Petualang Asmara Jilid 44

Dara itu telah lenyap dan menyelinap di antara pasukan sehingga terjadilah kekacauan di antara pasukan yang berusaha menangkap dara itu. Namun bagi Hong Ing, mereka itu adalah makanan lunak sehingga dia dapat bergerak leluasa melompat ke sana-sini dan keributan yang terjadi di sekelilingnya membuat gurunya dan juga Kim Seng Siocia tidak mungkin menghampirinya, apa lagi karena kedua orang wanita yang lihai itu sedang sibuk mengeroyok Kun Liong yang terlalu gesit bagi mereka.

Pangeran Han Wi Ong yang khawatir kehilangan calon isterinya yang dicintainya, cepat lari dan mengejar Hong Ing sambil mengerahkan para pengawalnya dan berkali-kali dia berteriak agar anak buahnya jangan melukai dara itu. Sementara itu, anak buah Kim Seng Siocia yang dipimpin oleh Acui dan Amoi, juga Marcus, sudah mengurung tempat itu dan melihat betapa Kim Seng Siocia sudah bertanding melawan Kun Liong, tanpa diperintah lagi mereka sudah maju, terutama sekali Acui dan Amoi yang merupakan bantuan amat berharga bagi Kim Seng Siocia.

Kun Liong merasa sibuk bukan main. Menghadapi cambuk Kim Seng Siocia dan Go-bi Sin-kouw saja dia telah merasa terancam, apa lagi kini muncul pula Acui dan Amoi, sedangkan puluhan orang wanita anak buah Kim Seng Siocia sudah mengepung dengan senjata di tangan.

Jika saja Kun Liong tidak berpendirian bahwa dia tidak akan melukai apa lagi membunuh orang, kiranya dia akan dapat lolos dengan mudah sambil merobohkan beberapa orang di antara pengeroyok-pengeroyoknya. Namun karena dia hanya membela diri dan berusaha menyelamatkan diri, maka dia menjadi repot sekali dan beberapa kali dia sudah terkena gebukan tongkat Go-bi Sin-kouw yang membuat nenek itu berteriak kaget dan terbelalak lebar karena setiap gebukannya tidak membuat pemuda gundul itu roboh, bahkan telapak tangannya sendiri terasa nyeri!

Kadang-kadang Kun Liong menoleh ke arah Hong Ing yang tadi kelihatan menyelinap di antara pasukan pemerintah. Ketika melihat betapa di situ masih kacau tanda bahwa Hong Ing masih berada di antara pasukan pemerintah dan dikeroyok oleh pasukan, Kun Liong menjadi semakin khawatir.

Mengapa dara itu tidak lekas-lekas melarikan diri? Dia tidak mempedulikan keadaannya sendiri karena dengan mudah dia akan dapat membebaskan diri, akan tetapi dia sangat khawatir kalau-kalau Hong Ing tertawan lagi karena dia akan sukar menyelamatkannya, mengingat betapa banyaknya lawan yang dihadapinya.

Karena itu dia lalu mengambil keputusan untuk mengeluarkan kepandaian dan membuat lawan tidak berdaya lebih dahulu agar dia dapat melarikan Hong Ing. Ketika cambuk yang sangat berbahaya dari Kim Seng Siocia menyambar lagi, disusul oleh hantaman tongkat Go-bi Sin-kouw serta serangan kilat dengan pedang yang dilakukan oleh Acui dan Amoi, Kun Liong cepat menendang tongkat nenek itu dengan pengerahan tenaganya sesudah berhasil mengelak dari sambaran cambuk, memukul jatuh pedang di tangan Acui dan menangkap pergelangan tangan Amoi yang memegang pedang.

Karena itu dia lalu mengambil keputusan untuk mengeluarkan kepandaian dan membuat lawan tidak berdaya lebih dahulu agar dia dapat melarikan Hong Ing. Ketika cambuk yang sangat berbahaya dari Kim Seng Siocia menyambar lagi, disusul oleh hantaman tongkat Go-bi Sin-kouw serta serangan kilat dengan pedang yang dilakukan oleh Acui dan Amoi, mula-mula Kun Liong miringkan tubuhnya dan sesudah berhasil mengelak dari sambaran cambuk, ia cepat menendang tongkat nenek itu dengan pengerahan tenaganya kemudian memukul jatuh pedang di tangan Acui dan menangkap pergelangan tangan Amoi yang memegang pedang.

"Lepaskan!" Amoi membentak sambil menghantamkan tangan kirinya ke arah leher Kun Liong.

"Plakk! Plakk!”

“Aihhh, lepaskan aku...!" Amoi langsung menjerit-jerit ketika telapak tangan kirinya yang tepat menghantam leher itu melekat tak dapat ditarik kembali, bahkan kini lengan kiri Kun Liong dengan ketat sudah merangkul pinggangnya yang ramping, dan gadis itu merasa betapa tenaga sinkang-nya menerobos keluar dihisap oleh tenaga mukjijat yang keluar dari leher dan lengan pemuda itu.

Melihat keadaan Amoi, Acui cepat maju dan memukul punggung Kun Liong.

"Bukk!”

“Aihhhhh...!" Juga Acui menjerit-jerit dan meronta-ronta untuk membebaskan tangannya yang menempel di punggung Kun Liong. Akan tetapi, karena dia sudah menjadi korban penghisapan Thi-khi I-beng, semakin hebat dia meronta, semakin kuat dia mengerahkan sinkang, makin kuat pula telapak tangannya melekat dan makin banyak pula sinkang-nya terbetot dan terhisap.

Dua orang gadis itu menjerit-jerit dan mereka berdua meronta-ronta, berusaha memukul, menendang, bahkan menggigiti. Kun Liong merasa kegelian juga sehingga beberapa kali dia melepaskan sinkang-nya dan akhirnya dua orang gadis itu kelihatan seperti sedang membelainya, yang seorang merangkul lehernya dari belakang dan yang ke dua memeluk pinggang dari depan.

Melihat ini, Go-bi Sin-kouw lalu maju dan memegang lengan Amoi, menariknya dengan pengerahan sinkang untuk membantu gadis itu terlepas. Sungguh pun dia tidak mengenal Amoi dan tidak peduli akan apa yang menimpa diri gadis ini, akan tetapi dia tahu bahwa kedua orang gadis itu adalah anak buah Kim Seng Siocia dan yang telah membantunya menghadapi pemuda gundul lihai itu, maka dianggapnya sebagai kawan juga, maka dia mencoba untuk menolongnya agar pihaknya kuat lagi.

Akan tetapi dia pun langsung terpekik penuh kekagetan ketika merasa betapa tangannya yang memegang lengan Amoi itu melekat dan ada daya sedot luar biasa yang menghisap tenaga sinkang-nya melalui lengan gadis yang dipegangnya itu! Dia berteriak nyaring dan mengerahkan sinkang-nya membetot, akan tetapi dapat dibayangkan betapa heran serta kagetnya ketika sinkang yang dikerahkannya itu seolah-olah membanjir memasuki lengan Amoi yang dipegangnya!

Thi-khi I-beng memang hebat bukan main. Sekali dikerahkan, daya sedotnya sedemikian kuatnya sehingga dapat menembus tubuh orang lain seolah-olah merupakan aliran listrik! Maka terjadilah hal yang amat lucu.

Betot-membetot ini tidak hanya terjadi antara tiga orang itu, melainkan makin bertambah ketika anak buah Kim Seng Siocia turut pula mengeroyok Kun Liong untuk membantu dua orang pelayan kepala yang melekat pada pemuda gundul itu. Namun, setiap orang gadis sekali bergerak memegang tubuh Acui, Amoi, Go-bi Sin-kouw atau pun tubuh Kun Liong sendiri, kontan melekat dan terhisap sinkang-nya!

Hal ini malah membuat Kun Liong menjadi payah! Terlalu banyak tenaga sinkang yang membanjiri tubuhnya. Sungguh pun dia sudah dapat menguasai Thi-khi I-beng dan dapat menghentikan daya hisap itu sewaktu-waktu yang dikehendakinya, akan tetapi karena dia masih belum banyak pengalaman dalam menguasai ilmu mukjijat ini, sekarang kebanjiran tenaga membuat dia seperti mabok, merasa tubuhnya seperti sebuah balon karet yang terus ditiup sampai sebesar-besarnya, merasa seolah-olah tubuhnya akan pecah meledak setiap saat. Pemuda itu pun hanya dapat mengeluh,

"Lepaskan aku..., lepaskan aku... jangan pegang...!"

Kemudian dia pun roboh telentang dengan tujuh orang wanita yang melekat kepadanya itu turut pula terbawa, roboh menindih tubuhnya! Memang lucu pemandangan ini, seakan tujuh orang wanita, yang seorang nenek-nenek, sedang mengeroyok dan menggulat Kun Liong!

Kim Seng Siocia sudah mengerti apa yang terjadi. "Celaka, kalian menjadi korban Thi-khi I-beng!" teriaknya, lantas dia memutar-mutar cambuknya tetapi tidak berani sembarangan menggunakannya karena tubuh Kun Liong seolah-olah terlindung oleh tubuh tujuh orang itu.

Lebih sulit lagi, kini Acui dan Amoi yang merasa betapa hawa sinkang mereka tersedot oleh Kun Liong dan betapa tubuh mereka menindih, tiba-tiba merasakan kemesraan aneh seolah-olah mereka akan dibawa mati bersama-sama pemuda itu dan keduanya kini tidak mengeluh lagi, melainkan merintih perlahan kemudian menciumi muka pemuda gundul itu dengan mesra!

Hal ini membuat Kun Liong semakin gelagapan lagi, maka dia lalu mengerahkan seluruh tenaga dari pusarnya, mencurahkan seluruh perhatiannya untuk menarik kembali tenaga hisap. Hal ini amat sukar dilakukan karena tubuhnya seperti membengkak, membuat dia sulit bergerak. Namun akhirnya dia berhasil. Dia tidak ingin membunuh tujuh orang wanita itu dan dia maklum bahwa kalau dia tidak cepat-cepat dapat menarik kembali daya hisap dari Thi-khi I-beng, tentu mereka akan mati dalam keadaan lemas kehabisan tenaga.

"Aughhh...!" Berturut-turut tujuh orang wanita itu mengeluh ketika tiba-tiba daya hisap itu lenyap dan mereka dapat melepaskan diri dari pemuda itu.

Go-bi Sin-kouw cepat meloncat ke belakang dan terhuyung-huyung, mukanya pucat dan tangannya yang memegang tongkat menggigil, sepasang matanya memandang terbelalak penuh kengerian kepada Kun Liong dan bibirnya yang kebiruan itu lalu berkata perlahan, "Thi-khi I-beng...!"

"Tar-tarr-tarrr...!"

Kini ujung cambuk di tangan Kim Seng Siocia meledak-ledak di atas kepala Kun Liong. Pemuda ini terkejut sekali dan menggulingkan tubuhnya ke kanan kiri untuk menghindar dari sambaran ujung cambuk itu.

"Hi-hi-hik-hik! Aku tahu bahwa engkau telah menggunakan Thi-khi I-beng semalam, akan tetapi aku sudah siap untuk melawan ilmu itu! Cambukku inilah yang akan melumpuhkan Ilmu Thi-khi I-beng dan akan mencabut nyawamu!"

Kun Liong merasa betapa tubuhnya digigit ujung cambuk yang dipasangi piauw tajam meruncing itu. Dia tahu pula bahwa ujung piauw itu beracun, akan tetapi untuk ini dia tidak khawatir karena tubuhnya sudah kebal akan racun. Akan tetapi rasa nyeri membuat dia harus melanjutkan satu-satunya jalan untuk membela diri, yaitu bergulingan di atas tanah. Gerakannya gesit sekali akan tetapi celakanya tubuh yang penuh hawa sinkang kelebihan itu sangat sukar dikendalikan sehingga gerakannya bergulingan menjadi kacau, kadang-kadang terlampau cepat sampai dia menjadi pening sendiri!

"Tahan senjata! Bebaskan dia, kalau tidak, aku akan membunuh pangeran ini!"

Kim Seng Siocia menengok, demikian pula Go-bi Sin-kouw dan yang lain-lain. Ternyata yang berseru itu adalah Pek Hong Ing. Dara ini sudah merampas sebatang pedang lawan dan kini dia tengah menempelkan pedangnya di leher Pangeran Han Wi Ong, sedangkan tangan kirinya mencengkeram tengkuk pangeran itu.

Wajah Pangeran Han Wi Ong menjadi pucat sekali dan dia berkata dengan suara parau, "Lepaskan dia... lepaskan...!"

Kim Seng Siocia memandang ragu. Bagaimana dia dapat melepaskan Kun Liong yang amat dibutuhkannya itu hanya untuk menolong pangeran itu? Kembali cambuknya sudah meledak-ledak lagi, namun Go-bi Sin-kouw dan para pasukan pemerintah sudah bergerak maju menghadangnya dengan sikap bermusuh!

"Kim Seng Siocia, yang terpenting adalah keselamatan Pangeran!" bentak Go-bi Sin-kouw garang.

Walau pun nenek ini masih belum pulih, tubuhnya terasa lemah kepalanya pening karena terlampau banyak sinkang-nya terhisap oleh Kun Liong, namun dia siap untuk menyerang wanita gemuk itu demi keselamatan pangeran yang amat dia harapkan bisa mengangkat tinggi derajatnya itu.

Selagi Kim Seng Siocia meragu, tiba-tiba tubuh Kun Liong yang rebah di atas tanah itu tampak mencelat tinggi sekali ke atas, seperti sebatang anak panah hingga pemuda itu sendiri berseru kaget. Betapa dia tidak akan kaget karena ketika melihat kesempatan baik ini, dia bermaksud mencelat ke tempat Hong Ing menawan Sang Pangeran, akan tetapi dia lupa bahwa tubuhnya berada dalam keadaan yang tidak sewajarnya, maka begitu dia mengerahkan tenaganya meloncat, tubuhnya itu bukannya melayang ke arah Hong Ing, melainkan mencelat ke atas seperti dilontarkan. Maka dia memekik kaget.

Akan tetapi tentu saja mereka yang menonton dari bawah, termasuk Kim Seng Siocia, tidak tahu bahwa teriakannya itu karena kaget. Mereka semua memandang dengan mata terbelalak penuh kagum dan gentar karena selama hidup mereka belum pernah mereka menyaksikan ada orang dapat meloncat seperti itu!

Kun Liong dapat menguasai tubuhnya, tidak sampai melayang turun seperti sebuah batu, melainkan dapat mengatur keseimbangan tubuhnya dan membiarkan tubuhnya melayang turun ke dekat Hong Ing.

Dara ini memandang padanya dengan mata bersinar penuh kekaguman pula. Tadi Hong Ing telah menyaksikan semuanya dan dia merasa seperti dalam mimpi. Sama sekali tidak pernah diduganya bahwa pemuda gundul itu ternyata memiliki ilmu kepandaian sehebat itu! Bukan saja lebih lihai dari gurunya sendiri, juga lebih lihai dari Kim Seng Siocia dan bahkan dia merasa yakin bahwa kalau pemuda itu menghendaki, biar pun dikeroyok oleh semua orang itu, dia tidak akan kalah!

"Hong Ing, terima kasih atas pertolonganmu."

Hong Ing merasa jantungnya seperti ditusuk. Bukan main pemuda ini! Sudah jelas bahwa pemuda ini yang berusaha menolongnya mati-matian, sekarang hanya untuk bantuannya menawan Pangeran Han Wi Ong, bantuan yang tidak banyak artinya ini, Kun Liong serta merta menghaturkan terima kasih!

"Sekarang bagaimana, Kun Liong?" Dia bertanya sambil tetap menempelkan pedang di leher Pangeran Liong, tentu saja dia tidak berani lagi memimpin dan kini membiarkan Kun Liong yang mengambil keputusan.

"Mari kita lari dari tempat ini."

"Tapi... kita harus membawa pangeran ini sebagai sandera..."

"Jangan, Hong Ing. Kasihan sekali dia. Sudah luput mendapatkan dirimu, masih dijadikan sandera lagi. Sekarang pun kita telah terlalu banyak membuat dosa terhadap pemerintah. Marilah!" Dia menggandeng tangan Hong Ing, kemudian meloncat dan dara itu menjerit penuh kengerian.

Siapa yang tidak merasa ngeri kalau melihat betapa tubuhnya tiba-tiba mencelat ke atas seperti diterbangkan seekor burung saja? Kun Liong sendiri terkejut. Dia lupa lagi! Akan tetapi dia tidak menjadi gugup, sambil memeluk pinggang Hong Ing dia segera mengatur tubuhnya sehingga mereka dapat meluncur turun jauh dari sana, lalu keduanya melarikan diri secepatnya.

Suara derap kaki banyak orang di belakang membuat mereka mengerti bahwa mereka berdua dikejar! Maka keduanya terus berlari. Kun Liong mengerahkan ginkang-nya dan karena Hong Ing kalah jauh, maka dara yang sudah mengerahkan ginkang-nya ini masih saja terseret hingga seolah-olah kedua kakinya tidak menyentuh bumi karena dia seperti bergantungan pada lengan Kun Liong.

Beberapa hari kemudian Kun Liong dan Hong Ing tiba di luar tembok kota Guan-tin, tidak jauh dari kota raja, di sebelah barat kota raja. Mereka telah melarikan diri selama hampir dua pekan dan merasa lega bahwa mereka sudah berhasil meninggalkan para pengejar mereka.

Memang mereka telah berhasil menghindarkan diri dari kejaran para anak buah Kim Seng Siocia dan pasukan pengawal Pangeran Han Wi Ong. Pengejaran pasukan itu mengalami kelambatan karena adanya kerja sama dengan anak buah dari Go-bi-san yang sebagian besar terdiri dari wanita-wanita muda yang cantik-cantik dan genit itu. Tidak dapat dicegah pula terjadinya permainan di antara mereka, yaitu antara para gadis anak buah Kim Seng Siocia dan para anggota pasukan pengawal pangeran!

Melihat kejadian ini, baik Kim Seng Siocia mau pun Pangeran Han Wi Ong tidak dapat mencegah dan membiarkannya saja, bahkan peristiwa itu menambah erat perhubungan di antara mereka. Pangeran Han Wi Ong menghendaki bantuan wanita gemuk yang lihai ini dan sebaliknya, Kim Seng Siocia tentu saja merasa senang sekali dapat bekerja sama dengan seorang pangeran yang mempunyai kedudukan tinggi di istana kaisar.

Akan tetapi Pangeran Han Wi Ong tentu saja tidak menghentikan usahanya melakukan pengejaran. Biar pun dia sendiri tidak melakukan pengejaran, akan tetapi dia tidak pernah dapat melupakan Hong Ing dan karenanya, selain minta kepada Go-bi Sin-kouw dan Kim Seng Siocia untuk terus mengejar, juga dia telah mengirim utusan-utusan berkuda ke kota raja dan di sepanjang jalan para utusan itu menyebarkan berita bahwa dua orang yang bernama Yap Kun Liong dan Pek Hong Ing menjadi orang buruan pemerintah! Bahkan pangeran yang pandai melukis ini telah melukiskan wajah kedua orang itu, dan tentu saja baik Kun Liong mau pun Hong Ing dilukis sebagai seorang pemuda dan seorang gadis yang gundul kepalanya.

Kun Liong dan Hong Ing berjalan perlahan-lahan menuruni lereng pegunungan terakhir dari mana sudah tampak kota Guan-tin. Tiba-tiba mereka mendengar derap kuda, maka keduanya cepat menyelinap dan bersembunyi. Serombongan tentara berkuda melewat cepat dan setelah rombongan tujuh orang itu pergi jauh menuju ke kota Guan-tin, barulah mereka keluar dari balik semak-semak.

"Ahh, betapa tidak enaknya hidup dikejar-kejar seperti ini..." Hong Ing mengeluh. "Seperti binatang buruan saja, atau... aku merasa seperti menjadi seorang penjahat besar yang takut melihat alat pemerintah!"

"Kita harus bersikap hati-hati. Belum tentu mereka itu mengejar kita. Sabarlah, Hong Ing. Sesudah kita masuk kota di depan itu, kalau di sana terdapat sebuah kuil Kwan-im-bio, engkau tentu akan memperoleh tempat yang aman dan tenteram."

Keduanya berjalan kembali dan sampai lama tak mengeluarkan suara. Kata-kata terakhir yang keluar dari mulut Kun Liong itulah yang membuat mereka berdua diam dengan alis berkerut dan wajah keruh tanpa mereka sendiri sadari. Akhirnya Kun Liong menarik napas panjang seolah-olah menghibur diri sendiri dan terdengar dia berkata dengan suara datar,

"Engkau memang sangat memerlukan tempat yang tenang di mana engkau dapat hidup tanpa gangguan lagi. Subo-mu juga pangeran itu, tentu tidak akan tinggal diam dan akan terus mencarimu. Memang tidak enak hidup menjadi orang yang dikejar-kejar."

"Dan engkau...?" Hong Ing bertanya, menghentikan langkahnya dan memandang pemuda itu.

Kun Liong juga menghentikan langkahnya, menoleh. Mereka saling berpandangan.

"Aku? Aku kenapa?"

"Engkau akan menjadi orang buruan, akan dikejar terus."

Kun Liong tersenyum. "Jangan khawatir, Hong Ing. Pangeran itu tidak membutuhkan aku, sedangkan kalau Kim Seng Siocia mengejarku, hemm... lain kali tentu aku akan memberi pengajaran kepadanya agar tidak melanjutkan cara hidupnya yang busuk itu."

"Kun Liong, berkali-kali engkau mengalami kesengsaraan dan terancam bahaya karena aku..."

"Ah, jangan berkata demikian. Dalam keadaan seperti kita sekarang ini, kita berdua sama saja, entah aku yang menyeretmu ataukah engkau yang menyeretku. Betapa pun juga, kita berdua masih dapat mengatasinya dan masih selamat sampai saat ini. Marilah kita melanjutkan perjalanan kita. Mudah-mudahan sampai di kota depan itu saja."

Dan tiba-tiba wajah Kun Liong menjadi muram lagi. Kini dia merasa heran sekali dan dia tiba-tiba sadar bahwa dia sama sekali tidak menghendaki perjalanan bersama Hong Ing ini berakhir! Dia menginginkan agar mereka berdua terus melakukan perjalanan bersama.

Biar pun menjadi orang-orang buronan, atau orang buruan, betapa pun sengsaranya, bila mereka berdua berdampingan, agaknya dia tidak akan merasa sengsara! Membayangkan betapa dia akan berpisah, meninggalkan Hong Ing di dalam kuil Kwan-im-bio kemudian dia harus melanjutkan perjalanan seorang diri, benar-benar sangat memberatkan hatinya. Ada apakah dengan perasaan hatinya?

Dia mengerling ke kiri dan melihat betapa wajah yang cantik itu pun muram seperti orang bersusah hati. Tentu saja, pikirnya. Betapa tidak akan susah hati dara yang dikejar-kejar oleh gurunya sendiri ini?

Bagi Hong Ing, hidupnya sudah tidak ada harapan lagi. Tadinya hanya ada dua orang yang penting baginya, yaitu suci-nya dan subo-nya. Kini subo-nya seperti memusuhinya, dan suci-nya sudah pergi jauh entah ke mana. Tentu saja Hong Ing bersusah hati, dan kesusahan hati dara itu sama sekali berbeda dengan kesusahan hatinya. Bedanya jauh sekali. Tentu saja Hong Ing tidak pernah menyusahkan perpisahan mereka ini. Kun Liong memaki diri sendiri.

Seorang dara seperti Hong Ing, cantik jelita tanpa cacat, seorang dara yang menolak pinangan seorang pangeran yang tampan dan gagah serta berkedudukan tinggi seperti Pangeran Han Wi Ong, seorang dara berwatak bersih seperti Hong Ing yang rela menjadi seorang nikouw dari pada dipaksa menjadi isteri pangeran, sungguh tidak mungkin sama sekali ingin berdampingan dengan orang semacam dia! Seorang pemuda yang menderita penyakit kepala gundul, bodoh, begitu miskin hingga sehelai rambut pun tak punya, tidak mempunyai harapan untuk masa depan, siapa sudi kepadanya?

"Tolol!" Kun Liong memaki diri sendiri. Kenapa dia menjadi makin berduka mengenangkan semua ini? Biasanya dia tidak begini. Biasanya dia tidak pernah menyusahkan sesuatu, tidak pernah memikirkan kemiskinan dan kebodohannya.

Untung mereka telah tiba di kota Guan-tin. Keramaian kota menghibur dan membuat Kun Liong lupa akan kedukaannya.

"Mari kita mencari warung nasi dulu, perutku lapar sekali dan aku masih mempunyai bekal uang," kata Kun Liong. "Setelah makan, barulah kita mencari Kuil Kwan-im-bio. Kota ini cukup ramai, kurasa tentu ada Kwan-im-bio di sini."

Hong Ing hanya mengangguk dan mereka mencari-cari sebuah warung nasi. Dari jauh sudah kelihatan sebuah warung nasi yang cukup ramai dan ke sanalah mereka menuju. Akan tetapi tiba-tiba Hong Ing menuding ke kiri. Kun Liong menoleh dan tertarik melihat sekelompok orang berkumpul di situ memandangi sesuatu yang ditempelkan di dinding.

"Apakah itu? Mari kita menengok sebentar," Kun Liong berkata.

Keduanya lalu menghampiri dan begitu melihat, mereka menjadi terkejut sekali. Kiranya yang menempel di atas dinding adalah gambar mereka berdua! Di atas gambar itu tertulis nama mereka yang disebut sebagai orang pelarian dan penjahat besar!

"Heiii, inilah mereka...!" Tiba-tiba seorang di antara mereka yang memandangi gambar itu berteriak.

Kun Liong mendongkol bukan main. Orang itu bermata juling. Mengapa justru orang yang matanya juling malah yang pertama-tama mempergoki mereka? Karena maklum bahwa tentu akan segera terjadi keributan dan mereka tentu akan dikeroyok, Kun Liong cepat memegang tangan Hong Ing lantas ditariknya dara itu untuk melarikan diri meninggalkan kota Guan-tin.

"Kejar...!"

"Tangkap...!"

Orang-orang yang mengharapkan hadiah dari pembesar setempat itu segera melakukan pengejaran, namun tentu saja tidak ada yang mampu menyusul larinya kedua orang yang memiliki kepandaian tinggi itu. Setelah jauh meninggalkan kota itu dan tidak ada lagi yang mengejar, barulah Kun Liong dan Hong Ing berhenti di tepi jalan yang sunyi.

"Pangeran itu betul-betul gila," Kun Liong bersungut-sungut. "Kiranya rombongan tentara berkuda itu adalah utusannya untuk menyebarkan gambar kita. Dengan begini kita secara resmi telah menjadi pemberontak dan orang buruan pemerintah. Amat berbahaya bila kita memasuki kota-kota besar, terutama kota raja!"

"Habis bagaimana kita dapat mencari sebuah kuil Kwan-im-bio?" Hong Ing bertanya.

"Tak mungkin mencari di kota. Andai kata bisa mendapatkan di kota, kiranya ketua kuil tidak akan berani menerimamu, Hong Ing. Tidak ada jalan lain, kita harus mencari sebuah kuil yang berada jauh dari kota ramai. Akan tetapi di mana ada kuil seperti itu, aku sendiri tidak tahu. Biarlah kita mencari perlahan-lahan, akhirnya kita tentu akan mendapatkannya juga."

Hong Ing menarik napas panjang. "Sudahlah, Kun Liong. Mengapa kau harus repot-repot karena aku? Kau lanjutkanlah perjalananmu, biar aku sendiri yang akan mencari kuil..."

"Hemmm, ke mana kau hendak mencari? Di mana-mana tertempel gambarmu..."

"Dan juga gambarmu. Karena itu, sebaiknya kalau kau meninggalkan aku sehingga andai kata tertangkap, hanya aku yang tertangkap, akan tetapi engkau tidak."

"Hong Ing, kau kira aku orang macam apa?"

"Engkau adalah seorang yang berilmu tinggi, Kun Liong. Maafkan aku, baru sekarang aku mengetahui. Sungguh aku bodoh sekali. Kiranya engkau amat lihai, bahkan memiliki Ilmu Thi-khi I-beng!"

"Bukan begitu maksudku. Kau kira aku orang yang begitu pengecut untuk meninggalkan engkau begitu saja? Tidak, sebelum engkau mendapatkan tempat yang baik, sebelum aku yakin benar bahwa engkau telah aman, aku tidak akan meninggalkan kau."

Hong Ing menunduk. "Sudah terlampau banyak aku menyusahkanmu, Kun Liong. Engkau membikin aku tidak enak hati saja. Sudah cukup aku berhutang budi kepadamu, biarlah aku mencari sendiri kuil Kwan-im-bio."

Kun Liong memandang dengan sinar mata tajam, akan tetapi gadis itu tetap menunduk. "Hong Ing, ingin benarkah kau kutinggalkan? Apakah aku sudah terlampau memuakkan hatimu?"

Hong Ing mengangkat mukanya, muka yang berubah pucat dan kepalanya digelengkan cepat-cepat. "Bukan begitu, Kun Liong..."

"Kalau tidak begitu, sudahlah. Hal itu tak perlu kita persoalkan lagi. Mari kita melanjutkan perjalanan. Kita harus berhati-hati, tidak boleh melalui jalan besar, tidak boleh memasuki kota dan terutama sekali jangan mendekati kota raja."

"Habis, ke mana kita harus pergi?"

"Ketika aku membantu Cia Keng Hong Supek..."

"Aihh, jadi pendekar sakti itu adalah supek-mu? Kau tak pernah menceritakan riwayatmu kepadaku. Pantas saja engkau lihai bukan main. Aku seperti buta..."

"Hushhh, jangan terlalu memuji. Biar lain kali aku menceritakan riwayatku yang tidak lebih baik dari pada riwayatmu, Hong Ing. Ketika aku membantu Supek menyelidiki tentang bokor pusaka yang diperebutkan, aku lewat pantai Teluk Pohai dan di tempat sunyi itu, dalam sebuah hutan, aku melihat sebuah kuil tua Kwan-im-bio. Marilah kita pergi ke sana, Hong Ing."

Akan tetapi wajah nikouw muda itu tidak membayangkan kegembiraan hati mendengar ini, bahkan dia hanya berkata lesu. "Terserah kepadamu, Kun Liong. Marilah!"

Maka berangkatlah kedua orang muda itu melanjutkan perjalanan menuju ke pantai Teluk Pohai. Mereka memilih jalan yang sunyi, bahkan kadang-kadang terpaksa bersembunyi di siang hari kalau melalui jalan yang ramai dan melanjutkan perjalanan pada waktu malam. Perjalanan itu menjadi lama dan sukar sekali namun anehnya bagi kedua orang muda itu, keanehan yang tidak terasa lagi oleh mereka bahwa perjalanan yang jauh, lama, sukar, dan berbahaya itu sama sekali tidak terasa berat oleh mereka!

Ada pula keanehan pada sikap Kun Liong dan hal ini pun sama sekali tidak dirasakan dan diketahui oleh pemuda itu sendiri, yaitu bahwa terhadap Hong Ing dia sama sekali tidak pernah memperlihatkan sikapnya seperti yang sudah-sudah apa bila sedang menghadapi wanita. Dia tidak pernah menggoda! Bahkan sebaliknya, dia selalu bersikap sopan dan bersungguh-sungguh…..

********************

Dengan wajah berseri-seri Giok Keng berlari memasuki hutan itu. Hatinya riang gembira walau pun kadang-kadang alisnya berkerut kalau dia teringat akan ayahnya. Kun Liong dengan suka rela telah membatalkan ikatan jodoh itu! Betapa baiknya pemuda gundul itu! Dan betapa tampan dan gagahnya Liong Bu Kong!

Dia harus cepat pulang dan harus berterus terang. Jantungnya berdebar penuh rasa takut kalau dia membayangkan bagaimana ayahnya tentu akan marah sekali. Tidak, dia tidak akan berbicara kepada ayahnya. Dia akan memberi tahu kepada ibunya bahwa dia tidak mencinta Kun Liong dan bahwa dia hanya mau menikah dengan pemuda yang menjadi pilihan hatinya, yaitu Liong Bu Kong!

Jantungnya berdebar penuh kemesraan membayangkan wajah pemuda itu yang tampan dan gagah, pemuda yang tidak mentah seperti Kun Liong, melainkan seorang pria yang bersikap jantan, yang jelas menunjukkan cintanya dengan membiarkan dirinya diserang, menghadapi kematian di tangannya dengan senyum di bibir.

Namun, ayah dan ibunya tentu akan menolak pemuda itu. Putera Kwi-eng Niocu, datuk golongan hitam! Giok Keng menahan langkah kakinya dan mengerutkan alisnya. Tidak, biar pun ibunya jahat, belum tentu puteranya jahat. Buktinya, Liong Bu Kong amat baik!

"Nona Cia, tunggu..."

Giok Keng cepat menoleh dan jantungnya berdenyut keras. Tentu saja dia segera dapat mengenal bentuk tubuh tinggi tegap itu. Orang yang selama ini dibayangkannya. Liong Bu Kong! Pemuda itu dengan berlari cepat seperti terbang menghampiri dan segera menjura di depan Giok Keng.

"Aihh, susah payah aku mencarimu, Nona, mengapa kau meninggalkan aku sebelum kita bicara?"

Giok Keng memandang wajah yang kusut itu, dan memandang pundak yang terluka itu. Sapu tangannya masih membalut pundak itu.

"Kau... bagaimana lukamu...?" tanyanya dengan suara gemetar.

Bu Kong melirik ke arah pundaknya. "Ah, urusan kecil. Aku sudah lupa sama sekali akan pundakku sungguh pun sapu tangan itu selalu menjadi pelipur laraku. Aku lupa makan, lupa tidur dan lupa segala, Nona, bingung mengejar dan mencari-carimu. Sungguh aku berterima kasih kepada Thian bahwa aku sudah dituntun memasuki hutan ini dan dapat berjumpa denganmu."

Jantung Giok Keng makin berdebar kencang dan mukanya menjadi merah sekali. Sejenak dia menundukkan muka, lalu memaksa diri mengangkat muka dan memandang. Mereka saling berpandangan dan seakan-akan ada getaran luar biasa lewat mata itu memasuki dada Giok Keng, membuat dara itu menggigil dan memaksa mulutnya bertanya,

"Mengapa kau mencari aku? Ada urusan apa?"

Tiba-tiba saja Liong Bu Kong menjatuhkan dirinya berlutut. Melihat ini, Giok Keng cepat membalikkan tubuh, membelakangi pemuda yang berlutut itu sambil berkata lagi.

"Bicaralah! Tidak perlu berlutut!"

"Kau berjanjilah tidak akan marah kepadaku, Nona. Baru aku mau berdiri!" kata Bu Kong yang masih terus berlutut.

"Hemm, baiklah. Berdirilah, aku tidak mau bicara kalau kau berlutut seperti itu."

Bu Kong bangkit berdiri dan meloncat ke depan dara itu sambil menjura, "Terima kasih. Aku tahu di dunia ini tidak ada seorang pun wanita yang sehebat dan semulia hatinya seperti engkau, Nona. Ketika engkau pergi meninggalkan aku setelah mengatakan bahwa engkau telah bertunangan dengan orang lain, hampir aku membunuh diri. Akan tetapi aku tidak puas sebelum bertemu denganmu. Aku minta kepadamu, Nona. Aku cinta padamu dengan seluruh jiwa ragaku, semenjak kita saling bertemu di Cin-ling-san dahulu itu. Dan aku yakin... maafkan aku, namun aku yakin bahwa nona pun setidaknya merasa kasihan kepadaku. Karena itu, sebelum aku mengambil keputusan membunuh diri... aku mohon kepadamu, Nona, jangan engkau bersikap kepalang tanggung. Aku cinta kepadamu dan... kasihanilah aku, Nona. Melihat sikap Nona kemarin... aku percaya sekali bahwa hati Nona masih bebas, sungguh pun nona sudah ditunangkan dengan orang lain. Kasihanilah aku dan sudikah engkau membalas cintaku yang murni...?"

Muka Giok Keng menjadi makin merah. Dia adalah seorang dara yang selamanya belum pernah mengenal cinta seorang pria, apa lagi mendengar bujuk rayu yang sedemikian indahnya. Dia merasa seolah-olah dirinya diangkat sampai ke angkasa!

"Tapi... tapi aku sudah bertunangan...," dia berusaha menjawab.

"Nona Cia Giok Keng... pertunangan bisa saja dibatalkan... ahhh, mengapa engkau akan menyiksa diri hendak berjodoh dengan seorang lelaki yang tidak kau cinta? Engkau akan hidup merana dan aku akan membunuh diri sekarang juga di depan kakimu..." Bu Kong mencabut pedangnya.

"Jangan...!" Giok Keng berteriak kaget dan merampas pedang itu, melempar pedang itu dengan sikap jijik ke atas tanah.

Sekarang Bu Kong memegang kedua tangan Giok Keng. Dara ini membuang muka dan menahan keluarnya air matanya, namun tetap saja ada dua butir air mata bertitik turun.

"Giok Keng... Moi-moi... engkau kasihanilah aku. Marilah kita hidup berdua, hidup penuh bahagia... aku cinta padamu dan aku bersumpah bahwa sampai mati aku akan tetap cinta kepadamu..."

"Tapi... tapi..."

"Aku siap berkorban nyawa demi cintaku, Moi-moi..."

Giok Keng menarik kedua tangannya dan memandang tajam, "Benarkah?"

"Tentu saja! Bukankah aku lebih suka mati dari pada menghadapi kegagalan cintaku kepadamu."

"Bukan itu maksudku, akan tetapi... ah, bagaimana aku berani menghadapi ayahku?" Giok Keng memandang wajah pemuda itu, memandang tajam seperti hendak menjenguk isi hatinya, kemudian berkata, "Liong Bu Kong, benarkah engkau cinta padaku?" Dara yang memiliki keberanian luar biasa itu kini sudah dapat menguasai ketegangan hatinya dan bertanya dengan sejujurnya.

"Tentu saja, aku bersumpah...!"

"Aku tidak membutuhkan sumpah. Aku membutuhkan bukti dan kenyataan. Kalau engkau benar mencinta, tentu kau akan berani membelaku sampai mati. Beranikah kau?"

Giok Keng teringat akan cerita tentang Souw Li Hwa dan Yuan de Gama, yang dipuji-puji oleh ayahnya, teringat akan cinta kasih di antara mereka yang begitu mendalam sehingga keduanya rela menghadapi maut sambil saling berpelukan di atas kapal yang terbakar dan hampir tenggelam! Cerita ini berkesan dalam sekali di hatinya, membuatnya romantis dan dia ingin melihat bahwa cinta kasih di dalam hati pemuda ini terhadapnya tidak kalah besarnya!

"Tentu saja aku berani, Moi-moi!" Liong Bu Kong menjawab dengan wajah berseri karena merasa bahwa dara ini agaknya akan suka membalas cintanya.

"Nah, kalau begitu mari kau ikut bersamaku menghadap kepada ayah ibuku dan kau yang menceritakan terus terang kepada mereka mengenai cintamu dan mengenai pembatalan ikatan jodohku dengan tunanganku."

Wajah yang berseri-seri itu menjadi pucat. Bu Kong menjilat-jilat bibirnya yang mendadak menjadi kering itu. "Wah, ini... ini... mana aku berani?"

Giok Keng melompat mundur dan sikapnya menjadi marah sekali. "Huh! Dan kau bilang mencintaku, berani membelaku sampai mati? Baru sebegitu saja engkau sudah takut dan mundur!"

Bu Kong meloncat mendekati. "Aku berani! Maafkan, Moi-moi, aku tadi ragu-ragu bukan karena takut mati, melainkan aku meragu untuk bersikap seperti itu dan membikin marah serta duka hati ayah bundamu. Tentu saja, sebagai ayah bundamu, mereka itu kujunjung tinggi dan kuhormati seperti orang tua sendiri. Baiklah, aku menerima permintaanmu ini!"

Segera Giok Keng tersenyum manis sekali, matanya mengerling tajam dan hatinya penuh kegembiraan. Biar pun dia dan Bu Kong akan dibunuh ayahnya, dia rela karena bukankah ini membuktikan bahwa cinta kasih mereka amat murni dan besar, tidak kalah besar oleh cinta kasih yang dibuktikan oleh Souw Li Hwa dan Yuan de Gama yang amat dikagumi ayah bundanya itu?

"Kalau begitu, aku baru percaya. Marilah kita berangkat sekarang juga ke Cin-ling-san... Koko...!"

Hampir saja Bu Kong bersorak girang mendengar dara yang membuatnya tergila-gila itu menyebut dirinya koko (kakanda), maka dia cepat merangkul dan mencium bibir dara itu dengan mulutnya.

Giok Keng terkejut sekali, hampir dia menjerit hingga mulutnya setengah terbuka, lalu dia memejamkan matanya dan sejenak dia menyerah sepenuh hatinya. Akan tetapi tak lama dia tenggelam dalam nikmat birahi ini, dia telah meronta dan melepaskan diri dari pagutan ketat pemuda itu, melepaskan diri dari peluk cium yang membuatnya hampir pingsan karena nikmat. Dengan dada turun naik, terengah-engah, wajah sebentar pucat sebentar merah, tubuh terasa panas dingin, dara itu yang sudah melompat mundur memandang kekasihnya.

"Moi-moi... maafkan aku... aku..." Bu Kong berkata dengan suara terputus-putus karena dia merasa sangat khawatir bahwa perbuatannya yang terdorong kegembiraan hati tadi akan membikin marah dara yang dicintanya.

Giok Keng menggelengkan kepala dan berkata halus, "Aku tidak marah, Koko, hanya... kuminta dengan sangat, janganlah engkau menyentuhku lagi... kita harus dapat menjaga diri, menekan hati, dan kelak bila mana aku sudah menjadi milikmu secara resmi, sudah menikah..." Giok Keng menunduk dan tersenyum malu-malu.

Bu Kong hampir saja tak kuat lagi untuk tidak memeluk tubuh itu sekuatnya dan menciumi bibir itu. Akan tetapi dia juga maklum bahwa perbuatannya itu tentu akan menimbulkan kemarahan kekasihnya, maka dia melangkah maju dan hanya memegang tangan Giok Keng.

Sepuluh jari tangan yang semua mengeluarkan getaran dari lubuk hati masing-masing itu saling mencengkeram dan saling membelai. Tidak ada kata-kata keluar dari mulut mereka sampai beberapa lama, karena getaran jari-jari tangan itu sudah mengandung seribu satu kata-kata indah.

Akhirnya Bu Kong berkata, "Aku mengerti, Moi-moi. Maafkan aku. Akan tetapi jangan kita langsung pergi ke Cin-ling-san. Mari kau ikut aku pergi mengambil pusaka Siauw-lim-pai."

"Aku mendengar bahwa... dahulu engkau mencuri pusaka-pusaka itu dari Siauw-lim-pai. Benarkah, Koko?"

Wajah pemuda itu menjadi merah sekali. Dia menghela napas dan berkata, "Tidak perlu aku membohongimu, Moi-moi. Memang benar demikian, dahulu aku mencuri pusaka-pusaka itu dari Siaw-lim-pai karena perintah mendiang ibuku. Aku masih amat muda dan berdarah panas. Aku hendak memperlihatkan kepandaian, karena kabarnya Siauw-lim-si dijaga keras sekali dan amat ketat sehingga kalau aku berhasil mengambil beberapa buah pusakanya, tentu akan menggemparkan dunia kang-ouw. Akan tetapi yang menghendaki pusaka itu adalah ibuku. Sekarang ibuku telah meninggal dunia, dan sungguh pun aku merupakan keturunan seorang datuk kaum sesat, namun aku ingin hidup baru, Moi-moi. Apa lagi setelah bertemu denganmu, keputusanku sudah bulat bahwa aku tidak mau lagi berkecimpung di dalam golongan kaum sesat. Bahkan aku akan menentang mereka. Untuk membuktikan ini, pertama yang kukerjakan adalah mengembalikan pusaka-pusaka itu ke Siauw-lim-pai."

Hati Giok Keng girang sekali. Dia menarik tangannya yang masih dipegang pemuda itu dan berkata, "Bagus sekali kalau begitu, Koko. Marilah kita mengambil pusaka-pusaka itu dan mengembalikannya ke Siauw-lim-si."

Hatinya lega karena perbuatan ini tentu akan menyenangkan hati ayah bundanya. Meski pun kekasihnya ialah putera Si Bayangan Hantu, Ketua Kwi-eng-pai, akan tetapi dengan perbuatannya itu Bu Kong sudah membuktikan bahwa dia benar-benar hendak merobah hidupnya, melalui jalan benar dan menjadi pendekar budiman.

Mereka lalu pergi ke sebuah pegunungan dekat Telaga Kwi-ouw yang kini sudah menjadi tempat sunyi sekali semenjak Kwi-eng-pang diserbu oleh tentara pemerintah dan dibasmi habis. Banyak yang tewas, ada yang tertawan dan ada pula beberapa orang yang lolos dari penyerbuan itu.

Seperti telah diceritakan di bagian depan, Kwi-eng Niocu Ang Hwi Nio tewas membunuh diri karena tidak mau terbunuh lawan, sedangkan kakek tinggi besar brewok, Thian-ong Lo-mo yang mempunyai kepandaian tinggi, dapat berhasil meloloskan diri. Akan tetapi Bu Kong tidak tahu akan lolosnya kakek yang lihai ini, karena dia hanya mendengar bahwa Kwi-eng-pang telah dibasmi habis dan ibunya telah tewas.

Maka dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati pemuda ini ketika dia bersama dengan Giok Keng tiba di depan sebuah goa di mana dia menyimpan pusaka-pusaka itu, tiba-tiba muncul Thian-ong Lo-mo bersama lima orang anggota Kwi-eng-pang yang juga berhasil meloloskan diri! Dia merasa terheran-heran.

Tentu saja bukan hal mengherankan jika kakek itu berada di goa tempat penyimpanan pusaka karena memang yang mengetahui akan tempat itu hanya dia, ibunya, dan kakek sekutu ibunya ini. Yang mengherankan hatinya adalah melihat kakek ini dapat lolos dan masih hidup!

Melihat sikap kakek brewok itu seperti orang marah, demikian pula lima orang bekas anak buah ibunya itu bersikap memusuhinya, Bu Kong segera berkata sambil tertawa, "Aihhh, kiranya Locianpwe masih dapat menyelamatkan diri."

"Bocah durhaka! Pengkhianat pengecut!" Thian-ong Lo-mo yang sudah sangat marah itu langsung menerjang maju, menyerang Liong Bu Kong dengan senjatanya yang dahsyat, yaitu sabuk rantai yang bergigi seperti gergaji.

"Cringgg! Trangggg...!"

Bunga api berpijar menyilaukan mata ketika senjata itu tertangkis oleh dua batang pedang di tangan Bu Kong dan Giok Keng. Kakek itu merasa terkejut sekali karena tangannya tergetar hebat. Maklumlah dia bahwa dara cantik jelita itu memiliki tenaga dan kepandaian yang hebat pula, maka dia lalu memutar senjatanya dengan ganas sambil mengeluarkan seluruh tenaga dan kepandaiannya.

Memang tanpa disangka-sangkanya kakek ini berjumpa dengan dua orang muda yang amat tangguh. Kalau hanya Bu Kong seorang diri yang melawannya, biar pun pemuda ini juga memiliki kepandaian tinggi dan tidaklah mudah untuk merobohkannya, tapi agaknya pemuda ini tidak akan mampu menang melawan kakek yang lihai itu.

Demikian pula, biar pun sebagai puteri Pendekar Sakti Cia Keng Hong, dan telah memiliki tingkat ilmu kepandaian tinggi, agaknya Giok Keng juga tidak akan begitu mudah dapat mengalahkan Thian-ong Lo-mo. Akan tetapi kini kedua orang muda yang saling mencinta itu maju berdua! Selain kelihaian ilmu silat mereka, juga keduanya memegang pedang pusaka yang ampuh.

Giok Keng bersenjata Gin-hwa-kiam (Pedang Banga Perak) yang berubah menjadi sinar putih bergulung-gulung, ada pun Liong Bu Kong memegang pedang Lui-kong-kiam yang mengeluarkan sinar berkilat-kilat.

Baiknya Thian-ong Lo-mo masih dibantu oleh lima orang anak buah Kwi-eng-pang, maka pertandingan segera berlangsung dengan sangat serunya. Sabuk rantai gergaji di tangan Thian-ong Lo-mo menyambar-nyambar dahsyat, laksana seekor ular hitam bermain-main di antara dua gulungan sinar pedang dan berkali-kali terdengar suara nyaring ketika tiga senjata bertemu dan tampak bunga api berpijar-pijar menyilaukan mata.

Dengan senjata mereka, lima orang bekas anggota Kwi-eng-pang hanya membantu dari luar. Pertandingan antara tiga orang itu terlatu hebat dan berbahaya bagi mereka, maka mereka itu hanya membantu untuk mengacaukan perhatian kedua orang muda itu.

"Cringg... trakkk!"

Ujung senjata rantai itu membelit pedang Giok Keng yang menjadi terkejut bukan main. Selagi dia bersitegang hendak membetot pedangnya, Bu Kong berteriak nyaring lantas pedangnya menyerang kakek itu dengan tusukan ke arah lehernya.

Namun Thian-ong Lo-mo benar-benar hebat. Tangan kirinya bergerak dan ujung lengan baju kirinya yang lebar panjang itu merupakan senjata istimewa yang menangkis tusukan pedang Bu Kong.

"Plakk! Bretttt... Dess!"

Bu Kong mengeluh dan terhuyung ke belakang. Pedangnya telah tertangkis ujung lengan baju dan biar pun pedangnya berhasil merobek ujung lengan baju lawan, namun tangan kakek itu masih terus dilanjutkan dengan tamparan keras yang mengenai pundaknya dan membuat tubuhnya terhuyung ke belakang dan tergetar hebat.

"Ha-ha-ha-ha...!" Kakek itu tertawa dan kini menggunakan tangan kirinya yang ampuh itu mencengkeram ke depan, ke arah kepala Giok Keng!

"Wuuuttt.. plak-plak-plak!"

"Aughhhhh...!" Thian-ong Lo-mo terhuyung ke belakang dan hampir roboh. Rantai gergaji yang tadi membelit pedang kini terlepas karena tubuhnya tergetar oleh tiga kali tamparan sabuk merah muda yang dipegang oleh tangan kiri Giok Keng.

Ketika tadi melihat pedangnya terbelit dan Bu Kong tertampar, dara ini cepat meloloskan sabuk sutera merah muda yang merupakan senjata ke dua yang ampuh, dengan cepat dia mempergunakan sabuk itu mendahului tangan lawan yang mencengkeram kepalanya. Tepat sekali ujung sabuknya menotok tiga jalan darah di tubuh lawan, jalan darah yang mematikan. Akan tetapi betapa kaget dan herannya ketika ia melihat bahwa lawan yang tertotok tepat itu hanya terhuyung saja dan tidak mati!

Kiranya kakek brewok itu selain lihai ilmu silatnya dan amat kuat tenaga sinkang-nya, juga merupakan ahli I-kiong Hoan-hiat (Ilmu Memindahkan Jalan Darah) sehingga biar pun kelihatan dia tertotok tepat, namun sesungguhnya totokan itu tidak mengenai jalan darah kematian dan hanya membuat dia menggigil dan terhuyung saja.

Sama sekali dia tidak mati, bahkan sebaliknya, dengan kemarahan meluap-luap karena penasaran dan malu, dia sudah menubruk lagi ke arah Giok Keng sambil mengeluarkan lengking dahsyat dari tenaga khikang-nya. Dua matanya yang lebar itu terbelalak merah dan lengking suaranya membuat lima orang bekas anggota Kwi-eng-pang terhuyung ke belakang dengan muka pucat.

Melihat lawan yang menyerang dahsyat dengan rantai gergaji dan tangan kiri dibentuk seperti cakar garuda, Giok Keng cepat menggerakkan pedang dan sabuk suteranya.

"Cringgg... plakkk!"

Pedang dan rantai bertemu di udara, sabuk sutera melibat lengan kiri kakek lihai itu, akan tetapi dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati Giok Keng ketika lengan kiri lawan itu masih mampu bergerak terus ke depan melanjutkan serangannya, menyambar ke arah lehernya seolah-olah cakar setan yang hendak mencekiknya. Dia cepat miringkan tubuh dan mengangkat kakinya menendang.

"Brettt... plakkk!"

Baju pada pundak Giok Keng terobek oleh cakar itu dan kulit pundaknya lecet berdarah. Akan tetapi tendangannya membuat lawan terpental ke belakang. Ketika dara ini bersiap kembali setelah mendapat kenyataan bahwa luka di pundaknya tidak berbahaya, ternyata kakek itu telah diserang hebat oleh Bu Kong.

Maka dengan marah Giok Keng lalu menyerbu pula membantu pemuda itu dan kembali terjadi pertandingan dahsyat di antara ketiga orang itu. Tubuh mereka tidak kelihatan lagi, sudah terbungkus oleh gulungan sinar senjata mereka.

Karena cepatnya gerakan mereka bertiga, lima orang bekas anggota Kwi-eng-pang tidak ada yang berani mendekat apa lagi membantu. Suara khikang hebat dari kakek itu tadi masih membuat jantung mereka terasa terguncang.....

Traktiran: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan) ataupun bisa melalui via Trakteer yang ada dibawah

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar