Bantuan saluran dana dari para enghiong telah saya salurkan karena beliau butuh biaya cepat untuk kemoterapi, kita doakan sama-sama agar penyakit beliau cepat diangkat. Open Donasi masih tetap akan saya lakukan sampai pertengahan bulan september🙏

Pendekar Lembah Naga Jilid 25

Pada suatu hari, tibalah kakek dan anak tanggung ini di sebuah batu karang. Pada waktu mereka sampai di kaki bukit, dari jauh saja keduanya sudah melihat serombongan orang berjalan terhuyung-huyung dan mereka semua itu terluka seperti serombongan pasukan kecil yang baru saja pulang dari medan pertempuran dengan menderita kekalahan.

Cia Keng Hong yang tidak ingin mencampuri urusan orang lain, lalu menggandeng tangan Sin Liong hendak diajak mengambil jalan lain karena sekelebatan pandang saja dia tahu bahwa orang-orang itu adalah orang-orang kang-ouw atau orang-orang yang mempunyai kepandaian silat dan yang sudah luka-luka karena pertempuran. Orang-orang seperti itu tentulah orang-orang yang selalu mengandalkan kepandaian sendiri dan senang mencari permusuhan atau suka mencari kekerasan, maka dia hendak menjauhkan Sin Liong dari mereka.

"Locianpwe...!"

"Ahhh, agaknya Thian yang menuntun ciangbunjin (ketua) dari Cin-ling-pai ke sini untuk menolong kami...!"

Tiba-tiba belasan orang itu semua menjatuhkan diri berlutut di hadapan Cia Keng Hong! Tentu saja kakek ini menjadi kaget dan tahulah dia bahwa mereka itu telah mengenalnya sehingga tak mungkin dia menyingkir lagi. Karena itu dia pun memandang kepada mereka penuh perhatian.

Akhirnya dia pun teringat bahwa dia mengenal beberapa orang di antara mereka sebagai pendekar-pendekar yang gagah dan bukanlah kaum kasar, melainkan pendekar-pendekar yang suka menolong orang. Maka dengan sikap halus dia pun mendekati dan bertanya kepada mereka,

"Cu-wi sicu (sekalian orang gagah) mengapa menderita luka-luka? Apakah yang sudah terjadi?"

Seorang laki-laki berusia lima puluh tahun yang pundaknya terluka, bajunya robek hingga kulit pundak itu terlihat biru dan lumpuh sebelah lengannya, segera menjawab, "Di puncak bukit ini terdapat seorang gila yang merampas kambing, kuda, sapi, anjing dan binatang apa saja milik penduduk dusun-dusun di sekitar bukit ini untuk dibunuh lantas diganyang mentah-mentah! Orang-orang dusun yang datang kepadanya semua dilukai. Kami yang mendengar ini lalu pergi untuk mengusirnya, namun ternyata orang gila itu lihai dan jahat sekali sehingga kami semua pun kalah dan terluka. Oleh karena itu, demi kepentingan para penghuni dusun-dusun di sekitar tempat ini, kami mohon kebijaksanaan dan keadilan locianpwe untuk mengusir orang gila itu dari daerah ini."

Setelah bercerita, dengan amat tergesa-gesa kakek itu bersama teman-temannya segera bangkit berdiri dan menjura, kemudian pergi meninggalkan tempat itu dengan terhuyung dan terpincang-pincang, seolah-olah mereka masih merasa jeri dan khawatir kalau-kalau orang gila itu mengejar mereka!

Cia Keng Hong mengerutkan kedua alisnya. Dia tidak tertarik untuk mengurusi orang gila! Berapa banyak sih binatang yang sanggup dimakan habis oleh seorang manusia, betapa gila pun dia? Dan biasanya, seorang gila tidak akan mengganggu orang lain kalau tidak lebih dulu diganggu!

Mungkin anak-anak penggembala ternak itu yang lebih dulu mengganggu si gila sehingga menjadi marah-marah. Kalau para pendekar itu tidak mendatangi si gila di atas bukit, jelas bahwa si gila itu tidak akan melukai mereka pula. Dia tidak boleh hanya mendengarkan laporan sefihak lalu membela mereka.

"Sin Liong, mari kita pergi..." Dia menoleh dan pandang mata kakek itu mencari-cari.

Sin Liong tidak ada lagi di tempat itu. Tadi anak itu masih berada di belakangnya dan ikut mendengarkan, akan tetapi ternyata secara diam-diam anak itu telah pergi!

"Sin Liong...!" Dia berseru memanggil, walau pun seruannya itu tidak keras, akan tetapi karena digerakkan oleh khikang maka gemanya terdengar hingga ke tempat jauh, bahkan terdengar sampai ke puncak bukit batu karang itu!

Sunyi saja tidak ada jawaban dari Sin Liong, akan tetapi tiba-tiba terdengar suara tertawa. "Ha-ha-ha-ha!"

Cia Keng Hong terkejut bukan main. Itu bukanlah suara ketawa biasa, melainkan suara ketawa yang juga mengandung khikang sangat kuatnya dan suara itu datang dari atas puncak bukit itu. Dia menjadi khawatir sehingga pendekar sakti yang sudah tua ini cepat mendaki bukit menuju ke puncak. Setelah tiba di puncak, dia melihat hal yang membuat mukanya berubah pucat dan matanya terbelalak.

Di atas puncak itu, di atas batu-batu besar yang permukaannya halus dan dikelilingi oleh puncak-puncak batu karang lainnya yang menjulang tinggi, dia melihat Sin Liong duduk bersila, berhadapan dengan seorang kakek tua renta tinggi besar yang kepalanya gundul, kakek yang membuat pendekar sakti ini memandang bengong karena dia mengenal baik kakek itu yang bukan lain adalah Kok Beng Lama!

Para pembaca cerita Petualang Asmara dan cerita Dewi Maut tentu mengenal baik siapa adanya kakek gundul ini. Kok Beng Lama adalah seorang pendeta Lama dari Tibet yang memiliki kesaktian hebat, dan dia pernah menjadi kepala dari para pendeta Lama Jubah Merah di Tibet. Akan tetapi, sejak puterinya yang bernama Pek Hong Ing, yang menjadi isteri dari pendekar Yap Kun Liong, tewas dibunuh orang, Kok Beng Lama merasa begitu marah dan dukanya sampai dia menjadi tidak waras, otaknya menjadi agak miring!

Kemudian dia dapat sembuh, bahkan dia lalu mewariskan ilmu-ilmunya kepada Lie Seng, cucu dari ketua Cin-ling-pai itu, dan Yap Mei Lan, puteri dari Yap Kun Liong, yang masih terhitung cucu tirinya sendiri karena Yap Mei Lan bukanlah anak Pek Hong Ing, melainkan anak yang lahir dari hubungan gelap antara Yap Kun Liong dan Lim Hwi Sian.

Akan tetapi, ketika Lie Seng dan Yap Mei Lan, kedua orang muridnya yang terakhir itu sudah tamat belajar dan meninggalkan dia, Kok Beng Lama merasa kesepian dan kumat lagi gilanya, maka dia kemudian merantau seperti orang gila dan akhirnya pada hari itu dia berada di atas bukit batu karang, menimbulkan geger dan sampai dia bertemu dengan Cia Keng Hong dan Sin Liong!

Cia Keng Hong memandang bengong pada waktu melihat kakek gundul itu duduk bersila berhadapan dengan Sin Liong sambil tertawa-tawa dan kedua orang itu ternyata sedang bercakap-cakap dengan asyiknya!

"Kakek yang baik, kenapa kau lukai orang-orang itu?" terdengar Sin Liong bertanya.

Kok Beng Lama meraba-raba kepala dan pundak Sin Liong sambil tertawa. "Ha-ha-ha-ha, mereka itu jahat! Mereka itu hendak menghina seorang tua seperti aku. Mereka datang dengan senjata di tangan. Ha-ha-ha-ha, untung mereka bertemu dengan aku yang masih mau mengampuni mereka. Manusia memang jahat dan palsu, tidak seperti binatang yang wajar dan lebih baik."

"Memang binatang lebih baik, kakek," jawab Sin Liong yang teringat akan monyet-monyet besar yang menjadi teman-temannya.

"Ha-ha-ha, bagus, bagus! Engkau binatang cilik yang baik sekali."

"Dan engkau seperti monyet tua yang pernah merawatku."

"Hu-huh-huh, memang aku monyet. Monyet gundul. Dan kau... ehhh, siapa namamu?"

"Sin Liong."

"Bagus! Engkau seekor naga. Bukan ular, naga lain lagi. Kalau ular sih seperti manusia, kadang-kadang licik dan curang. Kalau naga tidak, kau naga cilik yang menyenangkan. Semua orang takut padaku, tapi kau tidak, naga cilik."

"Aku kasihan kepadamu, kek."

"Kenapa kasihan? Heiii, hayo katakan, kenapa kau kasihan, naga cilik?"

"Karena semua orang menghinamu, mengatakan kau gila."

"Memang aku gila! Apakah kau tidak gila?"

"Aku... aku..." Sin Liong menjadi bingung, tetapi dia benar-benar merasa kasihan kepada kakek yang seperti dia ini, yang hidup sebatang kara, maka dia hendak menyenangkan hatinya. "Aku juga gila."

"Ha-ha-ha, bagus, bagus! Kita berdua orang-orang gila! Persetan dengan mereka yang menganggap diri sendiri tidak gila!"

Kakek itu bangkit berdiri, kedua tangannya yang berlengan panjang menyambar tubuh Sin Liong kemudian melontar-lontarkan tubuh anak itu ke atas sampai tinggi sekali! Sin Liong maklum akan kesaktian kakek itu, karena itu dia pun tidak mau mengeluh, juga tidak mau memperlihatkan rasa takut.

Cia Keng Hong khawatir kalau-kalau kakek gila itu akan mencelakai Sin Liong, maka sekali tubuhnya berkelebat, dia sudah meloncat tinggi dan menyambar tubuh Sin Liong ketika untuk ke sekian kalinya dilontarkan ke atas Kok Beng Lama! Setelah menurunkan Sin Liong yang berdiri di belakangnya, Cia Keng Hong kini berdiri berhadapan dengan Kok Beng Lama dan ketua Cin-ling-pai itu menjura dengan hormat.

"Sahabat baik Kok Beng Lama, apakah selama ini engkau baik-baik saja?" Cia Keng Hong berkata.

Kakek gundul itu memandang dengan matanya yang lebar terbelalak, kelihatan dia amat terkejut dan tercengang, lalu menjura dengan kaku dan berkata, "Aih... kiranya... Cia Keng Hong ketua Cin-ling-pai! Silakan duduk."

Kakek gundul ini pun lalu duduk bersila di atas batu, dan melihat ini, tentu saja Cia Keng Hong juga duduk bersila, berhadapan dengan kakek Lama dari Tibet itu.

Sin Liong berdiri dan kini dia memandang bengong kepada kakek sakti yang selama ini membawanya melakukan perjalanan itu. Cia Keng Hong, ketua Cin-ling-pai? Dia teringat akan pesan ibu kandungnya, Cia Keng Hong, ketua Cin-ling-pai ini adalah kakeknya, ayah dari Cia Bun Houw, ayahnya, ayah kandungnya! Jadi kakek yang telah menolongnya dari tangan iblis betina Kim Hong Liu-nio ini, yang kemudian membawanya, adalah kakeknya sendiri!

Tiba-tiba Sin Liong yang berdiri bengong itu terkejut ketika melihat perubahan pada wajah si kakek gundul. Matanya menjadi merah dan mulutnya yang bersembunyi di balik kumis dan jenggot putih itu menyeringai. Agaknya kakek gundul itu kumat lagi gilanya! Cia Keng Hong juga melihat ini, maka dia cepat-cepat bertanya, suaranya tetap halus,

"Kok Beng Lama, di manakah cucuku Lie Seng dan Yap Mei Lan? Mengapa aku tidak melihat mereka?"

Sungguh tak disangka sama sekali oleh Cia Keng Hong bahwa pertanyaannya itu malah merupakan minyak bakar disiramkan kepada api kegilaan yang mulai bernyala di dalam otak Kok Beng Lama itu. Kegilaan kakek gundul ini menjadi kumat sesudah dua orang muridnya itu pergi karena dia merasa kesepian dan rindu, dan sekarang kata-kata ketua Cin-ling-pai itu justru mengingatkan dia pada dua orang yang dicintanya itu! Maka makin merahlah mata itu, makin melotot dan sekarang ditujukan kepada Cia Keng Hong dengan penuh kebencian. Tiba-tiba kakek gundul itu tertawa bergelak.

"Ha-ha-ha, Cia Keng Hong, ketua Cin-ling-pai! Anakku tercinta mati karena puterimu, dan aku masih saja mendidik puteramu mendidik cucumu! Wah, sekarang cucumu juga pergi meninggalkan aku! Aku menderita sengsara dan berduka karena kau, maka kau harus bertanggung jawab sekarang! Ha-ha-ha, aku paling suka mengadu ilmu dan di dunia ini siapa yang dapat menandingi aku kecuali ketua Cin-ling-pai? Hayo, Cia Keng Hong, hari ini kita membuat perhitungan terakhir, ha-ha-ha!"

Cia Keng Hong terkejut sekali dan mengerutkan alisnya. Celaka, pikirnya, kakek gundul ini sudah gila. Tentu saja dia langsung menolak dan mengangkat kedua tangan ke atas, menggoyang-goyangnya. "Jangan, Kok Beng Lama, jangan! Di antara kita tidak terdapat permusuhan, bahkan terikat persahabatan dan persaudaraan yang kekal, bukan?"

"Ha-ha-ha, justru aku ingin mati dalam tangan seorang yang ternama seperti kau, bukan di tangan segala macam anjing busuk seperti belasan orang tadi. Hayo, lekas sambutlah seranganku ini, Cia Keng Hong, ketua Cin-ling-pai!"

Sesudah berkata demikian, tiba-tiba kakek gundul itu sambil tertawa lalu menggerakkan kedua tangannya ke depan dan angin pukulan yang amat hebatnya menyambar dahsyat ke depan, menyerang ke arah Cia Keng Hong! Kakek ketua Cin-ling-pai ini memang telah mengangkat kedua tangan ketika menggoyang-goyang tangan untuk menolak tantangan tadi. Melihat serangan yang dapat mencabut nyawanya itu, dia terkejut sekali dan cepat dia pun mendorongkan kedua lengannya ke depan untuk menyambut.

Hebat sekali pertemuan dua tenaga sakti itu. Jarak antara tangan kedua orang kakek ini masih ada setengah meter, namun tenaga yang bertemu antara kedua pasang tangan itu sedemikian dahsyatnya sehingga segala sesuatu di sekitar tempat itu bagaikan tergetar hebat.

Bahkan Sin Liong sendiri sampai terpental lantas bergulingan ke belakang. Akan tetapi, anak ini sudah cepat bangkit kembali dan berdiri menonton dengan mata terbelalak. Kalau tadinya dia merasa suka kepada Kok Beng Lama dan diam-diam mengasihani kakek itu, kini dia berfihak kepada kakeknya itu.

Dia merasa khawatir sekali. Dia tidak tahu apa yang telah dan sedang terjadi, akan tetapi dia dapat menduga bahwa antara kedua orang kakek yang duduk bersila dan meluruskan kedua lengan itu pasti sedang terjadi pertandingan yang amat aneh dan hebat.

Dia melihat betapa wajah Kok Beng Lama kelihatan gembira dan mulutnya menyeringai seperti hendak mentertawakan ketua Cin-ling-pai itu, sebaliknya Cia Keng Hong kelihatan prihatin sekali. Dia tahu bahwa kakek gundul itulah yang tadi memaksa kakeknya untuk bertanding.

"Jangan berkelahi...!" Sin Liong berseru.

Akan tetapi dua orang kakek itu sama sekali tak mempedulikannya. Kok Beng Lama yang sedang dilanda kegembiraan besar karena dia dapat mengadakan pertandingan melawan seorang yang amat lihai itu tentu saja sudah melupakan Sin Liong, sebaliknya, meski pun Cia Keng Hong mendengar seruan Sin Liong, akan tetapi dia tak dapat berbuat apa-apa.

Tidak mungkin dia menghentikan perlawanannya, karena hal itu berarti bahwa dia akan tewas. Juga amat membahayakan dirinya bila membagi perhatian kepada Sin Liong. Dia merasa betapa tenaga sakti kakek gundul itu makin lama makin kuat menghimpitnya dan sudah beberapa kali mencoba untuk mendesak tenaga perlawanannya. Oleh karena itu, Cia Keng Hong lalu cepat mengerahkan tenaga mukjijat Thi-khi I-beng!

"Ha-ha-ha, Thi-khi I-beng, ya? Bagus, aku memang ingin merasakan kehebatannya!" Kok Beng Lama berseru sambil tertawa.

Tentu saja hal ini sangat mengejutkan hati Cia Keng Hong karena pendekar ini maklum betapa berbahayanya bagi Kok Beng Lama yang berani bicara dalam keadaan mengadu tenaga seperti itu. Ternyata kakek gundul itu sudah tidak lagi memperhitungkan bahaya.

"Kok Beng lama, perlu apa kita bertanding? Hentikanlah!" serunya.

Akan tetapi jawaban kakek gundul itu hanya suara tertawanya dan desakan tenaga yang lebih kuat lagi. Terpaksa Cia Keng Hong juga mengerahkan tenaganya dan tidak berani bicara lagi karena yang dibadapinya adalah bahaya maut, bukan main-main.

"Hentikan! Jangan berkelahi!" Sin Liong kini melangkah menghampiri kedua orang kakek yang sedang mengadu tenaga sakti itu.

Melihat ini, Cia Keng Hong merasa khawatir sekali, akan tetapi karena tenaga lawan amat kuat mendesak maka dia pun tak berani membagi perhatian dan diam saja, mencurahkan perhatian dan tenaganya untuk mempertahankan dan melindungi dirinya sendiri.

Karena berkali-kali dia berteriak tanpa dipedulikan orang, juga melihat betapa sekarang dari kepala dua orang kakek itu mengepul uap putih, Sin Liong menjadi makin khawatir dan dengan nekat dia lalu meloncat ke tengah-tengah antara kedua orang kakek itu untuk memisahkan mereka!

Hampir saja Cia Keng Hong berteriak saking kagetnya karena apa yang dilakukan oleh anak itu benar-benar amat berbahaya. Akan tetapi dia sendiri tidak mampu menolongnya, karena sedikit saja dia mengurangi tenaganya, maka dia akan celaka, apa lagi menarik tenaganya yang mempertahankan diri itu. Keadaannya seperti orang yang menggunakan kedua tangan menahan gencetan benda yang amat berat, apa bila tenaganya berkurang sedikit saja tentu benda itu akan menggencetnya sampai hancur.

Sin Liong sendiri kaget setengah mati karena begitu dia meloncat masuk, tiba-tiba saja tubuhnya bagaikan disedot oleh tenaga yang luar biasa kuatnya sehingga dia tertarik dan tiba-tiba saja dia sudah jatuh terduduk di tengah antara kedua orang kakek itu, duduknya menghadapi Cia Keng Hong dan membelakangi Kok Beng Lama. Tubuh anak itu tergetar hebat seperti terkena aliran tenaga yang luar biasa.

Ketika melihat betapa kedua telapak tangan yang lebar dari Kok Beng Lama menyentuh punggung anak itu, Cia Keng Hong yang tadinya agak menarik sepasang tangannya saat Sin Liong meloncat masuk, kini cepat-cepat dia mengulurkan tangannya menempel pada pundak anak itu. Dia segera merasa betapa tenaga amat dahsyat dari Kok Beng Lama menyerangnya melalui anak itu, maka dia pun seperti mempertahankan dan mengimbangi kekuatan itu sehingga tenaga keduanya kini saling bertanding melalui tubuh Sin Liong.

Sin Liong merasa tersiksa bukan main. Dia sukar untuk bernapas, dan hawa panas dingin bergantian menyerang tubuhnya yang kadang terdorong ke belakang atau ke depan oleh dua tenaga dahsyat yang saling dorong di depan dan belakangnya itu.

Dia tidak ingin membantu siapa pun, karena dia kasihan kepada kakek gundul yang gila, akan tetapi dia juga tentu saja bersimpati kepada kakeknya itu. Selain itu, andai kata dia ingin membantu sekali pun, bagaimana mungkin dia bisa membantu? Dia hanya melerai, akan tetapi siapa kira, dia malah terseret dan terhimpit tak dapat terlepas lagi.

Sama sekali dia tidak sadar bahwa tanpa diketahuinya, dia sudah membantu Kok Beng Lama karena dia duduk berhadapan dengan kakeknya itu! Biar pun Sin Liong tidak mau membantu, akan tetapi di dalam tubuhnya terdapat hawa mukjijat yang timbul karena dia pernah keracunan Hui-tok-san yang kemudian dibikin punah oleh racun-racun ular hingga timbul semacam tenaga mukjijat di dalam tubuhnya.

Tenaga inilah yang serentak bangkit dan melakukan perlawanan ketika tubuhnya dialiri dua tenaga dahsyat itu, dan karena dia duduk menghadap Cia Keng Hong, maka tentu saja perhatiannya ditujukan ke depan dan otomatis tenaga mukjijat di dalam tubuhnya itu juga meluncur ke depan! Tanpa disadarinya sendiri, tenaga ini membantu Kok Beng Lama dan menyerang Cia Keng Hong!

Ketika ketua Cin-ling-pai merasa betapa ada tenaga yang amat kuat, seolah-olah tenaga kakek gundul itu menjadi bertambah besar, menyerangnya dan mendorongnya sehingga dia mendoyong ke belakang, dia menjadi terkejut sekali dan cepat dia lalu mengerahkan tenaga Thi-khi I-beng untuk menyedot.

Kini giliran Kok Beng Lama yang merasa terkejut ketika tiba-tiba tenaganya yang sangat kuat itu membanjir keluar tanpa mampu diremnya lagi. Cepat dia mengubah tenaganya, mempertahankan dan kini berubahlah sifat pertandingan itu. Kalau tadi kedua orang sakti itu mengerahkan sinkang untuk saling mendorong dan mengadu kekuatan untuk saling merobohkan, sekarang Cia Keng Hong menggunakan Thi-khi I-beng menyedot sedangkan pendeta Lama itu mempertahankan!

Kembali Sin Liong yang menjadi sasaran utama dan yang paling hebat menderita! Anak ini merasa betapa tubuhnya kadang-kadang seperti kosong dan kering tersedot, lalu terisi kembali oleh tenaga dari Kok Beng Lama, seakan-akan dia sebentar mati sebentar hidup kembali, wajahnya sebentar pucat sebentar merah. Dia mengeluh panjang pendek, akan tetapi untuk melepaskan diri dia tidak sanggup, biar pun dia telah beberapa kali berusaha untuk bergerak dan keluar dari dalam himpitan itu.

Melihat hal ini, maklumlah Cia Keng Hong bahwa anak ini terancam bahaya maut. Akan tetapi, kakek sakti ini pun memperoleh kenyataan yang amat luar biasa, yaitu bahwa anak itu sama sekali tidaklah asing dengan tenaga sakti! Tahulah dia bahwa tadi tenaga Kok Beng Lama menjadi berlipat ganda karena memperoleh tambahan tenaga dari anak ini!

Tahulah kakek ini bahwa Sin Liong betul-betul merupakan anak luar biasa, yang mungkin karena sesuatu hal yang tidak disadarinya sendiri oleh anak itu, telah mempunyai sinkang yang aneh. Kalau saja dia dapat mempergunakan sinkang anak itu untuk membantunya, tentu Kok Beng Lama akan kalah dan anak ini akan selamat.

Keselamatan anak inilah yang penting baginya, anak ini masih kecil, masih berhak untuk hidup lebih lama lagi. Sedangkan dia dan Kok Beng Lama adalah dua orang kakek tua renta yang hanya tinggal menghitung hari saja, yang tinggal menanti kematian yang tentu tidak akan lama lagi karena mereka sudah tua. Pikiran untuk menyelamatkan anak inilah yang membuat Cia Keng Hong kemudian berbisik-bisik, membuka rahasia pelajaran untuk mengerahkan tenaga sakti di dalam tubuh, membangkitkan tenaga dahsyat dengan Ilmu Thi-khi I-beng!

Sin Liong sudah hampir pingsan, berada dalam keadaan antara sadar dan tidak. Akan tetapi dia adalah seorang anak yang luar biasa, memiliki daya tahan yang besar berkat penderitaan yang terlalu sering dialaminya semenjak dia masih bayi, dan karena pernah hidup bersama monyet-monyet yang perasaannya tajam sekali dan peka terhadap segala sesuatu yang terjadi, memiliki naluri halus dan dekat dengan alam, maka walau pun dia dalam keadaan tersiksa, dia dapat mencurahkan perhatian terhadap bisikan-bisikan kakek sakti yang sesungguhnya adalah kakeknya sendiri itu.

Mula-mula pening juga kepala Sin Liong mendengarkan kakek itu menyebut-nyebut hiat-to (jalan darah) yang bermacam-macam itu. Dia tidak tahu di mana adanya koan-goan-hiat, ci-kiong-hiat, thian-ti-hiat dan lain-lain. Akan tetapi ketika dengan teliti dan sabar Cia Keng Hong memberi penjelasan, maka perlahan-lahan anak itu mulai mengerti dan mulailah dia mengatur pernapasan menurutkan petunjuk kakek itu, menahan napas dan menggerakkan hawa dari pusarnya.

Memang Sin Liong memiliki bakat yang amat hebat, dan juga Cia Keng Hong memang hendak menolongnya dan sudah mengambil keputusan untuk mewariskan Thi-khi I-beng kepada anak ini, maka perlahan-lahan muncullah tenaga sedot dari dalam tubuh anak itu yang makin lama makin kuat!

"Oohhhh...!" Kok Beng Lama terkejut sekali ketika pertahanannya mulai jebol dan tenaga sinkang-nya perlahan-lahan mulai mengalir keluar melalui kedua telapak tangannya yang masih menempel di punggung Sin Liong!

Akan tetapi, karena bocah itu belum dapat menguasai Thi-khi I-beng secara sempurna, meski pun tubuhnya sudah dapat mengeluarkan daya sedot, akan tetapi dia belum dapat mengalirkan sinkang-nya yang memasuki tubuhnya itu keluar melalui kedua tangan Cia Keng Hong, melainkan berkumpul dengan hawa pusarnya dan berputar-putar di seluruh tubuhnya, makin lama makin cepat putaran itu sehingga menimbulkan daya sedot yang makin kuat!

Terjadilah hal yang sangat aneh. Cia Keng Hong juga mengeluh karena kini dia merasa betapa tenaga sinkang-nya sendiri pun tersedot masuk ke dalam tubuh Sin Liong melalui kedua tangannya!

Ternyata dia sudah mempergunakan seluruh tenaga untuk saling tarik dengan tenaga Kok Beng Lama, maka ketika muncul tenaga baru ke tiga dari Sin Liong yang juga memiliki daya sedot, dia sendiri tak berani membagi tenaga untuk bertahan sebab membagi tenaga berarti mengurangi tenaga melawan Kok Beng Lama dan hal itu amatlah berbahaya.

Oleh karena itu, kakek ketua Cin-ling-pai ini terpaksa membiarkan tenaganya pelan-pelan keluar dan mengalir masuk ke dalam tubuh anak yang baru saja diajari ilmu Thi-khi I-beng itu! Sama halnya dengan senjata makan tuan!

Akan tetapi, yang keadaannya paling hebat adalah Kok Beng Lama. Sekarang tenaga sinkang-nya keluar seperti membanjir memasuki tubuh Sin Liong, tidak dapat dibendung atau ditahannya lagi.

Cia Keng Hong tidak sadar akan hal ini. Kalau dia tahu tentu dia tidak perlu membiarkan tenaganya sendiri juga turut tersedot. Maka dia hanya memejamkan mata, membiarkan tenaganya sedikit demi sedikit tersedot, sedangkan dia tetap melanjutkan perlawanannya terhadap Kok Beng Lama.

Kalau dua orang kakek itu terkejut oleh kenyataan betapa sinkang mereka terus tersedot, adalah Sin Liong yang paling repot dan paling menderita. Dia merasa betapa tubuhnya seperti sebuah balon karet yang ditiup terus melampaui takaran, dia merasa seolah-olah tubuhnya menggembung besar dan penuh, matanya berkunang dan melihat warna merah kuning, napasnya sesak dan setiap kali membuka mata, dia melihat dunia seperti kiamat, seperti kebakaran!

Maka dia cepat memejamkan matanya kembali dan diam-diam dia menyesal mengapa dia tadi mempelajari ilmu setan yang diajarkan oleh kakek itu. Untuk menghilangkan ilmu itu sudah tidak mungkin lagi karena tanpa disadarinya sendiri hawa di tubuhnya sudah terus berputar-putar dan terus dibanjiri tenaga dari belakang dan dari depan!

"Auhh... sudah... sudah...!" Berkali-kali Sin Liong mengeluh.

Akan tetapi kedua orang kakek itu tidak mampu berbuat apa pun. Kok Beng Lama yang merasa amat terkejut itu melihat bahwa dia sudah terlambat untuk melepaskan diri, kedua tangannya sudah melekat dan tenaganya sudah terus membanjir keluar! Dia menyangka bahwa itulah kehebatan dari tenaga dalam Cia Keng Hong.

"Cia Keng Hong... kau... kejam...!" Dia mengeluh dan terpaksa hanya melihat saja betapa tenaganya semakin lama semakin habis, seolah-olah tubuhnya yang tua itu mulai dihisap kering, laksana seekor laba-laba menghisap kering semua cairan dari tubuh seekor lalat yang telah tertawan dalam sarangnya.

Akan tetapi, Cia Keng Hong sendiri pun tidak tahu akan hal ini. Disangkanya bahwa Kok Beng Lama sudah mengetahui rahasia Thi-khi I-beng dan kini dia bahkan mulai merasa betapa dia terancam maut di tangan kakek gundul itu.

Maka dia terus saja mempertahankan! Jika saja tidak terjadi kesalah fahaman ini, kiranya kedua orang kakek itu masing-masing akan dapat menghentikan sinkang mereka yang diarahkan keluar, dan dapat terbebas dari sedotan hawa aneh yang berputaran di dalam tubuh anak itu.

"Ouhhh... Cia Keng Hong... selamatkan anak ini...!" itulah keluhan terakhir dari Kok Beng Lama yang pada saat-saat terakhir telah waras kembali ingatannya dan dia masih dapat meninggalkan pesan agar menyelamatkan bocah yang tadi memperlihatkan sikap ramah kepadanya. Setelah berkata demikian, pendeta Lama ini menarik napas panjang sekali lalu tubuhnya menjadi lunglai kehabisan tenaga.

Setelah pendeta Lama itu kehabisan tenaga, barulah Cia Keng Hong terkejut bukan main. Barulah dia tahu bahwa sejak tadi, tenaganya sendiri pun tersedot ke dalam tubuh anak itu, sama sekali bukan untuk menahan serangan Kok Beng Lama! Dan pendeta Lama itu agaknya juga kehabisan tenaga bukan untuk bertanding dengannya, namun habis akibat tersedot oleh anak itu.

"Aihhhh...!" Ketua Cin-ling-pai itu mengerahkan tenaganya yang tinggal setengahnya itu, membuat gerakan menarik sehingga kedua tangannya dapat terlepas dari kedua pundak Sin Liong.

Dia meloncat berdiri dengan tubuh lemas dan bergoyang-goyang, mukanya pucat sekali karena hampir setengah dari tenaganya juga sudah amblas! Dia mengalami luka di dalam tubuhnya, biar pun tidak terlalu berbahaya tetapi membutuhkan waktu untuk memulihkan kesehatannya. Ketika dia memandang lagi, kini tubuh Kok Beng Lama yang masih duduk bersila ternyata telah tidak bernyawa lagi!

"Celaka...!" keluhnya. "Sin Liong, bangkitlah engkau!"

Sin Liong tadinya bersila, kedua matanya terpejam, mukanya merah sekali dan napasnya kadang-kadang berhenti, kadang kala terengah. Mendengar ucapan ini, dia menggerakkan kepalanya dan menengadah, membuka mata.

Terkejutlah Cia Keng Hong melihat sepasang mata yang mencorong seperti mata seekor naga sakti dalam dongeng itu! Dan tiba-tiba saja tubuh anak itu meloncat dan... tubuhnya mencelat ke atas dengan cepatnya.

"Aahhhhh... tolong, locianpwe...!"

Ternyata ketika meloncat bangun tadi, otomatis Sin Liong menggunakan tenaganya. Akan tetapi dia tidak tahu bahwa pada saat itu tenaga sinkang-nya sudah amat kuat memenuhi tubuhnya sehingga begitu dia menggerakkan syaraf-syarafnya, tenaga ini bangkit bekerja dan akibatnya tubuhnya mencelat seperti kilat ke atas tanpa dapat diremnya lagi.

Tubuhnya meluncur deras ke arah sebuah puncak bukit batu karang dan untung baginya bahwa dia sudah biasa berloncatan dan memiliki kesigapan seekor monyet, maka walau pun dia terkejut sekali dan minta tolong, tapi kedua tangannya masih dapat menyambar ke depan dan dia dapat berpegang kepada ujung batu karang lalu berjungkir balik, tidak sampai terbanting pada batu karang.

Sin Liong berdiri di atas batu karang itu dengan mata terbelalak. Tubuhnya masih terasa menggelembung besar, hampir meledak rasanya, dan tubuhnya terasa demikian ringan seolah-olah hembusan angin pun akan bisa membuat tubuhnya melambung tinggi seperti sebuah balon karet penuh hawa!

Cia Keng Hong memandang ke atasan anak itu. Anak itu telah mengoper semua tenaga sinkang dari dalam tubuh Kok Beng Lama, yang telah tewas dalam keadaan bersila itu, bahkan, telah menyedot setengah dari tenaganya sendiri! Aneh sekali bagaimana anak itu masih dapat hidup!

"Turunlah, jangan meloncat, berjalan saja dengan hati-hati!" kata Cia Keng Hong.

Akan tetapi pada saat itu Sin Liong sudah merasa demikian tersiksa sehingga dia seperti tidak lagi mendengar suara kakek itu. Siksaan amat hebat dideritanya. Tubuhnya terasa panas semua seolah-olah dia dipanggang di atas api bernyala-nyala. Lebih tersiksa dari pada ketika dia teracun oleh Kim Hong Liu-nio yang menggunakan Hui-tok-san, bahkan lebih tersiksa dari pada ketika dia dijemur dan dikeroyok burung gagak.

Panas yang dirasakan sekarang adalah panas dari dalam, yang mendadak dapat berubah jadi dingin sampai seluruh tubuh terasa seperti ditusuki ribuan batang jarum. Isi perutnya bagaikan diremas-remas, kepalanya seperti hampir meledak, telinganya terngiang-ngiang, matanya pedas dan perih, pendeknya, seluruh tubuhnya terasa sakit-sakit sampai hampir tak tertahankan lagi. Dan celakanya, itulah. Kalau dia tidak tahu, pingsan atau mati, dia akan terbebas dari siksaan. Celakanya dia pingsan tidak mati pun tidak dan semua derita itu dapat dirasakannya.

Dia memandang kepada kedua tangannya. Begitu dia memandang tangannya dan jalan pikirannya ditujukan kepada kedua tangan ini, maka otomatis tenaga sakti yang dahsyat mengalir ke arah kedua tangannya dan Sin Liong merasa betapa kedua tangannya itu tergetar hebat dan terasa panas-panas, gatal-gatal dan seolah-olah kedua tangan dengan sepuluh jarinya itu dibakar dalam api, digigiti semut-semut berbisa dan nyerinya bukan kepalang.

"Setan...!" Dia memaki, kemudian dengan kedua tangannya itu dia menghantam batu di sampingnya, kanan kiri.

"Pyarrrr! Pyarrrrr...!"

Sin Liong terbelalak memandang pecahan-pecahan batu yang berhamburan disambar oleh kedua tangannya itu. Sejenak dia memandangi kedua tangannya dengan mata terbelalak. Kepalanya menjadi pening dan otomatis kedua tangan itu memegang kepalanya.

Aku telah gila, pikirnya. Tak mungkin hanya dengan sekali tampar saja tangannya berhasil menghancurkan batu! Akan tetapi dia teringat betapa kedua tangannya yang tadinya terasa nyeri bukan main itu menjadi berkurang nyerinya ketika dipakai menghantam batu. Maka dia segera turun dari atas batu karang itu, lantas menggunakan kedua tangannya menghantam ke sana-sini, menghantami batu-batu besar yang berserakan di tempat itu.

Terdengar suara-suara keras dan batu-batu itu remuk dan pecah berhamburan setiap kali terkena hantaman kedua tangannya. Sin Liong merasa betapa kedua tangan itu makin lama makin enak, tidak nyeri-nyeri lagi seperti tadi, bahkan makin hebat dia mengamuk memukuli batu-batu itu, sesak napasnya berkurang dan pening kepalanya juga mereda.

Oleh adanya kenyataan ini, Sin Liong makin mengamuk, semakin hebat menggerakkan kedua tangannya, bahkan juga kedua kakinya, untuk memukul dan menendang batu-batu di sekelilingnya. Anehnya, batu-batu itu hancur tetapi kaki tangannya tidak merasa nyeri. Dia sendiri keheranan, seperti melihat sulapan saja.

Akhirnya dia kelelahan dan duduk terengah-engah, tenaganya masih terus mendorongnya untuk bergerak, akan tetapi napasnya hampir putus dan di dalam dadanya terdapat hawa yang menggelora dan bergerak-gerak berputaran membuat dia seperti mau berpusing.

Tiba-tiba dia melihat berkelebatnya bayangan orang dan tahu-tahu Cia Keng Hong telah berada di depannya.

"Kau diamlah, aku akan mencoba mengobatimu," kata kakek itu.

Dan dia lalu mengulurkan kedua tangannya menempel di kedua pundak Sin Liong sambil mengerahkan tenaga Ilmu Thi-ki-i-beng! Cia Keng Hong maklum apa yang terjadi pada anak ini. Anak ini penuh dengan hawa sakti yang kalau dibiarkan saja tentu semua isi dadanya akan hancur atau luka-luka, maka dia akan menyedot hawa murni dan kuat itu dengan Thi-khi I-beng.

"Ahhh...!" Cia Keng Hong terkejut dan cepat dia menggerakkan tangannya terlepas dari kedua pundak Sin Liong.

Baru saja kedua tangannya menempel tadi, bukan dia yang menyedot, bahkan lagi-lagi dialah yang tersedot! Dan dia kalah kuat! Celaka, tanpa disadarinya bocah ini mempunyai tenaga sinkang yang luar biasa sekali dan satu kali diajari Thi-khi I-beng, tenaga sedotnya itu terus-menerus bekerja!

"Kau jangan melawan, matikan semua gerakan dan pusatkan pikiranmu, jangan melawan, kendurkan semua, jangan kau ingat lagi pelajaran yang kuajarkan kepadamu tadi!" kata Cia Keng Hong.

Sin Liong mengerti, maka dia mengangguk-angguk, masih terengah-engah. Kemudian dia merasa betapa tangan kakek itu kembali menempel di pundaknya dan dia mengosongkan pikirannya. Perlahan-lahan dia merasa betapa hawa yang mengamuk di dalam dadanya itu mulai berkurang. Dan memang dengan Thi-khi I-beng Cia Keng Hong mulai menyedot kelebihan hawa itu.

Akhirnya, setelah dia merasa betapa tenaganya sendiri pulih, kakek itu lalu menghentikan sedotan itu dan melepaskan kedua tangannya. Dia telah sembuh, dan anak itu kini hanya memiliki sinkang dari Kok Beng Lama yang telah diopernya tanpa disadarinya itu.

"Bagaimana rasanya tubuhmu?" tanya Cia Keng Hong.

Sin Liong mengangguk. "Sudah agak baik... tapi masih mau muntah..." Dia bangkit berdiri dan terhuyung.

"Sin Liong, tahukah engkau apa yang telah terjadi?"

Anak itu menggeleng kepalanya. "Saya melihat locianpwe melakukan pertandingan aneh dengan kakek gundul itu... ahhh, bagaimana dengan dia?"

"Mari kita turun dan lihat," kata Cia Keng Hong, lalu dengan hati-hati dia menggandeng tangan Sin Liong karena anak ini masih terhuyung-huyung dan jika dibiarkan turun sendiri dari puncak tentu akan terjatuh ke bawah. Setelah tiba di bawah, mereka melihat tubuh Kok Beng Lama masih duduk bersila. 

Sin Liong melihat betapa wajah kakek gundul itu aneh sekali, sepasang matanya masih terbuka akan tetapi pandang matanya kosong. Dia merasa bahwa ada sesuatu yang luar biasa pada tubuh tinggi besar yang duduk bersila itu, maka dia bertanya.

"Apakah dia tidak... apa-apa?"

Cia Keng Hong menarik napas panjang. "Dia telah tewas..."

Sin Liong terbelalak dan otomatis kakinya bergerak, tahu-tahu tubuhnya telah ‘melayang’ ke arah kakek gundul itu dan begitu tangannya menyentuh pundak kakek itu, mayat itu langsung tergelimpang. 

"Ahhh...!" Sin Liong membalikkan tubuhnya, memandang pada kakek sakti yang ternyata adalah kakeknya sendiri itu. "Locianpwe... telah... membunuhnya?"

Cia Keng Hong menggeleng kepalanya. "Bukan aku yang membunuhnya."

"Habis siapa? Mengapa dia mati?"

Kembali kakek itu menarik napas panjang. "Kami berdua tadi sedang mengadu sinkang, maksudku... dia memaksaku untuk melindungi diriku karena dia tadi menyerangku dengan sinkang. Lalu kau tiba-tiba masuk di antara kami hingga kau terseret. Engkau terancam bahaya maut, maka aku mengajarkan Thi-khi I-beng kepadamu. Dan tanpa kau sadari, juga tanpa kusadari, ternyata semua hawa sinkang di tubuhnya telah berpindah ke dalam tubuhmu, membuat dia tewas..."

Sin Liong menggigil dan kembali dia menoleh, memandang kepada tubuh yang telah tak bernyawa itu, dan tiba-tiba kedua matanya mengalirkan beberapa butir air mata. Kakek gila yang patut dikasihani. Dan dia yang membunuhnya!

"Locianpwe mengajarkan saya ilmu iblis untuk membunuhnya!"

Cia Keng Hong menggelengkan kepalanya.

"Dia sendiri yang salah... ahhh, dalam usia setua itu kambuh kembali penyakit gilanya... sungguh patut dikasihani..."

"Tetapi locianpwe mengajarkan Ilmu Mencuri Hawa Memindahkan Nyawa! Dan dia mati karena saya! Ahh, locianpwe telah mengajarkan saya menjadi pembunuh orang yang tak berdosa!"

"Tidak, Sin Liong. Aku mengajarkan Thi-khi I-beng padamu hanya untuk menyelamatkan nyawamu yang tadi terancam bahaya. Kok Beng Lama meninggal dunia akibat kesalahan dia sendirii dan memang dia sedang kumat gilanya, dan dia sudah tua. Engkau tidak membunuh, apa lagi karena hal itu terjadi di luar kesadaranmu, di luar pengetahuanmu."

"Tapi... tapi dia mati karena saya..." Sin Liong merasa menyesal bukan main.

Apa lagi sekarang tubuhnya masih juga terasa tidak karuan, masih sakit-sakit dan penuh dengan hawa yang bergerak-gerak mengerikan. Lebih-lebih sekarang, sesudah dia tahu bahwa yang terus bergerak-gerak di dalam tubuhnya itu adalah hawa sinkang dari kakek gundul itu yang telah berpindah ke dalam tubuhnya, dia merasa ngeri dan seram bukan main, seolah-olah nyawa kakek gundul itu telah memasuki jasmaninya!

"Sudahlah, Sin Liong. Dari pada engkau meributkan hal-hal yang sudah terjadi di luar kesadaranmu, lebih baik kau membantu aku menguburkan jenazah Kok Beng Lama. Kau tidak tahu siapa dia. Dia adalah seorang tokoh besar di dunia persilatan. Kepandaiannya luar biasa sekali sehingga aku pun tadi hampir saja celaka dan kalah olehnya bila engkau tidak masuk di antara kami. Dan dia itu adalah guru dari putera saya sendiri, bahkan guru dari cucu saya sendiri, jadi dia bukanlah musuhku. Hal ini perlu kuberitahukan agar kau tidak salah duga, Sin Liong. Aku sama sekali tidak bermusuhan dengannya, apa lagi ingin membunuhnya!"

Sin Liong memandang dengan jantung berdebar. Kakek tua ini adalah ketua Cin-ling-pai, kakek ini adalah kongkong-nya sendiri! Dan kakek gundul tadi adalah guru dari putera kongkong-nya, berarti guru dari ayahnya, ayah kandungnya! Akan tetapi karena masih meragukan kebenaran hal luar biasa ini, dia lalu bertanya,

"Dia... dia itu guru putera locianpwe, siapakah putera locianpwe itu?"

Pertanyaan itu terdengar sepintas lalu saja, maka tidak menimbulkan kecurigaan dalam hati Cia Keng Hong yang menarik napas panjang lagi.

"Ahhh, puteraku itu bernama Cia Bun Houw..." Lalu kakek itu termenung karena sampai sekarang hatinya masih terluka oleh kepergian Bun Houw yang tiada kabar ceritanya itu.

Mendengar ini, maka yakinlah hati Sin Liong dan ingin dia memeluk kakeknya ini saking girangnya, akan tetapi dia cepat-cepat menahan perasaannya dan berkata, "Akan tetapi, bukankah locianpwe tadi bertanding secara aneh dengan dia?"

"Bukan bertanding, melainkan aku terpaksa membela diri karena dia menyerangku..."

"Kalau dia itu bukan musuh locianpwe, kenapa dia menyerang locianpwe?"

Kakek itu termenung. Memang ada sebabnya dan dia merasa tidak perlu menceritakan kepada anak ini mengenai sebab musababnya yang terlampau panjang. Di dalam kisah Dewi Maut diceritakan betapa puteri Kok Beng Lama tewas dan puteri ketua Cin-ling-pai ini yang tertuduh menjadi pembunuhnya sehingga pernah terjadi bentrok antara Kok Beng Lama dan Cin-ling-pai. Kemudian, biar pun ternyata bukan puteri Cin-ling-pai itu yang membunuh, namun kematian itu terjadi sebagai akibat dari percekcokan antara puteri Kok Beng Lama dan puteri ketua Cin-ling-pai.

Akan tetapi, hal itu telah diselesaikan oleh kedua fihak, dan hanya kalau Kok Beng Lama kambuh penyakit gilanya maka urusan itu timbul lagi di dalam hatinya. Cia Keng Hong tentu saja merasa tidak perlu menceritakan urusan itu kepada anak kecil yang ditolongnya itu.

"Dia bukan musuhku, akan tetapi dia itu mempunyai penyakit gila yang kadang-kadang kambuh. Dan sekarang dia sedang kambuh, maka tadi dia menyerangku. Sudahlah, Sin Liong, mari kita menggali kuburan untuk dia."

Melihat betapa Cia Keng Hong hanya menggunakan sebatang kayu untuk menggali tanah berbatu itu, Sin Liong lalu ikut-ikut dan... alangkah heran hatinya ketika dia mampu pula mempergunakan sebatang kayu untuk menggali tanah berbatu! Walau pun tidak secepat kakek itu dan dia amat canggung hingga beberapa kali kayu itu patah dan harus diganti, namun dia dapat mengerahkan tenaga melalui kayu itu dan menggali tanah yang keras!

Kagum sekali hati Sin Liong melihat betapa kakeknya itu meletakkan sebuah batu besar di depan kuburan itu sebagai batu nisan, kemudian menggunakan jari telunjuknya untuk menggores-gores permukaan batu yang halus dengan huruf-huruf indah yang berbunyi,

MAKAM KOK BENG LAMA.

Diam-diam dia kagum dan juga girang. Kakeknya ternyata adalah seorang yang luar biasa saktinya, juga seorang kakek yang berhati mulia!

Mereka melanjutkan perjalanan dan Cia Keng Hong melihat betapa anak itu diam saja, padahal tubuhnya masih penuh dengan hawa mukjijat itu. Anak ini benar-benar hebat, pikirnya. Anak lain tentu akan mengeluh, dan mungkin sekali mengamuk atau melakukan hal-hal aneh, apa lagi setelah diketahuinya bahwa ada tenaga hebat di dalam tubuhnya. Dia mengajak Sin Liong mengaso duduk bersila di depannya.

"Sin Liong, engkau tentu merasa bahwa ada sesuatu yang aneh dalam dirimu, bukan?"

Anak itu segera mengangguk. "Di dalam seluruh tubuh saya terasa ada semacam hawa yang terus bergerak-gerak, locianpwe."

"Dan engkau sudah tahu bukan, apa artinya itu?"

"Locianpwe sudah memberi tahu bahwa tenaga sakti dari mendiang Kok Beng Lama telah pindah ke dalam tubuh saya."

"Benar, dan engkau telah pula mengetahui rahasia Thi-khi I-beng. Biar pun kuberikan ilmu itu dalam keadaan mendesak, akan tetapi berarti engkau sudah mewarisi ilmu itu dariku. Ketahuilah bahwa puteraku sendiri, Cia Bun Houw, tidak mewarisi ilmu ini. Satu-satunya orang yang pernah mempelajarinya adalah Yap Kun Liong. Oleh karena itu, engkau boleh dibilang adalah seorang muridku, Sin Liong."

Sin Liong menundukkan mukanya. "Terima kasih atas kebaikan locianpwe."

"Aku tidak memberi kebaikan apa-apa. Hanya saja engkau harus berjanji. Tak sembarang orang boleh memiliki Thi-khi I-beng, dan sekarang sesudah engkau terlanjur memilikinya, maka engkau harus mengucapkan janji. Kalau tidak, terpaksa aku akan mencabut ilmu itu dengan merusak jalan darahmu, hal ini terpaksa agar kelak engkau tidak mendatangkan mala petaka bagi manusia di dunia."

"Saya akan berjanji, locianpwe," jawab Sin Liong dengan alis berkerut.

Untung bahwa yang bicara itu adalah Cia Keng Hong, atau lebih tepat lagi untung bahwa Sin Liong tahu bahwa kakek ini adalah kongkong-nya, karena andai kata tidak demikian, dia lebih memilih mati dari pada ditekan!

"Kau harus bersumpah dan berjanji bahwa Thi-khi I-beng tak akan kau pergunakan untuk membunuh orang, kecuali dalam membela diri, dan juga kau harus berjanji bahwa engkau tak akan mengajarkan Thi-khi I-beng kepada siapa pun juga sebelum aku mati, dan kalau kelak terpaksa kau ajarkan kepada orang, maka engkau harus menyuruh dia bersumpah pula untuk mempergunakan demi kebaikan dan kebenaran."

Sin Liong mengucap janji dan sumpahnya sehingga agak terhibur jugalah hati kakek itu. Setelah Sin Liong mengucapkan janjinya, keadaan menjadi hening dan akhirnya terdengar kakek itu berkata,

"Dengan demikian, mulai sekarang engkau adalah muridku. Nah, sekarang perhatikan baik-baik dan dengarkan dengan penuh perhatian. Aku akan mengajarkan pertama-tama agar kau dapat menyimpan dan menyalurkan hawa yang amat dahsyat di dalam tubuhmu itu, karena kalau tidak, tubuhmu yang masih muda dan lemah tidak akan kuat bertahan dan engkau takkan dapat hidup lama."

Kakek itu lalu mengajarkan cara-cara menghimpun tenaga sakti itu, cara bersemedhi dan mengatur pernapasan. Selama semalam suntuk kakek itu menggembleng sehingga Sin Liong mengerti benar dan pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Sin Liong masih duduk bersemedhi.

Dia sudah mulai merasakan betapa tubuhnya tidak begitu hebat lagi menderita kelebihan tenaga sakti itu, sungguh pun gerakannya masih kaku karena dia merasa kadang-kadang hawa itu hendak membawanya terbang ke angkasa, kadang-kadang pula mendatangkan berat yang hampir tak dapat terbawa oleh tubuhnya.

Melihat keadaan anak itu, Cia Keng Hong maklum bahwa bagaimana pun juga, anak ini memerlukan tempat istirahat untuk terus berlatih mengendalikan hawa sakti yang terlalu kuat untuk tubuhnya itu. Karena itu dia mengambil keputusan untuk cepat pulang saja ke Cin-ling-san, biar pun hatinya masih amat penasaran dan menyesal bahwa dia belum juga berhasil menemukan Lie Ciauw Si, cucunya yang pergi mencari Bun Houw itu. Dia sendiri pun perlu istirahat untuk memulihkan tenaga…..

********************
Berita Duka🙏

Halo, Enghiong semua. Saya mohon maaf mengganggu kesenangan membaca cersil anda. Saya ingin berbagi kabar tentang salah satu pengelola Cerita Silat Indomandarin yang sedang dirawat di rumah sakit karena mengidap Leukimia Stadium 2.

Beliau membutuhkan biaya pengobatan yang tidak sedikit, maka dari itu saya berinisiatif untuk melakukan open donasi untuk meringankan biaya pengobatan beliau. Donasi dapat dikirim ke norek berikut: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan) ataupun bisa melalui via Trakteer yang ada dibawah

Setiap sumbangan Anda akan sangat berarti bagi beliau dan keluarganya. Terima kasih atas perhatian dan kepeduliannya🙏

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar