Petualang Asmara Jilid 48

Kun Liong baru sadar dari pingsannya. Sejenak dia nanar dan matanya silau oleh cahaya matahari yang langsung menimpa kepala serta mukanya. Akan tetapi ketika dia bangkit duduk dan melihat kain putih di tangannya, dia pun teringat dan mengeluh, lalu mendekap kain itu dan menciuminya.

"Hong Ing.... ahhh, Hong Ing...!" demikian keluh hatinya.

Dia hampir merasa yakin bahwa dara itu tentu telah tewas, menjadi korban badai yang mengamuk ganas semalam. Akan tetapi karena yang ditemukannya hanya kain penutup kepala gadis itu, hatinya masih penasaran. Sehari penuh tiada hentinya dia berkeliaran di sepanjang pantai mengelilingi pulau kecil itu untuk mencari kalau-kalau jenazah dara itu terdampar di pantai. Akan tetapi hasilnya sia-sia belaka.

Akhirnya, dengan tubuh lemas dan sakit-sakit, dengan hati kosong dan tertekan hebat, Kun Liong terpaksa harus melihat kenyataan bahwa dara yang dicari-carinya itu memang tidak ada. Tentu sudah ditelan lautan yang mengganas semalam, atau ditelan ikan besar.

Dia berdiri tegak memandang ke arah lautan, giginya berkerot, kedua tangan dikepal dan matanya menyinarkan penasaran dan kebencian ke arah lautan. Kalau lautan merupakan makhluk, tentu akan diserangnya pada saat itu!

Kemudian dia sadar bahwa tidak baik menenggelamkan dirinya ke dalam kedukaan yang tidak ada gunanya. Jelaslah kenyataannya bahwa Pek Hong Ing telah lenyap! Sedangkan dia masih hidup!

Teringat akan dirinya sendiri, masih terasalah nyeri pada seluruh tubuhnya dan ketika dia melihat keadaannya, baru dia sadar bahwa pakaiannya sudah koyak-koyak tidak karuan, juga sepasang sepatu yang dipakainya. Dan terasa pula betapa perutnya sangat lapar.

Maka dia lalu meninggalkan pantai yang kosong sunyi itu, sekosong dan sesunyi hatinya, dan dia pun menuju ke tengah pulau untuk melakukan penyelidikan dan mencari pengisi perutnya yang juga kosong dan terasa sangat lapar itu. Sedapat mungkin dia mengusir bayangan Hong Ing yang selalu mengganggu pikirannya, dan kadang-kadang dia harus menyusut air mata yang meloncat keluar setiap kali dia teringat kepada dara itu.

Sesudah diselidikinya, jelas ternyata bahwa pulau itu merupakan sebuah pulau kecil yang kosong. Pada tengah pulau terdapat sebuah bukit kecil yang penuh dengan pepohonan. Akan tetapi, kecuali belasan ekor jenis burung laut yang beterbangan di atas pulau, tidak ada seekor pun binatang di pulau itu.

Dan tumbuh-tumbuhan yang berada di bukit itu pun terdiri dari jenis tetumbuhan yang tak dapat dimakan. Di antaranya terdapat pohon-pohon besar yang sudah amat tua, dengan batang yang besar-besar. Hutan kecil itu liar dan gelap sekali, dan di situ terdapat banyak batu-batu karang yang merupakan goa-goa besar. Tetapi dia tak ingin menyelidiki tempat yang buruk dan sukar didatangi karena banyaknya semak-semak belukar itu.

Terpaksa, untuk mengisi perutnya yang kelaparan, Kun Liong menangkap seekor burung besar dengan jalan menyambitnya dengan pecahan batu karang. Dipanggangnya daging burung itu dan biar pun rasanya tidak terlalu sedap, lumayan untuk mengatasi kelaparan.

Akan tetapi, makan daging burung panggang ini mengingatkan dia kepada Pek Hong Ing ketika mereka berdua makan ikan panggang di dalam perahu peti mati! Teringat akan ini, teringat pula akan kemungkinan besar kematian dara itu secara menyedihkan, leher Kun Liong seperti dicekik rasanya. Daging yang dimakannya berhenti di kerongkongan dan dia tidak dapat melanjutkan makannya.

Sambil minum air tawar yang didapatnya di dekat rimba di tengah pulau, dia membuang sisa daging burung panggang itu ke laut, kemudian menghela napas dan dengan tubuh lemas dia mencari tempat teduh di belakang sebuah batu karang besar, menjatuhkan diri di atas pasir dan tak lama kemudian dia sudah jatuh pulas.

Matahari sudah naik tinggi dan beberapa jam kemudian cahaya matahari telah melewati batu karang itu dan menimpa tubuh Kun Liong. Namun pemuda yang sudah mengalami kelelahan lahir batin yang amat hebat itu seperti sudah mati, tak merasakan lagi sengatan sinar matahari, tidur dengan nyenyaknya, sedikit pun tidak pernah bergerak.

Akan tetapi sesungguhnya hanya tubuhnya saja yang tidur dan tidak bergerak, karena pemuda yang dihimpit oleh penderitaan batin ini, yang menahan kedukaan hebat dengan kekuatan batinnya, sesudah tertidur diterbangkan ke alam mimpi oleh perasaan bawah sadarnya yang kini setelah dia tidur memperoleh kesempatan untuk timbul.

Mimpi hanya datang dan mengganggu seseorang yang pada waktu siangnya diamuk oleh pikirannya sendiri, pikiran yang mendatangkan pertentangan di dalam batin. Orang yang pikirannya terbebas dari segala macam ingatan masa lalu, yang tidak terpengaruh oleh suatu peristiwa, tidak menyimpan suatu pengalaman di dalam pikirannya, tentu akan tidur nyenyak tanpa mimpi!

Di alam mimpinya, Kun Liong melihat ada beberapa orang dara cantik melayang-layang mendekatinya dan seperti dewi-dewi kahyangan, mereka lalu menari-nari di sekelilingnya, tersenyum simpul sambil mengerling tajam kepadanya, seolah-olah mereka itu berlomba untuk memikat hatinya. Dan dia mengenal semua dara itu karena mereka itu bukan lain adalah wanita-wanita yang selama ini telah dijumpainya dalam hidupnya.

Yo Bi Kiok dengan sepasang matanya yang amat indah seperti mata bintang kejora itu, Souw Li Hwa dengan lehernya yang panjang putih dan dagunya yang meruncing amat manisnya, Cia Giok Keng dengan hidungnya yang amat indah bentuknya, Lim Hwi Sian dengan mulutnya yang menggairahkan, Yuanita de Gama dengan matanya yang biru dan rambutnya yang seperti benang sutera emas, Nina Selado yang cantik genit dan panas, Lauw Kim In yang cantik pendiam dan dingin namun memikat hati, Kim Seng Siocia yang gendut dan lucu, dan akhirnya tampak juga Pek Hong Ing yang baginya tidak mempunyai keistimewaan tertentu karena segala sesuatu yang ada pada Hong Ing semuanya amat menarik hatinya!

Semua wanita ini menari-nari dan Hong Ing berada di belakang sendiri, kadang-kadang nampak kadang-kadang tidak. Akan tetapi dia hanya memandang mereka itu sepintas lalu saja, akhirnya dia mencari-cari dengan matanya ke arah Hong Ing. Dia ingin sekali agar dara yang berkepala gundul itu mendekat, akan tetapi apa daya, dia sendiri tidak dapat menggerakkan kaki tangannya.

Tiba-tiba datang angin besar bertiup dan dara-dara jelita yang menari-nari itu terhembus angin lalu melayang-layang pergi sambil melambaikan tangan kepadanya, dan tersenyum manis. Akan tetapi hanya Hong Ing seorang yang melawan hembusan angin. Gadis itu tidak seperti dara lain yang terbang melayang menunggang angin, Hong Ing meronta dan melawan. menjulurkan kedua lengan ke arahnya, seperti meminta bantuan dan terdengar jeritnya,

"Kun Liong...! Kun Liong...!"

Kun Liong tersadar tanpa membuka matanya. Hemm, dia tertidur enak sekali, dan semua itu ternyata hanya mimpi. Hanya mimpi kosong. Tanpa membuka mata dia menarik napas panjang, menikmati tubuh yang mengaso. Tidak perlu memikirkan mimpi, demikian suara berbisik di kepalanya yang berbantal gundukan pasir.

"Mengapa tidak perlu?" bantah suara di dalam dadanya, "Mimpi ada artinya, apa lagi yang muncul adalah wanita-wanita yang selama ini mendatangkan kesan mendalam di hatinya. Pasti mimpi tadi ada artinya!"

"Ahhh, celoteh nenek bawel!" suara di kepalanya membantah. "Mimpi hanya kembangnya orang tidur! Tidak ada artinya, kalau pun ada, maka artinya itu direka-reka dan dicari-cari, dibuat dan dipaksakan."

"Sombong! Si dungu berlagak pintar!" Hatinya memaki. "Pasti ada artinya. Bukankah para wanita itu pergi dengan senyum dan sebaliknya Hong Ing meronta dan minta pertolongan kepadanya? Itu tandanya cinta?"

"Cinta hidungmu!" bantah pula suara di kepala. "Tidak ada cinta yang murni, semua cinta palsu! Betapa banyaknya orang menderita karena cinta. Hanya orang tolol saja yang membiarkan dirinya terjerat cinta! Hanya orang totol yang akhirnya akan menderita karena cinta. Dia suka kepada wanita, kepada semua wanita yang cantik dalam mimpi tadi, dia suka kepada mereka seperti suka akan bunga yang indah dan harum, seperti suka akan makanan yang lezat, suka akan pemandangan alam yang permai. Akan tetapi cinta...? Huhhhh!”

"Sombong! Kalau tidak cinta, kenapa kau menderita setengah mampus akibat kehilangan Hong Ing? Itu tandanya cinta, tahukah kau, sombong?" Hatinya menjerit marah.

"Hemmm, apa sih artinya cinta? Aku memang kasihan kepadanya, aku berduka teringat akan nasibnya yang buruk. Apa salahnya itu?" Suara di kepalanya melemah, akan tetapi masih membantah dan meragu.

"Kun Liong...!"

Terkejutlah dia. Sekarang suara itu begitu jelas, di antara suara angin ribut. Angin ribut? Mimpikah dia tadi? Kun Liong membuka matanya namun cepat menutupkannya kembali karena ada debu pasir menyerangnya. Maklumlah dia bahwa sekali ini dia tidak mimpi. Memang benar ada angin ribut mengamuk!

Dia cepat meloncat bangun, dengan kedua tangannya meraba batu karang lalu berjalan setengah merangkak memutari batu karang, berlindung di balik batu-batu sehingga tidak terserang debu pasir lagi. Dia membuka mata. Gelap!

Kun Liong termangu-mangu. Sudah malamkah? Dia mengingat-ingat. Tadi saat matahari telah naik tinggi dia makan daging burung panggang, kemudian dia mulai merebahkan diri berlindung di balik batu karang setelah matahari mulai condong ke barat. Dan sekarang sudah gelap! Demikian lamakah dia tertidur? Sampai setengah hari lebih!

Dan semua itu tadi hanyalah mimpi. Termasuk suara orang memanggil namanya. Seperti suara Hong Ing! Hemm, tak mungkin suara Hong Ing yang sesungguhnya, kecuali hanya di dalam mimpi. Hong Ing sudah tewas. Hal ini sudah jelas, karena dia sudah mencari di sekeliling pulau.

"Kun Liong...!"

Kun Liong terperanjat dan meloncat ke atas. Itu suara Hong Ing! Mungkinkah?

Bulu tengkuknya pun meremang. Suara Hong Ing? Tentu suara arwahnya! Aduh, kasihan Hong Ing...! Kun Liong memandang ke kanan kiri, jantungnya berdegup aneh, tengkuknya terasa tebal. Dia sudah siap untuk melihat roh dara itu memperlihatkan diri, seperti asap, seperti yang pernah didengarnya di dalam cerita dongeng. Apakah yang menjumpainya di dalam mimpi tadi juga roh para gadis itu? Dan memang Li Hwa sudah mati, juga Hong Ing, akan tetapi yang lain-lain bukankah masih hidup?

"Kun Liong...! Ahh... Kun Liong...!" Suara itu merupakan jerit melengking, disusul rintihan dan isak tangis, lapat-lapat terdengar lalu lenyap lagi. Datang terbawa angin! Dari tengah pulau!

"Hong Ing...!" Kun Liong meloncat.

Tidak peduli lagi akan kegelapan, dia berlari terus ke depan, ke arah suara tadi, ke arah tengah pulau, tidak peduli dia tersaruk-saruk, jatuh bangun beberapa kali. Tak peduli lagi apakah yang menjerit itu setan ataukah iblis. Yang jelas, itu adalah suara Hong Ing! Dan Hong Ing menangis! Dia harus menolong Hong Ing, baik Hong Ing yang masih hidup atau Hong Ing yang sudah menjadi roh. Jelas bahwa Hong Ing memanggilnya, membutuhkan pertolongannya.

"Hong Ing...!" Dia berteriak-teriak memanggil ketika sudah berada di atas bukit, di dalam hutan yang kecil namun lebat itu, menghadapi goa-goa di batu karang yang membukit.

"Kun Liong...!"

Biar pun hatinya girang bukan main mengenal suara dara itu, namun meremang juga bulu tengkuk Kun Liong. Suara setankah yang menirukan suara Hong Ing? Atau roh gadis itu yang menjadi penasaran lantas berkeliaran di pulau dan menemukan tempat tinggal di dalam goa itu?

"Hong Ing...!" Dia memanggil lagi sambil melangkah mendekati goa.

"Kun Liong...!"

Kun Liong meloncat masuk. Dia tidak peduli suara setan atau iblis, suara roh atau arwah, yang jelas itu adalah suara Hong Ing memanggilnya. Dia masuk dan kakinya tersandung batu. Dia terjatuh dan tangannya menyentuh benda lunak dan hangat, dan tiba-tiba dua buah lengan merangkulnya, mendekap kepalanya dan di antara suara terengah-engah dan isak tangis, jelas terdengar suara Hong Ing,

"Kun Liong... ahhh, Kun Liong...!"

"Hong Ing...!" Mereka saling berdekapan, lupa akan segala, yang ada hanya keharuan, kegembiraan.

"Hong Ing... kau... kau masih hidup...! Ya Tuhan, syukurlah...!"

"Kun Liong... ahhh, alangkah lamanya aku menantimu di sini. Sampai serak suaraku terus memanggil-manggilmu... kukira engkau sudah mati... aku tidak mempunyai harapan lagi... kakiku terkilir, tak dapat berjalan, tubuhku nyeri semua, perutku lapar bukan main...!"

"Ya Tuhan...!" Kun Liong kembali berseru dan air matanya turun bercucuran.

Untung di dalam gelap, kalau tidak tentu dia akan merasa malu kepada Hong Ing. Dan teringat betapa dia memeluki tubuh itu, bahkan kalau tidak salah ingat dia tadi menciumi muka itu, mengecupi air mata yang asin itu, dia merasa malu dan cepat dia melepaskan rangkulannya.

"Hong Ing, kau suka... makan... daging burung laut?"

Biar pun keadaan gelap di situ, namun terasa oleh Kun Liong betapa Hong Ing terbelalak heran, dan dia girang sekali.

"Daging burung laut?" Gadis itu bertanya, suaranya ragu-ragu seakan-akan dia merasa sangsi apakah pemuda itu waras pikirannya.

"Ya, daging burung laut dipanggang! Aku sudah makan daging itu siang tadi. Kalau kau suka, aku akan menangkap seekor untukmu."

Hong Ing menghela napas panjang, sangat jelas terdengar oleh Kun Liong, mengingatkan dia bahwa di luar goa angin ribut sedang mengamuk. Mengingatkan dia betapa canggung dan lucu penawarannya tadi. Malam gelap begitu, angin ribut pula, bagaimana mungkin dia bisa menangkap seekor burung untuk Hong Ing? Mengapa orang yang berada dalam kegirangan besar, seperti juga dalam kedukaan besar, bicaranya lalu menjadi kacau tidak karuan?

"Besok sajalah, Kun Liong. Aku belum mati kelaparan, hanya kakiku... aughhh...!"

"Kakimu kenapa...?" Otomatis Kun Liong mengulurkan tangan meraba, akan tetapi cepat ditariknya kembali karena di dalam gelap itu dia tidak dapat melihat dan tanpa disengaja, tangannya yang diulurkan tadi meraba daging yang gempal, meraba... paha dara itu yang tidak tertutup pakaian!

"Maaf... ahhh, Hong Ing. Bagaimana kau dapat sampai di sini? Dan bagaimana kakimu? Bagaimana keadaanmu...? Aihhh, terkutuk tempat begini gelap sehingga aku tidak dapat melihatmu!"

Tubuh dara itu menggigil. "Mengapa tidak kau buat api unggun? Dingin benar malam ini..."

Kun Liong ingin menampar kepalanya sendiri yang gundul. "Bodohnya aku!" makinya dan dia cepat merangkak keluar, mencari kayu dan daun kering.

Untung angin ribut tidak membawa hujan sehingga daun dan ranting kering yang banyak terdapat di depan goa tidak menjadi basah. Dengan pengerahan tenaga, mudah saja dia membuat api dengan batu karang, dan tidak lama kemudian, di dalam goa itu menyala seonggok api unggun yang terang dan indah.

Sekarang mereka dapat saling melihat. Mereka duduk berhadapan dan saling pandang. Sepasang mata dara itu bercucuran air mata, dan Kun Liong berusaha sekuat tenaganya untuk mencegah air matanya turun dari pelupuk mata yang panas, bahkan dia berusaha untuk tersenyum, lalu berkata,

"Kita masih hidup..."

"Ahh, Kun Liong... pakaianmu koyak-koyak..." Suara Hong Ing lirih seperti orang merintih.

Kun Liong melihat kepada pakaiannya dan tersenyum, lalu memandang pakaian dara itu, menuding dan berkata. "Pakaianmu sendiri pun tidak utuh, Hong Ing." Walau pun pakaian dara itu tidak sehebat pakaiannya mengalami kerusakan, akan tetapi tak dapat dikatakan utuh pula, banyak bagian yang terobek lebar sampai paha dan pundaknya kelihatan.

"Dan tubuhmu... ahhh…, babak belur dan lecet-lecet... Lihat dahimu itu, berdarah... dan lengan kirimu, ahhh... paha kananmu juga mengeluarkan darah sampai celanamu merah semua... Kun Liong...!" Suara dara itu semakin gemetar dan pandang matanya penuh iba ditimpakan ke seluruh tubuh Kun Liong.

Kun Liong merasa betapa bulu tengkuknya berdiri, akan tetapi bukan meremang karena ngeri seperti tadi, melainkan karena terharu menyaksikan sikap Hong Ing dan mendengar suara dara itu.

"Hong Ing... kau sendiri pun babak bundas... ujung bibir kirimu pecah-pecah... pundakmu dan lenganmu... dan... dan bagaimanakah dengan kakimu?"

"Uhhh... kaki kiriku... agaknya terkilir di belakang mata kaki, tidak dapat dipakai berjalan, digerakkan sedikit pun sakit."

"Coba kuperiksa... maaf..." Kun Liong memegang kaki itu dan Hong Ing menggigit bibirnya menahan rasa nyeri. Memang terkilir. Agak hebat. Membengkak di bagian mata kaki itu, dan biru kehitaman oleh darah yang terkumpul di dalamnya.

"Hong Ing, maukah engkau menahan sakit sedikit? Tulang kaki ini keseleo dan tergeser sehingga letaknya harus segera dibetulkan kembali. Kalau tidak, akan lama sembuhnya dan mungkin menjadi cacat."

Hong Ing mengangguk dan memandang kepada Kun Liong yang sekarang menggunakan kedua tangannya memegang kaki itu. Tangan kanan memegang bagian atas dan tangan kiri memegang bagian bawah.

"Siaplah, Hong Ing, sakit akan tetapi hanya sebentar." Tiba-tiba dia membuat gerakan menarik dan…

"Krekk..."

Terdengar suara dan teriakan Hong Ing yang merasa nyeri bukan main. Perasaan nyeri yang rasanya menusuk sampai ke ulu hati, membuat seluruh tubuh dara ini menggigil dan keringat dingin membasahi dahinya. Matanya terbelalak dan di atas pipinya yang pucat nampak air mata.

"Sekarang letaknya sudah baik. Harus dibalut erat-erat."

Kun Liong lalu merobek bajunya yang memang sudah koyak-koyak, lalu membalut mata kaki itu dengan ketat. Ketika dia selesai dan mengangkat muka, dia melihat betapa dara itu tadi menderita nyeri yang hebat, napasnya masih naik turun, bibirnya berdarah sedikit karena pecah digigitnya sendiri.

"Kasihan kau... Hong Ing..." Kun Liong mendekat dan menggunakan tangannya menyapu keringat dari dahi yang halus itu.

"Terima kasih, Kun Liong... kau memang baik sekali."

"Hemmm, dalam keadaan seperti ini kau tidak perlu memuji, Hong Ing. Yang ingin sekali kudengar adalah ceritamu, bagaimana engkau bisa sampai di tempat ini. Kukira tadinya kau..."

"Mati? Memang aku lebih baik mati dari pada hidup, bahkan sebelum bertemu dengan engkau aku mengharapkan kematian saja, Kun Liong."

"Mengapa?"

"Mengapa? Hemm... kau tidak tahu betapa ngeri rasa hatiku, betapa tidak berdaya sama sekali, seolah-olah menanti datangnya maut tanpa daya sedikit pun juga. Pada waktu kita diamuk badai dan agaknya perahu kita dihempaskan pada batu karang, aku tidak tahu apa-apa lagi..."

Hong Ing mulai bercerita, dan Kun Liong tentu saja maklum akan keadaan ini karena dia sendiri pun tidak ingat apa-apa lagi setelah itu, tahu-tahu dia berada di atas pasir pantai.

"Ketika aku siuman, aku sudah berada di pantai, untung bahwa kepalaku berada di luar jangkauan air sehingga aku tidak mati tenggelam. Aku memanggil-manggilmu, keadaan gelap sekali malam itu, akan tetapi suaraku lenyap ditelan angin dan kau tidak menjawab. Aku menyeret kaki kiriku yang nyeri sekali ke darat, dan karena aku takut akan diserang binatang buas, aku terus merangkak sekuat tenaga sambil terus memanggil-manggilmu. Akhirnya aku berhasil masuk ke goa ini dan kembali aku tidak ingat apa-apa lagi. Setelah siuman untuk kedua kalinya, matahari sudah naik tinggi. Kakiku tidak dapat digerakkan, seluruh tubuh sakit, perut lapar sekali dan... dan... pada saat itu aku ingin mati saja, Kun Liong. Aku mengira bahwa engkau tentu telah mati! Aku sendiri tidak mampu bergerak. Tentu aku akan mati kelaparan. Betapa ngerinya. Maka aku lalu menangis sampai habis air mataku. Aku menjerit-jerit memanggil namamu, tapi percuma saja. Malam tiba dan aku masih tetap menjerit dan menangis dan akhirnya... akhirnya... kau datang juga..."

Sepasang mata itu terbuka lebar, kembali dua titik air mata turun, gigi yang rapi dan putih itu menggigit bagian dalam dari bibir bawah, sedangkan cuping hidungnya bergerak-gerak membayangkan keharuan hati.

"Aduh…, kasihan sekali kau, Hong Ing. Tahukah engkau betapa aku juga sudah merasa putus harapan, mengira engkau tentu telah tewas ketika aku menemukan kain penutup kepalamu? Dan tahukah engkau betapa suara panggilanmu tadi terbawa di dalam mimpi sehingga aku mengira bahwa rohmu yang memanggilku?" Kun Liong lalu menceritakan pengalamannya dan tentu saja dia tidak menyebut-nyebut tentang mimpinya dan tentang perbantahan antara pikiran dan hatinya.

Berkat rawatan Kun Liong yang penuh ketelitian, belasan hari kemudian sembuhlah kaki kiri Hong Ing yang terkilir. Dia sudah dapat berjalan walau pun masih agak terpincang-pincang. Mereka berdua kini berusaha untuk menyesuaikan diri di pulau kosong itu.

"Jika memang pulau ini tidak memenuhi syarat untuk dijadikan tempat tinggal selama kita bersembunyi, kita akan mencari pulau lain," demikian kata Kun Liong.

"Bagaimana cara mencarinya? Perahu peti mati itu sudah lenyap, lagi pula aku merasa ngeri kalau harus masuk ke dalam perahu peti mati itu lagi."

Kun Liong tersenyum. "Aku dapat membuat perahu dari batang pohon besar di rimba itu. Akan tetapi jika ada bahan makanan lain di pulau ini, kita tidak perlu mencari pulau lain. Pulau ini cukup indah dan hawanya pun nyaman."

"Dan kita hidup di sini seperti orang-orang hutan? Seperti orang liar tak beradab?"

Kun Liong tersenyum memandang. Mereka saling berpandangan dan akhirnya keduanya tertawa geli.

"Engkau memang pantas sekali menjadi seorang puteri hutan. Pakaianmu tak karuan dan ringkas akan tetapi... pantas dan manis sekali. Kakimu tidak bersepatu, dan rambutmu... hemmm.... rambutmu mulai tumbuh dengan suburnya, Hong Ing."

"Dan kau... kau memang seperti seorang manusia di jaman batu! Hanya memakai celana yang pantasnya disebut cawat, badan tanpa baju, kulit terbakar sinar matahari. Wah, kau kelihatan kuat dan sehat, Kun Liong. Dan kepalamu... hi-hik-hik, kepalamu bersih sekali sampai mengkilap!"

Kun Liong tersenyum lebar. "Baru saja aku mandi dan kugosok dengan bunga karang. Segar sejuk rasanya." Dia mengelus-elus kepala gundulnya.

Mereka duduk berteduh di dekat batu karang besar, berlindung dari sinar matahari yang sudah mulai naik tinggi. Hong Ing memanggang daging ikan yang baru saja ditangkap oleh Kun Liong. Selama belasan hari ini, mereka hanya makan daging ikan atau burung laut, dan mereka mulai rindu akan makanan sayuran.

Mereka hanya makan akibat lapar saja. Makan untuk perut, bukan untuk mulut. Di tempat seperti itu, terasing dari dunia ramai, mereka tidak mungkin dapat memilih makanan yang enak. Sehabis makan dan minum air tawar, mereka duduk dan memandang ke laut. Dari pulau itu tidak kelihatan pulau lain, apa lagi daratan besar.

"Enak juga di sini, kita dapat makan setiap hari dan tidak perlu khawatir akan pengejaran Pangeran Han Wi Ong."

Hong Ing menarik napas panjang. "Sayang tidak ada pondok. Setiap malam aku merasa ngeri tidur di goa itu, takut kalau-kalau ada kalajengking atau kelabang, lebih-lebih ular... hiiih...!"

"Aku akan membuatkan pondok untukmu, Di mana baiknya?"

Wajah manis itu berseri. "Benarkah, Kun Liong? Aku sudah terlalu banyak menyusahkan engkau."

"Tidak sama sekali. Memang kita berdua membutuhkan pondok..."

"Dengan dua kamar..."

"Cukup satu saja, untukmu. Aku bisa tidur di mana saja..."

"Ahh, kalau begitu aku tidak mau! Masa yang membuatnya tidur di mana saja? Kalau kau tidak membuat pondok dengan dua kamar, aku juga tidak mau tidur di situ."

Kun Liong tersenyum dan merasa geli hatinya. "Lucunya kita ini. Pondok belum jadi, pembangunannya dimulai pun belum, tapi kita sudah cekcok tentang jumlah kamarnya!"

Hong Ing teringat akan ini dan dia pun tertawa. Ketawanya bebas dan diam-diam Kun Liong kagum dan terheran-heran. Mengapa gadis yang pakaiannya tidak karuan, hanya sedikit kain menutupi dari atas buah dada sampai ke paha, tanpa sepatu, dengan rambut mulai tumbuh masih awut-awutan, mengapa gadis seperti ini kelihatan begini menarik?

Padahal, apa bila dalam keadaan seperti itu Hong Ing berada di dalam kota yang ramai, tentulah dia akan diikuti dan digoda oleh banyak anak kecil, dianggap seorang gila! Akan tetapi baginya, pada saat itu tak ada bidadari di kahyangan yang lebih cantik, lebih manis, lebih menarik dan lebih menggairahkan dari pada Pek Hong Ing!

Mulailah Kun Liong membuat alat-alat untuk membangun pondok. Alat-alatnya sederhana sekali dan tidak salah kalau Hong Ing membandingkan dia dengan seorang manusia dari jaman batu karena Kun Liong terpaksa membuat alat-alat dari batu karang! Kapak, pisau, semua dari batu karang yang tajam!

Biar pun dengan sukar, namun akhirnya jadi juga sebuah pondok berdiri di belakang batu karang besar di tepi laut itu. Sebuah pondok yang modelnya menurut kehendak Hong Ing. Agak tinggi dari tanah, sebuah pondok panggung karena Hong Ing takut kalau-kalau ada ular memasuki pondok dan kamarnya.

Di depannya dipasangi anak tangga, atapnya dari daun, dindingnya dari bambu. Pintunya dua, di depan dan belakang, kamar Hong Ing di depan, ada jendelanya yang menghadap ke laut! Kamar Kun Liong di belakang.

Selain pondok itu, Kun Liong juga membuat perabot rumahnya. Sebuah dipan kayu untuk Hong Ing, berikut sebuah bangku kayu, kemudian sebuah dipan bambu untuknya sendiri. Sebuah meja dengan dua bangkunya di depan kamar. Tong-tong tempat menampung air tawar.

Pada malam pertama mereka pindah ke pondok, kebetulan malam terang bulan. Hampir dua bulan Kun Liong membangun pondok itu, dibantu oleh Hong Ing yang menganyam dinding dan atap. Sesudah makan malam, mereka berdua duduk di luar pondok, di atas pasir yang bersih dan putih tertimpa sinar bulan purnama.

Hong Ing menarik napas panjang, menggunakan sebuah sisir bambu buatan Kun Liong menyisiri rambutnya yang panjangnya sudah ada sejari.

"Hemm, betapa senangnya. Kita sudah punya rumah! Baru aku merasa sebagai manusia, bukan seperti binatang yang bersarang di dalam goa kotor!"

Kun Liong menoleh dan memandang wajah dara itu. Kebetulan cahaya bulan menimpa wajah itu sepenuhnya, membuat wajah dara itu tampak seperti disepuh emas, cemerlang dan indah sekali. Senyum di bibir yang manis itu kelihatan sangat indahnya, indah dan halus seperti sajak sasterawan di jaman dahulu. Kun Liong terpesona!

Pada waktu Hong Ing melirik, pandang mata mereka bertemu dan dara itu memperlebar senyumnya. Kun Liong gelagapan karena senyum dan pandang mata dara itu membuat dia merasa seperti seorang maling tertangkap basah!

Cepat dia menutupi kecanggungannya dengan pertanyaan. "Benar-benarkah kau merasa senang, Hong Ing?"

Dara itu menunda sisirnya dan memandang wajah Kun Liong, senyumnya masih cerah dan dia mengangguk. "Senang sekali. Engkau pandai sekali, Kun Liong. Apakah tidak ada yang tak dapat kau lakukan? Apa saja engkau bisa! Ilmu silatmu tinggi, kau juga pandai kesusastraan. Bahkan pandai berfilsafat. Dapat mengobati kakiku, pandai menghibur dan sekarang kau bahkan menjadi tukang kayu, tukang batu, pembuat sisir, penangkap ikan dan burung, pemasak daging... wah, apa yang kau tidak bisa?"

Merah wajah Kun Liong saking senangnya dengan pujian ini. Dia menunduk dan sambil tersenyum dia berkata, "Ahh, kau melebih-lebihkannya saja. Sebuah pondok butut seperti ini..."

"Tapi kokoh kuat... bukan, Kun Liong?"

"Ya, cukup kuat. Tak usah kau khawatir. Ular dan segala binatang takkan dapat masuk. Lagi pula, di sini tidak ada binatang buasnya."

"Kau memang pandai dan rendah hati..."

Kun Liong senang sekali, kepalanya menunduk. Hong Ing tidak berbicara lagi, dan ketika diam-diam Kun Liong mengerling, dara itu tidak memandangnya, melainkan sedang sibuk menyisir rambutnya dan memandang ke arah bulan purnama. Betapa indahnya gerakan itu menyisir rambut!

Kepalanya agak dimiringkan sehingga separuh mukanya tertimpa cahaya bulan. Kedua matanya terlihat berkilauan dan memantulkan sinar bulan yang redup dan sejuk. Bibirnya bergerak-gerak, kadang-kadang mulut yang manis itu agak terbuka menahan rasa perih ketika sisirnya macet pada rambut yang lengket. Walau pun rambut itu panjangnya baru sejari, sudah kelihatan berombak, maka sering kali sisirnya macet. Dengan tangan kanan memegang sisir dan tangan kiri menata rambut, dara itu mengangkat kedua lengannya sehingga tampaklah sedikit bulu halus di ketiaknya yang tidak tertutup.

Kun Liong terpesona. Betapa hebatnya daya tarik seorang wanita kalau sedang bersolek! Dan Hong Ing adalah seorang wanita yang luar biasa, memiliki kecantikan yang khas dan aneh. Apa lagi kini hanya mengenakan pakaian yang tidak lengkap itu.

Aku cinta kepadanya! Kun Liong terkejut sendiri. Bodoh, bantah suara lain di kepalanya yang gundul. Kau hanya menganggap saja ini cinta, padahal tak lain dan tak bukan hanya perasaan tertarik oleh keindahan bentuk tubuh yang bulat itu, kecantikan wajah yang telah dipercantik lagi oleh cabaya bulan purnama, dan suasana yang sunyi di mana hanya ada mereka berdua!

Bukan! Bukan cinta! Dia tidak akan dapat mencinta seorang yang bagaimana pun, karena dia tahu sekali bahwa cintanya itu dikotori oleh keinginan memiliki, keinginan membelai dan merayu, keinginan yang terdorong nafsu birahi!

Tidak! Dia tidak mencinta, hanya memang dia suka, bahkan tergila-gila oleh kecantikan Hong Ing. Sama saja dengan rasa sukanya kepada dara-dara yang lain, termasuk Lim Hwi Sian yang bahkan sudah menyerahkan badannya kepadanya.

Hwi Sian telah menyerahkan tubuhnya kepadanya karena mencintanya, kata data itu! Dan bagaimana dengan Hong Ing? Hong Ing telah merasa berhutang budi kepadanya, dan mereka hanya tinggal menyendiri di pulau kosong ini, dengan pakaian yang begitu minim! Bagaimana kalau mereka berdua terseret oleh godaan nafsu birahi?

"Tidak boleh!"

Hong Ing terkejut sekali, sisirnya hampir terlepas ketika mendadak Kun Liong menampar kepala gundulnya sendiri! Kun Liong sendiri merasa terkejut dan baru sadar bahwa dia tadi menjadi begitu gemas kepada dirinya sendiri sampai dia menampar kepalanya!

"Ehh, ada apakah?"

Tentu saja wajah pemuda itu menjadi merah sekali, merah sampai ke kepalanya bukan hanya merah karena tamparannya. "Ehh... ohh... tidak apa-apa, aku hanya termenung..."

"Mengapa termenung sambil menampar kepala sendiri?"

"Eh... anu... tadi ada seekor nyamuk menggigit kepalaku..." Kun Liong menggosok-gosok telapak tangannya seolah-olah ada nyamuk mati mengotori tangan itu.

"Hi-hik, kau memang aneh. Mengapa ada nyamuk diajak bicara dan kau membentak tidak boleh? Lucu sekali!"

"Aku tidak ingat lagi, mungkin karena termenung tadi..."

Kembali terdengar dara itu terkekeh geli. Hemmm, dia mulai menertawakan aku. Aku Si Kepala Gundul ini, pemuda miskin, yatim piatu, mana ada harganya bagi seorang dara seperti Hong Ing? Bayangkan saja! Seorang pangeran gagah tampan, putera seorang Kaisar yang tentu saja kaya raya, namun masih ditolak Hong Ing! Apa lagi dia! Seperti seekor anjing merindukan kelinci di bulan!

"Kun Liong, kau jangan suka melamun seperti itu. Orang melamun, sering bicara sendiri, memukul kepala sendiri hemmm, seperti orang tidak waras saja..."

Ahh, dia bahkan mulai mengatakan aku tidak waras, sama dengan memaki gila!

"Memang, kadang-kadang aku seperti gila, Hong Ing."

Hong Ing cepat-cepat memandang wajah Kun Liong, agaknya dapat menangkap nada marah di dalam ucapan pemuda itu, alisnya diangkat tinggi-tinggi dan matanya menyapu penuh selidik.

Akan tetapi Kun Liong sudah menunduk dan tidak bicara lagi. Dia tidak melihat betapa dara itu tersenyum geli melihat dia menunduk dengan wajah bersungut-sungut dan mulut cemberut.

Hening sampai agak lama. Kadang-kadang apa bila Kun Liong mencuri pandang dengan kerling sekilat, dia melihat dara itu masih bersila dan menengadah, memandang ke bulan.

Rasa mendongkol di hati Kun Liong tidak dapat bertahan lama. Mana mungkin dia dapat marah lama-lama kepada seorang dara yang kelihatan begitu tidak berdaya, yang sudah mengalami penderitaan seperi itu dan amat membutuhkan perlindungan? Tidak mungkin dia bisa sekejam itu.

Heran dia. Kenapa Hong Ing memilih menjadi nikouw, bahkan sekarang memilih menjadi seorang buruan yang terlunta-lunta, dari pada menjadi isteri seorang pangeran yang kaya raya dan berkuasa? Mengapa memilih hidup sengsara kalau kehidupan mulia terbentang di depan kakinya?

Tiba-tiba dia teringat. Sebetulnya dia belumlah mengenal gadis ini sungguh-sungguh, dan dia mengerti dan mengenalnya hanya menurut cerita gadis itu sendiri. Hong Ing adalah murid Go-bi Sin-kouw, seorang tokoh kang-ouw yang berilmu tinggi. Siapa tahu isi hati gadis itu?

Kakak seperguruan gadis ini, yaitu nona Lauw Kim In, menurut cerita Hong Ing, juga mau diambil kekasih oleh seorang pemuda iblis macam Ouwyang Bouw! Siapa tahu, gadis ini mendekatinya karena memang ada pamrih sesuatu. Bokor emas! Semua tokoh kang-ouw agaknya menduga keras bahwa dialah yang menyembunyikan bokor emas asli, pusaka Panglima The Hoo yang diperebutkan itu!

Dia mengerling kembali dan melihat bahwa Hong Ing sudah berhenti menyisir rambutnya. Rambut itu hitam mengkilap, menghias kepala dara itu sehingga kepala itu tampak seperti setangkai bunga mawar! Manisnya bukan main!

"Hong Ing..." Kun Liong berhenti sebentar karena jantungnya berdebar oleh dugaan yang bukan-bukan tadi dan oleh ketegangan usahanya untuk memancing dan menyelidiki.

"Hemm..." Hong Ing menoleh, mereka saling berpandangan dan kembali Kun Liong yang terlebih dahulu harus menundukkan kepalanya yang gundul karena pandang mata dara itu seolah-olah memiliki daya menembus sampai ke dalam dadanya.

"Mengapa engkau menolak pinangan Pangeran Han Wi Ong? Dia putera Kaisar dan..."

"...dan aku tidak mencintanya!" Hong Ing menyambung cepat.

"Tapi… dia putera Kaisar, berkuasa dan kaya raya, dia tampan dan gagah pula."

"Biar pun dia seratus kali lebih berkuasa, kaya raya, dan tampan gagah, kalau aku tidak mencinta, apakah aku harus memaksa diri?"

"Agaknya engkau amat mementingkan cinta dalam perjodohan."

"Tentu saja! Menikah tanpa cinta sama dengan memasuki gerbang neraka."

"Hemmm..."

"Apakah kau tidak berpendapat demikian, Kun Liong?"

"Entahlah. Hanya... kasihan Pangeran Han Wi Ong..."

"Ahhh, salah mereka sendiri! Laki-laki yang tidak tahu diri! Betapa banyaknya pria yang hendak memaksakan cintanya kepada seorang wanita. Kalau ditolak, adalah kesalahan mereka sendiri, mengapa harus dikasihani?"

Kun Liong mengangkat muka memandang wajah itu dan tampak olehnya betapa wajah yang cantik itu dihias senyum mengejek, agaknya merasa jijik terhadap cinta kaum pria!

"Banyakkah sudah kau dicinta orang?"

"Banyak sekali!"

"Hemmmm..."

"Mengapa mengeluh?"

"Pantas kau berani menolak cinta seorang pangeran. Kiranya banyak pria yang tergila-gila kepadamu!"

"Apa salahnya?"

"Tidak apa-apa, aku hanya... hemmm, tidak ada seorang pun yang mencintaku."

"Ahh masa?! Kau seorang pemuda yang gagah dan tampan, pandai mengendalikan diri, berbudi mulia suka menolong orang lain tanpa pamrih..."

"Betapa pun, tidak ada yang mencintaku seperti begitu banyak pria mencintamu..."

"Kalau ada yang mencintamu...?"

"Tidak mungkin! Gundul miskin seperti aku, lebih pantas disebut jembel, mana mungkin... Ahh, betapa pun juga aku tidak sudi menikah selama hidupku."

"Heiii! Mengapa?"

"Perempuan di dunia ini sama saja..."

"Wah, agaknya mendalam sekali pengetahuanmu tentang perempuan! Dari mana semua pengetahuanmu itu? Dari buku pula?" Nada suara Hong Ing amat mengejek dan pandang matanya seperti seorang ibu guru memandang seorang murid cilik yang bodoh dan nakal!

Akan tetapi Kun Liong tak mempedulikan nada suara dan pandangan itu, lalu melanjutkan dengan keras kepala, "...sekali seorang laki-laki mengambil perempuan sebagai isterinya, maka akan celakalah dia! Hidupnya akan merupakan siksaan, karena perempuan yang menjadi isterinya akan selalu menguasainya, mengikatnya, merongrongnya. Akhirnya dia akan kehilangan kebebasannya dan menyesal pun sudah terlambat!"

"Wah! Seperti itukah penilaianmu terhadap perempuan? Kau menganggap bahwa semua wanita itu seperti yang kau ceritakan tadi? Dan kau mengira bahwa semua pria memiliki pendirian seperti engkau, hidupnya dirusak oleh isteri? Betapa sombongmu, Kun Liong!"

Akan tetapi Kun Liong tak peduli. Betapa pun menariknya Hong Ing hingga membuat dia terpesona, membuat hatinya lemah, namun yang di hadapannya ini tidak lain juga hanya seorang wanita! Maka dia melanjutkan kembali, suaranya penuh semangat seakan-akan dia mempertahankan pendiriannya mati-matian terhadap serangan dari luar.

"Aku tak akan sudi menikah, kecuali dengan seorang wanita yang selalu menjadi idaman hatiku semenjak aku kecil!"

"Waduh! Kecil-kecil sudah mengidamkan seorang wanita! Hebat kau, Kun Liong!" Suara Hong Ing mengejek sekali, bahkan diperkuat dengan senyum simpulnya, membuat hati Kun Liong makin panas. "Wanita seperti apa sih, idaman hatimu itu?"

"Aku baru mau menikah dengan seorang wanita yang halus budi bahasanya, manis tutur sapanya, lemah lembut geraknya, suaranya seperti nyanyian burung di waktu pagi, tutur sapanya bagaikan hembusan angin lalu sepoi-sopi, gerak-geriknya seperti batang pohon yangliu tertiup angin, tidak hanya cantik jelita pada lahir saja, melainkan lebih cantik lagi di batinnya, penyabar, ramah, tidak pernah cemburu, keibuan, taat, setia, dan..."

"Pendeknya, wanita yang luar biasa tidak ada cacat celanya, seperti bidadari kahyangan yang diceritakan di dalam dongeng! Seperti... seperti Kwan Im Pouwsat sendiri! Seperti... ah, perempuan idamanmu itu harus dilahirkan lebih dulu, Kun Liong. Thian harus membuat perempuan itu khusus untukmu seorang, untuk seorang pria sombong yang sesombong-sombongnya, tolol yang setolol-tololnya dan.. dan..."

"Maaf, Hong Ing..." Kun Liong terkejut juga melihat dara itu bangkit berdiri, menegakkan kepala dan matanya seperti dua bola api hendak membakarnya. Seluruh sikapnya jelas menunjukkan kemarahan yang ditahan-tahan, ada pun suaranya bercampur napas sesak seperti mau menangis!

"...dan... dan... perutku menjadi mual melihatmu!" Setelah melontarkan kata-kata terakhir itu, dengan langkah gontai, dengan pinggul menonjol padat terbayang di balik kain yang sederhana dan pendek itu, Hong Ing pergi meninggalkan Kun Liong, menaiki anak tangga lalu masuk ke pondok kecil itu. Terdengar dia menutupkan pintu kamar keras-keras, dan tampak dari luar daun jendela juga dihempaskan kuat-kuat!

Kun Liong masih duduk di pasir, bengong terlongong memandang ke arah pondok, hatinya bingung sekali. Akhirnya dia pun menarik napas panjang, menekan penyesalan hatinya. Kenapa dia harus menyesal melihat Hong Ing marah-marah? Biarlah, bila dara itu merasa sakit hati, dia sudah menguras isi hatinya, sudah mengemukakan pendapatnya tentang wanita. Dia tidak akan jatuh cinta seperti pria-pria tolol itu, seperti Pangeran Han Wi Ong, seperti Yuan, dan yang lain-lain. Dia ingin terus bebas!

Kembali dia menarik napas panjang. Betapa sunyinya setelah Hong Ing pergi ke pondok. Alangkah menjemukan keadaan sekelilingnya. Cahaya bulan tidak gemilang seperti sinar keemasan lagi, melainkan mendatangkan kepucatan yang hampa!

Mengapa dia menyesal telah menyakitkan hati Hong Ing? Bukankah dara itu malah yang menyakitkan hatinya? Mula-mula mengatakannya tidak waras alias gila! Kemudian apa yang dikatakannya dalam kalimat-kalimat terakhir ketika marah tadi? Bahwa dia adalah seorang pria yang ‘sombong sesombong-sombongnya, tolol setolol-tololnya’ dan bahwa dia ‘memualkan perutnya’!

"Hemmm...!" Keluhan ini keluar dari dadanya menyesak kerongkongannya.

Dia menengadah. Bulan purnama tersenyum mengejek kepadanya, seperti senyum Hong Ing yang tadi mengejeknya. Dia memandang marah. Ingin dia dapat melumuri muka bulan dengan pasir di tangannya. Akan tetapi awan membantunya. Awan putih tebal merayap lewat, menyembunyikan bulan yang kini hanya tampak sebagai bulatan yang pucat tak berdaya. Seperti Hong Ing!

Dara itu menderita hebat! Di pulau kosong, hanya bersama dia, namun apa yang sudah dia lakukan? Menyakitkan hatinya! Ah, betapa kejamnya dia! Biar pun dia tidak mau jatuh cinta kepada wanita mana pun juga, akan tetapi tidak selayaknya dia menyakitkan hati Hong Ing seperti itu.....!

Traktiran: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan) ataupun bisa melalui via Trakteer yang ada dibawah

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar