Sementara itu, Mei Lan yang semenjak kecil digembleng oleh ayahnya, Yap Kun Liong si pendekar sakti, dan Lie Seng yang juga merupakan putera suami isteri pendekar dan dari keluarga pendekar sakti ketua Cin-ling-pai, walau pun keduanya belum banyak mewarisi kepandaian dua orang kakek sakti ini, namun sebagai keturunan orang-orang pandai dua bocah itu sudah menduga apa yang terjadi ketika melihat Kok Beng Lama dan Bun Hwat Tosu duduk bersila berhadapan, pendeta Lama itu memegang biji catur raja putih ada pun tosu tua itu memegang atau menyentuh papan catur dan keduanya berdiam saja tanpa bergerak, akan tetapi dari kepala mereka mengepul uap putih!
Keadaan menjadi sunyi, sunyi sekali dan sangat menegangkan karena dua orang kakek itu kelihatannya tidak mau saling mengalah! Dan biar pun mereka tidak saling menyerang secara langsung, namun mengadu kekuatan sinkang untuk memperebutkan biji catur itu juga sangat berbahaya, tidak kalah bahayanya dengan mengadu pukulan! Bahkan lebih berbahaya lagi karena kalau pukulan atau tendangan dapat dielakkan, akan tetapi getaran sinkang ini tak dapat dielakkan, harus dihadapi langsung dengan mengadu kekuatan.
Tiba-tiba saja kesunyian yang mencekam perasaan itu dipecahkan oleh suara nyaring Mei Lan, "Ji-wi suhu sedang apakah? Katanya ji-wi hendak bertanding catur! Apakah acara pertandingan telah dirubah?"
Mendengar suara ini, kedua orang kakek itu menjadi sadar lantas keduanya tertawa dan otomatis keduanya menghentikan saluran sinkang mereka.
"Ha-ha-ha, pantas berani menantang dewa! Kiranya engkau lihai sekali, tosu!"
"Dan tidak kusangka di tempat ini aku dapat berjumpa dengan kepala gundul yang sakti seperti engkau, Lama!" dengan kegembiraan yang tak disembunyikan lagi Bun Hwat Tosu berkata. "Mari kita mulai mengatur biji-biji catur!"
Dengan berbareng tangan kanan mereka memunguti biji-biji catur yang tersebar di atas papan, Kok Beng Lama memunguti yang putih sedangkan Bun Hwat Tosu memunguti yang hitam. Begitu tangan mereka bergerak, keduanya segera berlomba pula, bercepat-cepatan mengatur biji-biji catur di atas papan sehingga meski pun masing-masing hanya menggunakan sebelah tangan saja, namun dilihat oleh mata orang biasa, satu tangan itu seperti berubah menjadi banyak sekali.
Banyak tangan bergerak di atas papan catur itu dan keduanya menyelesaikan pekerjaan mengatur biji-biji catur itu pada waktu yang bersamaan. Tepat pada saat Bun Hwat Tosu melepaskan biji terakhir, demikian pula Kok Beng Lama melepaskan biji terakhir. Kembali mereka tertawa, saling pandang dan wajah mereka berseri-seri gembira sekali. Gembira karena sekaranglah mereka merasa menemukan tanding yang amat menyenangkan dan berharga!
"Kita bertanding catur dengan taruhan apa?" Tiba-tiba Kok Beng Lama menantang.
Bun Hwat Tosu tersenyum. "Lama, apa sih yang bisa kita pertaruhkan? Pakaianku kumal, jubahmu pun butut. Aku tidak mempunyai uang sepeser pun!"
"Dan aku pun tidak mempunyai harta secuwil pun!"
Keduanya tertawa lagi dengan gembira.
"Aku sudah tidak menginginkan apa-apa, Lama."
"Aku pun tidak butuh apa-apa. Akan tetapi engkau mempunyai murid."
"Dan kau juga."
"Nah, kita berdua tidak butuh apa-apa, akan tetapi murid-murid kita yang masih muda itu tentu membutuhkan sesuatu. Hai, muridku, gurumu akan bermain catur menandingi tosu tua bangka ini. Kau ingin bertaruh apa?" tanya Kok Beng Lama kepada Lie Seng.
Lie Seng mengerutkan alisnya. Apa yang dapat diharapkan dari tosu tua yang berpakaian sederhana dan muridnya itu, anak perempuan yang pakaiannya juga tambal-tambalan? Akan tetapi Lie Seng adalah seorang anak yang cerdas dan juga berpandangan tajam.
Dari sikap gurunya yang biasanya memandang rendah dan tidak peduli terhadap semua orang, yang sekarang kelihatan amat bergembira bertemu dengan tosu tua itu, dia dapat menduga bahwa tosu itu adalah seorang tua yang memiliki kesaktian hebat. Maka dengan cepat dia menjawab,
"Teecu ingin agar kalau locianpwe itu kalah dari suhu, dia mengajarkan satu macam ilmu silat kepada teecu!"
"Dan teeeu juga bertaruh demikian, suhu. Kalau locianpwe itu yang kalah, maka dia harus mengajarkan semacam ilmu kepada teecu!" kata Yap Mei Lan sambil memandang pada Kok Beng Lama.
Dua orang kakek itu saling pandang, lalu sama-sama tertawa bergelak. "Murid-murid kita memang cerdik, bisa menggunakan kesempatan. Bagaimana pandapatmu, Lama?" tanya Bun Hwat Tosu.
Kok Beng Lama mengangguk-angguk dan tiba-tiba saja pandang matanya bersinar aneh. "Mewarisi ilmu dari orang seperti engkau, sungguh amat berguna bagi orang muda, tosu. Ehhh, tosu tua! Apa yang engkau lakukan terhadap aku tadi? Setelah mengadu sinkang denganmu, aku merasa aneh! Ehh, siapakah engkau, orang tua? Dan bagaimana dengan kematian puteriku? Apakah sudah dapat ditemukan pembunuhnya?"
Bun Hwat Tosu memandang tajam, lalu menarik napas panjang. "Siancai... kiranya baru sekarang ingatanmu dapat pulih kembali, Lama. Terus terang saja, tadi aku melihat sinar aneh pada pandang matamu. Aku lalu menduga bahwa tentu engkau menderita semacam penyakit atau keracunan, maka aku tadi sengaja mengerahkan sinkang untuk membantu engkau mengusir hawa beracun itu. Akan tetapi, ternyata sinkang-mu sangat kuat, tanda bahwa engkau tidak keracunan. Dan ternyata, tidak gagal sama sekali usahaku, karena ternyata engkau mengalami himpitan batin, pukulan batin yang demikian kuat sehingga engkau seperti kehilangan sebagian ingatanmu."
"Omitohud!" Kok Beng Lama baru sekarang teringat untuk memuji nama Buddha dan dia memandang kakek tua itu dengan mata lebar. "Dan itu berarti bahwa betapa pun juga, sinkang-mu masih lebih tinggi setingkat dari pada aku, totiang, sehingga tenagamu dapat menyelinap ke dalam tubuhku, akan tetapi bukannya merusak bahkan menyembuhkan! Ahhh, aku teringat semua sekarang! Puteriku terbunuh orang... hemm, dan kau... bocah, kau menjadi muridku selama ini?" tanyanya kepada Lie Seng.
"Benar, suhu. Setelah suhu menolong saya dari iblis betina itu dan menyembuhkan saya dari luka akibat pasir beracun."
Kok Beng Lama sekarang bangkit berdiri lantas menjura ke arah Bun Hwat Tosu. "Aku menghaturkan banyak terima kasih atas pertolonganmu, sobat. Aku tak akan melupakan budimu."
Bun Hwat Tosu cepat balas menjura, lalu duduk bersila kembali dan mengomel, "Lama yang baik, aku tidak melepas budi apa-apa dan tidak minta balasan apa-apa. Asalkan engkau suka menemani aku main catur dengan taruhan seperti yang telah dikatakan oleh murid-murid kita tadi, cukup senanglah hatiku. Hayo, kau mulai dan jangan banyak main sungkan-sungkan dan hutang-pihutang budi lagi!"
Kok Beng Lama memandang tosu itu dan tertawa girang. "Aha, tidak mudah di dunia ini bertemu dengan seorang luar biasa seperti engkau, sahabat. Baiklah, mari kita buktikan, siapa yang lebih unggul mempermainkan biji-biji catur."
Mulailah dua orang kakek itu bermain catur dan mulai pulalah dua orang anak itu menjadi tak tenang dan merasa bosan. Memang mereka ingin sekali melihat guru masing-masing menang agar bisa mendapatkan pelajaran ilmu silat tinggi, akan tetapi menonton mereka bermain catur begitu lambat, dua orang anak ini merasa bosan. Kadang-kadang sampai hampir satu jam lamanya salah seorang di antara dua kakek yang bergiliran jalan, hanya termenung memandang papan caturnya, tidak juga menggerakkan biji catur.
Akan tetapi di samping kebosanan mereka, dua orang anak itu tidak berani mengganggu guru masing-masing, karena itu mereka hanya duduk gelisah, hanya kadang-kadang saja memandang ke arah papan catur, akan tetapi lebih sering mereka memandang ke kanan kiri, dan beberapa kali mereka saling pandang tanpa mengeluarkan kata-kata.
Pada saat matahari telah condong ke barat, dua orang bocah itu sudah tak lagi menonton guru-guru mereka yang bermain catur. Sampai matahari condong ke barat, berarti sudah setengah hari mereka bermain catur, tetapi belum juga ada yang kalah atau pun menang, satu permainan juga belum habis!
Kini dua orang anak itu sudah duduk berhadapan, tak jauh dari tempat guru-guru mereka bermain catur. Karena merasa dikesampingkan dan tidak diperhatikan lagi oleh guru-guru mereka, otomatis dua orang anak itu saling memperhatikan. Pada saat Mei Lan memetik setangkai bunga merah, Lie Seng berkata, nada suaranya mencela,
"Sayang sekali bunga itu dipetik."
Mei Lan memandang kepadanya, memegang setangkai bunga itu dan mencium baunya yang harum. Bunga itu adalah bunga mawar hutan.
"Kenapa sayang?" tanyanya.
"Bunga itu sudah baik-baik tumbuh di tangkainya, kenapa dipetik? Jika dipetik bukankah akan cepat layu dan mati?"
"Hemmm, memang bunga sepatutnya dipetik dan dinikmati, dan aku suka sekali kepada bunga. Anak-anak perempuan sudah biasa suka memetik bunga."
Lie Seng tak mau membantah lagi. Dia menoleh kepada suhu-nya yang masih tenggelam bersama lawannya dalam dunia tersendiri, dunia perang catur yang amat mengasyikkan bagi mereka berdua.
"Gurumu suka sekali bermain catur," kata Lie Seng pula.
"Gurumu juga," jawab Mei Lan.
"Biasanya, guruku tidak pernah main catur, bahkan membicarakan soal catur pun tidak pernah. Heran sekali mengapa dia ternyata suka sekali bermain catur. Apakah kau bisa main catur?"
Mei Lan mengangguk, "Aku bisa akan tetapi aku tidak begitu suka, tidak enak menunggu lawan berlama-lama memikirkan jalan berikutnya, sampai kesal hati menunggu. Aku lebih senang bermain silat. Apa kau bisa main catur?"
Lie Seng menggeleng. "Tidak. Akan tetapi aku juga senang bermain silat."
Mereka berdua sampai lama tidak berkata-kata lagi dan ternyata mereka menjadi makin kesal. Mereka sudah lelah dan lapar, akan tetapi dua orang kakek itu terus saja bermain catur tanpa mempedulikan dua orang anak itu, bahkan mereka itu pun sama sekali tidak kelihatan lelah atau lapar atau mengantuk.
Ketika hari berganti malam dan cuaca sudah terlalu gelap untuk dapat bermain catur, dua orang kakek itu menyuruh murid-murid mereka untuk mencari kayu dan daun-daun kering dan agar mereka membuatkan dua api unggun di kanan kiri dua orang kakek yang terus melanjutkan permainan mereka itu.
Sesudah membuatkan api unggun untuk guru-guru mereka, Mei Lan dan Lie Seng lalu membuka bungkusan bekal mereka yang berisi roti kering dan air minum, kemudian tanpa menawarkan kepada guru-guru mereka yang asyik bermain catur itu karena tidak berani mengganggu mereka, dua orang anak ini makan minum sendiri!
Dan ternyata, dua orang kakek itu tanpa makan atau minum atau mengaso, melanjutkan permainan catur mereka sampai semalaman suntuk! Tentu saja Mei Lan dan Lie Seng menjadi kesal sekali dan mereka tidur di atas rumput di dekat api unggun. Dua orang kakek itu terus melanjutkan permainan mereka dan kadang-kadang menambahkan kayu yang ditumpuk sebagai persediaan oleh dua orang murid mereka itu ke dalam api unggun sehingga api unggun di kanan kiri itu bernyala sampai pagi.
Setelah matahari naik dan sinarnya mulai menyusup di antara celah daun pohon, Mei Lan dan Lie Seng terbangun oleh suara Kok Beng Lama yang amat nyaring. Mereka bangun dan duduk dengan kaget, lalu memandang ke arah dua orang kakek itu yang masih saling berhadapan. Mereka kini mulai mengatur lagi biji-biji catur, tanda bahwa baru saja mereka menyelesaikan satu permainan dan hendak mulai lagi dengan permainan berikutnya. Kok Beng Lama kelihatan girang bukan main.
"Ha-ha-ha-ha! Kekalahanku semalam tertebus dengan kemenangan ini, tosu! Tadi malam engkau mengalahkan aku dan aku berjanji akan memberikan ilmu pedangku yang tidak ada keduanya di dunia. Sekarang, setelah engkau kalah, ilmu apa yang akan kau berikan kepada muridku?"
Bun Hwat Tosu kelihatan gembira sekali pula, akan tetapi wajahnya kelihatan tegang dan juga lelah, walau pun semua itu tertutup oleh kegembiraan yang terpancar dari pandang matanya dan senyumnya. "Permainan caturmu sangat hebat, Lama, dan sesuai dengan janji taruhan, biarlah untuk kekalahanku ini aku akan memberikan ilmu tongkat yang tidak ada duanya di jagad ini, yaitu Siang-liong Pang-hoat."
"Bagus, bagus! Aku percaya bahwa tua bangka semacam engkau ini tentu menyimpan banyak ilmu yang hebat-hebat. Memang sudah nasib muridku yang sangat baik. Dalam permainan berikutnya, engkau tentu akan kalah terus dan semua ilmumu terkuras habis dalam pertaruhan ini, tosu."
"Belum tentu, Lama. Pertandingan kita masih ramai, baru satu-satu. Kita lihat saja nanti!"
Dan mereka berdua telah bermain kembali dengan asyiknya. Mula-mula, mendengar akan kemenangan guru masing-masing satu kali, dua orang murid itu menjadi tertarik sehingga beberapa lamanya mereka menonton. Masing-masing tentu mengharapkan agar gurunya menang terus supaya mereka memperoleh tambahan ilmu silat tinggi sebanyak mungkin.
Namun menonton permainan itu tidaklah begitu menyenangkan seperti ketika mendengar kemenangannya. Dua orang kakek itu seperti arca-arca yang sama sekali tidak bergerak, seluruh perhatian ditujukan ke atas papan catur. Mereka itu bersikap seolah-olah dunia di sekitar mereka tidak ada dan mereka seperti sudah pindah ke dunia di atas permukaan papan catur itu. Tentu saja hal ini kembali mendatangkan kebosanan pada Mei Lan dan Lie Seng.
Mei Lan mengerutkan alisnya, bangkit berdiri dan melangkah pergi. Melihat ini, Lie Seng juga bangkit dan cepat mengejarnya. "Kau hendak pergi ke mana?"
Mei Lan menoleh. Dalam keadaan kesepian dan seperti tak dipedulikan lagi oleh gurunya itu, dia memang membutuhkan seorang kawan, dan anak laki-laki ini pun lumayan untuk dijadikan teman.
"Mau mandi."
"Mandi? Di mana ada air di sini?"
"Di depan sana. Kemarin ketika suhu dan aku berjalan ke sini, aku melihat ada sebuah anak sungai kecil di sana, airnya jernih sekali."
Lie Seng memandang girang. "Ah, suhu membawa aku datang begitu cepat sehingga aku tidak sempat melihatnya. Mari kita pergi, aku pun ingin mandi."
Sambil berjalan, mereka memandang ke kanan kiri di mana tumbuh rumput dan ilalang yang amat luasnya.
"Di bawah pohon di depan itulah tempatnya," kata Mei Lan menuding ke depan.
Mereka mempercepat jalan ke arah pohon itu dan tak lama kemudian telah tiba di sana. Benar saja di situ terdapat anak sungai yang airnya bersih, mengalir sunyi namun gembira dengan dendangnya seolah-olah bermain-main dengan batu-batu yang diterjangnya. Anak sungai itu mengalir menuju ke perkampungan Padang Bangkai dan di daerah ini memang merupakan daerah sebelah selatan Padang Bangkai yang belum berbahaya.
"Kau tunggulah dulu di bawah pohon dan jangan melihat ke sini. Aku akan mandi dulu," kata Mei Lan sambil menuruni tebing sungai yang tidak begitu curam.
"Eh, kenapa? Bukankah air itu cukup banyak dan tempatnya juga cukup lebar?" Lie Seng membantah.
Sepasang pipi itu menjadi kemerahan dan mulut Mei Lan cemberut. "Kau bocah laki-laki tahu apa? Mana boleh wanita mandi bersama dengan seorang laki-laki? Hayo kau tunggu dulu di situ, jangan bergerak. Setelah aku selesai, baru engkau yang turun mandi dan aku akan menanti di situ."
Lie Seng bersungut-sungut akan tetapi lalu duduk di atas akar pohon yang menonjol ke luar tanah. "Baiklah, kalau tidak ingat bahwa engkau yang menemukan sungai ini, tentu aku tidak mau mengalah dengan peraturanmu yang aneh ini!"
Mei Lan hanya tersenyum mendengar ini. Bocah kecil tahu apa engkau, pikirnya. Agaknya biar pun usianya sudah tiga belas tahun, pikiran Lie Seng masih terlalu polos sehingga dia merasa heran mengapa anak perempuan itu tidak mau mandi bersama, bahkan dia pun dilarang melihat!
Setelah Mei Lan melihat bahwa Lie Seng benar-benar duduk membelakangi sungai dan sama sekali tidak pernah menengok, dia lalu menanggalkan semua pakaiannya dan turun ke dalam air yang setinggi paha, lalu dia duduk sehingga tubuhnya terbenam sampai ke leher.
"Aihhh, dinginnya...!" Mei Lan berseru dan ketika dia melihat betapa kepala Lie Seng yang terlihat dari situ sebatas dada itu hendak menoleh, dia cepat berseru, "Awas, tidak boleh menoleh dan melihat ke sini!"
Lie Seng mendengus dan karena hatinya keras, dia sama sekali tidak sudi menoleh. "Aku pun tidak ingin melihat engkau mandi!" katanya marah.
Makin meradang lagi rasa hati Lie Seng ketika dia menanti sampai lama. Apa saja sih yang dilakukan bocah itu, pikirnya. Mandi sampai begitu lama belum juga selesai!
"Heiiii, masa belum juga selesai?" teriaknya tanpa menoleh karena hatinya sudah kesal menanti.
"Sebentar lagi! Aihh, betapa tidak sabaran engkau!"
"Habis, lama benar sih! Memangnya engkau mau berendam di situ sampai sehari penuh?"
Mei Lan tak menjawab, akan tetapi mempercepat mencuci rambutnya yang hitam panjang itu. Sesudah selesai dan berpakaian, dia lalu naik ke atas, rambutnya masih terurai dan dikibas-kibaskannya agar cepat kering. Wajahnya segar kemerahan karena tadi digosok-gosoknya, seperti sekuntum bunga yang sedang mulai mekar.
"Nah, ambillah olehmu seluruh air sungai itu!" katanya kepada Lie Seng yang cemberut.
Lie Seng bangkit dan memandang marah. "Mandi saja sampai berjam-jam, dasar anak perempuan!"
"Huh, dan kau menunggu begitu saja tidak sabar, dasar anak laki-laki!" balas Mei Lan.
Lie Seng tidak menjawab, menuruni tebing dan menanggalkan semua pakaiannya lalu masuk ke dalam air. Mandinya mendatangkan suara bising, berkecipak di dalam air. Dia tidak pernah menengok apakah anak perempuan itu masih berada di pinggir sungai atau tidak, dan memang dibandingkan dengan waktu yang dipergunakan oleh Mei Lan untuk mandi tadi, Lie Seng hanya menggunakan waktu singkat saja.
Ketika dia sudah berpakaian dan naik ke tepi sungai dengan rambut basah, dia melihat Mei Lan masih duduk di bawah pohon sambil menyisiri rambutnya.
"Ehh, kau masih di sini?" tanya Lie Seng, rasa mengkal hatinya agaknya sudah lenyap, larut oleh air sungai atau sudah menjadi dingin oleh air.
"Tentu saja. Bukankah aku tadi berjanji akan menunggu di sini sampai kau selesai?"
Hati Lie Seng menjadi gembira. Kiranya anak perempuan ini baik juga, bersahabat dan memegang janji. Maka pada waktu Mei Lan menyerahkan sisirnya, dia menyambut tanpa berkata-kata, menyisiri rambutnya. Dan kiranya Mei Lan sudah mengeluarkan roti kering yang tadi dibawanya, mengajak Lie Seng untuk sarapan roti kering. Lie Seng pun duduk di atas akar pohon dan mereka makan roti kering.
"Siapa namamu?" tanya Mei Lan.
"Namaku Lie Seng, dan kau?"
"Mei Lan. Berapa usiamu?"
"Tiga belas tahun."
"Dan aku lima belas tahun."
"Kalau begitu kau lebih tua dari aku, enci Mei Lan."
"Tentu saja! Semua orang pun dapat melihatnya."
"Oh, belum tentu. Aku tidak kalah tinggi olehmu."
"Benar, karena kau laki-laki. Akan tetapi kau masih kanak-kanak."
"Hemm, dan kau sudah tua, ya?"
"Setidaknya, lebih tua dari pada engkau."
Lie Seng tak dapat membantah. Hening sejenak sampai mereka selesai makan roti kering yang tentu saja tidak enak di mulut karena setiap hari mereka memakannya, akan tetapi berguna bagi perut mereka yang lapar.
"Mengapa kau ikut bersama hwesio aneh itu?"
Lie Seng memandang. "Tentu saja. Dia guruku dan... dia yang sudah menolongku dari bahaya. Kau sendiri, mengapa ikut bersama kakek yang sudah amat tua itu?"
"Sama denganmu. Karena dia guruku. Di mana orang tuamu?" tanya Mei Lan.
Ditanya demikian, Lie Seng mengerutkan alisnya dan sepasang matanya penuh dengan sinar kedukaan, wajahnya menjadi muram dan dia menggeleng kepala, tidak menjawab.
Mei Lan menarik napas panjang. "Maafkan aku, adik Seng. Agaknya di dunia ini banyak terdapat anak-anak seperti kita... yang terlantar..."
"Ehh, apakah engkau sendiri tidak berayah ibu lagi?"
Mei Lan menggeleng kepala juga. "Pertanyaan itu tidak dapat kujawab..." Tiba-tiba gadis cilik itu memegang lengan Lie Seng kemudian berbisik, "Ssstttt, di sana ada dua orang mendatangi tempat ini...!"
Lie Seng segera memandang dan dia pun melihat dua orang datang dari selatan, dua orang laki-laki yang bersikap gagah dan berjalan sambil memandang ke kanan kiri. Salah seorang di antara mereka bertubuh jangkung, memakai pakaian sederhana dengan warna kuning, sedangkan yang seorang lagi amat mengherankan hati Lie Seng karena pemuda itu memiliki rambut yang agak keemasan tertimpa sinar matahari, dan setelah dekat, dia melihat bahwa matanya pun agak kebiruan!
Dua orang pemuda itu bukan lain adalah Tio Sun dan Souw Kwi Beng. Seperti yang telah diceritakan di bagian depan, dua orang ini sengaja mencari Yap In Hong dan mereka baru saja meninggalkan benteng Raja Sabutai di mana mereka mendapatkan petunjuk bahkan menerima petunjuk rahasia dari Permaisuri Khamila.
Kemudian, mereka bertemu dengan Liong Si Kwi, wanita yang bernasib malang itu dan memperoleh petunjuk yang sangat penting, yaitu mengenai jalan rahasia menyeberangi Padang Bangkai yang amat berbahaya itu. Karena itu, maka mereka memasuki daerah ini dengan hati-hati dan menoleh ke kanan kiri, tidak berani bersikap sembrono karena dari Si Kwi mereka memperoleh keterangan betapa bahayanya memasuki Padang Bangkai.
Ketika mereka melihat ada seorang dara remaja dengan seorang anak laki-laki berada di bawah pohon yang memandang mereka dengan sikap heran dan penuh curiga, tentu saja dua orang pemuda ini mengira bahwa tentu dua orang anak itu adalah anak-anak dari penghuni Padang Bangkai! Menurut penuturan Si Kwi, di tempat berbahaya itu tidak ada orang luar, yang ada hanya anggota-anggota Padang Bangkai yang semua telah dibasmi oleh Cia Bun Houw dan sebagian melarikan diri ke Lembah Naga. Maka, adanya kedua orang anak di sana tentu saja menimbulkan kecurigaan mereka dan mereka menyangka bahwa dua orang anak itu tentulah anggota-anggota Lembah Naga atau Padang Bangkai.
"Kita tangkap mereka untuk menunjukkan jalan, twako," kata Kwi Beng.
"Jangan sembrono, Beng-te. Kita tanya lebih dahulu...," kata Tio Sun yang memang selalu berhati-hati dalam sepak terjangnya.
Akan tetapi Kwi Beng sudah mendekati lantas memandang kedua orang anak itu penuh perhatian. Dia merasa heran mengapa anak-anak dari para penjahat begitu tampan dan cantik, terutama sekali dara remaja itu. Begitu cantik manis dengan sepasang mata yang bersinar-sinar penuh keberanian, walau pun bajunya tambalan. Dan anak laki-laki itu pun jelas menunjukkan bahwa dia bukan seorang anak biasa saja.
"Siapa kalian dan di mana adanya orang-orang Lembah Naga?" Kwi Beng bertanya, nada suaranya tidak manis karena tentu saja menghadapi anak-anak dari fihak musuh dia tidak bisa bersikap manis.
Mei Lan dan Lie Seng memandang tajam, kemudian Mei Lan menggandeng tangan Lie Seng sambil berkata, "Huh! Mari, Seng-te, jangan kau layani orang sinting ini!" Sesudah berkata demikian, Mei Lan lalu menarik tangan Lie Seng dan lari meninggalkan Kwi Beng yang menjadi bengong sejenak.
"Heiii, hendak lari ke mana kalian?" Kwi Beng mengejar.
"Hati-hati, Beng-te, jangan-jangan ini merupakan pancingan!" Tio Sun berseru dan juga mengejar.
Ketika Mei Lan dan Lie Seng sudah tiba di tempat yang tak jauh dari tempat guru mereka bertanding catur dan sudah kelihatan dari situ, kemudian mendapatkan kenyataan bahwa dua orang itu mengejar, mereka lalu berhenti.
"Engkau ini orang jahat mau apa mengejar kami?" Mei Lan membentak marah.
Kwi Beng mengerutkan alisnya. Anak perempuan ini galak sekali, dan sebagai anak dari tokoh-tokoh sesat di tempat itu tentu mempunyai kepandaian juga.
"Bocah sesat, kami hanya ingin bertanya jalan kepadamu!"
"Kami tidak tahu. Hayo lekas pergi, laki-laki ceriwis dan jangan menggangguku!" Mei Lan mengusir, telunjuk kirinya menuding ke depan dan tangan kanannya menolak pinggang, sikapnya angkuh sekali, angkuh dan juga cantik!
"Sombong!" Kwi Beng membentak dan dia telah menerjang untuk menangkap dara remaja yang galak itu.
"Haiiittt...! Ahhh!"
Kwi Beng terkejut bukan main karena selain anak perempuan itu mampu mengelakkan tubrukannya dengan cepat dan mudah, juga sambil mengelak ke kiri, anak perempuan itu langsung saja mengirim tendangan ke arah lambungnya. Gerakan tendangan itu pun cepat dan kuat sehingga dia terkejut dan cepat meloncat mundur.
Kemudian, dengan penasaran dia sudah menerjang lagi dengan cepat, disambut oleh Mei Lan dengan tangkisan, elakan dan serangan balasan yang secara kontan dan bertubi-tubi dia lancarkan, membuat Kwi Beng untuk kedua kalinya terkejut dan cepat dia merubah gerakan menyerang menjadi gerakan bertahan dan melindungi dirinya karena ternyata olehnya betapa serangan-serangan gadis itu bukannya tidak berbahaya.
"Beng-te, jangan berkelahi...!" Tio Sun meloncat ke depan, maksudnya hendak melerai perkelahian itu, karena dia melihat gerakan-gerakan aneh dan hebat dari gadis itu. Akan tetapi ketika dia meloncat ke depan, dari samping berkelebat bayangan yang langsung menyerangnya.
"Ehh...!" Dia berseru kaget melihat bahwa yang menyerangnya adalah anak laki-laki tadi, dan bukan main kagetnya melihat bahwa pukulan anak laki-laki itu pun hebat bukan main sehingga terpaksa dia menangkisnya.
"Dukkkk!" Tubuh Lie Seng terpental, akan tetapi Tio Sun juga merasa betapa lengannya tergetar.
"Hebat...!" Otomatis dia memuji karena seorang bocah sekecil itu sudah dapat membuat lengannya tergetar, hal ini sangat luar biasa.
Akan tetapi sebelum Tio Sun sempat mencegah, Lie Seng yang menganggap bahwa dua orang itu tentunya orang-orang jahat, sudah menerjang kembali dengan pukulan-pukulan yang hebat, karena baru saja dia melatih pukulan Thian-te Sin-ciang yang biar pun masih mentah dan tenaga sinkang-nya belum kuat, akan tetapi berkat ilmu mukjijat itu, ternyata sudah membuat Tio Sun terheran-heran dan terkejut.
Terjadilah pertandingan yang seru antara Mei Lan dan Kwi Beng yang makin lama makin menjadi penasaran karena dia tidak mampu mendesak dara remaja itu. Dan tentu saja Lie Seng bukanlah lawan Tio Sun, sungguh pun pendekar ini tentu saja merasa enggan untuk menjatuhkan tangan kejam terhadap seorang anak yang usianya belum dewasa itu.
Tio Sun cepat mengelak dan menangkap pergelangan tangan Lie Seng, lalu dipegangnya keras-keras pergelangan tangan itu sambil dia mengerahkan sedikit tenaga Ban-kin-kang yang amat kuat. Dipegang dengan tenaga itu, Lie Seng tidak mampu bergerak lagi, meski pun dia sudah meronta-ronta.
Pada saat itu, tiba-tiba Tio Sun berseru lirih dan pegangannya terlepas sehingga Lie Seng dapat meloncat jauh ke belakang! Tio Sun terkejut karena dia maklum bahwa tadi ada batu kecil menyambar lengannya dan membuat lengan itu lumpuh. Dia cepat menoleh ke arah dua orang kakek yang sedang asyik bermain catur, agaknya tidak mempedulikan pertempuran itu, akan tetapi yakinlah dia bahwa batu kerikil itu datang dari arah dua orang kakek itu.
Pada saat itu, Kwi Beng juga mengeluh dan terhuyung, terpincang-pincang kakinya dan terpaksa dia menjauhi Mei Lan. Ada batu kerikil menyambar mata kakinya, dan biar pun kakinya dilindungi oleh kaos kaki dan sepatu, namun tetap saja terasa nyeri bukan main sehingga dia terpincang dan menjauhi Mei Lan.
Mei Lan dan Lie Seng juga mengerti bahwa diam-diam mereka dibantu oleh guru mereka, maka mereka menjadi girang sekali. Sebaliknya, Kwi Beng makin marah bukan main. Dia memandang ke arah dua orang kakek yang sedang bermain catur, maklum bahwa dua orang kakek itulah yang tadi membantu lawannya dan dia menduga bahwa pasti mereka itu adalah tokoh-tokoh jahat dari tempat itu, kawan-kawan dari mereka yang menculik In Hong.
Oleh karena itu, tanpa ragu-ragu lagi dia mencabut enam hui-to dan melontarkan enam batang pisau terbang itu ke arah dua orang kakek yang bermain catur. Dia mengerahkan seluruh tenaganya karena dia segera maklum bahwa dua orang kakek itu tentu memiliki kepandaian tinggi.
"Jangan...!" Tio Sun berseru, namun terlambat dan karena dia pun menduga bahwa dua orang kakek itu tentulah fihak musuh, maka dia pun akhirnya diam saja, memandang ke arah mereka yang diserang oleh enam batang pisau terbang itu sambil mendekati Kwi Beng.
"Singg-singg-singgg...!" Enam batang pisau terbang itu meluncur dengan cepat, berubah menjadi sinar berkilauan ditimpa cahaya matahari pagi menuju ke arah tubuh dua orang kakek itu.
"Mengganggu saja!" terdengar Bun Hwat Tosu berkata dan kakek ini lalu menggunakan ranting kecil di tangan kirinya untuk menyampok.
"Menjemukan!" Kok Beng Lama juga menyampok dengan ranting kecil.
Tiga batang pisau terbang yang menyambar ke arah Bun Hwat Tosu kena disampok oleh ranting kecil di tangan tosu itu, runtuh ke atas tanah dan patah-patah. Sedangkan ketika Kok Beng Lama menyampok dengan rantingnya, tiga batang pisau terbang lainnya lantas membalik dan kini meluncur dengan kecepatan kilat menuju ke arah dua orang pemuda itu, yang satu menyambar ke arah Tio Sun sedangkan dua batang lainnya ke arah Kwi Beng!
"Celaka...!" Tio Sun berseru kaget sekali melihat sinar-sinar berkelebatan yang demikian cepatnya.
Dia meloncat ke atas, menendang dari samping pisau yang menyambar ke arahnya dan menggunakan tangannya menyampok pisau yang menyambar ke arah Kwi Beng, ada pun pisau ketiga dielakkan oleh Kwi Beng yang juga kaget itu dengan jalan melempar tubuh ke belakang lantas bergulingan! Ternyata, nyaris saja Kwi Beng dimakan oleh senjatanya sendiri!
"Berbahaya... kita pergi, Beng-te...!"
Tio Sun lalu menarik tangan Kwi Beng dan diajak pergi dari situ, melanjutkan perjalanan, karena pendekar tinggi kurus ini maklum bahwa mereka sama sekali bukanlah lawan dua orang kakek yang masih tekun bermain catur itu.
Untung saat mereka menengok, dua orang kakek itu masih terus bermain catur, agaknya tidak mempedulikan mereka dan sama sekali tidak mengejar. Mereka tidak tahu bahwa ada dua bayangan kecil yang membayangi mereka, menyusup-nyusup di antara rumpun alang-alang yang tinggi.
"Bukan main...," kata Tio Sun setelah mereka pergi jauh. "Dua orang kakek itu memiliki kesaktian yang amat luar biasa."
"Heran sekali, siapakah mereka? Kalau musuh, mengapa membiarkan kita pergi? Kalau bukan musuh, kenapa di tempat ini?" tanya pula Kwi Beng.
"Aku pun tidak tahu dan tidak dapat menduga, Beng-te. Yang jelas, kita berada di tempat berbahayadan jangan sembarangan turun tangan. Mudah-mudahan saja dua orang kakek itu bukan orang-orang fihak Lembah Naga, karena jika fihak musuh memiliki orang-orang seperti mereka, agaknya tak mudah bagi kita untuk mengharap dapat menolong nona Yap In Hong yang tertawan di sini."
"Aku tidak takut! Kita harus dapat menyelamatkan dia!" Kwi Beng berkata dengan kukuh.
Tio Sun tersenyum dan menyentuh lengan sahabatnya. "Tentu saja akan kita usahakan sedapat mungkin, saudaraku. Kalau tidak, masa kita berada di tempat berbahaya ini?"
Agaknya Kwi Beng sadar akan ucapannya, maka cepat dia menjura dan memberi hormat kepada pemuda tinggi itu. "Maafkan aku, twako. Aku terlampau memikirkan keselamatan dia, sehingga lupa akan keselamatan orang lain. Keselamatanku sendiri tidak ada artinya bagiku, akan tetapi keselamatanmu, twako. Engkau telah memasuki bahaya besar di sini karena hendak membantuku menolongnya..."
"Ahh, sudahlah. Perlu apa hal itu dibicarakan lagi, Beng-te? Tanpa kau minta sekali pun mendengar bahwa Yap-lihiap tertawan orang jahat, tentu aku akan berusaha sedapatku untuk menolongnya." Dia berhenti sebentar, kemudian menyambung, "Apa lagi sesudah mendengar dari nona Liong Si Kwi bahwa Cia-taihiap tertawan. Sudah menjadi kewajiban kita untuk menolong mereka, betapa pun bahayanya."
Mereka kemudian melanjutkan perjalanan dengan hati-hati sekali, meneliti seluruh tempat dan menuruti petunjuk yang diberikan oleh Si Kwi. Dan memang mereka tidak bertemu dengan seorang pun manusia sampai mereka berhasil melewati perkampungan Padang Bangkai. Akan tetapi mereka tidak tahu bahwa dari jauh, Mei Lan bersama Lie Seng terus mengikutinya dengan mengambil jalan yang mereka lewati tadi sehingga dua orang anak ini pun terbebas dari mala petaka yang terdapat di sepanjang perjalanan itu…..
********************
Sudah terlalu lama kita meninggalkan Cia Giok Keng, puteri ketua Cin-ling-pai yang sejak berpisah dari Yap Kun Liong tidak pernah kita ikuti itu. Dalam pertemuannya yang terakhir dengan Kun Liong, dia baru merasa betapa semua peristiwa yang menimpa keluarga Kun Liong dan keluarganya dimulai dengan sikapnya terhadap Yap In Hong.
Dia merasa menyesal sekali karena seolah-olah dia melihat betapa tangannya sendirilah yang dahulu menyalakan api pertama dan kemudian membakar keluarga Kun Liong serta keluarganya, yang menyebabkan Kun Liong kematian isterinya dan kehilangan puterinya, dan kemudian sebagai rangkaiannya, juga menyebabkan ia kematian suaminya sekaligus kehilangan Lie Seng, puteranya. Karena penyesalan ini, dia dapat membayangkan betapa sengsaranya hati Kun Liong dan dia bertekad untuk mencari pembunuh Pek Hong Ing isteri Kun Liong dan terutama sekali mencari jejak Yap Mei Lan yang lenyap melarikan diri itu. Untuk mencari jejak Yap Mei Lan, akhirnya Giok Keng menuju ke Leng-kok, tempat tinggal Kun Liong dari mana anak perempuan itu mula-mula lenyap.
Pada suatu hari dia berjalan seorang diri di lereng pegunungan sebelah selatan Leng-kok. Berjalan seorang diri di tempat sunyi itu dengan melamun. Padahal, matahari tersenyum dengan cerahnya, menghidupkan semua yang berada di permukaan bumi, bermain-main dengan kelompok bunga dan pucuk daun, menimbulkan bayang-bayang aneh dan luar biasa di bawah-bawah pohon, menciptakan suasana gembira dan pemandangan indah yang abadi dan selalu berubah setiap saat.
Tetapi Giok Keng berjalan sendirian seperti tidak melihat semua itu. Matanya memandang jauh tanpa menangkap apa-apa karena pikirannya melayang-layang jauh di masa lampau.
Dia adalah seorang janda yang usianya sudah tiga puluh enam tahun, seorang wanita yang matang dan belum dapat dibilang terlalu tua untuk menyendiri. Di dalam perjalanan selama ini, kadang kala timbul perasaan rindu yang amat mendalam terhadap suaminya, Lie Kong Tek yang sudah meninggal dunia, dan kadang-kadang pula, secara mendadak, seperti cahaya halilintar menerangi mendung gelap, timbul pula bayangan wajah Yap Kun Liong.
Akan tetapi setiap kali dia teringat kepada Kun Liong, cepat diusirnya lagi bayangan itu. Dia seorang janda, dan dia tahu bagaimana kedudukan serta keadaan seorang janda di jaman itu. Akan rusaklah nama seorang janda kalau dia membiarkan dirinya berdekatan dengan seorang pria. Apa lagi dia adalah puteri ketua Cin-ling-pai! Akan cemar namanya, akan ternoda pula nama keluarga Cin-ling-pai.
Giok Keng mengepal dua tinjunya erat-erat. Tidak, dia harus dapat menahan hatinya, dia harus mematikan perasaan hatinya. Sebagai seorang janda, sudah tertutup baginya untuk berhubungan dengan seorang lelaki, apa lagi untuk memadu kasih! Dia sudah mati, mati kebahagiaannya, mati bersama matinya suaminya. Sekarang yang paling penting baginya adalah menebus kesalahannya, dia harus dapat menemukan Mei Lan kembali!
Tiba-tiba saja terdengar suara tangis wanita. Buyarlah semua lamunan Giok Keng dan dia menghentikan langkahnya, memasang telinga untuk mendengarkan lebih teliti. Ternyata suara tangis itu terdengar dari jauh, di sebelah kiri, maka dia pun segera menggerakkan kedua kakinya menuju ke tempat itu. Setelah mendekat, dia melihat seorang wanita tua dipegangi oleh seorang laki-laki tua yang membujuk dan menghiburnya.
"Tidak, biarkan aku mati saja!" Wanita itu meronta dan agaknya dia hendak melempar dirinya ke dalam jurang di depannya.
"Ahh, mengapa engkau begini? Belum tentu anak kita celaka, mengapa engkau berputus asa? Tidak ingatkah kau kepadaku, kepada suamimu?"
Wanita itu memandang kepada laki-laki tadi, lantas mereka saling rangkul dan menangis sedih sekali. Giok Keng merasa tertarik maka cepat dia menghampiri. Melihat ada orang datang, dua orang itu saling melepaskan rangkulan kemudian dengan masih terisak-isak mereka memandang kepada wanita muda yang cantik jelita dan bersikap gagah penuh wibawa itu. Melihat ada pedang tergantung di punggung wanita cantik itu, si nenek cepat menjatuhkan diri berlutut.
"Lihiap, mohon lihiap menolong kami..."
"Bangunlah, lopek. Apakah yang terjadi? Mengapa isterimu hendak membunuh diri? Apa yang terjadi dengan anakmu?"
Kakek yang usianya lima puluh tahun lebih itu lalu berkata, "Lihiap, kami hanya memiliki seorang anak perempuan saja yang kami harapkan akan dapat menyambung keturunan dan dapat membahagiakan kami di hari tua. Akan tetapi, tiga hari yang lalu anak kami itu lenyap."
"Lenyap? Apa yang terjadi?"
"Anak saya diculik siluman keparat itu, lihiap!" kini nyonya tua itu berkata dengan nada suara penuh kebencian.
"Siluman? Apa maksud kalian?" Giok Keng bertanya heran.
"Begini, lihiap. Di kota kami sudah kurang lebih satu bulan ini terjadi hal-hal yang aneh. Beberapa orang gadis lenyap di waktu malam, juga banyak hartawan kehilangan hartanya. Anehnya, gadis-gadis yang hilang itu semua adalah gadis yang cantik. Dan karena belum pernah ada yang melihat maling itu, maka dia dijuluki siluman. Katanya ada yang melihat bayangan siluman itu, bahkan para hwesio di Kuil Ban-hok-tong juga mengatakan bahwa ada hawa siluman di kota kami."
Giok Keng merasa tertarik sekali. Tentu saja dia dapat menduga bahwa yang dianggap siluman itu adalah seorang maling yang berkepandaian tinggi, dan selain maling agaknya penjahat itu juga merangkap seorang jai-hoa-cat (penjahat pemerkosa wanita). Jantung Giok Keng berdebar keras. Tidak jauh dari Leng-kok terdapat jai-hoa-cat! Jangan-jangan Yap Mei Lan menjadi korban pula!
"Di manakah kota kalian?" Dia bertanya penuh gairah karena dia ingin cepat-cepat dapat menangkap penjahat itu, bukan hanya untuk menolong penduduk kota ini, tetapi terutama sekali untuk menyelidiki kalau-kalau Mei Lan menjadi korban penjahat itu!
"Kota Heng-tung tak jauh dari sini, di sebelah utara itu, lihiap."
"Baik, jangan kalian khawatir dan jangan putus asa, aku akan pergi menangkap siluman itu." Setelah berkata demikian, Giok Keng meloncat dan mempergunakan kepandaiannya berlari cepat sehingga dalam sekejap mata saja dia sudah lenyap dari depan dua orang suami isteri tua itu.
Suami isteri itu terkejut dan mereka menjatuhkan diri berlutut, lalu mengangkat kedua tangan tinggi-tinggi untuk menghaturkan terima kasih kepada para dewa, karena mereka percaya bahwa yang muncul tadi tentulah utusan Kwan Im Pouw-sat, seorang dewi untuk menangkap siluman jahat!
Memang agak mengherankan hati Giok Keng bahwa di kota Leng-kok, atau setidaknya di dekat Leng-kok, ada seorang penjahat berani muncul di kota besar. Padahal nama Yap Kun Liong di Leng-kok sangat terkenal sehingga sampai jauh di sekeliling daerah itu tidak ada penjahat berani melakukan operasi mereka. Akan tetapi janda ini tidak tahu bahwa keadaannya telah berubah banyak.
Semenjak peristiwa perebutan kedudukan kaisar di kota raja, yaitu pada saat Kaisar Ceng Tung ditawan oleh pasukan liar di utara, keamanan di kota raja memang sudah berhasil dipulihkan kembali dengan pulangnya Kaisar Ceng Tung dan dengan diangkatnya kembali dia menjadi kaisar. Para thaikam yang tadinya memegang kekuasaan mutlak, kekuasaan mereka telah banyak berkurang, bahkan amat dibatasi. Suasana tertib dapat dipulihkan.
Akan tetapi ketertiban ini hanya terdapat di lingkungan istana, atau paling banyak hanya terasa di kota raja saja. Di luar kota raja, apa lagi di kota-kota yang jauh dari kota raja, para pembesar kehilangan wibawa mereka karena para penjahat mulai berani beroperasi secara terbuka. Bahkan banyak penjahat yang mempergunakan pengaruh uang, memikat para pejabat sehingga ada semacam ‘kerja sama’ di antara mereka! Tentu saja kalau hal seperti ini sudah terjadi, maka rakyat yang akan menjadi korban dan hal itu berarti bahwa kewibawaan pemerintah telah mulai surut.
Malam itu Giok Keng melakukan penyelidikan. Dengan pakaian ringkas dia menggunakan kepandaiannya, berloncatan di atas genteng-genteng rumah hingga akhirnya dia memilih daerah rumah-rumah gedung tempat tinggal orang-orang kaya lantas mendekam di balik wuwungan, melakukan pengintaian dari tempat yang dipilihnya, merupakan tempat paling tinggi di sekitar tempat itu. Dia mengintai dan menunggu dengan sabar. Menjelang tengah malam, di bawah sinar bintang-bintang di langit, dia melihat ada sosok bayangan hitam berkelebatan di sebelah depan.
"Hemm, tentu itu dia silumannya!" pikir Giok Keng dengan jantung berdebar tegang.
Dia merunduk di balik wuwungan-wuwungan, berloncatan dengan amat hati-hati dan terus membayangi sosok bayangan di depan itu. Oleh karena cuaca yang agak suram, hanya diterangi oleh sinar bintang-bintang, dia tak dapat melihat jelas muka orang, hanya dapat menduga bahwa bayangan itu adalah bayangan seorang laki-laki yang tubuhnya kurus namun gerakannya gesit sekali, yang berloncatan dari satu rumah ke rumah lainnya dan agaknya sedang mencari-cari. Akhirnya, dia melihat maling itu meloncat turun ke dalam taman sebuah rumah besar.
"Bagus! Dia tentu akan merampok harta atau menculik wanita. Biar kutunggu di sini dan kutangkap basah dia!" pikir Giok Keng yang lalu menanti di atas rumah itu dan bersikap waspada.
Tidak lama kemudian, kelihatan kembali bayangan itu berkelebat dari bawah, meloncat ke atas genteng dan kini tangan kirinya memanggul sebuah bungkusan yang berat. Giok Keng merasa kagum juga. Ternyata maling ini adalah seorang yang sudah ahli, buktinya dalam waktu singkat saja dia telah berhasil menyikat harta dari pemilik gedung di bawah.
"Maling rendah! Kiranya engkau orangnya?!" Giok Keng membentak.
Tampak jelas betapa maling itu tersentak kaget dan cepat membalikkan tubuhnya. Giok Keng tercengang melihat bahwa maling itu seorang lelaki yang usianya lima puluh tahun lebih, dan pakaiannya seperti pakaian sasterawan, kepalanya ditutup topi lucu.
"He-heh-heh, sampai kaget setengah mati aku!" Maling itu berseru dan sikapnya demikian aneh dan lucu sehingga Giok Keng merasa geli. Kenapa maling yang disohorkan sebagai siluman ini sikapnya begitu pengecut dan penakut?
"Ahh... aku bukan..."
"Pengecut!" Giok Keng lantas menerjang dengan pukulannya, tangan kirinya menghantam langsung dari depan ke arah dada maling itu.
"Ehhh...?!" Maling itu cepat menghindarkan diri dengan meloncat ke belakang.
Giok Keng mendesak dengan pukulan tangan kanan disambung hantaman dari samping dengan tangan kirinya. Wanita cantik ini sekarang jauh bedanya dengan dulu. Jika dahulu, Giok Keng selalu berhati keras dan setiap musuhnya tentu langsung akan menghadapi serangan-serangan maut dari pendekar wanita itu.
Akan tetapi, semenjak peristiwa hebat yang menimpa keluarganya, dia berubah banyak. Kini dia tidak lagi sembrono dan tidak menggunakan pedangnya, juga tidak menggunakan sabuknya yang lihai atau pukulan-pukulan maut, akan tetapi hanya menyerang dengan pukulan-pukulan San-in Kun-hoat yang sangat lincah untuk menundukkan maling ini dan untuk ditanyainya tentang para gadis itu, terutama tentang Yap Mei Lan.....