Pendekar Lembah Naga Jilid 14

Setelah Kim Hong Liu-nio melompat turun dan melihat sekeliling, benar saja dia mengenal bahwa mereka itu adalah pasukan Jeng-hwa-pang! Tentu saja dia merasa marah sekali sehingga cepat dia menghampiri enam orang yang dia duga tentulah merupakan pimpinan Jeng-hwa-pang.

Pada waktu dia pernah mengacau di Jeng-hwa-pang, membunuh-bunuhi orang-orang she Tio termasuk isteri ketua Jeng-hwa-pang, dia tak sempat bertemu dengan para pimpinan Jeng-hwa-pang yang kabarnya sedang pergi menangkapi ular-ular merah. Akan tetapi dia mendengar bahwa pimpinan Jeng-hwa-pang terdiri dari ketuanya yang dibantu oleh lima orang tokoh Jeng-hwa-pang yang berkepandaian tinggi. Maka kini, ketika melihat ada enam orang berdiri tegak dengan sikap angkuh, mudah saja bagi Kim Hong Liu-nio untuk menduga bahwa tentu mereka itulah para pimpinan Jeng-hwa-pang.

"Jeng-hwa-pang mengundang kami untuk datang ke sarangnya, akan tetapi sekarang di dalam hutan menghadang seperti kelakuan para perampok berwatak rendah!" Kim Hong Liu-nio berseru dengan suaranya yang nyaring. "Jeng-hwa-pang mengundang orang untuk mengadu kepandaian atau hendak melakukan pengeroyokan seperti pengecut-pengecut hina?"

Enam orang itu mengerutkan alis mereka dan memandang marah. Tak mereka sangka wanita secantik itu ternyata mempunyai lidah yang sangat tajam. Pria berusia lima puluh tahun yang wajahnya merah dan bertubuh tegap gagah, yaitu Jeng-hwa-pangcu sendiri melangkah maju kemudian menudingkan telunjuk tangan kirinya ke arah muka Kim Hong Liu-nio.

"Kim Hong Liu-nio, baru sekarang kita ada kesempatan untuk saling bertemu! Engkau dan tujuh belas orang pengawalmu itu tak ada artinya. Engkau telah dikurung oleh anak buah kami yang berjumlah tujuh puluh lima orang! Kekuasaan ada padaku dan kelemahan ada padamu, maka tidak perlu lagi kau bersikap sombong. Kamilah yang menentukan apakah akan membasmi kalian satu demi satu ataukah sekaligus! Dan..."

"Tunggu dulu!" Kim Hong Li-nio menghentikan ucapan lawannya itu dengan mengangkat tangan ke atas. Tangan yang diangkat ke atas ini merupakan isyarat bagi para anggota pasukan pengawalnya dan mereka itu cepat menurunkan busur dan anak panah dan siap dengan senjata itu di tangan mereka.

"Agaknya engkau adalah Jeng-hwa-pangcu Gak Song Kam! Ehh, orang she Gak, apakah engkau tidak melihat keadaan pasukan pengawal itu?"

Gak Song Kam dan lima orang pembantunya memandang dan melihat tujuh belas orang pengawal itu memegang busur dan anak panah, mereka tertawa, diikuti pula oleh puluhan orang anak buah mereka yang menyeringai. Akan tetapi tidak ada suara ketawa keluar dari mulut mereka sehingga Sin Liong bergidik. Sungguh menyeramkan melihat puluhan orang itu menyeringai sehingga nampak gigi mereka akan tetapi sama sekali tidak ada suara yang keluar!

"Ha-ha-ha, Kim Hong Liu-nio, sungguh lucu sekali melihat gertakanmu ini! Apa sih artinya tujuh belas orang pengawalmu yang memegang busur dan anak panah itu? Apakah kau kira kami ini hanyalah kijang-kijang dan kelinci-kelinci yang lemah sehingga mudah saja ditakut-takuti dan ditodong dengan anak panah seperti itu? Ha-ha-ha!"

"Jeng-hwa-pangcu, kalian bukan hanya kijang-kijang dan kelinci-kelinci lemah, akan tetapi malah adalah sekumpulan babi hutan yang tolol. Lihatlah baik-baik!"

Kim Hong Liu-nio segera memberi isyarat dengan jari tangannya ke atas, ibu jari tangan kanannya diacungkan ke atas dan tujuh belas orang pengawal itu lalu menarik busur, dan para anggota Jeng-hwa-pang sudah siap untuk menangkis atau mengelak.

Akan tetapi tiba-tiba saja anak panah itu dihadapkan ke atas dan begitu tali busur dilepas meluncurlah tujuh belas batang anak panah. Sesudah tiba di atas, anak-anak panah itu mengeluarkan ledakan kemudian nampaklah sinar merah bernyala di angkasa. Kiranya anak-anak panah itu adalah anak panah berapi yang dipergunakan untuk mengirim berita!

Orang-orang Jeng-hwa-pang merasa terkejut, heran dan tidak mengerti. Akan tetapi tak lama kemudian mereka dikejutkan oleh suara bergemuruh dari empat penjuru. Kemudian, terdengarlah derap kaki kuda yang banyak sekali disertai sorak-sorai dari banyak sekali orang. Dan tampaklah oleh mereka karena hutan itu berada pada lereng bukit yang agak tinggi, betapa dari empat penjuru berdatangan pasukan-pasukan yang masing-masing tak kurang dari tiga ratus orang jumlahnya!

Gak Song Kam dan para pembantunya saling pandang dan muka Gak Song Kam yang biasanya berwarna merah itu kini berubah menjadi pucat. Melihat ini, Kim Hong Liu-nio tertawa dan kini terdengar suara berbisik ketika pasukan-pasukan itu mulai mendekat dan mengurung hutan itu, siap untuk menyerbu jika ada tanda dari Kim Hong Liu-nio.

Tempat itu termasuk daerah kekuasaan Raja Sabutai, maka semua suku bangsa yang berada di sekitar tempat itu tentu saja merupakan bawahan-bawahan raja ini, dan begitu melihat tanda bahaya yang dilepas melalui anak panah tadi, lantas berbondong-bondong mereka datang dari segenap jurusan ke hutan itu.

"Orang she Gak, apakah kau masih mau bicara tentang siapa yang mengurung dan siapa yang dikurung, siapa yang kuat dan siapa yang lemah, dan siapa pula yang menentukan? Pengawalku memang hanya tujuh belas orang, tapi anak buahmu hanya berjumlah tujuh puluh lima orang sedangkan pasukanku yang telah datang saja sudah lebih dari seribu orang, belum lagi yang sedang datang dari tempat yang agak jauh. Engkau mau bicara apa sekarang?"

Hati Gak Song Kam menjadi gentar. Memang maksudnya hendak menghadapi wanita ini sebagai musuh pribadi dan dia memang tidak berani membawa-bawa nama Raja Sabutai yang dia tahu memiliki pasukan-pasukan yang amat kuat dan tidak mungkin dilawan oleh anak buahnya itu.

Tadinya, pada waktu melihat musuh besarnya itu hanya dikawal oleh tujuh belas orang pengawal, maka begitu mendengar berita ini, dia cepat mengumpulkan anak buahnya dan melakukan penghadangan jalan sebab dia bermaksud membalas dendam dan membasmi semua orang di tengah hutan agar kalau Raja Sabutai mendengar tentang pembasmian itu, dia tidak akan menyangka bahwa orang-orang Jeng-hwa-pang vang melakukannya.

Kalau Kim Hong Liu-nio tiba di sarang Jeng-hwa-pang, tentu saja Jeng-hwa-pang tidak memungkiri lagi dan berarti akan menanam bibit permusuhan dengan Raja Sabutai dan hal itu amatlah berbahaya. Akan tetapi, siapa kira wanita ini benar-benar amat cerdik dan tidak dapat ditundukkan dengan hanya mengandalkan banyak anak buah karena ternyata di belakang wanita itu berdiri pasukan yang ribuan orang jumlahnya. Maka terpaksa Gak Song Kam tersenyum-senyum masam untuk menutupi rasa gentar dan kecewanya.

"Hemm, kiranya Kim Hong Liu-nio yang mengaku gagah perkasa itu hanya mengandalkan pasukan besar untuk menghadapi lawan!"

"Cihh! Orang she Gak, sebaiknya engkau menelan kembali ludahmu itu! Engkaulah yang mengandalkan jumlah banyak! Sekarang cepatlah katakan, engkau mengundang aku ke Jeng-hwa-pang kemudian menghadang di tengah jalan ini, engkau mempunyai niat curang apakah?"

Gak Song Kam berdehem untuk menenangkan hatinya yang terguncang. Kemudian dia menjawab pertanyaan itu dengan pertanyaan pula, "Kim Hong Liu-nio, benarkah engkau yang telah membunuh isteriku dan sembilan orang keluarga isteriku beberapa bulan yang lalu?"

Kim Hong Liu-nio mengangguk, lantas menurunkan papan salib dari punggungnya sambil memperlihatkan tulisan tiga huruf di atas papan itu. "Bukan salahku, pangcu, akan tetapi salahnya isterimu dan salahmu sendiri. Kenapa isterimu she Tio? Kenapa pula engkau menikah dengan seorang she Tio dan di rumahmu tinggal sembilan orang she Tio itu?"

Tentu saja jawaban ini amat bo-ceng-li (kurang ajar) dan mau menang sendiri saja. Muka Gak Song Kam menjadi semakin merah dan matanya mengeluarkan sinar berapi, akan tetapi melihat keadaan yang tak menguntungkan, dia tidak berani terlalu memperlihatkan kemarahannya.

"Kim Hong Liu-nio! Engkau pasti tahu bahwa di dunia kang-ouw terdapat peraturan bahwa siapa hutang uang bayar uang, hutang budi bayar budi, dan hutang nyawa bayar nyawa," berkata orang she Gak itu dengan suara penuh ancaman dan tangan kanannya meraba gagang pedang di pinggangnya. 

Wanita itu tersenyum mengejek. "Hemm, kau maksudkan bahwa aku sudah membunuh isterimu dan keluarganya, sekarang engkau hendak membunuhku?"

"Itu sudah merupakan kepantasan!" jawab ketua Jeng-hwa-pang.

Kim Hong Liu-nio mengangguk-angguk. "Memang pantas! Seorang suami tentunya harus membalas kematian isterinya, atau mengikuti isterinya ke alam baka. Soalnya, engkau mampu membunuh aku ataukah sebaliknya. Dan apakah kau masih ingin mengandalkan pengeroyokan untuk membunuhku, pangcu?"

Diejek demikian, makin marahlah Gak Song Kam. Kalau dia tidak ingat bahwa tempat itu sudah dikurung oleh seribu lebih pasukan, tentu dia akan menggerakkan anak buahnya untuk membunuh iblis betina ini.

"Ataukah engkau akan bersikap pengecut dan curang, mempergunakan racun-racunmu?" kembali wanita itu mengejek.

"Apakah engkau takut?" ketua Jeng-hwa-pang itu berkesempatan balas mengejek.

Wanita itu tersenyum, manis sekali sehingga diam-diam Gak Song Kam merasa heran dan juga sayang mengapa wanita secantik itu berhati kejam seperti iblis dan juga harus dibunuhnya untuk membalas kematian isterinya dan sembilan orang keluarga isterinya.

"Racun-racunmu itu hanya permainan kanak-kanak, siapa takut? Akan tetapi bila engkau akan menggunakan pengeroyokan anak buahmu, terpaksa aku pun akan menggerakkan pasukanku."

Tiba-tiba lima orang pembantu utama Gak Song Kam bergerak maju ke depan. Seorang di antara mereka berkata, "Tidak ada pengeroyokan! Pangcu kami mengundang untuk pibu. Kami berlima adalah pembantu-pembantu utamanya dan kami berlima sudah biasa maju bersama. Biarlah kami mengawali pertandingan ini dan menjadi jago-jago fihak pangcu. Silakan kouwnio mengeluarkan jago kouwnio untuk menandingi kami!"

Kim Hong Liu-nio masih tersenyum dan memandang lima orang laki-laki itu. Usia mereka itu kurang lebih empat puluh sampai lima puluh tahun, semua bertubuh tegap dan terlihat kuat, berpakaian ringkas dan mereka berlima memegang lima macam senjata pula. Ada yang memegang pedang, golok, tombak, toya dan ruyung.

Dia sudah mendengar laporan dari para penyelidiknya bahwa lima orang pembantu dari Jeng-hwa-pang ini lihai sekali, apa lagi kalau mereka maju bersama karena kelimanya merupakan ahli dalam barisan Ngo-heng-tin. Dia sendiri banyak mempelajari ilmu-ilmu silat dari berbagai cabang persilatan, akan tetapi dia belum mengenal Ngo-heng-tin, maka hatinya tertarik sekali.

"Hemm, jadi kalian berlima adalah pembantu-pembantu Jeng-hwa-pangcu yang terkenal dengan ilmu Ngo-heng-tin? Kabarnya kalian adalah perampok-perampok dari Heng-san, benarkah?"

Wajah lima orang itu menjadi merah sekali. Memang mereka dahulunya sebelum menjadi tokoh Jeng-hwa-pang, adalah lima orang perampok di Heng-san yang terkenal. Sesudah mereka dikalahkan dan ditundukkan oleh Jeng-hwa-pang, mereka lalu menggabung dan karena mereka itu lihai, maka sekarang mereka menjadi pembantu-pembantu utama dari Jeng-hwa-pangcu. Kini, disinggung masa lalu mereka, tentu saja mereka menjadi sangat malu dan marah.

"Kami adalah Heng-san Ngo-houw, dan kami sudah siap membela pangcu kami, silakan kouwnio mengeluarkan jago kouwnio."

"Suci, biarlah aku menghadapi mereka!" Tiba-tiba terdengar Han Houw berteriak dan dia sudah meloncat keluar dari dalam kereta dan lari menghampiri tempat itu. Melihat ini, Sin Liong merasa tertarik dan dia pun meloncat keluar dan mengikuti Han Houw.

Kim Hong Liu-nio mengerutkan alisnya. Sute-nya ini paling suka bertanding silat! Memang sudah pandai sute-nya ini, sudah banyak menguasai ilmu-ilmu silat tinggi karena memang mempunyai bakat yang amat hebat, akan tetapi sute-nya yang baru berusia empat belas tahun ini tentu saja masih belum memiliki pengalaman bertempur dan juga belum dapat dikatakan matang ilmu-ilmunya, sedangkan dia sudah dapat menaksir bahwa lima orang ini merupakan jago-jago yang sudah kawakan dan berbahaya.

"Lebih baik jangan sute. Mereka ini adalah orang-orang berbahaya."

"Biarlah, suci. Aku tidak takut."

"Dan aku akan membantu Han Houw!" tiba-tiba Sin Liong ikut berkata.

Kim Hong Liu-nio terkejut dan cepat menoleh, memandang Sin Liong sambil mengerutkan alisnya. Anak ini benar-benar lancang dan kurang ajar, menyebut sang pangeran dengan namanya begitu saja! Dan berlagak hendak membantu segala.

"Minggirlah engkau!" bentaknya kepada Sin Liong. Kemudian dia menghadapi lima orang Hengsan Ngo-houw sambil berkata, "Kalian maju berbareng dengan berlima, sebaliknya sute-ku berani menghadapi kalian. Bagaimana kalau aku dan sute-ku maju bersama, jadi dua lawan lima? Aku ingin melatih sute-ku dan kalian merupakan lawan latihan yang baik sebelum aku membunuh kalian."

Tentu saja lima orang itu menjadi semakin marah karena ucapan itu jelas mengandung pandangan rendah sekali terhadap mereka.

"Majulah!" bentak orang tertua di antara mereka, "Majulah kalian berdua, mau ditambah beberapa orang lagi pun tidak mengapa!"

"Suci, menurut suci, di antara mereka berlima ini, pemegang senjata mana yang paling berbahaya?" Han Houw bertanya, sikapnya tenang.

"Kelima batang senjata itu mempunyai keistimewaan masing-masing, sute, seperti juga sute sudah ketahui dan pelajari. Akan tetapi, kalau sute menghadapinya dengan pedang, tentu saja masing-masing memiliki kelemahan sendiri. Engkau tentu masih ingat bahwa ketika melawan pemegang senjata panjang harus merapat, sebaliknya menghadapi lawan bersenjata pendek harus merenggang."

"Tapi, senjata mereka ini lima macam, ada yang pendek ada yang panjang kalau mereka maju bersama..."

"Itulah lihainya Ngo-heng-tin, harap sute berhati-hati dan mengerahkan ginkang..."

Lima orang itu sudah tidak sabar lagi. Mereka dijadikan bahan pelajaran ilmu silat! Maka mereka segera bergerak mengurung wanita dan anak laki-laki itu, kemudian terdengarlah mereka berseru hampir berbareng, "Lihat senjata!"

Dan mulailah lima orang itu menggerakkan senjata masing-masing melakukan serangan!

"Cring-cringg-cringgg...!"

Nampak sinar terang berkelebatan dan ternyata Han Houw sudah mencabut pedang dan menangkis tiga batang senjata lawan yang menyambar, sedangkan dua batang senjata lain sudah dikebut oleh ujung sabuk merah Kim Hong Liu-nio! Akan tetapi, lima orang itu sudah menyerang lagi lebih hebat dan gerakan mereka benar-benar amat luar biasa.

"Jangan tangkis, elakkan, pergunakan ginkang dan lindungi diri dengan sinar pedang!" terdengar Kim Hong Liu-nio berseru dan dua orang ini segera berkelebatan dengan cepat sekali di antara sambaran lima batang senjata itu.

Han Houw mengerti bahwa suci-nya menyuruh dia mengelak untuk dapat memperhatikan cara lima orang lawan itu melakukan penyerangan dengan tersusun dalam Ngo-heng-tin. Dan memang demikianlah, Kim Hong Liu-nio diam-diam mempelajari gerakan lima orang itu dan dengan cepat dia sudah dapat menangkap inti dari kerja sama lima orang itu.

Ternyata memang ada unsur ngo-heng pada setiap gerakan-gerakan mereka yang saling membantu dan saling melindungi, seperti juga sifat dari lima zat pokok yaitu api, air, kayu, logam, dan tanah. Ilmu berdasarkan ngo-heng ini memang hebat bukan main, dan setelah saling melindungi maka menjadi amat kuat.

Akan tetapi segera Kim Hong Liu-nio melihat bahwa dasar dari tingkat ilmu yang dimiliki oleh lima orang itu belum begitu kuat. Dan inilah kelemahan mereka. Andai kata mereka itu terdiri dari orang-orang yang mempunyai dasar ilmu yang kuat, maka Ngo-heng-tin ini benar-benar amat sukar ditundukkan. Setelah melihat kelemahan lawan, maka Kim Hong Liu-nio tersenyum dan berkata kepada sute-nya,

"Sute, kau sekarang boleh serang mereka yang memegang pedang dan golok! Gunakan gerakan Lian-cu Siang-kiam (Tikaman Ganda Berantai)!"

Han Houw mentaati perintah suci-nya dan cepat pedangnya membuat gerakan berganda, melakukan serangan bertubi-tubi kepada pemegang pedang dan pemegang golok tanpa mempedulikan yang lain. Berdasarkan silat Ngo-heng-tin, ketiga orang lainnya tentu saja telah menggerakan senjata secara otomatis melindungi kedua orang itu.

Akan tetapi tampaklah sinar merah panjang berkelebatan dan sinar yang dibuat dari sabuk merah Kim Hong Liu-nio ini sudah membentuk benteng yang menghadang ketiga orang lainnya sehingga mereka terpisah dari si pemegang golok! Kini terpaksa kedua orang ini menghadapi serangan pedang Han Houw, dan mereka terkejut bukan main menyaksikan sinar pedang yang berkeredepan dan amat cepat itu.

Mereka kini terdesak dan menangkis kalang-kabut, dan lebih kaget lagi hati mereka waktu mereka menangkis, pedang dan golok mereka menjadi patah ujungnya, tidak kuat beradu dengan pedang pusaka di tangan Han Houw. Apa lagi karena anak itu memang sudah mengerahkan sinkang yang istimewa, yang dikuasainya di bawah gemblengan Hek-hiat Mo-li sendiri!

Sin Liong menonton dengan mata terbelalak penuh kagum. Bukan main, pikirnya. Kiranya Ceng Han Houw benar-benar mempunyai ilmu kepandaian yang sangat hebat. Pandang matanya sampai kabur menyaksikan anak itu mengamuk dikeroyok oleh dua orang yang memegang pedang dan golok itu, sedangkan tiga orang lainnya ditahan oleh sinar merah dari Kim Hong Liu-nio, membuat mereka bertiga bergerak bingung karena ujung sinar merah itu kini berubah banyak sekali dan terus melakukan totokan-totokan ke jalan-jalan darah maut mereka!

Tiba-tiba terdengar teriakan nyaring dan si pemegang golok roboh terguling, dari lehernya mengucur darah karena tenggorokannya telah tertembus oleh ujung pedang Han Houw! Dan kini si pemegang pedang dengan muka pucat berusaha untuk mempertahankan diri sambil memutar pedangnya yang telah buntung!

Semua ini tidak terlepas dari pandang mata Gak Song Kam. Menyaksikan semua itu, ketua Jeng-hwa-pang ini terkejut bukan main. Dia sendiri, sesudah mengerahkan seluruh kepandaiannya, baru mampu mengimbangi Ngo-heng-tin. Dan kini, Ngo-heng-tin menjadi kocar-kacir hanya menghadapi seorang bocah yang dibantu oleh wanita cantik itu, bahkan seorang di antara mereka telah roboh dan tewas, sedangkan yang empat orang lagi dia tahu tentu hanya tinggal menanti waktu saja.

Melihat gerakan sabuk merah milik Kim Hong Liu-nio, dia tahu bahwa kalau saja wanita itu menghendaki, tentu sudah sejak tadi tiga orang temannya itu dapat dirobohkan, akan tetapi agaknya wanita itu betul-betul hendak ‘melatih’ sute-nya dan membiarkan sute-nya merobohkan lima orang itu dan dia hanya membantu, hanya untuk mencegah tiga orang itu mengeroyok.

Dan melihat ini semua, tanpa bertanding pun tahulah ketua Jeng-hwa-pang ini bahwa dia sendiri bukanlah lawan Kim Hong Liu-nio dan usahanya membalas dendam akan sia-sia belaka, bahkan dia hanya akan menyerahkan nyawanya saja. Maka timbullah akal yang curang di dalam benak Gak Song Kam.

Sejak tadi dia melirik ke arah Sin Liong. Dia tidak tahu siapa anak itu, akan tetapi melihat gerak-geriknya, anak itu tidaklah selihai anak laki-laki yang memegang pedang itu, akan tetapi karena datang bersama Kim Hong Liu-nio, tentu anak itu pun merupakan seorang anggota keluarga atau anggota rombongan. Maka diam-diam dia lantas memberi isyarat kepada para anak buahnya. Semua anggota Jeng-hwa-pang adalah orang-orang yang telah bersumpah setia kepada Jeng-hwa-pang, maka begitu melihat isyarat itu, mereka lalu bergerak dan mencabut senjata, menyerang Kim Hong Liu-nio dan Ceng Han Houw!

Kim Hong Liu-nio terkejut dan marah sekali. Dia mengeluarkan suara melengking nyaring untuk memberi aba-aba kepada pasukan yang telah mengurung tempat itu, kemudian dia sendiri sudah mencabut pedangnya dan mengamuk sambil melindungi Han Houw. Ketika dia mencari-cari dengan pandangan matanya di antara pengeroyokan anak-anak buah Jeng-hwa-pang, dia tidak lagi melihat Gak Song Kam.

Ke mana perginya ketua Jeng-hwa-pang ini? Sesudah melihat anak buahnya menyerbu, orang yang cerdik ini lalu meloncat dan menyelinap di antara anak buahnya, bukan untuk mundur dan melarikan diri, melainkan untuk menghampiri kereta yang telah ditinggalkan oleh tujuh belas orang pengawal itu.

Para pengawal yang melihat betapa anak buah Jeng-hwa-pang sudah turun tangan ikut mengeroyok, tentu saja segera menggerakkan senjata dan menghadapi mereka dengan sengit. Kesempatan ini lantas digunakan oleh Gak Song Kam untuk menyerang ke depan dan menangkap Sin Liong.

"Eh, kau mau apa?" Sin Liong membentak dan berusaha mengelak, akan tetapi tetap saja pundaknya telah kena dicengkeram oleh ketua Jeng-hwa-pang itu.

"Diam kau! Kau ikut saja bersamaku!" bentak Gak Song Kam sambil mengangkat tubuh Sin Liong, mengempitnya dan mencengkeram tengkuknya, lalu ketua Jeng-hwa-pang ini melarikan diri.

Setiap kali bertemu dengan pasukan yang mulai berdatangan, dia mengancam, "Biarkan aku lewat, kalau tidak, kubunuh lebih dulu anak ini!"

Para anggota pasukan tidak mengenal Sin Liong, akan tetapi karena pengawal yang tadi melihat Sin Liong naik kereta bersama sang pangeran, cepat berseru agar Gak Song Kam yang telah menawan anak itu tidak diganggu! Demikianlah, maka Gak Song Kam berhasil melarikan diri sambil mengempit tubuh Sin Liong.

Akan tetapi, tiba-tiba saja terdengar suara Kim Hong Liu-nio yang nyaring. "Tahan dia itu! Tangkap ketua Jeng-hwa-pang yang curang itu!"

Ternyata, sesudah melihat lenyapnya Gak Song Kam, Kim Hong Liu-nio menjadi marah bukan main. Sambil melindungi Han Houw, cepat dia merobohkan empat orang Heng-san Ngo-houw, kemudian dia mengajak Han Houw mundur dan membiarkan tujuh belas orang pengawal menghadapi para anak buah Jeng-hwa-pang, karena sekarang pasukan sudah bergerak maju dan tentu puluhan orang Jeng-hwa-pang itu akan dibasmi habis. Bersama Han Houw dia lalu mencari-cari Gak Song Kam dan akhirnya dia melihat orang itu yang melarikan diri sambil mengempit tuhuh Sin Liong.

"Celaka, suci. Dia melarikan Sin long!"

Seruan Han Houw ini mengejutkan Kim Hong Liu-nio. Kalau Han Houw pada waktu itu mengkhawatirkan keselamatan Sin Liong yang terjatuh ke tangan ketua Jeng-hwa-pang, sebaliknya Kim Hong Liu-nio sangat khawatir kalau-kalau dia kehilangan Sin Liong yang akan dijadikan sandera untuk menemukan musuh besarnya, ayah kandung anak itu, dan menundukkannya.

Jadi kekhawatiran kedua orang ini mempunyai dasar yang jauh berbeda. Diam-diam Han Houw mengagumi dan merasa suka sekali terhadap Sin Liong yang dianggapnya jauh berbeda dari pada anak-anak biasa, apa lagi sikap Sin Liong terhadap dirinya yang tidak menjilat-jilat seperti anak-anak lain, benar-benar menimbulkan kesan di hatinya dan dia merasa suka bersahabat dengan anak itu.

Melihat Gak Song Kam melarikan Sin Liong, Kim Hong Liu-nio lalu berteriak menyuruh pasukan yang berada di belakang untuk menahan orang, itu. Akan tetapi pada saat itu, Gak Song Kam telah berhasil keluar dari kepungan dan kini mendengar seruan Kim Hong Liu-nio, kurang lebih tiga puluh orang prajurit anggota pasukan kecil yang berada paling belakang, segera membalikkan tubuhnya dan mereka berlari-lari mengejar!

Melihat tiga puluh orang lebih mengejarnya dan melepaskan anak panah, Gak Song Kam cepat menggerakkan tangan kanannya dan tangan itu sudah menyebar bubuk berwarna hitam di belakangnya. Bubuk itu tertiup angin lalu berserakan di sepanjang jalan dan juga terbawa angin sehingga tersebar sampai jauh.

Ketika tiga puluh orang lebih itu tiba di tempat itu tiba-tiba saja mereka itu menjerit dan robohlah tiga puluh lebih orang itu, berkelojotan di atas tanah sambil dua tangan mereka mencekik leher sendiri. Mereka sudah terkena hawa beracun dari bubuk hitam yang tadi ditaburkan oleh ketua Jeng-hwa-pang itu!

Melihat ini, pasukan lain dari sebelah kiri bergerak maju untuk menghadang, tetapi pada saat itu pula Gak Song Kam telah melempar-lemparkan beberapa benda-benda kecil, dan terdengarlah suara ledakan lalu nampak asap kehitaman mengepul memenuhi jalan.

"Jangan kejar! Kembali...!" Kim Hong Liu-nio berseru.

Akan tetapi terlambat, karena belasan orang prajurit telah tiba di tempat itu dan kembali terdengar jerit-jerit mengerikan lalu mereka itu terguling roboh. Asap beracun itu seketika membunuh mereka dan muka mereka berubah menjadi kehijauan!

"Keparat!" Kim Hong Liu-nio kini meninggalkan Han Houw. "Sute, jangan ikut mengejar!" teriaknya kemudian tubuhnya melesat.

Ketika sampai di tempat di mana disebar racun, dia mengerahkan sinkang-nya menahan napas, lalu meloncat bagaikan seekor burung terbang melampaui tempat itu dan tiba di sebelah sana yang aman. Akan tetapi, karena pada waktu itu senja telah datang dan di sebelah depan merupakan hutan yang amat gelap, dia tidak lagi melihat bayangan ketua Jeng-hwa-pang.

Kim Hong Liu-nio berdiri termangu-mangu. Dia adalah seorang yang sakti dan jangankan baru menghadapi seorang seperti Gak Song Kam saja, biar ada lima orang Gak Song Kam dia tak akan takut menandinginya. Akan tetapi, Gak Song Kam adalah seorang ahli racun, dan kini orang yang curang itu sudah berada di dalam hutan gelap. Menghadapi seorang curang seperti ketua Jeng-hwa-pang itu, di tempat gelap dan orang itu ahli racun, benar-benar merupakan bahaya besar dan Kim Hong Liu-nio bukanlah seorang bodoh.

Memang dia kehilangan Sin Liong, akan tetapi dalam waktu enam bulan anak itu akan mati juga. Lagi pula, untuk mencari Cia Bun Houw tanpa bantuan Sin Liong pun dia masih sanggup. Maka sesudah mengepal tinju memandang ke arah hutan gelap dan di dalam hatinya berjanji untuk kelak membunuh Gak Song Kam, dia kemudian membalikkan tubuh kembali kepada sute-nya yang telah menantinya di dalam kereta.

Ternyata bahwa tujuh puluh lebih anggota Jeng-hwa-pang, tidak ada seorang pun yang dapat lolos. Semua terbunuh oleh pasukannya, akan tetapi fihak pasukan juga kehilangan banyak orang. Hampir dua ratus orang anggota pasukan tewas dikarenakan orang-orang Jeng-hwa-pang tadi juga menggunakan racun-racun yang menjatuhkan banyak lawan.

Setelah memesan agar para komandan pasukan mengurus anak buah yang telah tewas, Kim Hong Liu-nio lalu memilih dua ekor kuda terbaik, kemudian bersama Han Houw dia melanjutkan perjalanan dengan menunggang kuda, menuju ke selatan, ke tembok besar.

Wanita ini mulai dengan perjalanannya yang jauh dan penuh bahaya, menuju ke Kerajaan Beng, selain untuk memenuhi perintah permaisuri, yaitu mengusahakan agar Han Houw dapat berjumpa dengan kaisar, juga untuk mencari musuh-musuh besar gurunya, yaitu Cia Bun Houw, Yap In Hong, dan Tio Sun…..

********************

Sementara itu, Sin Liong terus dibawa lari oleh ketua Jeng-hwa-pang memasuki hutan lebat. Anak ini berusaha meronta, tetapi cengkeraman tangan Gak Song Kam amat kuat. Seorang dewasa yang bertenaga besar pun tidak akan dapat berkutik kalau dicengkeram oleh orang she Gak ini, apa lagi seorang anak kecil seperti Sin Liong.

Malam sudah tiba ketika Gak Song Kam berhenti berlari. Dia menotok jalan darah pada punggung Sin Liong, membuat anak itu lemas tak mampu bergerak, lalu melemparkan Sin Liong ke atas rumput sedangkan dia sendiri segera menjatuhkan diri di atas rumput, lalu kakek yang bertubuh tinggi tegap dan kelihatan gagah perkasa itu menangis! Menangis terisak-isak dan bercampur keluhan panjang pendek yang keluar dari kerongkongannya. Air matanya bercucuran, diusapnya dengan kedua tangan, bagai seorang anak kecil yang menangis karena kecewa hatinya.

Semua ini dapat dilihat oleh Sin Liong yang roboh terlentang, karena ada sinar bulan yang cukup terang menerobos di antara celah-celah daun pohon dan menyinari wajah kakek yang sedang menangis itu.

Watak anak itu memang aneh bukan main. Hatinya keras dan dia akan menentang segala ketidak adilan dengan penuh keberanian, dan dia tabah sekali menghadapi ancaman apa pun juga. Akan tetapi di balik ini, dia memiliki watak yang mudah terharu, mudah menaruh iba terhadap orang lain. Maka, begitu melihat kakek itu menangis demikian sedihnya, dia merasa terharu sekali dan juga kasihan, lupa bahwa kakek ini telah menangkapnya dan membuatnya tidak berdaya dengan totokan.

"Paman, kenapa engkau menangis begitu sedihnya?" tanpa tertahankan lagi dia bertanya, suaranya penuh keprihatinan.

Mendengat pertanyaan itu, Gak Song Kam menangis semakin keras lagi, seakan-akan pertanyaan itu menggugah semua kenangan yang pahit dan dia merasa benar betapa dia kini hanya sendirian saja, kehabisan keluarga, kehabisan anak buah yang sudah dibasmi musuh! Akan tetapi, semua ini mengingatkan dia akan kekejaman Kim Hong Liu-nio dan mendadak tangisnya terhenti, dia terbelalak menoleh ke arah Sin Liong dan membentak,

"Bocah setan! Mereka sudah membasmi semua anak buahku dan keluargaku. Baik, biar pun aku belum sanggup membalas kepada iblis betina itu, setidaknya aku sudah dapat memuaskan dendamku kepadamu!" Dia lalu meloncat, menyambar kedua kaki Sin Liong dan diseretnya tubuh anak itu ke bagian yang lebih dalam dari hutan itu.

Tentu saja Sin Liong tersiksa sekali. Tubuhnya lecet-lecet dan babak belur akibat terkena duri-duri saat dia diseret dan dia sama sekali tak mampu bergerak karena tubuhnya masih tertotok. Akhirnya, kakek itu berhenti di sebuah lereng bukit dan di bawah pohon-pohon besar itu terdapat sebuah lubang yang dalamnya ada dua meter, seperti sebuah sumur.

"Ha-ha-ha, akan kulihat engkau mengalami siksaan yang paling mengerikan! Sekarang ini bagianmu untuk menebus dosa itu, kelak baru akan kuseret iblis betina itu ke tempat ini!" Bagaikan orang gila Gak Song Kam tertawa bergelak dan karena ketika tertawa itu dia mengangkat mukanya, maka cahaya bulan persis menimpa mukanya, membuat wajah itu kelihatan kejam dan seperti muka setan! 

"Paman, apa yang akan kau lakukan terhadapku?" Sin Liong bertanya karena dia merasa tidak bermusuhan dengan orang ini akan tetapi kenapa orang ini menyiksanya?

"Ha-ha-ha-ha, kau ingin tahu? Ingin melihat? Nah, kau lihatlah!" Dia menyambar tubuh Sin Liong dan menggantung tubuh itu dengan kaki di atas dan kepala di bawah, kemudian dia menggantung tubuh itu di sumur.

Dengan kepalanya yang tergantung itu, Sin Liong dapat melihat lubang sumur yang gelap menghitam, akan tetapi masih nampak olehnya beberapa ekor ular merah bergerak-gerak di dasar lubang sumur itu!

"Ha-ha-ha, sudah kau lihat? Itulah lima ekor ular merah yang kami kumpulkan di sini, kami pelihara untuk diambil racunnya. Lima ekor ular yang paling ganas di dunia ini, dan aku akan melemparmu ke dalam lubang itu!" Sesudah berkata demikian, kembali Gak Song Kam melemparkan tubuh Sin Liong ke atas tanah di dekat lubang sumur yang mengerikan itu.

Melihat ular-ular itu, Sin Liong lantas bergidik. Ngeri juga hatinya melihat ular-ular itu, dan teringatlah dia akan cerita ibunya bahwa pada waktu kecil pun dia pernah digigit ular dan hampir mati. Teringat akan hal itu, dengan sendirinya dia segera teringat akan ibunya dan terbayanglah di depan matanya betapa ibunya, yang selama ini dianggapnya sebagai ibu angkatnya akan tetapi kemudian ternyata adalah ibu kandungnya sendiri, telah tewas.

"Ibuuuu...!" Sin Liong menjerit dan tiba-tiba saja anak ini menangis!

Tangisnya sesenggukan karena semenjak saat ibunya terbunuh hingga saat ini, dia selalu berada di dalam ketegangan dan dia belum memperoleh kesempatan untuk meluapkan kesedihannya. Kini, ketika teringat akan kematian ibunya, ibu kandungnya, tiba-tiba dia merasa begitu berduka sehingga dia menjerit dan menangis tersedu-sedu. Air matanya bercucuran tak dapat diusapnya karena kaki tangannya lumpuh tertotok.

"Ha-ha-ha-ha...!" Gak Song Kam girang bukan main. Terhibur juga hatinya yang sedang berduka melihat ‘musuhnya’ tersiksa seperti itu. Dia mengira bahwa Sin Liong menangis karena ketakutan, maka memanggil-manggil ibunya!

"Ibuu... ahhh, ibuuu... hu-hu-huuuh...!"

"Ha-ha-ha-haahhh...!"

Suara tangis dan tawa itu berselang-seling seperti saling berlomba, dan makin Sin Liong mengingat ibunya, makin hebatlah tangisnya dan makin keras pula suara tawa Gak Song Kam yang merasa sangat terhibur oleh kedukaan anak yang dianggapnya musuh besar atau setidaknya keluarga dari musuh besarnya ini.

"Ha-ha-ha, sekarang menangislah engkau, menangis terus hingga arwahmu akan menjadi setan yang menangis. Ha-ha-ha!"

Gak Song Kam menepuk punggung Sin Liong membebaskan totokannya sehingga anak itu kini dapat bergerak lagi. Kemudian sambil tertawa-tawa, ketua Jeng-hwa-pang itu lalu melemparkan tubuh Sin Liong ke dalam lubang sumur!

"Bukkk!"

Tubuh Sin Liong terbanting ke atas tanah yang agak lembek. Sin Liong terguling-guling sampai tubuhnya membentur dinding sumur. Anak ini terlentang, pakaiannya berlepotan tanah lumpur. Terdengar suara tertawa dan Sin Liong yang terlentang itu melihat kepala berikut wajah yang menyeramkan dari Gak Song Kam di atas lubang sumur. Kakek itu menjenguk ke bawah sambil tertawa.

Tiba-tiba hidung Sin Liong mencium bau yang harum bercampur amis dan mendengar suara mendesis. Dia terkejut, teringat akan ular-ular merah tadi dan cepat dia meloncat bangun dan berdiri. Akan tetapi pada saat itu, dia merasa betisnya digigit dari bawah.

"Aduhhh...!" Dia berseru kaget dan merasa betapa betisnya nyeri dan ada rasa ‘cesss’ seperti terkena sesuatu yang amat dingin, akan tetapi rasa dingin yang menyusup hingga ke tulang sumsum dan mendatangkan kenyerian hebat.

Saking nyerinya, ketika dia terjatuh dan meraba betis kirinya yang tergigit itu, tangannya mencengkeram seekor ular kecil, besarnya hanya seperti ibu jari kakinya dan panjangnya hanya beberapa jengkal. Akan tetapi ketika dia mencengkeram, tubuh ular yang membelit kakinya itu ternyata lemas dan ketika dia renggutkan terlepas dari kakinya, ternyata ular itu telah mati!

"Cesss...! Aduhhh!"

Kini tiba-tiba saja pahanya tergigit sesuatu lalu rasa dingin menyusup tulang membuatnya menggigil. Seperti tadi, tangannya yang sudah melempar bangkai ular merah itu kembali menangkap ular yang menggigit paha kanannya, dan sungguh aneh! Kembali dia hanya menangkap ular merah yang telah mati lemas, walau pun bangkai ular itu masih hangat dan tubuh ular itu masih berkelojotan sedikit.

Di bawah sinar bulan purnama yang hanya sedikit memasuki sumur kering itu, dia melihat ular kedua yang kulitnya belang-belang merah itu. Akan tetapi kembali ada ular yang telah menggigit lengan kirinya. Sebelum Sin Liong menangkap ular ini, ada lagi yang menggigit pinggang dan ada yang menggigit pundaknya.

Rasa dingin yang teramat hebat membuat Sin Liong terguling lagi dan mengaduh-aduh, kedua tangannya mencengkeram ke sana-sini dan seperti dua ekor ular yang pertama, juga tiga ekor ular merah itu langsung mati begitu menggigit tubuhnya. Sin Liong merintih-rintih, rasa dingin membuat seluruh tubuhnya menggigil.

Dia tidak lagi mempedulikan suara ketawa di atas, suara Gak Song Kam yang menikmati pemandangan remang-remang di bawah sumur, di mana dia hanya melihat anak itu jatuh bangun dan mengaduh-aduh. Dia mengira bahwa tentu anak itu sedang dikeroyok oleh lima ekor ular yang dipeliharanya di dalam lubang itu.

Dia membuka mata lebar-lebar, ingin sekali melihat anak itu ditelan oleh ular hutan besar yang juga berada di dalam lubang, ular yang tidak beracun akan tetapi besarnya sepaha manusia dan tentu akan senang sekali melihat anak itu, atau mayatnya perlahan-lahan ditelan oleh ular besar ini.

Kalau saja Gak Song Kam dapat melihat dengan jelas, tentu dia akan terkejut setengah mati melihat betapa lima ekor ular merah itu telah mati seketika begitu menggigit tubuh Sin Liong! Hal ini terjadi karena kebetulan saja.

Seperti sudah kita ketahui, di dalam tubuh Sin Liong mengeram racun Hui-tok-san, yaitu racun yang sangat hebat, yang akan membunuh anak itu sedikit demi sedikit. Racun ini sifatnya panas dan jahat bukan main. Sebaliknya, racun ular merah yang sama jahat dan berbahaya, justru memiliki sifat yang sebaliknya. Racun ular merah jenis yang dipelihara oleh ketua Jeng-hwa-pang itu mempunyai sifat dingin dan sekali racun ini memasuki jalan darah manusia, dalam waktu sebentar saja manusia itu tentu akan mati.

Akan tetapi, darah Sin Liong sudah diracuni oleh Hui-tok-san. Maka, begitu ular-ular itu menggigit, mereka bertemu dengan lawan hebat sehingga ular-ular itu mati seketika, tak kuat menghadapi hawa panas yang menyerang dari dalam tubuh Sin Liong.

Kini Sin Liong yang tersiksa hebat sekali. Biar pun lima ekor ular merah itu sudah mati, akan tetapi di dalam tubuhnya masih terjadi perang yang amat hebat dan menimbulkan penderitaan yang sukar dilukiskan. Seluruh tubuhnya terasa sakit, sebentar seperti akan terbakar, kemudian berganti berubah dingin bagaikan membeku, seluruh kulit tubuhnya seperti ditusuk-tusuk, dan dari dalam seperti ada ribuan ekor semut yang menggigitnya! Tanpa disadarinya, Sin Liong mengeluh dan jatuh bergulingan di atas dasar sumur yang berlumpur, tidak ingat dan tidak mendengar lagi akan suara ketawa dari atas sumur.

Memang agaknya belum waktunya bagi Sin Liong untuk tewas. Dua macam racun yang menguasai tubuhnya itu justru mengandung sifat yang berlawanan, dan keduanya adalah racun-racun yang paling ganas di dunia ini.

Kalau saja racun ular merah yang telah memasuki tubuhnya itu lebih banyak atau kurang sedikit saja, maka nyawanya takkan tertolong lagi! Akan tetapi yang memasuki tubuhnya justru tepat sekali, berimbang dengan racun Hui-tok-san, sehingga perimbangan yang tepat ini membuat dua macam racun itu saling serang dan akhirnya keduanya mati sendiri atau kehilangan dayanya, menjadi punah atau luntur sehingga tanpa disadari oleh anak itu kini Sin Liong terbebas dari ancaman maut.

Racun Hui-tok-san yang oleh Kim Hong Liu-nio dimasukkan ke dalam tubuhnya dan yang akan membunuhnya dalam waktu enam bulan, kini sudah buyar dan punah. Sebaliknya, racun lima ekor ular merah itu pun kehilangan dayanya karena punah oleh Hui-tok-san!

Namun, rasa nyeri akibat perang yang terjadi di dalam tubuhnya antara racun ular-ular merah dan Hui-tok-san, benar-benar amat menyiksa sehingga dalam keadaan setengah sadar Sin Liong bergulingan sambil mengeluh. Dan pada saat itu pula terdengarlah suara mendesis-desis. Seekor ular besar yang panjangnya ada tiga meter, meninggalkan akar besar di mana dia melingkar di dinding sumur itu lantas bergerak turun menghampiri Sin Liong yang masih bergulingan!

Tubuh anak itu memang kuat sekali berkat bertahun-tahun digembleng oleh kehidupan liar bersama monyet-monyet di atas pohon. Maka, setelah kedua macam racun itu mulai kehilangan kekuatan masing-masing karena saling memunahkan, dia pun mulai sadar.

Sin Liong sudah bangkit berdiri dan terhuyung, lalu bersandar pada dinding sumur. Dia membuka matanya dan pada saat itu dia melihat dua cahaya kecil mencorong, yaitu mata dari seekor ular besar yang telah berada di depannya, kepalanya tergantung ke bawah, lidahnya menjilat-jilat keluar!

Sin Liong terkejut bukan main, terkejut, ngeri, juga marah karena tubuhnya tersiksa oleh rasa nyeri yang hebat. Semua perasaan ini mendorong keluar nalurinya dan tiba-tiba dia mengeluarkan pekik dahsyat, bukan pekik manusia lagi namun pekik seekor kera muda yang sedang marah.

Kemudian, terdorong oleh naluri liar ini, dia bukannya menjauhkan diri dari kepala ular besar itu, melainkan sebaliknya malah. Dia menubruk maju dan mencengkeram leher ular itu! Ular itu mendesis lantas membuka mulut, akan tetapi dengan seluruh kekuatan Sin Liong mencekik leher ular. Ular itu lalu membelitkan tubuhnya, membelit-belit pinggang dan leher Sin Liong.

Anak ini tentu saja tidak mampu bertahan dan dia terguling, tubuhnya terbelit-belit ular itu dan terasa betapa lehernya tercekik. Karena merasa marah, Sin Liong lalu menggereng, membuka mulut dan menggigit leher ular itu. Digerogotinya leher ular itu sekuat tenaga, penuh keganasan disertai kemarahan, dan dia segera merasa darah segar yang panas memasuki mulutnya. Akan tetapi dia tidak peduli dan menggigit terus, menggigit terus!

Ular itu besar dan kuat sekali. Seorang laki-laki dewasa sekali pun tidak akan mungkin dapat melawan tenaga lilitannya, apa lagi Sin Liong. Kalau saja dia tidak berlaku nekat dan menggigit leher ular itu, tentu lehernya sendiri sudah patah dililit oleh ular itu. Karena gigitannya itulah, maka ular itu merasa kesakitan dan meronta, membuat lilitannya tidak teratur, tidak sampai mematahkan tulang leher atau punggung Sin Liong, akan tetapi tentu saja makin menyiksa anak itu.

Ketika mendengar suara pekik dahsyat yang keluar dari mulut Sin Liong tadi, Gak Song Kam terkejut bukan main, akan tetapi juga merasa gembira.

Dalam diri setiap orang manusia memang terdapat semacam nafsu yang buas ini, yaitu rangsangan yang menimbulkan ketegangan yang nikmat bila mana menyaksikan suatu siksaan atau kekejaman berlangsung menimpa diri lain orang atau lain makhluk. Nafsu yang mungkin diwarisi dari binatang inilah yang membuat manusia suka sekali nonton adu tinju, adu jengkerik, adu ayam, dan bunuh-membunuh, baik antar manusia mau pun antar makhluk hidup.

Nafsu yang dikenal dengan sebutan sadisme ini menguasai orang-orang yang batinnya lemah, orang-orang yang menonjolkan iba diri sehingga dia akan merasa senang melihat orang lain atau makhluk lain lebih menderita dari pada dirinya sendiri. Nafsu inilah yang menimbulkan segala macam perbuatan keji dan kejam di antara manusia.

Gak Song Kam yang mendengar pekik itu mengira bahwa tentu penyiksaan atas diri anak di dalam lubang sumur itu sudah mencapai puncaknya dan kakek ini tak ingin kehilangan kesempatan menyaksikan pemandangan yang dianggapnya sangat menegangkan namun menyenangkan itu. Maka cepat dia lalu membuat api, membakar sebongkok kayu kering sebagai obor, lalu dengan penerangan itu dia membantu sinar bulan menerangi ke dalam lubang sumur untuk menonton.

Namun, selagi dia menjenguk ke dalam lubang dan menggunakan tangan kiri menutupi sinar obor yang terlalu menyilaukan pandangannya, tiba-tiba terdengar pekik-pekik seperti tadi, kini banyak dan berulang-ulang. Bekas ketua Jeng-hwa-pang itu terkejut bukan main karena mendengar pekik-pekik itu bukan keluar dari lubang sumur, melainkan dari arah belakangnya.

Cepat dia membalikkan tubuh memandang sambil mengangkat obornya, dan hampir dia sendiri berteriak saking kagetnya. Tempat itu penuh dengan monyet-monyet besar yang menyeringai marah, memperlihatkan gigi-gigi bertaring dan mata kecil-kecil yang tajam dan liar!

Sebetulnya, yang datang berloncatan dari atas pohon-pohon itu hanya ada belasan ekor monyet besar saja. Akan tetapi karena cuaca remang-remang dan pekik dahsyat yang keluar dari kerongkongan rombongan monyet itu saling bersahut, berloncatan dari segala penjuru, sedangkan hati Gak Song Kam sedang terkejut bukan main, maka dia merasa seolah-olah yang muncul ada ratusan ekor monyet!

Dalam keadaan biasa, tentu saja orang yang mempunyai ilmu kepandaian tinggi ini tidak takut menghadapi rombongan monyet-monyet itu. Akan tetapi pada saat itu, Gak Song Kam adalah seorang pelarian yang baru saja meloloskan diri dari ancaman maut, maka melihat munculnya ‘ratusan’ ekor monyet besar itu, seketika timbul dugaannya bahwa hal ini tentulah merupakan siasat dari Kim Hong Liu-nio, wanita iblis itu. Maka, tanpa berpikir dua kali, dia segera membuang obornya dan melarikan diri dari tempat itu dengan cepat sebelum wanita yang ditakutinya itu muncul.....!

********************

Traktiran: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan) ataupun bisa melalui via Trakteer yang ada dibawah

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar