Saat mereka mulai mendaki puncak Cin-ling-san, hati Sin Liong dilanda kegembiraan dan juga keharuan. Kakeknya tidak banyak bercerita tentang Cin-ling-san, maka dia pun tidak tahu apakah ayah kandungnya berada di tempat itu, akan tetapi dia tidak berani banyak bertanya, dan ketika dia tiba di daerah pegunungan ini, merasa betapa tempat ini adalah tempat ayah kandungnya, dia merasa gembira dan terharu. Maka dalam kegembiraannya itu dia berjalan sambil menoleh ke kanan kiri, memperhatikan setiap keadaan di sekeliling pegunungan itu.
Dari lereng telah nampak bangunan di puncak Cin-ling-san, yaitu bangunan yang menjadi tempat atau pusat dari Cin-ling-pai. Akan tetapi pagi hari itu sunyi saja di daerah puncak. Memang kini Cin-ling-pai tidaklah seramai dahulu. Apa lagi semenjak isterinya meninggal, Cia Keng Hong lalu menyuruh semua anggota Cin-ling-pai supaya meninggalkan puncak dan para murid atau anggota Cin-ling-pai lalu tersebar di mana-mana, banyak yang masih tinggal di kaki Pegunungan Cin-ling-pai dan hidup sebagai petani-petani.
Cia Keng Hong tadinya hanya tinggal berdua saja bersama cucunya, yaitu Lie Ciauw Si, dilayani oleh dua orang pelayan wanita. Kakek ini serta cucunya sendiri turun tangan di kebun menanam sayur-mayur. Hanya pada waktu-waktu tertentu saja para murid kadang-kadang naik ke puncak mengunjungi ketua mereka.
Ketika Cia Keng Hong dan Sin Liong mendaki puncak, di puncak sudah menanti empat orang. Dari jauh Sin Liong melihat bahwa mereka itu adalah dua orang pria dan dua orang wanita yang menunggu kedatangannya kakek itu dengan wajah gembira, dan dia melihat betapa kakek itu mengeluarkan seruan tertahan kemudian dengan cepatnya tubuh kakek itu melesat ke atas puncak. Sin Liong juga berlari mengikutinya dan dia melihat betapa kakek itu kini berhadapan dengan mereka berempat, memandang dengan mata terbelalak kepada seorang di antara mereka, seorang laki-laki tampan yang berdiri dengan kepala agak tunduk.
"Kau...? Kau...!" Dan tiba-tiba Cia Keng Hong terhuyung dan jatuh terguling!
Pria tampan gagah berusia tiga puluh tahun lebih itu bukan lain adalah Cia Bun Houw dan wanita cantik jelita di sampingnya yang usianya satu dua tahun lebih muda itu adalah isterinya, Yap In Hong! Ada pun pria dan wanita lain yang berada di situ adalah Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng.
Dalam cerita Dewi Maut telah diceritakan betapa Cia Bun Houw, putera bungsu dari ketua Cin-ling-pai itu, pergi meninggalkan ayah bundanya pada saat Cia Keng Hong menentang puteranya yang hendak menikah dengan Yap In Hong, karena putera bungsunya itu telah ditunangkan dengan orang lain. Ayah dan anak ini bersikeras mempertahankan kehendak mereka sendiri sehingga akhirnya Bun Houw pergi bersama In Hong dan menjadi suami isteri tanpa perkenan orang tua! Kepergian Bun Houw inilah yang menghancurkan hati Cia Keng Hong dan isterinya, sampai isterinya meninggal dunia karena sejak kepergian pemuda itu, tidak pernah ada berita lagi.
Ketika Cia Giok Keng, puteri ketua Cin-ling-pai itu, mendengar bahwa puterinya Lie Ciauw Si yang ikut dengan kakeknya di Cin-ling-san untuk belajar silat dan menemani kakeknya, pergi meninggalkan Cin-ling-san untuk pergi mencari pamannya, hatinya menjadi gelisah! Maka dia lalu pergi kepada pendekar Yap Kun Liong, pria yang sesungguhnya dicintanya itu, dan meminta pertolongan Yap Kun Liong untuk pergi mencari adiknya, Cia Bun Houw yang telah membuat orang tuanya berduka itu.
Pergilah pendekar Yap Kun Liong hingga akhirnya dia dapat menemukan Cia Bun Houw serta Yap In Hong yang ternyata mengasingkan diri dan tinggal jauh di sebelah selatan. Yap Kun Liong lalu membujuk Cia Bun Houw untuk pulang ke utara menengok ayahnya.
Bun Houw yang mendengar akan kematian ibunya dan kedukaan hati ayahnya, bersama isterinya lalu ikut dengan Kun Liong pergi ke utara. Mereka berhenti dahulu di Sin-yang, kemudian diantar pula oleh Cia Giok Keng, mereka semua pergi ke Cin-ling-san. Setelah sampai di puncak itu, mereka menemukan tempat itu kosong sehingga mereka menanti di situ selama dua hari.
Demikianlah, pada pagi hari itu mereka berempat menyambut kedatangan Cia Keng Hong yang pulang bersama seorang anak laki-laki yang tidak mereka kenal. Akan tetapi, Cia Keng Hong yang baru saja kehilangan tenaga dan masih terluka meski pun sudah mulai sembuh, luka di sebelah dalam sebagai akibat pertandingannya dengan Kok Beng Lama, begitu melihat Bun Houw, jantungnya tergetar hebat.
Berbagai macam perasaan mengaduk hatinya. Ada rasa gembira, rasa terharu, juga rasa marah dan mendongkol bercampur duka teringat akan isterinya, membuat dia tidak dapat menahan lagi dan dia jatuh terguling dan pingsan dalam rangkulan Cia Giok Keng yang tadi cepat menubruk dan menyambut tubuh ayahnya yang terguling.
Melihat ini, Sin Liong terbelalak dan marah bukan main. Dia tadi melihat betapa kakek itu memandang kepada lelaki gagah yang berbaju kuning dan menggerak-gerakkan tangan ke arah laki-laki itu, maka sudah tentu laki-laki itulah yang telah membuat kakeknya roboh dan mungkin mati itu. Kemarahan memenuhi hatinya dan Sin Liong sudah menerjang ke depan sambil berteriak,
"Kau manusia jahat...!"
Semua orang merasa terkejut, terutama sekali Cia Bun Houw sendiri yang melihat dirinya diserang oleh anak yang datang dengan ayahnya tadi. Hati empat pendekar yang berilmu tinggi itu lebih terkejut lagi saat melihat betapa tubuh anak laki-laki tanggung itu bergerak luar biasa cepatnya dengan gaya seperti seekor harimau menubruk, atau seperti seekor binatang buas lainnya, dan ketika tangan kirinya mencengkeram ke arah leher Bun Houw dan tangan kanannya memukul ke arah dada, ternyata gerakan anak itu mendatangkan hawa pukulan yang luar biasa kuatnya sehingga terdengar angin menyambar dahsyat!
"Ehhh...!" Cia Bun Houw mengelak cepat dan kaget sekali.
Bagi pendekar yang memiliki ilmu kepandaian tinggi ini, tentu saja serangan Sin Liong itu tidak merupakan bahaya, akan tetapi pendekar ini terkejut melihat betapa seorang anak kecil yang usianya baru dua belas atau tiga belas tahun ini bisa memiliki tenaga sinkang sedahsyat itu, juga kecepatan yang luar biasa walau pun gerakannya ketika menyerang lebih patut gerakan seekor binatang buas dari pada gerakan silat.
Akan tetapi, begitu serangannya luput, Sin Liong telah membalik dan kembali menyerang lebih dahsyat, menggunakan pukulan dengan pengerahan tenaga seperti yang diajarkan oleh kakeknya sehingga kini dia dapat mengerahkan tenaga yang terkumpul di pusarnya itu.
Tenaga dahsyat yang hangat dan hidup mengalir ke dalam lengan sampai ke ujung-ujung jarinya ketika dia memukul sambil mengerahkan tenaga. Terdengar suara bercuitan dan kembali Bun Houw amat terkejut karena angin pukulan dari anak itu benar-benar dahsyat, seperti pukulan seorang ahli sinkang yang amat kuat! Dengan hati penuh keheranan dan keinginan tahu, pendekar ini lantas menggerakkan lengannya menangkis, dengan maksud untuk mengukur sampai di mana kekuatan anak yang luar biasa ini.
"Dukkk!”
“Aihhhhh...!" Kini Cia Bun Houw mengeluarkan teriakan.
Hati siapa yang tidak akan terkejut ketika dua lengan itu bertemu, selain dia merasakan kekuatan yang sangat dahsyat, yang tidak patut dimiliki oleh seorang bocah berusia dua belas atau tiga belas tahun, juga dia merasa betapa tenaga sinkang-nya tersedot ke luar! Itulah Thi-khi I-beng! Ataukah ada ilmu iblis lain yang juga bisa menyedot sinkang lawan?
Sebagai murid terkasih dari Kok Beng Lama, dengan hanya sekali mengerahkan tenaga membetot, tentu saja lengannya dapat terlepas dari lekatan lengan lawan yang memiliki daya sedot, dan dia memandang dengan mata terbelalak kepada anak itu.
Akan tetapi Sin Liong tak peduli orang terheran-heran. Dia tidak tahu sama sekali bahwa orang itu kagum dan terkejut melihat kehebatan tenaganya, dan dia merasa penasaran mengapa dia belum berhasil menghantam orang yang sudah membuat kakeknya sampai roboh pingsan itu.
"Orang jahat kau...!" Dia berteriak lagi dan kini kembali dia menubruk, dengan gerakan yang ganas.
Bun Houw kembali mengelak dan pada saat itu pula nampak bayangan berkelebat, lantas jari-jari tangan yang runcing mungil meluncur dan menotok pundak Sin Liong yang luput menyerang lawannya tadi.
"Dukkk!”
“Aiihhhh...!" Wanita cantik itu, Yap In Hong, terkejut bukan main.
Karena tadinya dia memandang rendah kepada seorang bocah yang disangkanya hanya liar dan ganas, dia tentu saja menotok tanpa menggunakan tenaga sakti, khawatir kalau sampai membunuh anak itu. Akan tetapi ketika jari tangannya bertemu pundak Sin Liong yang ketika itu sedang mengerahkan tenaga, In Hong merasa betapa tenaga kasarnya membalik dan jari-jari tangannya terasa nyeri bukan main!
Barulah dia tahu mengapa suaminya kelihatan terkejut dan terheran-heran, ragu-ragu, kini dia mengerti bahwa memang bocah ini luar biasa sekali, memiliki tenaga sinkang yang luar biasa kuatnya. Maka dia pun menjadi marah dan kini tangannya kembali melayang, sekali ini mengandung tenaga sinkang yang kuat, bahkan dia mempergunakan tenaga Thian-te Sin-ciang yang ampuh.
"Dessss...!"
Anak itu terpelanting dan roboh dengan tubuh lemas karena jalan darahnya tertotok. Akan tetapi, Sin Liong yang marah itu merasa betapa tenaga dan hawa aneh di dalam pusarnya bergolak, mendorong-dorong akan tetapi tidak mampu menembus jalan darah yang sudah tertotok. Dia sama sekali tidak menjadi jeri, bahkan matanya melotot memandang kepada Bun Houw dan In Hong yang menghampirinya, memandang penuh kebencian.
"Kalian tunggu saja...," desisnya, "jika locianpwe Cia Keng Hong sampai mati, maka aku bersumpah kelak aku akan membunuh kalian berdua manusia-manusia jahat!" Sepasang matanya mencorong seperti naga sakti. "Aku benci kalian! Aku benci kalian...!"
Melihat sinar mata yang penuh nafsu membunuh, seperti mata seekor harimau kelaparan yang marah, diam-diam In Hong bergidik. "Bocah setan ini perlu dihajar!" katanya dan dia sudah mengangkat tangannya untuk menampar.
"Tahan, jangan pukul dia!" Bun Houw berseru menahan isterinya yang lalu menurunkan kembali tangannya sambil menoleh kepada suaminya. Mengapa suaminya melarang dia memukul anak yang mengeluarkan ancaman mengerikan itu?
Melihat pandangan mata isterinya, Bun Houw cepat-cepat berkata, "Aku melihat dia tadi menggunakan Thi-khi I-beng."
Mendengar ini, In Hong terkejut dan terheran-heran, akan tetapi mereka berdua segera menghampiri kakek Cia Keng Hong yang sudah mulai siuman.
"Ah, kau datang, kalian datang semua... ah, aku agak lelah..." Akhirnya kakek itu bangkit duduk.
"Ayah, engkau harus beristirahat dulu. Nanti saja kita bicara..." Cia Giok Keng kemudian merangkul dan memapah ayahnya, dibantu oleh Bun Houw. Namun kakek itu tidak mau dipondong dan dengan dipapah oleh kedua orang anaknya, dia melangkah tertatih-tatih memasuki pondoknya.
Cia Keng Hong jatuh sakit! Beberapa kali dia jatuh pingsan dan terserang demam. Bun Houw dan enci-nya yang memeriksa, mendapat kenyataan bahwa tenaga ayah mereka itu berkurang banyak sekali, menjadi lemah, dan di sebelah dalam tubuh ayah mereka itu mengalami guncangan hebat dan seperti orang baru sembuh dari luka parah di dalam tubuh. Akan tetapi mereka belum dapat bicara dengan ayah mereka dan dengan penuh ketelitian kedua orang anak itu merawat ayah mereka, dibantu oleh Yap In Hong serta kakaknya, Yap Kun Liong.
Seperti sudah diketahui jelas oleh para pembaca cerita Dewi Maut, isteri dari Cia Bun Houw, Yap In Hong, adalah adik kandung pendekar Yap Kun Liong. Dan semenjak Bun Houw dan isterinya ini meninggalkan orang tuanya, belasan tahun yang lalu, kakak dan adik ini pun tidak pernah saling jumpa, apa lagi karena Kun Liong juga selama ini hanya menyembunyikan diri saja di rumahnya, yaitu di Leng-kok.
Biar pun antara Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng terdapat perasaan cinta kasih yang mendalam, duda dan janda ini tidak melanjutkan hubungan itu dengan hubungan jasmani, melainkan hanya saling mencinta saja di dalam hati masing-masing.
Maka kini, pertemuan antara mereka semua tentu saja mendatangkan percakapan yang asyik, saling menuturkan keadaan mereka masing-masing. Hanya keadaan kakek ketua Cin-ling-pai itu yang menimbulkan prihatin dalam hati mereka, dan juga, anak aneh yang datang bersama ketua Cin-ling-pai itu tidak mau banyak membuka mulut, hanya berwajah muram dan ikut pula menjaga kakek yang sedang sakit itu.
Yap Kun Liong telah menasehatkan yang lain agar jangan sembarangan terhadap bocah ini, karena dia pun menduga bahwa tentu ada rahasia di balik kedatangan bocah ini, dan tentu ada hubungan erat antara bocah itu dan pendekar sakti Cia Keng Hong, apa lagi ketika dia mendengar bahwa anak itu agaknya pandai Thi-khi I-beng.
"Kita tunggu saja sampai Cia-locianpwe sudah sembuh kembali dan menceritakan siapa adanya anak itu," kata pendekar ini dan yang lain-lain merasa setuju.
Anak itu benar-benar sangat luar biasa. Kalau ditanya, hanya memandang dengan mata mendelik marah karena Sin Liong memang merasa tidak suka kepada empat orang ini, terutama terhadap Cia Bun Houw dan isterinya yang dianggapnya jahat karena sudah membuat kakeknya roboh pingsan dan sakit. Dia tidak tahu siapa mereka dan juga tidak ingin tahu, dan dia pun tidak suka memperkenalkan diri ketika ditanya.
Dia pun hendak menanti sampai kakek itu sembuh, baru dia akan mengambil keputusan apakah akan terus tinggal di situ ataukah akan pergi. Hanya terhadap Yap Kun Liong dia tidak begitu dingin dan ketus, karena pendekar yang usianya sudah empat puluh delapan tahun ini bersikap manis budi kepadanya. Bahkan hanya dari Yap Kun Liong saja dia mau menerima makanan.
Biar pun dia diberi sebuah kamar, akan tetapi dia tidak mau tidur di kamarnya, sebaliknya dia terus berada di kamar Cia Keng Hong dan di sana dia duduk bersila, bersemedhi seperti yang telah diajarkan oleh kakek itu kepadanya. Dan dia pun tidur dalam keadaan bersila. Melihat cara anak itu bersemedhi, makin yakinlah hati empat orang pendekar itu bahwa anak ini pasti memiliki hubungan yang erat dengan ketua Cin-ling-pai.
Ternyata guncangan batin ketika dia melihat wajah puteranya itulah yang membuat Cia Keng Hong jatuh sakit. Ketika dia mengadu ilmu melawan Kok Beng Lama, dia sudah merasa bahwa dia terluka di sebelah dalam tubuhnya, apa lagi sesudah sebagian tenaga sinkang-nya tersedot oleh kekuatan dahsyat yang mengeram di dalam tubuh Sin Liong.
Sungguh pun kemudian dia dapat menyedot kembali tenaga dari tubuh Sin Liong dengan menggunakan Ilmu Thi-khi I-beng dan dengan demikian selain menyelamatkan Sin Liong juga memulihkan kembali tenaganya, akan tetapi luka yang dideritanya belumlah sembuh sama sekali. Maka ketika menerima guncangan hebat dan mendadak dalam perjumpaan yang tak disangka-sangkanya dengan puteranya itu, dia lalu jatuh pingsan dan jantungnya yang sudah tua itu mengalami tekanan berat yang membuat dia jatuh sakit.
Setelah sepekan dirawat dengan penuh perhatian oleh putera dan puterinya, barulah Cia Keng Hong sembuh dari demam dan ingatannya kembali. Biar pun tubuhnya masih lemah namun dia sudah dapat bangun duduk dan bicara.
Ketika melihat Sin Liong sedang duduk bersila di sudut kamar, Cia Keng Hong tersenyum dan wajahnya berseri. Dia mengangguk-angguk dan berkata kepada Bun Houw dan Giok Keng, "Bantu aku keluar, aku ingin duduk di luar pondok, di tempat terbuka yang sejuk."
Cia Giok Keng dan Cia Bun Houw lalu memapah ayah mereka itu, membawanya keluar. Di bawah sebatang pohon pek di depan pondok itu memang terdapat sebuah batu halus yang menjadi tempat duduk dan tempat semedhi kakek ini. Di sanalah dia duduk bersila dan empat orang pendekar itu pun duduk di atas tanah di depannya.
"Sin Liong, kau ke sinilah..." kata kakek itu kepada Sin Liong yang ikut pula keluar dengan sikap sungkan, karena dia merasa bahwa dia adalah seorang pendatang baru yang asing. Namun hatinya lega melihat bahwa ternyata empat orang itu bukanlah musuh kakeknya.
Mendengar ucapan kakek itu, Sin Liong cepat menghampiri dan menjatuhkan diri berlutut, lalu duduk bersila pula di depan batu besar yang diduduki kakek itu.
Sejenak keadaan di situ sunyi. Udara pagi itu cerah dan hangat oleh sinar matahari pagi. Angin gunung mendatangkan kesejukan di bawah pohon itu dan mereka semua seperti tenggelam dalam keheningan yang maha luas.
Cia Keng Hong memandang ke kanan dan kedua alisnya berkerut, hatinya diliputi penuh keharuan dan penyesalan. Melihat puteranya sekarang telah menjadi seorang pria yang matang, berusia tiga puluh tahun lebih, duduk bersila di dekat Yap In Hong yang memang cantik jelita dan gagah, dia pun melihat kesalahan yang telah dilakukannya belasan tahun yang lalu.
Sudah jelas bahwa puteranya itu saling mencinta dengan wanita itu, mengapa dia dahulu berkeras tidak menyetujui perjodohan mereka? Padahal, mereka itulah yang akan saling berjodoh, yang akan hidup berdua selamanya, juga mereka berdualah yang akan hidup bersama membagi suka duka bersama-sama. Perjodohan adalah urusan mereka berdua, dengan hak dan kewajiban mereka berdua sepenuhnya pula. Mengapa dia ikut campur tangan, mengapa dia hendak mengatur kehidupan kedua orang itu, ingin menyesuaikan mereka berdua untuk menyenangkan hatinya?
Alangkah bodohnya dia, dan alangkah bodohnya orang-orang tua yang ingin mencampuri urusan perjodohan anak-anak mereka! Memang dahulu dia mempunyai alasan kuat untuk menentang, mengingat betapa Yap In Hong sendiri pernah memutuskan pertunangannya dengan Bun Houw, dan ke dua betapa Bun Houw telah ditunangkan dengan gadis lain. Akan tetapi, segala macam alasan itu sesungguhnya hanyalah untuk mempertahankan pendiriannya atau kesenangan dirinya pribadi. Kini nampak jelas olehnya dan dia merasa menyesal sekali.
Dan pada saat dia menoleh ke kiri, dia melihat si duda, Yap Kun Liong duduk bersanding dengan puterinya, Cia Giok Keng yang sudah menjadi janda, maka hatinya pun tertusuk keharuan bercampur kekaguman. Dua orang itu benar-benar memiliki cinta kasih yang murni, cinta kasih yang sama sekali tidak dikotori oleh nafsu birahi. Betapa mereka saling mencinta, dia bisa merasakannya, tapi keduanya tetap bertahan dan hanya berhubungan sebagai dua orang sahabat yang saling mencinta. Benar-benar mengagumkan dan patut dipuji kedua orang itu!
Kemudian dia memandang ke depan, kepada Sin Liong. Bocah ini juga mengagumkan! Senanglah hati Cia Keng Hong karena biar pun sejak tadi tidak pernah ada yang bicara sepatah kata pun, namun dalam keadaan sehening dan seindah itu, memang kata-kata tidak banyak gunanya lagi.
"Sin Liong, setelah beberapa hari engkau berada di sini, apakah engkau sudah mengenal siapakah adanya mereka ini?" Dia menoleh ke kanan dan kiri.
Empat orang pendekar itu memandang kepada Sin Liong dan anak itu pun menoleh dan memandang kepada mereka dengan wajah yang masih muram. Dia menggeleng kepala.
"Saya belum mengenal mereka, locianpwe," jawabnya kemudian.
"Ahh! Engkau belum mengenal mereka? Kau lihatlah baik-baik, Sin Liong, yang duduk di sebelah kirimu itu adalah puteraku yang bernama Cia Bun Houw dan isterinya!" Kakek itu berhenti karena tiba-tiba Sin Liong menoleh ke kiri dan sepasang matanya mencorong aneh ketika dia memandang kepada Bun Houw.
Tidak ada seorang pun di antara mereka yang tahu betapa kagetnya hati Sin Liong ketika mendengar perkenalan itu. Jadi lelaki gagah itu adalah ayah kandungnya! Dan beberapa hari yang lalu dia telah menyerang orang itu sebagai orang yang dibencinya! Kiranya ayah kandungnya, yang oleh mendiang ibu kandungnya dipuji-puji sebagai pendekar sakti itu.
Akan tetapi mengapa ayah kandungnya itu duduk di sana bersama wanita cantik yang diperkenalkan sebagai isteri ayahnya itu? Dan wanita itu telah turun tangan menotoknya! Sekarang dia memandang kepada Yap In Hong dengan pandang mata penuh kebencian. Ketika Bun Houw dan In Hong memandang Sin Liong, mereka melihat sinar mata anak itu dan keduanya terkejut sekali.
"Ihhh...!" In Hong mengeluarkan seruan lirih dan Bun Houw mengerutkan alisnya.
Cia Keng Hong juga merasa heran melihat sikap Sin Liong itu, maka dia bertanya. "Ada apakah Sin Liong?"
Sin Liong tidak menjawab, hanya memandang kepada Bun Houw dan In Hong dengan sinar mata aneh. Kini tanpa disadarinya, sepasang mata yang menyinarkan kebencian itu menjadi basah dan dua titik air mata mengalir keluar.
Melihat ini, Bun Houw langsung berkata, "Ayah, dia salah sangka terhadap kami berdua. Ketika ayah terkejut dan tidak sadarkan diri, dia langsung menyerangku, dan aku heran sekali melihat dia memiliki sinkang yang luar biasa, bahkan memiliki Thi-khi I-beng!"
Cia Keng Hong tersenyum dan mengangguk-angguk mengerti. "Ahh, kiranya begitukah? Sin Liong, engkau salah duga. Dia bukanlah musuh, dia adalah puteraku. Hayo kau cepat minta maaf, biar pun kau melakukan hal itu tanpa kau sadari."
Sin Liong menunduk, lalu menghadap kakek itu dan berkata, "Maafkan saya, locianpwe."
Dia tidak minta maaf kepada Bun Houw, melainkan kepada kakeknya! Memang hati anak ini luar biasa kerasnya. Dia telah bertemu dengan ayah kandungnya, akan tetapi melihat kenyataan pahit betapa ayah kandungnya yang sudah meninggalkan ibu kandungnya dan bahkan menjadi suami dari wanita lain, mana mungkin hatinya tidak diliputi kekecewaan dan kebencian?
"Dan yang duduk di sebelah kiri itu adalah puteriku, Sin Liong. Namanya Cia Giok Keng. Sedangkan pria itu adalah Yap Kun Liong, kakak ipar dari puteraku Bun Houw, juga dia boleh dibilang muridku karena hanya dia seorang yang pernah mewarisi Thi-khi I-beng dariku, di samping engkau sendiri, sekarang engkau telah menjadi muridku, maka engkau adalah sute mereka, sute paling kecil." Kakek itu mengangguk-angguk senang. Hatinya gembira sekali, terutama karena dia dapat melihat puteranya kembali.
"Ayah, siapakah anak ini dan bagaimana asal mulanya sampai dia dapat memiliki sinkang sedemikian hebatnya, dan telah mewarisi Thi-khi I-beng pula?" tanya Bun Houw. Betapa pun juga, dia merasakan sinar mata benci dari anak itu, oleh karena itu, dia pun memiliki perasaan tidak senang terhadap Sin Liong!
"Memang aneh dia, dan banyak pula terjadi hal-hal aneh menimpanya. Pertama-tama, ketahuilah, Bun Houw, bahwa gurumu telah meninggal dunia."
"Ahhh...!" Bun Houw berseru kaget.
"Ihhh...!" In Hong juga berseru tertahan. Dia merasa sayang kepada kakek pendeta Lama itu.
"Hemm...!" Yap Kun Liong juga menahan seruannya karena dia pun merasa amat kagum kepada ayah mertuanya itu. Kok Beng Lama adalah ayah mertua pendekar ini, karena mendiang isterinya, Pek Hong In, adalah puteri tunggal dari pendeta Lama itu.
"Ayah, apakah yang telah terjadi? Bagaimana suhu sampai meninggal dunia? Apakah dia dibunuh musuh?"
Ayahnya menggelengkan kepala. "Dia memang sudah tua dan pikun, Bun Houw, dan agaknya memang sudah tiba saatnya bagi Kok Beng Lama untuk meninggalkan dunia ini. Betapa pun juga, kematian itu terjadi karena kesalahannya sendiri."
Dengan singkat ketua Cin-ling-pai itu menceritakan mengenai pertemuannya dengan Kok Beng Lama, betapa Kok Beng Lama memaksanya untuk mengadu tenaga sinkang dan betapa Sin Liong yang mencoba untuk melerai itu tanpa disengaja malah mewarisi seluruh tenaga dari Kok Beng Lama, sungguh pun hal itu juga hampir saja menewaskannya, dan betapa dia terpaksa membuka rahasia Thi-khi I-beng kepada anak itu untuk menolongnya.
Empat orang pendekar itu mendengarkan dengan penuh keheranan dan kekaguman dan mereka kini memandang kepada Sin Liong dengan sinar mata lain. Memang anak luar biasa, pikir mereka.
"Bagus, kalau begitu engkau adalah sute-ku, Sin Liong!" Bun Houw berseru dengan hati girang. "Engkau she apakah?"
Sejenak Sin Liong menatap wajah ayah kandungnya itu. Hampir saja dia menitikkan air matanya, dan ingin hatinya berteriak bahwa dia adalah putera pendekar itu. Akan tetapi, hatinya memang keras sekali. Melihat ayah kandungnya mempunyai seorang isteri dan meninggalkan ibu kandungnya, dia tidak mau memperkenalkan diri. Hatinya terasa nyeri, dia lupa bahwa ibu kandungnya juga mempunyai suami baru!
"Aku tidak mempunyai she," jawabnya sambil menunduk.
"Ehh, kenapa begitu aneh?" Giok Keng yang biar pun usianya sudah empat puluh tujuh tahun tetapi masih cantik dan juga hatinya masih keras itu berseru. "Lalu siapakah nama ayahmu?"
Sejenak Sin Liong memandang kepada puteri kakeknya yang sebenarnya adalah bibinya itu, lalu dia menunduk dan menjawab singkat, "Aku tidak mengenal siapa ayah bundaku."
Cia Keng Hong tersenyum. "Memang dia agak aneh. Dia tidak tahu siapa ayah bundanya, dan dia hanya ingat bahwa dia bekerja sebagai kacung pada keluarga Na-piauwsu. Akan tetapi, untuk bertanya tentang asal-usul anak ini kepada keluarga Na-piauwsu juga tidak mungkin karena keluarga Na itu dibunuh oleh musuh-musuhnya. Anak ini dibawa oleh seorang wanita kejam yang bernama Kim Hong Liu-nio, seorang wanita yang benar-benar mempunyai kepandaian yang mengejutkan dan entah mengapa wanita iblis itu demikian bencinya kepada Sin Liong sehingga menyiksanya dan aku telah membebaskannya dari tangan wanita itu."
"Sin Liong, siapakah wanita itu?" tanya Yap Kun Liong yang merasa tertarik karena dia pun tidak mengenal tokoh kang-ouw bernama Kim Hong Liu-nio itu. Kalau ada seseorang tokoh sampai dipuji kepandaiannya oleh Cia Keng Hong, sudah pasti bahwa tokoh itu bukan orang sembarangan dan kepandaiannya tidak boleh dibuat main-main.
Sin Liong memang tidak ingin menceritakan banyak-banyak tentang dirinya, akan tetapi karena semua orang memandang padanya dan sinar mata mereka menunjukkan bahwa mereka itu ingin sekali mendengar tentang Kim Hong Liu-nio, dia kemudian teringat akan tantangannya terhadap Kim Hong Liu-nio dan dengan lantang dia lalu berkata,
"Saya tidak mengenalnya. Pada waktu keluarga Na-piauwsu diserbu musuh dan dibunuh, dia muncul dan dia membunuh semua musuh keluarga Na itu lalu menangkap saya dan membawa saya pergi ke hutan di mana Cia locianpwe menolong saya. Akan tetapi, saya mendengar dia berkata-kata seorang diri bahwa dia akan membunuh semua orang yang she Cia, Yap dan Tio."
"Ehhh?"
"Ahhh?"
"Heiii...?!"
Seruan-seruan itu keluar dari mulut Yap Kun Liong, Cia Giok Keng, Cia Bun Houw dan Yap In Hong. Mereka pun saling pandang, lalu memandang kembali kepada anak itu. Sin Liong merasa senang melihat mereka terkejut. Kalau benar mereka ini adalah pendekar-pendekar besar, ingin dia melihat wanita iblis yang lihai itu berhadapan dengan mereka.
"Sungguh aneh sekali! Mengapa justru she-she dari kita yang dimusuhinya?" tanya Cia Bun Houw sambil memandang Yap In Hong.
"Dan she Tio itu bukanlah ada hubungannya dengan Tio Sun twako?" tanya pula Yap In Hong.
"Ahhh, sekarang aku ingat...!" Tiba-tiba kakek ketua Cin-ling-pai itu berkata. "Ya, benar. Tadinya aku merasa heran mengapa aku sampai tidak mengenal dasar ilmu silatnya. Kini, setelah mendengar bahwa dia memusuhi kita dan juga Tio Sun, teringatlah aku. Sudah tentu wanita itu ada hubungannya dengan Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li! Benar, ilmu silatnya memang mempunyai dasar ilmu silat dua orang iblis tua itu!"
"Akan tetapi mereka itu sudah mati!" Yap In Hong berkata. "Pek-hiat Mo-ko telah tewas olehmu dan Hek-hiat Mo-li terluka parah olehku." Dia bicara kepada Bun Houw.
Bun Houw mengangguk-angguk. "Jika memang ada hubungannya dengan mereka, tentu ada hubungannya dengan Hek-hiat Mo-li. Pek-hiat Mo-ko jelas sudah mati, akan tetapi Hek-hiat Mo-li belum tewas biar pun terluka parah, akan tetapi dia diselamatkan dengan datangnya Raja Sabutai. Mungkin dia adalah murid dari Hek-hiat Mo-li yang masih selalu menaruh dendam terhadap kita." Bun Houw mengerutkan alisnya, dan teringatlah akan peristiwa belasan tahun yang lalu ketika dia dan In Hong mengalahkan Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li dalam pertandingan mati-matian.
Cia Keng Hong juga mengangguk-angguk sambil mengelus jenggotnya. "Kiranya begitu... ilmunya lihai bukan main dan sesudah mempergunakan Thi-khi I-beng baru aku berhasil menundukkannya. Akan tetapi dia segera mengenal ilmu itu dan mengenalku, lalu pergi. Agaknya tentu Hek-hiat Mo-li yang berdiri di belakangnya. Hemmm, musuh sudah mulai keluar dari sarang dan mencari gara-gara, harap kalian suka berhati-hati," katanya sambil memandang kepada dua pasang pendekar itu.
Empat orang pendekar itu tinggal di Cin-ling-san sampai kakek itu sama sekali sembuh dari luka-lukanya. Dalam kesempatan itu, Cia Keng Hong secara bergiliran bicara berdua saja dengan dua orang anaknya. Pada waktu dia bertanya mengapa puteranya itu belum mempunyai keturunan, dia mendengar pengakuan dari Bun Houw yang berbicara dengan nada suara duka, dan pengakuan puteranya itu sangat mengejutkannya dan membuatnya terharu sekali.
"Ayah, sebelum ayah memberi restu kepada kami berdua untuk menikah, mana mungkin kami berdua dapat menjadi suami isteri dan mempunyai anak?"
Cia Keng Hong memandang kepada puteranya dengan mata terbelalak. "Apa katamu?! Engkau dan In Hong... kalian... belum menjadi suami isteri?"
Bun Houw mengangkat mukanya memandang kepada ayahnya, sepasang matanya jernih akan tetapi wajahnya agak pucat.
"Ayah, kami berdua saling mencinta, saling menghormat, maka bagaimana mungkin kami saling merendahkan dengan jalan melakukan hubungan jinah? Biar pun kami telah hidup bersama selama belasan tahun ini, akan tetapi selama ayah masih ada, tanpa perkenan dari ayah atas perjodohan kami, mana mungkin kami berani melakukan hubungan yang akan menjadi perjinahan?"
Sepasang mata yang terbelalak memandang itu kini menjadi sayu, bibir tua itu gemetar dan hati pendekar itu rasanya seperti ditusuk pedang. Sekarang terbukalah matanya dan tahulah dia betapa dahulu dia terlalu menuruti hati, terlalu mempertahankan kehendaknya sendiri sehingga dia mengorbankan puteranya yang menderita karena keangkuhannya. Dia memeluk puteranya, merangkul dan berbisik.
"Houw-ji... kau maafkan aku... ahh, mendiang ibumu benar, aku terlalu keras kepala... aku telah membuatmu hidup menderita, kau maafkanlah aku, anakku..."
Dua titik air mata membasahi mata pendekar sakti itu, sungguh hal yang luar biasa sekali, dan menandakan bahwa hati pendekar itu luar biasa sakitnya, tertindih oleh rasa sesal dan haru.
"Tidak, ayah, sebaliknya akulah yang selama ini merasa berdosa dan membikin susah hati ayah," jawab Bun Houw lirih.
"Aku yang bodoh, anakku, lupa akan keadaanku sendiri ketika masih muda. Ahhh, aku seperti buta dan lupa bahwa tak mungkin mengatur hati orang lain, dan aku bangga sekali mendengar betapa murni cinta antara kalian. Bun Houw, lekas kau panggil In Hong ke sini!"
Bun Houw cepat pergi ke belakang dan tak lama kemudian dia sudah kembali dengan In Hong. Melihat gadis itu, Cia Keng Hong makin terharu. Dia memegang tangan In Hong, memandang tajam dan berkata, "In Hong, kau maafkanlah aku, orang tua tidak tahu diri yang kukuh sehingga aku sudah membuat kalian berdua menderita. Kalau... kalau kalian masih mau menganggap dan mau menerima, biarlah detik ini aku menyatakan bahwa aku girang sekali kalian saling berjodoh! Kuharap kalian suka menjadi suami isteri dalam arti yang sesungguhnya. Sebelum aku mati, aku... aku... ingin sekali dapat melihat cucuku, putera dari kalian..."
"Gak-hu...!" In Hong yang biasa menyebut locianpwe itu kini menyebut ‘ayah mertua’ dan menjatuhkan diri berlutut sambil meneteskan beberapa titik air mata.
Keadaan tiga orang ini sungguh mengharukan, akan tetapi di dalam keharuan ini muncul sinar yang amat membahagiakan mereka bertiga, terutama di dalam hati Bun Houw dan In Hong sehingga dalam pertemuan pandang mata mereka, selain kasih sayang seperti biasanya, terdapat pula sinar yang membayangkan kegembiraan sekaligus juga perasaan malu-malu.
Bun Houw segera berlutut di samping isterinya dan berkata, "Kami menghaturkan terima kasih kepada ayah atas kebijaksanaan ayah."
Ucapan itu malah makin menusuk perasaan Cia Keng Hong, meski pun Bun Houw tidak bermaksud begitu. Dengan mata basah pendekar sakti yang sudah tua ini menggunakan kedua tangan meraba kepala putera dan mantunya, seperti hendak memberi berkah.
"Ayahmu bersalah, ayahmu terlampau mementingkan perasaan dan keinginan hati sendiri sehingga kalian menderita dan menjadi korban selama belasan tahun. Ahh, anak-anakku, hendaknya peristiwa ini menjadi pelajaran bagi kalian berdua sehingga kelak kalian tidak melakukan kebodohan seperti yang sudah kulakukan ini, dan tidak membikin anak-anak kalian menderita..."
Di samping mendatangkan kebahagiaan dalam hati dua orang yang saling mencinta itu, menjodohkan mereka sehingga mereka berdua bisa menjadi suami isteri secara sah oleh persetujuan orang tua, dapat menjadi suami isteri dalam arti kata yang sebenarnya, juga pendekar sakti Cia Keng Hong kemudian mengadakan pertemuan bertiga saja dengan puterinya, Cia Giok Keng dan Yap Kun Liong.
Juga kepada dua orang yang sesungguhnya saling mencinta ini, Cia Keng Hong memberi ‘lampu hijau’. Antara lain dia berkata dengan nada suara sungguh-sungguh dan yang didengarkan oleh kedua orang itu dengan muka menunduk.
"Aku tahu bahwa kalian berdua saling mencinta, Kun Liong dan Giok Keng. Dan kalian adalah orang-orang bebas, seorang duda dan seorang janda. Oleh karena itu, yakinlah hati kalian bahwa aku akan merasa ikut berbahagia, apa bila kalian berdua dapat mengisi kekosongan hidup masing-masing dan menjadi suami isteri. Kalian berdua masih cukup muda untuk menikmati hidup, maka sudah selayaknyalah kalau saling mengisi dan saling menghibur. Nah, legalah kini hatiku, karena aku sudah menyatakan isi hatiku. Tentu saja pelaksanaannya terserah kepada kalian berdua."
Di depan kakek tua renta itu, tentu saja Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng merasa malu untuk menjawab, akan tetapi terdapat sinar lain dalam pandang mata mereka pada waktu mereka saling bertemu pandang. Dan sinar-sinar mata ini pun dapat ditangkap oleh kakek Cia Keng Hong yang membuatnya tersenyum penuh kelegaan hati, seperti kelegaan hati seorang ayah yang melihat anak-anaknya hidup bahagia.
Dua pasang pendekar itu tinggal di puncak Cin-ling-san, merawat Cia Keng Hong sampai kakek pendekar ini sembuh dari sakitnya. Selama beberapa hari itu, ada beberapa orang anggota Cin-ling-pai yang datang pula untuk menjenguk sehingga terjadilah pertemuan-pertemuan yang menggembirakan. Dalam kesempatan itu Cia Giok Keng mengusulkan kepada ayahnya apakah tak sebaiknya jika Cin-ling-pai dibangun kembali dan memanggil para anggota yang kini tinggal terpisah-pisah.
Kakek itu menggelengkan kepala dan menarik napas panjang. "Tidak, Keng-ji. Tidak ada gunanya sama sekali. Kini nampak benar olehku betapa pendirian sebuah perkumpulan hanya berarti memisahkan diri dari orang-orang lain saja. Akan jauh lebih baik kalau kita menganggap dunia ini perkumpulan dan manusia adalah anggotanya! Dengan demikian, setiap orang manusia sebagai anggota perkumpulan besar itu akan selalu menjaga dunia, dan saling setia, saling mencinta antara manusia sebagai rekan hidup. Sebaliknya, kalau mendirikan perkumpulan-perkumpulan secara terpisah-pisah hanya akan mendatangkan lebih banyak permusuhan dan persaingan belaka. Tidak, biarlah Cin-ling-pai bubar saja, lebih baik begini...!"
Diam-diam Cia Giok Keng dan Cia Bun Houw melihat betapa ayah mereka telah berubah sama sekali. Dahulu, ayah mereka amat mementingkan nama dan kehormatan sehingga ayah mereka menentang perjodohan Bun Houw dengan In Hong karena hendak menjaga nama dan kehormatan pula. Sekarang, ayah mereka telah menjadi lunak dan mempunyai pandangan yang amat luas dan sama sekali tidak kukuh lagi.
Dua pasang pendekar yang memiliki kepandaian tinggi itu hampir setiap hari menjenguk makam ibu mereka, nyonya Cia Keng Hong. Pada suatu pagi, Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng berdua saja bersembahyang di depan kuburan itu.
Setelah selesai bersembahyang, mereka berdua lalu berjalan dan tanpa disadari mereka saling bergandengan tangan menuju ke pinggir jurang yang ditumbuhi rumput hijau yang gemuk. Mereka tak mengucapkan sepatah kata, akan tetapi jari-jari tangan mereka yang saling berpegang itu sudah bicara banyak. Mereka lalu duduk, saling berhadapan di atas rumput hijau di tepi jurang, saling memandang, kemudian Cia Giok Keng menundukkan mukanya ketika dia mulai berbicara, seolah-olah dia tidak dapat menatap wajah pria yang dicintanya itu.
"Kun Liong, apa yang kau pikirkan?"
Kun Liong memandang wajah yang menunduk itu. Baginya, wanita yang usianya sudah empat puluh tujuh tahun itu masih tampak seperti dulu, seperti ketika masih gadis remaja, masih tetap cantik menarik.
"Giok Keng, agaknya apa yang berada dalam pikiranku tidak jauh bedanya dengan apa yang sedang kau pikirkan. Aku teringat akan pesanan ayahmu."
Wajah yang memang masih jelas memperlihatkan raut yang cantik itu menjadi sedikit kemerahan, akan tetapi dengan berani Giok Keng mengangkat mukanya memandang. Kembali dua pasang mata bertemu dan melekat. Memang, di saat seperti itu, kata-kata dari mulut tidak lagi banyak artinya, bahkan terasa janggal dan kaku karena sinar mata lebih lancar menyatakan perasaan hati.
"Lalu, bagaimana pendapatmu sendiri?" tanya Giok Keng, pertanyaan yang hanya untuk memecahkan kesunyian yang mendatangkan rasa kikuk baginya itu karena sebenarnya, tanpa bertanya pun dia sudah tahu apa yang menjadi isi hati Kun Liong.
Mereka berdua memang saling mencinta, dan tidak ada kesenangan yang lebih besar dari pada perkenan ayahnya tadi yang bahkan menganjurkan supaya mereka berdua menjadi suami isteri. Membayangkan bahwa mereka berdua akan tinggal dalam satu rumah, akan selalu hidup berdampingan, akan membagi segala sesuatu yang mereka hadapi, dan juga bersama-sama menikmati kesenangan dan bersama-sama pula menanggung penderitaan, sungguh merupakan suatu hal yang amat menghibur dan membahagiakan hati.
"Kau tahu alangkah akan bahagia rasa hatiku kalau kita selalu dapat saling berdekatan. Giok Keng, maukah engkau pergi bersamaku ke Leng-kok?"
Giok Keng mengerutkan alisnya, berpikir sejenak kemudian berkata, "Sebetulnya, apakah bedanya bagi kita tinggal di Leng-kok atau di rumahku di Sin-yang? Di mana pun, asal kita berdua, apa bedanya?"
Yap Kun Liong memegang tangan wanita itu dan menggenggamnya. "Engkau benar, aku meributkan soal-soal yang kecil saja. Jika memang engkau lebih suka tinggal di Sin-yang, aku pun tidak akan menolak tinggal di sana."
Melihat betapa pria itu sudah memperlihatkan sikap mengalah. Giok Keng merasa tidak enak hati juga. Seolah-olah dia masih Cia Giok Keng yang dulu, yang keras hati sehingga kekerasan hatinya itulah yang dulu menggagalkan perjodohannya dengan Kun Liong, dan kekerasan hatinya pula yang mendatangkan atau mengakibatkan segala macam peristiwa hebat.
Teringat akan ini, dia cepat berkata lagi. "Tentang di mana kita tinggal, kita lihat saja nanti. Bagiku, ke mana pun kau pergi dan tinggal, di situ aku merasa betah dan senang, Kun Liong. Akan tetapi, hatiku merasa tidak enak mendengar akan kepergian Ciauw Si yang mencari Bun Houw dan sampai kini belum pulang. Aku mempunyai keinginan untuk lebih dahulu pergi merantau mencari anakku itu sampai dapat. Engkau tentu tahu, Seng-ji dan Ciauw Si sekarang telah menjadi anak-anak yang telah dewasa. Dalam urusan antara kita ini, adalah bijaksana kalau aku lebih dulu memberitahukan kepada mereka. Mengertikah engkau?"
Kun Liong menggenggam tangan itu. Ia mengangguk. "Tepat sekali. Memang semestinya demikian, Giok Keng. Aku pun akan merasa tidak enak apa bila mereka tidak diberi tahu terlebih dulu. Kalau begitu, aku akan membantumu mencari puterimu itu. Dan bagaimana dengan puteramu?"
"Dia akan pulang kalau sudah tamat belajar dari Kok Beng Lama. Dan kurasa sekarang memang sudah tiba saatnya dia akan pulang. Kalau begitu, mari kita pergi mencari Ciauw Si besok. Ayah juga sudah sembuh."
Demikianlah, pada keesokan harinya, Cia Giok Keng dan Yap Kun Liong berpamit kepada kakek Cia Keng Hong untuk pergi mencari Ciauw Si. Kakek tua itu langsung menyatakan persetujuannya. Dalam kesempatan ini, Cia Bun Houw dan Yap In Hong juga berpamit untuk kembali ke selatan.
Karena merasa bahwa dia sudah sembuh, hanya tinggal memulihkan tenaganya saja, Cia Keng Hong sama sekali tidak menahan, bahkan diam-diam dia merasa gembira karena kepergian kedua pasang anak-anaknya itu disertai dengan pancaran kebahagiaan pada wajah mereka! Dia merasa bahagia sekali dan ketika kedua pasang pendekar itu berpamit kemudian pergi, dia mengikuti bayangan mereka berempat dengan pancaran sinar mata penuh kebahagiaan.
Sin Liong yang duduk bersila di dekatnya juga memandang dengan sinar mata sayu. Tak seorang pun di antara mereka tahu betapa anak ini menderita tekanan batin yang cukup hebat, melihat ayah kandungnya pergi tanpa menoleh sedikit pun padanya, bahkan tanpa mengetahui bahwa dia adalah anak kandungnya!
Ingin dia berteriak, ingin dia mengaku akan keadaan dirinya sebelum ayahnya pergi, tapi anak ini tetap duduk bersila dan menggigit bibir untuk menahan dorongan hati yang ingin berteriak itu sampai akhirnya bayangan empat orang itu lenyap di sebuah tikungan.....