Bantuan saluran dana dari para enghiong telah saya salurkan karena beliau butuh biaya cepat untuk kemoterapi, kita doakan sama-sama agar penyakit beliau cepat diangkat. Open Donasi masih tetap akan saya lakukan sampai pertengahan bulan september🙏

Petualang Asmara Jilid 47

Di badan pedang itu tampak jelas bekas jari tangan orang, seolah-olah pedang itu terbuat dari tanah liat yang basah saja sehingga garis-garis jari tangan itu terlukis jelas di batang pedang! Hal itu menandakan bahwa ada orang mempunyai tenaga sinkang mukjijat yang sudah berani menangkis atau melawan Gin-hwa-kiam dengan jari tangannya! Orang yang memiliki kepandaian sehebat itu benar-benar belum pernah mereka temukan.

Sebagai seorang pendekar sakti yang sulit dicari tandingannya, tentu saja Cia Keng Hong merasa tertarik sekali untuk mengetahui siapa orangnya yang mampu menangkis pedang Gin-hwa-kiam dengan tangan kosong itu, maka dia bertanya kepada puterinya,

"Siapa yang melakukan ini?"

Memang hal inilah yang dikehendaki Giok Keng dengan mencabut serta memperlihatkan Gin-hwa-kiam kepada ayahnya. Ia ingin mengalihkan perhatian ayah bundanya sehingga urusan dirinya dengan Bu Kong dapat diceritakan melalui jalan berputar dan tidak secara langsung.

"Orangnya aneh dan amat sakti, Ayah. Namanya Kok Beng Lama, seorang pendeta Lama berjubah merah. Dia datang dan menantang-nantang Bun Hwat Tosu, Tiong Pek Hosiang, Go-bi Thai-houw, dan juga menantang Sucouw (Kakek Guru) Sin-jiu Kiam-ong!"

Dengan panjang lebar Giok Keng menceritakan tentang munculnya kakek itu yang telah membunuh banyak prajurit pemerintah hanya dengan suara ketawanya saja, dan betapa kakek Lama itu dengan jari tangan kosong telah menangkis pedangnya pada saat dia ikut mengeroyok dan membuat cap jari tangan pada Gin-hwa-kiam.

"Kok Beng Lama...?" Cia Keng Hong dan isterinya saling pandang, mengerutkan alis dan mengingat-ingat. "Seingatku, belum pernah aku mendengar nama ini di dunia kang-kouw! Mengapa dia menentang prajurit pemerintah?"

"Semua ini gara-gara Yap Kun Liong! Pemuda itu telah melakukan penyelewengan besar, Ayah. Dia telah menjadi seorang buronan dan kini dikejar-kejar oleh pasukan pemerintah. Pendeta Lama itu muncul menolong Kun Liong pada saat dia sudah dikepung dan hampir dapat tertawan."

Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati Keng Hong dan isterinya mendengar berita ini.

"Mengapa? Apa yang sudah dilakukannya?" Biauw Eng bertanya dengan mata terbelalak penasaran.

"Dia telah menentang Pangeran Han Wi Ong, melarikan calon isteri pangeran itu…" Giok Keng langsung menceritakan pula keadaan Yap Kun Liong bersama seorang gadis cantik jelita yang sudah menjadi nikouw, calon isteri pangeran yang agaknya dilarikan oleh Kun Liong.

Ketika menuturkan hal ini, beberapa kali dia dibantu oleh Liong Bu Kong yang menuturkan betapa mereka berdua melihat pasukan pemerintah yang dipimpin oleh Pangeran Han Wi Ong dengan dibantu oleh beberapa orang perwira beserta orang-orang kang-ouw sedang mengeroyok Kun Liong. Setelah mereka berdua mendengar bahwa Kun Liong melarikan calon isteri Pangeran Han Wi Ong, mereka segera membantu pasukan. Namun ketika Kun Liong sudah hampir tertangkap, muncullah kakek Lama yang sangat sakti itu, yang membantu Kun Liong bersama dara yang dilarikannya itu sehingga mereka berdua dapat melarikan diri, dan kakek itu sendiri pun lalu pergi setelah membunuh banyak prajurit.

Mendengar penuturan mereka, Keng Hong dan Biauw Eng terkejut bukan main sehingga mereka berdua tak mampu berkata-kata. Hampir mereka tidak dapat percaya bahwa Yap Kun Liong sudah melakukan perbuatan demikian rendahnya, melarikan calon isteri orang sehingga menjadi orang buruan pemerintah! Kalau bukan puteri mereka yang bercerita, tentu mereka tidak mau percaya. Namun, hati Keng Hong menjadi tak senang mengingat bahwa puterinya turut pula mengeroyok Kun Liong. Bukankah pemuda itu menjadi calon suaminya?

"Giok Keng!" tiba-tiba pendekar ini membentak, suaranya terdengar dingin menyeramkan. "Boleh jadi saja Kun Liong melakukan penyelewengan, akan tetapi mengapa engkau ikut pula mengeroyok dia? Hal itu menunjukkan kelancanganmu. Yang lebih mengherankan hati kami, mau apa engkau mengajak dia ini ke Cin-ling-san? Bukankah dia adalah anak Kwi-eng Niocu?"

Giok Keng sudah menduga pertanyaan seperti ini, bahkan yang lebih lagi, dan dia sudah siap menghadapinya. Maka begitu mendengar percakapan beralih tentang diri Bu Kong, dia lalu menjawab,

"Ayah, memang benar dia adalah Liong Bu Kong, akan tetapi dia hanyalah putera angkat dari mendiang Kwi-eng Niocu. Walau pun Kwi-eng Niocu terkenal sebagai seorang datuk sesat, akan tetapi dia ini tidak seperti ibu angkatnya, ayah. Diam-diam dia menentang ibu angkatnya, sebab itu ketika sarang ibu angkatnya diserbu, ia cepat pergi menyelamatkan pusaka-pusaka..."

"Harap Ji-wi Locianpwe sudi mengampunkan teecu yang telah berani datang menghadap," terdengar Bu Kong berkata dengan suara halus dan penuh penghormatan. "Memang tidak teecu sangkal bahwa ibu angkat teecu adalah Ketua Kwi-eng-pang yang selalu melakukan pelanggaran. Teecu sendiri sebagai anak angkat tentu saja terpaksa dan tidak berani membantah kehendak ibu angkat teecu. Akan tetapi setelah kini ibu angkat teecu tewas, teecu bersumpah ingin mulai hidup baru yang bersih, dan untuk membuktikannya, teecu sudah membawa dua buah pusaka Siauw-lim-pai yang akan teecu kembalikan."

"Harap Ayah dan Ibu tidak merasa ragu lagi. Aku sudah menyaksikan sendiri betapa dia melawan Thian-ong Lo-mo ketika akan mengambil pusaka, bahkan dia telah menewaskan lima orang anggota Kwi-eng-pang. Dia tidaklah jahat seperti ibu angkatnya."

"Giok Keng...!" Cia Keng Hong membentak, suaranya berwibawa sekali hingga Giok Keng dan Bu Kong terkejut setengah mati, wajah mereka berubah pucat. "Apa kehendakmu maka engkau menceritakan ini semua kepadaku? Mengapa kau bicara seperti seorang hendak menjual sebuah benda dan membujuk kami agar menyukai benda itu? Mengapa engkau membela bocah ini?"

Wajah Giok Keng pucat. Dia memang sudah memperhitungkan bahwa dia akan terpaksa untuk mengaku, akan tetapi tak disangkanya bahwa ketika tiba saatnya, ia merasa begitu gugup. Dengan suara lirih dia lalu menjawab,

"Ayah... aku sudah bicara dengan Kun Liong... tentang perjodohan... kami berdua sudah saling setuju untuk membatalkan ikatan jodoh itu karena di antara dia dan aku tidak ada rasa cinta... dan aku hanya mau dijodohkan dengan orang… orang yang kucinta, Ayah. Harap Ayah dan Ibu ampunkan..."

Wajah pendekar Cia Keng Hong menjadi merah sekali. Seperti pandang mata seekor burung rajawali hendak menyambar korbannya, dia memandang puterinya itu dan hanya dengan pengerahan tenaga hatinya yang kuat saja maka dia masih dapat mengeluarkan suara bertanya, "Siapa itu orang yang kau cinta?"

Giok Keng yang memang sudah ‘nekat’ ini tidak menjawab, hanya melirik kepada Liong Bu Kong. Isyarat ini diterima oleh Bu Kong dan sambil berlutut dan menyembah-nyembah dia berkata,

"Mohon Locianpwe sudi mengampunkan kelancangan teecu. Sebenarnya, di antara puteri Locianpwe, Cia Giok Keng dan teecu, kami berdua telah... saling mencinta..."

Teriakan yang melengking nyaring keluar dari kerongkongan Keng Hong lantas tubuhnya sudah berkelebat ke depan. Dalam kemarahannya yang meluap-luap, ucapan pemuda itu dianggapnya merupakan penghinaan sangat besar, maka dia sudah menerjang ke depan dan memukul pemuda yang berlutut di depannya. Pukulan maut!

"Dessss...!"

Tubuh Giok Keng terpental dan terguling-guling. Lengan tangannya terasa nyeri sampai menusuk jantung pada waktu dia tadi menangkis pukulan ayahnya yang ditujukan kepada kekasihnya. Akan tetapi dia lupa akan rasa nyeri dan kekerasan hatinya bangkit. Dengan mata bernyala-nyala dan wajah merah dia meloncat bangun, sekali meloncat dia sudah berada di depan ayahnya lalu dengan suara menentang dan nyaring dia berkata,

"Ayah keterlaluan! Mengapa hendak membunuh Liong Bu Kong yang tidak berdosa? Dia cinta kepadaku, dan aku juga cinta kepadanya! Apakah salahnya dengan ini? Kalau Ayah hendak membunuh, bunuhlah aku!"

Mata Cia Keng Hong terbelalak. Hampir dia tidak percaya akan pendengarannya sendiri. Puterinya telah menantangnya untuk dibunuh!

"Kau... kau...! Memang lebih baik melihat kau mati...!"

"Tahan...!" Biauw Eng sudah melompat seperti seekor singa betina ke depan suaminya, kepalanya dikedikkan, matanya seperti sepasang bintang, mukanya merah seperti sedang mengeluarkan bara api, dadanya diangkat penuh tantangan.

"Mungkinkah kau ini suamiku yang begitu kuat dan tahan segala derita? Engkau hendak membunuh anak sendiri? Benarkah ini?" Suara ini bercampur dengan isak dan Biauw Eng sudah menangis sambil berdiri menantang suaminya.

Mendengar ucapan isterinya dan menyaksikan sikap Biauw Eng itu, Keng Hong merasa seolah-olah kepalanya disiram air dingin. Hampir dia tadi mata gelap. Dengan sedu sedan naik dari dadanya, dia segera memeluk isterinya, memejamkan mata sebentar, kemudian membuka matanya dan tangan kanannya dengan telunjuk menuding keluar digerakkan tiba-tiba, mulutnya berkata lantang, "Pergi...! Engkau bukan anakku lagi! Aku tidak peduli lagi apa yang akan kau lakukan. Pergi...!"

Dapat dibayangkan betapa hancur hati Giok Keng. Tadi dia menentang dan menantang ayahnya. Akan tetapi menyaksikan kedukaan serta kehancuran hati ayah bundanya, kini melihat sikap ayahnya, mendapat kenyataan bahwa dia telah diusir, tidak diaku anak lagi, hal ini lebih menyakitkan hati dari pada dibunuh!

"Ayah...!" Dia menjerit, kemudian menjatuhkan diri berlutut di dekat Bu Kong yang hanya memandang dengan wajah pucat.

"Jangan menyebut aku ayah! Pergilah dan bawalah semua barangmu, bawa semua harta kami secukupmu. Pergi dan jangan kembali lagi!" Keng Hong berkata lagi, kini suaranya dingin dan sikapnya tidak keras, namun hal ini malah semakin menusuk perasaan karena selama hidupnya Giok Keng belum pernah melihat sikap dan mendengar suara ayahnya sedingin itu.

"Ibu...!" Dia tersedu memanggil ibunya.

Biauw Eng masih menangis dalam pelukan suaminya. Dia maklum betapa hancur hati suaminya menghadapi peristiwa ini. Dia cinta kepada puterinya, tentu saja, akan tetapi dia lebih cinta kepada suaminya. Biar pun dia merasa kasihan kepada Giok Keng, akan tetapi dia lebih kasihan kepada suaminya. Kini Giok Keng sudah ada yang punya, sedangkan suaminya hanya mempunyai dia!

"Giok Keng, pergilah dulu... pergilah... jangan bicara apa-apa lagi...," katanya terisak.

Bu Kong mengerti akan isyarat dari calon ibu mertuanya ini. Memang dalam keadaan seperti itu, selagi pendekar sakti itu dibakar kemarahan, tidak mungkin dapat bicara lagi. Dia segera membimbing kekasihnya bangun, menjura sebagai tanda penghormatan lalu menuntun Giok Keng yang menangis tersedu-sedu itu keluar dari dalam taman, diikuti pandang mata Keng Hong yang terbelalak marah dan pandang mata sayu dari Biauw Eng.

Setelah bayangan dua orang muda itu lenyap barulah Keng Hong merasa betapa lemas tubuhnya. Dia cepat menjatuhkan diri terduduk di atas bangku, duduk diam seperti arca, matanya tak pernah berkedip akan tetapi dua butir air mata keluar dari pelupuk matanya, perlahan-lahan dua butir air mata ini mengalir turun melalui kedua pipinya.

Melihat suaminya seperti itu, Biauw Eng lalu menubruknya dan menangis sesenggukan di atas dada suaminya. Tanpa disangka-sangka, seperti datangnya hujan tanpa mendung, kedukaan hebat melanda suami isteri ini. Mereka dilanda duka dan kecewa hebat sekali sehingga hampir terjadi peristiwa hebat, hampir terjadi mala petaka ketika ayah ini hampir membunuh puterinya sendiri!

Memang demikianlah hidup! Manusia, hampir tidak disadarinya lagi karena telah menjadi tradisi dan kebiasaan, hidup dalam suasana kepalsuan. Mata manusia seolah-olah buta dengan kenyataan, dibutakan oleh nafsu keinginan mementingkan diri pribadi. Kita hidup tanpa membuka mata, dituntun oleh nafsu keinginan kita yang membentuk si aku hingga setiap gerak, setiap perbuatan, dan setiap sikap selalu mencerminkan kekuasaan si aku yang hendak menang sendiri. Bahkan dalam cinta, si aku paling berkuasa sehingga cinta menjadi sebutan hampa, menjadi kepalsuan yang diselimuti kata-kata mutiara yang serba indah!

Seorang pendekar besar seperti Cia Keng Hong, kini merasa berduka. Karena apa? Kalau dia ditanya, tentu dia mengatakan bahwa dia berduka karena puterinya! Tentu dia akan menjawab bahwa karena puterinya memilih anak datuk sesat sebagai kekasih dan calon suami, maka dia berduka!

Benarkah demikian? Benarkah dia berduka demi Giok Keng? Tidakkah sesungguhnya dia berduka demi dirinya sendiri? Berduka karena keinginan hatinya sendiri tidak terpenuhi. Karena puterinya memilih seorang pria yang tidak berkenan di hatinya? Benarkah sebagai seorang bapak dia mencinta anaknya kalau dia ingin memaksakan kehendak hatinya agar ditaati anaknya! Cintakah itu kalau tadi dia sampai hampir membunuh anaknya? Dan kini dia berduka, menangis, kecewa! Bukankah kecewa dan berduka karena nafsu keinginan di hatinya tidak tercapai? Sebenarnya bukan menangisi Giok Keng, melainkan menangisi dirinya sendiri?

Semua ini dapat kita lihat dengan mata dan hati terbuka sebagai suatu kenyataan. Akan tetapi, betapa kita hidup bergelimang kepalsuan sehingga kenyataan ini pun sulit diterima! Betapa pandainya si aku ini bersandiwara sehingga setiap perbuatan yang sesungguhnya demi si aku dapat disulap seolah-olah bukan demikian. Betapa kita sudah dicengkeram sepenuhnya oleh si lapuk tua ‘aku’ yang bukan lain adalah pikiran kita, pikiran gudang pengalaman masa lalu, sehingga mata kita tertutup oleh bayangan masa lalu, tidak dapat lagi menikmati kenyataan yang baru karena segala sesuatu diukur dengan perbandingan masa lalu, enak tidak enak, senang tidak senang bagi si aku! Sedemikian menebalnya pemupukan si aku ini sehingga setiap sesuatu yang nampak mau pun yang tidak nampak, segala apa di dunia ini, dari debu sampai kepada sebutan Tuhan, ditujukan semata-mata demi si aku, demi kepentingan aku. Demikian pula cinta, juga demi aku!

"Kau sungguh terlalu, masa engkau begitu tega terhadap Keng-ji..." Biauw Eng menangis. "Sekarang engkau telah mengusirnya... ahh, bagaimana akan jadinya dengan dia?"

"Hemmm, anak itu terlalu manja!" Keng Hong berkata dengan kemarahan yang masih membakar hati, mengatasi kedukaan dan kekecewaannya. "Terlalu memandang rendah kepada orang tua. Mana boleh dia membatalkan ikatan jodoh begitu saja? Mana boleh dia membutakan mata memilih pemuda golongan sesat menjadi calon suaminya? Selain dia akan menghancurkan hidupnya sendiri, juga dia akan menyeret nama baik orang tua ke lubang pecomberan!"

Biauw Eng mengangkat muka, matanya bersinar-sinar. "Lupakah engkau? Ingat baik-baik, pergunakan pikiranmu dengan adil dan jujur! Siapakah aku ini? Bukankah aku pun puteri Lam-hai Sin-ni, seorang datuk kaum sesat. Apakah Lam-hai Sin-ni kalah tersohor dengan Kwi-eng Niocu? Ingat, aku pun seorang puteri datuk sesat, aku pun orang dari golongan hitam! Dan engkau toh sudah memperisteri aku!"

"Aihhh... engkau lain lagi..."

"Apanya yang lain? Aku tidak hendak mengatakan bahwa aku suka mempunyai menantu seperti pemuda putera Kwi-eng Niocu itu! Akan tetapi apa bila penolakanmu itu engkau dasarkan bahwa kau merasa derajat puterimu terlalu tinggi dan kau merendahkan orang dari golongan sesat, kau benar-benar tidak adil! Urusan ini semestinya ditangani dengan halus. Giok Keng masih hijau dan bodoh, semestinya diberi nasehat dan dibujuk dengan halus, tidak dengan kekerasan seperti itu! Sekarang kau sudah mengusirnya, sama saja dengan kau semakin melekatkan dia dengan pemuda itu!" Kembali Biauw Eng menangis terisak-isak.

Hati Keng Hong menjadi bingung sekali. Sekarang terbukalah matanya dan dia mau tidak mau harus membenarkan ucapan isterinya. Isterinya ini juga puteri seorang datuk kaum sesat, bahkan lebih tersohor dan lebih tinggi tingkatnya dari pada Kwi-eng Niocu, namun buktinya, puterinya tidaklah sesat seperti ibunya (baca cerita Pedang Kayu Harum).

Sungguh tidak adil kalau sekarang dia membenci Liong Bu Kong hanya karena ibunya adalah datuk kaum sesat. Apa lagi Kwi-eng Niocu bukan ibu kandung pemuda itu, akan tetapi hanya ibu angkat. Siapa tahu kalau puterinya itu lebih benar dari pada dia!

Akan tetapi puterinya telah ditunangkan dengan Yap Kun Liong bantah hatinya! Yap Kun Liong adalah putera sumoi-nya yang sudah tewas secara mengenaskan. Masa sekarang tali ikatan jodoh yang diusulkan itu boleh diputuskan begitu saja?

"Aku mau pergi mencari Kun Liong!" Tiba-tiba dia berkata.

Biauw Eng mengangkat mukanya yang basah dan merah. "Mau apa mencari dia?"

"Dia harus memberi penjelasan! Kalau benar dia membatalkan ikatan jodoh, berarti dia tidak menghargai kita! Kalau benar dia melarikan calon isteri Pangeran Han Wi Ong, dia patut kuberi hajaran!"

"Akan tetapi kita tahu bahwa Han Wi Ong adalah seorang pangeran tua yang terkenal mata keranjang!"

"Mata keranjang atau tidak, sama sekali tidak ada hubungannya! Kalau betul Kun Liong melarikan calon isteri orang, berarti dia itu melakukan perbuatan sesat dan aku sebagai supek-nya wajib menghajarnya! Pula, aku akan menyelidiki tentang Kok Beng Lama!"

Melihat sikap suaminya yang terbenam dalam kemarahan dan kedukaan, Biauw Eng tidak kuasa membantah. Pula, dia maklum bahwa biar pun suaminya itu tidak mengatakannya, tentu suaminya itu akan menyusul dan mencari Giok Keng. Dia tahu betapa suaminya amat mencinta puteri mereka itu dan suaminya yang telah mengusir puterinya itu hanya terdorong oleh kemarahan, akan tetapi sama sekali tidak akan membencinya.

Setelah Pendekar Sakti Cia Keng Hong pergi, Biauw Eng menanti di Cin-ling-san dengan hati gelisah sekali, memikirkan puterinya dan suaminya. Juga para anggota Cin-ling-pai yang tentu saja mendengar akan peristiwa hebat yang menimpa keluarga guru atau ketua mereka menjadi prihatin, membuat suasana di Cin-ling-san nampak sunyi…..

********************

"Go-bi Thai-houw...! Keluarlah dan mari tandingi pinceng! Mari bertanding sampai selaksa jurus! Hendak kulihat sampai di mana kepandaian Go-bi Thai-houw yang kabarnya sama dengan dewi, ha-ha-ha!"

Kakek raksasa gundul berjubah merah itu menantang-nantang sambil berdiri di atas batu gunung yang sebesar rumah. Suaranya bergelora dan bergema di empat penjuru, hingga terdengar dari permukaan Pegunungan Go-bi-san. Beberapa kali dia kembali mengulangi tantangannya itu dengan suara yang mengandung khikang kuat bukan main!

Karena tidak ada yang menjawab pertanyaannya, kakek ini sambil tertawa-tawa melayang turun dari atas batu besar, kemudian melangkah lebar menuju ke puncak Pegunungan Go-bi-san. Tidak lama kemudian sampailah dia di depan sarang tempat tinggal Kim Seng Siocia beserta para anak buahnya! Sambil bertolak pinggang dia berdiri dan memandangi bangunan megah itu dan tertawa,

"Ha-ha-ha-ha, tidak salah lagi! Di sinilah tentu tempat tinggal Go-bi Thai-houw yang amat disohorkan orang itu! Haii, Go-bi Thai-houw, mengapa engkau begitu pengecut dan tidak berani keluar melayani tantanganku?"

"Kakek berotak miring!" Mendadak terdengar bentakan nyaring.

Dan keluarlah Kim Seng Siocia, wanita gendut yang lihai itu diiringi semua anak buahnya yang jumlahnya lima puluh orang, dipimpin oleh Acui dan Amoi, dua orang pembantunya yang setia dan yang paling lihai, merupakan murid-murid kepala yang menjadi tangan kanannya.

Melihat munculnya barisan wanita ini, dan mengenal Kim Seng Siocia yang pernah ikut mengeroyoknya pada saat dia menyelamatkan Kun Liong dan Hong Ing, kakek itu tertawa bergelak, "Ha-ha-ha, tentu ini barisan dari Ratu Go-bi! Hayo, suruh keluar ratumu Go-bi Thai-houw!"

Kim Seng Siocia meloncat ke depan dan menudingkan senjata cambuk hitamnya sambil membentak, "Kakek gila, mau apa engkau mencari mendiang Thai-houw?"

"Hah...?! Dia sudah mampus?"

"Thai-bouw sudah meninggal dunia belasan tahun yang lalu dan aku, Kim Seng Siocia adalah pewarisnya. Mengapa engkau menantang-nantang Thai-houw?"

Kakek itu menarik napas panjang, kelihatannya menyesal sekali.

"Ahhhh, aku terlambat! Sialan benar kalau mereka semua sudah mampus! Lama sudah pinceng (aku) mendengar bahwa di dunia ini, orang-orang yang paling pandai hanyalah Sin-jiu Kiam-ong, Go-bi Thai-houw, Bun Hwat Tosu, dan Tiong Pek Hosiang! Jangan-jangan yang lain itu pun sudah mampus. Lalu siapa lawanku di dunia ini?"

Kim Seng Siocia sudah maklum akan kelihaian kakek pendeta Lama yang seperti gila ini. Akan tetapi, karena dia dibantu oleh semua anak buahnya, dan karena dia menganggap junjungannya, Go-bi Thai-houw dipandang rendah serta dihina, maka dia menjadi marah sekali.

"Kok Beng Lama! Engkau terlalu sombong! Biar pun Thai-houw sudah meninggal dunia, akan tetapi aku, pewaris satu-satunya, tidak gentar untuk melawanmu!" Sesudah berkata demikian, Kim Seng Siocia menggerakkan cambuknya sehingga terdengar suara ledakan-ledakan kecil di udara.

"Jadi engkau murid satu-satunya? Ha-ha-ha, tidak ada gurunya, melihat tingkat muridnya pun sudah bisa menilai sampai di mana kepandaian gurunya!" Kok Beng Lama melangkah maju memapaki gulungan sinar hitam dari cambuk itu!

"Tar-tar-tar... wuuuutttt...!"

Gulungan sinar hitam itu meledak-ledak dan menyambar-nyambar. Bukan main lihainya senjata ini, karena selain panjang dan terbuat dari bahan yang aneh dan kuat sekali, juga ujung cambuk ini mengikat sebatang piauw yang runcing tajam dan beracun.

"Ha-ha-ha, bagus, bagus! Keluarkan semua kepandaianmu, Gendut!" Pendeta Lama itu berkata dengan gembira.

Pertandingan ini segera membuktikan betapa keadaan mereka berat sebelah. Kim Seng Siocia langsung mengeluarkan semua kepandaiannya yang dia dapatkan dari kitab-kitab peninggalan Go-bi Thai-houw. Tidak hanya cambuknya yang menyambar-nyambar, juga tangan kirinya yang mengandung tenaga sinkang yang amat kuat itu menyelingi serangan cambuknya.

Namun, pendeta Lama itu hanya tertawa-tawa saja, menggerakkan kedua lengannya dan ujung lengan bajunya melayang-layang menangkis semua serangan lawan. Hebatnya, setiap kali cambuk bertemu dengan ujung lengan baju, ujung cambuk itu terpental keras, dan setiap kali tangan kiri wanita gendut itu dicium ujung lengan baju, Kim Seng Siocia meringis kesakitan karena seluruh lengan kirinya tergetar hebat!

Tiba-tiba saja, dengan gerakan yang tidak terduga-duga, Kim Seng Siocia menggerakkan cambuknya berputaran dan ujung cambuk yang ada piauw-nya itu menyambar ke arah perutnya sendiri, dan berbareng dengan itu, tangan kirinya juga mencengkeram ke arah kepalanya sendiri.

"Heiii..., gilakah...?"

Baru saja Kok Beng Lama berseru dan tubuhnya melayang ke depan untuk mencegah wanita gendut itu ‘membunuh diri’ secara aneh tiba-tiba cambuk itu membalik dan ujung cambuk tahu-tahu melepaskan piauw yang terikat. Piauw beracun meluncur secepat kilat menyambar ke arah leher Kok Beng Lama, sedangkan tangan kiri wanita lihai itu sudah membalik pula, mengirim pukulan yang ganas ke arah pusar lawan yang kaget setengah mati itu!

"Plakkk... desss...!"

Piauw bertemu dengan telapak tangan Kok Beng Lama dan pukulan tangan kiri Kim Seng Siocia tepat mengenal pusar pendeta Lama itu. Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kagetnya wanita gendut itu melihat bahwa selain piauw-nya tidak melukai tangan lawan, juga pukulannya mengenai bagian tubuh lunak dan yang sekaligus membuat sinkang yang terkandung di tangan kirinya itu ‘tenggelam’ dan lenyap tak berbekas.

Selagi dia terheran dan terkejut, terdengar kakek itu berseru, "Ilmu siluman...!" dan…

Wanita gendut itu tidak keburu mengelak lagi ketika ada sinar hitam menyambar, lantas terdengarlah jeritan melengking mengerikan ketika piauw-nya sendiri itu menghujam dan menembus pelipis kepalanya.

Kim Seng Siocia masih berusaha untuk menendangkan kaki kanannya, namun dengan mudah Kok Beng Lama menangkis tendangan ini, bahkan sekaligus dia menangkap kaki itu dan mendorong tubuh lawannya sampai terlempar beberapa meter jauhnya! Kim Seng Siocia tewas seketika!

Anak buahnya memandang dengan mata terbelalak kaget. Tak mereka duga sama sekali bahwa ketua mereka, juga majikan atau guru mereka, yang mereka anggap memiliki ilmu kepandaian luar biasa dan tiada bandingannya itu, kini tewas sedemikian mudahnya di tangan kakek pendeta Lama itu!

Acui dan Amoi yang amat mencinta majikan mereka, melihat Kim Seng Siocia tewas, menjadi marah dan berduka sekali. Mereka sudah mencabut pedang masing-masing dan dengan teriakan marah kedua orang wanita muda yang cantik ini sudah menerjang maju mengeroyok Kok Beng Lama, dibantu oleh empat orang teman mereka yang terdekat.

Melihat dia dikeroyok enam orang wanita muda, pendeta Lama itu kelihatan jemu dan dengan marah dia menggerakkan kedua lengannya ke kanan kiri sambil membentak,

"Pergilah kalian!"

"Plakk-plakk!"

Terdengar suara susul menyusul dan dengan jerit tertahan enam orang itu, termasuk Acui dan Amoi yang lihai, roboh dan tak mungkin dapat bangun kembali karena kepala mereka retak-retak disambar ujung lengan baju kakek yang luar biasa lihainya itu!

"Mundur kalian! Apakah kalian sudah bosan hidup?" Tiba-tiba terdengar suara bentakan halus dan muncullah seorang nenek bertongkat butut hitam, berpakaian hitam pula dan berwajah bengis. Dia ini bukan lain Go-bi Sin-kouw!

Seperti diketahui nenek ini adalah guru Pek Hong Ing dan Lauw Kim In dan tinggal di atas sebuah di antara puncak-puncak Go-bi-san. Seperti juga Kim Seng Siocia, dia mendengar teriakan yang merupakan tantangan dari Kok Beng Lama, akan tetapi dia tidak melayani karena bukan dia yang ditantang, pula dia maklum betapa lihainya kakek itu.

Betapa pun juga, dia ingin tahu dan karena merasa bahwa dia sanggup menanggulangi kakek sakti itu, dia segera mengikuti dan menyaksikan kakek itu membunuh Kim Seng Siocia, Acui, Amoi dan empat orang murid lainnya. Melihat bahwa masih ada puluhan orang bekas anak buah Kim Seng Siocia hendak maju mengeroyok, dia cepat mencegah mereka karena dia mempunyai niat yang dianggapnya baik sekali melihat kematian Kim Seng Siocia dan para pembantu utamanya.

Dua orang muridnya telah pergi. Pek Hong Ing telah murtad, melawan kehendaknya, tidak mau menjadi isteri Pangeran Han Wi Ong, bahkan telah menjadi nikouw dan melarikan diri dengan pemuda gundul itu. Sedangkan murid pertamanya, Lauw Kim In, juga minggat entah ke mana. Cita-citanya untuk menjadi mertua seorang pangeran gagal, maka kini dia melihat kesempatan yang baik sekali.

Dia akan memperoleh kedudukan tinggi dan mewarisi harta benda yang banyak jika dia menggantikan Kim Seng Siocia yang sudah mati! Karena inilah dia mencegah sisa anak buah Kim Seng Siocia yang diharapkan kelak menjadi anak buahnya, supaya tidak nekat melawan pendeta Lama yang lihai itu.

Kok Beng Lama memutar tubuhnya menghadapi Go-bi Sin-kouw. Dia sudah mengenal pula nenek ini yang pernah mengeroyoknya di tepi Pantai Pohai.

"Ha-ha-ha, apakah engkau hendak mewakili Go-bi Thai-houw pula melawan pinceng?"

Go-bi Sin-kouw menggerakkan tangan kirinya menyangkal.

"Aku Go-bi Sin-kouw tidak pernah bermusuhan dengan Kok Beng Lama. Kita adalah dua orang tua yang sudah kenyang mengalami pertandingan, mengapa seperti anak kecil saja hendak mengadu kepandaian?"

"Ha-ha-ha-ha! Omitohud... wanita memang pandai menyelimuti perasaannya sendiri...!" Dengan ucapan ini Kok Beng Lama hendak menyindir bahwa nenek itu sangat pandai menyembunyikan rasa jerinya untuk bertanding dengannya.

"Habis, mau apa engkau datang menemuiku?"

"Kok Beng Lama, aku tadi mendengar suaramu, dan aku mengenal namamu ketika untuk pertama kali kau muncul di tepi Pohai. Aku hanya hendak memperlihatkan sebuah benda. Lihat ini baik-baik, apakah engkau mengenal benda ini?" Sambil berkata demikian, Go-bi Sin-kouw mempergunakan tangan kanan mengambil sebuah benda yang mengkilap dari dalam saku bajunya, dan mengangkat benda itu tinggi-tinggi agar dapat terlihat oleh Kok Beng Lama.

Benda itu adalah sehelai kalung emas terukir indah dan mainannya merupakan sebuah ukir-ukiran arca Buddha kecil bermata indah terbuat dari mutiara biru!

Ketika Kok Beng Lama melihat benda ini, dia mengeluarkan seruan tertahan, mukanya berubah pucat dan mendadak dia menerjang ke depan dengan kedua lengan terpentang dan kedua tangannya membentuk cakar setan!

Go-bi Sin-kouw terkejut setengah mati. Cepat nenek ini menggerakkan tongkat bututnya, menyambut dengan tusukan dahsyat ke arah dada kakek pendeta berjubah merah itu.

"Plak! Plak!" Tangan kanan Kok Beng Lama sudah menangkap ujung tongkat, sedangkan tangan kirinya telah mencengkeram tangan kanan nenek yang menggenggam kalung itu.

"Katakan, dari mana kau mendapatkan benda ini?!" Bentak Kok Beng Lama.

Namun dengan senyum menyelimuti rasa nyeri yang membuat seluruh lengan kanannya seperti lumpuh oleh cengkeraman kakek pendeta itu, Go-bi Sin-kouw berkata lirih, "Kau bunuhlah, akan tetapi akulah satu-satunya orang yang akan dapat bercerita tentang Pek Cu Sian...!"

Ucapan ini membuat Kok Beng Lama mencelat mundur seolah-olah ditampar oleh benda keras.

"Pek... Cu... Sian... ? Di... di mana dia...?" Dia terbelalak memandang nenek itu dengan sinar mata penuh permohonan, tubuhnya gemetar karena hatinya tegang bukan main.

"Dia kudapati terluka parah, tubuhnya penuh luka-luka dan sebelum meninggal dunia, dia meninggalkan benda ini dan puterinya..."

"Ouhhh...!" Kok Beng Lama jatuh terduduk, mukanya pucat sekali dan matanya terpejam, alisnya berkerut, wajahnya kelihatan berduka sekali. Terbayang dalam ingatannya semua peristiwa yang terjadi belasan tahun, hampir dua puluh tahun yang lalu di Tibet!

Ketika itu, dia merupakan seorang di antara tokoh-tokoh golongan Lama Jubah Merah yang terdapat di Tibet. Golongan Lama Jubah Merah ini adalah segolongan pendeta yang menganut Agama Buddha yang sudah dicampur dengan Agama Hindu, maka di samping memuja pelajaran Buddha, juga mereka masih memuja para dewa Agama Hindu.

Golongan Lama Jubah Merah terutama sekali memuja Dewa Syiwa yang dipuja sebagai dewa pembasmi dan penghancur, karena itu sangat ditakuti dan sudah menjadi tradisi di golongan mereka untuk setiap tahun, yaitu pada hari ulang tahun dewa itu, mereka selalu menyerahkan beberapa macam korban, di antaranya korban seorang dara cantik yang masih perawan.

Golongan yang fanatik ini menanam banyak permusuhan dengan golongan lain, bahkan perbuatan mereka memaksa gadis menjadi korban tiap tahun mendatangkan permusuhan pula dengan banyak orang yang terdiri dari rakyat jelata. Namun karena golongan Lama Jubah Merah ini memiliki banyak tokoh yang berilmu tinggi sekali, tidak ada golongan lain yang berani berterang menentang mereka. Ada beberapa orang gagah, diantaranya ada yang datang dari Tiongkok, yang mencoba untuk menentang pengorbanan anak perawan tiap tahun, namun mereka ini seorang demi seorang dikalahkan dan ditewaskan oleh para tokoh Lama Jubah Merah.

Di antara para tokoh kang-ouw yang terbunuh dalam usaha ini adalah seorang pendekar bernama Pek Jwan Ki yang gagah perkasa. Setelah pendekar ini tewas, puterinya yang baru berusia delapan belas tahun, bernama Pek Cu Sian, menyerbu markas Lama Jubah Merah untuk membalas dendam. Akan tetapi, betapa pun lihainya dara ini, akhirnya dia dapat tertawan.

Kemudian, melihat bahwa dara itu sangat cantik dan masih perawan, dia lalu dipilih untuk menjadi calon korban, akan dipersembahkan kepada Dewa dalam pesta pemujaan tahun depan! Pemujaan itu dilakukan dengan cara membakar anak perawan itu dalam keadaan telanjang bulat, dengan demikian jiwa raganya akan diterima oleh Dewa pujaan mereka!

Pada waktu Pek Cu Sian yang cantik menjadi tawanan inilah terjadi peristiwa hebat yang menggegerkan Tibet, terutama di lingkungan kaum Lama Jubah Merah. Kok Beng Lama, seorang di antara para tokoh Lama Jubah Merah yang bertingkat dua, sebagai orang ke dua terlihai di antara mereka, seorang pendeta yang baru berusia kurang lebih empat puluh lima tahun, tampan serta gagah perkasa, tergila-gila dan jatuh cinta ketika melihat Pek Cu Sian! Maka, dengan kecerdikan dan kelihaiannya, secara diam-diam Kok Beng Lama menolong perawan itu, mengeluarkannya dari dalam tempat tahanan dan kemudian menyembunyikannya di dalam kamar rahasia.

Pek Cu Sian yang telah berada di ambang maut yang mengerikan itu, merasa berhutang budi dan timbul pula kagum dan sukanya kepada penolong yang gagah perkasa ini, biar pun penolong itu usianya sudah setengah tua dan pantas menjadi ayahnya. Apa bila dua orang insan, pria dan wanita sudah saling suka, maka terjadilah hal yang lumrah, yaitu keduanya saling mendekati dan karena Pek Cu Sian tidak memiliki orang lain yang dapat dipercaya, maka kepercayaannya tercurah kepada Kok Beng Lama.

Keduanya melakukan hubungan rahasia di dalam kamar itu, tempat di mana perawan itu disembunyikan. Semua berjalan rapi tanpa ada yang mengetahuinya, dan oleh para tokoh Lama Jubah Merah dara itu dianggap hilang atau berhasil melarikan diri.

Akan tetapi, sebetulnya Pek Cu Sian hidup sebagai suami isteri dengan Kok Beng Lama, bahkan setahun kemudian Pek Cu Sian melahirkan seorang anak perempuan di dalam kamar rahasianya itu. Wanita tua yang membantu berlangsungnya kelahiran ini, setelah tenaganya tidak dibutuhkan lagi, dibunuh oleh Kok Beng Lama agar rahasia mereka tidak membocor keluar!

Akan tetapi, betapa pun rapatnya mereka menyimpan rahasia, akhirnya hal ini terbuka juga. Anak perempuan itu mereka beri nama Pek Hong Ing, dan pada suatu hari, seorang pendeta Lama melihat anak berusia lima tahun itu keluar dari kamar rahasia sehingga terbukalah rahasia yang selama hampir enam tahun itu disimpan oleh Kok Beng Lama dan Pek Cu Sian!

Akibatnya, Kok Beng Lama ditangkap dan Pek Cu Sian melarikan diri bersama puterinya, dikejar-kejar oleh para Lama Jubah Merah. Selama enam tahun di dalam kamar rahasia, Pek Cu Sian sudah mempelajari ilmu silat tinggi dari kekasihnya, maka dia melakukan perlawanan gigih dan berhasil membunuh beberapa orang pendeta Lama Jubah Merah. Akan tetapi dia sendiri terluka parah dan meski pun akhirnya dia berhasil melarikan diri meninggalkan Tibet, ketika tiba di Go-bi-san, dia roboh dan tewas. Baiknya pada waktu peristiwa pengejaran itu terjadi, Kok Beng Lama tidak tahu karena dia sedang ‘diadili’, maka tidak terjadi hal yang lebih hebat lagi.

Oleh ketua golongan Lama Jubah Merah Kok Beng Lama dijatuhi hukuman sepuluh tahun lamanya. Selama sepuluh tahun di dalam kamar tahanan ini, dengan tekunnya Kok Beng Lama memperdalam ilmu kepandaiannya sehingga ketika hukumannya sudah habis, dia memiliki ilmu kepandaian yang sangat hebat. Bahkan dia telah mempunyai khikang yang luar biasa kuatnya, juga sinkang-nya membuat kedua tangannya kebal sehingga berani melawan senjata pusaka yang bagaimana pun juga ampuhnya!

Akan tetapi, ketika dia keluar dari hukuman dan mendengar bahwa kekasihnya bersama puterinya pergi melarikan diri, dia menjadi marah sekali. Didatanginya ketua golongan dan dimintanya pertanggungan jawabnya.

"Pinceng telah menerima dosa dan juga sudah menanggung semua kesalahan dengan menerima hukuman sepuluh tahun tanpa membantah. Mengapa Pek Cu Sian dan puteri kami yang tidak berdosa tetap dikejar-kejar? Tentu mereka telah kalian bunuh!" teriaknya marah.

Dengan kepandaiannya, dia menangkap seorang Lama dan menyiksanya sampai Lama itu mengaku betapa Pek Cu Sian serta puterinya melarikan diri dan dikejar, dikeroyok sampai luka-luka parah dan biar pun dapat melarikan diri, akan tetapi luka-luka yang amat hebat yang dideritanya tentu tidak akan dapat ditahannya.

Mendengar ini, Kok Beng Lama mengamuk sehingga ketua golongan Lama Jubah Merah tewas di tangannya! Masih banyak lagi Lama Jubah Merah yang tewas oleh Kok Beng Lama yang mengamuk itu, kemudian dia melarikan diri dari Tibet dengan maksud hendak mencari tahu perihal kekasih dan puterinya.

Kedukaan hatinya mendengar akan nasib kekasihnya membuat dia seperti telah gila, dan karena dia sudah lama mendengar nama-nama besar dari Sin-jiu Kiam-ong, Bun Hwat Tosu, Tiong Pek Hosiang, dan yang terdekat adalah Go-bi Thai-houw, maka di sepanjang jalan dia menantang empat orang ini. Dia percaya bahwa dengan tingkat kepandaiannya sekarang, dia akan mampu mengalahkan empat orang tokoh besar itu!

Demikianlah riwayat singkat dari Kok Beng Lama. Maka dapat dibayangkan betapa kaget hatinya ketika tanpa disangka-sangkanya, dia mendengar mengenai kekasihnya itu dari Go-bi Sin-kouw! Apa lagi ketika dia mendengar bahwa kekasihnya, Pek Cu Sian, seperti yang dikhawatirkannya selama ini, telah meninggal dunia akibat luka-lukanya, dia menjadi demikian berduka sampai hampir pingsan. Sampai lama dia duduk bersila, memejamkan kedua matanya dan ketika kedua matanya itu akhirnya dibukanya kembali, sinar matanya menjadi suram dan layu.

"Bagaimana matinya?" Ucapan apa yang menjadi pesan terakhirnya? Bagaimana dengan Puteri Pinceng?" Suara pendeta Lama yang biasanya gembira dan tenang itu sekarang terdengar parau dan tidak jelas.

"Kok Beng Lama! Pertama-tama yang disebut adalah namamu, maka begitu mendengar kau menyebutkan namamu di Pantai Pohai aku segera mengenalmu. Tetapi, sebelum aku melanjutkan ceritaku, kau harus berjanji lebih dulu bahwa selanjutnya engkau tidak akan memusuhi atau mengganggu lagi kepada Go-bi Sin-kouw."

Kakek itu dengan tidak sabar mengangguk-anggukkan kepalanya. "Baiklah, aku Kok Beng Lama berjanji tak akan mengganggu Go-bi Sin-kouw."

"Dan kau harus menyetujui kalau aku menggantikan kedudukan Kim Seng Siocia di sini dan memimpin semua wanita ini."

"Baik, baik. Memang sudah selayaknya, engkau yang telah menemukan Cu Sian."

Berseri wajah Go-bi Sin-kouw. Yang lain-lain dia tidak takut, apa lagi anak buah Kim Seng Siocia tentu akan tunduk kepadanya. Dia hanya jeri menghadapi pendeta Lama ini karena dia maklum bahwa pendeta ini hebat bukan main, sama sekali bukan tandingannya!

"Kalau begitu, sebagai majikan dari markas ini, sekarang aku mempersilakan kau masuk ke istanaku di mana kita dapat bicara dengan tenang, Kok Beng Lama."

Pendeta yang sudah ingin sekali mendengar cerita tentang kekasihnya dan puterinya itu, mengangguk dan mereka berdua lalu memasuki rumah besar yang megah bekas tempat tinggal Kim Seng Siocia setelah Go-bi Sin-kouw dengan suara lantang memerintahkan ‘anak buahnya’ untuk mengurus jenazah Kim Seng Siocia, Acui, Amoi dan empat orang gadis yang menjadi korban kelihaian Kok Beng Lama.

Setelah duduk berhadapan dan minum arak yang disuguhkan oleh anak buah yang kini memperoleh majikan baru itu, Go-bi Sin-kouw lantas bercerita, "Aku sedang melakukan perjalanan bersama muridku yang bemama Lauw Kim In ketika aku bertemu dengan Pek Cu Sian. Dia menggeletak tak berdaya, kehabisan darah yang keluar dari luka-lukanya, sedangkan seorang anak perempuan berusia lima tahun menangis di sampingnya. Aku berusaha mengobatinya, namun percuma karena dia telah kehabisan darah. Sebelum dia meninggal dunia, dia menyerahkan kalung ini dan mengatakan bahwa kalau aku bertemu dengan seorang bernama Kok Beng Lama, agar supaya aku menyerahkan benda ini dan anak perempuan yang bernama Pek Hong Ing."

Kok Beng Lama menciumi kalung itu dan dua titik air mata membasahi pipinya, kemudian dia bertanya penuh gairah, "Budi pertolonganmu amat besar, Go-bi Sin-kouw. Aku amat berterima kasih kepadamu. Dan di mana sekarang adanya anakku itu? Di mana puteriku Pek Hong Ing...?"

Go-bi Sin-kouw menarik napas panjang, "Itulah yang sedang menyusahkan hatiku. Anak itu kupelihara dan kudidik sampai menjadi dewasa, kemudian hendak kujodohkan dengan seorang pangeran. Dengar baik-baik! Dengan seorang pangeran putera dari Kaisar! Akan tetapi, dia malah melarikan diri, agaknya terbujuk oleh seorang pemuda berkepala gundul yang lihai! Engkau malah sudah bertemu dengan puterimu itu, Kok Beng Lama."

"Hehhh...?!" Mata yang lebar itu terbelalak makin lebar. "Di mana? Yang mana?"

"Ingatkah engkau ketika engkau muncul di Pantai Pohai? Ada seorang pemuda gundul dan seorang nikouw muda yang kami keroyok untuk kami tangkap, bahkan engkau telah membantu mereka melarikan diri."

"Yaaaa, dan mana puteriku?"

"Nikouw muda itulah!"

"Aihhh...!" Pendeta Lama itu mencelat ke atas dan matanya menjadi liar dan ganas sekali memandang kepada Go-bi Sin-kouw sehingga nenek ini menjadi terkejut, bersiap sedia dan dengan cepat dia berkata,

"Ingat, kau tidak akan memusuhi aku, Kok Beng Lama."

Kakek itu mengepal sepasang tinju tangannya yang besar, kemudian menghardik, "Go-bi Sin-kouw, kenapa kau memusuhi puteriku yang katanya menjadi muridmu?"

"Ahh, duduklah baik-baik dan dengarkan dulu dengan tenang," Go-bi Sin-kouw membujuk dan kakek itu duduk kembali dengan sikap kasar karena hatinya masih marah.

"Sudah kukatakan bahwa Pek Hong Ing, puterimu atau muridku itu, hendak kujodohkan dengan Pangeran Han Wi Ong yang mencintanya. Bukankah aku bermaksud baik dan mengangkat derajatnya setinggi mungkin? Bayangkan, engkau akan menjadi ayah mertua seorang pangeran, putera Kaisar! Akan tetapi apa yang terjadi kemudian? Hong Ing kena dibujuk oleh seorang pemuda, Si Gundul itu sehingga Hong Ing melarikan diri mencukur rambutnya seperti nikouw, bahkan kemudian dia bersama pemuda itu melawan kami dan tidak mau menyerah ketika hendak ditangkap. Maksudku hanya menangkap mereka dan menyerahkan kepada pengadilan, kemudian membujuk Hong Ing agar suka menjadi isteri pangeran. Sayang, sebelum mereka tertangkap, tiba-tiba engkau muncul dan membikin kacau, engkau malah membantu pemuda yang hendak mencelakakan puterimu itu."

"Brakkkk!"

Meja itu terbuat dari pada batu putih yang sangat keras, akan tetapi tidak kuat menahan kepalan tangan Kok Beng Lama, retak-retak dan nyaris hancur lebur!

“Siapa pemuda gundul itu?"

"Namanya Yap Kun Liong dan dia lihai sekali!"

"Tak peduli betapa lihainya, dia akan kuhancurkan kepalanya seperti meja ini!"

"Tapi kabarnya pemuda itu memiliki Ilmu Thi-khi I-beng, dan menurut kabar orang-orang kang-ouw, dia murid keponakan Pendekar Sakti Cia Keng Hong, dan dia pula yang tahu di mana adanya pusaka bokor emas milik Panglima The Hoo."

Berkerut alis Kok Beng Lama. "Apa itu Thi-khi I-beng?"

"Ahh, orang selihai engkau masih belum mengenal Thi-khi I-beng? Itulah ilmu yang amat dahsyat dan mukjijat, sinkang yang dapat menyedot tenaga dalam lawan, yang tadinya hanya dimiliki oleh Pendekar Sakti Cia Keng Hong!"

"Huh, siapa itu Cia Keng Hong?"

"Dialah murid tunggal orang yang kau cari-cari, Sin-jiu Kiam-ong."

"Bagus! Di mana dia?"

"Dia menjadi Ketua Cin-ling-pai di Gunung Cin-ling-san. Dan bokor emas milik Panglima The Hoo yang dijadikan rebutan oleh seluruh orang dunia kang-ouw, kabarnya juga hanya diketahui tempatnya oleh pemuda itu. Dan sekarang, puterimu dibawa olehnya, entah ke mana."

"Keparat! Akan kucari mereka semua!" Tiba-tiba kakek itu meloncat dan sekali berkelebat dia lenyap dari dalam gedung itu.

Go-bi Sin-kouw menahan napas saking kagumnya. Akan tetapi dia tidak mempedulikan lagi kepada pendeta Lama yang amat lihai itu, karena dia sudah sibuk mengatur tempat tinggalnya yang baru! Dia mengumpulkan semua anak buahnya yang empat puluh orang lebih jumlahnya, dan mulai saat itu, Go-bi Sin-kouw menjadi majikan tempat itu, tinggal di dalam gedung yang sangat mewah dan megah, dan diterima sebagai ketua oleh bekas anak buah Kim Seng Siocia.

Tentu saja dia merasa girang sekali. Biar pun dia kehilangan dua orang muridnya, akan tetapi sebagai gantinya dia memperoleh empat puluh orang murid lebih, dan memperoleh tempat tinggal yang amat indah. Hanya sedikit kecewa hatinya ketika mendengar bahwa bekas kekasih Kim Seng Siocia, pemuda asing bermata biru yang bernama Marcus, telah melarikan diri sambil membawa kitab-kitab pusaka peninggalan Go-bi Thai-houw berikut banyak harta berupa emas dan perak!

Akan tetapi, karena yang masih berada di sana jauh lebih banyak, maka nenek ini tidak ambil peduli. Lagi pula, dia tidak menginginkan kitab pusaka karena merasa bahwa ilmu kepandaiannya tidak kalah oleh Kim Seng Siocia…..

********************
Berita Duka🙏

Halo, Enghiong semua. Saya mohon maaf mengganggu kesenangan membaca cersil anda. Saya ingin berbagi kabar tentang salah satu pengelola Cerita Silat Indomandarin yang sedang dirawat di rumah sakit karena mengidap Leukimia Stadium 2.

Beliau membutuhkan biaya pengobatan yang tidak sedikit, maka dari itu saya berinisiatif untuk melakukan open donasi untuk meringankan biaya pengobatan beliau. Donasi dapat dikirim ke norek berikut: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan) ataupun bisa melalui via Trakteer yang ada dibawah

Setiap sumbangan Anda akan sangat berarti bagi beliau dan keluarganya. Terima kasih atas perhatian dan kepeduliannya🙏

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar