Petualang Asmara Jilid 49

Kun Liong mulai merasa menyesal, bukan menyesal karena pendiriannya tentang wanita seperti yang telah diucapkannya itu, melainkan menyesal terdorong oleh rasa iba kepada nasib Pek Hong Ing yang tak semestinya dia tambah lagi dengan ucapan yang membuat dara itu sakit hati.

Teringatlah dia akan sekumpulan batu bulat putih yang selama beberapa hari ini sudah dikumpulkannya secara diam-diam, yang didapatnya di dasar laut yang jernih dan dangkal di sudut pulau saat dia mencari ikan. Batu-batu seperti mutiara besar itu dikumpulkannya dengan maksud untuk kelak setelah cukup banyak akan diuntai menjadi kalung dan akan diberikan kepada Hong Ing! Kini, mengingat betapa dara itu mungkin menangis di dalam pondok, perasaan menyesal membuat Kun Liong segera teringat akan benda yang akan dihadiahkannya kepada gadis itu.

Maka dia lalu cepat-cepat meninggalkan tempat itu, menuju ke sudut pulau dan di bawah penerangan bulan purnama, mulailah dengan tekun dia mengumpulkan batu-batu bulat putih yang berkilauan itu. Dia melupakan hawa dingin, menanggalkan semua pakaiannya yang hanya berupa celana semacam cawat lebar, menyelam ke dalam air dan mencari batu-batu itu sampai semalam suntuk!

Dia sama sekali tidak tahu bahwa dari tempat yang agak jauh, Hong Ing bersembunyi di balik batu karang sambil mengintai. Berulang kali dara ini menghela napas panjang akan tetapi tak berani mendekat mau pun memanggil karena melihat betapa pemuda itu dalam keadaan telanjang bulat!

Akhirnya Hong Ing pergi meninggalkan tempat persembunyiannya. Ia menggeleng-geleng kepalanya dan terdengar berkata seorang diri, sangat lirih, "Orang aneh dia... apa-apaan malam-malam begini mandi seorang diri dan menyelam sampai begitu lama!"

Hubungan antara kedua orang muda itu agak renggang semenjak pertengkaran di malam bulan purnama itu. Hong Ing bersikap menunggu keramahan Kun Liong, agaknya tak mau tunduk dan tidak mau atau enggan untuk ‘berbaik dulu’. Sebaliknya, Kun Liong merasa malu akan sikap dan kata-katanya pada malam hari itu, karena itu dia seolah menghindari percakapan dengan dara itu.

Mereka hanya tampak berdua di waktu Kun Liong menyerahkan ikan atau burung yang ditangkapnya, dengan beberapa ikat daun yang sudah dipilihnya dan yang ternyata dapat dimasak dan dimakan. Atau mereka berkumpul hanya pada waktu Hong Ing telah selesai memanggang daging atau memasak sayur menggunakan panci-panci tanah yang dibuat oleh Kun Liong. Tetapi mereka berdua seolah-olah membatasi percakapan, mungkin juga khawatir kalau-kalau mereka terpancing dan bentrok lagi dalam perbantahan.

Akan tetapi pada malam hari itu, sepekan setelah mereka seolah-olah saling menjaga diri, Kun Liong berjalan menghampiri Hong Ing yang duduk seorang diri di luar pondok sambil memandangi bulan yang sudah tidak bulat lagi, tapi masih mampu menerangi permukaan laut dan pulau itu, membuat pasir kelihatan putih dan di sana-sini ada kerlipan pasir yang seperti menyembunyikan permata-permata kecil.

"Hong Ing..."

Dara itu terkejut. Kun Liong datang menghampirinya tanpa suara tadi, dan agaknya dia tidak menyangka-nyangka pemuda itu akan menghampirinya dan memanggilnya.

"Ehh, ada apa...?"

Kun Liong menghela napas panjang, duduk di depan dara itu dan mengulurkan tangan kanan yang memegang seuntai kalung batu putih yang berkilauan. Batu-batu itu sudah terkumpul dan sudah diasah sehingga rata dan sama, dilubangi dan diuntai dengan serat kulit pohon yang kuat, merupakan seuntai kalung batu putih yang indah sekali.

"Aku membuatkan kalung ini untukmu. Terimalah..."

Wajah itu berseri, sepasang mata itu terbelalak ketika tangannya menerima kalung itu, mulutnya tersenyum lebar dan hati Kun Liong berbunga!

"Aihhh... bagus sekali kalung ini...! Ehh, jadi selama berhari-hari ini kau tampak murung dan diam, kiranya kau sibuk membuat kalung ini, Kun Liong?"

"Ya... begitulah."

"Ahh, kusangka kau marah-marah."

"Kenapa mesti marah?"

"Malam itu aku telah membuatmu marah, mengatakan sombong dan tolol..."

"Dan bahwa aku memualkan perutmu. Mengapa, Hong Ing?"

"Masih adakah perempuan yang kau angan-angankan itu?"

"He... hemmm..."

"Jangan kau sebut-sebut lagi dia, atau perutku akan mual lagi."

"Maaf..."

"Kun Liong..."

"Hemm...?"

"Kau terlalu... terlalu canggung! Kau laki-laki jantan yang lemah! Kau... orang muda yang berpikiran tua! Kau... pria pandai yang tolol!"

"Hemm... maaf..." Kun Liong gagap dan bingung, tak tahu harus berkata apa.

"Dan engkau..." Hong Ing melanjutkan, matanya sayu menatap wajah Kun Liong seperti mengintai dari balik bulu mata yang hampir saling bertemu bagian atas dan bawahnya, suaranya agak tergetar akan tetapi bibirnya tersenyum mesra, "kau... kelak akan melihat bahwa perempuan khayalmu itu, yang tanpa cacad, akan hancur lebur, membuyar seperti awan tipis tersapu angin, bila mana sudah muncul seorang wanita dari darah daging yang hangat lembut, yang akan membuatmu bertekuk lutut, dan yang akan membuatmu suka mencium tapak kakinya..."

"Hemmm, tak mungkin!" Kun Liong menghardik, ditujukan kepada diri sendiri.

"Lihat sajalah kelak...!" Hong Ing tertawa kecil dan bersenandung, senandung yang dulu itu, tentang cinta. Suaranya merdu sekali, lirih dan seolah-olah bukan dari mulutnya suara itu mengalun, melainkan dari tengah lautan, datang menunggang angin yang bertiup silir semilir.

Cinta adalah Kehidupan
tanpa cinta hidup sama dengan mati
Cinta adalah Cahaya
tanpa cinta hidup gelap gulita
Cinta adalah Suci
tanpa cinta hidup bergelimang dosa
Hanya orang bijaksana saja mengenal Cinta
si dungu hanya mengejar nafsu!

Dahulu ketika Hong Ing menyanyikan lagu cinta ini di atas perahu peti mati, dia hanya mengagumi suara Hong Ing tetapi memandang rendah isi nyanyian itu yang dianggapnya sebagai pantun seorang buta yang memuji-muji setangkai bunga. Akan tetapi sekali ini, isi nyanyian itu seperti menyindirnya, terutama sekali baris terakhir ‘si dungu hanya mengejar nafsu!’

Entah kenapa, karena dia tidak mengakui cinta suci, dia merasa seolah-olah dialah yang dimaki ‘si dungu’ dalam nyanyian itu! Merasa seolah-olah tadi Hong Ing bukan bernyanyi, melainkan menuduh dan memakinya, otomatis dia menjawab,

"Memang aku dungu!"

"Heiiihhh... mengapa, Kun Liong?"

Ketika melihat wajah pemuda itu muram dan bersungut-sungut, Hong Ing tertawa geli sambil menutupi mulutnya. "Kau... ngambek (murung) lagi?"

"Tidak!"

Akan tetapi jawaban Kun Liong itu jelas menunjukkan kejengkelan hatinya, jawaban yang disentakkan dan pendek keras seperti batu karang! Hong Ing tertawa terkekeh, dan dia lalu berkata. "Kau sama sekali tidak dungu! Betapa bodohnya merasa diri dungu!"

Mulut Kun Liong semakin cemberut. Seenak perutnya sendiri saja! Dia memaki di dalam hati. Mengatakan tidak dungu akan tetapi memaki bodoh!

"Kun Liong..."

Tadinya Kun Liong tidak ingin menjawab, begitu marahnya hatinya. Akan tetapi panggilan itu drmikian merdu, terasa olehnya seperti mengelus hatinya, maka mau tidak mau dia menjawab,

"Apa?" Jawaban yang masih kaku.

"Maukah engkau menolongku?"

Kun Liong menoleh, memandang dan mereka saling pandang.

"Menolong apa, Hong Ing?" Lenyap sama sekali kemurungan dari wajah Kun Liong yang mengira bahwa dara itu tentu mengalami suatu kesulitan.

"Tolong kau kalungkan ini di leherku."

Sepasang mata Kun Liong terbelalak. Kalau saja tidak begitu girang hatinya dan begitu berdebar jantungnya, ingin dia menolak mentah-mentah untuk memperlihatkan perasaan marahnya. Akan tetapi dia girang sekali maka tanpa menjawab dia menerima kalung itu. Kalung yang begitu panjang, masa perlu dibantu untuk mengalungkannya?

Diterimanya kalung, didekatinya Hong Ing dan dikalungkannya benda itu melalui kepala yang berambut pendek itu, dikalungkan pada lehernya. Karena gerakan ini, kedua lengan Kun Liong seolah-olah hendak merangkul leher Hong Ing.

Dia menunduk, Hong Ing menengadah. Muka mereka saling berdekatan, begitu dekatnya sehingga terasa oleh Kun Liong hembusan napas hangat pada dagunya. Sepasang mata yang indah itu terpejam, bulu mata yang panjang lentik itu menebal karena merangkap, mulut itu sedikit terbuka.

Hampir Kun Liong tidak kuat menahan. Kalau bukan Hong Ing dara itu, tentu dia takkan sanggup bertahan lagi untuk tidak mendekap tubuh itu, mencium bibir itu. Namun dengan sentakan tiba-tiba dia menarik kedua tangannya dan melangkah mundur.

Hong Ing membuka matanya, tersenyum. "Terima kasih, kau baik sekali, Kun Liong,"

"Hemmm, aku seorang yang bodoh dan kasar, Hong Ing."

"Tidak! Akulah yang suka menggodamu, aku gadis tidak tahu budi orang. Kau maafkan aku, ya? Dan kau maafkan pula kesalahan-kesalahanku yang akan datang, mau kan?"

Kun Liong menjadi gemas, akan tetapi melihat wajah itu berseri dan tersenyum nakal, dia terpaksa tersenyum juga. Kiranya Hong Ing hanya pura-pura saja ketika marah, ketika diam, dan lain-lain. Hanya untuk menggodanya!

"Hong Ing, mari kita mencari telur."

"Ihhh, kau tahu aku tidak suka telur."

"Bukan untuk kau. Aku paling doyan telur. Kemarin aku melihat kura-kura besar sekali mendarat. Tentu dia akan bertelur. Senang sekali mencari telur kura-kura, seperti mencari pusaka saja. Kalau kita tepat menggali dan melihat telur di bawah pasir, aku tanggung kau akan menari kegirangan! Marilah!"

Seperti kanak-kanak keduanya berlari-larian di sepanjang pantai. Bahkan Kun Liong yang sudah terobati kemarahannya, memegang tangan Hong Ing. Mereka bergandeng tangan sambil berlari dan terdengar Hong Ing tertawa-tawa. Suasana memang amat romantis dan menggembirakan. Pasir yang lemas dan bersih. Laut yang tenang. Sinar bulan yang sejuk lembut.

Akan tetapi, tak jauh dari pondok itu Kun Liong sudah berhenti. "Di sinilah."

"Ahh, begini dekat? Kukira jauh!"

"Malam kemarin aku melihat ada kura-kura mendarat di sini."

"Akan tetapi beberapa hari yang lalu aku melihat binatang seperti ular merayap, hitam dan panjang. Ihh, aku masih ngeri kalau mengingatnya."

"Ular? Di sini? Benarkah itu?" Kun Liong bertanya, heran sekali. "Kenapa kau tidak bilang padaku?"

Hong Ing tersenyum lebar dan memicingkan sebelah matanya. "Habis, kau lagi ngambek sih! Aku tidak berani bicara padamu!"

Kun Liong tertawa. "Ahh, mungkin hanya belut atau ular laut yang terdampar dan terbawa oleh ombak ke darat. Hayo kita mencari telur kura-kura."

Kembali mereka bergembira, berlarian ke sana-sini, menggali-gali pasir dengan kaki dan tangan, seperti orang berlomba ingin lebih dulu menemukan telur kura-kura. Tidak mudah mencari telur kura-kura hanya dengan mengira-ngira seperti iiu. Biasanya orang mudah mencari telur kura-kura dengan jalan mengintai kalau ada kura-kura mendarat dan akan bertelur. Akan tetapi kalau tidak tahu di mana binatang itu bertelur, tidak ada terdapat tanda-tanda di mana tempat telur-telur itu. Kini pasir sudah rata kembali, diratakan oleh binatang yang mempunyai kebiasaan yang cerdik untuk menyembunyikan telur mereka terdorong naluri untuk menjaga lancarnya perkembang biakan mereka itu.

"Heii... Hong Ing...! Lihat ini...!"

Hong Ing yang sedang mencari di bagian yang agak jauh, datang berlari-lari menghampiri Kun Liong ketika mendengar teriakan pemuda itu.

"Ahh, kau sudah menemukannya...!" teriaknya sambil berlari.

Kalung panjang itu bergoyang-goyang, rambutnya yang pendek bergerak-gerak dan dua tangannya memegangi ujung kain yang menutupi tubuhnya agar tidak terbuka ketika dia berlari itu.

"Ya, lihat ini. Banyak sekali telur dan... dan lihat apa yang kudapatkan di bawah telur-telur ini...!"

"Ehhh...?" Sepasang mata yang indah itu terbelalak lebar. "Ada sebuah peti? Mengapa...? Bagaimana...?"

"Entahlah, Hong Ing. Mari bantu aku mengumpulkan telur-telur ini. Aku akan mengangkat petinya. Yang jelas, tempat ini dahulu pernah didatangi orang sebelum kita, buktinya peti ini terpendam di sini."

Hong Ing mengumpulkan telur-telur itu sambil memandang peti yang tidak berapa besar, yang sudah diangkat oleh Kun Liong dari dalam lubang itu.

"Apa isinya?"

"Kita bawa ke pondok dan kita buka di sana," kata Kun Liong.

Setelah mengangkat peti itu ke depan pondok, Kun Liong menunggu sampai Hong Ing menyimpan telur-telur itu ke dalam pondok dan keluar lagi. Kemudian mereka berdua membuka peti yang dipaku kuat-kuat itu. Namun dengan pengerahan tenaganya, mudah saja bagi Kun Liong untuk membuka penutup peti yang terbuat dari kayu yang tua dan kuat. Tutup peti terbuka, hati mereka tegang, dan mata mereka menjadi silau oleh cahaya berkeredepan ketika isi peti itu sudah tampak.

"Aihh..., harta pusaka yang amat banyak...!" Hong Ing berseru kaget, heran dan gembira. "Emas, perak, permata..., ahhh, kau menjadi orang kaya raya, Kun Liong!"

Akan tetapi Kun Liong tidak segembira Hong Ing. "Hemmm, untuk apa semua ini? Aku tidak butuh, dan yang menemukan adalah kita berdua. Biarlah semua ini untukmu, Hong Ing. Ambillah."

Hong Ing sudah memeriksa benda-benda itu, matanya bersinar-sinar, wajahnya berseri. Tentu saja dia senang sekali melihat benda-benda yang amat indah itu, yang merupakan perhiasan-perhiasan yang biasanya dipakai oleh puteri kerajaan! Dia tidak memperhatikan ucapan Kun Liong tadi, berkali-kali dia menggelengkan kepala dan mengeluarkan pujian sambil meneliti benda-benda itu berganti-ganti.

"Sayang...!"

Ucapan Kun Liong ini mengejutkan dan menyadarkan Hong Ing. Dia mengangkat muka dan memandang wajah pemuda gundul itu.

"Apa? Mengapa kau mengatakan sayang sesudah menemukan harta pusaka yang tak ternilai harganya ini?"

"Di sini, benda-benda ini tidak ada harganya sama sekali, Hong Ing. Aku akan jauh lebih bergembira kalau saja isi peti ini berupa alat-alat seperti gergaji, linggis, catut, golok dan lain-lain. Aku lebih membutuhkannya. Akan tetapi perhiasan..."

Dia lalu mengeluarkan benda itu satu demi satu dan ternyata pada bagian bawah masih terdapat tumpukan uang emas yang terukir aneh dan belum pernah mereka melihatnya. Kun Liong terus mengeluarkan semua benda itu dan tiba-tiba dia tertarik sekali kemudian mengambil sebuah benda yang terletak paling bawah, di dasar peti dan tadi tertutup oleh segala benda yang berkilauan itu. Sebuah kitab! Kitab yang sampulnya hitam dan sudah tua sekali.

Melihat betapa wajah Kun Liong berseri dan matanya bercahaya ketika melihat kitab tua yang butut itu, Hong Ing tertawa. "Waahhh, dasar kutu buku menemukan sebuah kitab kuno! Hemmm, sudah kubayangkan betapa engkau nanti tentu tak akan pernah berhenti membaca."

Akan tetapi Kun Liong tidak mempedulikan kata-kata Hong Ing. Dengan jantung berdebar tegang dia telah membalik sampul kitab dan membaca judul kitab itu yang tertulis tangan dengan huruf yang sangat kuat coretannya. Seolah-olah bukan tinta lagi yang membuat coretan itu dapat dibaca karena warna tinta hitam ini mulai meluntur, akan tetapi jelas tampak guratan-guratan yang kuat dan dengan kagum Kun Liong dapat melihat betapa tapak mauwpit (pensil bulu) meninggalkan guratan pada kertas seperti ukiran, sehingga andai kata tinta itu lenyap sama sekali pun, huruf-hurufnya masih dapat dibaca dengan jelas!

Judul itu hanya terdiri dari empat huruf saja yang berbunyi KENG LUN TAI PUN. Baru membaca judul ini saja, Kun Liong sudah harus memutar otaknya, alisnya berkerut dan dia berusaha untuk memecahkan artinya.

Huruf-huruf ini memiliki arti yang kalau dipecahkan banyak sekali maknanya, akan tetapi dia mengambil kesimpulan bahwa yang dimaksudkan dengan Keng Lun adalah mengurai dan mengumpulkan yang dapat pula diartikan dengan menyelidiki atau menyusun setelah mengerti benar. Ada pun Tai Pun adalah pokok dasar atau aslinya!

Mulailah dia membuka-buka dan membalik-balik lembaran kitab itu dan betapa kaget dan girangnya ketika mendapatkan keterangan di sebelah delamnya bahwa kitab itu adalah kitab ilmu peninggalan dari Raja Bun Ong yang sakti dan bijaksana! Tepat seperti yang dikatakan oleh Hong Ing, segera Kun Liong lupa akan segala sesuatu dan ‘tenggelam’ di dalam kitab kuno itu!

Karena Hong Ing maklum akan kesukaan Kun Liong membaca kitab, yang diketahui dari percakapan-percakapan dengan pemuda itu, maka dara ini tidak mau mengganggunya. Setelah menaruh kembali benda-benda berharga itu di dalam peti dan menyimpan peti itu dalam kamarnya, tanpa berkata apa-apa Hong Ing lalu merebus sepuluh butir telur untuk Kun Liong. Setelah telur-telur itu masak, disuguhkannya kepada Kun Liong tanpa berkata apa-apa karena dia tidak mau mengganggu.

Akan tetapi Kun Liong menurunkan kitab itu dan memandang, tersenyum, lalu berkata, "Aihh... sudah kau rebus matang? Engkau juga harus makan telur, Hong Ing, baik untuk kesehatan."

Hong Ing tersenyum. "Tidak, Kun Liong. Aku tidak lapar, dan aku masih ingin menikmati dan mengagumi benda-benda pusaka tadi. Kau teruskanlah membaca kitab. Kitab apa sih itu?"

"Kitab kuno yang sukar sekali dimengerti isinya. Akan tetapi semakin sukar dimengerti, semakin menarik pula. Kitab kuno mempunyai sifat seperti wanita..." Kun Liong tertegun dan berhenti bicara, merasa telah kelepasan kata-kata.

"Hemmm, pendapatmu selalu aneh-aneh. Jadi kau anggap wanita itu sama dengan kitab kuno, makin sukar dimengerti makin menarik? Apakah aku sukar dimengerti, Kun Liong?"

Kun Liong tertawa. "Maaf, aku tidak bermaksud menyindir dirimu, Hong Ing. Wah, sedap baunya telur ini. Benarkah kau tidak mau mencicipi?" Kun Liong mengupas kulit telur yang masih panas itu.

Hong Ing menggerakkan kedua pundaknya. "Ihhh, aku selalu merasa tidak enak kalau menghadapi telur, apa lagi harus dimakan. Dan telur ini... mengapa agak lonjong dan ada bintik-bintiknya? Bukankah telur kura-kura bulat bentuknya? Jangan-jangan telur ular..."

"Ha-ha-ha, telur apa pun sama saja, sama enaknya. Asal jangan telur manusia!"

"Ihh! Jorok kau...!" Hong Ing mendengus lalu lari ke pondok, mengeluarkan perhiasan dari dalam peti dan mengaguminya di bawah sinar bulan.

Kun Liong tertawa-tawa, melanjutkan makan telur yang terasa enak sekali dan tahu-tahu sepuluh butir telur telah habis, pindah semua ke dalam perutnya!

Tengah malam baru saja lewat. Sinar bulan tinggal remang-remang karena tertutup awan. Akan tetapi Kun Liong masih belum memasuki pondok. Sudah sejak tadi Hong Ing rebah di atas dipan, tidak lagi mengagumi benda-benda berharga. Dia merasa heran mengapa Kun Liong belum juga memasuki pondok. Tak mungkin lagi untuk membaca kitab di luar karena sinar bulan terlalu suram. Dia lalu turun dari pembaringannya dan membuka pintu kamar, keluar pondok.

"Ahhh, benar-benar kutu buku." pikirnya ketika melihat Kun Liong rebah terlentang di atas pasir. Dia cepat menghampiri dan betapa herannya melihat Kun Liong tidak lagi membaca kitab, melainkan rebah terlentang, tertidur dengan kitab itu terletak di atas dadanya yang telanjang.

"Hemm, tertidur di sini, angin begini keras bertiup. Bisa masuk angin engkau! Kun Liong, bangunlah!"

Akan tetapi Kun Liong yang biasanya amat peka itu kini sama sekali tidak bergerak.

"Kun Liong...!"

Tetap saja pemuda itu tidak menjawab, bahkan bergerak pun tidak.

"Kun Liong..., bangunlah!" Hong Ing menyentuh lengan pemuda itu, dan dia terkejut bukan main. Lengan pemuda itu panas sekali! Celaka, pikirnya, tentu dia sakit, masuk angin dan terserang demam.

"Kun Liong...!" Dia memanggil dengan suara nyaring, akan tetapi pemuda itu sama sekali tidak sadar, biar pun tubuhnya telah diguncang-guncang.

"Wah, dia pingsan...!" Hong Ing menjadi gelisah sekali.

Diamblinya kitab itu, diselipkan pada dadanya di balik kain, kemudian dia mengerahkan tenaga dan memondong tubuh Kun Liong yang sama sekali tak bergerak, tubuhnya panas dan mukanya merah seperti orang mabuk kebanyakan minum arak!

Semalam itu Kun Liong tidak sadar. Tidak tahu betapa Hong Ing menjaga dan duduk di sebelahnya dengan muka pucat dan penuh kekhawatiran. Hampir saja gadis ini menangis saking bingung hatinya. Diguncang-guncangnya tubuh Kun Liong, berkali-kali dipanggilnya namanya, dibasahinya muka pemuda itu dengan air, namun semalam suntuk Kun Liong tidak sadar, tenggelam ke dalam kepulasan yang amat dalam.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, barulah Kun Liong siuman. Dia membuka mata dan tiba-tiba mengeluh, "Aduhhh... gatalnya.. bukan main...!"

Bermacam perasaan mengaduk hati Hong Ing. Lega karena melihat pemuda itu siuman, mendongkol karena dia sampai harus menderita kekhawatiran semalam suntuk, dan juga geli mendengar keluh yang aneh itu!

Kun Liong lalu menggaruk-garuk kepalanya dengan sepuluh kuku jari tangannya sampai terdengar suara "kroook-krookk!" seolah-olah kuku jari tangannya itu akan mengupas kulit kepalanya! Akan tetapi mendadak dia meloncat turun dari pembaringan dan memandang kepada Hong Ing dengan mata terbelalak.

"Aihhh...! Kau... kenapa berada di kamarku? Ehhh, dan aku kenapa di sini, tidak di luar pondok?" Dia masih menggaruk-garuk kepalanya yang gatal-gatal akan tetapi matanya memandang Hong Ing penuh selidik.

Dara itu cemberut. "Hemm, kau tidak merasakan susah payahnya orang lain! Aku melihat kau pingsan di luar situ, maka terpaksa kupondong kau ke dalam kamarmu dan semalam suntuk aku tidak dapat tidur, gara-gara engkau yang seperti orang mati! Seluruh tubuhmu panas-panas dan kau sama sekali tidak dapat dibangunkan. Apa sih yang terjadi?"

Kun Liong melongo. "Ehh, mana kitabku?"

"Kitab...?" Tiba-tiba Hong Ing teringat dan dengan muka merah dia mengeluarkan kitab yang saking gelisahnya, semalam suntuk kitab itu masih terus menyelip di balik kainnya, menempel pada dadanya!

Kun Liong menerima kitab itu, merasakan betapa kitab itu hangat, maka mukanya pun menjadi merah, akan tetapi dia segera berkata, "Sungguh aneh. Aku sendiri tidak ingat. Ketika aku membaca kitab sambil makan telur, tiba-tiba aku merasa kepalaku pening dan mataku mengantuk. Tak tertahankan lagi kantuknya maka aku rebah di pasir dan... tidak tahu apa-apa lagi sampai sekarang ini, tahu-tahu sudah berada di sini. Jadi semalam aku pingsan...?"

"Hemm, tentu ada sesuatu dalam kitab itu!" Hong Ing berkata.

Kun Liong membalik-balik lembaran kitab dan menggelengkan kepala. "Kurasa tidak ada apa-apanya yang aneh, meski pun kitab ini adalah sebuah kitab yang mukjijat! Kitab yang mengandung pelajaran mengenai hidup, tentang perbintangan, dan latihan gerakan kaki tangan untuk membuat tubuh sehat dan panjang umur. Juga ada latihan pernapasan akan tetapi tidak mungkin membacanya karena membuat aku pusing dan mengantuk."

"Wah, jangan-jangan telur-telur itu...!"

Kun Liong teringat dan mengangguk-angguk. "Hemmm, mungkin saja, siapa tahu, tetapi... tubuhku terasa enak, hanya kepalaku ini, wah... gatalnya!" Dia menggaruk-garuk lagi.

"Biar kubuang saja telur-telur itu! Mungkin itu telur ular yang kulihat kemarin dulu."

"Eh, jangan! Jangan dibuang, Hong Ing. Buktinya aku tidak apa-apa. Telur itu enak sekali, menyehatkan badan."

"Kau benar-benar tidak apa-apa? Tidak panas lagi tubuhmu?"

"Tidak, aku merasa sehat segar."

"Hemm... syukurlah, aku lelah dan mengantuk, mau tidur..." Hong Ing lalu meninggalkan kamar itu.

"Hong Ing...!" Kun Liong melangkah maju dan memegang lengannya.

"Ada apa?" Dara itu mengerutkan alisnya dan memandang lengannya yang dipegang

Kun Liong melepaskan pegangannya. "Harap jangan marah, aku berterima kasih sekali kepadamu, Hong Ing. Maafkan aku, aku tidak tahu bahwa engkau telah bersusah payah menjagaku. Kau baik sekali dan..."

"Sudahlah, aku senang bahwa kau tidak apa-apa. Aku mau tidur, kau boleh membaca kitabmu sepuas hatimu."

Kun Liong yang ditinggal pergi menjatuhkan diri duduk di atas dipannya. Alisnya berkerut dan dia membolak-balik kitab di tangannya. Benar-benar ada persamaannya antara kitab ini dengan wanita! Mengapa Hong Ing kelihatan tidak senang sesudah melihat dia sehat dan tidak apa-apa, padahal gadis itu semalam suntuk mengkhawatirkan keadaannya?

Tentu saja dia tidak tahu! Memang wanita itu mempunyai sifat yang aneh. Wanita itu ingin sekali merasakan bahwa dia dibutuhkan, bahwa dia diperlukan dan ingin dia lihat bahwa tanpa dia, pria akan kehilangan dan tidak berdaya!

Tanpa disadarinya sendiri, perasaan demikian itu ada pula di dalam lubuk hati Hong Ing. Melihat Kun Liong pingsan dan tak berdaya, dia merasa amat khawatir, akan tetapi dalam melakukan pertolongan itu, dia merasa betapa pemuda itu amat membutuhkan dia. Kini, biar pun hatinya lega bahwa Kun Liong tidak sakit, namun ada juga perasaan kecewa karena kini dia tidak dibutuhkan lagi! Memang aneh, namun demikian kenyataannya.

Dua bulan lewat dengan cepatnya. Semua telur yang ditemukan itu telah habis dimakan Kun Liong, dan dia makin tekun membaca kitab kuno peninggalan Kaisar Bun Ong. Dapat dibayangkan betapa girang hatinya ketika dia mulai melatih diri dengan ilmu pernapasan dan gerakan kaki tangan yang terdapat di dalam kitab, dia merasa tubuhnya makin segar dan kuat, penglihatannya terang dan semangatnya tinggi, membuat wajahnya selanjutnya selalu berseri dan matanya bersinar-sinar, memandang dunia ini sebagai tempat yang amat indah.

Beberapa kali dia membujuk Hong Ing untuk mempelajari isi kitab, akan tetapi dara itu tidak mau, apa lagi setelah mendengar penuturan Kun Liong tentang isi kitab yang hanya mengajarkan urusan kebatinan dan latihan pernapasan. Bahkan gerakan kaki tangan itu sama sekali bukan gerakan ilmu silat, hanya ditujukan untuk menyehatkan tubuh seperti yang dimaksudkan oleh kitab itu.

Bun Ong adalah seorang Kaisar yang maha besar dan amat bijaksana. Kebijaksanaannya amat terkenal semenjak sejarah berkembang, bahkan kebijaksanaan Kaisar Bun Ong ini dipuji-puji dan dijadikan contoh oleh Nabi Khong Hu Cu!

Kaisar Bun Ong adalah Kaisar pertama dari Kerajaan Cou (tahun 1050 sebelum Masehi), lima ratusan tahun sebelum Nabi Khong Hu Cu, seorang Kaisar yang terkenal sebagai seorang manusia setengah dewa, bahkan terkenal pula sebagal Thian-cu (Utusan Tuhan) yang bijaksana dan amat pandai! Juga puteranya, Kaisar Bu Ong, amat terkenal sebagai pengganti dan penerus kebijaksanaan ayahnya. Maka, sungguh merupakan kebahagiaan besar bagi Kun Liong yang secara kebetulan bisa menemukan sebuah kitab peninggalan Kaisar itu!

Kitab itu berisi petunjuk-petunjuk tentang hidup, tentang kebatinan, tentang perbintangan. Semakin terbuka mata hati Kun Liong ketika membaca kitab kuno ini, semakin mendalam pengertiannya tentang kekuasaan yang disebut Tao. Hanya namanya saja yang berbeda, akan tetapi pada hakekatnya, Tao dapat juga disebut Tuhan, Kebenaran, Cinta Kasih, dan sebagainya.

Cinta Kasih tak dapat juga diraba, tak dapat dikejar. tak dapat dimiliki atau digenggam, tak dapat dilatih atau dipelihara. Cinta Kasih tidak mempunyai sasaran seperti benci, duka, marah, iri dan lain-lain. Cinta Kasih yang sudah mempunyai sasaran bukanlah cinta kasih lagi namanya.

Sasaran (object) timbul karena adanya ‘aku’, dan ‘aku’ tidak mungkin mencinta, karena kalau ada ‘aku’ yang mencinta, cinta itu hanya menjadi alat untuk mencapai sesuatu demi keuntungan lahir mau pun batin dari si ‘aku’ ini. Cinta Kasih, Tao, Tuhan, Kebenaran dan sebagainya sudah ada, akan tetapi menjadi tidak ada atau tidak dapat dimengerti karena terselubung oleh asap nafsu keinginan yang dibuat oleh si ‘aku’, asap yang membuat mata kita menjadi buta.

Tentu saja tidak mungkin dalam keadaan seperti buta itu hendak mencari dan mengerti Tao, mengerti Cinta Kasih, mengerti Tuhan. Segala macam asap itu yang dapat berupa kebencian, kemarahan, kekerasan, kekejaman, iri hati, kedukaan, keinginan, semua ini harus lenyap dulu, barulah mata akan menjadi terang untuk dapat melihat Cinta Kasih. Barulah Cahaya itu akan cemerlang dan tampak.

Segala macam bentuk nafsu tidak dapat dilenyapkan dengan paksaan, dengan kemauan, karena hal itu akan sama halnya dengan api dalam sekam, memang tidak bernyala lagi, tapi masih ada dan membara, dan sewaktu-waktu akan bernyala lagi kalau mendapatkan angin dan bahan bakarnya!

Untuk terbebas dari itu semua, kita harus menghadapinya langsung, memperhatikannya, mengenalnya dari awal sampai akhir, mengenal sampai ke akar-akarnya segala nafsu itu, berarti kita harus MENGENAL DIRI SENDIRI berikut segala macam nafsu yang bukan lain adalah si ‘aku’ atau si pikiran.

Setiap hari Kun Liong tenggelam ke dalam isi kitab ini, dan sungguh pun itu terlalu dalam, bahkan kadang-kadang membuat dia termangu-mangu, merasa mengerti akan tetapi juga masih merasa bingung dan ruwet, namun dia sadar bahwa isi kitab itu penting bukan main dan bahwa kitab itu merupakan peninggalan yang amat berharga, malah ribuan kali lebih berharga dari pada sepeti emas permata yang disimpan oleh Hong Ing itu. Maka mulailah timbul kekhawatirannya kalau-kalau kitab itu akan terampas oleh orang lain dan mulailah dia mencarikan tempat penyimpanan yang tersembunyi dan rahasia di atas pulau itu.

Pada suatu pagi, Kun Liong bangun sambil menggaruk-garuk kepalanya. Entah mengapa, selama dua bulan ini, semenjak dia menemukan kitab dan harta pusaka, kepalanya selalu terasa gatal kalau dia bangun tidur di waktu pagi. Sudah beberapa kali dia memeriksanya, akan tetapi tidak ada perubahan sesuatu pada kepalanya, masih tetap licin dan halus, tidak ada tanda luka atau bintik yang menimbulkan gatal-gatal. Dia menggaruk kepalanya dan perutnya berkeruyuk.

Hemm, sepagi itu, seperti biasa setelah dia mandi, tentu dia akan menghadapi sarapan yang sudah dibuat oleh Hong Ing. Teringat akan ini, dia tersenyum. Sudah terbayang dia akan melihat dara yang makin lama semakin cantik jelita itu, makin panjang rambutnya, dengan pakaian yang sederhana, menampakkan bentuk serta lekuk lengkung tubuhnya yang makin matang sehingga sering kali membuat Kun Liong terpesona dan memaksanya menelan ludah. Tapi anehnya, tidak seperti ketika menghadapi gadis-gadis lain, terhadap Hong Ing dia tak pernah berani menggodanya, bahkan selalu berjaga-jaga agar bersikap sopan!

Dia meloncat turun, lari melalui pintu belakang ke sumber air yang berada di tengah pulau di dalam hutan kecil, menanggalkan pakaiannya dan sebelum terjun ke air, lebih dulu dia berjongkok di tepi kolam air yang jernih untuk memandangi bayangan mukanya sendiri. Kemarin sore dia melihat dari jauh, secara sembunyi, betapa Hong Ing juga berjongkok seperti itu, bercermin di permukaan air sambil mengatur-atur rambutnya.

Seraut wajah yang kurus menyambutnya di air. Yang mula-mula menarik ialah sepasang mata bayangan itu. Mata yang seperti mata setan, celanya di dalam hatinya. Mata yang hitamnya terlalu hitam dan putihnya terlalu putih, seperti mata seorang penyelidik. Tentu mendatangkan rasa tidak senang, terutama sekali Hong Ing, kalau dipandang oleh mata semacam ini! Muka yang dagunya agak meruncing dan terlalu halus untuk seorang pria! Lebih-lebih kepala itu. Menjijikkan! Tak pernah dicukur akan tetapi kelimis. Lalat pun akan terpeleset hinggap di atasnya! Tentu menjijikkan, apa lagi dalam hati seorang dara seperti Hong Ing.

Akan tetapi sikap Hong Ing kadang-kadang manis sekali kepadanya, malah terlalu manis! Mungkinkah wajah yang begini dapat menarik hati seorang dara sejelita Hong Ing? Tidak mungkin! Tentu hanya karena kasihan. Phuhh, dia tidak membutuhkan rasa iba dari siapa pun juga. Meski pun dari Hong Ing sekali pun, dia tidak mau seperti seorang pengemis yang mengulurkan tangan mohon kasihan!

"Hah! Sialan...!" Dia membenamkan kepalanya ke dalam air, dalam-dalam dan lama-lama, sampai dia gelagapan dan mengangkat lagi kepalanya dari dalam air untuk bernapas.

Air kembali diam setelah tadi berombak keras ketika dimasuki kepalanya dan kembali dia memandang ke bawah. Muka itu kini basah kuyup, air menetes-netes dari hidung, dan muka itu agak kemerahan, mata itu menjadi agak merah, dan mulut itu mengejek. Huh, makin buruk!

"Biarlah si buruk rupa tinggal dalam keburukannya!" Dia berkata keras-keras dan kembali dia membenamkan kepalanya, kini bahkan sambil meloncat ke depan.

Air muncrat dan Kun Liong pun mandi, menggosok-gosok keras seluruh tubuhnya dengan penuh semangat, seolah-olah dia hendak melampiaskan kegemasannya kepada daki-daki yang dia bersihkan dari kulit tubuhnya.

Seperti biasa, ketika dia sudah mengeringkan tubuh dan pakaiannya yang tadi dicuci dan kembali ke pondok, Hong Ing sudah siap dengan sarapan pagi yang terdiri dari masakan sayur dan ubi-ubian yang didapatkan di hutan, juga panggang daging ikan sisa kemarin malam, dan air matang dengan ‘teh’ yang terbuat dari daun-daun yang harum.

"Duduklah dan mari kita sarapan. Mengapa begitu lama engkau di sumber air? Sampai lelah aku menanti!" Hong Ing berkata.

Kun Liong duduk bersila menghadapi meja rendah di mana telah terhidang sarapan pagi itu. "Aku mencuci pakaianku dulu," cuping hidungnya bergerak-gerak. "Hemm, sedap! Kau masak daun apa ini?"

"Daun merah sudah keluar daun mudanya. Makanlah."

Mereka makan dan Kun Liong tidak tahu betapa sepasang mata dara itu memandangnya dengan sayu, agaknya terharu menyaksikan dia makan dengan lahapnya. Selesai makan dan minum air teh istimewa itu, Kun Liong menghela napas lega.

"Nikmat dan lezat...," katanya.

Biasanya pujiannya yang jujur ini akan menggirangkan hati Hong Ing. Akan tetapi sekali ini Hong Ing mengerutkan alisnya dan berkata, suaranya lirih dan penuh duka, "Ahh, aku ingin menangis kalau melihat kau makan, Kun Liong."

"Ehh, kenapa? Begitu menyedihkankah caraku makan?"

"Minuman ini hanya dari air dan daun, bukan teh asli...," suara itu mengeluh.

"Harum dan sedap melebihi teh yang paling baik!"

"Dan daging ikan yang itu-itu juga, dipanggang, hanya digarami air laut...," suara itu makin merintih.

"Enak dan gurih sekali, melebihi masakan termahal di restoran!"

"Dan nasinya... tak pernah ada nasi, hanya ubi dan kentang hutan, dan sayurnya... aihh... Kun Liong... hanya daun-daun yang biasanya kerbau pun tak akan sudi memakannya...," suara itu bercampur sedu-sedan.

Kun Liong tertawa membesarkan hatinya. "Hemmm, enak sekali! Mengenyangkan perut dan menyehatkan badan!"

"Aihh, Kun Liong, kenapa kau tak pernah sungguh-sungguh? Tak perlu kau menghiburku dengan kepura-puraan ini. Kau tentu menderita sekali..."

"Siapa bilang? Aku senang sekali! Makanku enak, minum pun sedap! Hemm, apakah kau merasa sedih karena makan minum seadanya ini, Hong Ing?"

"Tidak, bagi seorang wanita, makan minum tidaklah begitu penting. Yang lebih penting adalah menghidangkan makan-minum untuk pria, dan melihat kau makan minum seperti ini... ahhh, hati siapa tidak akan sedih?"

"Sungguh, Hong Ing. Tidak perlu kau berduka. Aku tidak membohong, bukannya hiburan kosong. Aku sudah senang, aku merasa bahagia sekali!"

"Apa? Di tempat seperti ini? Apakah selamanya kita akan berada di tempat ini, terasing dari dunia ramai? Dan kau bilang kau bahagia?"

"Demi Tuhan! Aku berbahagia sekali! Aku tidak mau menukar kehidupan di sini seperti ini dengan kehidupan seorang kaisar di istana yang mewah!"

Hong Ing menunduk. Kun Liong memandang dan karena muka itu tidak dapat tertampak olehnya, dia lalu menurunkan pandangan matanya, menatap dada yang jelas membayang lekuk lengkungnya di balik kain itu, dada yang kini turun naik dengan keras seakan-akan gelombang lautan yang sedang mengamuk. Tiba-tiba muka itu diangkat dan Kun Liong merasa bagaikan dibanting dari tempat tinggi, cepat-cepat dia membanting pula pandang matanya ke samping!

"Kun Liong, kau tadi mengatakan bahwa kau berbahagia. Benarkah?"

"Mengapa tidak? Aku tidak berbohong. Aku berbahagia sekali! Dunia begini indah, lautan begitu cantik, pulau kita ini begini menyenangkan, dan cahaya matahari pagi itu... lihat... begitu cemerlang dan hangat...."

"Itukah yang membuatmu bahagia?"

"Ya..."

"Tidak ada lain lagi?"

"Lain lagi? Masih banyak! Aku dan kau sehat-sehat saja, makan minum cukup, aku ada kitab dan kau ada perhiasan-perhiasan itu... dan kita tidak dikejar-kejar orang..."

"Hanya itu?"

"Ya..." Kun Liong meragu. "Apa lagi?"

Kembali Hong Ing menunduk, menghela napas panjang lalu berkata tanpa mengangkat muka, "Dahulu... kalau diingat sudah lama sekali, akan tetapi sebenarnya baru beberapa puluh hari yang lalu... kau pernah mengatakan bahwa kau tidak tahu apa artinya bahagia itu... akan tetapi sekarang kau berbahagia. Apakah... apakah..." Hong Ing meragu.

"Apa yang hendak kau katakan?"

"Apakah engkau sudah bertemu dengan wanita idamanmu yang dahulu itu maka engkau merasa berbahagia?"

Wajah itu menengadah dan mata yang indah itu menatapnya setengah terpejam. Aneh sekali! Mata itu seperti mau menangis, akan tetapi bibir itu mengandung senyum!

"Aaahhh! Mengapa kau menanyakan itu, Hong Ing? Aku... aku... tidak memikirkan tentang wanita, dan tentu saja aku belum bertemu dengan wanita idamanku itu."

Mata itu tiba-tiba terbelalak, dan muka yang manis itu mendadak menjadi merah padam. "Apa... apa maksudmu?"

"Mana mungkin aku dapat bertemu dengan wanita idamanku itu?"

"Kau... kau maksudkan... wanita itu masih ada di dalam alam khayalmu, dan… masih kau harapkan kelak akan bertemu?"

"Aihh, sudahlah, Hong Ing. Kenapa kita bicara tentang hal yang bukan-bukan itu? Adalah lebih baik kita bicara tentang kita."

"Hemmm, apa yang hendak kau bicarakan tentang aku?"

"Misalnya, bahwa agaknya kau tidak betah tinggal di sini."

"Tentu saja! Tempat ini amat sunyi, aku merasa seperti berada di dalam kuburan! Bukan di dunia ramai." Tiba-tiba suara Hong Ing berubah seolah-olah menyesali kata-katanya itu. "Betapa pun juga, ada engkau di sini!"

"Engkau tentu kehilangan segala kebutuhan wanita. Sisir pun tidak ada."

"Sisir bambu buatanmu cukup baik."

"Dan sabun wangi, minyak wangi... ahhh, pakaianmu..."

"Di sini banyak kembang harum... sudahlah, Kun Liong. Kau pun tidak pernah mengeluh, tidak pernah membutuhkan apa-apa."

"Aku sih tidak membutuhkan sisir, kepalaku gundul buruk begini..."

Hong Ing tertawa. "Memang kepalamu gundul dan lucu!"

"Dan buruk..."

"Dan buruk...!" Hong Ing seperti sedang diajar bicara.

"Dan aku pernah memualkan perutmu."

"Kadang-kadang..."

"Sekarang...?"

"Sekarang kau paling memualkan perutku!"

"Ehhh...! Maaf, Hong Ing..."

"Kau terlalu canggung, terlalu sopan, terlalu terpelajar, terlalu berfilsafat, terlalu melamun, terlalu... terlalu... engkau terlalu sekali!"

Hong Ing bangkit dan dengan gerakan cepat penuh kejengkelan hati lalu meninggalkan Kun Liong, berlari pergi ke tengah pulau dan bayangannya lenyap di dalam hutan.

Untuk sejenak Kun Liong melongo, kemudian dia menampar kepalanya yang gundul dan mulutnya menyumpah. "Disambar geledek kalau aku mengerti ini...!"

Dia menggeleng-gelengkan kepalanya, lalu berjalan perlahan menuju ke rimba di tengah pulau. Dia menyelinap di antara semak-semak, mendekati sumber air di mana dia melihat Hong Ing menangis seorang diri di dekat sumber air, di dekat kolam! Hong Ing menangis! Dan didengarnya suara Hong Ing, lirih dan penuh kedukaan, bicara pada dirinya sendiri!

"Nah, puaskanlah hatimu, menangislah sepuas hatimu...!" Hong Ing menjenguk ke dalam air. "Aduhhh... kasihan kau... biar pun kau menangis sampai kedua matamu merah dan bengkak-bengkak, biar pun kau menangis sampai mengeluarkan air mata darah sekali pun, apa gunanya? Lihat hidungmu yang kecil mancung menjadi merah! Apa perlunya kau menyiksa diri? Biar kau sampai menjadi kurus kering, atau andai kata engkau bersolek sampai secantik-cantiknya, apa gunanya? Apa perlunya kau menggosok kedua pipimu pagi tadi sampai pipimu kemerahan... begitu segar dan mengalahkan kecantiken bidadari, semua itu apa artinya? Tak ada seorang pun akan melihatnya, apa lagi mengagumi! Si sombong, si pongah itu, hanya akan mengucapkan selamat pagi dengan suara datar, memuji rambutmu secara basa-basi, kemudian makan dengan lahap tanpa satu kali pun mengerling kepadamu, kemudian tenggelam dalam kitab-kitabnya untuk bertemu dengan wanita idamannya! Kau...? Hah, mungkin hanya menimbulkan sedikit rasa iba... huh-hu-hu...!" Hong Ing menangis lagi!

Kun Liong terbelalak dan kesima, tak mampu bergerak, menahan napas dan dia merasa demikian kaget, bingung, dan heran sehingga dia tidak mengerti apa sebabnya Hong Ing bicara seperti itu dan menangis demikian sedihnya! Karena khawatir kalau dia dilihat dara itu, diam-diam dia lalu pergi dari hutan itu, bukan kembali ke pondok melainkan pergi ke bagian pantai yang berlawanan arah, tempat yang jarang didatanginya, pantai yang penuh dengan batu karang tidak berpasir seperti pantai di mana dia membuat pondok mereka.

Dia menghempaskan diri di atas tanah, bersandar batu karang dan memandang jauh ke depan, jauh sekali menyeberangi laut yang tak bertepi itu. Apa yang telah terjadi dengan dirinya menghadapi Hong Ing? Mengapa dia merasa begitu aneh bila berhadapan dengan dara itu? Terjadi perbantahan sendiri di antara hati dan pikirannya, membuat dia duduk terlongong, lupa waktu lupa keadaan.

"Kau cinta padanya, tolol!"

"Hemmm, apa sih cinta itu? Aku suka padanya karena dia cantik, seperti aku suka kepada gadis lain."

"Bukan! Sekali ini lain sama sekali! Kau tidak pernah menggodanya, kau tidak berani mendekatinya. Dia mendatangkan rasa hormat dan iba di hatimu, dia bagaikan sebuah benda pusaka yang tidak ternilai harganya bagimu sehingga kau tidak berani memegang dia terlalu lama khawatir rusak! Sedangkan gadis-gadis lain itu bagimu hanya merupakan benda-benda indah dan kau jadikan permainan. Gadis-gadis lain itu bagimu hanya seperti bunga-bunga yang indah harum, kau cium dan kau petik kemudian dilupakan begitu saja. Akan tetapi dia lain lagi! Bagimu dia merupakan setangkai kembang yang suci, yang kau kagumi dengan memandang dan memujanya akan tetapi merasa sayang kalau tersentuh kotor. Kau cinta padanya!"

"Hemmm... aku hanya akan mencinta wanita idamanku."

"Wanita idamanmu itu hanya khayalan, hanya asap, tepat seperti dikatakannya dahulu! Wanita macam itu tidak ada!"

"Hemmm..." Kun Liong meremas pasir karang sampai menjadi bubuk halus.

Dia duduk termenung di tempat itu, tidak pernah berpindah, sampai matahari sudah naik tinggi kemudian condong ke barat. Baru dia teringat betapa dia telah setengah hari duduk di tempat itu dan bahwa Hong Ing tentu akan gelisah menantinya pulang.

Hati dan pikirannya telah berdamai dan telah bermufakat untuk melakukan sesuatu kalau dia bertemu dengan Hong Ing nanti! Dia mencinta Hong Ing! Inilah keputusan yang telah diambil oleh hati dan pikirannya, dan dia akan mengaku terus terang kepada dara itu.....!

Traktiran: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan) ataupun bisa melalui via Trakteer yang ada dibawah

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar