Sampai lama sekali Kun Liong melarikan diri dengan hati-hati karena malam itu gelap sekali dan hanya diterangi oleh bintang-bintang di langit. Dia menuruni puncak dengan hati-hati, kadang-kadang harus meraba-raba lebih dulu dengan kakinya, sampai dia jauh meninggalkan istana Kim Seng Siocia. Akan tetapi dia maklum bahwa anak buah Kim Seng Siocia terus melakukan pengejaran, maka dia tidak mau berhenti berjalan dan mulai menuruni puncak dengan hati-hati. Di tengah jalan dia melepaskan ikatan kaki tangan Hong Ing dan tiba-tiba dara itu berkata,
"Lepaskan aku! Aku bukan bayi yang harus dipondong. Aku bisa jalan sendiri!"
Kun Liong terkejut dan heran sekali. Susah payah dia menolong gadis ini, bahkan melalui pengalaman yang mengerikan pada saat dia dihimpit oleh gumpalan daging menggunung, dan sekarang begitu dapat bicara, Hong Ing malah mengeluarkan kata-kata yang keras! Akan tetapi dia menurunkan gadis itu dan mereka terus bergerak perlahan melanjutkan perjalanan mereka menjauhi istana Kim Seng Siocia.
Keheranan hati Kun Liong makin bertambah saat dia melihat betapa Hong Ing melakukan perjalanan dengan sikap diam, tanpa pernah bicara, dan kadang-kadang kalau dia dapat memandang wajah itu di bawah sinar bintang yang remang-remang, dia melihat wajah itu cemberut. Ingin sekali dia bertanya mengapa gadis itu menjadi tak senang hati, bahkan seperti orang marah, akan tetapi karena mereka sedang melarikan diri dari kejaran anak buah Kim Seng Siocia, dia pun tidak banyak bertanya.
Ketika mereka dipaksa berhenti oleh keadaan jalan yang amat berbahaya, selain cuaca makin gelap karena halimun menutupi cahaya bintang yang hanya sedikit itu, dan banyak jurang melintang di depan menghadang perjalanan mereka, dan mereka sudah berlindung di bawah sebuah bukit batu yang berlubang sehingga merupakan goa kecil, dengan api unggun yang menghangatkan badan mereka, barulah Kun Liong bertanya.
"Hong Ing, kenapa kau kelihatan seperti orang berduka dan tidak senang hati?"
Sambil duduk membelakangi Kun Liong, kemudian bahkan merebahkan diri miring, Hong Ing menjawab dengan sikap acuh tak acuh dan suara yang datar, "Mengapa aku harus tidak senang hati? Aku sudah ditolong, bukan? Tidak, aku tidak apa-apa, hanya ingin tidur karena lelah."
Jawaban ini tentu saja sama sekali tidak memuaskan hati Kun Liong, akan tetapi dia pun mengeraskan hatinya. Kalau tidak mau mengaku, sudahlah, bukan urusannya. Maka dia pun menjawab datar, "Kalau begitu, kau tidurlah, biar aku yang menjaga di sini sampai pagi."
Mendongkol juga hati Kun Liong karena dara itu tidak menjawab, melainkan menggeser tubuhnya lebih dekat dengan api unggun agar hawa dingin tidak terlalu mengganggunya. Hemm, sikapnya begitu tidak acuh, begitu sombong! Sombongkah Hong Ing? Seingatnya tidak, tetapi mengapa sekarang...? Hemm, dan mengapa pula dia menjadi tidak enak hati, tidak senang melihat sikap dara itu tidak pedulian kepadanya?
Kun Liong duduk termenung. Malam telah tua. Sunyi sekali sekeliling itu, sesunyi hati Kun Liong. Akan tetapi pikirannya mulai mengaduk kesunyian dan dia mengingat-ingat semua pengalaman yang telah dialaminya. Terutama sekali hal-hal yang baru saja terjadi, yang amat berkesan di hatinya.
Kematian ayah bundanya yang sudah impas karena lima orang datuk kaum sesat yang membunuh mereka itu telah terbunuh semua. Usul ikatan jodoh antara dia dan Cia Giok Keng yang tidak disetujui oleh dara itu. Kematian Souw Li Hwa dan Yuan yang sangat mengharukan hatinya dan yang mulai merubah pandangannya tentang cinta kasih antara pria dan wanita. Kemudian pengalamannya bersama Lim Hwi Sian yang tidak mungkin dapat dia lupakan selama hidupnya. Dan yang terakhir pengalaman mengerikan dengan Kim Seng Siocia sampai saat ini.
Mengapa jalan hidupnya selalu melintasi persoalan cinta? Mengapa banyak benar gadis yang dijumpainya dan dikenalnya, dan yang menimbulkan rasa suka dalam hatinya? Akan tetapi, cintakah semua itu? Tidak, dia yakin itu bukanlah cinta seperti yang disebut-sebut orang!
Dia suka kepada Yo Bi Kiok, kepada Souw Li Hwa, Cia Giok Keng, Lim Hwi Sian, Yuanita, karena mereka adalah dara-dara yang cantik jelita dan memiliki daya tarik masing-masing yang khas sehingga dia merasa suka dan tertarik. Akan tetapi itu bukan cinta! Bahkan apa yang dilakukannya bersama Hwi Sian pada malam itu, bagi dia sama sekali bukan karena dorongan cinta, melainkan karena rangsangan dan dorongan nafsu birahi. Entah bagi Hwi Sian. Cintakah itu?
Dan apa yang dilakukan Kim Seng Siocia terhadapnya itu, jelas bukan cinta karena Kim Seng Siocia memaksanya menjadi suami dengan tujuan hendak mengajaknya membantu dalam usahanya membalas dendam kepada Cia Keng Hong.
Dan bagaimana perasaannya terhadap Hong Ing? Dia menundukkan muka memandang tubuh yang meringkuk membelakanginya itu. Cintakah dia kepada Hong Ing? Ahhh, tentu saja tidak. Kalau kepada yang lain dia tidak pernah mencinta, mengapa kepada Hong Ing ada kecualinya? Dia hanya suka kepada Hong Ing, suka dan merasa kasihan mendengar riwayat dara yang terpaksa menjadi nikouw untuk menghindarkan dirinya dari pernikahan paksaan itu. Mengapa benar dia harus jatuh cinta kepada Hong Ing?
Kemudian terbayanglah peristiwa di atas kapal yang terbakar. Terbayanglah dua makhluk orang muda yang dengan ikhlas suka mati bersama. Yuan dan Li Hwa! Mereka saling berpelukan sampai pada saat terakhir, sampai kapal yang terbakar itu membawa mereka tenggelam. Itukah cinta? Agaknya itulah!
Saling membela, siap untuk mengorbankan diri sampai mati! Itukah cinta? Apa bila perlu membasmi siapa saja dengan kekerasan, membasmi mereka yang hendak menghalangi hasrat mereka untuk hidup bersama. Inikah cinta antara pria dengan wanita? Membawa kekerasan, pertentangan, bahkan kematian yang begitu mengerikan?
Agaknya itulah cinta yang disanjung-sanjung manusia, cinta antara pria dan wanita dan segala sesuatu yang tercakup di dalamnya. Cemburu, iri hati, nafsu birahi, kesenangan, kekecewaan, kepuasan, kemarahan, kedukaan dan kebencian. Semuanya ini tercakup di dalam perasaan yang disebut cinta!
"Hemmm, kalau begitu selamanya aku tak mau jatuh cinta!" Kun Liong mengepal tinjunya dan kembali pandang matanya menimpa punggung Hong Ing.
Kalau bukan cinta, lalu apakah itu yang mendorong dia melakukan segala pengorbanan demi untuk menyelamatkan Hong Ing? Hanya karena kasihan begitu saja? Ataukah ada udang di balik batu, ada sesuatu di balik semua itu? Mengapa dia mau bersusah payah menyusul Hong Ing ke Go-bi-san sampai dia kesasar ke istana Kim Seng Siocia akan tetapi yang malah merupakan suatu kebetulan karena ternyata orang yang dicarinya, Pek Hong Ing, memang berada di situ? Bukankah itu cinta namanya?
"Tidak! Aku tidak mau jatuh...!" Tiba-tiba dia menghentikan kata-katanya ini.
Ternyata diluar kesadarannya, dia telah meneriakkan suara hatinya ini hingga dia melihat Hong Ing bergerak, agaknya terbangun oleh kata-katanya tadi. Betapa tololnya dia! Dan dara ini kelihatan begini angkuh! Jika kini dia memperlihatkan bahwa dia agaknya hampir saja jatuh cinta, tentu dara ini akan menjadi semakin angkuh saja! Tidak, dia tidak akan merendahkan diri sedemikian rupa, hanya karena dia suka dan kasihan kepada dara in!
Karena hatinya merasa mengkal terhadap dirinya sendiri, Kun Liong melempar tubuhnya ke belakang, untuk rebah di dekat api unggun dan supaya dia tidak dapat melihat lagi kepada Hong Ing.
"Dukkkk!"
Hampir dia berteriak akan tetapi cepat ditahannya, hanya jari-jari tangannya saja yang mengusap-usap kepala gundulnya yang tadi membentur batu ketika dia merebahkan diri terlentang. Kulit kepala itu berdenyut-denyut. Lumayan juga nyerinya…..!
********************
Kun Liong membuka matanya, akan tetapi cepat menutupkannya kembali dan melindungi mata dengan tangan kiri dari sinar matahari yang sangat menyilaukan dan menggunakan tangan kanan untuk menggaruk kepalanya yang terasa gatal-gatal. Kiranya matahari telah naik tinggi dan sinar matahari yang tepat sekali menimpa kepalanya itu menggigiti kulit kepalanya dan menyilaukan matanya.
Setelah bangkit duduk dan terbebas dari sinar matahari yang tadi langsung menimpanya, dia baru berani membuka mata dan melihat Hong Ing sudah duduk di depannya dengan muka segar dan mulut tersenyum! Manisnya! Sepagi itu telah kelihatan segar dan jelas sekali bahwa dara ini tentu telah mandi, entah di mana!
"Tidurmu enak sekali, aku tidak tega membangunkanmu."
"Kau..." Kun Liong menahan kata-katanya dan menelan kembali pujiannya ketika teringat betapa semalam dara ini kelihatan marah-marah dan sekarang dia tak ingin melihat wajah yang berseri itu kembali marah, "kau... kelihatan segar sekali, Hong Ing."
Senyum itu melebar dan untuk kedua kalinya Kun Liong menjadi silau. Hanya bedanya, bila yang pertama dia silau oleh sinar matahari yang menyakitkan mata, kini dia silau akan kemanisan wajah dengan deretan gigi seputih mutiara yang sangat menyedapkan mata, yang membuat dia bengong sejenak dan baru sadar kembali pada waktu dara itu berkata dengan wajah berseri gembira.
"Aku sudah mandi. Segar dan sejuk sekali, Kun Liong. Di sana..." Dia menuding ke timur, "hanya setengah li dari sini terdapat mata air yang sangat jernih. Aku sudah mandi dan ketika kembali ke sini, aku menangkap seekor kelinci gemuk."
"Kelinci...?" Tiba-tiba saja cuping hidung Kun Liong bergerak-gerak seperti hidung kelinci karena dia mencium bau yang gurih dan sedap. "Mana kelincinya?"
Melihat betapa lubang hidung pemuda itu persis hidung kelinci yang tadi ditangkapnya, Hong Ing lalu terkekeh sambil menutupi mulut dengan punggung tangan kirinya, gerakan kebebasan yang terselimut kesopanan tradisional sehingga menjadi perpaduan harmonis sekali. Manis sekali.
"Hi-hi-hik, kelincinya sudah tidak ada lagi, yang ada hanya daging kelinci panggang..."
"Sedaaap...!" Kun Liong memuji dan tiba-tiba perutnya terasa lapar sekali.
"Mandi dulu, baru aku mau menghidangkan daging panggang. Hayo, pemalas benar kau!" Sambil tertawa-tawa Hong Ing mengebut-ngebutkan seranting daun-daun basah sehingga airnya bepercikan ke muka Kun Liong.
Senang benar rasa hati Kun Liong pagi itu. Semua perasaan pahit di hatinya terusir pergi oleh senyum di bibir dan seri di wajah dara itu. Dia berloncatan sambil berteriak-teriak,
"Ihhh... dingin... dingin!"
Lalu dia berlari menuju ke timur seperti yang tadi ditunjuk oleh Hong Ing. Benar saja, dia mendapatkan sebuah mata air yang mengeluarkan air jernih sekali dan di bawah sumber air itu air telah tergenang, merupakan sebuah kolam air penuh dengan air kebiruan saking jernihnya. Rumput-rumput yang tumbuh di pinggiran kolam itu kacau-balau, meninggalkan bekas Hong Ing mandi tadi.
Dengan hati penuh kegembiraan, kegembiraan luar biasa yang belum pernah dirasakan olehnya sepanjang ingatannya, Kun Liong lalu menanggalkan semua pakaiannya. Ketika hanya tinggal celana dalamnya saja yang menempel pada tubuhnya, tiba-tiba dia berhenti dan bergidik karena teringatlah dia akan pengalamannya di dalam kamar tidur Kim Seng Siocia. Terbayanglah betapa dia menggigil penuh kengerian dan tiba-tiba dia tertawa dan membuka celana itu lalu melempar tubuhnya yang telanjang bulat ke dalam air.
Daging kelinci panggang itu memang sedap sekali, gurih manis dan lunak, sungguh lezat terutama sekali bagi perut mereka yang lapar. Seolah-olah terasa oleh Kun Liong betapa sesudah memasuki perutnya sari makanan itu memulihkan tenaganya yang diserap habis oleh kelelahan dan kelaparan.
Sesudah menyiram daging panggang dalam perut itu dengan air jernih sebagai minuman, Kun Liong mengelus perutnya, memandang kepada Hong Ing dan berkata, "Kau pandai benar memanggang daging kelinci. Selama hidupku baru sekali makan daging panggang begitu lezatnya!"
"Kau masih ingin lagi? Nih, kau makanlah bagianku!" Hong Ing mengulurkan tangan yang memegang daging paha kelinci ke depan mulut Kun Liong.
"Eihh, mengapa engkau begini baik hati kepadaku, Hong Ing?" tanpa disengaja, tangan kanan Kun Liong menangkap lengan yang kecil itu dan sejenak mereka berpandangan. Hong Ing cepat menundukkan mukanya dan Kun Liong melepaskan kembali pegangan tangannya.
"Kau makanlah sendiri, aku sudah kenyang! Ahh, enak sekali masakanmu!"
Sepasang pipi itu menjadi merah dan mata itu jernih sekali ketika diangkat memandang. Sejenak mereka saling memandang dan akhirnya Hong Ing menundukkan mukanya.
Kun Liong terheran-heran. Kenapa pula ini? Hatinya menjadi berdebar-debar dan terharu! Biasanya saat melihat wajah cantik seorang dara, ia ingin mengusapnya, ingin mendekat, ingin memeluk dan menciumnya, ingin menggodanya. Akan tetapi mengapa sekarang lain lagi? Hatinya seperti tersentuh sesuatu yang halus yang membuat dia memandang Hong Ing dengan perasaan penuh hormat, penuh iba, penuh haru.
Keadaan sunyi itu sangat mengusik hati, dan akhirnya tanpa mengangkat mukanya Hong Ing lalu bertanya, "Bagaimana engkau dapat muncul begitu tiba-tiba di istana Kim Seng Siocia?"
Lega hati Kun Liong mendengar suara ini. Inilah suara Hong Ing seperti biasanya, seperti sebelum peristiwa itu terjadi di istana, sebelum mereka berdua saling berpisah dahulu itu dan suara ini mengusir semua suasana tegang dan aneh tadi.
"Tadinya aku hendak menyusulmu. Hatiku merasa tidak enak ketika aku melihat engkau pergi bersama suci-mu itu, aku lalu menuju ke Go-bi-san dan bertanya-tanya. Akan tetapi tidak ada penduduk dusun yang dapat memberi tahu di mana tempat tinggalnya Go-bi Sin-kouw. Akhirnya tanpa kusengaja aku tiba di lereng puncak tempat tinggal Kim Seng Siocia. Karena mengira bahwa itu adalah tempat tinggal gurumu, maka aku menyelundup masuk dan..."
"Kau berteriak memanggil nama Subo (Ibu Guru). Hemmm, mengapa kau jauh-jauh dan bersusah payah datang ke Go-bi-san untuk mencariku?"
"Aku tidak rela melihat kau dipaksa orang untuk menikah dengan pangeran yang tidak kau suka. Aku kasihan melihat engkau yang sudah mengorbankan diri menjadi nikouw untuk menghindar dari paksaan itu, dalam keadaan tidak berdaya terpaksa ikut dengan suci-mu, seolah-olah engkau seekor domba yang dituntun ke tempat penjagalan. Karena itu maka aku segera mencarimu."
"Kau baik sekali, Kun Liong."
"Ahh, tidak. Aku melakukan itu bukan karena ingin baik, melainkan karena aku kasihan kepadamu, penasaran melihat urusanmu. Tidak kusengaja."
Keduanya terdiam sampai agak lama.
"Dan demi keselamatanku, kau mengorbankan dirimu, kau membiarkan dirimu ditawan oleh Kim Seng Siocia," kata pula Hong Ing tanpa mengangkat muka, dan jari-jari tangan yang kecil putih halus itu memainkan ujung rumput di depan kakinya.
"Tentu saja, Hong Ing! Masa setelah jauh-jauh mencarimu dan bertemu di situ, aku bisa membiarkan saja engkau dibunuhnya? Waktu itu aku tidak berdaya, jalan satu-satunya hanya menyerah."
"Dan kau membiarkan dirimu menjadi... suaminya?"
"Hemm, permintaannya yang gila!"
Kun Liong kembali bergidik terbayang dengan pengalamannya di kamar itu. "Akan tetapi, melihat betapa ancamannya untuk membunuhmu itu amat bersungguh-sungguh, terpaksa pula aku menyerah. Pada waktu itu keselamatanmu lebih penting..."
Tiba-tiba Hong Ing mengangkat mukanya dan terkejutlah hati Kun Liong ketika dia melihat sepasang mata itu bersinar-sinar penuh kemarahan!
"Jadi kau anggap bahwa nyawaku lebih penting dari pada kehormatanmu?"
"Kehormatan? Apa maksudmu?"
"Kau menyerahkan diri sebagai suami paksaan, bukankah itu berarti kau menginjak-injak kehormatan sendiri?"
Kun Liong menjadi bengong dan sejenak hanya dapat memandang dara itu.
"Begitu rendahkah kau? Mau saja menuruti nafsu menjijikkan seorang wanita gila seperti dia?"
Kun Liong menggelengkan kepala. "Jangan salah mengerti, Hong Ing. Aku tidak berdaya, kita tidak berdaya. Itu hanya satu-satunya jalan, bukan berarti bahwa aku mau menyerah betul-betul. Buktinya, akhirnya aku berhasil membebaskan diri dan membebaskan kau."
"Aku tidak minta kau bebaskan! Aku tidak minta kau merendahkan diri seperti itu hanya untuk menolongku! Atau agaknya kau memang senang melayaninya!"
"Apa maksudmu?"
"Kau memang mempunyai watak mata keranjang, maka penawaran Kim Seng Siocia itu malah menyenangkan hatimu."
"Aihhh, bukan begitu!" Kun Liong mengerutkan alisnya sambil menggelengkan kepalanya yang gundul. "Dia... dia... ihhh, menjijikkan dan mengerikan."
"Bagaimana kau dapat membebaskan diri? Dengan bujuk rayu?"
Kun Liong menggaruk-garuk kepalanya. Bagaimana dia harus menceritakan segala yang dialaminya malam itu? Masih terasa betapa separuh mukanya basah oleh ciuman mulut lebar yang rakus itu!
"Aku... aku memang pura-pura menyerah, kemudian... ketika dia lengah... aku... ehh, aku berhasil membuatnya tidak berdaya. Aku lalu lari dari kamarnya dan mencarimu. Untung belum terlambat... dan hatiku girang sekali melihat engkau selamat, Hong Ing."
Sepasang mata yang tadinya bersinar-sinar penuh kemarahan itu kini berubah menjadi sayu, agak terpejam memandang kepada Kun Liong, kemudian kepala itu menunduk dan terdengar suaranya lirih, "Aku... aku selalu menyusahkanmu... sudah berkali-kali engkau menolong dan menyelamatkan aku, Kun Liong. Kenapa?"
Hong Ing mengangkat mukanya dengan tiba-tiba dan sepasang mata itu kini begitu tajam pandangnya, tajam penuh selidik seolah-olah hendak menjenguk isi hatinya.
"Kenapa? Tentu saja aku menolongmu Hong Ing, menolong sedapatku dan hal itu sudah lumrah, bukan? Siapa pun tentu akan menolong setiap orang yang menderita dan tengah terancam bahaya."
"Jadi bukan karena aku..."
"Maksudmu?"
Muka yang cantik itu kembali menunduk dan terdengar helaan napas panjang-panjang sebelum Hong Ing bersuara lagi, "Jadi bagimu, siapa saja yang terancam bahaya, tentu akan kau tolong?"
"Tentu saja, sedapat mungkin. Mengapa kau bertanya demikian?"
Hong Ing kembali mengangkat wajahnya dan kini wajah itu kelihatan lesu, seperti orang kecewa. Kun Liong menjadi bingung dan terheran-heran.
"Tidak apa-apa, aku hanya bertanya... dan kau memang seorang pendekar budiman. Hal ini seharusnya kuketahui sejak dahulu."
"Aihh, jangan memuji, Hong Ing. Aku hanya orang biasa saja."
"Mungkin ilmu kepandaianmu tak terlalu tinggi, akan tetapi keberanianmu menolong orang lain amat besar."
"Sudahlah, Hong Ing. Kepalaku bisa menjadi lebih besar lagi kalau kau melanjutkan pujian kosong itu. Lebih baik kau ceritakan bagaimana kau yang tadinya dibawa oleh suci-mu itu tiba-tiba bisa menjadi orang tawanan Kim Seng Siocia."
Hong Ing menghela napas lagi dan kini alisnya berkerut tanda bahwa hatinya benar-benar merasa tertekan dan berduka. Teringat akan suci-nya, dia lalu melupakan keadaan dirinya sendiri. Urusan suci-nya sebenarnya merupakan urusan yang memalukan sekali sehingga seyogianya dirahasiakan dari siapa pun juga. Akan tetapi entah mengapa, terhadap Kun Liong, semenjak pertemuan pertama, dia tidak bisa menyimpan rahasia, seolah-olah Kun Liong adalah seorang yang benar-benar sudah dipercayanya, seseorang yang lebih dari sahabat biasa, lebih dari saudara!
"Suci... dia... dia seperti juga engkau, demi menolongku dia rela mengorbankan dirinya menjadi isteri manusia iblis Ouwyang Bow..."
"Hah...?!" Berita ini benar-benar sangat mengejutkan hati Kun Liong. Lauw Kim In, dara yang manis dan dingin itu, menjadi isteri seorang manusia seganas Ouwyang Bouw yang berotak miring?
"Bagaimana... bagaimana hal itu bisa terjadi?"
Hong Ing lalu menceritakan kesemuanya. Mula-mula dia menceritakan tentang suci-nya yang patah hati akibat tunangannya menyeleweng, berjinah dengan isteri muda Thian-ong Lo-mo sehingga tunangan itu terbunuh oleh kakek ini. Hal itulah yang membuat suci-nya menjadi dingin dan membenci atau memandang rendah pria.
Kemudian diceritakannya betapa mereka berdua bertemu dengan Ouwyang Bouw yang amat lihai hingga akhirnya mereka berdua tertawan. Barulah mereka dibebaskan setelah suci-nya menerima pinangan Ouwyang Bouw yang tergila-gila kepadanya.
"Aku tahu mengapa suci mengorbankan diri sedemikian rupa. Bukan semata-mata untuk menyelamatkan aku, namun juga untuk kepentingannya sendiri. Dia akan dapat mewarisi ilmu-ilmu tinggi dari Ouwyang Bouw sehingga terbuka kemungkinan baginya untuk dapat membalas dendam, di samping menyelamatkan dirinya sendiri yang tentu akan ternoda dan mungkin tewas apa bila menolak pinangan itu. Kasihan sekali Suci..."
Kun Liong menghela napas panjang. "Seseorang yang keadaan hidupnya sendiri sangat sengsara akan tetapi melupakan keadaan sendiri dan mengingat serta menaruh kasihan kepada orang lain merupakan ciri seorang yang mempunyai hati mulia penuh welas asih. Aku kagum kepadamu, Hong Ing."
"Tidak perlu kau memuji, Kun Liong." jawab Hong Ing cepat-cepat sambil menekan debar jantungnya yang menjadi gembira mendengar pujian itu. "Memang aku sudah melupakan diriku sendiri. Apa sih yang kuharapkan lagi?"
"Aahh, mengapa dilanda putus asa selagi hidup? Teruskanlah ceritamu, bagaimana kau sampai terjatuh ke tangan Kim Seng Siocia yang gila itu."
"Aku tersesat jalan karena mengambil jalan lain agar jangan sampai ketahuan oleh Subo. Tanpa kusengaja aku memasuki daerah kekuasaan Kim Seng Siocia dan aku ditawannya. Kemudian wanita gila itu menyuruh aku bekerja di sana, yaitu berdoa untuknya, berdoa agar dia cepat membalas dendamnya kepada Pendekar Sakti Cia Keng Hong."
"Hemmm..."
"Tentu saja aku tidak pernah berdoa apa-apa untuknya, akan tetapi aku pun tidak berani membantah karena hal itu berarti kematian. Dia amat lihai... dan untung sekali kau dapat lolos, Kun Liong. Aku masih heran bagaimana kau dapat lolos dari orang selihal itu. Tentu kau menggunakan akal bujuk rayu, bukan?"
Kun Liong menggelengkan kepalanya yang gundul. Dia tahu bahwa dara ini menyangka bahwa ilmu kepandaiannya ‘biasa’ saja dan dia pun tidak ingin membuka rahasianya.
"Memang aku sudah menggunakan akal menyerah karena tidak berdaya, akan tetapi aku tidak biasa membujuk rayu siapa pun juga, apa lagi orang semacam dia. Aku berhasil membuatnya tidak berdaya. Ehh, soal itu tidak penting, Hong Ing. Sekarang bagaimana? Hari sudah terang, mari kita lekas melanjutkan perjalanan. Tentu Kim Seng Siocia akan melakukan pengejaran, dan belum lagi bahayanya bila mana subo-mu sampai turut pula mencari."
Pucat wajah Hong Ing dan dia cepat meloncat berdiri. Mendengar tentang subo-nya, dia menjadi takut sekali. "Aih, sampai lupa aku keenakan bicara di sini. Mari kita cepat pergi, kita masih berada di wilayah Go-bi-san."
"Sebaiknya kita pergi ke timur. Di tempat ramai seperti di timur, di mana banyak terdapat kota-kota besar, tentu lebih mudah bagi kita untuk melarikan diri."
Hong Ing mengangguk. "Dan di sana banyak terdapat kuil-kuil Kwan-im-bio yang besar di mana aku dapat minta tolong dan bersembunyi."
Berangkatlah dua orang ini dengan tergesa-gesa, melanjutkan pelarian mereka menuju ke timur. Berhari-hari mereka melakukan perjalanan cepat tanpa henti, keluar masuk hutan di Pegunungan Go-bi-san, kemudian melintasi padang pasir. Mereka melakukan perjalanan dengan cepat, hanya berhenti kalau mau makan atau tidur saja sehingga beberapa hari kemudian mereka telah keluar dari daerah Go-bi-san dan tiba di tepi Sungai Huang-ho.
Walau pun air Sungai Huang-ho tidak dapat dikatakan jernih, namun sesudah melakukan perjalanan berhari-hari melintasi padang pasir yang panas, kedua orang itu dengan girang dan lega menuruni tepi sungai dan menggunakan air sungai itu untuk membasahi muka, leher, kedua tangan dan kaki mereka.
"Tangkap mereka!"
Kun Liong dan Hong Ing yang sedang bergembira karena bertemu dengan air yang dingin sejuk hingga melupakan segala urusan mereka, terkejut bukan main dan keduanya cepat melompat ke darat. Dapatlah dibayangkan betapa kaget hati Hong Ing pada saat melihat subo-nya, Go-bi Sin-kouw bersama Pangeran Han Wi Ong dan sepasukan tentara yang jumlahnya ada lima puluhan orang!
"Nona Pek Hong Ing, mengapa engkau menjadi begini...? Dengan mati-matian kami telah mencarimu..." Pangeran itu berkata dengan nada suara berduka sekali ketika melihat dara yang dicintanya itu telah menjadi seorang nikouw seperti itu.
"Pangeran Han Wi Ong, pinni sudah menjadi seorang nikouw, perlu apa dicari lagi?" Hong Ing berkata.
"Hong Ing, murid durhaka!" Tiba-tiba Go-bi Sin-kouw membentak.
Mendengar bentakan gurunya ini, Hong Ing yang sejak kecil diasuh dan dididik nenek itu cepat menjatuhkan diri berlutut dan menangis terisak-isak.
Kun Liong memandang penuh perhatian. Harus diakuinya bahwa Pangeran Han Wi Ong, sungguh pun sudah berusia empat puluh tahun, namun masih tampak muda dan tampan gagah, sesungguhnya tidak mengecewakan menjadi suami Hong Ing, apa lagi mengingat bahwa Pangeran itu mempunyai kedudukan tinggi. Dicinta oleh seorang seperti itu dan menjadi isterinya, sebetulnya merupakan nasib baik bagi diri Hong Ing.
Ada pun nenek itu mendatangkan rasa gentar juga di hati Kun Liong. Nenek itu usianya tentu sudah sekitar enam puluhan tahun, punggungnya bungkuk, pakaiannya serba hitam, rambutnya digelung ke atas dan muka penuh keriput itu membayangkan kehidupan yang sengsara sehingga membuat wajah itu nampak bengis. Tangan kiri nenek itu memegang sebatang tongkat butut berwarna hitam pula.
Kelihatannya saja seorang nenek yang ringkih serta lemah, akan tetapi Kun Liong dapat menduga bahwa nenek ini tentu memiliki kepandaian tinggi, maka dia bersikap waspada. Selain berhadapan dengan nenek dan Pangeran itu, dia dan Hong Ing juga telah dikurung rapat oleh lima puluh orang tentara anak buah pasukan yang mengawal Pangeran Han Wi Ong.
"Subo..." Hong Ing berkata.
"Hong Ing, di mana suci-mu?"
"Dia telah ikut dengan Ouwyang Bouw, Subo...," dengan suara berat Hong Ing kemudian menceritakan perihal suci-nya.
Sepasang mata nenek itu yang sipit sekali mengeluarkan sinar kemarahan dan mulutnya cemberut sehingga mukanya menjadi semakin bengis. "Setan! Semua gara-gara engkau yang murtad! Dan siapa laki-laki gundul ini?"
"Dia... dia sahabat teecu (murid), dan dia sudah berkali-kali menolong teecu dari bahaya kematian..."
"Bohong! Tentu dialah yang membujukmu melarikan diri dan menjadi nikouw. Hong Ing, saat ini juga engkau harus ikut denganku, membatalkan keadaanmu sebagai nikouw dan siap menghadapi pemikahanmu dengan Pangeran Han Wi Ong!"
"Subo..."
"Diam! Kau mau melawan gurumu?"
Hong Ing hanya menangis. Melihat ini, Kun Liong melangkah maju dan berkata dengan suara nyaring.
"Apakah saya berhadapan dengan Go-bi Sin-kouw?"
Nenek itu mendengus. "Mau apa kau? Karena kau sudah berani membujuk muridku, kau harus mampus!"
"Nanti dulu, Go-bi Sin-kouw. Mampus ya mampus, tetapi ingatlah bahwa perbuatanmu ini sungguh amat tidak patut! Memaksa murid sendiri untuk melakukan pernikahan yang tak disukainya. Memaksa murid sendiri yang sudah menjadi nikouw untuk menikah. Mana ada guru ingin melihat murid sendiri menderita sengsara?"
"Heii, kau! Siapa kau berani mencampuri urusan kami?" Tiba-tiba Pangeran Han Wi Ong melangkah maju. "Tidak tahukah kau dengan siapa kau berhadapan? Aku Pangeran Han Wi Ong, putera Kaisar! Tahu engkau? Apakah engkau hendak menjadi pemberontak yang dapat dihukum mati? Kau pergilah dan jangan mencampuri urusan Nona Pek Hong Ing dengan kami, maka aku masih akan mengampunimu. Kalau tidak, kau kuanggap sebagai pemberontak dan akan kutangkap."
Mendongkol juga hati Kun Liong. Dia dianggap begitu pengecut dan mudah ditakut-takuti lalu disuruh meninggalkan Hong Ing yang sedang dihadapi orang-orang seperti harimau kelaparan itu!
"Maaf, Pangeran. Sebagai seorang berkedudukan tinggi dan terpelajar, tentu Pangeran juga maklum betapa tidak baiknya memaksa seorang gadis seperti Nona Pek Hong Ing yang sudah menjadi nikouw untuk menikah. Betapa rendahnya perbuatan seperti itu."
"Keparat! Pemberontak laknat! Pasukan, hayo tangkap dia!" Pangeran itu memerintahkan anak buahnya dan pasukan yang sudah siap itu lantas maju mengurung Kun Liong yang sudah bersiap pula untuk membela diri.
"Tahan dulu senjata!" Bentakan ini demikian nyaring dan mengandung khikang amat kuat sehingga mengejutkan semua orang, bahkan pasukan yang sudah bersiap menyerbu dan mengeroyok Kun Liong menjadi ragu-ragu. Mereka membuka kepungan dan membiarkan wanita gemuk yang baru berteriak tadi memasuki lapangan itu dan berhadapan dengan Go-bi Sin-kouw serta Pangeran Han Wi Ong.
Kun Liong dan Hong Ing menjadi semakin kaget. Celaka sekali! Kim Seng Siocia sudah muncul pula dan mereka maklum bahwa di belakang wanita gendut ini tentu terdapat pula banyak anak buahnya. Dugaan mereka benar karena kini nampak bermunculan puluhan orang wanita anak buah Kim Seng Siocia, mereka sudah siap dengan senjata lengkap pula. Pasukan pemerintah pengawal Pangeran Han Wi Ong menjadi bingung pada saat melihat ‘pasukan’ wanita yang cantik-cantik itu!
"Go-bi Sin-kouw, engkau orang tua harap tidak bertindak sembarangan!" Kim Seng Siocia menegur sambil memandang nenek itu.
Go-bi Sin-kouw mendengus marah. "Siapa engkau?" bentaknya.
"Aku? Aku adalah Kim Seng Siocia, pewaris dari Go-bi Thai-houw."
Tentu saja Go-bi Sin-kouw terkejut mendengar nama ini dan dia pun memandang dengan penuh perhatian dan juga keheranan. Perempuan gendut ini pewaris Go-bi Thai-houw yang kabarnya amat lihai itu? Betapa pun juga, dia tidak berani sembarangan dan balas menegur "Mengapa kau menuduh aku bertindak sembarangan?"
"Mengapa kau hendak membunuh orang ini?" Kim Seng Siocia menudingkan telunjuknya yang besar ke arah Kun Liong.
"Hemm, dia telah membujuk muridku melarikan diri. Karena itu, dia harus mainpus!"
"Enak saja bicara! Apakah dia itu adalah muridmu?" Dia menuding ke arah Hong Ing.
"Benar."
"Kalau begitu, kau ngawur! Laki-laki ini adalah suamiku dan dia lari karena terbujuk oleh Pek Hong Ing muridmu itu. Jadi sebetulnya, Pek Hong Ing itulah yang harus kubunuh dan aku datang untuk mengambil pulang suamiku."
Go-bi Sin-kouw semakin bingung. Dia hendak mendapatkan kembali muridnya, kemudian memaksanya menjadi isteri Pangeran Han Wi Ong yang merupakan jalan baginya untuk memperoleh kemuliaan, dan membunuh pemuda gundul yang hanya menjadi penghalang itu. Sekarang Kim Seng Siocia muncul dengan niat yang berlawanan. Yaitu mengambil kembali pemuda gundul itu dan membunuh Pek Hong Ing!
"Mau membunuh muridku? Akan kulihat lebih dahulu sampai di mana kemampuan!" Go-bi Sin-kouw membentak dan tongkatnya sudah meluncur ke depan merupakan sinar hitam yang berkelebat cepat sekali.
"Wuuuutttt... taarrr!"
Tongkat itu tertangkis oleh cambuk di tangan Kim Seng Siocia dan kedua orang itu lalu mencelat mundur dengan kaget, maklum akan kehebatan tenaga lawan masing-masing. Mereka saling memandang dan sudah siap untuk bertanding mati-matian memperebutkan kebenaran.
"Harap. Ji-wi (Anda Berdua) bersabar dulu!" Tiba-tiba Han Wi Ong berkata dengan suara penuh wibawa.
Dua orang wanita itu melangkah mundur dan memandang kepada Han Wi Ong. Betapa pun juga, laki-laki ini adalah seorang pangeran, baru pakaiannya saja sudah menimbulkan segan di hati orang.
"Mengapa Ji-wi harus saling serang? Ada jalan yang sangat mudah dan baik. Nona ini datang untuk minta kembali suaminya, pemuda gundul itu, dan Sin-kouw juga menuntut supaya muridnya, Nona Pek Hong Ing kembali bersama dia. Nah, ada urusan apa lagi? Biarlah pemuda gundul itu pergi bersama Kim Seng Siocia, sebaliknya Nona Pek Hong Ing ikut bersama gurunya, bukankah beres sudah dan tidak perlu timbul pertandingan yang tiada gunanya?"
Kim Seng Siocia dan Go-bi Sin-kouw saling pandang kemudian keduanya mengangguk-angguk. Memang tidak ada perlunya mereka harus bertanding, pula memang di dalam hati masing-masing sudah timbul perasaan jeri. Go-bi Sin-kouw maklum akan kelihaian wanita gendut itu, dan sebaliknya, Kim Seng Siocia juga maklum bahwa agaknya Go-bi Sin-kouw dibantu oleh Pangeran dan tentara kerajaan sehingga amatlah berbahaya kalau dia sampai bentrok dengan mereka.
"Hi-hi-hi-hik, memang tepat sekali! Go-bi Sin-kouw, kita adalah tetangga, perlu apa mesti saling bermusuhan? Aku tidak membutuhkan muridmu, hanya menginginkan kembalinya suamiku."
“Memang apa yang diucapkan Pangeran Han Wi Ong benar sekali, Kim Seng Siocia. Aku pun hanya membutuhkan kembalinya muridku. Nah, kau bawalah suamimu dan kuharap kau tidak lupa untuk mengirim undangan, sedangkan aku pun pasti akan mengharapkan kedatanganmu untuk mencicipi arak merah jika muridku melangsungkan pernikahannya dengan Pangeran Han Wi Ong.”
Kim Seng Siocia terkekeh girang.
“Kalian sungguh tidak tahu aturan!” Tiba-tiba Kun Liong menegur dengan suara lantang dan pemuda ini sudah bergerak maju beberapa langkah sedangkan Hong Ing mengikuti di belakangnya dengan muka pucat.
Dara ini sudah merasa putus harapan karena maklum bahwa mana mungkin dia dan Kun Liong mampu menghadapi subo-nya dan Kim Seng Siocia ditambah lagi dengan pasukan Pangeran dan anak buah wanita gemuk itu?
“Kun Liong…, sudahlah, kau pergilah, lekas lari tinggalkan aku…,” Hong Ing memegang lengan Kun Liong.
“Engkau diamlah, Hong Ing, dan serahkan urusan ini kepadaku,” kata Kun Liong yang kemudian memandang kepada Go-bi Sin-kouw dan Kim Seng Siocia.
Kim Seng Siocia maju dua langkah ke depan, kemudian jarinya menunjuk ke muka Kun Liong dan berkata, “Kau sudah berjanji untuk secara suka rela menjadi suamiku asal aku membebaskan Pek Nikouw. Sekarang dia telah bebas, maka kau harus kembali ke istana dan menjadi suamiku!”
“Mulutmu minta aku suka rela menjadi suamimu, sementara tanganmu mengancam Pek Hong Ing dan akan membunuhnya jika aku menolak. Apakah demikian yang kau maksud dengan suka rela?” Kun Liong menjawab dengan lantang.
Pemuda ini benar-benar merasa marah. Pada satu pihak, Hong Ing dipaksa oleh gurunya untuk menjadi isteri laki-laki yang tidak disukainya, walau pun laki-laki itu adalah seorang pangeran. Pada pihak lain, bahkan dirinya sendiri dipaksa untuk secara suka rela menjadi suami wanita gendut tetapi pada waktu bersamaan sedang mengancam nyawa Hong Ing.
“Jadi kau menolak untuk kembali ke istanaku?” tanya Kim Seng Siocia, dalam suaranya terkandung nada mengancam.
“Tentu saja aku menolak!” jawab Kun Liong, masih dengan suara lantang karena hatinya juga masih panas.
“Baik, kalau kau tidak mau kembali secara baik-baik, aku akan menyeretmu pulang!”
Baru saja selesai berkata, tangan Kim Seng Siocia sudah bergerak dan segera terdengar suara meledak-ledak cambuk panjang di tangannya yang telah menyambar-nyambar turun ke arah kepala Kun Liong,
Wanita gendut ini marah sekali. Ketika sinkang-nya disedot di atas pembaringan malam tadi, dia sudah terkejut dan dapat menduga bahwa itulah Ilmu Thi-ki I-beng yang kabarnya hanya dimiliki oleh Pendekar Sakti Cia Keng Hong. Maka timbullah dugaannya bahwa tentu ada hubungan di antara pemuda gundul itu dengan Cia Keng Hong musuh besarnya.
Dia merasa betapa tenaganya tinggal setengahnya dan meski pun dia sudah melakukan siu-lian dan mengumpulkan hawa sakti, namun tenaganya masih belum pulih seluruhnya ketika pada keesokan harinya dia melakukan pengejaran dengan seluruh anak buahnya. Inilah sebabnya mengapa ketika dia mengadu tenaga denga Go-bi Sin-kouw, dia hanya seimbang dengan nenek itu, padahal dalam keadaan biasa, dia tentu jauh lebih kuat.
Kemarahannya lalu memuncak dan dengan mengandalkan bantuan Go-bi Sin-kouw, anak buahnya dan pasukan Pangeran Han Wi Ong, dia kini menerjang Kun Liong dengan niat, kalau mungkin menawannya, kalau tidak membunuhnya! Tentu saja dia senang sekali kalau berhasil menawan pemuda gundul ini karena selain dia ingin memperoleh tubuhnya, juga dia ingin pula bertanya tentang bokor emas seperti yang diceritakan oleh Markus kepadanya.
Kun Liong cepat menghindarkan diri dan berusaha menangkap ujung cambuk, tetapi Kim Seng Siocia sudah menarik kembali cambuknya. Dia berteriak kaget ketika tubuh Kun Liong dengan kecepatan kilat telah meloncat ke arahnya pada saat cambuk ditarik kembali, dan tahu-tahu tangan pemuda itu sudah menyambar hendak merampas gagang cambuk.
“Aihhhh…!”
“Dukkk!”
Terpaksa Kim Seng Siocia menangkis dengan tangan kirinya, tangkisan yang dilanjutkan dengan dorongan ke arah pundak Kun Liong. Gerakannya tak tersangka-sangka sehingga pundak pemuda itu dapat didorongnya, akan tetapi akibatnya dia sendiri yang terdorong sehingga dia cepat melempar tubuhnya ke atas tanah lalu bergulingan.
“Murid murtad!” Pada saat itu pula kedua tangan Go-bi Sin-kouw sudah mencengkeram ke arah Hong Ing untuk menangkap muridnya itu.
Betapa pun marahnya kepada Hong Ing, nenek ini tidak mau memukul dan hanya ingin menangkap karena dia masih mengharapkan muridnya menjadi isteri Pangeran Han Wi Ong, oleh karena hal ini akan mengangkat derajatnya sebagai guru atau mertua seorang pangeran!
“Plakk! Plakk!”
Nenek itu menjerit dan terhuyung ke belakang ketika lengannya tertangkis oleh lengan Kun Liong.
Pemuda ini telah membuat Kim Seng Siocia terdorong sehingga terpaksa bergulingan di atas tanah. Tepat pada saat itu pula dia dapat melihat dua tangan Go-bi Sin-kouw sedang mengancam hendak menangkap Hong Ing. Maka dia segera meninggalkan lawan gendut itu dan seperti kilat tubuhnya berkelebat cepat lantas menangkis kedua tangan nenek lihai yang menjadi guru Hong Ing, membuat tubuh Go-bi Sin-kouw terguling roboh.
Mata Hong Ing terbelalak. Hampir dia tak dapat percaya. Yang dilihatnya tadi terlalu aneh. Gurunya dan Kim Seng Siocia, kedua orang yang sakti itu, terguling oleh gempuran Kun Liong hanya dalam segebrakan saja?
"Hong Ing, kau larilah...!" Kun Liong cepat berkata, sambil menyambar lengan dara itu dan ditariknya Hong Ing yang tadi berlutut itu sehingga berdiri.
Hong Ing masih bengong memandang kepadanya, lalu dara itu menggelengkan kepala.
"Aku pergi dan kau...?"
"Wuuutt... tar-tarr...!"
Kun Liong mendorong tubuh Hong Ing sehingga dara ini terguling, sedangkan dia sendiri segera meloncat ke samping untuk menghindarkan diri dari sambaran cambuk di tangan Kim Seng Siocia. Namun ujung cambuk itu langsung membalik dan mengejarnya ke mana pun juga dia bergerak.
Kun Liong menjadi repot juga dan tiba-tiba dia mengelak sambil melempar tubuh ke atas tanah ketika cambuk itu kembali menyambar. Sambil berguling dia menggenggam tanah bercampur pasir di tangannya, kemudian terus bergulingan mendekati Kim Seng Siocia. Ketika dia melirik dan melihat Go-bi Sin-kouw kembali sudah menghampiri Hong Ing yang kelihatan gentar dan tidak berani melawan, mendadak Kun Liong memekik keras sekali, mengejutkan hati semua orang, kedua tangannya bergerak ketika tubuhnya mencelat ke atas dan... batu bercampur pasir meluncur ke arah Kim Seng Siocia dan Go-bi Sin-kouw!
"Hayaaaa...!" Kim Seng Siocia berseru dan cepat memutar cambuk memukul sinar itu.
Juga Go-bi Sin-kouw terkejut dan cepat menarik kembali tangannya yang tadinya hendak memegang lengan muridnya dan dia dapat meloncat dan berjungkir balik menghindarkan diri dari sambaran sinar kehitaman itu.
Mereka sudah berhasil menghindarkan diri dari sambaran tanah, akan tetapi debu masih mengebul, membuat mereka cepat-cepat mundur karena mengira bahwa Kun Liong telah melepaskan benda yang mengandung racun. Kesempatan ini digunakan oleh Kun Liong untuk mendekati Hong Ing dan dia berbisik,
"Pergilah. Aku dapat melawan mereka."
"Mana mungkin?" Hong Ing berbisik dengan wajah penuh putus asa, "Kita telah dikepung oleh tentara dan anak buah Kim Seng Siocia..."
"Pakai akal! Menyelinap di antara pasukan... yang lihai hanya mereka berdua..."
"Siuuuttt... tar-tar-tar...!"
Kun Liong terkejut sekali karena dia sedang mendorong tubuh Hong Ing ke arah pasukan tentara yang mengepung sehingga dia kurang cepat mengelak dan sambaran ke tiga dari cambuk itu sudah mengenai pundaknya. Bajunya di bagian pundak itu robek dan sedikit kulit pundaknya tergigit robek oleh piauw yang diikat di ujung cambuk sehingga berdarah.
"Wirrrrr...!"
Tongkat di tangan Go-bi Sin-kouw menyambar dan Kun Liong cepat meloncat ke kanan, mengelak. Pada lain saat dia telah dikeroyok oleh dua orang wanita lihai itu sehingga dia harus berloncatan ke sana-sini untuk menyelamatkan diri. Akan tetapi hatinya lega karena Hong Ing telah menurut permintaannya.....