatan yang harus ditempuh dengan susah payah. Betapa jauh bedanya dengan saat dia melakukan perjalanan bersama Han Houw. Ketika dia melakukan perjalanan bersama pangeran dari selatan, jauh sekali dari selatan, dia dan Han Houw menunggang kuda dan selalu berhenti di setiap kota besar, disambut dengan penuh kehormatan oleh para pembesar, dijamu dengan hidangan-hidangan lezat, dilayani dan diberi tempat penginapan di kamar istimewa yang bersih dan mewah.
Kini, setelah dia meninggalkan Han Houw di Ceng-lun dan melakukan perjalanan dengan jalan kaki ke selatan, dia melakukan perjalanan seorang diri yang luar biasa melelahkan, bahkan sering kali kurang makan sehingga terpaksa dia makan seadanya, malah pernah dia terpaksa minta makan pada keluarga petani yang miskin!
Akhirnya dia tiba di kota raja, tempat yang memang ditujunya. Dia ingin mencari Kim Hong Liu-nio, wanita yang bukan saja telah membunuh ibu kandungnya, akan tetapi juga yang menyebabkan kematian kakeknya.
Akan tetapi, sesudah dia sampai di kota raja, kota yang besar dan ramai itu, mulailah dia merasa bingung. Ke mana dia harus mencari Kim Hong Liu-nio di tempat ramai dan besar ini? Dan mulai pula dia bingung karena tidak tahu bagaimana dia harus mencari makan!
Kalau dia berada di dalam hutan, mudah baginya untuk menangkap binatang hutan atau tetumbuhan untuk dimakan, akan tetapi di kota besar seperti kota raja ini, bagaimana dia bisa mendapatkan makan? Mengemis? Dia tidak sampai hati untuk mengemis makanan. Jalan satu-satunya hanyalah bekerja. Akan tetapi bekerja apakah?
Sin Liong merasa bingung sekali. Sudah dua hari dia tidak makan dan pada pagi hari itu, dia berdiri di depan sebuah restoran yang baru saja membuka pintu pintunya. Dia berdiri di situ karena asap dan uap masakan yang keluar dari rumah makan itu sungguh sangat sedap tercium hidungnya, membuat perutnya terasa makin lapar, hampir tak tertahankan lagi.
Sin Liong adalah seorang laki-laki muda yang berwajah tampan. Pakaiannya pun adalah pakaian yang tadinya sangat indah dan mahal, pemberian dari pembesar-pembesar yang menyambut Han Houw. Biar pun telah beberapa lama pakaian itu tidak dicuci atau diganti, sudah nampak kotor, namun masih mudah dikenal bahwa pakaian itu tadinya merupakan pakaian mahal.
Oleh karena itu, saat melihat pemuda ini berdiri bengong di depan rumah makan, majikan rumah makan itu menjadi amat tertarik. Dia memandang penuh perhatian dan keheranan. Kalau pemuda itu seorang kongcu, tentu sudah masuk restoran dan memesan makanan untuk sarapan pagi, akan tetapi kalau seorang tuan muda, biar pakaian dan sepatunya menunjukkan demikian, pakaian itu sudah terlalu kotor. Sebaliknya, kalau pengemis, tidak pantas pula. Wajah dan pakaian pemuda itu, juga sikapnya, sama sekali tidak memberi tanda bahwa pemuda itu seorang pengemis.
"Engkau... ada apakah berdiri di situ, orang muda?" Akhirnya majikan rumah makan itu berdiri di depan pintunya dan bertanya.
Ditegur orang, Sin Liong gelagapan dan dia menelan ludahnya, "Ah, aku... lapar sekali..."
Hemm, bukan pengemis, pikir majikan rumah makan itu. Kalau pengemis tentu dia sudah minta-minta.
"Kalau lapar, boleh membeli makanan," pancingnya.
Sin Liong makin gelisah. "Aku... aku tidak punya uang..."
Majikan rumah makan itu mengerutkan alisnya lantas memandang dengan teliti dari atas sampai ke bawah. "Lalu dengan apa engkau akan membayar makanan kalau tidak punya uang?"
Pertanyaan ini seolah-olah membuka kesempatan bagi Sin Liong. "Lopek, kalau engkau sudi memberi makanan kepadaku, aku dapat membayarnya dengan tenagaku. Aku mau bekerja apa saja untukmu!"
Majikan rumah makan itu mengelus jenggotnya yang jarang dan pendek. Hemmm, orang muda ini tidak kelihatan jahat, sikapnya halus dan tubuhnya kelihatan kuat.
"Kau mau menjadi pelayan?"
"Aku mau!"
"Apakah engkau bisa?"
"Aku dapat mempelajarinya."
"Siapa narnamu, orang muda?"
"Namaku... panggil saja A-sin!"
"Di mana rumahmu?"
"Lopek, harap percaya padaku, aku bukan orang jahat. Akan tetapi aku tak punya rumah, dan aku pun tidak mau mengemis. Aku ingin bekerja untuk mendapatkan makan."
Sikap tegas dan gagah ini segera menarik hati majikan rumah makan itu. "Sudah berapa hari engkau tidak makan?"
"Sudah dua hari dua malam, dan aku telah melakukan perjalanan jauh sekali."
"Masuklah!"
Sin Liong segera masuk dan majikan rumah makan itu dengan penuh perhatian memberi hidangan bubur panas kepadanya. Sin Liong makan dengan lahapnya dan sebentar saja sudah menghabiskan bubur empat mangkok besar! Sesudah selesai makan, pemuda ini lalu bangkit berdiri, menjura kepada pemilik rumah makan sambil berkata lantang, "Lopek yang baik. Terima kasih atas kebaikanmu, dan sekarang aku mau bekerja untukmu!"
Mulailah Sin Liong bekerja di rumah makan itu. Mula-mula dia disuruh membantu tukang masak, mengambil air, membelah kayu, mencuci mangkok piring dan sebagainya. Karena pemuda itu sangat rajin dan pandai membawa diri, dia disuka dan sebentar saja majikan memberi kepercayaan kepadanya untuk menjadi pelayan.
Wajahnya yang tampan serta usianya yang masih muda itu dianggap memenuhi syarat untuk menjadi pelayan yang baik dan menyenangkan tamu, dan pekerjaan ini memang amat menyenangkan hati Sin Liong karena membuka kesempatan baginya untuk bertemu dengan macam-macam orang sehingga dari percakapan para tamu dia dapat mengetahui keadaan di luar, dan bahkan dari para tamu yang terdiri dari orang-orang kang-ouw dia mendapat kesempatan untuk mendengar banyak mengenai dunia persilatan sehingga dia dapat melakukan penyelidikan mengenai musuh besarnya.
Hingga berbulan-bulan lamanya Sin Liong bekerja sebagai seorang pelayan restoran, dan selama itu pula dia tidak pernah lalai untuk selalu melatih ilmu-ilmunya, bahkan dia makin memperdalam ilmu-ilmu aneh yang dahulu dipelajarinya dari kitab-kitab ciptaan Bu Beng Hud-couw. Namun tidak ada seorang pun tahu akan keadaan dirinya ini karena Sin Liong amat pandai menyembunyikan semua kepandaiannya itu. Dia selalu menjauhkan diri dari masalah yang menimbulkan pertentangan atau keributan. Dia selalu mengalah sehingga tidak ada orang pernah memusuhinya.
Ketika melayani para tamu yang datang makan di restoran itu, Sin Liong selalu waspada sehingga dia tidak pernah melewatkan percakapan di antara tamu yang penting. Dengan kepandaiannya yang tinggi, dia dapat mempergunakan ketajaman pendengarannya untuk menangkap semua percakapan, meski pun yang dilakukan oleh tamu yang duduk di ujung restoran dan jauh dari tempat dia berdiri sekali pun.
Dengan jalan inilah dia mendengar pula mengenai tokoh-tokoh kang-ouw yang berada di kota raja dan sekitarnya. Bahkan dengan hati kaget dia mendengar pula betapa keluarga mendiang kakeknya di Cin-ling-pai, yaitu Yap Kun Liong, Cia Giok Keng, Cia Bun Houw dan Yap In Hong telah dicap sebagai pemberontak-pemberontak buruan pemerintah!
Berita ini membuatnya termenung sejenak. Betapa pun juga, seorang di antara mereka, yaitu Cia Bun Houw, adalah ayah kandungnya! Cerita tentang peristiwa itu selalu masuk dalam benaknya sungguh pun dia sudah selalu mengusirnya dengan ingatan bahwa ayah kandungnya itu adalah orang yang tidak baik, yang telah menyia-nyiakan ibu kandungnya sehingga dia terlahir tanpa ayah dan semenjak lahir tidak pernah ditengok ayahnya!
Pada suatu pagi, rumah makan itu ramai dikunjungi tamu. Hari itu kebetulan jatuh pada Pek-gwe Cap-go (tanggal lima belas bulan delapan), yaitu merupakan salah satu di antara hari-hari besar di Tiongkok, karena pada tanggal itu orang-orang melakukan sembahyang Tiong-ciu.
Seperti biasa, pada hari besar itu banyak penduduk dari luar kota raja berduyun-duyun datang ke kota raja, ada yang hanya berpesiar, akan tetapi sebagian besar untuk membeli kue-kue tiong-cu-pia yang lezat dan juga untuk berbelanja segala macam barang yang tidak bisa mereka dapatkan di dusun-dusun. Restoran di mana Sin Liong bekerja penuh dengan tamu sehingga semua pelayan menjadi sibuk, bahkan majikan rumah makan itu sendiri turut pula menyambut tamu di pintu depan dengan wajah berseri gembira karena keramaian itu seolah meramalkan bahwa hari itu akan memperoleh keuntungan yang tak sedikit.
Empat orang tamu baru saja memasuki rumah makan itu. Mereka ini terdiri dari dua orang pemuda dan dua orang gadis, Melihat empat orang muda yang dari pakaiannya saja telah menunjukkan bahwa mereka orang-orang kaya itu berdiri termangu-mangu dan ragu-ragu karena restoran itu amat penuhnya, majikan restoran itu cepat-cepat menyambut mereka dengan senyum ramah.
"Silakan masuk, ji-wi siocia dan ji-wi kongcu, di sebelah dalam masih ada tempat duduk yang kosong. A-sin...! Lekas kau sambut tamu-tamu kita ini!" teriaknya kepada Sin Liong yang cepat berjalan keluar untuk menyambut tamu-tamu itu seperti yang diteriakkan oleh majikannya.
Begitu melihat empat orang tamu itu, wajah Sin Liong berubah dan jantungnya berdegup tegang. Cepat dia membungkuk-bungkuk untuk menyembunyikan wajahnya kemudian dia mempersilakan mereka masuk karena di sudut sebelah dalam memang masih ada meja yang kosong, baru saja ditinggalkan tamu lain dan sudah dibersihkannya.
Dia segera mengenal dua orang gadis itu. Andai kata dia salah mengenal dua orang gadis itu dan salah seorang di antara pemudanya, akan tetapi tak mungkin dia salah mengenal pemuda ke dua itu.
Pemuda itu sudah pasti adalah Beng Sin! Wajahnya yang bulat, tubuhnya yang gendut, mulut yang seperti selalu tersenyum dan mata yang lucu itu! Siapa lagi kalau bukan si gendut Beng Sin, seorang di antara keponakan Kui Hok Boan, ayah tirinya?
Dan dua orang gadis itu, yang sukar dibedakan satu antara yang lain, tentulah si kembar Lan Lan dan Lin Lin, adik-adik tirinya! Ada pun pemuda tampan gagah itu siapa lagi kalau bukan Siong Bu? Masih nampak pesolek, angkuh dan gagah saja pemuda itu! Dan Lan Lan berdua Lin Lin, kini telah menjadi dara-dara remaja yang cantik manis.
Jantung di dalam dada Sin Liong berdebar tegang. Ingin dia menyapa, akan tetapi teringat bahwa dia hanyalah seorang pelayan restoran, dia menelan kembali seruan yang sudah berada di ujung bibirnya tadi. Jelas bahwa mereka berempat itu tidak mengenalnya. Tentu saja tidak mengenalnya. Dia hanyalah seorang pelayan restoran!
"Tuan-tuan muda dan nona-nona hendak memesan masakan apakah? Dan minum apa?" dia bertanya dengan sikap hormat dan seperti biasa bila dia melayani para tamu lainnya.
Empat pasang mata memandangnya hingga Sin Liong merasa betapa jantungnya makin berdebar.
"Ehh, aku pernah melihatmu!" Tiba-tiba Beng Sin si gendut berseru sambil memandang kepada Sin Liong.
Sin Liong terkejut. Dia langsung memasang aksi terheran-heran dan segera menekankan gaya bahasa selatan dalam kata-katanya. "Ah, kongcu tentu keliru mengenal orang. Atau barang kali kongcu pernah makan di sini, tentu saja pernah melihat saya."
"Aku belum pernah makan di sini, baru sekali ini," kata Beng Sin. "Sudahlah, sekarang hidangkan empat masakan yang paling lezat dari restoran ini!"
"Sin-ko, aku hanya ingin makan bubur ayam saja dan minum secangkir air teh panas," kata Lan Lan.
"Aku juga," sambung Lin Lin.
"Ha-ha, engkau hanya mengingat makanan saja, Sin-te! Kita berangkat dari rumah untuk berbelanja ke pasar kota raja, akan tetapi begitu masuk kota raja engkau memaksa kami masuk restoran untuk makan!" Siong Bu mencela sambil tertawa.
"Wah, Bu-ko, selagi kita masih hidup, tentu saja kita harus ingat urusan makan. Makan merupakan kebutuhan hidup yang pokok, ada pun berbelanja ke pasar hanya merupakan kesenangan biasa saja. Sesudah makan, barulah belanja, dan dapat berbelanja dengan senang karena tidak lagi diganggu perut lapar. Bukankah begitu?"
Lan Lan dan Lin Lin tertawa. "Bu-ko, sudahlah, berdebat tentang makan melawan Sin-ko, engkau tak akan menang!"
Sin Liong melihat dan mendengarkan percakapan antara empat orang muda ini dengan hati berdebar dan penuh keharuan. Terbayanglah dia akan masa anak-kanak ketika dia masih berada di samping empat orang ini. Dia merasa terharu karena ternyata mereka itu tidak berubah, atau yang jelas, Beng Sin sama sekali tidak berubah, masih seperti dahulu ketika anak-anak. Suka makan, jenaka dan gembira!
Dia lalu menyampaikan pesanan mereka ke dapur, namun diam-diam dia merasa heran mengapa empat orang itu kini berada di sini. Agaknya mereka tinggal tidak jauh dari kota raja. Apakah yang terjadi dengan mereka dan semenjak kapan mereka pindah dari utara? Tentu saja ingin sekali dia bercakap-cakap dengan mereka, akan tetapi karena dia masih ingin menyembunyikan keadaan dirinya, maka dia menahan hatinya dan melayani mereka tanpa membuka suara.
Akan tetapi, sesudah keempat orang muda itu selesai makan dan meninggalkan restoran dengan sikap gembira, Sin Liong cepat mendekati majikannya dan tiba-tiba dia mengeluh lantas terhuyung-huyung. Majikannya terkejut sekali dan cepat memegang lengannya.
"Ehh, kau kenapa, A-sin?" tanyanya. Akan tetapi melihat wajah A-sin menjadi pucat sekali serta tubuhnya terasa panas bukan main, dia segera memanggil pelayan yang lain dan dipapahlah A-sin memasuki kamarnya.
A-sin segera jatuh pingsan! Majikannya tentu saja menjadi bingung, akan tetapi pada saat majikannya hendak menyuruh orang memanggil tabib, Sin Liong ‘siuman’ kembali lantas berkata lemah,
"Tidak usah memanggil tabib... mungkin hanya masuk angin saja... asal saya dibolehkan rebah mengaso, tentu akan segera sembuh..."
Majikannya tentu saja membolehkan dia mengaso di dalam kamarnya. Melihat bahwa Sin Liong tidak begitu payah lagi, majikannya dan pelayan lain lalu keluar lagi karena restoran amat sibuknya pada waktu itu.
Kesempatan ini digunakan oleh Sin Liong yang tadi hanya menggunakan ilmunya untuk membikin dirinya pucat dan panas, untuk menutupkan daun pintu dari dalam, kemudian dia meloloskan diri tanpa diketahui siapa pun melalui genteng rumah! Tak lama kemudian dia telah berada di dalam pasar dan membayangi empat orang muda tadi yang sedang berbelanja. Mereka membeli pakaian dan segala macam barang lain, dan lagak mereka menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang muda yang membawa bekal uang cukup banyak.
Seperti biasa di tempat-tempat ramai pada waktu-waktu ramai dikunjungi oleh orang-orang dusun yang hendak berbelanja, di pasar itu pun terdapat banyak kaum pencopet! Mereka ini pun ‘berpesta’ karena banyak terdapat korban-korban yang berkantong tebal dan yang bersikap agak lalai, yaitu orang-orang dusun yang membawa banyak uang.
Ketika Sin Liong membayangi empat orang muda itu dari jauh, dia pun melihat beberapa orang jembel muda berseliweran di tempat itu. Dia sudah mengenal mereka itu sebagai pengemis-pengemis yang kadang-kadang suka datang ke belakang restoran dan minta sisa-sisa makanan.
Dia selalu merasa kasihan kepada mereka, karena dia menganggap mereka itu sebagai orang-orang muda yang patut dikasihani, yang terlantar dan hidup mengandalkan kepada belas kasihan orang. Kadang kala Sin Liong bergidik membayangkan bila dirinya sampai harus terpaksa minta-minta makanan seperti mereka itu, maka timbullah rasa iba di dalam hatinya dan kadang-kadang dia rajin mengumpulkan sisa-sisa makanan para tamu untuk dibagi-bagikannya kepada mereka yang sudah menanti di pintu belakang.
Kini Sin Liong menyaksikan kenyataan yang membuatnya terbelalak penuh keheranan! Sekumpulan pengemis muda itu ternyata kini melakukan pekerjaan yang lain sama sekali. Mereka kini menggunakan kecepatan gerak tangan dan gerak isyarat memberi tanda satu kepada yang lainnya untuk mencopet!
Sin Liong melihat betapa para pengemis yang menjadi ‘langganan’ restoran di mana dia bekerja itu kini dipimpin oleh seorang gadis muda berbaju biru yang amat lincah! Gadis itu usianya baru lima belas atau enam belas tahun, namun jelas kelihatan amat berwibawa di antara para pengemis muda itu!
Walau pun gadis itu sendiri tidak melakukan sesuatu, namun semua pengemis muda taat serta tunduk kepadanya, memperhatikan isyarat-isyarat yang dilakukan gadis ini dengan jari-jari tangan atau kerling matanya! Dan kini, jelas nampak oleh Sin Liong betapa gadis itu memberi isyarat kepada kawan-kawannya untuk ‘mengerjakan’ Beng Sin beserta tiga orang temannya!
Gadis itu membawa sebuah keranjang yang penuh sayur-sayuran. Lalu, dengan langkah ringan dan lemah gemulai, gadis itu berjalan dan ketika tiba dekat rombongan Beng Sin, tiba-tiba gadis pembawa keranjang sayuran itu mengeluh dan kakinya tersandung lalu dia terhuyung ke depan, menabrak Beng Sin!
"Ehh, ehhh... hati-hatilah, nona..."
Beng Sin yang gemuk itu ternyata dapat bergerak sangat cepat dan dia sudah berhasil menangkap lengan nona itu sehingga nona itu tidak sampai jatuh, sungguh pun keranjang sayurnya terlempar hingga sayurannya berantakan. Beberapa orang pengemis muda ikut membantu mengumpulkan sayuran yang telah berhamburan dan untuk beberapa lamanya tempat itu menjadi ribut karena kerumunan banyak orang.
Sin Liong terkejut sekali ketika melihat betapa gadis yang terjatuh tadi, bersama beberapa orang pengemis mempergunakan kesempatan itu untuk menjambret beberapa buntalan barang belanjaan empat orang muda itu, bahkan gadis baju biru yang mukanya berlepotan lumpur dan yang tadi membawa keranjang dan terjatuh, dengan gerakan lihai bukan main, cepat seperti kilat menyambar sudah berhasil menyambar kantung uang dari pinggang Beng Sin!
Sin Liong melihat betapa cepatnya gadis itu menyambar kantung, menggunakan sebatang pisau kecil yang amat tajam memotong tali kantong dari gantungannya lalu dalam sekejap mata saja kantung itu telah lenyap ke balik bajunya! Dengan jelas Sin Liong dapat melihat hal ini, dan dia sudah menggerakkan kaki hendak maju dan menangkap para pencopet itu.
Akan tetapi ketika gadis itu menoleh kepadanya dan memandangnya dengan sepasang mata yang bening dan bersinar-sinar, seakan-akan sepasang mata itu bicara kepadanya, mohon agar dia jangan ikut mencampurinya, dan terutama sekali karena teringat bahwa mereka adalah para pengemis yang hidupnya kekurangan, ada sesuatu yang menahan Sin Liong dan membuat dia tidak jadi bergerak.
Apa lagi karena dia pun tidak ingin memperkenaikan diri kepada empat orang muda itu. Maka dia hanya memandang dan menahan senyum ketika gadis itu pergi menyelinap di antara orang banyak di dalam pasar bersama teman-temannya dan tidak lama kemudian terdengar ribut-ribut ketika Beng Sin dan saudara-saudaranya merasa kehilangan.
"Keparat! Berani benar mengganggu kami?" Beng Sin mencak-mencak sambil mengepal tinju, akan tetapi dia hanya menjadi tontonan orang karena dia sendiri tidak tahu kepada siapa dia harus marah-marah.
Akhirnya empat orang muda itu pergi meninggalkan pasar dan kembali ke tempat tinggal mereka. Mereka tidak tahu bahwa semenjak tadi Sin Liong membayangi mereka sampai mereka tiba di sebuah dusun yang terletak tidak jauh dari kota raja, di sebelah barat kota raja.
Setelah mengetahui dimana tempat tinggal mereka, yaitu di sebuah rumah besar di dusun itu, Sin Liong lalu mencari keterangan di dusun itu, dan mendengar bahwa Kui-wangwe (hartawan Kui) telah beberapa tahun tinggal di tempat itu, mempunyai banyak sawah dan menjadi tuan tanah paling kaya di dusun itu!
Setelah merasa puas karena dapat menemukan tempat tinggal keluarga Kui itu, Sin Liong lalu cepat kembali ke rumah makan dan siang hari itu juga dia sudah dapat membantu lagi pekerjaan di rumah makan, sehingga majikannya merasa senang.
Beberapa hari kemudian, ketika pada suatu sore Sin Liong sedang mencuci mangkok piring di bagian belakang restoran itu dan membuangi sisa makanan ke dalam keranjang sampah, terdengar seruan orang dari luar pintu belakang.
"Heh, bung A-sin, kenapa kau buangi sisa makanan itu? Berikan kepada kami...!"
Mendengar suara ini, Sin Liong segera menengok dan dia melihat tiga orang pengemis muda berlarian mendatangi sambil membawa kaleng mereka yang biasa mereka gunakan untuk menampung sisa-sisa makanan yang masih baik. Akan tetapi sekali ini, tak seperti biasanya, Sin Liong dengan gerakan marah lalu membuang sisa-sisa makanan ke dalam keranjang sampah sehingga ketiga orang pengemis muda itu tertegun dan memandang heran.
"Bung A-sin, kenapa kau buang?" Mereka terkejut karena biasanya, A-sin ini merupakan seorang di antara pelayan yang bersikap paling ramah dan baik kepada mereka.
Sin Liong mengerutkan alisnya dan memandang mereka dengah sikap marah, "Perlu apa kalian mencari sisa makanan? Bukankah sekarang kalian mampu membeli masakan-masakan yang mahal?"
Tiga orang pengemis muda itu saling pandang, lalu seorang di antara mereka bertanya, "Ehh, saudara A-sin, apa maksudmu dengan kata-kata itu? Kami tidak mengerti."
"Hemmm, perlukah kalian berpura-pura lagi? Atau apakah kalian begitu royal membuang hasil kalian seperti pasir sehingga dalam waktu empat hari saja harus mengemis lagi?"
Tiga orang itu mengerutkan alis. "Saudara A-sin, apa maksudmu?"
Kini Sin Liong menjadi makin marah dan membentak. "Sudahlah! Kau kira tidak ada yang tahu ketika kalian melakukan pencopetan-pencopetan di pasar? Tak tahu malu!"
Tiga orang itu saling pandang dan wajah mereka berubah, kelihatan ketakutan dan tanpa berkata apa-apa lagi mereka lalu pergi meninggalkan tempat itu. Sin Liong juga diam saja, di dalam hatinya merasa menyesal sekali. Biasanya dia merasa kasihan pada pengemis-pengemis muda itu, merasa senasib dengan mereka. Akan tetapi melihat mereka menjadi pencopet-pencopet di pasar, perasaan kasihan di hatinya kini berubah menjadi sebal dan tak senang.
Keadaan lahir tidak selalu mencerminkan batin, pikirnya. Pengemis-pengemis muda yang menimbulkan perasaan iba itu ternyata hanyalah penjahat-penjahat kecil yang tidak patut dikasihani!
Malam hari itu setelah restoran tutup, Sin Liong rebah di dalam kamarnya dan melamun. Sudah lama juga dia bekerja di restoran itu, sudah hampir setengah tahun! Selama itu dia tidak pernah lalai untuk melatih ilmu-ilmunya dan dia kini merasa sudah cukup kuat untuk menghadapi orang yang selama ini dicari-carinya, yaitu Kim Hong Liu-nio!
Selama ini dia sudah menyelidiki dan mendengar cerita di antara para tamu restoran. Dia tahu bahwa Kim Hong Liu-nio, sebagai utusan atau wakil dari Raja Sabutai, merupakan orang penting juga di kota raja bahkan kabarnya merupakan orang kepercayaan dalam istana. Jelaslah bahwa dia akan dapat mencari wanita pembunuh ibunya itu di kota raja ini, dan agaknya di dalam istana. Kalau perlu dia akan mencari ke dalam istana!
Tiba-tiba saja Sin Liong bangkit duduk. Pendengarannya yang amat tajam dan terlatih itu menangkap gerakan kaki manusia di atas genteng rumah! Gerakan kaki yang ringan dan terlatih, akan tetapi tidak cukup ringan baginya sehingga masih menimbulkan suara yang terdengar olehnya.
Sekali tiup, lilin di atas mejanya padam dan dengan hati-hati sekali Sin Liong lalu keluar dari dalam kamarnya melalui jendela. Setelah menyelinap dengan gerakan cepat akhirnya Sin Liong meloncat naik ke atas genteng dan mengintai gerak-gerik bayangan orang yang berada di atas genteng.
Ketika cahaya bulan menerangi wajah bayangan yang bertubuh langsing itu, dia terkejut. Kiranya bayangan itu adalah gadis berbaju biru, pemimpin para tukang copet di pasar! Atau lebih tepat lagi, gadis yang memimpin para pengemis muda menjadi pencopet! Mau apa dia berkeliaran di sini? Apakah di samping mencopet, gadis ini juga biasa melakukan pekerjaan sebagai maling?
Akan tetapi, gadis itu tidak kelihatan membawa senjata tajam dan dia merasa kagum juga menyaksikan gerakan yang cepat dan ringan itu, tanda bahwa gadis itu telah mempelajari ilmu silat yang lumayan tinggi. Dia melihat gadis remaja itu ragu-ragu dan tiba-tiba gadis itu mendekam.
Sin Liong juga menoleh karena pada waktu itu terdengar suara orang bernyanyi dengan suara serak, lalu nampak seorang lelaki gendut berjalan sempoyongan di belakang rumah makan yang sudah tertutup itu. Sin Liong mengenal laki-laki itu yang bukan lain adalah A-tong, pembantu tukang masak yang perutnya gendut.
Selain ahli masak dan gembul makan sehingga perutnya gendut, A-tong terkenal sebagai seorang laki-laki yang suka berpacaran dan minum sampai mabuk, pikir Sin Liong yang merasa geli melihat gadis itu terkejut mendengar nyanyian serak itu.
Akan tetapi Sin Liong menjadi terkejut ketika melihat gadis itu mendadak bangkit berdiri, kemudian melayang turun dengan gerakan seperti seekor burung kenari saja ringannya. Sin Liong cepat membayanginya dan bersiap untuk menolong si gendut karena agaknya gadis itu hendak menyerang si gendut!
Akan tetapi, dengan waspada Sin Liong melihat bahwa serangan gadis itu hanyalah untuk menotok saja, bukan untuk mencelakai. Maka dia pun diam saja, hanya mengamati dari balik pohon, dia baru akan turun tangan kalau gadis aneh itu berniat jahat.
"Uhhhh...!" A-tong tertotok pundaknya dari belakang dan roboh dengan lemas, akan tetapi sebelum roboh, gadis itu telah mencengkeram pundaknya dan menghardik dengan suara dibesar-besarkan, seperti suara laki-laki akan tetapi kedengarannya lucu sekali.
"Hemm... aku adalah setan penunggu kebun ini...!" hardiknya dengan suara menggeram.
Sin Liong yang mendengarkan ini, menjadi geli sekali. Apa maunya dara itu bermain-main seperti itu? Apakah gadis itu miring otaknya? Dan dia semakin geli melihat tubuh gendut yang lemas dan tidak dapat menengok ke belakang itu menggigil ketakutan.
"Ampun... ampunkan saya... Pek-kong...!" A-tong mengeluh. Di dalam keadaan setengah mabuk dia percaya bahwa dia telah dicengkeram oleh setan!
"Hemm... aku dapat ampunkan engkau, akan tetapi beri tahu di mana kamarnya si A-sin pelayan itu?"
Diam-diam Sin Liong semakin geli akan tetapi juga terkejut dan heran. Kiranya gadis itu mencari dia!
"Ehh... A-sin... A-sin... kamarnya di ujung kanan itu... harap ampun..."
"Plakk!" Gadis itu mengetuk tengkuk A-tong yang mengeluh dan terguling roboh.
Sin Liong makin geli karena dia tahu bahwa tamparan itu tidak melukai, akan tetapi saking takutnya, A-tong sudah jatuh pingsan. Cepat dia meloncat dan pada lain saat dia sudah memasuki kamarnya melalui jendela, kemudian dia melepas sepatunya dan rebah di atas pembaringan, terdengar suara dengkurnya tanda bahwa dia sudah tidur pulas!
Dengan menahan geli hatinya, Sin Liong mendengar betapa jendela kamarnya yang tadi dipalangnya dari dalam itu perlahan-lahan digerayangi dan dibuka orang! Kagum juga dia karena agaknya tidak makan waktu terlalu lama bagi gadis itu untuk dapat membuka daun jendelanya. Agaknya gadis ini pun ahli dalam ilmu membuka-buka daun pintu dan jendela rumah orang dari luar!
Hening sejenak setelah daun jendela itu terbuka, kemudian sesosok bayangan yang gesit meloncat masuk. Kakinya hanya menimbulkan sedikit suara saja saat menyentuh tanah, seperti lompatan seekor kucing!
Gadis ini mau apa sesudah menemukan kamarnya, pikir Sin Liong. Mau membunuhnya? Agaknya tidak, karena selain gadis itu tidak kelihatan jahat seperti terbukti saat memaksa A-tong mengaku, juga tidak membawa senjata. Lalu mau apa? Jantung dalam dada Sin Liong berdebar dan tiba-tiba dia memejamkan matanya ketika melihat sinar api.
Gadis itu menyalakan lilin di atas meja! Dan tiba-tiba saja, dengan gerakan cukup cepat, gadis itu sudah melompat ke dekat pembaringannya dan dengan tangannya siap untuk menotoknya seperti yang dilakukannya tadi terhadap A-tong! Akan tetapi dia diam saja, pura-pura tidur.....