Memang aneh sekali, akan tetapi kalau diingat bahwa mereka hanyalah manusia-manusia biasa dengan segala macam kelemahan mereka, sesungguhnya hal itu tidak pula aneh. Apakah bedanya tua atau muda kalau nafsu sudah menguasai diri?
Baik Hek I Siankouw mau pun Hwa Hwa Cinjin, keduanya bukan pula termasuk golongan jahat, bukan tokoh-tokoh kaum sesat. Akan tetapi keadaan menyeret mereka sehingga mereka terpaksa bersekutu dengan kaum sesat dan memusuhi golongan pendekar.
Yang menjadi sebab adalah karena mendiang suheng dari Hwa Hwa Cinjin yang bernama Toat-beng Hoatsu, sudah tewas di tangan kaum pendekar. Untuk membalas dendam atas kematian suheng-nya inilah maka Hwa Hwa Cinjin akhirnya bermusuhan dengan ketua Cin-ling-pai, yaitu Pendekar Cia Keng Hong!
Dan karena Hek I Siankouw adalah kekasih dari Hwa Hwa Cinjin, maka tentu saja tokouw ini membela kekasihnya. Dan karena Cia Keng Hong serta keluarganya adalah keluarga yang memiliki kesaktian hebat, maka mereka terpaksa bergabung dengan Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li yang memiliki kepandaian lebih tinggi dari mereka. Untuk menghadapi keluarga Cia itu sendiri, tentu mereka berdua tidak akan sanggup melawan!
Demikianlah, sesudah Hek I Siankouw berdiri di fihak musuh keluarga Cia, maka dengan sendirinya sebagai murid tokouw itu, Liong Si Kwi terpaksa pula membela gurunya dan berdiri pada fihak gurunya bermusuhan dengan kduarga Cia. Akan tetapi sungguh celaka baginya, dia jatuh cinta kepada Cia Bun Houw, putera dari ketua Cin-ling-pai itu, bahkan dia telah menyerahkan kehormatannya kepada pemuda itu!
Semua itu telah dituturkan dengan jelas di dalam cerita ‘Dewi Maut’. Liong Si Kwi bukan keturunan orang jahat, akan tetapi dia terjerumus ke dalam lingkungan jahat sehingga dia pun terseret dan menerima akibatnya. Dan kini, sungguh dia merupakan seorang wanita muda yang patut dikasihani.
Ia telah kehilangan kehormatannya, kehilangan tangan kirinya, kehilangan pria yang amat dicintanya, kehilangan harapan, dan kini setelah melahirkan dia kehilangan anaknya pula! Segala-galanya telah habis bagi Si Kwi dan agaknya dia hanya tinggal menanti datangnya kematian di tempat sunyi itu seorang diri saja.
Akan tetapi kehidupan manusia selalu berubah. Hidup adalah gerakan, seperti air sungai mengalir yang selalu baru dan berubah. Hari ini boleh jadi berduka, besok belum tentu demikian. Hari ini menangis, besok mungkin tertawa. Hari ini melakukan kejahatan, esok mungkin berbuat kebaikan. Sebaliknya kesenangan hari ini mungkin berubah menjadi kesusahan pada hari esok dan selanjutnya. Oleh karena itu, kelirulah kalau menilai hidup dan keadaan seseorang dari perbuatan atau keadaannya di masa lalu! Dan tidak benar pula mengukur baik buruknya seseorang dari SATU perbuatan saja!
Keadaan Si Kwi yang sudah putus asa itu, yang menganggap kehidupan sebagai tempat derita belaka, tanpa adanya harapan akan terjadi perubahan, yang menganggap bahwa tidak mungkin bagi dia untuk dapat bergembira lagi, ternyata tidaklah demikian. Terjadilah perubahan yang sama sekali tidak pernah dibayangkannya dalam mimpi.
Hari itu, pagi-pagi sekali Si Kwi telah meninggalkan istana untuk mencari makanan karena perutnya terasa lapar sekali. Dia pergi memetik sayur-sayuran di ladang yang sudah tidak terawat itu dan ketika hendak pulang dia melihat seekor kelinci lari dari ladang. Dia cepat mengejarnya dan kelinci itu memasuki hutan. Dengan sebuah batu yang disambitkannya, dia dapat merobohkan kelinci itu. Akan tetapi ketika dia mengambil bangkai kelinci dan hendak pulang, dia melihat goa besar di mana dia dahulu melahirkan.
Melihat goa ini dari jauh, hatinya tertarik dan seperti di luar kehendaknya sendiri, kedua kakinya melangkah menuju ke goa itu. Setelah sampai di depan goa, niatnya hanya ingin menjenguk ke dalam sebentar lalu pergi lagi. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara tangis anak-anak yang aneh sekali dari dalam goa!
Si Kwi kaget setengah mati. Dengan mata terbelalak dia memandang ke arah goa, sayur beserta bangkai kelinci yang dipegangnya terlepas dari kedua tangannya, muka menjadi pucat dan dia merasa bulu tengkuknya meremang. Setan? Roh anaknya?
Bermacam bayangan yang mengerikan terbayang di dalam benaknya. Akan tetapi rasa takutnya itu dibantahnya sendiri. Mana mungkin di siang hari muncul setan? Telah hampir dua tahun dia tinggal seorang diri di tempat itu dan belum pernah sekali pun dia bertemu setan! Tahyul belaka!
Si Kwi adalah seorang wanita perkasa, maka rasa takut itu segera dibuangnya kemudian dengan langkah lebar dia memasuki goa besar itu. Tadinya dia hanya berdiri saja karena mengira bahwa tentu telinganya yang salah dengar, mungkin karena memikirkan anaknya maka telinganya mendengar suara khayalan. Akan tetapi ketika tangis itu terus terdengar, bahkan makin keras terdengar, dia cepat memasuki goa.
Dan di tengah goa itu, di tempat di mana dia dulu melahirkan anaknya, nampak seorang anak kecil rebah terlentang sambil menangis! Kaki kiri anak itu membengkak hitam, dan di situ terdapat empat ekor monyet besar-besar yang menjaga anak itu.
Seorang anak lelaki, anak manusia dijaga empat ekor monyet! Seketika, bagaikan cahaya kilat memasuki benaknya, Si Kwi mengerti bahwa itulah anaknya! Bahwa itulah anaknya yang lenyap setahun yang lalu, diculik oleh monyet-monyet itu! Dan kini mengertilah dia bahwa yang menukar anaknya dengan monyet adalah monyet-monyet besar ini!
Entah siapa yang terlebih dahulu menerjang maju. Si Kwi sudah marah karena menduga bahwa monyet-monyet itu yang dulu mencuri anaknya, sedangkan empat ekor monyet itu, didahului oleh induk monyet, marah oleh karena melihat wanita itu menghampiri anaknya. Mereka sudah saling terjang dan Si Kwi dikeroyok oleh empat ekor monyet besar yang mencakar dan menubruk, dengan mulut bertaring dan hendak menggigitnya.
Akan tetapi, selama dua tahun kurang itu, Si Kwi tidak kehilangan kepandaiannya serta kesigapannya sungguh pun dia tidak pernah berlatih. Ilmu silat yang dipelajarinya serta dilatihnya selama bertahun-tahun dahulu itu telah mendarah daging di tubuhnya sehingga gerakannya sudah menjadi otomatis.
Kedua kakinya bergerak-gerak menendang, tangan kanannya menampar dan tubuhnya bergerak dengan sigapnya mengelak dari setiap tubrukan. Tendangan-tendangan berikut tamparannya mengenai tubuh monyet-monyet itu dengan tepat sehingga dalam beberapa gebrakan saja dia sudah berhasil menghajar monyet-monyet itu yang langsung terlempar dan terbanting jatuh bergulingan.
Akhirnya tiga ekor monyet melarikan diri, tinggal seekor monyet betina besar saja yang masih melawan. Akan tetapi dia bukanlah lawan Si Kwi sehingga beberapa kali dia kena ditendang atau pun dihantam. Pukulan tangan kanan Si Kwi yang terakhir tepat mengenai tengkuk monyet betina itu, membuat monyet itu terpelanting roboh dan tak bergerak lagi, pingsan.
Si Kwi lalu menghampiri anak laki-laki yang masih menangis itu. Dia memegangnya, akan tetapi dia bergerak kaget dan mengelak ketika anak itu tiba-tiba saja menggunakan mulut untuk menggigit tangannya sambil mengeluarkan suara gerengan!
Si Kwi berdiri bengong. Benarkah ini adalah anaknya? Benar bahwa anak ini tidak salah lagi adalah seorang anak manusia, bocah laki-laki yang bertubuh sehat dan kuat, namun kaki kirinya bengkak menghitam, agaknya telah keracunan. Dan anak ini memang berusia kurang lebih satu tahun, maka tepat sekali kalau anak ini adalah anak yang dilahirkannya setahun yang lalu.
Namun anak ini merupakan seekor monyet bertubuh dan berwajah manusia! Kemudian teringatlah dia bahwa mungkin sejak lahir, anak ini tumbuh di tengah-tengah sekumpulan monyet, maka tentu saja tingkah lakunya mirip monyet. Pikiran ini membuat dia merasa terharu sekali.
"Anakku...!" bisiknya dan air matanya jatuh bercucuran.
Dia lalu memondong anak itu, tidak mempedulikan anak itu menggigit lengannya karena dengan kulit tubuhnya yang terlatih dan kuat, tentu saja gigitan anak berusia setahun itu tidak menyakitkan. Melihat keadaan kaki anak itu yang membengkak dan membiru, Si Kwi cepat berlari pulang, memasuki istana dan langsung dia masuk ke dalam kamarnya. Anak itu yang tadinya meronta-ronta kini tidak bergerak lagi, agaknya pingsan.
Si Kwi cepat mengambil obat yang banyak terdapat dalam salah sebuah kamar di istana itu. Sebagai orang-orang sakti yang mempunyai banyak anak buah ketika mereka tinggal di istana ini, Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li tentu saja menyimpan berbagai macam obat-obatan, sangat banyak sehingga memenuhi satu kamar dan mereka adalah ahli-ahli racun yang tentu menyimpan obat-obat untuk orang keracunan pula.
Ada pun Si Kwi adalah murid dari Hek I Sainkouw yang juga ahli dalam mengobati segala macam luka akibat keracunan, kepandaian yang penting bagi orang-orang kang-ouw yang sering melakukan perantauan, sering pula menghadapi bahaya dari lawan yang memakai senjata beracun, maka tentu saja wanita muda ini mengerti pula tentang pengobatan luka beracun.
Dia sudah memeriksa luka pada kaki anak itu dan dapat menduga bahwa tentu luka itu disebabkan oleh gigitan binatang beracun, agaknya ular melihat ada lubang kecil di kaki itu, bekas taring ular. Maka dia cepat memilih obat-obat yang khusus untuk menghadapi racun ular.
Dengan hati penuh kekhawatiran dan dengan cekatan sekali dia lalu menggunakan obat gosok untuk pertama-tama mengobati luka itu. Dengan ujung pisau runcing yang sudah dibakarnya dulu, dia merobek kulit daging betis kaki itu, lalu mengisap dengan mulutnya, mengeluarkan darah menghitam dari dalam luka. Kemudian dia memaksakan obat yang telah digodoknya ke dalam mulut anak itu sedikit demi sedikit.
Dengan penuh ketelitian Si Kwi merawat anak itu dan dalam waktu satu hari satu malam saja Si Kwi sudah berhasil menolong anak itu terbebas dari ancaman racun yang dapat membawa maut. Anak itu siuman kembali, mula-mula hendak meronta akan tetapi karena tubuhnya lemah, dia diam saja hanya memandang kepada Si Kwi penuh kecurigaan dan kadang-kadang mengeluarkan suara menggereng dan memperlihatkan giginya!
Si Kwi makin terharu. Anak ini sudah hampir menjadi monyet karena gerak-geriknya! Dia lalu menimang-nimangnya, memberinya makan. Akan tetapi mula-mula anak itu tak mau makan segala macam masakan, kecuali hanya buah-buahan. Persis benar seperti seekor monyet.
Naluri seorang ibu sangat kuat. Cinta kasih seorang ibu memang memiliki getaran halus yang amat kuat, yang dapat menembus kebodohan anak itu.
Agaknya sebagai seorang manusia pula, anak itu juga mempunyai perasaan dan dapat menerima getaran cinta kasih ibu kandungnya sehingga dalam waktu beberapa hari saja dia sudah menjadi ‘jinak’, makin berkurang kebuasannya, dan dalam waktu sebulan, dia sudah begitu melekat kepada Si Kwi sehingga mau digandeng dan diajar berjalan karena jalannya masih seperti orang hutan, dengan sepasang kaki ditekuk rendah, kedua lengan bergantung hampir mencapai tanah dan punggung membungkuk!
Kini, dia mulai meniru cara Si Kwi berjalan! Juga dia mulai mau makan masakan sayuran dan daging yang disuguhkan oleh ibu kandungnya. Pertama kali Si Kwi memberi pakaian kepadanya, dia ketakutan. Ketika pakaian itu oleh Si Kwi dipakaikan pada tubuhnya, dia merobek-robeknya. Akan tetapi agaknya karena meniru Si Kwi pula, akhirnya dia mau juga mengenakan pakaian, mau pula dimandikan dan lain-lain. Persis seperti menjinakkan seekor kera.
Si Kwi sering kali mengamat-amati anak itu di waktu anak tidur. Hatinya penuh rasa haru, penuh rasa sayang dan dibelainya anak itu, luka-luka di tubuh anak itu diusapnya dengan jari-jari tangan gemetar, terutama sekali luka memanjang di pundak sampai ke punggung.
Luka itu memanjang dan bentuknya seperti seekor naga. Bekas luka inilah yang membuat Si Kwi mengambil keputusan untuk memberi nama Liong (Naga) kepada anaknya. Dan karena dia teringat akan kegagahan ayah kandung anak ini, akan kesaktiannya, maka dia mengharapkan agar anaknya kelak dapat menjadi seorang naga sakti. Karena itu dia lalu menamakan anak itu Sin Liong (Naga Sakti) dan tentu saja dia menambahkan she Cia kepada Sin Liong. Cia Sin Liong, demikianlah nama anak yang sejak bayi dipelihara oleh monyet, hidup di antara monyet-monyet dan hampir saja dia menjadi seekor monyet yang aneh itu.
Setelah menemukan anaknya, terjadilah perubahan besar sekali dalam kehidupan Si Kwi. Kini dia dapat tersenyum lagi, dapat tertawa terkekeh-kekeh melihat kelucuan anaknya, dapat berseru kagum melihat ketangkasan anak berusia setahun lebih itu yang pandai sekali melompat, pandai memanjat pohon dan memiliki kekuatan yang jauh melebihi anak biasa.
Kini Si Kwi mulai merasa gembira, wajahnya berseri, matanya bersinar-sinar dan bibirnya sering kali tersenyum. Mulai pula dia memperhatikan dirinya, membersihkan dirinya dan mengenakan pakaian yang patut-patut. Dia seolah-olah mulai memasuki suatu kehidupan baru! Mulai dia mengkhawatirkan sesuatu, mempedulikan sesuatu, tak lagi seperti biasa, hidup seperti mayat berjalan tanpa mempedulikan apa-apa. Mulai dia melihat keindahan-keindahan lagi di dalam kehidupannya.
Tiga bulan kemudian, keadaan di Istana Lembah Naga itu telah berubah sama sekali. Dari dusun-dusun yang berada di kaki Pegunungan Khing-an-san, Si Kwi mengundang lima orang wanita yang dipekerjakan sebagai pelayan. Seluruh istana itu dibersihkan, dirawat baik-baik, ladang-ladangnya ditanami sayur-sayur lagi, bahkan di samping istana dibuat sebuah taman yang penuh bunga.
Pendeknya, dalam waktu beberapa bulan saja, keadaan diri Si Kwi dan sekelilingnya telah mengalami perubahan luar biasa. Wanita itu kini mau berdandan kembali, mengenakan pakaian indah karena di dalam istana itu memang banyak terdapat kain-kain yang serba indah, semangatnya bangkit dan hidup kembali.
Lima orang wanita yang menjadi pelayan-pelayan itu juga suka bekerja di situ. Dua orang di antara mereka adalah orang-orang Han dan yang tiga lagi peranakan Mongol. Mereka biasanya ikut dengan rombongan suku bangsa yang suka berpindah-pindah, hidup serba kekurangan dan selalu menghadapi kesukaran.
Kini, mereka hidup di istana yang besar serta indah, dan tidak kekurangan makan dan pakaian, tentu saja mereka suka berada di situ. Apa lagi, mereka hanya melayani seorang ibu dan seorang anak, tentu saja pekerjaan mereka tidak berat.
Akan tetapi, ternyata tidaklah mudah untuk mengasuh Sin Liong. Anak ini sudah mulai belajar bicara, akan tetapi sekali waktu, dalam keadaan marah atau khawatir, timbul saja semacam sifat monyetnya, menggereng, mencakar dan hendak menggigit, bahkan lari memanjat pohon sampai di ranting yang paling puncak, tidak mau turun! Akan tetapi sisa watak seperti monyet ini makin lama makin menipis sungguh pun tidak dapat lenyap sama sekali seperti luka di pundak dan betisnya, biar pun sudah sembuh sama sekali, namun masih ada saja nampak bekas-bekasnya.
Sering sekali para pelayan dan juga Si Kwi sendiri, memergoki monyet mendekati istana, bahkan ada satu dua kali mereka melihat Sin Liong bermain-main dengan mereka. Dan pada suatu malam, ketika anak itu sudah berusia dua tahun, anak itu lenyap dari dalam kamarnya!
Sudah tentu saja para pelayan menjadi panik. Akan tetapi Si Kwi yang melihat jendela kamar itu terbuka, bersikap tenang biar pun jantungnya berdebar penuh ketegangan dan kegelisahan. Dia tidak mau kehilangan puteranya untuk kedua kali! Akan tetapi dia dapat menduga bahwa tentu anaknya itu pergi ‘mengunjungi’ teman-temannya, yaitu rombongan monyet-monyet itu. Maka pada pagi hari itu, dia bersama para pelayannya lalu menuju ke sebuah hutan lebat tidak jauh dari sana karena dia tahu bahwa di hutan inilah monyet-monyet itu berkumpul dan hidup.
Sesudah mereka berenam sampai di tengah hutan, benar saja mereka melihat Sin Liong berada di antara monyet-monyet besar. Si Kwi mengerutkan alisnya dan marah sekali melihat betapa anak itu bermain-main, berloncatan dengan pakaian sudah cabik-cabik tak karuan, bersama monyet-monyet kecil makan ulat dan cacing!
Monyet-monyet besar itu jumlahnya hanya belasan ekor, tidak lebih dari lima belas ekor. Banyak memang monyet-monyet kecil di situ dari lain jenis, akan tetapi monyet-monyet kera kecil ini tidak berani mendekati monyet-monyet orang hutan yang besar-besar itu, yaitu kelompok yang menjadi teman Sin Liong.
"Sin Liong...!" Si Kwi segera memanggil sambil memandang ke atas pohon di mana anak itu nongkrong dengan sikap gembira.
Sin Liong memandang ke bawah dan mengeluarkan suara teriakan, "Ibu...!" Hanya satu kata inilah yang selalu teringat oleh anak itu dan yang diucapkannya dengan baik. Akan tetapi dia tidak mau turun, bahkan meloncat ke dahan yang lebih tinggi lagi.
"Sin Liong, kau turunlah! Mari pulang bersama ibu!" teriak Si Kwi lagi.
Sin Liong tetap tidak mau turun dan kini yang turun malah seekor orang utan jantan yang amat besar. Orang utan ini adalah pemimpin dari kelompok itu, orang utan jantan yang paling besar dan kuat. Dia berloncatan turun diikuti oleh lima ekor orang utan jantan yang lain, sikap mereka sangat mengancam dan pemimpin monyet itu sudah memperlihatkan taringnya.
Akan tetapi Si Kwi tidak merasa gentar dan dia tetap berdiri tegak di bawah pohon sambil memanggil-manggil Sin Liong. Lima orang pelayannya, biar pun sudah mulai dilatih silat oleh Si Kwi, merasa ngeri dan mundur-mundur ketakutan, menjauhi pohon itu.
Kini keenam monyet besar itu sudah menghadapi Si Kwi. Pemimpin monyet menggereng-gereng seperti menggertak, diikuti oleh lima ekor anak buahnya. Akan tetapi tiba-tiba saja terdengar gerengan lain dan sesosok tubuh kecil melayang turun dari atas pohon, dari cabang pohon paling rendah dan tahu-tahu Sin Liong sudah berada di sana, di tengah-tengah antara monyet-monyet itu dan ibunya. Dan anak ini pun menggereng-gereng dan memperlihatkan giginya yang kecil-kecil dan sama sekali tak menyeramkan, menghadapi monyet-monyet seolah-olah dia marah kepada mereka dan hendak membela ibunya.
Melihat pertunjukan ini, jantung di dalam dada Si Kwi berdebar penuh rasa kagum dan keharuan. Anaknya ini, yang baru berusia dua tahun itu sudah tahu bagaimana membela ibunya!
Akan tetapi monyet besar itu lantas menggereng, kemudian tangannya bergerak hendak mencengkeram atau mendorong pergi tubuh Sin Liong. Seperti sikap seekor monyet kecil menghadapi monyet besar, Sin Liong mengelak dan tidak berani melawan, hanya terus menggereng-gereng dan memperlihatkan giginya menyeringai.
Si Kwi menjadi marah. "Sin Liong, minggirlah! Biar kuhajar monyet-monyet biadab ini!"
Sesudah berkata demikian, Si Kwi menerjang maju, dua kali kakinya bergerak dan dua ekor monyet terpelanting! Empat ekor lainnya maju, akan tetapi Si Kwi yang sudah marah itu sekarang tidak mau membuang waktu lagi. Dengan gerakannya yang amat gesit, dia mengelak ke kanan kiri sambil membalas dengan tendangan kakinya dan dengan pukulan tangan kanannya.
Akan tetapi, tubuh monyet-monyet besar itu kebal dan kuat sekali. Begitu mereka roboh, mereka sudah meloncat bangun lagi dan menyerang makin ganas, dengan mata merah dan mulut membusa, menyerang kalang kabut dengan tubrukan-tubrukan dahsyat! Si Kwi merasa kewalahan juga karena sudah tiga empat kali dia merobohkan monyet-monyet itu, namun untuk kesekian kalinya kembali mereka bangkit dan menyerang makin ganas.
"Hemmm, kalian ingin mampus!" Si Kwi berteriak marah sambil meloncat ke belakang.
Ketika pemimpin monyet yang terbesar dan paling ganas itu menyerang ke depan, Si Kwi menggerakkan tangan kanannya dan sebatang paku hitam meluncur.
"Cappp...!" Paku itu menancap dan lenyap ke dalam tenggorokan monyet besar itu.
Monyet itu mengeluarkan pekik aneh dan roboh bergulingan, berkelojotan dan tidak lama kemudian tewaslah monyet itu. Monyet-monyet yang lain, aneh sekali, menjadi ketakutan dan lari berloncatan ke atas pohon.
"Grrhhhh...!"
Tiba-tiba Si Kwi mengelak dan alangkah kagetnya pada waktu dia melihat anaknya sudah menerjang serta mencakarnya! Dia cepat menangkap tangan anaknya, lalu diangkatnya, dipondongnya dan diciuminya, dipeluk erat-erat.
"Sin Liong... aku terpaksa membunuhnya... terpaksa...!" Lalu dia mengajak anaknya itu pulang dengan setengah memaksa. Sin Liong tak meronta lagi, akan tetapi dia diam saja, dan wajahnya memperlihatkan kemarahan.
Semenjak peristiwa pembunuhan pimpinan monyet itu, watak Sin Liong menjadi pendiam dan sering kali dia memandang kepada Si Kwi dengan curiga. Akan tetapi karena sikap Si Kwi yang sangat baik kepadanya, akhirnya kecurigaannya itu lenyap dan dia mulai mau tersenyum lagi kepada ibunya itu.
Liong Si Kwi juga bersikap bijaksana. Dia tahu bahwa puteranya itu tidak akan mudah menghapuskan kenangan lama, kebiasaan lama ketika hidup selama satu tahun bersama monyet-monyet itu, maka dia pun tidak melarang anaknya untuk bermain-main dengan monyet-monyet itu. Betapa pun juga, ada rasa terima kasih di hatinya terhadap monyet-monyet itu, karena tanpa adanya monyet-monyet itu, entah apa jadinya dengan anaknya karena begitu selesai melahirkan, dia langsung pingsan!
Diam-diam Si Kwi membayangkan betapa anehnya kehidupan ini. Anaknya terlahir tanpa bantuan, kemudian begitu lahir langsung diculik oleh monyet besar. Heran dia memikirkan bagaimana dan apa jadinya dengan ari-ari yang ikut keluar bersama anaknya ketika lahir itu. Bagaimana cara para monyet itu memelihara bayinya? Bagaimana cara pemotongan pusarnya? Dia melihat pusar Sin Liong biasa saja seperti anak-anak lainnya.
Memang demikianlah. Kita manusia lupa bahwa segala sesuatu di dunia ini sudah dalam keadaan tertib, dan sudah tertib dengan sendirinya, sempurna segala-galanya. Karena manusia berakal budi, maka manusia selalu mempunyai kecondongan untuk membantu jalannya kekuasaan alam, membantu kelancarannya. Dan karena semenjak jutaan tahun bantuan-bantuan manusia ini makin berkembang, maka manusia sudah menjadi terbiasa karenanya, sehingga manusia merasa kehilangan tanpa adanya bantuan-bantuan itu.
Dan mungkin sekali, karena terbisa oleh bantuan-bantuan dari luar ini, jasmani manusia menjadi kehilangan kepekaannya, kehilangan kecerdasannya, malah mungkin juga daya ketertiban yang ajaib itu sudah berkurang sehingga manusia akan merasa tidak berdaya tanpa adanya bantuan-bantuan luar yang sudah biasa diterimanya itu.
Kita bisa melihat bukti adanya ketertiban alamiah yang amat dahsyat dan ajaib itu dalam kehidupan binatang-binatang hutan yang masih jauh dari ‘peradaban’ manusia. Kelahiran di antara binatang-binatang itu terjadi di mana-mana, dan tentu saja di dunia mereka itu tidak mengenal adanya bantuan dari luar! Namun, semua kelahiran berjalan lancar dan sempurna! Hanya binatang-binatang yang sudah dekat dengan manusia saja, yang biasa menerima bantuan-bantuan dari manusia, akan merasa kehilangan dan mungkin akan terancam bahaya kegagalan apa bila mereka terlepas dari pada bantuan manusia yang sudah biasa mereka terima turun-temurun itu.
Dan mungkin sekali, karena terbisa oleh bantuan-bantuan dari luar ini, jasmani manusia menjadi kehilangan kepekaannya, kehilangan kecerdasannya, malah mungkin juga daya ketertiban yang ajaib itu sudah berkurang sehingga manusia akan merasa tidak berdaya tanpa adanya bantuan-bantuan luar yang sudah biasa diterimanya itu.
Kita bisa melihat bukti adanya ketertiban alamiah yang amat dahsyat dan ajaib itu dalam kehidupan binatang-binatang hutan yang masih jauh dari ‘peradaban’ manusia. Kelahiran di antara binatang-binatang itu terjadi di mana-mana, dan tentu saja di dunia mereka itu tidak mengenal adanya bantuan dari luar! Namun, semua kelahiran berjalan lancar dan sempurna! Hanya binatang-binatang yang sudah dekat dengan manusia saja, yang biasa menerima bantuan-bantuan dari manusia, akan merasa kehilangan dan mungkin akan terancam bahaya kegagalan apa bila mereka terlepas dari pada bantuan manusia yang sudah biasa mereka terima turun-temurun itu.
Kini Sin Liong sering kali bermain-main dengan para monyet, bahkan melihat betapa Si Kwi tidak pernah marah dan tidak pernah mengganggu mereka, monyet-monyet itu mulai berani mendekati istana, bahkan berani bermain-main dengan Sin Liong di istana.
Si Kwi memesan kepada para pelayannya agar jangan mengganggu mereka. Di dalam hatinya wanita muda ini bisa memaklumi bahwa tak mungkin Sin Liong dapat melupakan kehidupan di antara para monyet setelah sejak bayi dia minum air susu dari dada monyet betina besar yang dia lihat sering kali datang dan memandang kepada Sin Liong dengan matanya yang seperti mata seorang manusia! Monyet betina besar yang hanya menatap dari jauh, bersikap diam saja, namun sinar matanya penuh dengan kasih sayang yang dapat terasa oleh Si Kwi.
Malam itu bulan bersinar terang. Si Kwi bermain-main dengan anaknya di serambi depan, sedangkan para pelayan sudah mengaso di kamar belakang. Para pelayan itu kini telah merupakan wanita-wanita yang tidak lemah lagi. Sudah beberapa bulan lamanya mereka dilatih ilmu silat oleh Si Kwi dan sungguh pun mereka tentu saja belum dapat menguasai jurus-jurus silat yang tinggi, namun setidaknya mereka telah memperoleh kesigapan dan kekuatan yang lumayan.
Si Kwi sedang mengajar anaknya bercakap-cakap. Sudah lumayan juga kemajuan yang diperoleh Sin Liong dalam hal ini. Tentu saja dia ketinggalan jauh sekali jika dibandingkan dengan anak-anak biasa. Usianya sudah dua tahun setengah, namun dia hanya baru bisa mengeluarkan beberapa patah kata saja, di antaranya yang paling jelas adalah ‘ibu’, ‘ya’, ‘tidak’, ‘makan’, ‘minum’ dan ‘tidur’.
Namun dengan bahasa isyarat dia sudah mengerti jauh lebih banyak, dan pengertiannya menangkap kata-kata jauh lebih baik dari pada kepandaiannya mengucapkan kata-kata. Juga kini dia sering kali tertawa-tawa ditimang oleh Si Kwi, dan dapat pula menunjukkan kasih sayangnya dengan memeluk leher ibunya kalau dia sedang dipangku.
Tiba-tiba saja terdengar bunyi cecowetan dan di antara bayangan pohon-pohon nampak beberapa ekor monyet kecil menghampiri serambi itu. Si Kwi mengerutkan alisnya, akan tetapi dia tidak melarang pada waktu Sin Liong merosot turun dari atas pangkuannya dan berlari keluar, menyambut kedatangan monyet-monyet itu.
Biarlah, pikirnya. Anak itu berhak untuk bergembira dan bermain-main, seperti anak-anak lain. Dan karena di situ tidak ada anak lain, maka tentu saja anak itu bersababat dengan monyet-monyet yang memang sejak lahir sudah menjadi sababatnya. Hatinya lega ketika melihat Sin Liong tidak merobek-robek pakaiannya lagi, bahkan di dalam kegembiraannya itu terdengar gelak tawanya seperti seorang anak manusia di antara suara cecowetan monyet.
Anak itu sudah makin mendekati sifat manusia dari pada sifat monyet, pikirnya dan dia pun melangkah masuk ke dalam kamarnya, membiarkan anaknya bermain-main di luar karena dia tahu bahwa kini, semenjak peristiwa pertempurannya melawan monyet-monyet itu, Sin Liong tidak mau pergi jauh dari halaman depan istana.
Si Kwi sedang membaca kitab yang berisi cerita kuno sambil rebah di pembaringannya, ketika tiba-tiba pintu kamarnya terbuka dari luar dan nampak anaknya memasuki kamar sambil berlari setengah merangkak cepat sekali. Si Kwi bangkit duduk dan terkejut. Kalau Sin Liong sudah melupakan pesannya bahwa anak itu tidak boleh merangkak melainkan harus berjalan seperti manusia, dan kini anak itu berjalan setengah merangkak karena hal ini membuat dia dapat bergerak lebih cepat, tentu ada apa-apa yang penting pikirnya.
"Liong-ji... ada apakah...?" Hatinya lega melihat Sin Liong tidak terluka, dan agaknya tidak terjadi apa-apa dengan anak itu, akan tetapi anak itu kelihatan gugup dan takut.
"Ibu... keluar... keluar...!" Dia berkata, sukar sekali, akan tetapi kedua tangannya jelas memberi isyarat kepada ibunya agar ibunya suka keluar dari dalam kamar itu.
Si Kwi meloncat turun dan mengikuti anaknya yang kembali lari setengah merangkak dan berloncatan keluar dari dalam kamar, terus ke serambi depan dan hendak terus keluar dari halaman istana. Akan tetapi Si Kwi memegang lengan anaknya dan berdiri tegak di tengah halaman istana yang amat sunyi itu. Sinar bulan menerangi tempat itu.
"Ibu...!" Sin Liong menuding ke depan.
"Sstttttt...!" Si Kwi menaruh telunjuk di depan mulut, isyarat yang dikenal oleh Sin Liong agar dia berdiam diri.
Si Kwi yang memiliki pendengaran tajam terlatih itu telah mendengar sesuatu dari jauh. Maklumlah dia bahwa ada datang beberapa orang pengunjung. Siapa pula yang berani datang mengunjungi tempat ini?
Dulu sebelum dia melahirkan, pernah beberapa kali ada orang-orang yang berkeliaran di dekat istana, mungkin pemburu-pemburu binatang. Akan tetapi dia telah mempergunakan kepandaiannya, menyambit mereka dari jauh dengan kerikil-kerikil kecil hingga membuat mereka langsung lari ketakutan karena sambitannya tepat mengenai mereka dan cukup menyakitkan. Akan tetapi sekali ini, malam-malam ada orang-orang datang. Siapa mereka dan apa maksud kedatangan mereka?
"Liong-ji, kau masuklah ke dalam!" kata Si Kwi sambil menuding ke arah serambi istana.
Si Liong yang mempunyai naluri monyet dan tahu bahwa ada bahaya mengancam, cepat berloncatan dan dia sudah bersembunyi di balik tiang di serambi itu sambil mengintai ke arah ibunya yang berdiri tegak dan tenang menanti datangnya orang-orang yang sudah dia dengar langkah kaki dan suaranya itu.
Tak lama kemudian nampaklah enam orang laki-laki tinggi besar yang melihat lagak dan pakaiannya, tentulah sebangsa orang-orang kasar yang biasa mengandalkan keberanian serta kekuatan mereka untuk melakukan apa saja tanpa mempedulikan hukum dan peri kemanusiaan.
Mereka tercengang ketika melihat Si Kwi yang berdiri di tengah halaman istana itu dan mereka semua menahan langkah kaki, memandang ke depan dan memperhatikan Si Kwi dari kepala sampai ke kaki.
"Bukan main...! Cantik sekali...!"
"Seperti bidadari! Dewi kahyangan rupanya!"
"Orang bilang, di sini ada setannya, kiranya yang ada hanyalah dewi manis!"
"Sayang tangan kirinya buntung!"
"Tidak apa, yang penting buat kita kan bukan tangan kirinya, heh-heh!"
Mereka semua bergelak tertawa dan masih terdengar lagi ucapan-ucapan tidak senonoh yang membuat muka Si Kwi menjadi merah dan terasa panas. Kini mereka melangkah maju dan menghadapi Si Kwi sambil menyeringai.
Seorang di antara mereka, yang kulit mukanya hitam dan penuh brewok, matanya lebar, tubuhnya tinggi besar dan agaknya dialah yang memimpin rombongan keenam orang itu, berkata, "Heh-heh, nona manis. Inikah yang dinamakan Istana Lembah Naga?"
Si Kwi bersikap tenang dan menahan kemarahannya, akan tetapi mendengar pertanyaan itu dia menjawab, "Benar!"
Laki-laki itu tertawa. "Ha-ha-ha, kami dengar di sini ada setannya. Mana setannya? Dan siapa engkau, nona manis?"
"Penghuni istana ini adalah aku! Lebih baik kalian lekas pergi dari sini! Tidak ada seorang pun boleh mendatangi tempat ini!" kata Si Kwi dengan nada suara dingin mengancam.
Akan tetapi enam orang laki-laki itu tentu saja memandang rendah dan mereka semua tertawa. Si brewok itu tertawa paling keras lantas berkata, "Ha-ha-ha, boleh jadi engkau aneh, nona, seorang wanita muda cantik manis tinggal di istana besar seorang diri. Akan tetapi engkau hanya seorang wanita muda yang lemah, berpakaian indah serba merah, malah tangan kirimu buntung. Andai kata engkau benar-benar setan, heh-heh-heh, aku senang berteman dengan setan seperti engkau ini. Aku tidak takut kau gigiti. Ha-ha-ha!"
"Ha-ha-ha-heh-heh!" Lima orang temannya tertawa semua. "Bhong-twako, boleh engkau nikmati dia, kami akan menikmati barang-barang di dalam istana itu saja, heh-heh!"
Pada saat itu, mereka semua tercengang dan memandang ke serambi depan. Ternyata lima pelayan sudah berada di situ semua. Mereka itu semua ditarik-tarik dan diajak keluar oleh Sin Liong dan kini mereka berdiri di serambi sedangkan Sin Liong sudah sembunyi lagi sambil mengintai.
"Wah, wah, kiranya masih ada lima orang lagi? Ha-ha, sungguh tepat. Enam lawan enam! Ah, Bhong-twako, kami juga sudah dijemput, biar pun tidak secantik si buntung ini, akan tetapi mereka itu jelas perempuan, tidak banci. Itu saja sudah cukup, ha-ha!" Lima orang itu tertawa-tawa, mata mereka memandang ke arah lima orang pelayan itu.
Pelayan-pelayan itu terdiri dari wanita-wanita yang usianya antara dua puluh sampai tiga puluh lima tahun, dan karena mereka itu sehat-sehat dan berpakaian cukup bersih, maka nampak pula sifat kewanitaan mereka. Sambil bersorak kelima orang itu sudah bergerak hendak menyerbu ke serambi.
"Tahan!" Tiba-tiba Si Kwi berseru, suaranya nyaring dan penuh wibawa sebab dia berseru sambil mengerahkan khikang-nya. "Tahan atau kalian akan mati di tempat!"
Enam orang itu terkejut dan si brewok memecahkan perasaan kaget yang mencekam itu dengan suara ketawanya. "Ha-ha-ha, lagakmu sangat hebat, nona. Seorang wanita muda sepertimu ini, bersama lima orang temanmu itu, apa gunanya melawan kami? Lebih baik menurut saja, menyerah dan kalian akan memperoleh kesenangan dan selanjutnya hidup bersama kami..."
"Hemm, kalian enam orang sungguh lancang. Katakan dulu siapakah kalian, dari mana kalian datang sehingga kalian tidak mengenal tempat ini dan berani melanggarnya?"
"Kami? Ha-ha-ha, kami datang dari Padang Bangkai dan..."
"Padang Bangkai?" Si Kwi cepat-cepat memotong dan terheran-heran. "Bukankah Padang Bangkai telah kosong dan penghuninya telah tewas semua? Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li sudah tewas, anak buahnya juga sudah terbasmi habis. Bagaimana kalian berani mengaku datang dari Padang Bangkai?"
Dalam cerita ‘Dewi Maut’ telah diceritakan betapa Padang Bangkai dijadikan sarang oleh suami isteri kaum sesat yang amat terkenal, yaitu Ang-bin Ciu-kwi dan isterinya Coa-tok Sian-li, dan suami isteri ini bersama anak buah mereka sudah takluk terhadap kakek dan nenek iblis penghuni Istana Lembah Naga dan menjadi pembantu-pembantu mereka.
Adalah Ang-bin Ciu-kwi inilah yang menjadi sebab pertama mengapa Si Kwi jatuh cinta pada Cia Bun Houw, yaitu ketika dia dirobohkan dan akan diperkosa oleh Ang-bin Ciu-kwi si pemabok itu, dia diselamatkan oleh pendekar sakti muda itu.
Pada saat terjadi pertempuran-pertempuran hebat di antara para penghuni Istana Lembah Naga dengan para pendekar perkasa, Ang-bin Ciu-kwi, isterinya, bersama semua anak buahnya telah tewas dan Padang Bangkai, tempat yang amat berbahaya dan mengerikan itu sudah menjadi kosong. Bagaimana kini dapat muncul enam orang ini yang mengaku datang dari Padang Bangkai?
Si brewok itu tertawa, "Aha, kiranya engkau mengenal nama-nama mendiang Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li, nona? Ketahuilah bahwa tai-ong (raja sebutan untuk kepala perampok) kami adalah sahabat baik dari mereka, dan melihat bahwa Padang Bangkai sudah kosong, maka tai-ong kami lalu mengambilnya sebagai tempat tinggal kami sejak setengah tahun yang lalu. Tai-ong mendengar bahwa di sini terdapat Istana Lembah Naga dan ada... ehhh, setannya, maka dia mengutus kami untuk menyelidikinya. Siapa kira, bukan setan yang kami dapatkan, melainkan... sorga tempat para bidadari. Heh-heh-heh!"
"Bhong-twako, perlu apa banyak bicara dengan dia? Tubruk dan peluk saja, habis perkara! Kami akan menangkap lima ekor kelinci gemuk di sana! Ha-ha!" Seorang di antara anak buahnya berkata dan mereka berlima tertawa semua itu menyerbu ke serambi.
"Kiranya perampok-perampok laknat! Keparat, mampuslah kalian!" Si Kwi membentak dan tubuhnya bergerak cepat sekali ke depan, menghadang lima orang yang menyerbu ke serambi itu. Dengan kemarahan meluap, Si Kwi menggunakan tangan kanan, dua kali dia menghantam kepada dua orang terdepan, disusul tendangan kakinya yang menyambar ke arah bawah pusar mereka.
"Plak-plak! Dess-desss…!"
Dua orang itu memekik kemudian terpental ke belakang, menimpa teman-temannya dan mereka terbanting, berkelojotan dan... tewas! Melihat hal ini, empat orang lainnya menjadi kaget setengah mati, kaget dan juga marah. Si brewok segera mencabut goloknya, diikuti oleh tiga orang anak buahnya.
"Ternyata engkau benar-benar setan!" teriak si brewok dan dia sudah menerjang maju, membacokkan goloknya ke arah leher Si Kwi. Tiga orang anak buahnya juga langsung menggerakkan golok mereka menyerang.
Akan tetapi Si Kwi sudah siap sedia. Wanita muda ini merasa menyesal mengapa dia tadi tidak membawa pedangnya atau kantung pakunya. Akan tetapi, menghadapi perampok-perampok kasar ini tentu saja dia tak menjadi gentar. Dengan ginkangnya yang luar biasa, dia mengelak dan berloncatan ke sana-sini sedemikian cepatnya sehingga empat orang pengeroyoknya kadang-kadang menjadi bingung karena wanita itu lenyap dari pandang mata mereka saking cepatnya gerakan itu.
Sementara itu, lima orang pelayan yang baru saja belajar ilmu silat, menonton dengan mata terbelalak. Tadinya mereka tidak mengira bahwa nona majikan mereka benar-benar sangat lihai sekali sehingga dikeroyok enam orang laki-laki sekasar itu, mampu melawan bahkan segebrakan saja telah merobohkan dua orang! Timbul gairah dalam hati mereka untuk belajar silat semakin mendalam karena majikan mereka ternyata merupakan guru yang amat hebat! Dan Sin Liong yang tadinya mengintai, kini sudah meloncat naik ke atas meja, menonton dengan mata terbelalak dan mulut ternganga. Ibunya hebat!
"Mampuslah kalian, perampok-perampok laknat!" bentak Si Kwi lantas tangan kanannya menyambar.
"Krekkk!"
Jari-jari tangan yang halus akan tetapi karena diisi oleh tenaga sinkang menjadi kaku dan keras bagaikan baja itu menghantam tenggorokan si brewok yang besar. Tulang-tulang tenggorokan itu menjadi remuk dan si brewok mengeluarkan suara bagai babi disembelih, tubuhnya roboh berkelojotan. Sebuah tendangan kilat dari Si Kwi mengenai pelipisnya, membuat kepalanya retak sehingga dia tidak berkelojotan lagi!
Tiga orang perampok itu makin terkejut dan kini mereka mulai menjadi gentar. Namun Si Kwi tidak memberi ampun. Ketika dia meloncat ke kiri, seorang perampok membacokkan goloknya dari belakang. Sambaran golok memecah angin dari belakangnya, maka suara angin itu dapat ditangkapnya sehingga dia cepat miringkan tubuh. Golok menyambar di samping pundaknya, dia membalik dan memutar kaki, lengan kiri yang ujungnya hanya tinggal tulang terbungkus kulit itu menotok siku tangan orang yang memegang golok.
"Dukkk!”
“Uhhhhh...!" Golok besar itu terlepas dan sebelum jatuh ke tanah, sudah disambar oleh tangan kanan Si Kwi yang langsung membuat gerakan membalik.
"Cappp...!" Golok itu amblas ke dalam perut pemiliknya sampai menembus punggung!
Si Kwi mencabut golok itu sambil meloncat ke kiri sehingga darah yang mengucur keluar dari perut itu tak sampai mengenai bajunya. Dua orang perampok itu cepat membalikkan tubuhnya dan lari tunggang langgang. Namun golok di tangan Si Kwi langsung terbang menyambar dan menancap di punggung seorang di antara mereka. Orang itu terhuyung dan roboh menelungkup. Yang seorang lagi sudah menghilang di dalam gelap.
Si Kwi mengejar, akan tetapi orang itu sudah lenyap sehingga terpaksa dia kembali ke pekarangan Istana Lembah Naga. Dengan tenang dia lalu memerintahkan para pelayan untuk membantu dia menyeret mayat kelima orang itu dan melempar-lemparkan semua mayat itu ke dalam jurang di belakang istana. Jurang-jurang itu dalam sekali, sampai tak nampak dasarnya, maka mayat-mayat itu pun menghilang di dalam jurang gelap. Si Kwi segera kembali ke dalam istana, diikuti oleh lima orang pelayan yang mula-mula merasa ngeri akan tetapi kini merasa bangga sekali!
"Ibu...!" Sin Liong meloncat ke dada ibunya.
Si Kwi memeluknya sambil berkata, "Liong-ji. Sekarang engkau tidak boleh bermain-main terlalu jauh, ya? Lihat, banyak orang jahat berkeliaran!"
"Toanio, siapakah mereka itu? Mengapa mereka memusuhi toanio?" seorang di antara para pelayannya bertanya.
Si Kwi duduk sambil memangku Sin Liong, lalu dia mengumpulkan lima orang pelayannya dan bercerita. "Padang Bangkai adalah padang rumput yang nampak dari atas itu, tempat yang amat berbahaya. Dahulu menjadi sarang orang-orang jahat yang amat pandai, akan tetapi sekarang sudah kosong dan ternyata ditempati oleh segerombolan perampok yang anak buahnya tadi mengacau ke sini. Sayang salah seorang di antara mereka sempat melarikan diri, maka kepala perampoknya tentu akan datang ke sini. Akan tetapi jangan kalian khawatir, aku sanggup menghadapi mereka!" kata Si Kwi dengan gemas. "Mereka itu sudah bosan hidup, tidak tahu bahwa Ang-yan-cu yang tinggal di sini!" katanya pula dengan sikap angkuh dan timbul kembali sifatnya yang gagah, yang selama dua tahun lebih, hampir tiga tahun, terpendam di tempat sunyi itu.
Melihat sikap majikan mereka yang gagah, dan karena sudah pula menyaksikan sendiri kelihaian majikan mereka ini, lima orang pelayan itu berbesar hati, bahkan mereka pun menjadi bersemangat sehingga malam itu sebelum tidur mereka giat melakukan latihan gerakan silat yang telah diajarkan oleh majikan mereka.
Apa yang diduga oleh Si Kwi memang terbukti kebenarannya. Tiga hari kemudian, pada suatu pagi, muncullah dua puluh orang lebih yang dipimpin oleh seorang laki-laki tinggi kurus berusia empat puluh tahunan. Laki-laki ini memegang sebatang tombak bergagang panjang, sikapnya gagah dan pakaiannya mewah.
Wajahnya yang kurus itu kekuning-kuningan, matanya sipit namun sinarnya sangat tajam. Sikapnya tidak sekasar para anak buahnya yang rata-rata memiliki tubuh tinggi besar dan nampak kuat-kuat, orang-orang yang biasa mengandalkan kekasaran dan kekerasan.
Kali ini Si Kwi sudah siap siaga. Dengan pedang di pinggang dan sekantung Hek-tok-ting tergantung pula di pinggang, dia menyambut kedatangan mereka di pekarangan istana. Lima orang pelayannya, biar pun belum pandai ilmu silat, namun mereka pun telah berdiri di serambi, berjajar dengan pedang di tangan dan hati berdebar tegang! Sin Liong sudah bersembunyi lagi, seperti seekor monyet kini dia memanjat genteng dan bersembunyi di wuwungan genteng istana, sambil mengintai!
Dengan kedua tangan bertolak pinggang dan kedua kaki terpentang lebar, sikap gagah dan tenang sekali, Si Kwi berdiri menanti kedatangan mereka. Setelah gerombolan itu tiba di dalam pekarangan depan istana yang lebar, si kepala rampok mengangkat tangan kiri ke atas dan anak buahnya berhenti, kemudian membuat barisan melengkung setengah lingkaran menghadapi Si Kwi yang sama sekali tidak bergerak, berkedip pun tidak, akan tetapi dengan pandang matanya Si Kwi sudah mengukur dan mengira-ngira berapa orang akan dapat dirobohkan kalau sekaligus dia menyebarkan paku-paku hitamnya!
Ditaksirnya bahwa sedikitnya sepuluh orang akan dapat dirobohkannya dan persediaan paku di kantungnya ada lima puluh batang lebih. Dia sama sekali tidak khawatir dan dia menatap langsung kepada kepala perampok itu, menaksir-naksir dan menyelidiki.
Biar pun orang itu kelihatan paling lemah tubuhnya, namun tentu merupakan orang yang terlihai di antara mereka. Orangnya tidak tinggi besar, akan tetapi tombak di tangannya itu kelihatan berat, tanda bahwa kepala perampok itu tentunya seorang ahli lweekeh yang mengandalkan tenaga dalam yang kuat.
Juga, orang yang mengandalkan ilmu tombak adalah seorang ahli silat yang sudah tinggi ilmunya, karena ilmu tombak jauh lebih sukar dipelajari dari pada ilmu senjata lainnya. Maka dia memandang orang itu dengan sikap hati-hati.....