Pendekar Lembah Naga Jilid 29

Adiknya itu bernama Phang Sun, berjuluk Kim-liong-ong (Raja Naga Emas), berusia enam puluh tahun akan tetapi sungguh tak patut dia menjadi adik kandung Hai-liong-ong Phang Tek. Kalau kakaknya itu merupakan seorang laki-laki yang tinggi besar dan gagah sekali, sebaliknya Phang Sun ini tubuhnya pendek kecil seperti orang berpenyakitan, kepalanya pun kecil lonjong tidak ditumbuhi rambut tapi matanya tajam sekali.

Dia kelihatan aneh, lebih mirip setan dari pada manusia karena di samping bentuk kepala gundul lonjong dan tubuhnya yang aneh itu, juga dia mempunyai kebisaan janggal, yaitu tidak pernah memakai baju dan sepatu. Tubuh atasnya dibiarkan telanjang, hanya tubuh bawah tertutup celana panjang sampai ke bawah betis, kemudian kedua kakinya itu pun telanjang. Pada lengan kirinya yang kecil pendek itu nampak sebuah gelang emas tebal.

Akan tetapi, biar pun kakek ini kelihatan aneh dan ringkih, namun sesungguhnya dia lihai bukan main, tak kalah lihai dibandingkan dengan kakaknya. Dia memiliki tenaga sinkang yang luar biasa, di samping kecerdikannya dan juga dia terkenal mempunyai kepandaian tentang racun-racun jahat.

Orang ke tiga dari Lam-hai Sam-lo juga memiliki wajah yang mengerikan. Bentuk tubuh dan pakaiannya biasa saja, akan tetapi wajahnya amat buruk mengerikan, dengan hidung pesek sekali, melesak ke dalam dan mulut lebar dengan gigi tidak karuan susunannya, membuat wajahnya itu nampak seperti tengkorak. Akan tetapi, kakek yang usianya juga sudah enam puluh tahun ini memiliki tenaga kasar yang amat kuat, sekuat gajah dan ilmu silatnya juga tinggi sehingga bila dibandingkan dengan kedua orang rekannya, dia hanya kalah sedikit saja. Namanya Hek-liong-ong (Raja Naga Hitam) Cu Bi Kun.

"Ouwyang Bu Sek, kami bertiga datang bukan untuk beramah-tamah atau pun mengobrol denganmu!" kata Kim-liong-ong Phang Sun si kecil pendek dengan suaranya yang lantang dan besar, sungguh berlawanan dengan bentuk tubuhnya.

"Aihhh... habis mau apa? Sayang aku tidak punya arak wangi dan hidangan sedap maka tidak dapat menyuguhkan apa-apa."

"Ouwyang Bu Sek, bersiaplah engkau. Kami bertiga datang untuk membuat perhitungan denganmu. Mari kita selesaikan perhitungan di antara kita dengan mengadu kepandaian," kata pula Phang Sun.

"Wah-wah, ini namanya mengkhianati alam yang begini indah! Tadinya kusangka kalian hanya ketularan penyakit umum dari manusia yang tidak dapat menikmati keadaan dan keindahan sehingga orang-orang di tepi laut tidak dapat menikmati lagi keindahan lautan dan pergi mencari keindahan di pegunungan, sebaliknya orang pegunungan sudah bosan dengan keindahan di pegunungan lalu pergi mencari keindahan di tepi laut. Kiranya kalian datang untuk menantangku berkelahi mati-matian, hendak mengotori pemandangan yang demikian indahnya. Dan kalian ingin menyelesaikan perhitungan, padahal aku tak merasa mempunyai hubungan apa-apa kepada kalian."

"Ouwyang Bu Sek, tidak perlu kau berpanjang lidah! Dua tahun yang lalu engkau sudah menjatuhkan fitnah atas diri kami pada saat diadakan pemilihan bengcu. Apakah engkau masih hendak menyangkal hal itu?" bentak Kim-liong-ong marah, ada pun Hek-liong-ong sudah mengepal tinjunya, dan Hai-long-ong sudah memukul-mukulkan tongkatnya ke atas tanah.

Kembali kakek cebol itu tertawa, kelihatannya tenang-tenang saja melihat betapa mereka itu marah-marah. "Aihh-aihh, jadi ternyata hal itukah yang kalian maksudkan? Aku tidak merasa menjatuhkan fitnah. Kawan-kawan, tahukah kalian apa artinya fitnah itu? Fitnah adalah tuduhan terhadap orang lain tanpa bukti nyata, itulah fitnah. Akan tetapi, aku telah membongkar rahasia kecabulan kalian bertiga dengan bukti-bukti, itu sama sekali bukan fitnah namanya!"

Wajah tiga orang kakek itu menjadi marah sekali dan kemarahan mereka makin berkobar.

"Kau mencampuri urusan pribadi orang lain!" bentak Hai-liong-ong Phang Tek.

"Kau menghina kami di depan orang banyak!" bentak pula Hek-liong-ong Cu Bi Kun.

"Ouwyang Bu Sek, tidak perlu banyak cakap. Kami datang untuk membalas penghinaan yang kau lemparkan ke atas kepala kami. Hayo kau lawan kami, kalau tidak berani, lekas berlutut minta ampun, barang kali kami masih hendak mempertimbangkan hukumanmu!" Kim-liong-ong Phang Sun berkata.

"Ha-ha-ha, aku tidak berani? Lam-hai Sam-lo, kalau aku melawan, apamukah yang kalian andalkan untuk dapat menang?"

Mendengar ucapan ini, Hek-liong-ong sudah tidak sanggup menahan kemarahannya lagi. Sebagai seorang datuk yang amat terkenal, biar pun tadi dia sudah meraba-raba gagang goloknya, akan tetapi dia tidak mau sembarangan mengeluarkan senjata. Kepandaiannya terlalu tinggi untuk secara sembrono menggunakan senjata, karena kaki tangannya saja sudah merupakan senjata-senjata maut yang ampuh.

Maka, sambil menggereng marah dia sudah menubruk maju dan karena kakek raksasa muka hitam ini memang kuat bukan main, begitu dia menjejakkan kakinya di atas tanah sebagai landasan untuk menubruk, bumi seperti tergetar dan gerakannya didahului angin yang kuat.

"Wuuuttt...! Bresss...!"

Debu mengepul tinggi ketika kakek raksasa ini menubruk, akan tetapi yang ditubruknya telah lenyap sehingga dia menangkap angin belaka. Begitu cepatnya gerakan Ouwyang Bu Sek, sehingga elakannya itu sampai tidak kelihatan oleh lawannya yang menyerang. Akan tetapi tentu saja nampak oleh Hai-liong-ong Phang Tek yang juga memiliki ginkang istimewa.

Maka, begitu melihat tubrukan temannya itu luput dan melihat pula betapa kakek cebol itu mempergunakan ginkang-nya yang hebat, dia pun langsung berseru keras dan tubuhnya menyambar ke depan seperti kilat cepatnya, lalu kedua tangannya sudah menampar dari kanan kiri dengan gerakan melingkar sehingga gerakan kedua tangan ini sudah menutup semua jalan keluar!

"Bagus!" Ouwyang Bu Sek memuji sebab memang serangan orang pertama dari Lam-hai Sam-lo itu hebat bukan main. Dia tidak lagi melihat jalan keluar untuk mengelak sehingga otomatis dia harus memapaki dua tamparan dari kanan kiri itu dengan tangkisan kedua lengannya yang pendek.

"Dukkk! Dukkk!"

Hebat sekali benturan antara dua pasang lengan itu dan akibatnya, tubuh Hai-liong-ong Phang Tek terdorong ke belakang sedangkan kakek cebol itu menertawakannya! Jelas bahwa kakek cebol itu lebih kuat dalam mengadu tenaga sinkang tadi.

"Hemmm...!" Suara ini keluar dari mulut Kim-liong-ong yang sudah menggerakkan tangan menyerang. Sekali ini Ouwyang Bu Sek merasa terkejut karena sambaran angin dahsyat yang keluar dari tangan kakek kurus pendek ini ternyata amat kuatnya hingga terdengar suara mencicit nyaring.

"Bagus!" Dia memuji lagi dan cepat dia pun mendorongkan tangannya menyambut.

"Plakkk!"

Dua telapak tangan kanan bertemu dan saling melekat, dari dalam dua telapak tangan itu meluncur tenaga sinkang yang sangat kuat dan kini mereka saling mendorong. Meski pun Kim-liong-ong Phang Sun nampak terdorong ke belakang, akan tetapi dia masih mampu mempertahankan sehingga Ouwyang Bu Sek maklum bahwa orang ke tiga dari Lam-hai Sam-lo ini memiliki sinkang yang terkuat di antara mereka bertiga. Dan tiba-tiba saja dia mengeluarkan seruan aneh ketika merasa betapa telapak tangannya gatal-gatal.

"Ih, kau iblis beracun!" bentaknya dan Ouwyang Bu Sek yang maklum bahwa selain amat kuat sinkang-nya, juga Kim-liong-ong ini ternyata memiliki tangan beracun, mengerahkan tenaganya dan tubuh lawannya itu terpental, telapak tangan mereka terlepas dari lekatan lawan.

Namun, Hai-liong-ong dan Hek-liong-ong sudah menyerang lagi dari kanan kiri, membuat Ouwyang Bu Sek kewalahan juga. Kakek cebol ini masih dapat tertawa-tawa ketika dia menyambut serangan mereka dan gerakannya aneh dan lincah, tubuhnya yang kecil itu menerobos ke sana-sini di antara sambaran tangan dan kaki tiga orang lawannya yang lihai.

Namun, walau pun kakek cebol itu masih tertawa-tawa, sebenarnya dia repot bukan main menghadapi pengeroyokan Lam-hai Sam-lo. Tiga orang kakek ini bukan sembarangan orang melainkan datuk-datuk selatan yang lihai sekali, selain memiliki sinkang yang amat kuat juga mereka memiliki ilmu-ilmu silat yang aneh. Kalau mereka bertiga belum juga mengeluarkan senjata, hal ini adalah karena selain si cebol juga bertangan kosong, juga mereka merasa berada di fihak yang mendesak dan menang.

Andai kata mereka itu maju seorang demi seorang, agaknya mereka masih tidak akan mampu menandingi Ouwyang Bu Sek. Akan tetapi dengan maju bersama, mereka dapat saling melindungi dan tentu saja keadaan mereka menjadi tiga kali lipat kuatnya sehingga membuat Ouwyang Bu Sek repot sekali. Kakek cebol ini hanya mampu mempertahankan diri, mempergunakan kecepatan gerakannya untuk mengelak ke sana-sini, dan kadang-kadang mengandalkan sinkang-nya untuk menangkis. Akan tetapi dia sudah tak memiliki kesempatan lagi untuk balas menyerang.

Betapa pun juga, setelah dia berhasil mempertahankan diri lebih dari seratus jurus, ketika agak terlambat gerakannya, Ouwyang Bu Sek segera kena dihantam oleh telapak tangan Kim-liong-ong pada pundaknya.

"Desss...!"

Biar pun Ouwyang Bu Sek sudah mengerahkan tenaga saktinya sehingga tubuhnya kebal dan hantaman itu tidak sampai melukainya, namun tubuhnya terpelanting dan bergulingan di atas tanah.

Pada saat itu pula terdengar suara gerengan seperti seekor binatang buas yang marah dan nampaklah sesosok bayangan yang berkelebat dengan cepatnya menubruk ke arah Kim-liong-ong Phang Sun yang baru saja menghantam Ouwyang Bu Sek. Bayangan ini bukan lain adalah Sin Liong.

Pemuda ini tadi hanya menonton karena dia maklum betapa lihainya ketiga orang lawan kakek cebol itu. Akan tetapi melihat kakek cebol itu terpukul roboh, dia segera meloncat dan menerjang kakek kecil aneh itu, dan langsung menyerang dengan pukulan-pukulan keras dan totokan-totokan satu jari tangan kirinya. Pemuda ini memang memiliki sinkang luar biasa, maka tentu saja serangan-serangannya mendatangkan angin yang dahsyat, membuat Kim-liong-ong terkejut dan cepat mengelak.

Ouwyang Bu Sek tertawa girang dan dia telah meloncat bangun lagi. Sekarang kakek ini kembali mendesak dan melawan pengeroyokan Hai-liong-ong dan Hek-liong-ong sambil tertawa-tawa. Mendengar kakek cebol itu tertawa-tawa, hati Sin Liong merasa lega karena hal itu membuktikan bahwa kakek cebol itu tidak mengalami luka parah, maka dia dapat mencurahkan perhatiannya menghadapi kakek kecil yang aneh itu.

Kim-liong-ong Phang Sun kini marah bukan main. Kiranya yang menolong musuh mereka itu hanya seorang pemuda cilik dan biar pun dia tahu bahwa pemuda ini memiliki tenaga sakti yang besar dan ilmu silat yang aneh dan tinggi, namun gerakan pemuda ini masih mentah. Maka pada saat dia melihat Sin Liong mendesak dan menghantam, dia sengaja mengerahkan sinkang-nya untuk menangkis lengan pemuda itu dan mematahkannya.

"Plakk...!”

“Ahhhh...!" Kim-liong-ong berteriak kaget bukan main karena tangannya bertemu dengan lengan seorang pemuda kecil dan tangan itu melekat, kemudian mendadak dia merasa betapa tenaga sinkang yang dipergunakan untuk menangkis tadi kini memberobot keluar, membanjir meninggalkan tubuhnya melalui tangan, disedot oleh lengan bocah itu! Dia lalu berusaha untuk menarik kembali tangannya dengan mengerahkan sinkang, akan tetapi celakanya, makin dia mengerahkan sinkang, makin banyak tenaganya membanjir keluar!

Melihat wajah temannya yang matanya terbelalak dan mukanya pucat itu, Hek-liong-ong terkejut dan menduga bahwa tentu bocah itu melakukan hal aneh dan mungkin memiliki ilmu luar biasa, maka dia pun menerjang sambil menghantamkan kepalan tangannya ke arah Sin Liong.

Pada waktu itu, Sin Liong sudah memiliki kewaspadaan dan kegesitan seorang ahli silat tinggi. Kepekaan tubuhnya mulai bangkit setelah dia menerima latihan dari Ouwyang Bu Sek, maka menghadapi hantaman yang mengandung tenaga raksasa yang amat kuat itu, dia tidak menjadi bingung. Dengan miringkan sedikit tubuhnya, dia dapat menghindarkan pukulan langsung, kemudian lengannya menangkis.

"Plakkk!"

Dan kini tangan Hek-liong-ong (Raja Naga Hitam) itu pun menempel pada lengannya dan tidak dapat ditarik kembali karena tenaganya membanjir keluar seperti yang dialami oleh Kim-liong-ong Phang Sun.

Akan tetapi, kedua orang itu adalah tokoh-tokoh besar dari dunia kang-ouw dan mereka telah memiliki kepandaian yang amat hebat. Melihat keadaan ini, mereka dapat menduga bahwa bocah aneh itu memiliki tenaga sedot yang luar biasa, dan mereka saling pandang kemudian Kim-liong-ong berkata,

"Sute, kita kerahkan tenaga bersama. Satu-dua-tiga...!"

Akan tetapi celaka, semakin hebat kedua orang itu mengerahkan tenaga untuk menarik tangan mereka, makin hebat pula tenaga mereka membanjir keluar, seperti air yang terjun ke dalam samudera! Tentu saja wajah mereka menjadi pucat sekali. Dan pada saat itu, Ouwyang Bu Sek menotok ke arah pundak Sin Liong sambil membentak,

"Lepaskan!"

Sin Liong terkejut dan otomatis syarafnya bergerak dan tenaga menyedot itu pun sudah disimpannya kembali sehingga dua orang yang tadi melekat padanya terlempar beberapa meter ke belakang karena mereka sudah dilontarkan oleh Ouwyang Bu Sek.

Hai-liong-ong Phang Tek terkejut bukan main, mengira bahwa kepandaian Ouwyang Bu Sek memang hebat bukan kepalang. Melihat kedua orang kawannya sudah terluka dan dirobohkan, dia lalu menjura.

"Lain kali kita bertemu kembali," katanya dan dia kemudian menyambar tubuh dua orang temannya yang masih lemas, dan sekali melompat dia sudah menghilang dari tempat itu.

Sejenak Ouwyang Bu Sek berdiri tegak dan memandang ke arah menghilangnya Lam-hai Sam-lo, kemudian dia menoleh dan menghadapi Sin Liong yang masih berdiri. Dia segera merangkul Sin Liong dan... menangis! Kakek itu menangis seperti anak kecil kehilangan layang-layang yang putus terbawa angin, terisak-isak bercampur sesenggukan hingga Sin Liong menjadi bingung sekali.

"Locianpwe, kenapa kau menangis? Kenapa...?" tanyanya berkali-kali.

Dia membiarkan saja kakek itu merangkulnya sambil menangis dan dia merasa betapa pundak kirinya di mana kakek itu bersandar telah menjadi basah oleh air mata. Akhirnya, tangis itu mereda dan kakek itu melepaskan rangkulannya, lalu menggunakan ujung baju untuk membuang ingus dengan suara nyaring bukan main.

Akhirnya dapat juga dia bicara. "Ahhh, tak kusangka bahwa malam ini Ouwyang Bu Sek sudah diselamatkan oleh seorang anak-anak..."

Sin Liong memandang dengan heran, dan tidak menjawab.

"Dan mengingat betapa aku telah menganggap anak itu sebagai kacung, bahkan selama berbulan-bulan aku tidak tahu dan tidak ingin menanyakan namanya, tidak mempedulikan dia dan hanya menurunkan ilmu sekedarnya, tahu-tahu malam ini dia menyelamatkan nyawaku, hati siapa tak akan terharu?"

Mendengar ini, Sin Liong baru mengerti dan dia merasa heran dan juga geli. Kakek yang luar biasa lihainya ini seperti anak kecil saja. "Locianpwe, memang nama saya tidak ada harganya untuk diketahui oleh locianpwe."

Kakek itu melompat dan berjingkrak. "Tidak, siapa bilang tidak berharga? Engkau adalah in-kong (tuan penolong) bagiku. Hayo katakan, siapakah namamu?"

"Nama saya Sin Liong..."

"Hebat! Naga Sakti? Memang hebat dan tepat sekali. Cia Sin Liong!"

Sin Liong terkejut. "Saya... saya... bukan she Cia!"

"Habis she apa?"

"Saya... saya tidak tahu, locianpwe."

"Justru karena tidak tahu itu maka engkau she Cia, seperti kongkong-mu..."

"Akan tetapi... saya hanya mengaku-aku saja beliau sebagai kongkong..."

"Kalau bukan kongkong-mu sendiri, mana mungkin engkau diwarisi Thi-khi I-beng? Yang kau gunakan tadi adalah Thi-khi I-beng, bukan? Hayo kau coba terima ini!" Cepat bukan main kakek itu sudah menerjang dan menghantam ke arah kepala Sin Liong.

Bukan main kagetnya Sin Liong melihat pukulan yang sangat cepat dan kuat ini. Otomatis dia menggerakkan lengan ke atas untuk menangkis dan otomatis pula dia mengerahkan tenaga Thi-khi I-beng yang menjadi lebih kuat karena baru saja dia ‘minum’ tenaga atau hawa sakti dari dua orang kakek itu.

"Plakk!"

Telapak tangan kakek itu bertemu dengan lengan Sin Liong dan seketika itu pula tenaga sinkang-nya tersedot! Akan tetapi, kakek cebol itu cepat-cepat melepaskan sinkang-nya dan ternyata daya lekat itu pun lenyap.

Memang demikianlah keistimewaan Thi-khi I-beng. Kalau yang menyerang pemilik Thi-khi I-beng itu tidak menggunakan tenaga sinkang, maka dia tidak akan melekat dan tersedot. Akan tetapi begitu tenaga sinkang tersedot, sulitlah untuk membebaskan diri, karena baik menyerang mau pun berusaha menarik tangan tentu harus dilakukan dengan pengerahan tenaga yang akan makin hebat tersedot saja.

Ouwyang Bu Sek yang telah bertahun-tahun lamanya mempersiapkan diri untuk melawan mendiang Cia Keng Hong, sudah mendengar akan keistimewaan Ilmu Thi-khi I-beng yang dimiliki pendekar Cin-ling-pai itu, maka dia sudah mempelajari kelemahannya dan sudah tahu bagaimana caranya untuk menghindarkan diri dari Thi-khi I-beng. Selain melepaskan diri dengan menyimpan sinkang-nya, juga dia dapat menotok bagian yang menyedot itu sehingga urat-urat syaraf di bagian itu tergetar dan saat itu dia dapat menarik anggota tubuhnya yang melekat.

"Memalukan! Memalukan sekali!" Tiba-tiba kakek itu berkata sambil memandang kepada Sin Liong.

"Apa yang memalukan, locianpwe?"

"Kau!"

"Saya...?"

"Ya, engkau yang memalukan. Pertama-tama, engkau menyebutku locianpwe. Mulai saat ini sebutan itu harus kau buang jauh-jauh dari benak dan mulutmu. Awas, kalau sekali lagi menyebut, engkau akan menjadi musuhku karena berarti engkau menghinaku, tahu?"

"Eh? Ini... ini... locian..." Sin Liong menghentikan sebutan itu. "Lalu saya harus menyebut apa?"

"Aku adalah suheng-mu, mau sebut apa lagi?"

"Suheng…?"

Sin Liong memandang dengan mata terbelalak bingung. Kakek ini suheng-nya? Dengan perhitungan bagaimanakah tahu-tahu kakek ini menjadi suheng-nya?

"Ya, sute, aku adalah suheng-mu. Kita sama-sama menjadi murid dari Bu Beng Hud-couw di Himalaya!"

"Siapakah Bu Beng Hud-couw (Dewa Tanpa Nama) itu?"

"Nanti kujelaskan. Sekarang, hal ke dua yang memalukan. Yaitu, engkau sudah menjadi pencuri yang menjemukan bila menggunakan Thi-khi I-beng untuk menyedot dan mencuri tenaga sinkang lawan. Huh, benar-benar memalukan sekali."

"Tapi, lo... eh, ssuu... heng..." Sulit sekali bagi Sin Liong untuk menyebut suheng kepada kakek itu, akan tetapi dia takut kalau-kalau benar kakek aneh itu akan memusuhinya jika dia berani menyebut locianpwe lagi. "Aku tak bermaksud mencuri tenaga orang. Memang begitulah sifat Thi-khi I-beng, menyedot tenaga lawan yang menyerang. Adalah kesalahan lawan itu sendiri karena dia menyerang..."

"Alasan dicari-cari! Mendiang Cia Keng Hong sendiri tentu tidak sudi menggunakan ilmu itu untuk mencuri sinkang orang. Ilmu itu hanya untuk menghindarkan diri dari terluka oleh pukulan orang, bukan untuk mencuri hawa sinkang. Mulai sekarang, engkau tidak boleh menggunakannya untuk menyedot tenaga orang. Huh, seperti perempuan cabul saja!"

Sin Liong melongo, tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh kakek itu dan mengapa dia dimaki seperti perempuan cabul segala! Akan tetapi dia tidak membantah, dan tidak menjawab.

"Aku adalah suheng-mu, maka juga mewakili guru kita. Hayo kau cepat ikut bersamaku untuk melakukan upacara pengangkatan guru terhadap guru kita Bu Beng Hud-couw di Himalaya!"

Sin Liong tidak membantah pula dan dia kemudian mengikuti kakek itu, bukan memasuki pondok melainkan pergi menjauhi pondok ke sebuah lereng bukit! Anak ini merasa amat terheran-heran. Betulkah kakek ini memiliki seorang guru yang tinggal di tempat terpisah?

Di bawah penerangan sinar bulan purnama, dua orang itu berjalan berdampingan menuruni puncak. Dilihat dari jauh, tentu disangka orang bahwa Sin Liong lebih tua karena kakek itu hanya setinggi pundaknya!

Ketika tiba di lereng yang penuh dengan batu-batu karang dan goa-goa kecil, kakek itu berhenti, sejenak dia berdiri di atas batu memandang ke kanan kiri penuh perhatian. Setelah dia merasa yakin bahwa di situ tidak ada orang lain kecuali mereka berdua, dia lalu mengajak Sin Liong menghampiri sebuah batu sebesar gajah. Dengan hati-hati dia lalu mendorong batu itu sampai bergeser dan ternyata di balik batu besar itu terdapat sebuah goa kecil yang lebarnya hanya satu meter, goa kecil namun gelap karena selain terhalang batu besar juga agaknya dalam sekali.

Kakek itu merangkak masuk dan tidak lama kemudian dia sudah keluar lagi membawa sebuah peti hitam yang bentuknya persegi dan ukurannya kurang dari setengah meter. Dengan penuh khidmat dia meletakkan peti hitam itu di atas sebuah batu, kemudian dia menjatuhkan diri di depan peti itu.

"Sute, cepat kau berlutut memberi hormat," dia berbisik.

Sin Liong merasa seram karena dia tidak melihat siapa-siapa, akan tetapi dia sama sekali tidak membantah dan cepat dia pun berlutut di samping kakek itu, menghadapi peti hitam. Kakek itu memberi hormat dengan berlutut dan bersoja tiga kali, kemudian terdengar dia berkata,

"Suhu, sekarang teecu membawa sute datang menghadap suhu, maka perkenankanlah teecu memperlihatkan ilmu-ilmu pemberian suhu kepada sute."

Setelah berkata demikian, kakek itu lalu mengeluarkan sebungkus obat bubuk putih dari sakunya. "Cepat kau tiru perbuatanku, melumuri muka, leher dan tangan, semua bagian tubuh yang nampak, dengan bubuk putih ini."

Sin Liong terheran-heran, akan tetapi dia tidak membantah dan dia pun meniru kakek itu membedaki semua kulitnya yang tidak tertutup pakaian. Hampir saja dia tertawa melihat betapa wajah kakek itu menjadi putih seperti wajah seorang badut yang hendak berlagak di atas panggung. Akan tetapi dia teringat bahwa tentu wajahnya sendiri pun putih seperti itu, maka dia tidak jadi tertawa.

Kakek itu sekali lagi memeriksa. Setelah melihat benar bahwa seluruh kulit yang nampak dari anak itu memang telah tertutup bubuk putih, dia lalu memberi hormat lagi dan kedua tangannya membuka tutup peti.

"Kriyeeettt...!"

Peti hitam terbuka tutupnya dan tiba-tiba terdengar suara mendesis nyaring dan nampak berkelebat sinar emas dari dalam peti menyambar keluar. Kiranya sinar emas itu adalah seekor ular berkulit kuning keemasan yang menyambar keluar, lehernya menggembung dan dari mulutnya keluar uap hitam, lidahnya yang merah keluar masuk dan sepasang matanya seperti menyala!

"Kim-coa-ko (saudara ular emas), kami berdua sudah mendapat perkenan suhu untuk memeriksa kitab, harap kau tenang saja."

Aneh sekali. ular yang ‘berdiri’ dengan penuh sikap mengancam itu lalu turun kembali dan melingkar di sudut peti hitam, di mana terdapat setumpuk kitab-kitab yang sudah kuning saking tuanya.

"Lihatlah, sute. Inilah kitab-kitab wasiat, kitab-kitab pusaka yang diturunkan oleh suhu Bu Beng Hud-couw kepada kita. Aku sudah terlampau tua untuk mempelajarinya, hanya baru dapat membacanya saja yang membutuhkan waktu puluhan tahun. Aku tidak mempunyai waktu lagi untuk melatih ilmunya, maka semua penterjemahanku atas kitab-kitab ini akan kuserahkan kepadamu sehingga engkaulah yang akan dapat melatih diri dan menguasai ilmu-ilmu dari dalam kitab-kitab ini."

Sin Liong memandang dengan mata terbelalak dan ular itu diam saja ketika Owyang Bu Sek mengambil kitab paling atas kemudian membalik-balik lembarannya. Di dalam kitab itu terdapat tulisan-tulisan yang sangat sukar dibaca, karena sebagian besar merupakan gambaran-gambaran yang menjadi huruf-huruf kuno. Namun kitab itu juga mengandung gambar-gambar gerakan orang bersilat.

"Aku sudah mempergunakan waktu bertahun-tahun untuk menterjemahkannya, sute, dan kini aku sudah kehabisan waktu untuk melatihnya. Pula, orang setua aku, untuk apa sih mempelajari ilmu-ilmu baru? Maka aku mewariskan semua ini kepadamu, sute. Jangan khawatir, aku akan membimbingmu untuk mengerti isi kitab-kitab ini."

Setelah kakek itu menutupkan kembali peti hitam dan membawanya masuk lagi ke dalam goa, Sin Liong membantu kakek itu mendorong batu besar kembali ke tempat semula, yaitu menutupi goa rahasia itu.

"Lo... suheng, mengapa ular itu ditaruh di dalam peti?" tanyanya.

"Ha-ha-ha, itu adalah akalku. Tadi sudah kumasukkan lima ekor katak ke dalam peti. Ular itu merupakan ular yang paling berbahaya, gigitannya mematikan dan walau pun orang memiliki kepandaian tinggi sekali pun, sekali kena digigitnya, bahayalah nyawanya. Akan tetapi dengan obat bubuk putih ini, dia menjadi jinak."

"Dan siapakah Bu Beng Hud-couw... guru kita itu, suheng?"

"Sstt, kita menghaturkan terima kasih lebih dulu!" kata kakek itu dan tiba-tiba dia menarik tangan Sin Liong, diajaknya berlutut di luar goa di hadapan batu, dan kakek itu berkata, "Suhu, teecu berdua menghaturkan terima kasih kepada suhu dan mohon suhu sudi untuk membimbing sute agar bisa mempelajari ilmu-ilmu dari suhu dengan lancar dan berhasil."

Sin Liong hanya meniru saja saat suheng-nya yang aneh itu berlutut dan memberi hormat. Kemudian Ouwyang Bu Sek menarik napas panjang dan kelihatan lega hatinya.

"Ahhh, suhu senang sekali dengan keputusanku ini, sute."

Sin Liong menengok ke kanan kiri. Tidak ada siapa-siapa di situ sejak tadi kecuali mereka berdua, bagaimana kakek ini bisa bicara tentang suhu-nya merasa senang dan lain-lain?

"Di manakah suhu, suheng? Aku tidak melihatnya."

"He-heh-heh, mana bisa begitu mudah, sute? Tingkatmu belum sampai ke situ. Kelak kau tentu akan dapat bertemu dengan suhu kita yang mulia."

"Suheng, harap kau sudi menceritakan kepadaku mengenai suhu itu." Sin Liong merasa tertarik sekali.

Kakek itu menarik napas panjang lalu duduk di atas batu besar. Sin Liong juga duduk di hadapannya, siap untuk mendengarkan karena dia benar-benar merasa penasaran dan heran mengapa dia tidak mampu melihat orang yang disebut Bu Beng Hud-couw dan yang oleh kakek ini dikatakan sebagai guru mereka.

"Guru kita, yaitu yang mulia Bu Beng Hud-couw adalah seorang manusia suci yang telah mencapai tingkat tinggi, tingkat para dewa dan nabi-nabi," dengan suara yang sungguh-sungguh kakek itu mulai bercerita. "Selama lebih dari tiga ratus tahun beliau tinggal di salah satu di antara puncak-puncak Pegunungan Himalaya..."

"Tiga ratus tahun? Sampai sekarang?"

Kakek itu mengangguk. "Ya, sampai sekarang."

Sepasang mata Sin Liong terbelalak. "Tidak mati?"

Kakek itu tersenyum. "Dikatakan mati, beliau masih memakai jasmaninya, dinamakan hidup, beliau sudah berbeda dari kita. Namun dia masih hidup, sute, bertempat tinggal di dalam pondok sunyi dan suci di puncak sana. Akan tetapi tidak sembarang manusia dapat menjumpainya, hanya yang sudah mempunyai tingkat seperti aku dan sudah ada kontak dengan beliau. Apa bila sudah ada kontak, biar di sini pun aku dapat berjumpa dengan beliau, karena sesungguhnya beliau itu dapat datang ke mana pun dalam sekejap mata."

"Bagaimana caranya?"

"Melalul alam pikiran, melalui getaran perasaan."

Sin Liong makin bingung akan tetapi dia merasa seram dan tidak berani membantah. Dia masih terlampau muda dan terlampau wajar untuk dapat mengerti permainan orang-orang tua seperti yang diceritakan oleh Ouwyang Bu Sek itu.

Memang, betapa banyaknya manusia di dunia ini yang suka sekali, bahkan merindukan dan mengejar-ngejar hal-hal yang bersifat mistik, yang penuh rahasia, pendeknya yang lain dari pada yang kita lihat sehari-hari dalam kehidupan kita di dunia ini! Kita manusia pada umumnya menghendaki hal-hal yang aneh, ajaib, yang tidak lumrah, dan semua ini timbul karena kita telah menjadi seperti buta.

Kita tidak lagi dapat melihat betapa di dalam kehidupan ini sudah terdapat keajaiban-keajaiban yang amat hebat, sudah terjadi berkah berlimpahan dan kekuasaan cinta kasih memenuhi alam. Kita seperti tidak melihat lagi keindahan dan keajaiban yang terjadi pada waktu kita bernapas, pada waktu jantung kita berdenyut, pada saat rambut dan kuku kita bertumbuh tanpa terasa, di waktu seluruh anggota tubuh kita hidup.

Kita tidak lagi dapat menikmati atau melihat keajaiban dan cinta kasih yang terkandung dalam cahaya matahari, bulan dan bintang, dalam keharuman bunga-bunga, warna-warni yang tertangkap oleh mata, suara-suara yang memasuki telinga, keajaiban dan cinta kasih yang terkandung dalam setiap tarikan napas kita!

Kita sudah buta akan semuanya itu, dibutakan oleh keinginan mengejar segala macam kesenangan, termasuk kesenangan untuk bertemu dengan keajaiban-keajaiban baru dan lain berupa mistik-mistik dan keanehan dan untuk itu kita tidak segan-segan untuk pergi bertapa, menyiksa diri, berpantang, dan sebagainya lagi.

Apa yang diceritakan oleh Ouwyang Bu Sek memang tidaklah aneh, dan mungkin saja terjadi. Apa pun yang diangan-angankan oleh pikiran memang dapat terwujud, sungguh pun wujud itu bukan berupa kenyataan tapi hanya merupakan gambaran angan-angan belaka, merupakan pemantulan dari pada khayal kita sendiri.

Bukan bohong kalau ada orang yang mengatakan bahwa dia melihat setan, akan tetapi setan yang dilihatnya itu tentulah berupa suatu wujud atau rupa yang telah diangankan sebelumnya, telah didengar dari dalam cerita, telah dikenal dari dongeng atau penuturan orang lain.

Bukan hal aneh pula kalau seseorang dapat melihat atau bertemu dengan seorang tokoh dewa atau nabi, akan tetapi yang dilihat atau dijumpainya itu tentulah tokoh yang memang dipuja-pujanya, atau setidaknya yang berkesan di hatinya, dan sudah pasti merupakan tokoh yang pernah didengarnya, jadi telah dikenal pula penggambarannya sehingga telah terbentuk suatu gambaran khayal di dalam batinnya. Hal ini sangatlah jelas dan mudah dimengerti, bukan teori kosong belaka.

Oleh karena itu, tidaklah aneh kalau seorang tokoh aneh seperti Ouwyang Bu Sek dapat ‘bertemu’ dengan seorang tokoh pujaannya yang disebutnya Bu Beng Hud-couw itu, biar pun Sin Liong atau orang lain tidak dapat melihatnya. Dan tidak aneh pula kalau dia dapat ‘bercakap-cakap’ dengan tokoh bayangan itu. Bukankah sering kali kita dapat ‘bercakap-cakap’ di dalam batin kita pula, seolah-olah ada dua, bahkan lebih banyak lagi fihak yang bercakap-cakap dan bahkan berbantahan?

Betapa pun juga, Sin Liong beruntung berjumpa dengan kakek itu karena sesungguhnya kitab-kitab yang dahulu dilarikan oleh Ouwyang Bu Sek dari dalam kuil tua di Himalaya itu mengandung pelajaran-pelajaran ilmu yang sangat tinggi. Mulailah Sin Liong mempelajari isi kitab di bawah petunjuk dan bimbingan Ouwyang Bu Sek.

Dan memang Sin Liong mempunyai bakat yang baik sekali, terutama sekali karena dia memiliki dasar yang amat kuat setelah dia mewarisi tenaga sakti dari Kok Beng Lama dan mewarisi ilmu-ilmu dari pendekar sakti Cia Keng Hong…..

********************

Kota Yen-ping terletak di tepi Sungai Min-kiang di Propinsi Hok-kian. Karena tempat ini terletak di pegunungan yang subur dan sunyi, juga karena Sungai Min-kiang itu mengalir terus ke laut, maka tempat ini telah dipilih oleh para tokoh liok-lim dan kang-ouw sebagai tempat berkumpul dan pada hari itu di sebuah lereng di luar kota Yen-ping kelihatan ramai sekali dengan berkumpulnya banyak tokoh karena pada hari itu mereka mengadakan pemilihan seorang "bengcu" baru.

Kota Yen-ping terletak di tepi Sungai Min-kiang di Propinsi Hok-kian. Karena tempat ini terletak di pegunungan yang subur dan sunyi, juga karena Sungai Min-kiang itu mengalir terus ke laut, maka tempat ini telah dipilih oleh para tokoh liok-lim dan kang-ouw sebagai tempat berkumpul.

Pada hari itu di sebuah lereng di luar kota Yen-ping terlihat ramai sekali, padahal tempat ini biasanya amat sunyi. Di sana banyak tokoh yang sedang berkumpul karena pada hari itu mereka akan mengadakan pemilihan seorang ‘bengcu’ baru. Seorang bengcu adalah seorang yang dianggap sebagai pemimpin untuk menjaga keutuhan para tokoh kang-ouw, liok-lim, dan seluruh partai yang banyak terdapat di selatan.

Pada jaman itu, para tokoh dunia hitam yang juga disebut kaum sesat adalah golongan hina atau rendah. Tapi sebaliknya, mereka menganggap diri mereka sebagai orang-orang gagah berani yang hidup dengan mengandalkan kekuatan sendiri. Bagi mereka ini, hukum berada di ujung senjata atau di dalam kepalan tangan mereka sendiri!

Betapa pun juga, mereka maklum bahwa tanpa adanya seorang bengcu yang berwibawa dan pandai, maka persatuan dan keutuhan tidak dapat dipertahankan dan mereka tentu akan mudah diserang atau dibasmi oleh fihak lain. Juga tanpa adanya seorang bengcu, maka pertikaian-pertikaian di antara mereka sendiri bisa berlarut-larut dan membahayakan ketahanan mereka sendiri. Dengan adanya bengcu, maka segala dapat didamaikan dan diselesaikan dengan baik dan cepat yaitu urusan yang timbul di antara mereka sendiri yang menganggap sebagai orang-orang segolongan dan senasib.

Pemilihan bengcu tahun ini diselenggarakan atau dipelopori oleh perkumpulan Sin-ciang Tiat-thouw-pang, yaitu perkumpulan yang paling terkenal di daerah itu. Perkumpulan ini bergerak dalam bermacam lapangan, di antaranya membuka perusahaan ekspedisi, yaitu pengawal barang-barang kiriman, baik melalui darat, sungai mau pun laut. Oleh karena itu, perkumpulan ini tentu saja berhubungan baik dengan golongan perampok dan bajak. Di samping itu, juga perkumpulan ini membuka bandar-bandar judi serta tempat-tempat pelacuran di kota-kota besar, maka selain perkumpulan ini terkenal dan kuat sekali, juga berhasil mengumpulkan kekayaan yang lumayan besarnya.

Dari namanya saja menunjukkan bahwa perkumpulan ini adalah perkumpulan orang-orang yang memiliki kepandaian sin-ciang (tangan sakti) dan tiat-thouw (kepala besi), pendek kata, orang-orang yang merupakan jagoan-jagoan. Dan kali ini Sin-ciang Tiat-thouw-pang mengambil prakasa melakukan pemilihan bengcu dan membiayainya sebab perkumpulan yang berpengaruh dan luas daerah operasinya ini merasa kedudukan mereka terancam oleh perkumpulan-perkumpulan lain yang mereka anggap suka menjilat pada pemerintah. Kalau mereka mengambil prakasa, maka bengcu yang dipilih kelak tentu akan melindungi mereka.

Tempat yang dipilih untuk pertemuan besar antara tokoh-tokoh kaum sesat itu adalah di puncak sebuah bukit yang datar dan dilindungi oleh pohon-pohon, yang tanahnya tertutup rumput segar seperti permadani hijau. Di tengah-tengah padang rumput di puncak bukit itu didirikan sebuah panggung yang cukup luas, terbuat dari papan-papan tebal di atas tiang-tiang batang pohon yang besar dan kokoh kuat.

Karena pertemuan itu merupakan rapat umum, demi kepentingan umum, bukan undangan pribadi dari perkumpulan Sin-ciang Tiat-thouw-pang, maka tidak ada yang menjadi tuan rumah dan perkumpulan itu pun tak menyediakan meja kursi. Para tokoh kang-ouw yang datang mengambil tempat duduk di sekitar lapangan itu, ada yang duduk di atas batu dan akar pohon, di atas rumput, ada yang nongkrong berjongkok seenaknya, ada pula yang sambil rebah melepaskan lelah, ada yang bersila dalam semedhi dengan sikap yang lebih hendak menjual tampang dari pada bersemedhi benar-benar, ada pula yang nongkrong di atas pohon.

Bermacam-macam sikap orang-orang liok-lim yang kasar-kasar ini, tidak jarang pula yang sikapnya aneh-aneh. Dan lucunya, seperti yang sering dapat kita saksikan sampai hari ini, kekasaran dan keanehan sikap itu tidaklah wajar, melainkan disengaja dan dibuat-buat karena pada dasarnya semua sikap itu terdorong oleh keinginan untuk menonjolkan diri agar menjadi perhatian orang lain!

Betapa kita ini, orang-orang dewasa, orang-orang tua, masih saja seperti kanak-kanak, yaitu mempunyai kecenderungan ingin menjadi pusat perhatian orang, ingin menonjolkan, ingin ‘lain dari pada yang lain’ sehingga muncullah sikap bermacam-macam.

Ada pula di antara mereka yang datang hanya dengan mengenakan cawat saja, bertubuh kurus kering akibat kurang makan atau berpuasa. Sepintas lalu orang akan merasa segan karena menganggap dia itu seorang pertapa sederhana yang menjauhkan diri dari segala urusan dunia! Akan tetapi, kehadirannya di situ saja membuktikan bahwa dia sama sekali tidaklah sederhana!

Kesederhanaan cawat dan tubuh kurus itu tak lain dan tak bukan hanya merupakan suatu kesengajaan yang memang di ‘pasang’ untuk menarik perhatian belaka. Kesederhanaan yang berteriak lantang, "lihatlah aku ini, lihatlah kesederhanaanku! Hebat, bukan?"

Karena pada waktu itu keadaan kerajaan sedang dalam kemelut, pergantian kaisar tua yang meninggal oleh kaisar muda mendatangkan keguncangan hebat, maka guncangan itu terasa pula sampai ke dunia hitam dan oleh karena itu pertemuan rapat yang diadakan untuk memilih bengcu ini mendapat perhatian yang amat besar, tak hanya oleh golongan sesat, oleh partai-partai persilatan, akan tetapi juga oleh golongan pendekar.

Semenjak pagi para tokoh datang membanjiri tempat itu. Wakil-wakil dari partai persilatan, wakil-wakil dari perkumpulan dan golongan, juga perorangan, semua memenuhi tempat itu dan keadaan seperti pesta karena rombongan-rombongan itu membawa bendera dan tanda perkumpulan masing-masing. Juga terdapat suasana kegembiraan karena dalam kesempatan inilah mereka dapat saling bertemu dan berkumpul, dan di antaranya banyak terdapat teman-teman lama yang tentu saja menjadi gembira karena dapat saling jumpa.

Di antara para wakil-wakil dari partai persilatan besar, terdapat seorang pemuda berusia kurang lebih delapan belas tahun, bertubuh tinggi tegap, berkulit agak kecoklatan, gagah sekali sikapnya akan tetapi tarikan dagunya membayangkan ketinggian hati seorang jago muda yang memandang diri sendiri terlampau tinggi dan seolah-olah tidak ada orang lain di dunia ini yang lebih lihai dari pada dia! Ketika dia memperkenalkan diri, semua orang memandang padanya dengan agak segan oleh karena pemuda itu memperkenalkan diri sebagai wakil dari Cin-ling-pai!

"Ahh, taihiap adalah wakil dari Cin-ling-pai? Silakan taihiap duduk di tempat kehormatan!" Demikianlah para penyambut dari Sin-ciang Tiat-thouw-pang berkata dengan hormat dan sebutan ‘sicu’ berubah menjadi ‘taihiap’.

Dengan angkuhnya pemuda itu lantas duduk di ‘tempat kehormatan’ yang sesungguhnya hanyalah bangku-bangku kayu biasa, hanya saja diletakkan di belakang panggung dan di tempat yang agak tinggi.

Sin Liong yang berada pula di situ, yang menyelinap di antara para tamu yang sangat banyak dan tidak seorang pun memperhatikan pemuda tanggung berpakaian sederhana ini, merasa tertarik sekali ketika mendengar bahwa pemuda gagah perkasa itu adalah wakil Cin-ling-pai. Dia cepat menyusup di antara orang banyak dan duduk tidak jauh dari pemuda tampan gagah itu. Akan tetapi dia tidak mengenal pemuda ini, padahal baru tiga tahun dia meninggalkan Cin-ling-san.

Sin Liong kini telah berusia enam belas tahun, dan sudah tiga tahun dia berada di tempat tinggal Ouwyang Bu Sek. Hari itu dia diutus oleh suheng-nya untuk mewakili suheng-nya yang sudah tua dan malas pergi ke tempat pertemuan itu. Karena dia hanya seorang pemuda tanggung berusia enam belas tahun yang tidak menarik perhatian, maka fihak Sin-ciang Tiat-thouw-pang tidak menyambutnya dan dia pun menyusup di antara banyak tamu. Tentulah dia hanya dianggap seorang pengikut dari sekian banyaknya rombongan yang datang.

Tentu saja Sin Liong tidak mengenal pemuda yang gagah itu. Pemuda itu bernama Kwee Siang Lee. Dia adalah putera dari seorang tokoh Cin-ling-pai yang terkenal pula. Ayahnya adalah Kwee Tiong, seorang anak murid Cin-ling-pai yang telah memiliki tingkat lumayan, ada pun ibunya adalah seorang wanita dari Tibet bernama Yalima, puteri seorang kepala dusun di Tibet yang melarikan diri untuk mencari Cia Bun Houw yang menjadi kekasihnya, akan tetapi kemudian karena Cia Bun Houw tidak lagi mencintanya, lantas mendapatkan penggantinya dalam diri Kwee Tiong, sehingga akhirnya mereka berdua pun menikah di Cin-ling-san.

Kwee Siang Lee, pemuda yang berusia delapan belas tahun itu merupakan anak tunggal suami isteri ini, dan sejak kecil tentu saja Kwee Siang Lee telah digembleng oleh ayahnya dengan ilmu-ilmu yang khas dari Cin-ling-pai. Sebenarnya pemuda ini sama sekali bukan seorang wakil Cin-ling-pai yang diutus oleh perkumpulan itu.

Seperti sudah kita ketahui, semenjak kematian Cia Keng Hong sebagai ketua dan pendiri Cin-ling-pai, perkumpulan ini seolah-olah telah bubar dan hanya menyisakan bekas-bekas anggotanya saja yang tinggal di sekitar Pegunungan Cin-ling-san, atau bahkan banyak pula yang sudah pergi ke tempat lain yang jauh.

Pada saat itu Kwee Siang Lee sedang melakukan perjalanan merantau dan ketika dia tiba di daerah itu, dia mendengar akan pertemuan yang diadakan untuk melakukan pemilihan bengcu. Sebagai seorang pemuda yang masih berdarah panas dan menganggap bahwa perkumpulan Cin-ling-pai adalah perkumpulan terbesar dan bahwa kepandaiannya sudah boleh diandalkan untuk menjadi wakil perkumpulan kebanggaannya itu, maka dia hendak mengangkat nama Cin-ling-pai dan mewakili perkumpulan itu secara pribadi!

Setelah matahari naik tinggi, tempat itu sudah penuh dengan para pendatang. Tempat kehormatan yang berada di dekat panggung itu pun telah penuh dengan para tokoh besar di dunia persilatan bagian selatan. Tidak lama kemudian, fihak penyelenggara pertemuan itu, yaitu dua orang ketua dari Sin-ciang Tiat-thouw-pang, maju ke atas panggung dan memberi hormat ke empat penjuru. Mereka berdua itu adalah Sin-ciang Gu Kok Ban yang tinggi kurus sebagai ketua pertama dan Tiat-thouw Tong Siok yang tinggi besar sebagai ketua ke dua atau wakil ketua dari perkumpulan itu.

Sesudah menghaturkan terima kasih dan selamat datang kepada hadirin semua, dengan suara lantang Sin-ciang Gu Kok Ban lalu berkata, "Seperti cu-wi (anda sekalian) ketahui, bengcu kita yang lalu adalah seorang tua yang kurang tegas dan kini sudah meninggal dunia, maka perlulah bagi kita untuk mengangkat seorang bengcu yang baru. Setelah kita semua berkumpul, maka sebaiknya sekarang kita mengajukan calon masing-masing untuk pemilihan bengcu baru. Hendaknya cu-wi memilih seorang yang benar-benar cakap, berkepandaian tinggi, berwibawa dan berani untuk diajukan sebagai calon. Pertama-tama, kami dari perkumpulan Sin-ciang Tiat-thouw-pang hendak mengajukan calon kami, yaitu Tiat-thouw Tong Siok, wakil ketua dari perkumpulan kami sendiri!"

Orang tinggi besar berusia empat puluh tahun itu kini menjura ke empat penjuru, disambut tepuk sorak para anggota Sin-ciang Tiat-thouw-pang yang memenuhi tempat itu dan tentu saja mereka ini menjagoi calon mereka.....

Traktiran: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan) ataupun bisa melalui via Trakteer yang ada dibawah

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar