Pendekar Lembah Naga Jilid 22

Dua orang kakak beradik kembar itu adalah putera-puteri dari pendekar wanita sakti Souw Li Hwa, akan tetapi mereka berdua itu tidak mempunyai bakat yang terlalu baik sehingga kepandaian silatnya tidak menonjol. Sedangkan mendiang Tio Sun saja yang lebih lihai dari isterinya dan adik iparnya masih belum mampu menandingi kakek yang amat lihai ini, apa lagi kakak beradik kembar itu! Karena itu dalam dua puluh jurus lebih saja, pedang mereka sudah dibikin terpental oleh kakek sakti itu yang masih merasa segan dan tidak tega untuk membunuh mereka!

Melihat kelihaian kakek itu dan karena pedangnya telah terpental pula, dua orang kakak beradik ini maklum bahwa lawan mereka terlalu tangguh, maka sambil berteriak nyaring Kwi Eng segera mengeluarkan hui-to (pisau terbang) yang menjadi kepandaiannya yang istimewa, dan berkelebatanlah hui-to yang dilepasnya, beterbangan cepat menyambar ke arah tubuh ketua Hwa-i Kaipang. Melihat ini, Kwi Beng tidak mau tinggal diam dan dia pun latu melepaskan pisau-pisau terbangnya.

"Hemmm...!" Hwa-i Sin-kai berseru keras.

Dia lalu memutar tongkatnya sedemikian rupa sehingga tongkat itu berbentuk sinar yang bergulung-gulung hingga merupakan benteng sinar yang melindungi tubuhnya. Terdengar suara nyaring berkali-kali kemudian pisau-pisau terbang itu terlempar ke kanan kiri dan kesemuanya runtuh oleh tangkisan sinar tongkat itu. Sampai habis seluruh pisau-pisau di kantung kedua orang kakak beradik itu, akan tetapi tidak ada sebatang pisau pun yang mengenai sasaran.

"Kakek iblis, kalau begitu biar aku mengadu nyawa denganmu!" Kwi Eng berseru dengan putus asa dan dia lalu menyerang dengan kedua tangan kosong!

Sesungguhnya, kakak beradik ini telah mewarisi ilmu-ilmu yang amat tinggi, warisan dari Panglima The Hoo melalui ibu mereka, yaitu ilmu It-ci-san, semacam ilmu totok dengan menggunakan sebuah jari tangan yang amat lihai, dan di samping itu, juga mereka telah mewarisi ilmu silat tangan kosong Jit-goat Sin-ciang dan sudah mengusai penggabungan tenaga Im dan Yang.

Akan tetapi, karena bakat mereka tak terlalu besar, maka mereka hanya dapat menguasai sebagian saja dari ilmu-ilmu ini, maka biar pun kini keduanya menggunakan ilmu-ilmu itu untuk mengeroyok Hwa-i Sin-kai, mereka ini tidak dapat banyak berdaya. Bahkan dalam waktu belasan jurus saja ujung tongkat di tangan kakek itu telah menghajar pinggul Kwi Beng sehingga pemuda ini bergulingan, dan juga menotok pundak kiri Kwi Eng sehingga nyonya muda itu pun terguling roboh.

"Iblis tua kejam, kau mampuslah!" Kwi Beng membentak dan tiba-tiba tangan kanannya telah mencabut sebuah pistol peninggalan ayahnya.

Memang dia sudah mempersiapkan senjata api ini karena Kwi Beng bukanlah seorang yang bodoh, dan dia sudah menduga bahwa ketua Hwa-i Kaipang itu tentu seorang yang memiliki ilmu tinggi sekali sehingga seorang pendekar seperti adik iparnya itu pun sampai tewas bertanding melawan kakek itu. Maka ketika berangkat, dia sudah mempersiapkan senjata api ini, meski pun ayahnya meninggalkan pesan supaya dia jangan sembarangan mempergunakan senjata maut itu kalau tidak terpaksa dan terancam keselamatannya.

Sekarang agaknya keselamatannya memang tidak terancam, karena kakek itu agaknya tidak hendak membunuh dia dan adiknya, akan tetapi dia maklum bahwa adiknya tentu akan melawan terus sampai mati. Dari pada adiknya yang mati, lebih baik kakek itu!

“Darr-darrr...!" Pistol itu meledak dua kali dan robohlah seorang kakek pengemis tingkat tiga dengan pundak dan lengan terluka.

Ternyata tadi pada saat pemuda itu mencabut pistol, seorang kakek tingkat tiga segera menubruk ke depan pemuda itu sehingga pada saat pistol meledak, yang roboh adalah kakek ini dan bukan Hwa-i Sin-kai. Kakek itu terkejut dan marah, tubuhnya menyambar ke depan dan begitu tongkatnya bergerak pistol di tangan Kwi Beng sudah terlempar jauh dan tangan pemuda itu berdarah!

Akan tetapi Kwi Eng sudah datang menerjang dan Kwi Beng juga telah bangkit dan terus menerjang lagi dengan nekatnya. Kakek itu mendengus dan kembali tongkatnya membuat keduanya roboh terguling.

"Orang-orang muda yang tak tahu diri! Kepandaian kalian terlampau rendah untuk berani kurang ajar terhadap kami!" kata Lo-thian Sin-kai. "Lebih baik kalian cepat-cepat pergi dan jangan membikin marah pangcu kami!" Para pengemis kelihatan marah melihat betapa kakek pengemis yang terkena tembakan tadi terluka parah, namun tidak membahayakan nyawanya.

"Biarlah, mereka berdua perlu dihajar sampai tobat!" bentak Hwa-i Sin-kai sambil berdiri menanti dengan muka marah.

Dua orang muda itu bangkit lagi, menerjang lagi dan roboh lagi! Sampai tiga empat kali mereka roboh dan kini para tokoh Hwa-i Kaipang mulai menertawakan mereka. Mereka itu hanya seperti dua anak kecil yang nakal melawan ketua Hwa-i Kaipang yang sakti. Kalau ketua itu mau, tentu saja dengan sangat mudahnya dia dapat membunuh kedua orang muda itu.

Muka Kwi Eng sudah bengkak akibat kena tamparan sedangkan mulut Kwi Beng bahkan mengeluarkan darah karena bibirnya pecah, akan tetapi untuk ke sekian kalinya, kedua orang muda yang sudah nekat dan mata gelap itu menyerang lagi.

"Plakkk! Dukkk!"

Kini dua orang kakak beradik itu terjungkal karena tamparan dan hantaman tongkat dari kakek itu ditambah tenaga. Kwi Eng terbanting keras dan kepalanya pening, sedangkan kaki Kwi Beng terpukul tongkat sehingga ketika dia bangkit berdiri, dia terpincang. Namun mereka berdua masih belum mau sudah. Tekad mereka adalah untuk melawan sampai mati!

Pada saat itu terdengar suara merdu dan nyaring, suara seorang wanita muda, "Sungguh tak tahu malu, kakek-kakek tua bangka menghina orang-orang muda mengandalkan ilmu kepandaian yang tidak seberapa!"

Semua orang terkejut dan menengok. Kiranya yang bicara itu adalah seorang gadis yang berwajah cantik manis, berpakaian ringkas sederhana, namun wajahnya cerah dan sinar matanya lincah, mulutnya yang manis tersenyum mengejek saat dia memandang kepada para kakek pengemis tokoh-tokoh Hwa-i Kaipang itu.

Di sebelahnya berdiri seorang pemuda yang tubuhnya tinggi tegap, wajahnya serius dan agaknya pemuda ini adalah adik dari dara itu. Dara itu tidak remaja lagi, tentu usianya sudah kurang lebih dua puluh lima tahun, ada pun pemuda itu berusia antara dua puluh tiga tahun. Seperti juga si gadis, pemuda ini berpakaian ringkas sederhana dan tak terlihat membawa senjata, malah kelihatannya seperti seorang pemuda petani biasa saja, hanya sepasang matanya yang tenang itu mengeluarkan sinar tajam mengejutkan.

Mendengar ucapan gadis itu, seorang tokoh pengemis tingkat tiga menjadi marah. Kakek pengemis tingkat tiga ini tadi secara diam-diam sudah memperhatikan gerakan dua orang yang bertempur melawan ketuanya itu dan dia tahu bahwa tingkat kepandaian dua orang itu belum begitu tinggi, bahkan dia sendiri pun berani menghadapi salah seorang di antara mereka. Dia merasa penasaran mengapa ketuanya maju sendiri melayani segala macam lawan selemah itu, tidak mewakilkan kepada para tokoh yang lebih rendah tingkatnya.

Ketika melihat gadis yang berani mengatakan bahwa mereka mengandalkan kepandaian yang tidak seberapa, dia menjadi marah sekali, menganggap kata-kata itu menghina. Kini dia memperoleh kesempatan untuk mewakili ketuanya, maka dia mendahului ketuanya itu menegur, "Bocah bermulut lancang, mau apa kau buka mulut mencampuri urusan kami?"

Gadis itu tersenyum dan melirik kepada pengemis tingkat tiga ini. "Aku telah mendengar di dalam perjalanan bahwa kakek jembel dari Hwa-i Kaipang ditandai tingkatnya dengan tumpukan buntalan di punggungnya. Agaknya yang lebih banyak tumpukan buntalannya berarti lebih pandai mengemis, dan kau ini mempunyai tiga buntalan, jadi lumayan juga kepandaianmu mengemis. Akan tetapi kalau engkau mengemis kepadaku, aku tidak akan sudi memberi apa-apa karena wajahmu tidak menimbulkan iba seperti pengemis tulen!"

Pengemis tingkat tiga itu marah bukan main. Dia adalah seorang kakek yang bertubuh tinggi besar bermuka hitam, yaitu bukan lain ialah Hek-bin Mo-kai, tokoh tingkat tiga dari Hwa-i Kaipang yang berangasan itu. Dia dihina terang-terangan oleh gadis ini, maka dia menjadi marah sekali. Kulit tubuhnya yang lain, yang biasanya berwarna putih itu menjadi merah, sedangkan mukanya yang hitam menjadi makin hitam ketika dia mengetukkan tongkatnya ke atas tanah.

Semua orang memandang tegang, bahkan Kwi Eng dan Kwi Beng yang masih nanar itu juga memandang, tidak tahu siapa adanya wanita dan pria yang datang ini.

"Bocah lancang mulut! Kalau tidak ingat bahwa engkau seorang wanita muda yang lemah tentu kelancangan mulutmu itu akan kau tebus mahal sekali!"

Gadis itu ternyata lincah dan jenaka sekali. Ia tersenyum manis dan memandang kepada si muka hitam dengan sinar mata berseri-seri. "Ahh, kaum pengemis agaknya mengenal harga juga, ya? Berapa mahalkah tebusan kelancanganku itu? Sebungkus sayuran sisa? Ataukah beberapa keping uang tembaga?"

Bukan hanya Hek-bin Mo-kai saja yang marah, akan tetapi semua tokoh Hwa-i Kaipang menjadi marah sekali. Telah berkali-kali mereka mengalami penghinaan dari wanita yang bernama Kim Hong Liu-nio itu, bahkan Hek-bin Mo-kai dan Tiat-ciang Sin-kai, dua orang tokoh Hwa-i Kaipang tingkat tiga itu, juga Lo-thian Sin-kai tokoh tingkat dua, sudah tidak berhasil mengalahkan seorang wanita muda cantik. Dan kini muncul seorang wanita muda cantik lain yang datang-datang telah mengejek dan memandang rendah, tentu saja hati mereka menjadi panas sekali.

Lebih-lebih Hek-bin Mo-kai yang memang berwatak berangasan. Dia pernah dikalahkan oleh Kim Hong Liu-nio. Kekalahan pahit sekali karena dia sebagai tokoh tingkat tiga dari Hwa-i Kaipang yang sangat tersohor, sampai kalah oleh seorang wanita muda! Sungguh merupakan suatu hal yang membikin merosot nama besarnya, bahkan mencemarkan namanya sebagai seorang tokoh. Maka kini, menghadapi seorang wanita muda lagi yang berani bersikap lancang dan memandang rendah, tentu saja dia menjadi marah bukan main.

"Perempuan kurang ajar dan lancang! Apa kau sudah bosan hidup? Siapakah engkau?" bentaknya.

Akan tetapi gadis cantik itu tersenyum dan melirik ke arah Hwa-i Sin-kai yang sejak tadi hanya berdiri memandang, lalu dia berkata, "Aku tidak ada waktu untuk berbicara dengan segala macam jembel rendahan. Eh, engkau kakek pengemis yang tidak menggendong buntalan, agaknya engkau yang menjadi kepala di sini. Benarkah?"

Melihat sikap gadis itu bicara seperti itu kepada ketua mereka, semua pengemis menjadi semakin marah, akan tetapi Hwa-i Sin-kai mengangkat tangan kirinya ke atas dan semua suara bising dari para pengemis pun terhenti sama sekali. Suasana menjadi hening dan menegangkan, sedangkan Souw Kwi Eng dan Souw Kwi Beng hanya terus memandang dengan perasaan heran.

"Nona, benar dugaanmu bahwa aku adalah pangcu dari Hwa-i Kaipang. Nona siapakah dan..."

"Pangcu, anggap saja aku dan adikku ini adalah orang-orang yang kebetulan lewat di sini dan menyaksikan perbuatan yang tidak bagus dari Hwa-i Kaipang! Engkau adalah ketua kaipang dari perkumpulan pengemis yang sudah tersohor di daerah ini dan menurut kabar adalah sebuah perkumpulan pengemis yang terbesar. Akan tetapi melihat betapa seorang pangcu yang besar menghina dua orang muda yang tidak berdaya, sungguh merupakan kenyataan yang sebaliknya, bahwa Hwa-i Kaipang hanya merupakan sekumpulan jembel yang suka meghina orang di belakang layar, akan tetapi di atas panggung berpura-pura mohon belas kasihan orang dengan mengemis!"

Kembali terdengar suara berisik pada saat para pengemis itu menjadi marah mendengar ucapan ini, akan tetapi pangcu itu mengangkat tangan dan semua pengemis itu menjadi diam. Pangcu ini bukan orang sembarangan dan berbeda dengan para pembantu serta anak buahnya, dia yang berpemandangan tajam bisa mengenal bahwa pemuda dan gadis yang datang ini bukan orang-orang muda sembarangan maka berani bersikap seperti itu. Jangan-jangan mereka ini, seperti juga Kim Hong Liu-nio, adalah orang-orang muda sakti yang diutus oleh Kim Hong Liu-nio untuk mengacau, pikirnya.

"Nona muda, mengambil kesimpulan dan mengeluarkan pendapat atas sesuatu hal yang keadaannya belum diselidiki lebih dulu adalah tindakan yang sangat coroboh. Ketahuilah bahwa kedua orang muda ini datang sendiri ke sini untuk menantang dan mengacau. Sesudah mereka menantang kami dan aku maju memenuhi permintaan mereka sehingga terjadi pertandingan ini, bagaimana kau bisa mengatakan bahwa kami menghina mereka? Kau lihat sendiri tadi, bukankah mereka berdua yang mengeroyok aku seorang tua?"

Gadis itu agaknya tidak dapat membantah hal ini. Memang tadi dia melihat betapa kakek ini dikeroyok dua, hanya saja tingkat kepandaian dua orang muda itu jauh sekali di bawah tingkat kakek ini sehingga jangankan baru dikeroyok oleh mereka berdua, biar ditambah lagi sepuluh orang yang tingkat kepandaiannya seperti kedua orang muda itu pun tidak mungkin akan sanggup menandingi kakek itu. Maka dia lantas menoleh dan memandang kepada Kwi Eng sambil tersenyum.

"Enci yang baik, mengapa kalian berdua yang belum mempunyai kepandaian cukup tinggi berani menandingi ketua jembel ini dan ingin mencari celaka sendiri?" Pertanyaan itu lebih menyerupai teguran.

Kwi Beng yang sejak tadi sudah melihat dan mendengarkan dengan hati panas, menjadi semakin penasaran. Dalam percakapan itu dia merasa betapa dia beserta adiknya amat direndahkan orang. Dia pun memiliki keangkuhan, dia tidak mengharapkan bantuan siapa pun juga dalam urusan pribadi ini, apa lagi karena dia sama sekali tidak mengenal dara yang cantik dan pemuda yang pendiam itu.

"Kami tak membutuhkan bantuan siapa pun! Hayo, tua bangka kejam, mari kita lanjutkan pertempuran kita tadi, kami berdua tidak akan berhenti sebelum nyawa kami putus!" Dan Kwi Beng telah menyerang kembali dengan nekatnya, mengirim pukulan dari jurus It-goat Sin-ciang yang cukup dahsyat.

"Wuuuuuttt...! Plakkk!"

Betapa pun dahsyatnya pukulan itu, akan tetapi karena tenaga sinkang-nya jauh di bawah tingkat kakek itu, maka sekali tangkis saja, ketua yang lihai itu kembali membuat tubuh Kwi Beng terguling!

Pemuda yang nekat ini telah bergerak kembali, kini melakukan penyerangan dengan Ilmu Totok It-ci-san, yaitu sepasang tangannya mengeluarkan jari telunjuk untuk menotok jalan darah lawan. Akan tetapi kembali kakek itu menggerakkan tangan kirinya, menangkis dan mendorong hingga tubuh Kwi Beng terjungkal, kini terbanting agak keras sehingga ketika bangkit kembali dia terhuyung-huyung! Melihat ini, Kwi Eng bergerak hendak menerjang, akan tetapi gadis cantik itu sudah memegang lengannya.

"Enci, tidak ada perlunya membunuh diri! Dan orang muda ini benar-benar amat gagah, akan tetapi keberanian yang hanya nekat dan membabi-buta, dipakai tanpa perhitungan sudah bukan merupakan kegagahan lagi melainkan suatu ketololan! Mundurlah kau, orang muda yang berhati baja!"

"Nona, suamiku telah dibunuh mati tanpa kesalahan oleh ketua para jembel ini. Apakah kau menganggapnya tidak benar kalau aku bersama kakakku ini mengadu nyawa untuk membalas dendam?" Kwi Eng berusaha melepaskan tangannya yang dipegang gadis itu, akan tetapi betapa kagetnya ketika dia merasa betapa lengannya yang dipegang itu sama sekali tidak dapat dia gerakkan, apa lagi hendak melepaskan diri dari pegangan itu.

Mendengar kata-kata Kwi Eng tadi, sepasang mata gadis cantik itu mengeluarkan sinar berkilat ketika dia memandang kepada Hwa-i Sin-kai, sedangkan pemuda pendiam yang tadi diakuinya sebagai adiknya, kini pun memandang kepada kakek pengemis itu dengan alis berkerut.

"Ahh, kiranya begitukah? Pangcu, engkau tadi mengatakan bahwa dua orang saudara ini datang untuk menantang dan mengacau, akan tetapi engkau sama sekali tak mengatakan mengapa mereka berbuat demikian. Kalau engkau telah membunuh suami enci ini secara sewenang-wenang, maka tidak mengherankan kalau mereka kini datang untuk membalas dendam. Dan engkau mengandalkan kepandaian silatmu yang tidak seberapa itu, apakah kau juga ingin membunuh mereka ini?"

Mendengar ucapan yang memandang rendah kepada ketuanya itu, Hek-bin Mo-kai tidak dapat menahan kesabarannya lagi. "Bocah lancang dan kurang ajar, engkau benar-benar bosan hidup! Pangcu, ijinkan aku menghajarnya!"

Dan tanpa menunggu ijin dari ketuanya, Hek-bin Mo-kai sudah menggerakkan tongkatnya menotok ke arah leher gadis cantik itu dengan kecepatan yang luar biasa sekali sehingga tongkatnya mengeluarkan bunyi mengiuk.

Kwi Beng adalah seorang pemuda yang berwatak gagah. Biar pun keadaan dirinya telah babak-belur dan luka-luka, akan tetapi melihat gadis yang datang untuk membela dia dan adiknya itu diserang secara demikian hebatnya dan dia lihat berada dalam bahaya, maka dia segera meloncat dan memapaki serangan kakek pengemis bermuka hitam itu untuk melindungi gadis yang diserangnya.

"Wuuuuttt...! Plakkk...! Desss!"

Kakek bermuka hitam ini terhuyung ke belakang dan hampir saja Kwi Beng terbanting kalau saja lengannya tidak cepat disambar oleh gadis cantik itu.

Tadi ketika dia menerjang dan memapaki tongkat yang menyerang gadis itu, dia memang berhasil menangkisnya, akan tetapi tangkisan tangannya itu membuat lengannya terasa nyeri bukan main. Kemudian, tongkat yang tadinya menyerang gadis itu dan tertangkis, lalu membalik dan dengan kemarahan meluap, pengemis bermuka hitam itu meluncurkan ujung tongkatnya menusuk ke arah dada Kwi Beng.

Akan tetapi pada saat itu, gadis yang ditolong oleh Kwi Beng menggerakkan tangannya mendorong dan kakek bermuka hitam itu segera terhuyung ke belakang sedangkan Kwi Beng yang juga terhuyung dan hampir terbanting itu diselamatkan oleh tangan kecil halus yang telah menangkap lengannya.

"Saudara Souw Kwi Beng, tenanglah, dan serahkan jembel-jembel ini kepadaku." Gadis itu tiba-tiba berkata halus.

Kwi Beng terkejut bukan main dan membelalakkan mata, memandang tajam. Memang tadi dia merasa seperti mengenal gadis ini, akan tetapi dia sudah lupa lagi di mana dan dalam keadaan marah dan tengah berhadapan dengan ketua kaipang itu, dia tak memiliki waktu untuk memperhatikan gadis ini. Sekarang, sesudah dia memandang dengan penuh perhatian, barulah dia teringat.

"Adik Mei Lan...?!" katanya meragu, seperti bertanya apakah benar gadis ini adalah Mei Lan, gadis cilik yang pernah dijumpainya sebelas tahun yang lalu, ketika gadis itu berusia empat belas tahun dan ketika itu pun gadis ini pernah menolongnya, yaitu ketika dia, Tio Sun dan yang lain-lain sedang berada di Lembah Naga dan tertawan oleh Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li beserta anak buah mereka.

Gadis cantik itu memandang padanya, tersenyum kemudian mengangguk membenarkan. Memang gadis itu adalah Yap Mei Lan, puteri tunggal dari pendekar sakti Yap Kun Liong. Di dalam cerita Dewi Maut sudah dituturkan bagaimana Mei Lan sampai berpisah dari ayahnya.

Yap Mei Lan adalah puteri tunggal dari Yap Kun Liong bersama isterinya yang bernama Pek Hong Ing. Akan tetapi, sesungguhnya ibu kandung Mei Lan bukanlah Pek Hong Ing, melainkan seorang wanita bernama Liem Hwi Sian. Rahasia ini tidak diketahui oleh Mei Lan yang menganggap Pek Hong Ing adalah ibu kandungnya. Pada suatu hari, dalam percekcokan mulut antara Cia Giok Keng, puteri dari ketua Cin-ling-pai, dengan Pek Hong Ing, Mei Lan mendengar akan rahasia itu dan larilah dia meninggalkan rumah ibunya itu.

Dalam pelariannya karena kecewa dan berduka ini, bertemulah dia dengan kakek sakti Bun Hoat Tosu dan menjadi murid kakek sakti yang sudah tua renta itu. Kemudian, ketika kakek Bun Hoat Tosu meninggal dunia, dia ‘dioperkan’ oleh kakek itu kepada seorang kakek lain yang sakti dan aneh, yaitu Kok Beng Lama sehingga dia menjadi murid Kok Beng Lama yang telah ditinggali ilmu-ilmu oleh Bun Hoat Tosu untuk disampaikan kepada Mei Lan sesuai dengan ‘taruhan’ antara dua orang kakek sakti ini ketika mereka berdua bertanding catur!

Demikianlah, Mei Lan lalu menjadi murid Kok Beng Lama bersama pemuda pendiam itu yang bukan lain adalah Lie Seng, putera dari mendiang Lie Kong Tek dan Cia Giok Keng, puteri ketua Cin-ling-pai. Semua ini telah diceritakan dalam cerita Dewi Maut.

Selama sebelas tahun lebih, Mei Lan beserta Lie Seng pergi meninggalkan keluarga dan dunia ramai, dibawa oleh Kok Beng Lama ke Pegunungan Himalaya di dunia barat, di mana kedua orang anak ini digembleng oleh kakek sakti itu. Karena mewarisi ilmu-ilmu dari mendiang Bun Hoat Tosu dan Kok Beng Lama, maka dua orang muda itu sekarang menjadi orang-orang yang mempunyai kepandaian luar biasa sekali, sebab hampir semua kepandaian Kok Beng Lama diwarisi oleh mereka, demikian pula ilmu-ilmu yang paling hebat dari Bun Hoat Tosu telah mereka warisi melalui Kok Beng Lama.

Mereka berdua baru saja tiba dari Pegunungan Himalaya sebab guru mereka menyatakan bahwa tiba saatnya bagi mereka untuk turun gunung dan mencari keluarga mereka. Dan secara kebetulan, mereka melihat ribut-ribut di dalam hutan itu lalu cepat menghampiri.

Begitu melihat Kwi Beng, tentu saja Mei Lan segera teringat kepada pemuda ini. Tidaklah sukar untuk mengenal Kwi Beng, pemuda yang tampan, gagah dan juga memiliki ciri-ciri khas pada mata dan rambutnya. Maka, tanpa diminta tentu saja Mei Lan lalu turun tangan membantu Kwi Beng dan Kwi Eng yang belum dikenalnya, akan tetapi melihat persamaan antara wanita ini dengan Kwi Beng, dia dapat menduga bahwa wanita itu tentulah saudara kembar dari Kwi Beng, seperti yang pernah didengarnya dahulu.

Setelah Kwi Beng kini mendapat kenyataan bahwa gadis cantik itu adalah Yap Mei Lan, puteri dari pendekar sakti Yap Kun Liong, tentu saja dia menjadi girang sekali dan tentu saja dia tak lagi merasa enggan dibantu, karena Yap Mei Lan bukanlah ‘orang luar’, maka cepat dia berkata, "Adik Mei Lan, jembel tua bangka itu sudah membunuh iparku, suami dari adikku yang bernama Tio Sun!"

"Apa...?!" Mei Lan terkejut bukan main.

Tentu saja dia masih ingat kepada Tio Sun, pendekar yang gagah perkasa, yang dahulu pernah menyerbu di Lembah Naga bersama Kwi Beng dan juga telah tertawan di Lembah Naga. Jadi, Tio Sun sudah menjadi suami adik kembar dari Kwi Beng dan Tio Sun telah terbunuh oleh ketua Hwa-i Kaipang? Tentu saja berita ini membuatnya kaget bukan main.

"Pangcu, benarkah apa yang dikatakan oleh sahabatku itu? Betulkah bahwa engkau telah membunuh seorang pendekar seperti Tio Sun?" tanya Mei Lan sambil melangkah maju mendekati ketua Hwa-i Kaipang itu.

Ketua Hwa-i Kaipang menegakkan kepalanya dan sambil menatap tajam dia menjawab, "Mendiang Tio-taihiap mencari kematiannya sendiri. Kami bermusuhan dengan seorang iblis betina di rumah Panglima Lee Siang, namun dia membela iblis betina itu sehingga bentrok dengan kami. Dalam pertempuran antara dia dengan kami, dia kalah dan tewas, sama sekali kami tidak bermaksud membunuhnya karena antara dia dan kami tidak ada permusuhan apa-apa."

Mei Lan mengerutkan alisnya. Dia juga sudah mendengar berita tentang pengaruh Hwa-i Kaipang yang tentu saja menjadi agak sewenang-wenang, seperti yang biasa dimiliki oleh semua golongan yang berpengaruh dan ditakuti. Akan tetapi jika memang Tio Sun tewas dalam pertandingan yang adil, maka tewas di dalam pertandingan merupakan hal yang lumrah bagi seorang pendekar.

Betapa pun juga, dia sudah mengenal siapa Tio Sun, seorang pendekar gagah perkasa yang budiman. Maka andai kata terdapat perselisihan faham antara pendekar itu dengan para pengemis ini, sudah dapat dipastikan bahwa tentu para pengemis ini yang bersalah. Betapa pun juga, dia harus membela Kwi Beng!

Tiba-tiba Lie Seng, pemuda berusia dua puluh tiga tahun yang semenjak tadi diam saja, menyentuh lengan Mei Lan sambil berkata. "Lan-ci, biarkan aku bicara sebentar dengan dia."

Mei Lan memandang heran karena adik seperguruannya ini jarang sekali mau bicara jika tidak penting, maka kini tentu mempunyai alasan kuat untuk bicara. Dia mengangguk.

Lie Seng yang bersikap tenang sekali itu melangkah maju, memandang pada kakek yang bertubuh pendek kurus itu, lalu berkata, "Pangcu, aku pernah mendengar bahwa pangcu adalah seorang kenalan baik dari ketua Cin-ling-pai. Benarkah itu?"

Sepasang mata pangcu itu terbelalak. "Tentu saja! Bahkan kami telah berhutang budi kepada Cia-locianpwe, pangcu dari Cin-ling-pai. Orang muda, mengapa engkau bertanya demikian?"

"Ketahuilah bahwa aku adalah cucu luar dari ketua Cin-ling-pai."

"Ahhh...!"

"Bukan itu saja, akan tetapi mendiang Tio Sun yang kau bunuh itupun merupakan sahabat baik dari kakekku. Mendiang Tio Sun terkenal sebagai seorang pendekar yang gagah dan budiman, oleh karena itu, sungguh amat mengherankan mengapa engkau, yang mengaku kenal dengan kakekku sampai membunuhnya!"

Kakek itu menarik napas panjang. "Aku sendiri masih bingung memikirkan. Ketika aku menantang wanita iblis itu, yang kutantang tidak muncul, sebaliknya yang muncul adalah Tio-taihiap, dan kami memang bertanding, akan tetapi sebelum aku menyentuhnya, dia telah roboh dan tewas..."

"Jembel sombong! Kau terlalu menghina suamiku! Suamiku tidak selemah itu!" Kwi Eng berteriak. "Mari kita mengadu nyawa, aku tidak akan berhenti sebelum dapat membalas kematian suamiku!"

Hwa-i Sin-kai adalah seorang pangcu, maka karena semenjak tadi orang-orang muda itu menghinanya, dia menjadi marah juga. "Aku sudah bicara, dan bagaimana pun juga, tidak kusangkal bahwa aku telah bertanding melawan Tio Sun dan dia roboh dan tewas dalam pertandingan itu. Sekarang, aku siap mempertanggung jawabkan perbuatanku dan kalau ada yang hendak menuntut balas, tentu saja akan kulayani dengan baik!"

"Bagus!" Mei Lan berseru. "Kalau begitu, dengarlah baik-baik, pangcu dari Hwa-i Kaipang. Aku datang mewakili keluarga Tio untuk menuntut balas. Majulah dan mari kita main-main sebentar, ingin sekali kulihat sampai di mana kelihaian orang yang suka mengandalkan kepandaian untuk menghina dan membunuh orang lain yang tidak berdosa."

"Kalian bocah-bocah yang sombong dan tidak tahu diri!" Hek-bin Mo-kai yang sejak tadi sudah menahan kemarahannya itu kini membentak dan meloncat ke depan. "Siapa sih yang takut kepada kalian? Jelas bahwa orang she Tio itu bersalah kepada ketua kami dan kalau dia mampus, hal itu adalah kesalahannya sendiri. Kalau kalian mau menuntut balas, atau mau mengikutinya pergi ke neraka, majulah!"

Dengan sikapnya yang galak, pengemis bermuka hitam tingkat tiga dari Hwa-i Kaipang itu telah berdiri di depan Mei Lan, dengan tongkatnya melintang di depan dadanya, matanya kemerahan dan mukanya makin hitam akibat marah. Mei Lan sudah ingin menandinginya, akan tetapi Lie Seng melangkah maju dan berkata,

"Suci, biarlah aku menghadapinya."

Mei Lan mengangguk dan melangkah mundur. Lie Seng lalu mendekati pengemis muka hitam itu dan dengan kedua tangan kosong pemuda ini berdiri seenaknya, sama sekali tidak memasang kuda-kuda seperti orang hendak bertanding.

"Mulailah, lo-kai!"

Hek-bin Mo-kai yang sudah marah itu ingin sekali membersihkan mukanya dan menebus kekalahan-kekalahan yang pernah dideritanya, maka kini dia tanpa sungkan-sungkan lagi sudah menggerakkan tongkatnya lantas menerjang dengan dahsyatnya, menghantamkan ujung tongkatnya itu ke arah kepala pemuda yang tenang itu. Gerakannya begitu dahsyat sehingga sebelum tongkatnya tiba, tongkat itu mengeluarkan suara dan angin menyambar ke arah Lie Seng.

Souw Kwi Eng dan Souw Kwi Beng kini sudah berdiri di pinggir sambil menonton dengan hati tegang. Mereka berdua melihat betapa tongkat itu menyambar dahsyat dan kelihatan pemuda itu masih enak-enak saja sampai tongkat sudah menyambar dekat sekali dengan kepalanya.

"Wuuuttttt...!"

Sedikit saja Lie Seng miringkan kepalanya dan tongkat itu pun menyambar luput. Melihat ini, Hek-bin Mo-kai terkejut. Pemuda ini tenang bukan main dan gerakannya yang hanya sedikit sekali itu, akan tetapi cukup berhasil, membuktikan bahwa pemuda itu benar-benar seorang ahli silat tingkat tinggi.

Makin tinggi tingkat ilmu silat seseorang, semakin tenanglah gerakannya karena dia tidak lagi menggunakan kembangan-kembangan gerakan yang tidak ada gunanya, dan setiap gerakannya sudah diperhitungkan dengan masak-masak sehingga setiap gerakan selalu mendatangkan hasil.

"Sambutlah ini!" Hek-bin Mo-kai membentak dan kini tongkatnya diputar cepat sehingga lenyaplah bentuk tongkatnya, berubah menjadi sinar yang bergulung-gulung dan bagaikan ombak samudra, sinar bergulung-gulung ini menyerbu ke arah Lie Seng.

Namun pemuda ini tidak menjadi bingung menghadapi serbuan yang hebat itu. Dia tidak terpengaruh oleh sinar yang bergulung-gulung itu, namun memandang tajam sehingga dia dapat melihat di mana tongkat bersembunyi di dalam serangan itu. Dia tak mempedulikan bayangan tongkat yang banyak dan membentuk gulungan sinar, melainkan memandang ke arah tongkat yang dapat dia ikuti gerakannya, maka pada waktu tongkat itu menusuk ke arah lambungnya, dia menggeser kaki dan miringkan tubuh sehingga tongkat lewat di dekat lambungnya, lalu secepat kilat menyambar, tangan kirinya yang dibuka membacok dari atas ke arah tongkat lawan itu.

"Krakkkk!"

Tongkat itu patah menjadi dua potong! Wajah hitam dari Hek-bin Mo-kai menjadi agak pucat, matanya terbelalak lebar memandang tongkat di tangannya yang tinggal sepotong, sedangkan telapak tangannya berdarah!

Tidak pernah dia membayangkan betapa tongkatnya yang dianggapnya sebagai senjata pusaka itu bisa dipatahkan lawan hanya dengan hantaman telapak tangan miring, padahal senjata tajam pun tidak akan mampu mematahkannya. Kekagetan serta keheranannya berubah menjadi kemarahan, maka sambil mengeluarkan suara gerengan, dia menubruk kembali dengan tongkat sepotong. Tongkat yang menjadi pendek itu menghantam kepala, sedangkan tangan kirinya mencengkeram ke arah pusar. Serangan maut!

"Plak! Desss...! Bruuukkk!"

Cepat sekali terjadinya hal itu. Serangan kakek muka hitam itu disambut dengan elakan dan tangkisan yang dilanjutkan dengan cengkeraman pada tengkuk kakek itu dan sekali dia membuat gerakan melemparkan, tubuh Hek-bin Mo-kai terlempar sampai jauh, tidak kurang dari sepuluh meter kemudian terbanting di atas tanah!

Semua orang memandang bengong, karena tidak mengira bahwa pemuda itu akan dapat mengalahkan Hek-bin Mo-kai sedemikian mudahnya. Akan tetapi, Hek-bin Mo-kai yang terbanting itu tidak mengalami luka berat, hanya agak nanar saja dan pinggulnya terasa nyeri. Dia cepat-cepat meloncat berdiri dengan muka yang makin hitam, dan pada saat temannya, Tiat-ciang Sin-kai, juga tokoh tingkat tiga dari Hwa-i Kaipang, menerjang maju dengan tongkatnya menyerang Lie Seng, dia sendiri pun sudah berlari menghampiri dan membantu temannya ini mengeroyok Lie Seng!

"Jembel-jembel busuk! Pengecut yang main keroyok!" Kwi Beng memaki-maki pada saat melihat betapa Lie Seng yang bertangan kosong itu dikeroyok dua, dan dia sudah maju hendak membantu. Akan tetapi, Mei Lan mencegahnya.

"Biarkan saja, saudara Souw. Sute tidak akan kalah."

Dan memang apa yang dikatakan oleh Mei Lan ini merupakan kenyataan. Lie Seng masih tetap tenang saja, berdiri tanpa bergerak, bahkan tidak memasang kuda-kuda karena dia berdiri tegak dengan dua tangan tergantung di kanan kirinya, hanya matanya saja dengan tajam memandang kepada dua orang pengemis tua yang sudah datang menyerangnya dari kanan kiri itu.

Tiat-ciang Sin-kai maklum akan kelihaian pemuda yang tadi dengan mudah mengalahkan temannya itu, maka kini dia menyerang dengan tongkatnya di tangan kanan, ditusukkan ke arah dada lawan sedangkan tangan kirinya yang ampuh dan keras seperti besi hingga dia mendapat julukan Tiat-ciang (Si Tangan Besi), telah menyambar pula dengan pukulan dahsyat ke arah pelipis kanan lawan.

Dan pada saat itu pula, Hek-bin Mo-kai yang sudah menyambar sebatang tongkat dari seorang pengemis yang berada di dekatnya, telah menyerang pula sambil menggerakkan tongkatnya dengan jurus dari Ilmu Tongkat Ngo-lian Pang-hoat. Tongkatnya membentuk lingkaran-lingkaran.

Seperti tadi, Lie Seng hanya bergerak sedikit saja dan serangan Tiat-ciang Sin-kai sudah dapat dielakkan, sedangkan serangan si muka hitam itu dibiarkannya saja, hanya setelah dekat, sekali pemuda itu menggerakkan kakinya, dia telah meloncat dan tubuhnya lenyap dari depan kedua orang pengeroyoknya itu!

Dua orang kakek pengemis itu sangat terkejut dan karena merasa betapa angin loncatan pemuda tadi menyambar ke arah belakang mereka, keduanya cepat membalikkan tubuh dan benar saja, pemuda itu sudah berada di belakang mereka, berdiri tegak dan tenang. Kembali mereka menyerbu dengan gerakan yang lebih dahsyat lagi karena mereka sudah menjadi marah sekali.

Akan tetapi sekali ini, Lie Seng tidak mengelak, melainkan dia malah maju memapaki! Dua pasang kaki dan tangannya bergerak secara aneh dan semua orang melihat betapa dua orang kakek pengemis itu terpelanting bagaikan disambar petir, roboh ke kanan kiri terdorong oleh hawa pukulan dan tendangan yang amat cepat itu!

Melihat ini, Lo-thian Sin-kai, tokoh tingkat dua dari Hwa-i Kaipang, menjadi marah sekali. "Bocah sombong, sambut ini!" bentaknya.

Dia lalu menyerang dengan tangan kirinya yang menampar keras. Tamparan ini bukanlah tamparan biasa, namun tamparan yang dilakukan dengan pengerahan sinkang sehingga mengeluarkan angin keras dan tenaga pukulannya sangat ampuh. Melihat ini, Lie Seng tidak mengelak melainkan mengangkat tangan menangkis.

"Dukkk!"

Dua lengan bertemu dan Lo-thian Sin-kai mengeluarkan seruan kaget karena kuda-kuda kakinya tergempur, membuat dirinya hampir terpelanting kalau saja dia tidak cepat-cepat menggunakan tongkatnya yang ditekan di atas tanah sehingga dia berhasil memulihkan keseimbangan tubuhnya. Marahlah kakek ini, juga dua orang kakek tingkat tiga itu sudah bangkit kembali.

Tanpa banyak cakap lagi, Lo-thian Sin-kai menggerakkan tongkatnya menyerang dengan Ilmu Tongkat Ngo-lian Pang-hoat, sedangkan Hek-bin Mo-kai dan Tiat-ciang Sin-kai juga sudah maju. Kini Lie Seng dikeroyok tiga!

Akan tetapi pemuda itu tetap tenang saja, bahkan Mei Lan juga masih menonton sambil tersenyum. Gadis ini berpikir bahwa yang menjadi musuh-musuh dari dua orang saudara kembar she Souw ini adalah Hwa-i Sin-kai pribadi dan tidak ada sangkut-pautnya dengan perkumpulan Hwa-i Kaipang, akan tetapi ternyata kini pangcu itu hanya diam saja malah membiarkan anak buahnya yang turun tangan. Karena itu, dia mengerling ke arah ketua itu yang memandang dengan alis berkerut melihat betapa pembantu-pembantu utamanya jelas bukan tandingan pemuda perkasa itu.

"Orang yang gagah selalu mempertanggung jawabkan sendiri semua perbuatannya, akan tetapi sungguh aneh, seorang pangcu dari perkumpulan besar dan terkenal seperti Hwa-i Kaipang ternyata berlindung kepada anak buahnya!"

Merahlah wajah ketua Hwa-i Kaipang mendengar ucapan ini. Memang semenjak tadi dia sudah hendak turun tangan sendiri, akan tetapi melihat para pembantunya sudah turun tangan untuk membelanya, dia mendiamkannya saja karena dia pun ingin melihat sampai di mana kelihaian dua orang muda yang datang membantu dua orang saudara kembar yang nekat itu.

Terkejutlah dia tadi melihat gerakan-gerakan Lie Seng dan selagi dia melihat ketiga orang pembantu utamanya mengeroyok pemuda itu, sekarang gadis cantik yang menjadi suci dari pemuda itu telah menyindirnya. Maka dia lalu melangkah maju.

"Nona, kalau kau hendak mewakili keluarga Tio, majulah. Siapa takut kepadamu?"

Mei Lan tersenyum. "Bagus, hal ini sudah kutunggu-tunggu, pangcu. Nah, aku sudah siap menghadapi tongkat bututmu. Mulailah!"

"Sambutlah, gadis sombong!" Kakek itu menggerakkan tongkatnya dan terdengar suara mencicit nyaring keluar dari sinar tongkat yang menyambar gadis itu. Mei Lan terkejut juga dan cepat mengelak.

"Trakkk!"

Batang pohon yang berada di belakang gadis itu patah terkena sambaran hawa pukulan tongkat itu! Maklumlah Mei Lan bahwa ketua ini benar-benar seorang jagoan yang lihai, maka dia pun dengan tenang lalu menghadapinya dengan waspada.

Memang Hwa-i Sin-kai, ketua dari perkumpulan pengemis itu sudah marah sekali melihat para pembantunya kalah, maka begitu menyerang dia telah mengeluarkan kepandaiannya yang istimewa dan mengerahkan sinkang sehingga sambaran tongkatnya mendatangkan angin pukulan yang amat ganas. Akan tetapi, serangan pertama tadi dapat dihindarkan oleh gadis itu secara mudah saja, maka dia menjadi penasaran dan sambil mengeluarkan gerengan seperti seekor singa, dia sudah menerjang lagi dengan dahsyat.

Dan terjadilah pertandingan yang membuat Souw Kwi Eng dan Souw Kwi Beng melongo penuh kekaguman. Gadis cantik itu tiba-tiba saja lenyap dan tubuhnya berubah menjadi sosok bayangan yang sukar diikuti pandang mata, bayangan yang berkelebatan di antara gulungan sinar tongkat kakek itu yang sudah menyerang dengan hebatnya, karena kakek itu mengeluarkan ilmunya Ta-houw Sin-ciang yang mengeluarkan hawa dingin, pukulan-pukulan tangan kiri yang amat ampuh untuk membantu Ilmu Tongkat Ngo-lian Pang-hoat yang sudah mencapai tingkat tinggi.

Akan tetapi gadis itu seperti bertubuh kapas saja, begitu ringan dan setiap kali disambar tongkat, seolah-olah angin sambaran itu sudah mendorongnya sehingga selalu tongkat itu sendiri tidak dapat mengenai tubuhnya. Dan hebatnya, setiap kali tangan yang kecil dan halus itu menangkis pukulan Ta-houw Sin-ciang yang dingin sekali, nampaklah uap putih keluar dari pertemuan kedua tangan mereka, dan kakek itu merasa betapa tangan kirinya menjadi panas seperti dibakar! Bukan itu saja, malah kakek itu selalu merasa lengannya tergetar hebat pada setiap pertemuan tangan.

Hwa-i Sin-kai sesungguhnya bukanlah orang sembarangan. Dia memiliki ilmu kepandaian yang sudah amat tinggi tingkatnya, sehingga dia boleh dibilang merupakan seorang datuk ilmu silat di dunia kang-ouw. Namanya dikenal luas oleh semua jago-jago silat, baik dari golongan putih mau pun dari golongan hitam.

Ilmu tongkatnya yang disebut Ngo-lian Pang-hoat (Ilmu Tongkat Lima Teratai) sudah amat terkenal dan sukar dilawan, karena kalau dia mainkan ilmu tongkat ini, sama saja dengan lima batang tongkat yang dimainkan oleh lima orang. Terlebih lagi ilmu pukulannya yang disebut Ta-houw Sin-ciang itu, diberi nama demikian sebab kabarnya dengan sekali pukul saja kakek ini dulu pernah menewaskan seekor harimau yang menjadi pecah kepalanya!

Ta-houw Sin-ciang (Ilmu Tangan Sakti Pemukul Harimau) digerakkan dengan pengerahan sinkang yang mengandung hawa dingin menusuk tulang, maka lihainya bukan kepalang. Inilah sebabnya, karena merasa bahwa dia adalah seorang cabang atas, seorang datuk persilatan, Hwa-i Sin-kai merasa marah sekali dengan adanya gangguan dari Kim Hong Liu-nio yang berani memusuhi perkumpulannya, seolah-olah berani menentang dirinya.

Akan tetapi, setelah bertanding selama hampir tiga puluh jurus, kakek itu segera menjadi terheran-heran dan kaget setengah mati melihat betapa gadis itu benar-benar luar biasa sekali! Ginkang dari gadis itu membuat tubuh si gadis ini seperti dapat menghilang saja, bahkan dapat berkelebatan di antara sinar-sinar tongkatnya yang telah mengurung rapat.

Yang lebih hebat lagi, gadis itu berani dan kuat menangkis pukulan Ta-houw Sin-ciang! Bukan hanya berani dan kuat, bahkan dapat membuat dia merasakan hawa panas yang luar biasa menyerang lengannya. Padahal seingatnya, belum pernah ada tokoh persilatan yang dapat menghadapi Ta-houw Sin-ciang seperti ini!

Secara diam-diam kakek ini menjadi bingung dan khawatir karena tidak pernah mengira bahwa di dunia persilatan akan muncul seorang gadis yang begini lihai bersama adiknya atau sute-nya yang juga lihai bukan main! Dia segera mengerahkan seluruh tenaganya, mengeluarkan seluruh kepandaiannya karena bagaimana pun juga, dia tidak boleh kalah oleh seorang gadis muda seperti ini. Kekalahan itu tentu akan langsung menghancurkan nama besarnya.

Meski pun dia dikeroyok tiga orang kakek lihai, namun dibandingkan dengan suci-nya, Lie Seng menghadapi lawan yang jauh lebih lunak. Dengan enaknya pemuda ini menghadapi serbuan-serbuan itu bagai seekor kucing yang mempermainkan tiga ekor tikus. Dia hanya kadang-kadang mendorong untuk membuat tiga orang pengeroyoknya terhuyung-huyung atau pun terpelanting, tanpa menjatuhkan tangan keras untuk melukai mereka, apa lagi membunuh mereka.

Akan tetapi, begitu dia melihat suci-nya sudah bertanding melawan ketua Hwa-i Kaipang dan mendapat kenyataan betapa kakek itu sangat lihai, Lie Seng ingin berjaga-jaga dan kalau perlu melindungi suci-nya, maka dia lalu berseru keras, dan gerakannya berubah menjadi cepat bukan main.

Pada saat itu, dia baru saja menghindar dari sambaran tongkat Lo-thian Sin-kai yang jauh lebih lihai dari pada dua orang kakek pengemis yang lain. Begitu tongkat itu luput, kakek tingkat kedua ini langsung menghantam dengan tangan kirinya yang mengandung tenaga sinkang dahsyat. Akan tetapi Lie Seng yang ingin cepat menyelesaikan pertempuran itu tidak lagi mengelak, melainkan menggerakkan tangannya, dengan sengaja dia memapaki hantaman itu dengan sambutan tangan kanannya.

"Plakkk...!"

Dua telapak tangan bertemu dan akibatnya tubuh Lo-thian Sin-kai terguling dan kakek ini roboh lemas, tidak dapat bangkit kembali karena tubuhnya terasa lumpuh semua.

Dua orang kakek tingkat tiga yang melihat ini menjadi terkejut dan menubruk dari kanan kiri, namun Lie Seng memapaki mereka dengan tamparan-tamparan yang ampuh hingga kedua orang ini pun terpelanting dan tidak mampu bangun kembali karena sekali ini Lie Seng mempergunakan tenaga yang agak besar sehingga mereka yang kena ditampar itu roboh pingsan!

Walau pun tubuhnya seperti lumpuh, Lo-thian Sin-kai masih mampu berseru kepada para pengemis lainnya, "Maju semua! Keroyok dia...!" Dan bergeraklah semua anggota Hwa-i Kaipang maju menyerbu dan mengeroyok Lie Seng!

"Hemm, kalian benar-benar jahat!" Lie Seng berseru.

Pemuda ini lalu mengamuk, merobohkan para pengeroyok dengan tamparan tangan dan tendangan kakinya. Melihat ini, Souw Kwi Beng dan Souw Kwi Eng juga tidak mau tinggal diam, mereka berdua lalu mengamuk pula, tidak mempedulikan tubuh mereka yang sudah sakit-sakit akibat dihajar oleh ketua Hwa-i Kaipang tadi. Kini mereka dapat melampiaskan kemarahan dan sakit hati mereka kepada anggota kaipang itu, bertempur bahu-membahu dengan Lie Seng yang gagah perkasa.....

Traktiran: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan) ataupun bisa melalui via Trakteer yang ada dibawah

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar