Pendekar Lembah Naga Jilid 36

Dan setelah keesokan harinya cahaya matahari yang menerobos masuk melalui kaca di atas jendela kamar itu membangunkannya dari tidur nyenyak karena kelelahan, tiba-tiba Kim Hong Liu-nio teringat akan semua yang terjadi malam tadi. Dia mengeluarkan seruan lirih, meloncat turun, menyambar selimut untuk menutupi tubuhnya dan dia sudah lari ke depan cermin di sudut kanan, mencari-cari tahi lalat pada dagunya akan tetapi dagunya itu putih halus, tidak ada tahi lalatnya lagi karena tahi lalat buatan dari subo-nya itu telah lenyap tanpa bekas, tepat seperti yang dikatakan oleh subo-nya dahulu bahwa kalau dia menyerahkan diri kepada seorang pria, tahi lalat itu akan lenyap!

Lee Siang masih tidur dengan senyum di bibirnya. Dia merasa puas dan gembira sekali. Wanita yang ternyata masih perawan itu akhirnya menyerahkan diri kepadanya dan tepat seperti dugaannya, wanita itu adalah seorang wanita yang penuh gairah, hangat dan luar biasa.

Tiba-tiba Lee Siang terkejut dan terbangun karena pundaknya diguncang keras dan ketika dia membuka matanya, dia melihat wanita itu sudah berdiri di sisi pembaringan, tubuhnya hanya dibalut oleh selimut dan wanita itu menodongkan sebatang pedang yang ujungnya menempel di dadanya, bahkan kulit dadanya yang telanjang terasa nyeri oleh runcingnya pedang!

"Hong-moi! Apa... apa artinya ini...?" tanyanya dengan dua mata terbelalak, memandang wajah wanita yang pucat itu. Wajah yang pucat dan rambutnya kusut, akan tetapi bahkan menonjolkan kecantikannya.

"Bersiaplah untuk mati. Engkau harus mati, kemudian aku. Sekarang kita berdua harus mati, dan jauh lebih baik mati di tangan sendiri dari pada mati di tangan orang lain!"

Bukan main kagetnya hati Lee Siang. Tidak terlintas dalam pikirannya untuk melawan dan mencoba meloloskan diri karena dia maklum betapa lihai wanita ini.

"Akan tetapi, Hong-moi... kau tahu... aku cinta kepadamu, aku cinta kepadamu dengan seluruh jiwa ragaku, mengapa... mengapa kau hendak membunuhku, sayang? Lupakah engkau akan cinta kasih kita semalam...?"

Wanita itu mengejapkan mata dan dua titik air mata menetes di atas pipinya.

"Aku tahu... dan engkau pun tahu betapa besar cintaku kepadamu, Lee-ko. Akan tetapi justru karena cinta kita, maka kita harus mati saat ini juga, mati bersama agar kita dapat melanjutkan hubungan kita di alam baka."

"Tapi... tapi, tunggu dulu... setidaknya katakan dulu mengapa?" Lee Siang berteriak ketika merasa betapa dadanya nyeri dan kulitnya sudah tertusuk sedikit sehingga mengeluarkan darah.

"Kau lihat daguku! Di mana adanya tahi latat di daguku?"

Lee Siang memandang dan memang benar. Tahi lalat yang tadinya berada di dagu wanita itu, yang menambah kemanisannya, yang semalam diciuminya dan dipujinya kini sudah lenyap! Teringat dia akan cerita wanita itu mengenai sumpahnya kepada subo-nya, dan tentang tanda perawan yang dibuat subo-nya, yaitu tahi lalat itu yang kini lenyap bersama lenyapnya keperawanannya semalam!

Sebenarnya Lee Siang sudah mencari akal sebelum dia berhasil merayu sampai wanita itu akhirnya menyerahkan diri. Maka dia kemudian berkata,

"Hong-moi, kekasihku, sayangku, kau dengarkan aku. Aku punya akal untuk menghadapi subo-mu, akan tetapi kalau engkau memaksa hendak membunuhku, nah, tusuklah ini... aku terlalu cinta padamu, aku tak ingin melihat engkau menderita, sayangku, akan tetapi sebelum engkau membunuhku, aku... minta... sukalah agar engkau menciumku sekali lagi... agar dapat kubawa mati..." 

Lee Siang membuka selimut yang menutupi tubuhnya, dan membiarkan tubuhnya yang telanjang itu terbuka sama sekali malah dia mengembangkan kedua lengan dengan sikap merayu.

"Ahhh...!" Kim Hong Liu-nio tidak dapat menahan keharuan hatinya. Pedangnya terlepas dan dia menubruk, merangkul lantas menciumi pria yang dicintanya itu, satu-satunya pria yang pernah dicintainya dan pernah menyentuh tubuhnya. "Ahh, Lee-ko... Lee-ko... bagai mana aku dapat membunuhmu...?"

Lee Siang balas memeluk dan mencium, hatinya lega karena baru saja dia terlepas dari cengkeraman maut.

"Adindaku yang terkasih, dengarlah. Bukankah dulu engkau pernah menceritakan bahwa subo-mu itu sudah tua renta dan sudah pikun? Walau pun ilmu kepandaiannya setinggi langit, akan tetapi kalau pandang matanya sudah kurang awas seperti yang kau katakan, apa sukarnya untuk mengelabui pandang matanya? Buat saja tahi lalat palsu dengan tinta hitam, apa sih sukarnya menaruh titik kecil di dagumu yang manis? Tentu dia tidak akan pernah tahu, sayangku, apa lagi kalau engkau jarang sekali bertemu muka dengan dia. Selagi masih ada jalan, mengapa kita harus mengambil jalan pendek? Bukankah kita berdua berhak menikmati hidup, berhak menikmati cinta kasih kita?" Lee Siang mencium lagi dengan sepenuh hatinya dan nafsu birahinya sudah berkobar lagi.

Melihat ini, Kim Hong Liu-nio memeluknya, "Ah engkau cerdik, koko, dan aku... aku yang bodoh... ahh, dadamu sampai terluka, berdarah..." Dia lalu mengecup darah di dada itu, menjilati luka kecil pada dada kekasihnya. Mereka berpelukan dan tenggelam lagi dalam madu asmara yang tidak kunjung puas dan padam.

Setelah terhibur dan dapat melupakan ancaman bahaya, Kim Hong Liu-nio menjadi penuh semangat kembali. Setiap waktu dia menuntut pernyataan kasih sayang dari Lee Siang yang membuat panglima itu kewalahan juga hingga akhirnya tibalah saatnya Kim Hong Liu-nio harus meninggalkannya untuk sementara.

Wanita itu harus pergi ke utara berkunjung kepada subo-nya dan suheng-nya yang akan mengadakan sayembara pemilihan guru silat untuk Pangeran Oguthai. Pada saat hendak berangkat, Kim Hong Liu-nio kembali menyatakan kekhawatiran hatinya tentang tahi talat yang hilang itu.

Akan tetapi Lee Siang menghiburnya, bahkan membuatkan titik hitam sebagai pengganti lahi lalat itu dengan tinta hitam yang tidak mudah luntur, lalu mencium dagu yang manis itu. "Ahhh, tidak ada bedanya seujung rambut pun, Hong-moi. Jangan khawatir, apa lagi subo-mu yang tidak awas lagi matanya, sedangkan aku sendiri tidak dapat membedakan mana yang tulen dan mana yang palsu. Berangkatlah, sayang, dan ingatlah bahwa aku selalu menantimu dengan hati penuh rindu."

Kim Hong Liu-nio telah berubah menjadi seorang wanita yang wajahnya periang ketika dia berangkat meninggalkan kota raja. Setelah dia mengenal Lee Siang, kehidupan ini sama sekali berubah baginya, penuh dengan kegembiraan dan kelembutan, bahkan selama ini dia sama sekali tidak pernah memikirkan adanya orang-orang she Tio, Cia dan Yap yang menjadi musuh gurunya! Dia ingin hidup selama-lamanya di dalam kamar bersama Lee Siang, bermain cinta sampai dunia kiamat!

Dan memang benar seperti dugaan Lee Siang, tidak ada seorang pun yang tahu akan kepalsuan tahi lalat pada dagu wanita cantik ini. Bahkan Hek-hiat Mo-li, begitu bertemu dengan muridnya itu, yang pertama-tama dilihatnya adalah tahi itu dan nenek ini berkata,

"Bagus, tahi lalatmu masih ada! Akan tetapi sayang, selama ini baru Tio Sun saja yang berhasil ditewaskan, juga si kakek Cia Keng Hong. Bilakah aku akan dapat mendengar akan tewasnya Yap Kun Liong, Yap In Hong, Cia Bun Houw dan Cia Giok Keng?"

"Harap subo suka bersabar, teecu tak pernah berhenti berusaha," kata Kim Hong Liu-nio.

Pada saat itu dia baru ingat bahwa selama ini dia tidak pernah mencari musuh-musuh itu, dan dia pun tidak peduli lagi! Dia bahkan mulai merasa jemu dengan perintah subo-nya. Setelah memberi hormat kepada subo-nya dengan berlutut dan memberi hormat kepada Raja Sabutai, Kim Hong Liu-nio lalu bangkit dan berjalan perlahan untuk duduk di sudut.

Dia tidak tahu betapa Raja Sabutai terus memandang dirinya penuh perhatian, terutama sekali memandang ke arah pinggulnya yang menonjol dan bergoyang-goyang pada waktu dia melangkah tadi. Juga Kim Hong Liu-nio tidak tahu bahwa malam itu juga Raja Sabutai menemui Hek-hiat Mo-li dan berbicara empat mata dengan guru itu, pembicaraan yang membuat Hek-hiat Mo-li marah bukan main.

Kiranya, pandang mata Raja Sabutai yang sangat tajam, yang sudah banyak pengalaman memandang perbedaan antara wanita-wanita tua muda, perawan atau bukan, telah dapat menduga bahwa kini sumoi-nya itu bukan perawan lagi hanya dengan melihat bayangan pinggulnya! Dan pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Hek-hiat Mo-li memanggil Kim Hong Liu-nio dengan wajah bengis.

"Kim Hong, lekas kau cuci titik hitam di dagumu itu!" bentak sang guru.

Seketika wajah Kim Hong Liu-nio menjadi pucat dan tubuhnya gemetar, akan tetapi dia mempertahankan hatinya dan pura-pura memandang gurunya dengan heran.

"Apa maksud subo? Mana mungkin tahi lalat ini dicuci?"

"Hemm, kau masih hendak mengelabui gurumu, ya? Tahi lalat di dagumu itu palsu, dan engkau bukan perawan lagi! Berani engkau menyangkal?"

Maklumlah kini Kim Hong Liu-nio bahwa rahasianya telah terbuka, bahwa entah dengan cara bagaimana gurunya telah tahu bahwa tahi lalat di dagunya itu palsu dan bahwa dia bukan perawan lagi, bahkan dia sudah melanggar sumpahnya. Maka dia hanya berlutut, dan menangis!

"Keparat, berani engkau mengelabui gurumu sendiri? Hayo ceritakan, mengapa engkau melanggar sumpahmu?"

Dengan terisak-isak Kim Hong Liu-nio lalu mengaku terus terang bahwa dia jatuh cinta dengan Panglima Lee Siang. "Dia telah menyelamatkan teecu ketika teecu dikeroyok oleh pengemis-pengemis Hwa-i Kaipang, dan teecu bersama dia saling mencinta subo, dan... dan... teecu sudah menyerahkan diri kepadanya. Dia pula yang membantu teecu dan sute menghadap kaisar dan... dan..."

"Perempuan hina!" Hek-hiat Mo-li membentak, tangannya menampar dan tubuh Kim Hong Liu-nio terpelanting ketika pundaknya kena dihantam gurunya. Nyeri sekali rasanya, akan tetapi tidak mendatangkan luka hebat. Tahulah Kim Hong Liu-nio bahwa dia akan mati di tangan subo-nya, akan tetapi tentu saja dia tidak berani melawan, hanya menangis dan membayangkan kekasihnya karena dia ingin mati dengan bayangan Lee Siang di depan matanya.

Hek-hiat Mo-li memang sudah marah sekali dan dia sudah mengangkat tongkatnya sambil berkata, "Murid durhaka, bersiaplah untuk mati!"

"Subo, tahan dulu!" Mendadak terdengar suara keras dan muncullah Raja Sabutai yang memasuki ruangan itu.

Nenek itu menoleh dan memandang Sabutai dengan wajah makin berkerut menyeramkan. "Murid tak tahu malu ini sudah sepatutnya mampus!"

Raja Sabutai tersenyum. "Subo, apa sih anehnya kalau sumoi ini tidak mampu menahan gelora nafsunya? Memang sumoi sudah melanggar sumpahnya, akan tetapi masih ada kesempatan baginya kalau dia menebus dosa. Berilah dia waktu tiga bulan untuk dapat membunuh empat orang musuh besar subo itu, dan kalau dia berhasil, biarlah dosanya diampuni dan biarkan dia hidup bahagia bersama kekasihnya. Akan tetapi kalau tidak berhasil, baru subo membunuh dia pun belum terlambat."

Hek-hiat Mo-li mengomel. "Kalau bukan engkau yang menyadarkan aku bahwa bocah ini bukan perawan lagi, tentu aku sudah kena dikelabui, maka biarlah aku setuju usulmu, sri baginda. Nah, kau telah dengar sendiri, murid durhaka. Bunuh atau tangkap empat orang musuhku itu, seret mereka atau mayat mereka ke sini, baru aku akan mengampunimu. Aku memberimu waktu tiga bulan lamanya mulai hari ini!"

Kim Hong Liu-nio menghaturkan terima kasih dan pada hari itu juga dia berpamit untuk melaksanakan perintah itu. Itulah sebabnya maka ketika diadakan pemilihan guru silat di Lembah Naga, Kim Hong Liu-nio tidak hadir, dan itu pula sebabnya kenapa Hek-hiat Mo-li marah-marah saat Sabutai mengadakan pemilihan guru silat untuk pangeran. Amarahnya karena kecewa terhadap Kim Hong Liu-nio itu membuat dia menantang semua peserta dan mengacaukan pemilihan guru silat itu…..

********************

Ketika Kim Hong Liu-nio tiba di dalam gedung Panglima Lee dan bertemu kekasihnya itu, dia segera menubruk Lee-ciangkun sambil menangis. Dengan terisak-isak diceritakannya pertemuannya dengan Raja Sabutai dan Hek-hiat Mo-li, kemudian betapa rahasianya telah ketahuan dan kemudian betapa subo-nya dan suheng-nya itu memberi waktu tiga bulan kepadanya untuk dapat membunuh atau menangkap empat orang pendekar itu.

"Ahh, betapa mungkin aku menundukkan empat orang yang berilmu tinggi itu? Lee-koko, lebih baik kau membunuhku saja. Aku lebih senang mati di tanganmu, dari pada di tangan subo atau suheng!" wanita itu menangis dalam rangkulan Lee Siang.

Tentu saja hati panglima ini menjadi tidak karuan rasanya. Dia juga mencinta wanita ini dan akan dibelanya dengan seluruh jiwa raganya.

"Jangan khawatir, kekasihku. Aku masih mempunyai akal dan harapan untuk menangkap empat orang itu," katanya.

Panglima muda itu lalu mencari akal, dan akhirnya dia mendapat akal yang sangat nekat dan berani. Dia lalu memalsukan cap dari kaisar, membuat surat perintah penangkapan yang palsu, bahkan membuat bendera kekuasaan yang palsu pula. Kemudian dia mulai mempersiapkan pasukan yang kuat dan mengutus seorang pembantunya dengan hadiah besar agar supaya pergi membawa pasukan dan menggunakan perintah palsu dari kaisar itu untuk menangkap Yap Kun Liong, Yap In Hong, Cia Bun Houw dan Cia Giok Keng.

Perwira yang menjadi pembantunya itu adalah perwira Ma Kit Su. Seperti telah diketahui, Ma-ciangkun ini berhasil baik di dalam tugasnya, selain membunuh Hwa-i Sin-kai dengan keroyokan, juga berhasil menangkap keempat orang pendekar itu yang menyerahkan diri karena di samping tidak ingin memberontak terhadap perintah kaisar, juga mereka tidak ingin mengacaukan pesta pernikahan Yap Mei Lan dan Souw Kwi Beng.

Memang, bila orang sudah tergila-gila maka apa pun sanggup dilakukannya. Baik dia itu seorang laki-laki yang tergila-gila kepada seorang wanita, atau sebaliknya seorang wanita yang tergila-gila kepada seorang pria, dia akan melakukan segala hal demi orang yang dicintanya, atau demi memelihara dan mempertahankan kenikmatan yang didapatkannya dari hubungan cintanya itu.

Demikian pula dengan halnya Panglima Lee Siang. Tentu dia sendiri tak pernah bermimpi bahwa dia pada suatu hari akan melakukan hal yang demikian gila dan nekatnya. Kalau bukan untuk Kim Hong Liu-nio, sampai mati pun kiranya dia tidak akan berani main-main seperti itu terhadap kekuasaan kaisar yang dipalsukannya, terlebih lagi berani mengatur siasat untuk mencelakakan dua pasang suami isteri pendekar seperti Yap Kun Liong dan Cia Bun Houw bersama isteri-isteri mereka.

Dia tahu bahwa perbuatannya itu akan membawa akibat yang amat besar dan luas. Apa lagi peristiwa penangkapan itu terjadi ketika pendekar Yap Kun Liong sedang merayakan pernikahan puterinya sehingga peristiwa penangkapan itu disaksikan oleh ratusan orang tokoh kang-ouw yang berkedudukan tinggi. Dunia kang-ouw akan menjadi geger karena peristiwa ini, dan hal ini diketahui benar oleh Lee Siang.

Akan tetapi, kalau orang sedang tenggelam dalam buaian asmara seperti Lee Siang, biar dunia kiamat pun tidak akan terasa olehnya. Kalau dia sedang tenggelam dalam pelukan wanita yang amat dicintanya, biar apa pun terjadi, dia tidak takut bahkan mati pun bukan apa-apa baginya asal saja dihadapinya bersama wanita yang dicintanya itu.

Dan memang peristiwa itu benar-benar menimbulkan kegemparan besar. Para tamu yang hadir dalam pesta pernikahan itu, yang tergesa-gesa pulang ke tempat kediaman masing-masing, segera menyebar luaskan berita tentang penangkapan itu sehingga seluruh dunia kang-ouw menjadi gempar.

Bila yang ditangkap itu seorang atau beberapa orang tokoh sesat yang suka menimbulkan kekacauan dan kejahatan, hal itu tentu saja dianggap lumrah dan tidak akan ada yang merasa heran. Akan tetapi apa yang tersiar menjadi berita itu sungguh sebaliknya, kaisar menangkap keluarga pendekar Yap Kun Liong dan Cia Bun Houw! Alangkah aneh dan janggalnya berita ini.

Banyak di antara para tokoh kang-ouw yang merasa penasaran sekali dan mereka sudah mencari-cari daya upaya harus bertindak bagaimana menghadapi peristiwa aneh itu. Tapi tentu saja banyak pula para tokoh liok-lim dan kaum sesat yang bersorak gembira karena pembasmian terhadap setiap orang pendekar penegak keadilan dan kebenaran berarti hilangnya seorang perintang dan musuh bagi mereka…..

********************

Akan tetapi ternyata Lee Siang adalah seorang panglima perang yang pandai menyusun siasat. Setelah menurut perhitungannya yang ternyata tepat sekali bahwa para pendekar yang terkenal setia kepada pemerintah itu akan menyerah setelah melihat ‘surat perintah’ kaisar. Lee-ciangkun sudah mempersiapkan pasukan pengawal yang sangat kuat, bahkan di setiap kota selalu siap serombongan pasukan yang akan memperkuat pengawalan itu.

Dia maklum bahwa penawanan empat orang pendekar itu tentu menimbulkan kegemparan dan untuk menjaga agar keempat tawanan itu jangan sampai terlepas atau dibebaskan orang, maka pengawalan dilakukan amat kuat, bahkan dia mengumpulkan jagoan-jagoan di kota raja yang dapat disogok dan dibelinya untuk membantu dalam pengawalan itu. Ini pula sebabnya maka para pendekar yang berusaha turun tangan menyelamatkan empat orang tawanan itu selalu menemui kegagalan.

Apa lagi setelah pada suatu malam terdapat rombongan dari Siauw-lim-pai yang hendak mempergunakan kekerasan untuk membebaskan tawanan itu dan mengalami perlawanan hebat, lalu mendengar teriakan pendekar Yap Kun Liong sendiri yang meminta kepada kawan-kawan di dunia kang-ouw supaya jangan melawan pemerintah. Karena dia yakin akan diadakan pengadilan yang adil di kota raja, maka tidak ada lagi kaum kang-ouw yang berani menggunakan kekerasan untuk mencoba membebaskan empat orang itu.

Pada suatu senja, rombongan pasukan yang mengawal kereta kerangkeng tawanan ini memasuki kota Po-teng yang ramai. Kota ini berada di sebelah selatan kota raja dan rombongan pasukan yang dipimpin oleh perwira Ma Kit Su segera membawa tawanannya ke penjara untuk menitipkan tawanan itu di tempat yang terjaga kuat itu, kemudian dia mengunjungi pembesar Ciong di kota Po-teng yang juga menjadi sahabat baik dari Lee Siang.

Kereta kerangkeng itu dimasukkan ke dalam penjara, dalam sebuah ruangan yang dijaga ketat oleh selosin prajurit. Kerangkeng itu sendiri amat kuat, terbuat dari baja yang dikunci dari luar, dan kedua tangan para tawanan itu pun dirantai, sedangkan ruangan itu sendiri berjeruji baja dan dikunci dari luar, di luarnya masih dijaga oleh selosin prajurit pilihan!

"Hemm, kalau mengingat betapa kita dikerangkeng seperti binatang-binatang buas, ingin aku mematahkan semuanya ini dan mengamuk!" Cia Giok Keng berkata, muncul kembali kekerasannya karena mengalami penghinaan yang luar biasa ini.

"Tenanglah, kota raja sudah dekat dan setelah dihadapkan ke pengadilan, aku yakin kita akan segera dibebaskan. Dibebaskan setelah diadili jauh lebih terhormat dari pada bebas menggunakan kekerasan."

"Aku heran sekali, kenapa kaisar menyuruh tangkap kita berempat?" Bun Houw berkata.

"Ini tentu fitnah, maka aku sebetulnya setuju dengan pendapat enci Keng untuk lolos dan mengamuk. Sungguh pun kaisar sendiri, kalau melakukan fitnah dan tindakan sewenang-wenang, haruslah ditentang!" kata Yap In Hong.

"Hong-moi, simpan kembali kemarahanmu itu," kata Kun Liong kepada adiknya. "Kalau kaisar melakukan tindakan ini, pasti ada sebabnya. Andai kata difitnah sekali pun, tentu kaisar tidak tahu bahwa beliau dibohongi atau ditipu orang. Apa bila kita mempergunakan kekerasan, hal itu justru akan memperkuat bukti bahwa kita memang suka memberontak. Maka sabarlah, mungkin dalam dua hari lagi kita sampai di kota raja dan akan menerima keputusan. Bila kemudian ternyata bahwa kaisar bertindak sewenang-wenang dan lalim, masih belum terlambat bagi kita untuk memberontak."

Mereka berempat lalu duduk diam, melakukan semedhi seperti biasa sehingga mereka tidak merasa menderita apa-apa sama sekali. Menjelang tengah malam, ada suara yang mencurigakan dan mereka berempat membuka mata. Dengan heran mereka melihat para penjaga di luar ruangan beruji baja itu tertidur semua, ada yang duduk yang bersandar dinding sambil memegangi tombak, ada yang malang melintang saling tindih.

Mereka saling pandang dengan penuh keheranan dan tiba-tiba Kun Liong mengeluarkan suara lirih, "Ssssttt...!"

Kun Liong mendengar sesuatu yang juga sudah didengar oleh tiga orang lainnya. Tidak lama kemudian, nampak berkelebat bayangan merah lantas dengan gerakan yang sangat ringan melayanglah sesosok tubuh wanita yang berpakaian serba merah lalu turun di luar ruangan itu.

Seorang wanita muda yang cantik manis, berpakaian serba merah, pedangnya tergantung di punggung, rambutnya tergulung rapi dan pakaiannya juga indah bersih, wajahnya yang cantik itu dirias rapi. Seorang wanita muda cantik manis yang pesolek, dan senyum pada bibirnya serta kerling matanya membayangkan kegenitan yang panas!

Selagi Kun Liong dan Giok Keng merasa heran melihat wanita muda yang tidak mereka kenal itu, mendadak Bun Houw dan In Hong mengeluarkan seruan marah ketika mereka melihat wanita itu.

"Mau apa kau ke sini?!" Bun Houw membentak.

"Pergilah kau!" In Hong juga membentak.

Suara kedua orang suami isteri ini jelas membayangkan kemarahan besar sehingga Yap Kun Liong dan isterinya merasa makin heran lagi.

Tiba-tiba wanita muda itu menjatuhkan diri berlutut di luar ruangan itu sambil menangis. "Suhu... subo... masih begitu bencikah ji-wi kepada teccu? Suhu dan subo kena fitnah, harap ji-wi perkenankan teecu untuk membantu suhu dan subo."

"Tidak. Pergilah, kami tidak ingin kau bebaskan!" bentak In Hong.

"Bila suhu dan subo tidak menghendaki kekerasan, biarlah teecu membujuk Ciong-taijin, pembesar Po-teng ini untuk membebaskan ji-wi. Teecu kenal baik dengannya dan teecu pasti dapat mempengaruhinya..."

"Sudahlah, kami sudah bukan guru-gurumu lagi. Pergilah, jangan membikin aku marah!" kata Bun Houw.

"Suhu, demi keselamatan suhu dan subo, teccu rela mengorbankan nyawa teecu...," gadis itu memohon.

"Diam! Pergi kau! Pergi, wanita tak tahu malu!" In Hong berseru marah sekali, mengepal tinjunya sehingga Kun Liong merasa khawatir kalau-kalau adiknya itu akan mematahkan rantai dan membobolkan kerangkeng.

"Pergilah, kami tidak ada sangkut paut lagi denganmu," kata Bun Houw.

"Suhu... subo..." wanita itu menangis, kemudian bangkit berdiri, dengan mata merah dan bercururan air mata dia memandang lagi kepada wajah Bun Houw, kemudian meloncat dan berkelebat pergi dengan cepat sekali.

Bun Houw dan In Hong saling pandang lalu menarik napas panjang, agaknya merasa lega bahwa gadis itu sudah mau pergi dari situ. Akan tetapi tiba-tiba ada bayangan lain berkelebat, gerakannya jauh lebih cepat dari pada gadis tadi dan tahu-tahu Lie Seng telah berada di luar ruangan itu.

"Seng-ji...!" Cia Giok Keng berseru ketika mengenal puteranya.

"Ohh, ibu dan yang lain-lain tidak apa-apa, bukan? Hatiku khawatir sekali melihat wanita baju merah tadi menggunakan bubuk racun obat bius membikin semua penjaga pingsan. Tadinya kusangka dia memiliki niat jahat atau mungkin juga hendak menolong, maka aku ragu-ragu dan hanya membayangi. Siapakah dia? Kulihat dia pergi lagi sambil menangis."

"Tidak ada apa-apa, jangan khawatirkan kami." kata Bun Houw kepada Lie Seng, agaknya merasa tidak suka untuk bicara tentang wanita cantik itu.

Yap Kun Liong maklum akan sikap Bun Houw ini dan karena dia tidak ingin penjaga baru datang dan melihat Lie Seng di situ, maka dia berkata, "Seng-ji, kau tinggalkanlah tempat ini. Baik sekali engkau selama ini membayangi kami, dan lakukanlah itu terus, akan tetapi hati-hatilah, jangan sampai ketahuan oleh fihak pengawal dan jangan melakukan apa pun sebelum ada tanda dari kami. Kami tidak menghendaki kekerasan."

"Benar kata ayahmu itu, Seng-ji. Kau pergilah dan bayangi saja dari jauh. Kami berempat sanggup menjaga diri." kata Giok Keng kepada puteranya, hatinya gembira dan bangga melihat puteranya itu ternyata terus membayangi mereka.

"Jangan khawatir, ayah dan ibu. Akan tetapi harap ayah dan ibu, paman dan bibi selalu berhati-hati dan periksa baik-baik dulu sebelum makan hidangan yang mereka suguhkan. Saya merasa curiga terhadap penangkapan ini."

Setelah meninggalkan pesan itu, Lie Seng lalu berkelebat pergi dan untung dia bergerak cepat karena para penjaga sudah mulai ada yang siuman dari pingsannya, bergerak dan menguap seperti orang baru bangun tidur.

"Bun Houw, siapakah wanita tadi dan benarkah dia itu murid kalian berdua?" Cia Giok Keng tidak dapat menahan keinginan tahunya untuk bertanya kepada adiknya mengenai gadis yang hendak menolong mereka, akan tetapi ditolak dengan kasar oleh adiknya itu.

"Aku pun heran mengapa engkau bersikap sedemikian kaku dan penuh benci kepadanya, Hong-moi?" kata Yap Kun Liong kepada adiknya. "Siapakah dia?"

Bun Houw dan In Hong saling pandang dan di dalam pandangan mata ini terjalin saling pengertian mendalam. Bun Houw menarik napas panjang, lalu berkata sebagai jawaban kepada Yap Kun Liong dan isterinya,

"Sesungguhnya, kami berdua tadinya hendak merahasiakan tentang gadis itu selamanya, tetapi siapa sangka malam ini dia muncul, maka tidak perlu lagi kiranya kami menyimpan rahasia ini setelah diketahui oleh Liong-ko dan Keng-cici. Baik, akan kuceritakan semua tentang dia."

Pendekar ini mulai bercerita, dengan suara bisik-bisik supaya jangan terdengar oleh para penjaga yang mulai sadar, hanya dapat terdengar oleh mereka berempat saja. Beginilah ceritanya…..

********************

Seperti telah diceritakan di bagian terakhir dari cerita Dewi Maut, Bun Houw dan Yap In Hong terpaksa pergi meninggalkan ayah pendekar itu, yaitu Cia Keng Hong karena ketua Cin-ling-pai ini tidak menyetujui perjodohan antara mereka. Hati mereka sedih, akan tetapi karena cinta kasih mereka yang mendalam, mereka pun siap meninggalkan keluarga dan hidup berdua saja. Hal itu terjadi kurang lebih enam belas tahun yang lalu, dan keduanya lalu pergi menuju ke Kiang-shi untuk mengambil seorang anak perempuan bernama Sun Eng.

Dalam cerita Dewi Maut dikisahkan bahwa dalam penyelidikannya terhadap musuh-musuh besar keluarganya, Bun Houw pernah bersahabat dengan seorang bekas penjahat yang telah menjadi seorang pemilik rumah judi, bernama Sun Bian Ek, kepala Hok-pokoan di Kiang-shi.

Sun Bian Ek ini sengaja mengganti namanya karena dia menjadi orang buruan, berganti nama menjadi Liok Sun dan berjuluk Kiam-mo (Setan Pedang). Kiam-mo Liok Sun atau Sun Bian Ek ini suka kepada Bun Houw, bahkan dalam penyelidikannya terhadap musuh-musuhnya, akhirnya Kiam-mo Liok Sun sampai tewas di tangan para musuh Bun Houw. Sebelum tewas, Liok Sun atau Sun Bian Ek ini meninggalkan pesan kepada Bun Houw supaya suka memelihara dan mendidik puteri satu-satunya yang berada di Kiang-shi dan bernama Sun Eng.

Demikianlah, setelah dia melakukan perantauan dengan Yap In Hong, Cia Bun Houw tidak melupakan janjinya lantas bersama In Hong yang sudah diceritakannya tentang janji itu, mereka berdua pergi ke Kiang-shi untuk menemui anak perempuan yang pada waktu itu baru berusia sepuluh tahun, seorang anak perempuan yang cantik manis.

Kemudian, sesudah merantau sampai jauh dan memilih-milih tempat, akhirnya Bun Houw dan In Hong memilih kota Bun-cou di sebelah selatan Propinsi Ce-kiang, yakni sebuah kota yang cukup ramai tidak jauh dari pantai timur. Mereka sengaja menjauhkan diri agar tidak lagi bertemu dengan keluarga mereka, dan mereka seolah-olah mengubur diri jauh di timur.

Sun Eng menjadi murid mereka, akan tetapi karena kedua orang pendekar ini masih amat muda, mereka menganggap Sun Eng seperti adik sendiri dan secara bergantian mereka berdua mendidik serta memberi pelajaran surat dan silat kepada gadis itu. Semenjak kecil Sun Eng mempunyai watak yang periang dan lincah jenaka, sehingga keriangan anak itu menjadi sinar yang menerangi kehidupan sepasang kekasih yang merasa sangat prihatin karena jauh dari keluarga ini. Sayang sekali, mereka terlampau muda dan kesayangan mereka terhadap Sun Eng mereka perlihatkan sedemikian rupa hingga Sun Eng menjadi manja sekali.

Makin besar Sun Eng menjadi makin cantik, akan tetapi dalam kelincahannya terkandung sifat-sifat pesolek dan genit yang mengkhawatirkan hati In Hong dan Bun Houw. Namun mereka berdua terlampau sayang kepada Sun Eng, maka mereka membiarkan saja Sun Eng bertingkah genit, dan juga tidak melarang ketika Sun Eng mulai berkenalan dengan anak-anak tetangga.

Setelah lewat tujuh tahun, Sun Eng menjadi seorang gadis berusia tujuh belas tahun yang cantik manis, pesolek dan pandai berias, murah senyum dan kerling matanya amat tajam memikat. Disamping ini, juga ilmu silatnya sudah mencapai tingkat tinggi karena memang dia berbakat sekali sehingga apa yang diajarkan oleh suhu dan subo-nya dapat dia kuasai dalam waktu yang tidak terlalu lama.

Setelah berusia tujuh belas tahun, nampak gejala-gejala tidak baik yang mulai terasa oleh Bun Houw, yaitu bahwa muridnya itu agaknya mempunyai kecondongan hati kepadanya! Dari sinar matanya, dari sikapnya, dari gayanya apa bila sedang dilatihnya silat, semua itu menunjukkan bahwa dara cantik manis ini berdaya upaya memikatnya dengan berbagai cara.

Bahkan ketika sedang berlatih silat di hadapannya, sering Sun Eng sengaja menonjolkan bagian-bagian tubuhnya yang menggairahkan, seperti bagian dadanya atau pinggulnya, sedemikian rupa untuk menarik perhatiannya! Akan tetapi dia pura-pura tidak tahu dan menghibur hatinya sendiri serta memaki-maki diri sendiri sebagai mata keranjang dan tak tahu malu, menuduh murid sendiri yang dianggapnya seperti adik sendiri itu sedemikian rupa!

Setelah dewasa, Sun Eng mulai mengerti bahwa antara suhu dan subo-nya ini tidak ada hubungan jasmani. Belum pernah dia melihat suhu dan subo-nya yang mengaku suami isteri ini tidur sekamar, apa lagi sepembaringan! Mulailah dia tertarik dan bertanya-tanya, bahkan dengan cerdik dia memancing-mancing kenapa suhu dan subo-nya tidak pernah menjenguk keluarga mereka hingga akhirnya subo-nya menceritakan kepadanya karena menganggap dia sebagai keluarga sendiri yang dipercaya, mengenai perjodohan mereka yang ditentang oleh orang tua Bun Houw.

"Kami sudah berjanji tidak akan menjadi suami isteri dalam arti sesungguhnya sebelum mendapat restu orang tua," subo-nya mengakhiri ceritanya sebagai jawaban pertanyaan mengapa suhu dan subo-nya belum juga mempunyai keturunan!

Maka tahulah Sun Eng bahwa suhu-nya masih perjaka dan subo-nya masih perawan. Dia makin tertarik dan merasa kasihan kepada suhu-nya. Memang dia amat kagum dan cinta kepada Bun Houw, maka mendengar penuturan ini, dia menjadi semakin berani kepada gurunya yang masih muda itu, yang hanya lebih tua sepuluh tahun dari padanya.

Watak Sun Eng ini ditambah oleh pergaulannya dengan segala orang, mendengar cerita-cerita cabul dan melihat tindak-tanduk mereka yang tidak mempedulikan susila sehingga dia sendiri terseret dan menjadi seorang wanita yang mendambakan cinta birahi.

Pada suatu malam, selagi Bun Houw tidur di dalam kamarnya seorang diri seperti biasa, Sun Eng yang sudah tidak mampu menahan gelora hatinya yang dihantui oleh bayangan pikirannya sendiri mengenai adegan-adegan mesra seperti yang pernah didengarnya dari penuturan kenalan-kenalannya, dengan nekat memasuki kamar gurunya itu.

"Seorang pria yang usianya hampir tiga puluh tahun seperti gurumu itu dan tidak pernah tidur dengan isterinya, tentu nafsunya besar bukan main, seperti air terbendung dan sekali bersentuhan dengan seorang wanita, tentu dia akan runtuh, seperti air bah yang menjebol bendungannya!" berkata seorang di antara wanita tetangga, seorang janda yang terkenal nakal dan mata keranjang sambil tertawa penuh arti saat Sun Eng menceritakan keadaan gurunya, "Sayang, dia begitu tampan dan gagah, sayang kalau seorang pria seperti dia tersia-sia."

Malam itu Sun Eng gelisah di atas pembaringannya. Ucapan-ucapan seperti itu terngiang di telinganya dan dia lalu membayangkan, betapa akan mesranya jika gurunya memeluk, menciuminya, bermain cinta dengan dia yang sudah sejak lama tergila-gila pada gurunya yang dia tahu merupakan seorang pendekar sakti yang amat hebat itu.

Betapa kaget rasa hati Bun Houw saat dia merasakan sesuatu yang lembut menindihnya, dua lengan yang mulus merangkulnya dan wajah yang terengah-engah menempel pada wajahnya, sebuah mulut yang lembut menciuminya! Syaraf-syarafnya yang terlatih segera menanggapi dan hampir saja dia menggerakkan tangan hendak menyerang, akan tetapi dia segera melihat bahwa wajah yang terengah-engah itu, yang kemerahan dan penuh dicengkeram nafsu birahi, adalah wajah cantik manis dari Sun Eng! Kekagetan berganti keheranan luar biasa.

"Suhu... ahhh, suhu... aku cinta padamu..." Bisikan di antara napas terengah-engah ini, ciuman pada pipinya, bibirnya, membuat Bun Houw yang tadinya terheran-heran menjadi marah bukan main.

Bun Houw sudah menggerakkan tangan, akan tetapi kesadarannya masih membuat dia dapat merubah pukulan itu menjadi dorongan sehingga tubuh dara itu terlempar dari atas tubuhnya, bahkan kemudian terbanting ke bawah pembaringan. Bun Houw sudah bangkit duduk.

Akan tetapi Sun Eng tidak menjadi takut, malah kini dara itu cepat membuka pakaiannya, memperlihatkan dadanya yang muda dan mempesonakan.

"Suhu... suhu... lihatlah aku cinta padamu, suhu... aku hendak mempersembahkan tubuh ini kepadamu..." Dan dara itu lalu merangkul lagi, mendekap kepala gurunya yang masih muda itu ke dadanya, kemudian mengangkat muka itu, menciumnya penuh nafsu birahi.

Bun Houw memejamkan mata dan seperti orang kehilangan dirinya sendiri, dia tenggelam dan terseret, kedua lengannya memeluk pinggang ramping itu, jari-jari tangannya bertemu dengan bukit-bukit pinggul dan dia pun balas mencium bibir yang menantang itu.

Tetapi, tiba-tiba seperti sinar terang yang berkilat menerangi kegelapan, kewaspadaannya membuat Bun Houw melihat betapa gilanya dia menyambut bujukan iblis yang berupa pikirannya sendiri yang ingin mereguk kepuasan dengan melayani muridnya itu, biar pun peristiwa yang amat kotor. Tiba-tiba dia mendorong tubuh Sun Eng, sedemikian kuatnya sehingga tubuh dara itu terlempar menabrak pintu kamarnya!

Bun Houw sudah bangkit berdiri, matanya berkilat-kilat, dan pada saat itu terdengar suara In Hong dari luar, "Houw-ko, ada apakah?"

Secepat kilat Sun Eng sudah membereskan bajunya lantas meloncat keluar dari jendela. Ketika In Hong memasuki kamar, dia cepat berkata dari luar jendela itu,

"Subo, teecu tadi seperti mendengar suara mencurigakan, teecu menyangka maling maka teecu hendak memberi tahu kepada suhu, tetapi celakanya, dalam kagetnya suhu malah mengira teecu malingnya!"

Cia Bun Houw menekan perasaannya yang tidak karuan, jantungnya berdebar kencang penuh ketegangan dan dia tahu bahwa kalau dia banyak bicara dalam saat itu, tentu In Hong akan menjadi curiga.

"Ahh, aku hanya melihat bayangan di luar jendela, maka aku segera menyerang. Untung Eng-ji dapat mengelak," katanya.

"Sun Eng, berhati-hatilah kau kalau mendekati kamar gurumu. Engkau tentu tahu bahwa seorang ahli silat yang sudah matang ilmunya dan ilmu silat sudah mendarah daging di dalam dirinya, syaraf-syarafnya selalu siap untuk menjaga diri dan dalam keadaan terkejut terbangun dari tidurnya dapat menyerang dengan tiba-tiba."

"Maaf, subo... teecu khawatir mendengar bunyi itu, mungkin saja hanya kucing..."

"Hemm, betapa pun, harus kuselidiki sendiri," kata In Hong yang cepat melayang naik ke atas genteng dan setelah merasa yakin bahwa tidak ada orang lain dia lalu turun kembali dan memasuki kamarnya. Sedikit pun dia tidak menaruh curiga atas terjadinya peritiwa itu.

Akan tetapi tentu saja Bun Houw tak dapat tidur memikirkan keanehan dari muridnya itu. Dia melihat bahaya yang sangat besar mengancam dirinya dan dia tidak tahu apa yang harus dilakukannya.

Akan tetapi, melihat betapa suhu-nya tidak membuka rahasianya terhadap subo-nya, hal ini diterima salah oleh Sun Eng yang mengira bahwa suhu-nya ‘melindungi’ dan bahwa diam-diam suhu-nya itu menanggapi pencurahan cintanya, maka dia bukannya mundur malah sikapnya menjadi makin mendesak. Sikapnya bukan hanya makin berani, bahkan di depan subo-nya, dia tidak dapat menyembunyikan kerling matanya yang penuh daya pikat dan penuh kasih mesra terhadap suhu-nya.

Tentu saja Bun Houw merasakan ini dan dia menjadi semakin gelisah dan tidak enak, apa lagi setelah dia melihat bahwa isterinya mulai memandang kepadanya dengan sinar mata aneh penuh curiga yang makin lama menjadi kecurigaan yang mengandung cemburu!

Cemburu adalah suatu di antara perasaan-perasaan manusia yang amat aneh dan amat kuatnya mencengkeram batin manusia. Banyak orang menyangka, bahkan berpendapat bahwa cemburu adalah tanda cinta, bahkan cemburu tak terpisahkan dari cinta! Betulkah perkiraan atau pendapat demikian itu?

Apa bila kita menanggapi dengan perkiraan atau pendapat yang lain, maka akan terjadi pertentangan pendapat yang ribuan macam banyaknya dan tiada habisnya, pula tidak ada gunanya. Sebaliknya kalau kita masing-masing menghadapi perasaan cemburu itu sendiri apa bila dia timbul, lalu mengamatinya dengan penuh kewaspadaan sehingga kita dapat menyelidikinya, mempelajarinya kemudian mengerti dengan sepenuhnya tentang susunan cemburu, bagaimana munculnya, apa sebabnya dan apa pula akibatnya.

Karena hanya pengertian yang mendalam, yang timbul dari pengamatan yang waspada ini sajalah yang akan menciptakan perubahan sehingga kita tidak lagi disentuh oleh racun cemburu. Dengan memandang kepada diri sendiri, maka kita bersama dapat melakukan penyelidikan apakah sebenarnya cemburu itu sehingga bukan hanya menjadi semacam pengetahuan teoritis yang hampa. Pengetahuan teoritis seperti itu tak akan melenyapkan cemburu.

Kita semua, tentu saja yang sudah pernah mengalaminya, tahu belaka apakah akibat dari perasaan cemburu ini. Cemburu menimbulkan derita batin, merasa sengsara, nelangsa, kecewa, berduka, kesepian, murung dan banyak pula yang menjadi marah, kemudian dicengkeram kebencian hingga menimbulkan tindakan-tindakan kekerasan. Oleh karena itu, kita semua tahu betapa buruknya akibat dari cemburu, dan tentu saja sebaiknya bila kita tidak pernah lagi disentuh oleh racun cemburu ini.

Dari manakah timbulnya cemburu? Hendaknya jangan tergesa-gesa menjawab dari cinta! Cemburu mendatangkan penderitaan dan kekerasan, oleh karena itu amatlah tidak tepat kalau menghubungkan cemburu dengan cinta kasih! Bukanlah cinta kasih bila akhirnya mendatangkan kedukaan dan kebencian!

Cemburu muncul KARENA KITA TAKUT KEHILANGAN APA YANG MENDATANGKAN KESENANGAN KEPADA KITA! Cemburu baru timbul kalau kita merasa adanya bahaya bahwa sesuatu yang kita anggap milik kita yang kita sayangi, baik itu merupakan benda, sahabat atau pacar atau suami atau isteri, akan terpisah dari kita dan menjadi milik orang lain. Jadi cemburu datang karena kita ingin mempertahankan sesuatu atau sesuatu yang mendatangkan kesenangan kepada kita, dan yang ingin kita monopoli atau miliki sendiri saja itu.

Cemburu adalah kekecewaan dan kemarahan yang timbul karena PUNYAKU diganggu, karena milikKU diambil orang lain, atau, lebih tepat karena takut atau khawatir milikKU diambil oleh orang lain. Jadi cemburu bersumber dari si aku yang ingin senang sendiri, dan barang atau pun orang yang kita ‘cinta’ itu menjadi sumber atau alat dari mana kita memperoleh kesenangan, maka kalau sumber atau alat itu diambil orang lain, kita lalu menjadi sedih, marah atau cemburu karenanya.

Cinta kasih tidak ada sangkut-pautnya dengan cemburu. Cinta kasih bukan berarti aku ingin senang, aku ingin mengusai, justru aku ingin senang dan aku ingin menguasai ini meniadakan cinta kasih! Cinta kasih tidak dapat dipaksakan, cinta kasih tidak mungkin dapat diikat.

Kalau kita merasa sayang kepada sebuah benda, tentu kita akan merawatnya baik-baik, menjaganya dengan hati-hati agar tidak rusak atau pecah, bukan? Dan kita melakukan semua itu karena benda tadi mendatangkan rasa senang kepada kita. Demikian pula kepada seorang pacar. Rasa senang itulah yang membuat kita menjaganya, supaya dia tidak sampai dipisahkan dari kita, karena hal itu berarti bahwa kita kehilangan itu!

Padahal, kalau bisa dinamakan keinginan, kiranya satu-satunya keinginan dari seorang yang mencinta adalah ingin melihat orang yang kita cinta itu berbahagia! Akan tetapi pengejaran kesenangan membuat kita berpendapat bahwa orang yang kita cinta itu HANYA BISA BERBAHAGIA kalau menjadi milik kita! Betapa picik pendapat seperti ini, bukan?

Demikianlah, Yap In Hong mulai dicengkeram perasaan cemburu ketika dia melihat sikap muridnya yang terlampau manis terhadap Bun Houw. Sebagai seorang wanita yang keras hati, In Hong tidak pernah dapat menyimpan rasa penasaran, setiap ganjalan hati tentu akan dikeluarkan melalui perbuatan dan kata-kata. Oleh karena itu, setelah melihat jelas sikap muridnya yang ditangkapnya dengan ketajaman naluri kewanitaannya, pada suatu malam setelah beberapa hari lewat semenjak peristiwa malam itu, In Hong menemui Bun Houw dan dengan suara dingin dan sikap tegas dia berkata,

"Houw-ko, sekarang ceritakanlah apa artinya sikap Sun Eng yang demikian manis dan memikat kepadamu!"

Bukan main kagetnya hati Bun Houw mendengar ini. Saking kagetnya karena hal yang mengganjal hatinya selama beberapa hari ini secara tiba-tiba disentuh oleh kekasihnya, dia menjawab dengan gagap. "Apa... apa yang kau maksudkan, Hong-moi...?"

"Houw-ko, bukankah sudah tidak ada rahasia lagi di antara kita? Engkau pun tahu akan sikap aneh dari Sun Eng kepadamu, sikap manis memikat yang tidak wajar. Apa artinya itu?"

Kini Bun Houw sudah dapat menenangkan hatinya lagi, maka dia sudah siap dan setelah menarik napas panjang dia lalu berkata, "Aahhh, hal ini menggangguku dalam beberapa hari ini, Hong-moi, membuatku sukar tidur nyenyak dan merasa gelisah karena aku selalu meragu apakah hal ini akan kuceritakan kepadamu secara terus terang atau tidak. Aku tadinya khawatir kalau-kalau engkau akan marah besar kemudian melakukan hal-hal yang mencelakakan kalau aku berterus terang. Akan tetapi melihat sikap anak itu yang makin menjadi-jadi, yang tentu menimbulkan kecurigaanmu, sebaiknya aku berterus terang saja. Hanya sebelumnya, harap engkau bersabar hati, Hong-moi, dan jangan bertindak keras, karena kasihan anak itu yang selain menjadi murid, juga seperti adik kita sendiri."

Biar pun alisnya berkerut tanda kemarahan, In Hong mengangguk karena dia sudah dapat menduga bahwa tentu murid itu telah jatuh cinta kepada kekasihnya ini. Maka dia dapat mendengarkan dengan sabar ketika Bun Houw menceritakan semua yang terjadi pada beberapa malam yang lalu, pada saat Sun Eng memasuki kamarnya dan memperlihatkan sikap yang sangat tidak patut, merayunya. Tentu saja dia tidak menyebut-nyebut tentang betapa dia hampir terseret oleh rayuan Sun Eng, betapa dia bahkan sudah membalas pelukan dan ciuman dara remaja itu.

Memang, pekerjaan yang paling sukar di dunia ini bagi manusia adalah membuka rahasia kekotoran dirinya sendiri! Semua manusia ingin dan berdaya upaya sekuat tenaga untuk menutupi kekotoran dirinya, akan tetapi di samping itu pun, berdaya upaya sekuat tenaga untuk membuka dan mengungkap semua rahasia kekotoran orang lain! Hanya dengan pengamatan waspada saja maka akan timbul kesadaran dan pengertian akan kepalsuan yang menyesatkan ini.....
Terima Kasih atas dukungan dan saluran donasinya🙏

Halo, Enghiong semua. Bantuannya telah saya salurkan langsung ke ybs, mudah-mudahan penyakitnya cepat diangkat oleh yang maha kuasa🙏

Traktiran: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan) ataupun bisa melalui via Trakteer yang ada dibawah

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar