Pendekar Lembah Naga Jilid 33

Sambil tertawa-tawa Ceng Han Houw dan Sin Liong mengaburkan kuda mendaki daerah pegunungan yang penuh dengan hutan itu. Tiba-tiba Han Houw yang membalapkan lebih dahulu, menghentikan kuda itu lalu membalikkan tubuh kuda menanti dan menghadap ke arah Sin Liong yang datang menyusul. Dengan busur di tangan kiri pangeran itu memberi tanda kepada Sin Liong agar berhenti. Sin Liong menahan kendali kudanya dan berhenti di depan Han Houw, memandang ke kanan kiri karena dia mengira bahwa tentu akan terjadi sesuatu, akan tetapi sunyi saja di sekeliling tempat itu.

"Mengapa, berhenti, Houw-ko?" Akhirnya dia bertanya.

"Liong-te, seharusnya engkau siap dengan busurmu seperti ini, tidak kau gantungkan di punggung seperti itu. Kita sudah memasuki daerah perburuan," kata pangeran itu sambil tersenyum.

Sin Liong juga tersenyum. "Ahh, biarlah engkau yang akan menggunakan busur dan anak panahmu kalau muncul binatang. Aku... aku sesungguhnya belum pernah memanah..."

"Ahhh, benarkah? Engkau demikian gagah dan kepandaianmu tinggi, masa engkau tidak dapat menggunakan anak panah?"

Sin Liong menggeleng kepala. "Aku belum sempat belajar, twako. Dan pula, dengan perut sekecil perutku ini, perlu apakah membunuh binatang besar untuk dimakan? Tidak akan habis dan sia-sia saja."

"Aihh, tanpa busur dan anak panah, mana mungkin kau akan dapat merasakan nikmatnya panggang hati harimau dan merasakan kaki beruang? Apa lagi, anak panah bukan hanya senjata untuk berburu, Liong-te, melainkan juga merupakan alat perang yang ampuh dan yang harus dipelajari oleh setiap laki-laki yang gagah. Namun dengan kepandaian seperti yang kau miliki, engkau akan dapat menguasainya dengan mudah. Mari kuajari sebentar! Kau ambil busurmu, lantas perhatikan ini. Begini caranya meletakkan anak panah, begini menarik busur. Tangan kiri yang memegang busur harus kuat dan kokoh seperti baja, dan jari tangan yang memegang anak panah dan menarik busur haruslah tetap dan sedikit pun tidak boleh bergoyang. Pandangan mata dan perasaan hati harus seimbang ditujukan kepada sasaran. Lihat, aku membidik cabang melintang di sana itu, pada ranting paling ujung yang tak berdaun!"

Pangeran itu membidikkan busur dan panahnya, menarik tali kemudian terdengar suara menjepret disusul patahnya ranting yang kena disambar oleh anak panah! Sungguh tepat bidikan itu dan secara diam-diam Sin Liong kagum sekali sebab pangeran itu benar-benar seorang pemanah yang amat mahir. Maka dia pun mulai belajar memanah dan memang tepat seperti yang dikatakan oleh Han Houw tadi, dengan tenaga yang dimilikinya, dengan mudah saja dia dapat menguasai senjata ini setelah mencoba beberapa kali saja.

Akan tetapi ketika senja sudah mendatang dan pangeran itu mengajaknya untuk mencari bahan makan malam, Sin Liong membiarkan pangeran itu yang merobohkan seekor kijang muda dengan anak panahnya. Anak panah yang dilepaskan oleh Han Houw dari jauh itu dengan jitu sekali menembus leher kijang muda itu dan lewat senja, di bawah penerangan api unggun yang merah, sibuklah dua orang pemuda itu memanggang daging serta hati kijang.

Harus diakui oleh Sin Liong bahwa bau daging panggang yang masih segar itu sedap bukan main, apa lagi karena perutnya memang telah lapar sekali, dan suasana di dalam hutan bersama Han Houw sangatlah menggembirakan. Mereka makan panggang daging kijang yang lunak dan gurih sampai kenyang dan minum air dari sumber yang mengalir berupa anak sungai jernih di dalam hutan. Kemudian mereka memilih tempat yang bersih dan enak, di bawah sebatang pohon besar yang ditilami rumput, untuk tempat istirahat melewatkan malam.

Pada waktu mereka duduk saling berhadapan sambil bersandar pada batang pohon dan diterangi api unggun, Han Houw mengajak Sin Liong bercakap-cakap dan pangeran ini banyak bertanya tentang diri Sin Liong. Akan tetapi, pemuda remaja ini tidak suka banyak bercerita tentang dirinya sendiri, maka jawabnya selalu singkat-singkat saja dan bersifat mengelak. Ketika ditanya mengenai orang tuanya, Sin Liong menjawab bahwa dia tidak mengenal ayah bundanya, bahkan dia hanya tahu dirinya dirawat oleh monyet-monyet.

"Ahhh, jangan engkau merendah, Liong-te. Bukankah suci dahulu bilang, bahwa engkau adalah putera dari pendekar Cia Bun Houw, cucu dari pendekar sakti Cia Keng Hong?"

Sin Liong menatap wajah pangeran itu dengan penuh selidik. "Kalau engkau menyangka demikian, kenapa engkau mengajak aku untuk bersahabat? Bukankah engkau memusuhi mendiang Cia Keng Hong dan Cia Bun Houw? Kalau memang engkau menganggap aku ini keturunan mereka, mengapa engkau tidak membunuhku?"

Pangeran itu menarik napas panjang. "Ahh, engkau belum mengenal aku, adik yang baik! Aku sama sekali tidak membenci mereka, tidak membenci orang-orang she Cia, Yap dan Tio seperti subo dan suci. Aku hanya ingin mengalahkan Cia Bun Houw karena pendekar Cia Keng Hong telah meninggal, akan tetapi aku tak menaruh rasa benci kepada mereka, aku hanya ingin memenuhi kehendak ayah angkatku yang sudah banyak melepas budi kepadaku. Dan andai kata engkau benar putera Cia Bun Houw, hal itu tidak ada sangkut-pautnya dengan niatku mengalahkan ayahmu itu, apa lagi aku sangat suka dan tertarik kepadamu..."

"Aku bukan anaknya!" Tiba-tiba Sin Liong berkata dengan kasar karena dia sudah marah membayangkan ayah kandungnya itu bersama wanita cantik itu.

Pangeran itu memandang dengan sinar mata tajam penuh selidik menjelajahi wajah Sin Liong yang nampak muram. Pangeran itu tersenyum. Dia makin tertarik kepada Sin Liong karena dianggapnya bahwa anak ini sungguh berbeda jauh dengan anak-anak lain. Anak ini liar dan berwatak luar biasa.

Sudah tahu bahwa dia adalah seorang pangeran, adik kaisar, tetapi anak ini sama sekali tidak memperlihatkan sikap hormat, apa lagi menjilat. Hal ini saja sudah mendatangkan rasa suka dan kagum di dalam hatinya. Dan anak ini kelihatan benci dan marah ketika diingatkan bahwa dia putera pendekar Cia Bun Houw dan cucu pendekar Cia Keng Hong. Padahal, anak lain tentu akan merasa bangga sekali. Dan penolakannya itu jelas bukan dikarenakan takut kepadanya. Bocah ini sungguh menyimpan banyak sekali rahasia aneh, pikirnya dengan sinar mata berseri.

"Sudahlah, kita tidak akan bicara tentang keluarga Cia... eh, bukankan engkau juga she Cia?" Seperti tanpa disengaja, secara tiba-tiba pangeran itu bertanya.

"Aku tidak punya she!" jawaban ini seketika, timbul dari hati panas.

Kembali Han Houw tersenyum. "Baiklah, aku hanya akan mengenalmu sebagai Sin Liong Si Naga Sakti dari Lembah Naga! Akan tetapi tentu engkau mau memberi tahu dari mana engkau memperoleh ilmu-ilmu hebat itu sehingga engkau berani dan mampu menghadapi Lam-hai Sam-lo?"

Sin Liong mengerutkan alisnya. Tentu saja dia tidak mau menceritakan bahwa dia sudah digembleng oleh pendekar sakti Cia Keng Hong, kakeknya sendiri karena dengan begitu sama saja dengan mengaku bahwa dia adalah putera dari Cia Bun Houw. Dia tidak takut untuk mengaku putera musuh pangeran ini, bahkan dia akan menghadapi dengan berani, sungguh pun dia tidak ingin bermusuhan dengan pangeran yang luar biasa dan sangat disukanya ini. Akan tetapi dia amat segan untuk mengaku putera pendekar yang diagung-agungkannya itu, pendekar yang baginya hanyalah seorang pria yang kejam, yang sudah menghancurkan kehidupan ibu kandungnya.

"Aku hanya belajar sedikit ilmu di bawah bimbingan suheng Ouwyang Bu Sek," jawabnya pendek.

"Ha, sudah banyak aku mendengar tentang dia dari Lam-hai Sam-lo. Kabarnya dia adalah seorang manusia aneh yang memiliki ilmu tinggi sekali. Sayang dia tidak muncul sendiri sehingga aku tidak sempat berjumpa kemudian berkenalan dengan dia. Maukah engkau membawaku ke sana untuk berkenalan dengan kakek aneh itu, Liong-te?"

Sin Liong menggelengkan kepalanya. "Tidak mungkin. Suheng menyuruh aku menghadiri pemilihan bengcu dan suheng sendiri pergi entah ke mana, tanpa memberi tahu padaku." Ucapannya ini tidak bohong karena memang kakek itu mengatakan bahwa mereka harus berpisah dan menempuh jalan masing-masing sebab kakek itu ingin memberi kesempatan kepada Sin Liong untuk mencari pengalaman hidup.

"Sayang sekali. Siapa tahu dia akan mau ikut pemilihan calon guruku. Ehh, sungguh luar biasa anehnya!" Tiba-tiba pangeran itu berkata dan menepuk pahanya.

"Apanya yang luar biasa aneh?"

"Engkau! Kenapa kau menjadi sute-nya? Kalau begitu, engkau menjadi murid gurunya? Bukan main. Menurut kabar, usianya sudah hampir tujuh puluh tahun, dan engkau menjadi sute-nya! Siapakah guru kalian kalau begitu?"

Sin Liong menjadi bingung dan dia menggeleng kepala. "Houw-ko, aku minta kepadamu, harap engkau jangan banyak bertanya tentang itu. Terus terang saja, aku sendiri selama hidupku belum pernah bertemu dengan orang yang kami sebut suhu itu! Aku belajar ilmu silat di bawah bimbingan langsung dari suheng Ouwyang Bu Sek, jadi sebenarnya dialah guruku, akan tetapi suheng tidak mau dianggap guru dan berkeras mengatakan bahwa aku adalah sute-nya. Jadi, aku sendiri belum pernah melihat guru kami..."

"Bukan main...!" Pangeran itu memandang dengan dua mata terbelalak, akan tetapi sinar matanya berkilat dan wajahnya berseri, tanda bahwa dia tertarik sekali. "Sungguh engkau seorang pemuda yang luar biasa anehnya, mengalami hal-hal yang luar biasa aneh pula, Liong-te. Kau membuat aku merasa iri saja! Kehidupanku amat membosankan, tidak ada yang aneh, bahkan subo-ku yang katanya memiliki kepandaian setinggi langit itu ternyata telah berubah menjadi seorang nenek yang pikun. Liong-te, kalau kau percaya kepadaku, dan sungguh mati aku tidak memiliki niat yang buruk, hanya timbul dari keinginan hatiku yang amat tertarik, katakanlah siapa nama gurumu yang luar biasa itu. Sesudah kau beri tahu, aku tidak akan banyak bertanya lagi tentang itu, adik yang baik."

Sin Liong merasa tak enak hati untuk menolak dan dia pun tidak ingin mengecewakan hati pangeran yang sangat baik terhadapnya ini. Pula, suheng-nya tidak pernah melarang dia menyebutkan nama guru mereka itu, hanya yang tidak boleh dibicarakan adalah tentang kitab-kitab kuno yang telah dibakar itu.

"Kuberi tahu juga tidak apa-apa, karena aku sendiri belum pernah jumpa, Houw-ko. Nama guru kami adalah Bu Beng Hud-couw dan menurut suheng, tempat pertapaannya berada di Himalaya."

Sepasang mata yang lebar dan amat indah bentuknya itu terbelalak. "Gurumu... gurumu seorang dewa...? Bu Beng Hud-couw...? Tentu seorang dewa dan bagaimana suheng-mu mengadakan hubungan dengan seorang dewa?"

"Ahh, aku sendiri selamanya belum pernah mengadakan hubungan, dan menurut suheng, dia mengadakan hubungan lewat getaran..."

"Getaran? Bagaimana maksudmu?"

"Entahlah, Houw-ko, aku sendiri pun tidak tahu. Kata suheng, suhu itu usianya sudah tiga ratus tahun lebih, bertempat tinggal di puncak Pegunungan Himalaya dan setiap saat bisa dihubungi suheng lewat getaran-getaran, akan tetapi aku sendiri belum pernah merasakan getaran itu. Sudahlah, Houw-ko, suheng melarang aku banyak bicara tentang suhu."

Mata Han Houw masih terbelalak memandang kepada pemuda remaja itu penuh kagum. "Aihhh...!" Akhirnya dia menarik napas panjang. "Betapa beruntungnya engkau, Liong-te, memperoleh guru seorang dewa... ahh, kalau saja aku dapat berguru kepadanya."

Pangeran itu tak banyak bicara lagi, hanya termenung memandang ke dalam api unggun, membayangkan seorang guru yang luar biasa, guru dewa! Sin Liong tidak mempedulikan lagi sahabatnya itu dan dia telah merebahkan diri di atas rumput, terlentang dan berbantal buntalan pakaiannya. Karena tubuhnya sangat lelah dan perutnya kenyang, sebentar saja Sin Liong sudah pulas.

Biar pun Sin Liong telah menerima gemblengan orang-orang sakti yang berilmu tinggi dan pemuda ini di luar kesadarannya sendiri sudah mewarisi dan menguasai ilmu-ilmu yang amat hebat, namun dia hanyalah seorang pemuda remaja yang baru berusia enam belas tahun dan pengalamannya di dunia kang-ouw amatlah tipis dan dangkal. Inilah sebabnya maka malam itu dia dapat tidur nyenyak tanpa curiga apa pun, dan dia telah menyerahkan seluruh kepercayaannya kepada sahabat ini oleh karena melihat sikap Han Houw yang dianggapnya amat baik kepadanya itu.

Dapat dibayangkan betapa terkejut hati Sin Liong ketika dalam keadaan pulas itu tiba-tiba dia merasa tubuhnya amat nyeri dan seketika dia terbangun. Begitu matanya terbuka, dia melihat bahwa malam sudah berganti pagi, akan tetapi yang sangat mengejutkan hatinya adalah melihat kenyataan bahwa dia berada dalam keadaan tertotok dan seluruh tubuhnya tidak mampu bergerak, lemas dan lumpuh! Tahulah dia bahwa dalam keadaan pulas tadi, dia telah ditotok orang secara hebat sekali!

Pangeran itu duduk di sebelah kanannya dengan busur terpentang serta anak panah di atas busur itu ditodongkan ke arah dadanya! Dan di sebelah kirinya berdiri seorang kakek yang langsung dikenalnya karena orang itu bukan lain adalah Hek-liong-ong Cu Bi Kun, orang ke tiga dari Lam-hai Sam-lo, kakek raksasa bermuka buruk seperti tengkorak yang pernah bentrok dengan dia di atas panggung sayembara perebutan bengcu kemarin.

Ketika Sin Liong membuka matanya, dia melihat betapa Hek-liong-ong sedang membujuk sang pangeran.

"Harap paduka lekas lepaskan anak panah itu selagi dia tak mampu bergerak, pangeran. Kalau dia dapat bergerak, sukarlah bagi kita untuk menundukkannya. Dia sudah mewarisi Thi-khi I-beng dan ilmu-ilmu lain yang dahsyat, bahkan hamba percaya bahwa dia tentu telah mewarisi kitab-kitab pusaka dari Himalaya yang hamba yakin sekarang tentu sudah dicuri oleh Ouwyang Bu Sek."

"Hemm, tak pertu tergesa-gesa, Hek-liong-ong. Munculmu mengejutkan hatiku. Jelaskan, kitab-kitab apa yang kau maksudkan itu dan kenapa engkau berkeras hendak membunuh dia?"

"Dalam pertemuan kita yang singkat, hamba belum sempat menceritakan kepada paduka tentang Ouwyang Bu Sek. Tokoh itu penuh rahasia dan selalu menentang hamba bertiga dan biar pun tahun ini dia tidak muncul, tetapi ada pemuda ini yang menjadi wakilnya dan mengaku sebagai sute-nya. Kabarnya kitab-kitab pusaka yang dicuri oleh Ouwyang Bu Sek itu adalah kitab-kitab pusaka yang amat hebat, ciptaan dari Bu Beng Hud-couw dan mengandung pelajaran ilmu-ilmu yang amat tinggi."

"Hemm..., Bu Beng Hud-couw?" Pangeran itu bertanya dan matanya menyambar ke arah wajah Sin Liong, akan tetapi anak panah itu masih terus menodong ke arah dada pemuda remaja itu.

"Benar, pangeran. Pemuda ini lihai sekali, maka sebaiknya dia dibunuh dahulu, baru kita mencari Ouwyang Bu Sek untuk dilenyapkan, karena kalau tidak, mereka itu kelak hanya akan menimbulkan kepusingan belaka bagi paduka dan pemerintah. Dan kitab-kitab itu tentu berada di tangan Ouwyang Bu Sek, paduka tentu akan senang sekali kalau dapat memperoleh kitab-kitab itu. Biarkan hamba membunuhnya sekarang juga, hamba khawatir kalau-kalau totokan hamba masih tidak dapat menguasainya terlalu lama..."

Han Houw tersenyum dan kini cahaya matahari pagi menerobos celah-celah daun pohon, menimpa ke wajah pangeran itu sehingga Sin Liong dapat memandangnya dengan jelas. Pangeran itu menatap wajah Sin Liong, kemudian sambil tersenyum dia berkata kepada Sin Liong yang memandangnya dengan mata penuh kebencian dan kemarahan.

"Sin Liong, bagaimana pendapatmu dengan ini? Nyawamu berada di dalam tanganku!"

Sin Liong mendengar semua kata-kata mereka berdua, akan tetapi pada saat itu seluruh perhatiannya lahir batin tercurah pada jalan darahnya dan pernapasannya. Dari mendiang kakeknya, dia telah menerima pelajaran tentang Thai-kek Sin-kun dan di dalam ilmu yang amat hebat ini terdapat bagian yang sangat rahasia, yaitu penguasaan jalan darah melalui pernapasan.

Karena sulitnya ilmu ini, maka dia pun, seperti ilmu lain, hanya menghafalkannya di luar kepala saja dan belum mempunyai cukup waktu untuk melatihnya. Kini, dalam keadaan tertotok jalan darahnya dan terancam nyawanya, teringatlah dia akan ilmu itu dan secara diam-diam dia telah mengerahkan seluruh perhatiannya, kemudian mengatur pernapasan dan perlahan-lahan hawa murni dari pernapasannya itu menyusup ke dalam jalan darah dan membantu jalan darah yang terhenti karena totokan untuk membebaskannya.

Oleh karena itu, mendengar pertanyaan Han Houw, dia hanya mendengar sayup-sayup saja dan karena tidak terlalu memperhatikannya, maka dia pun menjawab sambil lalu dan suaranya masih seperti kalau dia bicara dengan Han Houw kemarin, sebelum terjadinya pengkhianatan ini.

"Houw-ko, aku memang tahu bahwa engkau amat kejam dan curang. Aku adalah seorang gagah, tentu saja tidak takut mati, lebih baik mati dalam keadaan gagah dari pada hidup menjadi manusia curang dan kejam seperti engkau."

"Bocah setan, berani engkau bicara seperti itu terhadap pangeran? Kurang ajar, engkau layak mampus seratus kali!" Tiba-tiba Hek-liong-ong meloncat ke depan dan mengangkat goloknya, membacok ke arah leher Sin Liong.

Pada waktu itu Sin Liong sedang mengerahkan seluruh hawa murni yang terbawa oleh tarikan napasnya untuk membobol jalan darahnya yang terhenti, maka ketika dia melihat serangan ini, dia hanya membelalakkan mata sambil menanti maut dengan mata terbuka. Harapannya habis ketika dia melihat betapa pada saat itu juga, anak panah di busur yang dipegang oleh pangeran itu melesat dengan cepat sekali, mengeluarkan bunyi mendesis yang mengerikan.

"Crotttt...!"

Karena dilepas dari jarak dekat, anak panah itu menancap ke ulu hati dan menembus ke punggung, namun bukan pada tubuh Sin Liong! Sepasang mata Hek-liong-ong terbelalak, melotot hampir keluar dari rongga mata, mulutnya mengeluarkan teriakan karena terkejut, nyeri dan juga heran.

"Oughhhhh... pangeran... mengapa...?" Tubuhnya terjengkang dan goloknya terlepas dari tangan kanan, sedangkan tangan kirinya mencengkeram ke arah anak panah yang sudah menembus dadanya sehingga anak panah itu patah, tubuhnya berkelojotan dan tak lama kemudian dia terkulai dan tewas karena anak panah itu telah menembus jantungnya.

Rasa kaget dan heran yang sangat hebat seperti mendorong hawa murni dan menembus jalan darah yang terhenti.

"Plong...!"

Dan Sin Liong pun dapat bergerak lagi. Dia bangkit duduk dan memandang pangeran itu sambil bertanya, melanjutkan pertanyaan sepotong yang keluar dari mulut Hek-liong-ong sebelum tewas tadi, "Mengapa engkau lakukan itu? Mengapa kau membunuh dia?"

Sekarang pangeran itu memandang dengan mata terbelalak. "Liong-te, kau... kau... dapat bergerak? Bukankah Hek-liong-ong tadi menotokmu?"

Sin Liong mengangguk. "Baru saja aku berhasil membebaskan diri. Akan tetapi, Houw-ko, mengapa sikapmu begini aneh? Apa yang terjadi dan mengapa kau membunuh dia yang menjadi pembantumu?"

Pangeran itu menarik napas panjang, melangkah menghampiri mayat Hek-liong-ong dan menyentuh dengan kakinya.

"Menjemukan dia ini! Dan engkau tadi mengatakan aku kejam dan curang. Memang aku kejam dan curang namun hanya pada waktu-waktu tertentu, seperti ketika melihat engkau terancam bahaya maut. Dia ini lihai sekali dan tanpa mempergunakan kecurangan, belum tentu aku dapat membunuhnya sedemikian mudahnya."

"Houw-ko, aku tahu bahwa engkau tadi telah menyelamatkan nyawaku, dan aku tahu pula kenapa Hek-liong-ong membenciku sehingga hendak membunuhku. Akan tetapi sungguh aku tidak mengerti kenapa engkau membunuhnya. Bukankah Lam-hai Sam-lo merupakan pembantu-pembantumu, pembantu pemerintah?"

"Dia ini layak mampus, Liong-te. Dosa-dosanya terlalu banyak terhadapku. Pertama, pada waktu aku tidur, dia lancang menotokmu dan juga mengejutkan aku. Itu saja sudah cukup baginya untuk mati. Ke dua, dia hendak membunuhmu, padahal engkau adalah seorang sababatku. Perbuatannya itu berarti dia tidak mengindahkan aku dan lancang, merupakan dosa yang tak berampun. Dan ke tiga, dia tak boleh membunuhmu, karena selain engkau seorang sahabat baikku yang kusayang, juga adalah calon saudara seperguruanku."

"Ehh...?!" Sin Liong berseru heran.

"Lupakah kau bahwa aku ingin sekali menjadi murid dewa yang bermukim di Himalaya itu, Liong-te? Sudahlah, kematian orang ini tak perlu diributkan lagi, dia mati sebagai seorang petugas yang menyeleweng dan kuanggap menentang kepada atasan. Mari kita lanjutkan perjalanan."

Mereka lalu naik ke atas punggung kuda masing-masing. "Houw-ko, aku berhutang nyawa kepadamu."

"Ahh, jangan berlebihan, Sin Liong. Engkau sudah berhasil membebaskan totokan maka tanpa kubantu pun, belum tentu Hek-liong-ong mampu membunuhmu."

Sin Liong tidak membantah, merasa tidak perlu berbantah tentang itu karena dia tahu benar bahwa tanpa bantuan pangeran itu, dia tentu telah tewas oleh golok Hek-liong-ong yang menyerangnya pada saat dia belum berhasil membebaskan diri dari totokan.

Pangeran itu bersikap seakan-akan tidak pernah terjadi sesuatu yang hebat. Membunuh Hek-liong-ong itu baginya seolah-olah merupakan hal biasa saja dan diam-diam Sin Liong merasa semakin menyesal mengapa pangeran yang telah menarik hatinya bahkan mulai disukanya ini memiliki watak yang demikian kejam dan dingin terhadap keadaan orang lain yang tidak disukanya.

Sin Liong juga melihat betapa Han Houw amat suka berburu. Sampai tiga hari lamanya dia terpaksa menemani pangeran itu berburu di dalam hutan yang memang dihuni oleh banyak sekali binatang liar itu. Tetapi dia sendiri tidak ikut menggunakan anak panahnya.

Sin Liong terlalu mencinta kehidupan di dalam hutan untuk merusaknya begitu saja. Dia sangat berduka melihat betapa Han Houw menyebar maut di antara binatang-binatang yang sama sekali tidak berdosa, membunuhnya, merobohkannya dengan anak panah lalu meninggalkan bangkainya begitu saja!

Melihat Hek-liong-ong tewas kemudian mayatnya ditinggalkan begitu saja, dia tak merasa terlampau menyesal karena memang orang itu hanya akan menyebar kejahatan dengan mengandalkan kepandaian. Akan tetapi saat melihat binatang-binatang hutan yang sama sekali tidak bersalah itu dibunuh begitu saja, benar-benar dia merasa betapa hatinya perih dan menyesal.

Memang demikianlah keadaan di dunia ini. Manusia, dengan akal budi serta pikirannya yang membuat manusia menganggap bahwa dia adalah makhluk teragung, terpandai dan terbaik di dunia ini, kadang-kadang melakukan kekejaman-kekejaman yang luar biasa mengerikan, kekejaman-kekejaman yang takkan pernah dilakukan oleh makhluk lainnya. Kekejaman yang sudah merupakan semacam ‘kebudayaan’ atau yang sering kali disebut ‘olah raga’ sehingga sudah menjadi sebuah kebiasaan yang dianggap sopan dan baik, menjadi bukti akan keunggulan manusia di antara segala makhluk.

Manusia memburu dan mengejar makhluk-makhluk lain, binatang-binatang dalam hutan, membunuh mereka, kadang membunuh untuk memenuhi kebutuhan yang sesungguhnya lebih condong kepada kebutuhan selera dari pada kebutuhan perut, namun lebih sering lagi membunuh binatang-binatang itu hanya untuk kesenangan belaka, setelah binatang-binatang itu dibunuh, bangkainya ditinggalkan begitu saja!

Manusia menikmati kesenangan dari membunuh! Dan membunuh semacam ini, karena kebudayaan, atau karena kebiasaan, sudah bukan dianggap membunuh lagi. Membunuh dianggap kesenian, kebudayaan, olah raga!

Dan bukan manusia-manusia pedusunan atau pegunungan yang menganggap demikian, yang memiliki kebudayaan macam itu, sama sekali bukan. Penghuni dusun atau gunung memang banyak pula yang memburu binatang, namun mereka melakukan hal itu bukan untuk kesenangan membunuh, melainkan sebagai nafkah hidup.

Yang menganggap pembunuhan sebagai sebuah kebudayaan justru adalah orang-orang terpelajar, manusia-manusia kota yang mempropagandakan prikemanusiaan, yang bicara muluk-muluk mengenai kerohanian, dan sebagainya. Betapa menyedihkan kenyataan ini bagi mereka yang mau membuka mata melihat kenyataan dan mengenal keadaan diri sendiri lahir batin!

Selama tiga hari ini, Sin Liong melihat betapa pangeran yang tampan itu bergembira ria, mengejar harimau, kijang, atau binatang apa pun yang ditemuinya, dan selama tiga hari ini pula, belasan ekor binatang sudah menemui ajalnya, mati lantas dibiarkan bangkainya membusuk dan dimakan binatang-binatang lain. Memang ada di antara korban-korban itu yang dagingnya diambil dan dimakan oleh mereka berdua, akan tetapi hanya sedikit dan tidak ada artinya dibandingkan dengan banyaknya binatang yang tewas.

Pada suatu hari, tibalah dua orang muda itu di kota Kiu-kiang, sebuah kota yang ramai di tepi Sungai Yang-ce di tapal batas sebelah utara dari Propinsi Kiang-si. Seperti biasa apa bila mereka sampai di kota atau pedusunan, Han Houw lalu mengajak Sin Liong langsung menuju ke gedung kepala daerah di mana dia lalu mengeluarkan kim-painya dan setelah orang mengenal kim-pai itu, segera Han Houw disembah-sembah dan disambut dengan segala kehormatan. Sin Liong yang dikenalkan oleh Han Houw sebagai adik angkatnya, tentu saja juga menerima penyambutan yang amat ramah dan terhomat sehingga kadang kala pemuda remaja ini merasa canggung dan sungkan.

Pakaian-pakaian indah disediakan oleh Gu-taijin, pembesar dari kota Kiu-kiang itu untuk Han Houw dan Sin Liong. Tentu saja untuk Han Houw disediakan pakaian yang pantas untuk dikenakan oleh seorang pangeran, sedangkan untuk Sin Liong disediakan pakaian yang biasanya hanya dipakai oleh kongcu-kongcu bangsawan atau hartawan!

Melihat sikap Sin Liong yang kikuk, Han Houw tertawa dan dengan setengah memaksa dia berkata, "Liong-te, engkau adalah sahabatku yang baik, maka sudah sepatutnya kalau engkau menerima penghormatan dari siapa pun juga. Pakaianmu sudah kotor, hayo kau pakai pakaian baru ini. Kalau engkau memakai pakaian lama itu, sebagai sahabat baikmu tentu aku akan turut merasa malu, apa lagi engkau bukan hanya sahabat, melainkan adik angkatku!"

"Adik angkat? Apa maksudmu, Houw-ko?" tanya Sin Liong ketika mereka berada di dalam kamar mewah yang disediakan oleh Gu-taijin untuk mereka.

"Engkau adalah adik angkatku, Liong-te, tidak maukah engkau menjadi adikku? Aku ingin mengangkat engkau menjadi saudara, dan malam ini, di bawah sinar bulan purnama, kita akan melakukan sembahyang sebagai pengangkatan saudara."

"Ahhh...!" Sin Liong melongo dan ada rasa haru menyelinap di dalam hatinya.

Han Houw adalah seorang pangeran, adik dari kaisar! Dan nanti malam, di bawah sinar bulan purnama, pangeran ini hendak mengangkat dia sebagai adik, padahal dia hanyalah seorang anak tanpa keluarga, bahkan anak yang dirawat oleh monyet!

"Apakah engkau menolak, Liong-te?" pertanyaan itu diucapkan dengan suara sedemikian halusnya sehingga Sin Liong tidak berani untuk membantah.

"Aku... merasa terhormat sekali... akan tetapi, pantaskah aku menjadi adik angkatmu, Houw-ko...?" katanya gagap.

Han Houw merangkulnya dan tertawa. "Pantas? Ha-ha-ha, engkau adalah Naga Sakti dari Lembah Naga, mempunyai adik seperti engkau merupakan kebanggaan bagiku, Liong-te! Mari, Gu-taijin telah mempersiapkan segala peralatan sembahyang itu di taman."

Dan benar saja, pada waktu mereka memasuki taman, di sana telah diatur sebuah meja sembahyang yang lengkap serta mewah, dan lilin-lilin merah bernyala dengan meriahnya. Ternyata pangeran itu sudah memesan kepada Gu-taijin dan sudah mengatur segala-galanya, tanda bahwa pangeran itu sudah yakin bahwa Sin Liong tidak akan menolak!

Sin Liong merasa kikuk sekali. Apa lagi karena selain Gu-taijin sendiri dan nyonya Gu, di situ terdapat pula seorang dara cantik yang berpakaian amat indah, bersama dengan lima orang dara lainnya yang berpakaian sebagai pelayan akan tetapi yang kesemuanya cantik manis, melayani mereka berdua dengan penuh penghormatan!

Sin Liong merasa heran sekali mengapa Gu-siocia (nona Gu) puteri pembesar itu yang usianya kurang lebih enam belas tahun dan cantik sekali itu melayani Han Houw dengan manis budi dan dengan senyum dan kerling mata manis memikat. Dia juga merasa kagum betapa Han Houw bersikap biasa saja dan tidak kikuk sama sekali terhadap pelayanan Gu-siocia serta lima orang pelayan cantik itu, padahal dia sendiri merasa canggung dan gugup, bahkan Sin Liong merasa betapa kedua kakinya agak gemetar menghadapi enam nona cantik itu. Bau harum dari rambut dan pakaian mereka membuat jantung Sin Liong berdegup tegang.

Sebelum sembahyangan dimulai, pangeran itu mendekatkan mulutnya di samping telinga Sin Liong kemudian bertanya, "Liong-te, kau akan memakai she apakah dalam upacara pengangkatan saudara ini?"

Sin Liong menjadi bingung. Tadinya dia sudah mengambil keputusan untuk menggunakan nama Sin Liong saja, tanpa she. Akan tetapi dalam upacara resmi itu terpaksa dia harus menggunakan she dan dia tak sudi menggunakan she ayah kandungnya yang dibencinya.

"She Liong...," jawabnya berbisik pula.

Pangeran itu mengangkat alisnya lalu mengangguk. "She ibumu...?"

Sin Liong mengangguk. Ibu kandungnya adalah Liong Si Kwi, dan karena Cia Bun Houw ayah kandungnya agaknya tidak lagi mau mengakui ibunya dan dia, mengapa dia tidak memakai she ibunya saja?

Ketika mereka berdua mulai sembahyang dan berlutut di depan meja sembahyang, Sin Liong hanya menirukan kata-kata Han Houw.

"Diterangi sinar bulan purnama, disaksikan oleh bumi dan langit, kami berdua, Ceng Han Houw dan Liong Sin Liong, bersumpah saling mengangkat saudara satu sama lain dan seterusnya kami berdua akan saling membela dan saling membantu sebagai kakak dan adik. Semoga Thian memberkahi kami berdua."

Setelah selesai sembahyang, Sin Liong yang merasa terharu segera bangkit dan bersoja (mengangkat kedua tangan di depan dada) kepada Han Houw sambil berkata. "Twako, harap suka menerima penghormatan adikmu."

Han Houw balas mengangkat kedua tangannya, lalu merangkul pundak Sin Liong dengan wajah berseri. "Puas dan gembira sekali hatiku, Liong-te!"

"Kionghi..., kionghi...! Hamba menghaturkan selamat kepada paduka, pangeran!" Gu-taijin berseru gembira dan isterinya serta puterinya juga cepat mengucapkan selamat kepada Han Houw.

"Kionghi...(selamat), Liong-kongcu!"

Pembesar itu memberi selamat kepada Sin Liong, yang diikuti pula oleh isterinya serta puterinya. Menerima penghormatan dan ucapan selamat dari Gu-siocia, wajah Sin Liong berubah merah sekali sehingga Han Houw tertawa bergelak karena geli.

Untuk menyambut kedatangan tamu agung itu sekaligus untuk merayakan pengangkatan saudara, maka malam itu Gu-taijin mengadakan pesta bagi Han Houw dan Sin Liong. Dua orang pemuda itu diajak makan minum oleh Gu-taijin, isterinya serta puterinya, dilayani oleh gadis-gadis cantik. Juga di dalam pesta ini Sin Liong melihat sikap Gu-siocia sangat manis terhadap sang pangeran, dan betapa ayah serta ibu dara itu agaknya memang sengaja mendorong-dorong puteri mereka untuk bermanis-manis dengan Han Houw.

Yang membuat dia merasa sangat jengah dan malu adalah sikap Han Houw yang sama sekali tidak kikuk bahkan secara terang-terangan pemuda tampan itu telah bermain mata dengan Gu-siocia, dan di depan ayah bunda dara itu, Han Houw tidak segan-segan untuk memuji kecantikan Gu-siocia, bahkan kalau ada kesempatan, tangan Han Houw secara tidak tahu malu meraba lengan yang halus dari nona itu, dan beberapa kali jari tangan pangeran itu malah mengusap dan mencubit pinggul beberapa orang gadis pelayan yang kebetulan berada dekat dengannya sehingga gadis itu menjadi tersipu-sipu akan tetapi tidak marah bahkan tersenyum manis dan melempar kerling genit sekali!

Sin Liong memejamkan mata lantas menundukkan mukanya yang menjadi merah sekali menyaksikan kenakalan pangeran itu. Tadinya dia menyangka bahwa mungkin pengaruh arak yang telah membuat Han Houw bersikap seperti itu. Akan tetapi dari percakapannya, tahulah dia bahwa memang Han Houw adalah seorang pemuda yang genit dan senang menggoda wanita!

Akhirnya Sin Liong tidak mampu menahan lagi dan dengan dalih mengantuk dia berpamit untuk mengundurkan diri.

"Ahhh, engkau sudah mengantuk, Liong-te? Nanti dulu sebentar, kita melihat kepandaian Gu-siocia menari. Bukankah engkau pandai menari, siocia? Maukah menarikan beberapa tarian untuk kami?"

Ayah dan ibu gadis itu turut membujuk dan karena agaknya memang sudah dipersiapkan sebelumnya, lima orang dara pelayan yang cantik itu sudah mengeluarkan alat-alat musik pipa, yangkim dan sebagainya untuk mengiringi nona mereka menari. Dan dengan sikap malu-malu buatan sehingga dia kelihatan lebih cantik menarik seperti jinak-jinak merpati, Gu-siocia mulai menari.

Di antara para pelayan itu ada yang memukul musik sambil menyanyi maka nona rumah menari makin bersemangat dan Sin Liong harus mengakui bahwa nona itu pandai sekali menari. Melihat betapa pinggang yang ramping itu terayun-ayun bagaikan tangkai pohon yang-liu tertiup angin, betapa ringan kedua kaki kecil itu menari-nari, jantungnya berdebar dan beberapa kali dia harus membuang muka agar jangan sampai terpesona dan menjadi bengong seperti Han Houw!

Sesudah nona itu selesai menari, Han Houw langsung bertepuk tangan memuji. "Bagus sekali... tarianmu hebat, nona, seperti bidadari dari kahyangan...!"

"Pangeran terlalu memuji..." kata nona itu dengan sikap malu-malu, suaranya merdu mirip nyanyian, dan sambil membungkuk nona itu menyembunyikan muka di balik ujung-ujung lengan bajunya yang terbuat dari sutera halus. Sikapnya amat menarik dan lemah gemulai membangkitkan birahi.

"Houw-ko, maafkan, aku ingin beristirahat...," kata Sin Liong.

Han Houw tertawa lalu bangkit berdiri. "Ah, adikku ini tidak biasa menghadiri pesta-pesta, maka merasa lelah dan ingin mengaso. Terima kasih atas segala kebaikanmu, Gu-taijin."

"A-bwee, antarkan pangeran beserta Liong-kongcu ke kamar mereka!" perintah sang ayah kepada anaknya.

Dengan sikap manis sekali Gu-siocia bersama lima orang dara pelayan itu mengantarkan Han Houw dan Sin Liong. Sesudah meninggalkan ruangan itu dan melalui lorong menuju ke kamar tamu, tanpa ragu-ragu lagi Han Houw merangkul pinggang Gu-siocia yang amat ramping itu. Gu-siocia hanya terdengar menahan jerit dan tawa lirih, ada pun Sin Liong mempercepat langkah dengan hati tidak karuan rasanya.

Akan tetapi, ketika Sin Liong memasuki ke kamarnya yang terpisah dari kamar pangeran itu, sebelah menyebelah, Han Houw mengikutinya bersama Gu-siocia yang masih terus dirangkul pinggangnya dan lima orang dara pelayan cantik itu.

"Liong-te, kau pilihlah. Siapa di antara mereka yang kau pilih untuk menemanimu?" Han Houw bertanya sambil tersenyum.

Wajah Sin Liong seketika menjadi berubah dan dua matanya terbelalak. "A... apa...? Apa maksudmu...?" tanyanya gagap.

Lima orang pelayan wanita itu tersenyum genit, ada pun Gu-siocia hanya menundukkan muka dengan malu-malu sebab tangan pangeran yang merangkul pinggangnya itu dengan nakal meraba ke atas.

"Liong-te, mereka ini memang disuruh menemani kita. Hayo kau pilih yang mana? Malam ini aku gembira sekali dan biarlah engkau kubiarkan memilih dulu. Apakah kau ingin agar Gu-siocia menemanimu malam ini? Nah, kau ambillah dia...!" Pangeran itu mendorong tubuh Gu-siocia ke depan.

Dara itu menjerit kecil dan tentu akan menabrak Sin Liong kalau saja pemuda remaja ini tidak cepat menangkap pinggangnya. Akan tetapi pinggang ramping itu cepat dilepaskan kembali dan wajah Sin Liong menjadi agak pucat.

"Aku... aku... tidak..."

"Jangan malu-malu, Liong-te..."

"Pangeran, Liong-kongcu tidak mau hamba temani, biar hamba menemani paduka saja..." Gu-siocia berkata dan kembali mendekati pangeran itu.

"Bagaimana, Liong-te?"

Kini Sin Liong sudah dapat mengembalikan ketenangannya dan dia berkata dengan suara tegas, "Houw-ko, selamanya aku belum pernah berdekatan dengan wanita dan tidak akan melakukannya malam ini. Aku ingin beristirahat, harap Houw-ko suka meninggalkan aku sendirian saja di kamarku. Nona-nona semua harap keluar dari sini."

"Ha-ha-ha...! Kau... kau masih perjaka tulen, Liong-te? Ha-ha-ha-ha, betapa engkau telah menyia-nyiakan hidupmu." Pangeran itu tertawa-tawa.

Akan tetapi Sin Liong tidak mempedulikannya, lantas dengan sikap sungguh-sungguh dia menggiring mereka keluar dari dalam kamar. Sin Liong cepat menutupkan daun pintu dan dia bersandar pada daun pintu itu dengan dada bergelombang.

Suara tawa Han Houw masih terdengar olehnya. Dia merasa bingung, tidak dapat menilai sikap Han Houw, kata-katanya dan sikapnya itu. Urusan dengan wanita merupakan suatu hal yang asing sama sekali baginya. Biar pun dia berada dalam asuhan Ouwyang Bu Sek dari masa kanak-kanak sampai menjelang dewasa, akan tetapi kakek itu sama sekali tak pernah bicara tentang tata susila.

Betapa pun juga, ketika dia masih dekat dengan ibu kandungnya, kemudian sesudah dia ikut Na-piauwsu, sudah banyak dia mendengar tentang pelajaran tata susila, bahkan dia pernah mendapat kesempatan untuk membaca kitab-kitab kuno mengenai sopan santun dan kehidupan, maka dia dapat melihat bahwa apa yang dilakukan oleh Gu-siocia dengan Pangeran Ceng Han Houw itu merupakan perbuatan yang tidak senonoh dan melanggar batas-batas susila!

Biar pun dia sadar bahwa hal itu tidak baik untuk dilakukan dan dilanggar, namun darah mudanya yang dibangkitkan oleh bayangan-bayangan membuat dadanya berdebar-debar dan darahnya bergejolak! Makin ditekan perasaan yang menggelora itu, makin hebatlah menyerangnya sehingga Sin Liong tidak dapat tidur.

Dengan gelisah dia rebah dan bergelimpangan di atas pembaringan, telinganya seakan mendengar suara halus dan tawa yang menimbulkan gairah hatinya, suara wanita-wanita muda yang cantik dan genit tadi. Di matanya selalu terbayang wajah yang cantik manis, mata yang jeli dan senyum yang memikat tadi, bahkan kini dia seperti mendengar suara ketawa Han Houw diselingi suara cekikian dari wanita-wanita itu.

Semua ini makin mengganggu hatinya hingga akhirnya Sin Liong tidak kuat bertahan lagi dalam kamarnya, lalu diam-diam dia keluar melalui jendela dan membiarkan angin malam menyejukkan tubuhnya, sungguh pun hatinya masih juga panas dan berdebar. Dicobanya untuk bersemedhi di tengah taman indah yang sunyi dan remang-remang itu, akan tetapi usahanya sia-sia belaka, makin diusir bayangan-bayangan wanita itu, makin jelas nampak kecantikan mereka dan jelas terdengar suara halus mereka membujuk rayu.

Dari mana datangnya gelora nafsu birahi dan bagaimana terjadinya? Mengapa demikian sukarnya untuk diusir kalau datang mencengkeram batin sehingga amat menggelisahkan orang, mendorong-dorong orang untuk melaksanakan hasrat yang mencari pemuasan itu?

Nafsu birahi, seperti nafsu apa pun juga yang bisa meliputi batin, datang dari pikiran kita sendiri, datang dari ingatan atau kenangan. Memang ada naluri jasmaniah yang bergerak sesuai dengan kewajaran, yang menggerakkan atau menyentuh birahi demi kepentingan perkembangan dan pembiakan, mendekatkan jantan dan betina, pria dengan wanita satu sama lain berikut daya tarik masing-masing.

Akan tetapi, hasrat yang timbul dari daya tarik jasmaniah ini sungguh tidak sama dengan nafsu birahi yang menggerogoti batin dari sebelah dalam, karena nafsu birahi ini, seperti nafsu-nafsu lain, digerakkan oleh pikiran. Pikiran mencatat sebagai ingatan hal-hal yang dianggap atau dirasakan sebagai hal yang menyenangkan, yang menimbulkan nikmat, dan ingatan ini yang menghidupkan lagi pengalaman atau pengalaman orang lain yang dikenal itu, yang dianggap nikmat dan menyenangkan sehingga selalu timbul keinginan untuk mengulang, atau ikut mengalami, merasakan sendiri hal yang dibayangkan sebagai hal nikmat menyenangkan itu.

Pikiran menciptakan si aku yang ingin menikmati, ingin selalu mengulangi kesenangan dan menjauhkan penderitaan. Nafsu birahi tak mungkin timbul tanpa adanya pikiran yang membayang-bayangkan hal yang dianggap nikmat menyenangkan itu. Jadi, pikiran yang mengingat-ingat dan mengenang, membayangkan, merupakan pupuk yang menyuburkan nafsu birahi.

Tentu saja tidak mungkin untuk menghalau nafsu yang timbul dengan paksaan, dengan kemauan atau dengan pelarian. Memang mungkin berhasil, akan tetapi hasil ini hanya sementara saja dan nafsu itu akan timbul kembali sewaktu-waktu, kemudian akan kita usir, datang lagi, usir lagi maka kita terseret ke dalam konflik yang terus menerus antara kedatangan nafsu dan pengusirannya.

Apa bila nafsu birahi datang menyerang biasanya kita hanya melakukan satu di antara dua hal. Pertama, tunduk dan bertekuk lutut menyerah lalu membiarkan diri dibawa ke mana pun, dibuai nafsu yang menuntut pemuasan, maka terjadilah perjinahan, permainan cinta dengan cara apa pun juga demi pelampiasan nafsu kita yang pada tingkat terakhir hanya akan mendatangkan penyesalan dan kekecewaan belaka.

Ke dua, sesudah kita maklum bahwa pemuasannya hanya mendatangkan penyesalan, atau setelah kita yakin dari pelajaran bahwa nafsu itu tidak baik dan sebagainya, kita lalu menolaknya, kita melarikan diri dari padanya, atau kita berusaha sedapat mungkin untuk mengusirnya. Yang pertama akan membuat kita menjadi manusia hamba nafsu yang akhirnya membuat kita menjadi orang yang lemah lahir batin, sedangkan yang ke dua akan menyeret kita ke dalam lingkaran setan dari konflik yang terus menerus

Mengapa kita tidak pernah menghadapi nafsu seperti apa adanya, memandangnya, dan mengamati nafsu itu yang bukan lain adalah pikiran kita sendiri, yang bukan lain adalah kita sendiri? Mengapa kita tidak mempelajari diri sendiri, apa yang terjadi dalam benak kita, di dalam hati dan perasaan kita, yang berhubungan dengan nafsu itu? Mengapa kita hendak melarikan diri?

Pelarian diri tidak mungkin sama sekali, karena betapa mungkin kita lari dari nafsu, yang sesungguhnya adalah kita sendiri, betapa mungkin kita lari dari diri sendiri? Siapa yang hendak lari itu? Siapa yang hendak mengusir nafsu itu? Yang mengusir adalah kita sendiri, yang diusir juga kita sendiri, betapa mungkin? Pikiran hendak mengusir akibat dari pikiran sendiri!

Kenapa kita tidak pernah mencurahkan perhatian terhadap nafsu ketika ia timbul, hanya memandangnya dengan penuh kewaspadaan serta kesadaran, tanpa pamrih sedikit pun untuk mengusir atau untuk melarikan dari padanya, tanpa menolak atau pun menerima kehadirannya, melainkan memandang saja dengan penuh perhatian dan kewaspadaan? Pengamatan inilah yang akan menciptakan kewaspadaan dan pengertian! Pengamatan tanpa pamrih ini yang akan menimbulkan perubahan, bahkan melenyapkan nafsu tanpa ada yang mengusirnya!

Demikian pula dengan halnya Sin Liong. Seperti juga orang lain, seperti kebanyakan di antara kita, dia ingin melarikan diri dari nafsu yang mencekamnya, ingin mengusir nafsu itu karena dia menganggap bahwa nafsu yang menguasainya itu tidak baik, melanggar tata susila dan sebagainya. Memang akhirnya dia berhasil, akan tetapi dia merasa lelah lahir batin ketika lewat tengah malam dia kembali ke kamarnya, dengan badan dan batin lemas, seolah-olah dia habis berkelahi melawan musuh yang amat kuat.

Dia melempar tubuhnya ke atas pembaringan dan memang dia dapat juga tertidur pulas, namun di dalam tidurnya itu sang nafsu birahi masih terus melanjutkan sepak terjangnya dalam bentuk impian!

Sin Liong bermimpi dan dalam mimpi itu dia bertemu dengan Gu-siocia, yang membujuk rayu dia, dan berbeda dengan kenyataannya di sore tadi, dalam mimpi itu dia menyambut dara itu dengan gembira, segera memeluk dan menciuminya. Dalam keasyikan bercinta, kesenangan bermain cinta seperti yang belum pernah dirasakan sebelumnya, tapi hanya dibayangkannya saja itu, tiba-tiba kesadarannya melawan lagi dan Sin Liong terbangun. Tubuhnya penuh keringat dan celananya menjadi basah!

Mimpi adalah kelanjutannya dari keadaan batin kita di siang harinya, baik siang hari tadi, kemarin atau beberapa tahun yang lampau. Keadaan sehari-hari yang menggores kalbu, yang mendatangkan kesan, terukir dalam-dalam di batin kita dan batin yang memerlukan ketenangan dan pengosongan dari isinya yang padat itu, mencari penyelesaiannya sendiri dalam bentuk mimpi.

Sin Liong duduk terengah-engah, tubuhnya terasa lelah kehabisan tenaga, akan tetapi dia merasa lega, seolah-olah persoalan yang menekan hatinya kini telah selesai dan beres. Setelah membersihkan diri, dia lalu tidur lagi dan sekali ini tidurnya pulas tanpa gangguan apa pun, termasuk celana basah.....

********************

Traktiran: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan) ataupun bisa melalui via Trakteer yang ada dibawah

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar