Kui Hok Boan menarik napas panjang. Dia mengerutkan alis, kemudian baru menjawab, "Sebenarnya, pedang yang saya pesan bukan untuk saya sendiri. Hendaknya Bhe-twako dan twaso mengetahui bahwa pada tahun ini saya akan mengikuti ujian di kota raja. Saya mengenal pengujinya sebagai seorang pembesar yang suka sekali pedang yang bagus, maka saya hendak membawa oleh-oleh sebatang pedang yang baik sekali untuk hadiah kepadanya. Dan saya mendengar bahwa Bhe-twako di sini adalah seorang ahli pedang yang hebat, maka jauh-jauh saya datang untuk memesan sebatang pedang yang baik dan indah yang akan saya hadiahkan kepada pembesar itu. Saya bersedia untuk membayar berapa saja harga pedang itu..."
"Ahhh... begitukah? Ha-ha-ha, Kui-kongcu tidak keliru kalau datang kepada saya. Tentang harga pedang, ahhh, mari kita makan dulu. Urusan itu dapat kita bicarakan nanti."
"Benar, kongcu. Silakan makan seadanya, dan maklumlah, karena tinggal di dusun maka kami tidak berkesempatan untuk menyajikan masakan yang baik."
Kui Hok Boan bangkit berdiri dan menjura kepada Bhe Coan, kemudian kepada Leng Ci, "Twako dan twaso sungguh budiman dan ramah sekali terhadap saya, sudah menerima kedatangan saya sebagai seorang anggota keluarga saja. Oleh karena itu, rasanya tidak enak apa bila saya makan sendiri masakan twaso yang sudah berjerih telah membuatkan masakan-masakan ini. Kalau boleh, saya persilakan agar twaso ikut pula makan bersama kami, karena bukankah kalian berdua memperlakukan saya sebagai anggota keluarga sendiri?"
Bhe Coan adalah seorang dusun yang jujur dan penuh kepercayaan kepada orang lain. Apa lagi dia pun merupakan keturunan pandai besi dan sudah menjadi kenyataan bahwa orang-orang yang bekerja sebagai pandai besi sejak kecil biasanya berwatak polos, jujur dan mudah percaya, juga bisa dipercaya. Maka, mendengar ucapan ini dan melihat sikap sasterawan muda yang begitu halus dan ramah, dia tertawa girang dan menarik tangan isterinya yang berdiri menunduk dengan muka merah.
"Ha-ha-ha, Leng Ci isteriku. Mengapa mesti malu-malu? Kui-kongcu berkata benar. Dia adalah seorang tamu agung, seorang sahabat kita, dan memang seperti anggota keluarga sendiri. Maka tidak ada salahnya kalau kau menemani kami makan. Duduklah!"
Leng Ci tersenyum malu-malu dan duduk di samping kiri suaminya, berhadapan dengan tamunya yang agak di sebelah kirinya karena Hok Boan duduk tepat berhadapan dengan Bhe Coan. Dengan cekatan nyonya rumah ini segera menuangkan arak ke dalam cawan tamunya dan suaminya, lalu berkata, "Silakan minum, Kongcu."
Bhe Coan mengangkat cawannya kemudian berkata, "Kui-kongcu, mari kita minum untuk menyatakan selamat datang kepada kongcu!"
Hok Boan melirik ke arah Leng Ci dan melihat wanita ini agaknya tidak turut minum, dia lalu tertawa dan berkata, "Twaso, mana arakmu?"
"Ha-ha-ha, benar isteriku, hayo kau ikut minum untuk menghormati Kui-kongcu!"
Leng Ci hanya tersenyum ketika dengan cekatan Hok Boan menuangkan arak dari guci ke dalam cawan di depan nyonya itu. Mereka bertiga lalu minum arak mereka.
"Dan kini saya ingin mengajak twako dan twaso minum untuk menghaturkan terima kasih saya." Hok Boan lalu berkata sambil kembali menuangkan arak ke dalam cawan mereka. Kembali mereka minum secawan arak.
Mereka silih berganti menghaturkan selamat sambil makan minum. Kemudian, sesudah menghabiskan lima cawan arak, wajah yang manis dari nyonya rumah itu menjadi makin merah, senyumnya makin genit dan matanya yang tajam lebih sering menyambar dengan kerlingan dari sudut matanya ke arah tamunya. Bhe Coan yang juga sudah dipengaruhi arak, tak melihat perubahan sikap isterinya ini dan kegembiraan isterinya dianggap wajar saja karena tamu mereka itu amat menyenangkan.
Kui Hok Boan tentu saja melihat perubahan sikap wanita di hadapannya, agak di sebelah kanannya itu. Dia telah banyak berpengalaman dengan wanita, maka bukanlah hal yang lancang atau tidak diperhitungkan ketika mendadak kakinya menyentuh betis kaki nyonya muda itu di bawah meja. Leng Ci sedang membawa sepotong daging ke mulutnya.
"Ihhkk...!" serunya dengan kaget sekali ketika merasa betapa betis kakinya diusap oleh sebuah kaki, matanya terbelalak saking kagetnya melihat keberanian tamu itu.
"Ehh, kenapa kau...?" Suaminya bertanya heran.
Wajah itu menjadi merah sekali dan tak dapat menjawab.
"Apakah twaso tersedak? Baiknya diberi minum teh, twaso," kata Hok Boan dengan kaki masih mengusap betis itu.
Wanita itu menarik kakinya menjauh dan cepat menyambar cangkir teh dan diminumnya teh itu untuk menutup mukanya yang menjadi merah. Jantungnya berdebar keras sekali, akan tetap kini dia menjadi tenang. Sesudah minum dia lalu memandang suaminya dan tersenyum.
"Aku tersedak memang, agaknya terlalu banyak minum membikin orang mabok dan tidak menyadari apa yang dilakukannya." Sambil berkata demikian, dia mengangkat muka memandang wajah pemuda itu dengan sinar mata penuh teguran.
Kui Hok Boan tertawa. "Ha-ha-ha-ha, bagi yang tidak biasa minum, memang arak dapat memabokkan. Akan tetapi bagi yang sudah biasa seperti saya, sukar untuk mabok oleh arak, walau pun tentu saja saya bisa mabok oleh yang lain." Ucapan ini mengandung arti mendalam dan kembali kedua pipi wanita itu menjadi merah.
Bhe Coan yang polos itu memandang kepada tamunya. "Kongcu, kalau bukan arak yang dapat membikin engkau mabok, habis apa lagi?"
Sasterawan muda itu tersenyum. "Ha-ha-ha, twako. Banyak yang dapat membikin mabok orang, yang lebih hebat dari pengaruh arak. Keindahan misalnya, saya bisa mabok ketika melihat sesuatu yang indah menarik...," kembali kongcu itu melirik ke arah nyonya rumah yang sekarang menunduk karena nyonya ini jelas sekali dapat menangkap arti kata-kata pemuda itu. Apa lagi kini tiba-tiba dia merasa ada tangan yang dengan halus mengusap pahanya!
Nyonya itu tidak berani bergerak, takut apa bila diketahui suaminya, akan tetapi tangan itu merayap-rayap membuat seluruh bulu di tubuhnya meremang dan jantungnya berdegup demikian keras sehingga dia khawatir suaminya akan mendengar bunyi degup jantungnya itu. Maka dia lalu bangkit berdiri sehingga tentu saja tangan Bok Hoan itu terlepas dari pahanya.
"Sebaiknya aku menyingkirkan mangkok-mangkok kosong sekalian mencucinya."
Memang masakan-masakan itu telah mereka makan habis. Mukanya merah sekali, akan tetapi kalau pun suaminya melihat ini, tentu akan disangkanya bahwa muka isterinya itu merah karena terlalu banyak minum arak.
"Dan saya pun harus berpamit untuk mencari penginapan dulu. Twako, berapa lamakah engkau dapat menyelesaikan sebatang pedang yang baik dan indah untukku?"
"Kurang lebih tujuh hari."
"Sepekan? Kalau begitu aku harus mencari kamar penginapan yang baik untuk tinggal selama sepekan di dusun ini." Kongcu itu bangkit pula.
Mendengar ini, Leng Ci tidak jadi meninggalkan meja melainkan tetap berdiri memandang wajah tampan yang sekarang agak kemerahan itu. Wajah suaminya juga merah dan kalau kemerahan wajah sasterawan muda itu menambah ketampanannya, baginya kemerahan wajah suaminya malah menambah keburukan dan kebodohan wajah suaminya itu. Betapa jauh perbedaan yang terdapat di antara dua orang pria ini! Dan Leng Ci untuk ke sekian kalinya menghela napas panjang.
"Kui-kongcu sudah seperti keluarga kita sendiri, suamiku, kalau dia sudi tinggal di rumah kita yang buruk ini, kamar di belakang itu dapat kubersihkan untuk dia pakai selama dia menunggu pedang itu jadi," katanya dengan suara datar sambil memandang suaminya. Sikapnya begitu wajar sebagai seorang nyonya rumah yang baik.
"Kau setuju? Ha-ha-ha, tadinya aku hendak menawarkan kepadanya akan tetapi khawatir engkau tersinggung, maka aku ragu-ragu. Nah, Kui-kongcu, setelah isteriku yang berkata demikian, aku minta kepadamu untuk tinggal saja di rumah kami..."
"Ah, twaso dan twako sungguh budiman dan baik sekali kepadaku. Akan tetapi, mana aku berani mengganggu seperti itu?"
"Tidak ada yang mengganggu! Kami persilahkan kongcu tinggal di sini, kecuali tentu saja kalau kongcu merasa rumah ini terlalu buruk dan kotor, maka kami tidak dapat memaksa kalau kongcu mencari kamar lain...," kata Leng Ci.
"Ha-ha-ha, Kui-kongcu, isteriku amat pandai berdebat. Engkau tidak akan menang, maka harap engkau suka menerima saja, sementara tinggal di sini bersama kami supaya kita dapat bercakap-cakap kalau aku sedang berhenti bekerja. Dan selagi aku bekerja, kongcu dapat pergi ke mana pun untuk melewatkan waktu menganggur."
Kui Hok Boan menghela napas memperlihatkan sikap kewalahan, lantas dia menjura dan berkata, "Baiklah, apa bila twako dan twaso menghendaki demikian. Mana mungkin saya berani menolak lagi? Biarlah segala kebaikan kalian itu dapat saya balas dengan imbalan apa saja yang mampu saya lakukan."
"Ha-ha-ha, bagus sekali! Saya girang sekali, Kui-kongcu..."
"Bhe-twako, setelah menerima segala kebaikan ini, harap twako jangan menyebut kongcu kepadaku. Bukankah kini kita sudah seperti keluarga sendiri? Sebaiknya twako menyebut siauwte saja kepadaku."
"Ahhh, mana saya berani?"
"Kalau twako dan twaso bersikap sungkan, mana aku berani tinggal di sini?"
"Ha-ha-ha, ternyata engkau juga pandai berdebat seperti twaso-mu! Baiklah, Kui-siauwte, sungguh merupakan kehormatan besar bagiku."
Demikianlah, Hok Boan tinggal di rumah Bhe Coan dan isterinya, tinggal di sebuah kamar di belakang yang lebih dulu sudah dibersihkan oleh Leng Ci. Kamar itu berada di bagian paling belakang dan mempunyai pintu belakang yang menembus ke kebun belakang.
Ternyata sasterawan muda itu dapat bersikap sangat menyenangkan, sopan dan ramah. Hal ini membuat Bhe Coan menjadi makin suka sehingga ketika beberapa kali Hok Boan menanyakan harga pedang, dia bilang bahwa hal itu akan dibicarakan kalau pedang telah selesai saja! Dia bermaksud hendak menghadiahkan sebatang pedang kepada tamunya yang amat menyenangkan itu.
Tidak demikian dengan keadaan Leng Ci. Wanita ini merasa tersiksa sekali. Dia semakin tertarik, bahkan tergila-gila kepada sasterawan itu. Apa lagi ketika dia mendengar suara nyanyian atau tiupan suling Hok Boan yang sering bermain suling dan bernyanyi seorang diri di dalam kamarnya, dia makin tergila-gila. Malah di waktu dia tidur dengan suaminya, dia sering membayangkan alangkah akan senangnya kalau yang tidur di sampingnya itu adalah Hok Boan, bukan suaminya yang kalau tidur mengorok seperti babi disembelih!
Akan tetapi, dia adalah isteri Bhe Coan, dan tinggal serumah, tentu saja dia takut untuk mendekati Hok Boan dan dia selalu menghindar, sungguh pun hatinya amat ingin, namun dia tidak berani melayani bujuk rayu yang terpancar dari sepasang mata sasterawan itu apa bila bertemu dengan dia.
Kui Hok Boan sendiri merasa penasaran. Dia merasa yakin bahwa nyonya rumah yang manis itu sudah pasti terpikat olehnya dan seperti biasa, dia merasa yakin bahwa dia tidak akan gagal mendekati Leng Ci. Kalau nyonya rumah itu tidak muda dan manis seperti Leng Ci, sudah tentu dia tidak suka tinggal di rumah pandai besi itu, lebih senang ditinggal di penginapan di mana dia dapat bersenang-senang dengan bebas!
Kini, melihat betapa nyonya muda yang sudah jelas terpikat olehnya itu seolah-olah takut dan tidak pernah mau mendekatinya, dia merasa sangat penasaran dan nafsunya makin memuncak! Gemaslah rasa hatinya, dan dia pun bertekad untuk mendapatkan wanita itu dengan akal apa pun juga!
Memang demikianlah sifat nafsu apa pun kalau sudah mencengkeram batin seseorang. Nafsu terdorong oleh pikiran yang membayangkan kesenangan yang akan dinikmatinya. Nafsu adalah keinginan untuk memperoleh sesuatu yang dianggap amat menyenangkan, bayangan dari pengalaman-pengalaman masa lalu yang dinikmati, dikunyah lagi seperti seekor kerbau mengunyah daun-daun muda yang tadi telah dimakannya.
Kenangan akan kesenangan ini, bayangan akan kesenangan yang diharapkan akan bisa dinikmati nanti, kemudian menimbulkan nafsu atau keinginan. Dan makin sukar sesuatu yang diinginkan itu diperoleh, makin berkobarlah nafsu keinginan itu. Nafsu birahi, seperti juga nafsu keinginan lain, akan makin mendorong kita hingga membuat kita mata gelap, tidak lagi peduli akan cara-cara yang bagaimana pun untuk memperoleh apa yang kita inginkan itu, baik dengan cara yang benar mau pun cara yang kotor!
Kenangan akan kesenangan ini, bayangan akan kesenangan yang diharapkan akan bisa dinikmati nanti, kemudian menimbulkan nafsu atau keinginan. Dan makin sukar sesuatu yang diinginkan itu diperoleh, makin berkobarlah nafsu keinginan itu. Nafsu birahi, seperti juga nafsu keinginan lain, akan makin mendorong kita hingga membuat kita mata gelap, tidak lagi peduli akan cara-cara yang bagaimana pun untuk memperoleh apa yang kita inginkan itu, baik dengan cara yang benar mau pun cara yang kotor!
Sesudah tinggal di sana selama dua malam dan belum nampak tanda-tanda bahwa dia berkesempatan mendekati nyonya rumah karena di waktu siang nyonya rumah sibuk di dapur kemudian setelah selesai lalu menyembunyikan diri dalam kamar sambil menyulam sedangkan di waklu malam tentu saja Leng Ci tak pernah dapat meninggalkan suaminya. Hok Boan tidak sabar lagi. Sejak pagi itu, telah terdengar suara berdencing di dapur atau bengkel kerja di mana Bhe Coan bekerja dengan giat menyelesaikan pembuatan pedang untuk tamunya.
Hok Boan maklum bahwa setiap pagi Leng Ci mengantarkan secangkir teh kental untuk suaminya di bengkel itu. Dia menanti dan mengintai dari belakang. Pada saat dia melihat wanita itu keluar dari kamarnya menuju ke bengkel suaminya, dia cepat-cepat berjalan membayanginya dan begitu melihat nyonya itu memasuki pintu bengkel, dia lalu masuk pula dan berkata,
"Twako... ah... maaf aku kesiangan... aku... agaknya terserang penyakit demam panas..." Dia berhenti lalu menoleh kepada isteri tuan rumah yang memegang cangkir lalu berkata, "Ahh, maafkan, twaso... aku tidak bermaksud mengganggu..."
Bhe Coan terkejut dan cepat bangkit, membersihkan tangannya pada kain yang tersedia di situ dan memandang pemuda itu. Memang wajah Hok Boan pucat sekali dan kelihatan seperti orang sakit, bahkan berdirinya juga bergoyang-goyang seperti orang akan jatuh. Bhe Coan cepat menghampiri dan memegangnya agar tidak sampai jatuh, dan ketika dia memegang tangan sasterawan itu, dia terkejut.
"Ahhh, badanmu panas sekali! Kui-siauwte, kau tidak perlu datang ke sini... ahhh, jangan-jangan kau terkena penyakit yang berbahaya. Sebaiknya kau pergi tidur dan mengaso di kamarmu saja, siauwte!"
"Agaknya... agaknya... begitulah." Hok Boan melepaskan tangan tuan rumah dan hendak melangkah ke pintu, akan tetapi dia terhuyung dan tentu jatuh kalau tidak berpegangan kepada pintu.
"Aihhh...!" Leng Ci berteriak kaget dan khawatir sekali. "Kau benar-benar sakit, kongcu...!" Dia masih belum dapat menyebut sasterawan itu ‘adik’ seperti yang dilakukan suaminya. "Sebaiknya kita panggilkan tabib..."
"Benar, kau kembalilah ke kamarmu, mari kubantu, siauwte. Nanti segera kupanggilkan tabib untukmu." Bhe Coan lalu memapah pemuda itu keluar dari bengkelnya, diikuti oleh Leng Ci yang memandang dengan hati kasihan sekali terhadap sasterawan itu.
Dengan bantuan Bhe Coan, Hok Boan segera merebahkan diri di atas pembaringannya. Beberapa kali dia mengeluh lirih dan mukanya makin pucat, dahinya penuh keringat.
"Biar kupanggilkan tabib sekarang," kata Bhe Coan.
"Tidak usah... tidak perlu, twako. Aku hanya mengganggu pekerjaan twako saja, dan... dan pedang itu menjadi makin terlambat jadinya. Aku pernah terserang penyakit demam seperti ini dan aku... aku bisa... menulis resep obatnya. Tolong ambilkan kertas dan pena bulu... oughhh..." Dia menuding ke atas meja dalam kamar itu, lalu bangkit duduk dengan sukar.
Leng Ci yang melihat perabot tulis di atas meja segera mengambilkan apa yang diminta pemuda itu. Dengan jari-jari tangan gemetar, Hok Boan lalu membuat corat-coret di atas kertas dan menyerahkannya kepada Bhe Coan. "Tolong twako suruhan orang membeli obat ini... dan tolong panggil seorang tetangga yang suka melayaniku untuk menggodok obat dan memberi minum setiap jam sekali..."
"Ahhh, mengapa siauwte demikian sungkan? Isteriku dapat membelikan obat dan untuk melayanimu di waktu sakit, bukankah di sini ada twaso-mu?"
"Ahh, ...aku tidak ingin... membikin susah twaso saja..."
Leng Ci berkata dengan suara terharu. "Kui-kongcu, kau sedang sakit, jangan berpikiran yang tidak-tidak dan jangan sungkan. Aku suka untuk merawatmu, bukankah kau seperti adik suamiku sendiri? Nah, aku akan membeli obat."
Wanita itu melangkah pergi dan Bhe Coan kemudian duduk di atas bangku dalam kamar. "Kuharap saja penyakitmu tidak parah, siauwte."
Hok Boan kembali merebahkan dirinya mencoba untuk tersenyum. "Tidak apa-apa, twako, aku pernah diserang penyakit ini. Asal aku dapat beristirahat beberapa hari dalam kamar dan setiap jam minum obat itu, tentu akan cepat sembuh kembali. Jangan membikin repot twako, dan harap twako kembali ke bengkel menyelesaikan pedang itu..."
"Baiklah kalau begitu. Jangan kau sungkan-sungkan pada twaso-mu, siauwte. Anggaplah dia seperti kakak iparmu sendiri. Dia akan merawatmu."
"Sebaiknya panggilkan saja orang lain... aku... aku merasa tidak enak kalau aku harus merepotkan twaso..."
"Aaahh, kau terlalu sungkan, sudahlah. Aku akan memberi tahu dia supaya merawatmu sebaik mungkin, jangan kau khawatir." Pandai besi itu lalu meninggalkan Hok Boan yang masih mengeluh lirih, dengan hati-hati menutupkan daun pintu kamar pemuda itu.
Setelah langkah-langkah tuan rumah tak terdengar lagi dan tak lama kemudian terdengar bunyi dencing besi dipukul, Hok Boan tidak mengeluh lagi, bahkan bibirnya tersenyum! Dia mengusap peluh pada dahinya dan mukanya kembali menjadi merah, lalu dia bangkit duduk, tersenyum dan mengepal tinju. Dapat kau sekarang olehku, manis! Demikian dia berkata kepada diri sendiri. Akal ini sudah direncanakan sejak malam tadi dan ternyata berhasil baik sekali.
Siapakah sebenarnya sasterawan muda ini? Orang macam apakah dia dan bagaimana dia mampu bermain sandiwara sehebat itu sehingga dia dapat berpura-pura sakit sampai dahi dan lehernya mengeluarkan keringat, dan tubuhnya terasa panas, mukanya menjadi pucat sekali?
Tentu saja Kui Hok Boan dapat melakukan hal ini sebab dia adalah seorang ahli lweekeh yang memiliki sinkang amat kuat sehingga dengan menggunakan sinkang-nya, dia dapat membuat wajahnya pucat, keringatnya bercucuran, dan tubuhnya panas! Sebenarnya, Kui Hok Boan yang selalu berpakaian sebagai sasterawan itu bukan hanya pandai dalam hal sastera, akan tetapi dia juga seorang ahli silat yang tinggi ilmunya! Di selatan, di dalam tembok besar, namanya sudah amat terkenal dan dia malang-melintang sebagai seorang petualang besar yang sering kali mengandalkan ilmunya untuk melakukan apa saja yang disenanginya!
Sebetulnya, orang she Kui yang baru berusia tiga puluh tahun ini bukanlah seorang jahat, bukan pula termasuk golongan kaum sesat. Sama sekali bukan. Dia seorang petualang yang hidup sendirian, malang-melintang mengandalkan kepandaiannya.
Akan tetapi dia sangat cerdik sehingga dia mempunyai banyak sahabat, baik di kalangan kaum sesat mau pun di kalangan para pendekar. Dia sendiri berdiri di tengah-tengah, tidak mau bergabung pada suatu golongan tertentu. Kadang-kadang, apa bila memang hatinya menghendaki dan tentu saja kalau dia melihat terdapat keuntungan di dalamnya, dia tidak segan-segan untuk menentang golongan hitam.
Akan tetapi, dia sendiri pun memiliki kelemahan terhadap kesenangan dunia sehingga tidak heran pula melihat dia berhari-hari menghabiskan waktu di rumah judi atau di rumah pelacuran. Juga, dia tak segan-segan untuk menggunakan wajahnya yang tampan, gerak-geriknya yang halus, dan ilmu silatnya yang tinggi untuk menggoda wanita baik-baik.
Akan tetapi dia tidak pernah melakukan perkosaan, tak pernah menggunakan kekerasan untuk memaksa seorang wanita. Dengan modal yang ada pada dirinya, memang jarang sekali dia dikecewakan oleh wanita, jarang sekali ada wanita yang mampu menolak bujuk rayunya!
Beberapa bulan yang lalu, dengan kepandaiannya membujuk rayu Kui Hok Boan berhasil menundukkan hati seorang gadis, puteri seorang guru silat di kota Koan-sui. Akan tetapi guru silat itu tidak menyetujui, bahkan hampir saja dia tertangkap basah dan tentu akan dikeroyok kalau dia tidak cepat-cepat melarikan diri. Kalau dia mau melawan, agaknya dia akan dapat mengalahkan guru silat itu dan semua muridnya.
Akan tetapi Hok Boan adalah orang yang cerdik. Dia tidak mau melihat dirinya dimusuhi dunia kang-ouw hanya karena seorang wanita, apa lagi di kota Koan-sui terdapat banyak orang pandai. Maka dia terus melarikan diri, dan karena mendengar akan kepandaian Bhe Coan membuat pedang, maka dia sampai tiba di Pek-hwa-cung, yaitu pertama untuk menjauhkan diri dari Koan-sui sementara waktu ini, dan kedua kalinya karena dia ingin memiliki sebatang pedang yang baik.
Tentu saja cerita yang dituturkan kepada Bhe Coan serta isterinya bahwa dia hendak mengikuti ujian di kota raja hanya bohong belaka dan hanya dipergunakan untuk menarik perhatian mereka terutama perhatian nyonya muda itu, sekalian untuk menyembunyikan kepandaiannya dalam ilmu silat.
Kui Hok Boan adalah seorang bekas murid dari Go-bi-pai yang murtad. Dia adalah murid seorang tokoh Go-bi-pai yang terkenal gagah perkasa dan amat saleh, yaitu Kauw Kong Hwesio yang sudah tua.
Sebenarnya, Kauw Kong Hwesio sangat sayang kepada pemuda yang cerdas ini, tetapi ketika pada suatu hari ia mendapatkan muridnya yang tersayang itu melakukan hubungan gelap dengan isteri seorang petani di kaki gunung, dan pendeta itu menerima pelaporan dari si suami yang tidak berani menegur atau melawan Kui Hok Boan, pendeta ini menjadi marah dan mengusir Kui Hok Boan, tidak mau mengakuinya lagi sebagai murid dan dia melarang pemuda itu menggunakan nama Go-bi-pai sebagai golongannya. Masih untung bagi Hok Boan bahwa dia tidak sampai dipukul mati oleh gurunya.
Kauw Kong Hwesio sudah tua sekali, sudah delapan puluh tahun lebih usianya ketika hal itu terjadi, dan dia sudah lebih condong kepada keagamaan dari pada terhadap urusan dunia. Karena itu dia dapat memaafkan muridnya dan tidak membunuhnya, apa lagi kalau diingat bahwa hubungan gelap itu dilakukan atas dasar sama-sama suka, jadi muridnya sama sekali tidak melakukan kekerasan, tidak memakai ilmu silat untuk menaklukkan atau merampas isteri orang. Tentu saja perbuatan itu tetap tidak dibenarkan oleh hwesio tua ini, maka dengan hati berat dia pun mengusir dan tak mau mengakui lagi murid berbakat yang sebenarnya sangat disayangnya itu.
Setelah terlepas dari pengawasan gurunya, Hok Boan yang memang hidup sebatang kara tanpa keluarga ini mulai dengan petualangannya. Dia bagaikan seekor burung liar yang terbebas dari kurungan!
Sejak kecil dia sudah belajar sastera karena sebelum keluarga ayahnya terbasmi dalam perang pemberontakan yang lalu, ayahnya adalah seorang yang kaya raya dan dia diberi kesempatan mempelajari sastera sampai mendalam. Pada saat keluarganya tewas dalam kerusuhan perang, hanya dia seorang yang selamat dan akhirnya dia diambil murid oleh Go-bi-pai. Semenjak saat itu, di samping giat mempelajari ilmu silat tinggi, dia juga masih tekun memperdalam ilmunya tentang sastera.
Setelah dia diusir oleh gurunya, Hok Boan lalu mencoba untuk mengikuti ujian di kota raja dengan harapan akan lulus dan memperoleh pangkat. Akan tetapi harapannya menjadi buyar karena dia gagal dalam ujian. Dia merasa bosan untuk mengulang lagi dan mulailah dia merantau dan bertualang.
Dengan kepandaiannya yang tinggi, tidak sukar baginya untuk memperoleh uang karena dia tidak pantang memasuki gudang harta seorang hartawan dan mengambil beberapa kati uang emas atau perak untuk keperluannya bertualang. Selama beberapa tahun, dia terus berpindah-pindah, sampai akhirnya dia hampir dikeroyok oleh guru silat dan anak muridnya di Koan-sui itu.
Kini di dalam perjalanannya ke utara, ke dusun Pek-hwa-cung untuk memesan sebatang pedang yang baik, buatan pandai besi Bhe Coan yang terkenal, dia bertemu dengan isteri Bhe Coan yang demikian manis menarik, yang bertubuh montok dan padat, tentu saja wanita seperti Leng Ci itu tidak dapat terlewatkan begitu saja dari pandangan mata Hok Boan yang berminyak! Dan ketika mereka makan bersama dan dia mengujinya dengan rabaan di bawah meja, mendorong Hok Boan untuk melanjutkan petualangannya sampai berhasil.
Tak lama kemudian, suara dencing di bengkel itu berhenti dan terdengarlah langkah kaki Bhe Coan dan isterinya menuju ke kamar. Hok Boan cepat merebahkan dirinya lagi dan dengan pengerahan sinkang-nya, dia sekarang berkeringat dan mukanya pucat kembali. Terengah-engah dia rebah terlentang seperti orang kepanasan.
Bhe Coan beserta isterinya masuk ke kamar itu. "Siauwte, ini obatnya. Akan tetapi tidak kelirukah? Menurut isteriku..."
Bhe Coan memandang isterinya.
"Kui-kongcu, tukang obat yang menjual obat-obat menurut catatanmu tadi mengatakan bahwa ini bukanlah obat untuk penyakit demam panas. Ketika aku bertanya obat apa, dia hanya tertawa dan dia tidak mau menjawab, hanya berkata bahwa ini bukan obat penyakit panas. Jangan-jangan kau keliru membuat catatan, kongcu."
"Ahh, tukang obat kampungan... mana dia tahu...? Aku sudah pernah mengobati penyakit ini dengan obat itu... harap twaso suka cepat menggodoknya, dengan air tiga mangkok sampai tinggal semangkok... dan harap sediakan arak yang keras... sebagai campuran..." Dia kembali merebahkan diri dan terengah-engah, napasnya memburu, juga keringatnya semakin banyak.
"Cepat masak obat ini!" kata Bhe Coan kepada isterinya dan wanita itu cepat melakukan perintah suaminya. Bhe Coan mendekati tamunya. "Bagaimana siauwte? Berbahayakah keadaanmu?"
Hok Boan memaksa senyum dan menggelengkan kepala. "Jangan khawatir, twako... jika berbahaya tentu aku juga tahu... aku… aku pernah mengalaminya, malah lebih hebat dari sekarang. Tetapi obat itu pasti akan menyembuhkan aku... tinggalkan saja aku, lanjutkan pembuatan pedang itu supaya tidak terlambat... aku berterima kasih kepada twako dan twaso..."
Bhe Coan menarik napas lega dan menepuk-nepuk pundak sasterawan muda itu. "Jangan berkata demikian, jangan sungkan-sungkan, kami hanya mengharapkan kesembuhanmu." Dia lalu pergi dan tidak lama kemudian sudah terdengar lagi bunyi dencing palunya yang memukul-mukul.
Leng Ci melangkah memasuki kamar itu membawa semangkok obat yang berwarna hitam berikut seguci arak. Diletakkannya obat dan arak di atas meja, kemudian dia mendekati pembaringan di mana Hok Boan masih rebah terlentang dengan muka pucat.
"Kui-kongcu, obatnya sudah selesai kumasak, dan sudah kudinginkan. Apa mau diminum sekarang?"
"Baik... baik..." Dia mencoba untuk bangkit, akan tetapi mengeluh. "Auhhhh..." Dan dia hampir terguling.
Leng Ci cepat merangkul pundaknya dan membantunya bangkit duduk. Hampir tidak kuat rasa hati Hok Boan ketika merasakan kehangatan tubuh itu dan mencium bau minyak harum bercampur bau khas wanita. Akan tetapi dia memejamkan matanya dan duduk.
"Pusingkah, kongcu...?"
Dia mengangguk dan membuka matanya "Ya, agak pusing, twaso..."
"Mau minum obat sekarang? Sudah kusediakan bersama araknya."
"Nanti dulu, twaso. Ketahuilah, penjual obat itu benar, obat ini sama sekali bukanlah obat untuk demam panas. Akan tetapi penyakitku ini aneh, twaso. Dan bila sampai obat yang kau beli itu tidak cocok dan mendatangkan hawa dingin, maka justru merupakan racun bagiku dan dapat membunuhku seketika..."
"Ihhh...!" Wanita itu mundur selangkah dan mukanya berobah pucat, matanya terbelalak memandang kepada obat di atas meja itu. "Kalau begitu, jangan diminum, kongcu!"
Kui Hok Boan tersenyum. "Akan tetapi obat itu sama sekali tidak berbahaya bagi orang yang sehat, bahkan kalau ada yang mau, dapat menolongku untuk mengujinya, apakah obat itu cocok atau tidak untukku. Bagi yang sehat seperti twaso umpamanya, obat itu sama sekali tidak berbahaya, bahkan menyehatkan. Akan tetapi... ahhh, aku hanya akan merepotkan twaso saja..."
"Ahhh, tidak, kongcu. Sama sekali tidak. Bagaimana cara mengujinya?"
"Campurannya adalah, setengah mangkok obat itu dicampur setengah mangkok arak, lalu diminum. Kalau orang sehat yang meminumnya lalu terasa hangat, berarti obat itu cocok untukku dan pasti akan menyembuhkan aku. Akan tetapi kalau orang sehat meminumnya lalu terasa agak dingin, berarti aku tidak boleh minum obat itu. Harap twaso suka mencari seorang tetangga yang suka menguji obat itu dan menolongku."
"Kalau cuma begitu saja, aku pun dapat menolongmu, kongcu. Akan tetapi benarkah obat itu tidak berbahaya?"
"Aku tanggung dengan nyawaku, twaso. Apakah twaso tidak percaya kepadaku?"
Leng Ci menahan senyum lalu melangkah mendekati meja, memberi kesempatan kepada Hok Boan untuk melihat gerak pinggulnya. Dia menuangkan obat yang semangkok itu ke dalam mangkok lain, setengah mangkok banyaknya, lalu dicampurinya dengan setengah mangkok arak. Baunya sedap sekali.
"Aku akan mencobanya, kongcu."
"Minumlah, twaso, dan kalau terasa hangat, berarti aku akan sembuh dengan cepat."
Tanpa curiga nyonya muda itu lalu minum obat semangkok itu, rasanya agak manis dan memang bukan tidak enak, apa lagi karena dicampur arak yang keras. Hanya arak itu terlalu keras baginya namun ditahannya dan habislah obat semangkok itu.
"Kalau arak itu terlalu keras, duduklah, twaso..."
Leng Ci tidak menjawab melainkan duduk dan memang kepalanya agak pening, maka dia duduk di atas bangku sambil memejamkan mata. Sunyi di kamar itu. Bunyi dencing besi dipukul dari bengkel terdengar satu-satu dengan jelas sekali.
"Bagaimana, twaso?" Hok Boan bertanya lagi saat melihat wanita ini membuka matanya. Wajah wanita itu menjadi kemerahan dan napasnya sedikit memburu, matanya bersinar aneh.
"Panas... rasanya panas dan hangat di seluruh tubuh..."
"Ah, kalau begitu cocok untukku!" Hok Boan bangkit duduk. "Tolong campurkan obat itu dengan arak seperti tadi..."
Leng Ci bangkit berdiri kemudian menuangkan arak ke dalam mangkok obat yang tinggal separuh itu, lalu dia mendekati pembaringan. Hok Boan menerimanya dan meminumnya sampai habis, kemudian dia merebahkan diri. Seketika dahinya penuh dengan keringat, juga lehernya. Dia bergerak gelisah sedangkan Leng Ci duduk kembali dan memandang kepadanya.
"Ahhh... panas sekali... panas...!" Hok Boan merintih dan berguling ke kanan kiri.
"Bagaimana, kongcu?" Leng Ci bangkit dan menghampiri pembaringan, lalu duduk di tepi pembaringan dengan khawatir. Dia tidak sadar bahwa dia sendiri mulai berkeringat halus membasahi dahi dan lehernya.
"Panas, tolong bukakan kancing bajuku..." Hok Boan merintih.
Jari-jari tangan yang kecil itu agak gemetar saat membukakan kancing-kancing baju Hok Boan, apa lagi karena pemuda itu terus menggerakkan tubuhnya, maka jari-jari tangannya kadang-kadang mengusap kulit dada yang putih halus itu.
"Panas sekali...," kembali Hok Boan merintih.
"Aku... aku pun merasa panas dan gerah, kongcu. Mungkin obat itu..."
"Kalau begitu, kenapa bajumu tidak dibuka saja?"
"Kongcu... ehhh...?"
Namun kedua lengan pemuda itu telah merangkulnya, merangkul pinggang dan lehernya, dan tubuh Leng Ci telah ditariknya ke atas pembaringan. Wanita itu hendak meronta akan tetapi terlambat. Hok Boan sudah memeluk dan menciumnya, dan Leng Ci telah diamuk oleh nafsunya sendiri yang didorong oleh obat yang diminumnya, karena memang obat itu adalah obat perangsang!
Nyonya muda itu memang telah mempunyai hati terpikat dan menyeleweng terhadap Hok Boan. Kini, berada begitu dekat dengan pemuda yang amat menarik hatinya itu, apa lagi didorong oleh obat yang diminumnya, dia lupa segala, lupa bahwa tak jauh dari kamar itu, suaminya sedang bekerja dan bunyi dencing besi dipukul terdengar jelas dari situ.
"Sakitku adalah sakit rindu kepadamu, Leng Ci... dan hanya engkau seorang yang dapat menyembuhkan aku...," Hok Boan berbisik kepada wanita yang sudah diamuk nafsu itu, yang kini sama sekali tidak lagi menolak, bahkan bersama Hok Boan dengan suka rela memasuki jurang perjinahan!
Kini yang terdengar hanya suara puputan pembuat api dan suara dencing besi dipukul. Pekerjaan pandai besi adalah pekerjaan yang mengeluarkan suara hiruk-pikuk, dan Hok Boan tidaklah lupa daratan sama sekali seperti halnya Leng Ci. Tidak, dia amat hati-hati dan telinganya tak pernah meninggalkan suara dari bengkel itu sehingga dia tahu bahwa suami wanita ini masih sibuk bekerja!
Menjelang tengah hari, barulah dia mendorong tubuh Leng Ci yang kelelahan itu sambil menyuruhnya cepat membereskan pakaiannya.
"Suamimu sudah berhenti bekerja..." bisiknya dan dia sendiri cepat membereskan pakaian dan sudah kembali rebah terlentang ketika terdengar langkah kaki Bhe Coan menuju ke kamar itu!
Dengan amat tergesa-gesa Leng Ci membereskan pakaiannya dan rambutnya. Pada saat suaminya muncul di pintu, dia sedang membawa mangkok-mangkok kosong keluar dari kamar.
Bhe Coan tidak memperhatikan isterinya. Jika dia memperhatikan tentu dia akan melihat wajah yang kemerahan, napas yang masih memburu dan rambut yang agak awut-awutan itu. Akan tetapi pandai besi ini segera menghampiri Hok Boan dan sejak memasuki kamar dia sudah memandang ke arah pemuda itu karena memang sama sekali dia tidak pernah menaruh kecurigaan apa pun terhadap isterinya.
"Bagaimana, Kui-siauwte?" tanyanya. "Wajahmu tidak sepucat tadi, sudah agak merah, akan tetapi engkau kelihatan basah semua penuh keringat..."
"Ahh, terima kasih, twako. Keadaanku sudah banyak baik. Obat yang dimasak twaso itu sungguh hebat dan menyembuhkan. Aku hanya perlu beristirahat dan terus minum obat itu. Nyawaku tertolong berkat kebaikanmu dan terutama sekali berkat perawatan twaso, twako."
Bhe Coan tersenyum. "Ahhh, jangan sungkan, siauwte. Aku girang mendengar engkau sudah mendingan."
Demikianlah, semenjak saat itu, hampir setiap saat selagi Bhe Coan sibuk di bengkelnya membuat pedang, Hok Boan dan Leng Ci tidak pernah membuang kesempatan itu untuk bermain cinta, melakukan hubungan jinah yang kotor itu. Mereka berenang dalam nafsu mereka, terseret oleh gelombang nafsu birahi yang memabokkan.
Memang demikianlah nafsu. Seperti api. Makin diberi umpan dan bahan bakar, semakin berkobar. Seperti babi yang rakus. Makin diberi makan, semakin kurang! Segala macam bentuk nafsu keinginan selalu demikian, makin dituruti keinginan itu, makin banyak yang didapatnya, makin serakah pula.
Seorang yang gila uang, makin banyak mendapat uang, makin serakahlah dia, tak akan ada puasnya seolah-olah makin diberi minum makin haus. Orang yang gila kekuasaan, gila kedudukan, gila nama dan sebagainya juga begitu. Kalau nafsu keinginannya makin dikejar, kalau yang didapatkannya makin banyak, maka makin kuranglah dia merasa!
Sama pula dengan semua itu, nafsu birahi pun demikian. Karena makin banyak dialami dalam pemuasannya, semakin bertumpuk kenangan di dalam ingatan, semakin kuat pula pendorong yang membuat orang ingin mengulanginya kembali, bahkan kalau bisa ingin mendapatkannya lebih banyak lagi.
Seorang yang gila uang, makin banyak mendapat uang, makin serakahlah dia, tak akan ada puasnya seolah-olah makin diberi minum makin haus. Orang yang gila kekuasaan, gila kedudukan, gila nama dan sebagainya juga begitu. Kalau nafsu keinginannya makin dikejar, kalau yang didapatkannya makin banyak, maka makin kuranglah dia merasa!
Sama pula dengan semua itu, nafsu birahi pun demikian. Karena makin banyak dialami dalam pemuasannya, semakin bertumpuk kenangan di dalam ingatan, semakin kuat pula pendorong yang membuat orang ingin mengulanginya kembali, bahkan kalau bisa ingin mendapatkannya lebih banyak lagi.
Leng Ci bersama Hok Boan yang sudah sekali terjun memasuki pengejaran kenikmatan melalui pelampiasan nafsu birahi, menjadi makin haus dan selalu ingin lebih banyak lagi memperoleh kesempatan untuk mengulanginya. Kini mereka bagaikan orang-orang yang kelaparan, bahkan kadang-kadang mereka lupa akan kewaspadaan.
Sekarang mereka mulai berani saling bertemu pada waktu malam, pada waktu Bhe Coan tidur mendengkur dan secara diam-diam Leng Ci menyelinap meninggalkan kamarnya untuk menikmati kepuasan sejenak bersama dengan kekasihnya di dalam kamar tamu itu, lalu kembali menyelinap ke dalam kamar suaminya sambil mencibirkan bibirnya kepada tubuh suaminya yang tidur mendengkur!
Beberapa hari lewat dan bagi Bhe Coan, tamu yang dihormatinya itu masih beristirahat di kamar saja! Juga dia tidak menaruh curiga kalau di waktu malam isterinya selalu menolak dia melakukan pendekatan dengan dalih lelah karena harus melayani makan dua orang ditambah merawat dan memasakkan obat untuk Hok Boan! Karena di situ terdapat tamu, maka Bhe Coan mengalah dan tidak mau ribut-ribut dengan isterinya.
Sementara itu, pedang yang dibuatnya sudah mulai mendekati kerampungannya. Sudah berbentuk pedang yang baik sekali. Pedang itu pedang pendek, hanya sepanjang lengan Hok Boan, ringan dan indah bentuknya, seperti yang dipesan oleh sasterawan itu. Terbuat dari baja murni yang waktu pembakarannya serta pembenamannya di dalam air sudah diperhitungkan secara tepat.
Dengan hati puas Bhe Coan menyentil ujung pedang dengan kuku jari tangannya, dan terdengar suara berdencing nyaring! Tanda bahwa pedang itu memang hebat! Bentuknya sudah sempurna, hanya tinggal memperhalus dan memperindah gagangnya saja.
Dengan senyum di bibir dan dengan hati girang Bhe Coan membawa pedang itu ke kamar tamunya. Sekali ini, karena kegirangan dan tidak sabar untuk cepat-cepat memamerkan hasil karyanya kepada tamunya, dia masih tak berbaju dan melepas sepatu karena dia memang masih hendak bekerja.
Tiba-tiba saja dia mendengar suara ketawa isterinya, ketawa cekikikan yang membuat dia terheran-heran! Itu hanyalah suara ketawa Leng Ci di waktu wanita itu bergurau di dalam kamar dengan dia!
Akan tetapi ketika dia sampai di depan pintu kamar yang terbuka, dia melihat Hok Boan masih rebah terlentang, ada pun Leng Ci cepat mengambil guci arak dan mangkok obat, lalu pergi meninggalkan kamar.
Wajah isterinya biasa saja dan ketika Bhe Coan memandang ke arah pembaringan, dia melihat pemuda itu masih tidur dengan dengkur halus! Ah, tak mungkin. Dia cepat keluar lagi dan mengejar isterinya.
"Leng Ci...!" panggilnya perlahan.
Isterinya berhenti dan memutar tubuh, memandangnya dengan heran. "Ada apakah?"
"Tadi aku mendengar suara tertawa... seperti ketawamu. Apakah aku salah dengar?"
Isterinya tersenyum. "Hi-hi-hik, lucu! Ketika aku masuk mengambil mangkok, aku melihat Kwi-kongcu mengigau sambil bernyanyi kecil, lalu tertawa-tawa. Aku geli melihatnya, dan mungkin saja aku menahan ketawaku."
"Ahhh..." Bhe Coan mengangguk dan pada saat itu terdengarlah suara dari dalam kamar tamunya.
"Nah, kau dengar...?" Leng Ci berkata lalu melanjutkan langkahnya pergi dari situ untuk mencuci mangkok.
Berindap-indap Bhe Coan mendatangi kamar itu, menjenguk dan benar saja. Dia melihat pemuda itu sedang mengigau, kedua tangan bergerak-gerak dan mulutnya mengeluarkan nyanyian sumbang.
Peristiwa itu menghapus keheranan hati Bhe Coan. Akan tetapi ada sesuatu yang masih mengganggu hatinya. Dia tadi mencium bau harum pada saat menghentikan Leng Ci dan melihat betapa isterinya itu merias wajahnya dan memakai wangi-wangian. Padahal, pada waktu pagi biasanya isterinya tidak pernah merias diri seperti itu apa lagi memakai wangi-wangian.
Dan anehnya pula, biar pun muka isterinya memakai bedak dan gincu, akan tetapi gincu di bibirnya agak rusak terhapus dan rambutnya yang disisir rapi itu agak awut-awutan di bagian dahinya. Dia belum menduga yang bukan-bukan, hanya merasa aneh dan heran saja.
Sore hari itu Bhe Coan berpamit pada isterinya dan juga Hok Boan untuk pergi ke kota yang berdekatan untuk membeli sarung pedang. Sarung pedang terbuat dari kayu dan di kota itu terdapat tukang kayu yang pandai dan yang biasa membuat sarung pedang atau senjata lain.
Sesudah pandai besi itu pergi, walau pun kepergiannya itu tidak akan makan waktu lama, tetap saja merupakan peluang yang tidak mau disia-siakan oleh Hok Boan dan Leng Ci. Mereka bersenda-gurau dan bergumul dalam kamar, melampiaskan nafsu mereka yang tak kunjung padam dan tidak pernah mengenal kenyang itu.
Di kota kecil itu, secara kebetulan saja Bhe Coan bertemu dengan tukang obat yang telah lama dikenalnya. Begitu melihat Bhe Coan, tukang obat itu tersenyum lebar menyeringai dan mengacungkan telunjuknya ke arah muka pandai besi itu sambil berkata, "Hemmm, orang she Bhe! Engkau makin tua makin muda saja hatimu, ya."
Bhe Coan memandang tukang obat itu dengan alis berkerut, "Ehh, Lao Tung, apa pula maksudmu berkata demikian? Sudah lama tidak bertemu, sekarang sekali berjumpa kau mengatakan demikian. Apa maksudmu?"
"Ha-ha-ha, masih pura-pura tak tahu lagi! Dan masih berani menyuruh isterinya lagi yang membeli, tidak mau membeli sendiri, bahkan dengan dalih hendak mengobati orang sakit demam. Sakit demam? Ha-ha-ha, memang demam, tetapi demamnya orang yang berhati muda!" Orang itu tertawa lagi, membuat Bhe Coan makin penasaran.
"Lao Tung, jangan mempermainkan aku. Katakanlah, apa maksudmu? Isteriku memang membeli obat penyakit demam, apakah dia membeli darimu? Kalau begitu mengapa?"
"Memang dia membeli obat dariku, akan tetapi menurut resep itu, ha-ha-ha, sama sekali bukan obat untuk penyakit demam!"
Bhe Coan teringat akan kata-kata isterinya pada saat pulang dari membeli obat. Isterinya menyatakan bahwa penjual obat berkata tentang obat itu yang dianggapnya bukan obat penyakit demam panas akan tetapi tidak mau mengaku obat untuk apa.
"Lao Tung, kalau obat itu bukan untuk penyakit demam, lalu untuk apakah?"
Dengan mulut masih menyeringai Lao Tung menjawab, "Apakah kau benar-benar tidak tahu? Itu adalah obat perangsang, obat untuk membangkitkan gairah nafsu birahi, obat untuk orang-orang yang suka pelesir. Ha-ha-ha!"
Bhe Coan menjadi bengong. Dia meninggalkan tukang obat yang masih tertawa-tawa itu dan meski pun dia melanjutkan pergi mencari tukang kayu dan memesan sarung pedang akan tetapi hati dan pikirannya tidak karuan. Obat perangsang? Untuk apa? Kui Hok Boan membeli obat perangsang?
Akan tetapi, dia melihat sendiri bahwa sasterawan muda itu memang sakit. Wajahnya yang pucat, keringatnya yang bercucuran, badannya yang panas! Tidak mungkin semua itu pura-pura belaka. Dan mungkin saja obat yang dianggap obat perangsang oleh tukang obat itu memang merupakan obat penyembuhnya.
Dia tidak tahu tentang obat-obatan. Dia sendiri tidak pernah minum obat. Tubuhnya selalu sehat. Akan tetapi sikap isterinya...! Mulailah kecurigaan dan kecemburuan menggerogoti hati dan pikirannya. Belakangan wajah isterinya selalu gembira, kedua matanya bersinar-sinar.....