"Hong Ing...!" Kun Liong memanggil lagi sambil meninggalkan lawan meloncat ke dalam.
"Aduh mati aku...!" Tiba-tiba nona gendut itu berteriak dan terguling!
Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati Kun Liong melihat tubuh gendut itu terguling dan dari mulut nona itu menyembur darah segar. Dia tidak merasa memukul, akan tetapi jelas nona itu muntah darah.
"Eihh, kenapa kau, Siocia?" Hatinya yang penuh kelembutan itu merasa tidak tega dan dia meloncat kembali menghampiri Kim Seng Siocia.
Tiba-tiba terdengar nona itu terkekeh dan tubuhnya sudah meloncat dengan sigapnya, mendahului Kun Liong memasuki istananya!
"Ihhh... penipu!" Kun Liong berseru marah dan mengejar dengan khawatir. Tahulah dia bahwa nona gendut itu tadi sengaja menipunya dan entah bagaimana dapat muntahkan darah seperti itu, untuk mencegahnya memasuki istana lebih dulu.
Kekhawatirannya terbukti ketika dia memasuki ruangan yang besar itu. Hong Ing dalam keadaan terikat kedua lengannya ke belakang, berdiri di dekat kursi besar sedangkan Kim Seng Siocia memegangi tali panjang sisa pengikatnya dan memegang tengkuk Hong Ing sambil tersenyum manis memandang Kun Liong yang melangkah masuk.
"Kun Liong...!" Hong Ing berkata lemah sesudah melihat pemuda itu. Totokan yang tadi membuatnya gagu telah dibebaskan akan tetapi dia hanya mampu mengeluarkan suara lemah setelah sekian lamanya gagu.
"Hong Ing...!" Kun Liong berseru penuh kemarahan. Namun hatinya menjadi lega melihat bahwa Hong Ing masih hidup. Dia berpaling kepada Kim Seng Siocia, dan berkata,
"Kim Seng Siocia, kenapa engkau menawan Pek Hong Ing? Apakah kesalahannya maka engkau menawannya?"
"HI-hik, kesalahannya banyak, tapi tidak perlu dibicarakan. Yang penting sekarang adalah membicarakan urusan antara kita! Sahabatmu, Pek Nikouw ini sudah berdoa supaya aku bisa lekas dapat jodoh dan ternyata doanya terkabul hari ini! Engkau datang dan engkau memenuhi semua syarat untuk menjadi suamiku."
Kun Liong melongo, matanya terbelalak dan mulutnya ternganga. "A... apa...?"
"Hi-hik! Aku hanya mau menjadi isteri seorang pemuda tampan dan gagah yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Dan kau ganteng, biar kepalamu gundul tapi kau tampan dan aku suka padamu, aku cinta padamu. Kau adalah calon suamiku!"
"Tidak!" Kun Liong berseru marah, mukanya menjadi merah sekali. "Aku tak akan menjadi suami siapa pun juga! Lebih baik kau lepaskan Hong Ing!" katanya pula mengancam.
"Eiiit-eiiittt... jangan bergerak! Kalau kau bergerak, lebih dahulu aku akan membunuh Pek Nikouw!" Jari-jari tangan wanita itu mengancam tengkuk Hong Ing maka lemaslah tubuh Kun Liong karena dia maklum bahwa sekali jari tangan itu bergerak, tentu akan tewaslah Hong Ing!
"Kim Seng Siocia, apakah kehendakmu?"
"Engkau harus menyerah dan menjadi suamiku. Kalau kau menyerah, barulah aku akan membebaskan Pek Nikouw. Betapa pun juga, jika kau menjadi suamiku, berarti dia telah berjasa. Aku tidak akan mengganggunya, hi-hik. Tetapi kalau kau melawan, dia akan mati lebih dulu!"
Kun Liong memutar otaknya. Betapa pun cepat dia bergerak, tidak mungkin dia mampu mendahului tangan yang sudah menempel di tengkuk Hong Ing itu, maka dia sama sekali tidak berdaya.
"Baiklah, aku menyerah. Akan tetapi kau berjanjilah dulu tidak akan mengganggu dia dan akan membebaskannya."
"Tentu saja, aku berjanji. Acui dan Amoi, ikat dia dulu!"
Sambil tersenyum-senyum dua orang pelayan yang cantik dan lihai itu lalu menghampiri Kun Liong dan mengikat kedua lengan Kun Liong ke belakang tubuhnya.
"Kun Liong! Jangan mau tertipu...!" Tiba-tiba Hong Ing berteriak.
Akan tetapi karena Kun Liong sudah dibelenggu, pemuda itu tidak dapat berbuat sesuatu, apa lagi karena dia memang tidak berani bergerak, takut kalau-kalau Hong Ing dibunuh oleh Kim Seng Siocia yang aneh itu.
"Hi-hi-hik, nikouw lancang. Siapa yang mau menipunya? Aku bahkan mau mengambilnya sebagai suami, dan engkau adalah pendetanya yang akan memberkati dan berdoa untuk kami suami isteri, sepasang pengantin baru. Hi-hi-hik!" Kim Seng Siocia tertawa-tawa dan sudah tidak ‘menodong’ Hong Ing lagi karena melihat bahwa Kun Liong telah terbelenggu erat-erat.
"Kun Liong...!" Hong Ing yang merasa tidak diancam lagi, melihat Kun Liong dibelenggu, lalu berlari menghampiri pemuda itu. "Kun Liong, selagi masih ada kesempatan, larilah. Jangan kau hiraukan aku. Kau terjebak, di sini ada Marcus..."
Tiba-tiba terdengar suara ketawa bergelak dan Marcus muncul dari pintu samping. Kim Seng Siocia sudah mencelat dari tempat duduknya, dengan cepatnya dia menggunakan sisa tali pengikat Hong Ing yang masih panjang untuk dilibat-libatkan di tubuh Kun Liong dan Hong Ing hingga kedua orang ini sekarang diikat menjadi satu, saling membelakangi. Keadaan ini membuat mereka tak dapat berkutik lagi!
Kun Liong terkejut pada saat melihat Marcus, akan tetapi dia bersikap tenang saja karena betapa pun juga dia kini harus mengalah untuk menyelamatkan Hong Ing yang tadi sudah terancam. Sekarang, dia berusaha melepaskan diri dari belenggu secara diam-diam, akan tetapi terkejutlah dia ketika mendapat kenyataan bahwa tali yang mengikat mereka itu tak mungkin dapat dipatahkan karena mulur dan ulet seperti karet. Maka dia tenang kembali dan ingin melihat perkembangan keadaan sambil menanti terbukanya kesempatan untuk menolong Hong Ing.
Maka dia lalu berkata lirih dan jari tangannya menyentuh serta memberi isyarat kepada lengan dara itu yang menempel pada lengannya sendiri. "Tenanglah, Hong Ing. Aku yakin bahwa Kim Seng Siocia tidak berniat buruk terhadap kita berdua."
"Tentu saja tidak, Kun Liong. Aku akan mengangkatmu menjadi suamiku, apakah itu niat buruk?" Nona gendut itu berteriak.
"Bagus sekali! Aku mengucapkan selamat, Siocia. Memang dia pantas menjadi suamimu, tampan, gagah dan... berharga sekali! Dan Pek Nikouw itu hanya seorang nikouw palsu, dia gadis cantik dan... biarlah dia untuk aku saja," kata Marcus.
"Marcus, kubunuh kau kalau..." Kun Liong membentak, kemudian menoleh kepada Kim Seng Siocia yang sudah duduk lagi di atas kursi besar itu. "Siocia, kau telah berjanji akan membebaskan Hong Ing! Kalau kau melanggar janji dan berani menyerahkan Nona Pek Hong Ing kepada babi putih itu, sampai mati pun aku tak akan sudi menyerah kepadamu."
"Bocah gundul, kau masih banyak lagak, ya?" Marcus melangkah maju, hendak memukul kepala Kun Liong.
"Marcus, apakah kau sudah bosan hidup, berani hendak memukul calon suamiku? Hayo keluar kau dari sini!" Kim Seng Siocia membentak dan pemuda berkulit putih itu segera meninggalkan ruangan sambil bersungut-sungut tidak puas.
Setelah Marcus pergi, Kim Seng Siocia dengan muka ramah menuding kepada Kun Liong sambil berkata, "Yap Kun Liong, apakah engkau benar-benar telah menyerah kepadaku?"
"Kim Seng Siocia, buktinya aku tidak melakukan perlawanan."
"Bagus, kalau begitu, akan kupersiapkan pesta untuk upacara pernikahan kita dan..."
"Apa?!" Kun Liong bergerak-gerak sehingga Hong Ing turut terbawa. Keduanya terhuyung karena diikat menjadi satu seperti itu membuat kaki-kaki mereka amat sukar bergerak dan sedikit gerakan saja akan membuat mereka kehilangan keseimbangan tubuh.
"Kau bilang... pernikahan?"
"Hemmm, Yap Kun Liong, seorang laki-laki sejati tidak akan menjilat kembali ludah yang sudah dikeluarkannya. Engkau bilang menyerah, tapi..."
"Siocia! Menyerah dan menikah tidaklah sama! Aku hanya menyerah dan tidak melawan seperti kukatakan tadi, dan aku berjanji akan membebaskan Hong Ing."
"Kalau begitu, engkau tidak mau menjadi suamiku?" Mulut lebar yang tadinya tersenyum ramah itu, kini mewek seperti mau menangis.
"Siocia, maafkan aku. Aku tidak ingin menikah, tidak ingin menjadi suami siapa pun juga."
Sepasang mata wanita itu menyinarkan api kemarahan. "Begitukah? Kalau begitu, Pek Nikouw akan kusiksa sampai mati di depan matamu!"
Dia meloncat mendekat, menggunakan tali lain lagi untuk membelenggu kedua kaki Kun Liong, bahkan kini leher pemuda itu juga dikalungi tali dan tubuhnya dibelenggu erat-erat seperti seekor kerbau hendak disembelih, kemudian dibantu oleh Acui dan Amoi mereka bertiga memisahkan Hong Ing dan Kun Liong.
"Ambil cambukku!" bentaknya dengan marah.
Amoi segera berlari masuk, tak lama lagi keluar membawa sebatang cambuk hitam yang panjang. Cambuk itu kecil panjang mengerikan karena ujungnya dipasangi benda-benda kecil tajam meruncing!
"Tar-tar-tarrr…!" Cambuk itu meledak-ledak ketika diayun di atas kepala Kim Seng Siocia.
Hong Ing sudah memejamkan matanya, berdiri tegak dan siap menerima siksaan, siap pula menerima kematian. Dia tidak mau mendengar Kun Liong menerima menjadi suami wanita gendut itu. Lebih baik dia mati dari pada Kun Liong berkorban seperti itu!
"Siocia, tahan dulu...!" Kun Liong berteriak dengan dua mata terbelalak penuh kengerian membayangkan betapa kulit Hong Ing yang halus akan cabik-cabik digigit ujung cambuk mengerikan itu.
Cambuk yang sudah diputar-putar itu turun dan Kim Seng Siocia memandang Kun Liong dengan senyum simpul. "Kun Liong, tadi ketika aku bertanding denganmu, aku sengaja mengalah. Apa bila aku menggunakan cambukku ini, senjata maut yang kuandalkan, kau tak akan mampu menang. Akan tetapi mana aku tega melukaimu, kau calon suamiku!"
"Kim Seng Siocia, kau bebaskan Hong Ing dan aku menerima permintaanmu."
"Kun Liong, jangan!" Hong Ing menjerit dan mukanya merah sekali, terasa panas karena kemarahannya. "Biar pun aku dia bunuh, jangan kau penuhi permintaannya yang gila itu!"
Sesudah mengeluarkan kata-kata keras ini, diam-diam Hong Ing menjadi terheran-heran sendiri. Mengapa dia peduli amat apakah Kun Liong akan menjadi suami wanita itu atau tidak? Mengapa dia tidak rela melihat Kun Liong menjadi suami Kim Seng Siocia, bahkan dia lebih suka mati?
"Hong Ing, diamlah!" Kun Liong berkata, hatinya gelisah sekali sehingga dia sendiri pun tidak ingat lagi akan keanehan sikap Hong Ing. Satu-satunya yang penting bagi Kun Liong hanya menyelamatkan Hong Ing, dengan tebusan apa pun juga!
"Kau... kau mau menurut? Kau mau menjadi suamiku?"
Kun Liong menganggukkan kepalanya yang gundul ditambah kata-kata lirih, "Asal engkau membebaskan Hong Ing."
"Horeee...! Kau mau menjadi suamiku? Ha-ha-ha, yahuuuu...!" Kim Seng Siocia meloncat turun, menari-nari mengelilingi Kun Liong, lalu berhenti di depan pemuda itu, memegangi kepala Kun Liong, menariknya ke depan lalu...
"Cuuuppp...!" Kepala pemuda itu diciumnya sedemikian rupa sehingga Kun Liong merasa seolah-olah kepalanya dicap dengan besi panas!
"Terima kasih, calon suamiku! Acui, Amoi, persiapkan pesta untuk..."
"Siocia, aku menerima hanya dengan satu syarat, kalau tidak, biar kau membunuh kami berdua, aku tidak peduli lagi!"
"Wah-wah-wah, laki-laki kalau muda dan tampan, ada juga rewelnya, minta syarat segala macam. Anak bagus, syaratmu apakah? Tentu akan kupenuhi, jangan khawatir, Kim Seng Siocia adalah ratu di sini. Kau mau selir? Tinggal pilih! Acui ini yang cantik tenang, atau Amoi yang manis panas, atau jika memang kau kehendaki, kau boleh mengambil nikouw ini sebagai selirmu, seperti juga aku akan mengambil selir-selir yang kusukai. Mau harta benda? Sebut saja apa yang kau inginkan, tentu akan kupenuhi! Atau kau punya musuh? Akan kubantu kau sampai musuhmu hancur binasa. Kita suami isteri harus saling bantu membantu, bukan?"
Kun Liong menjadi muak mendengar ini, akan tetapi dia bersikap tenang dan berkata sungguh-sungguh, "Bukan itu semua. Syaratku yang terutama, nona Pek Hong Ing harus dibebaskan, dan ke dua, tidak perlu diadakan pesta dan pernikahan."
Kim Seng Siocia membelalakkan matanya. "Waaah, lha ini... ini bagaimana?"
"Pendeknya, kau terima atau tidak, aku tidak mau tawar-menawar lagi."
Kim Seng Siocia memutar biji matanya, lalu menarik napas panjang dan menggerakkan kedua pundaknya yang besar dan lebar. "Apa boleh buat, asalkan engkau suka menjadi suamiku. Aku pun punya syarat dan kalau engkau adil, engkau harus menerima syarat ini."
"Apa itu?" Kun Liong bertanya, hatinya tidak enak karena dia menduga bahwa di dalam sikapnya yang ketolol-tololan itu, wanita gendut ini agaknya cerdik sekali.
"Terlebih dulu engkau harus membuktikan kesanggupanmu menjadi suamiku, malam ini. Sementara itu, Pek Nikouw akan dijaga ketat oleh Acui dan Amoi. Kalau sedikit saja kau bergerak melawan, sekali aku berteriak, mereka akan membunuh Pek Nikouw dan aku akan menempurmu mati-matian dengan cambukku. Akan tetapi bila engkau benar-benar sudah membuktikan kemauanmu menjadi suamiku yang baik dan yang tercinta, barulah pada besok pagi dia kubebaskan!"
Kun Liong mengerutkan alisnya. Benar saja dugaannya. Perempuan ini cerdik sekali dan agaknya telah mencurigai dirinya. Memang dia tadi mengandung niatan hati bahwa sekali Hong Ing sudah bebas, sampai mati pun dia tidak mau ‘diperkosa’ atau dipaksa menjadi suami wanita ini diluar kehendak hatinya! Sekarang wanita itu telah menggunakan Hong Ing sebagai sandera!
Terpaksa dia mengangguk dan berbisik, "Baiklah, akan tetapi kau harus bersumpah tidak akan membohong bahwa besok pagi pasti akan membebaskan Hong Ing."
Sepasang mata itu melotot. "Yap Kun Liong, kau kira aku orang macam apa? Aku adalah pewaris dari Go-bi Thai-houw, sekali bicara tentu tak akan kulanggar sendiri!"
"Kun Liong, jangan percaya kepadanya!" Kembali Hong Ing berseru, hatinya panas sekali. "Aku tidak takut mati, jangan kau korbankan diri untukku!"
"Cusss!" Tangan Acui bergerak dan Hong Ing sudah menjadi gagu karena tertotok jalan darahnya di leher.
"Hi-hi-hik, bagus, Acui. Nah, Kun Liong, kalau kau banyak rewel, akan kusuruh Acui turun tangan membunuh Pek Nikouw. Aku berjanji akan membebaskannya besok pagi apa bila malam ini kau benar-benar dengan suka rela suka menjadi suamiku!"
Pucat wajah Kun Liong. Di dalam hatinya, tentu saja dia tidak sudi menjadi suami orang dengan paksaan seperti itu. Dia tidak sudi diperkosa wanita! Akan tetapi dia melihat jelas bahwa kalau dia menolak, tentu wanita gemuk yang aneh dan lihai ini tidak segan-segan untuk melaksanakan ancamannya, yaitu membunuh Hong Ing. Karena itu, dengan muka muram dan tubuh lesu dia mengangguk, "Baik, aku menyerah."
"Bawalah dia pergi dan siaplah kalian membunuhnya kalau Kun Liong main gila hendak melawan."
Acui dan Amoi mengangguk, kemudian mereka membawa Hong Ing yang terikat kuat itu pergi meninggalkan ruangan, diikuti oleh suara tawa Kim Sim Siocia yang kemudian turun dari kursinya, langsung dia melepaskan tali yang mengikat tubuh serta kedua lengan Kun Liong.
Pemuda gundul ini sudah tidak berdaya, tidak tahu harus bertindak bagaimana. Dia sudah dibebaskan dari belenggu, namun ada belenggu yang jauh lebih kuat dari pada tali-tali itu, yaitu Hong Ing yang dijadikan sandera dan dia tidak tahu ke mana dara itu dibawa. Tentu saja dia dapat memberontak dan melawan setelah tali itu terlepas dari kedua lengannya, akan tetapi hal itu sama artinya dengan membunuh Hong Ing!
"Suamiku yang baik, marilah kita berbincang di dalam kamarku, supaya kita dapat saling mengenal lebih baik lagi." Kim Seng Siocia tersenyum, menggandeng tangan Kun Liong dengan sikap mesra dan setengah menarik pemuda itu memasuki kamarnya yang megah dan mewah serta berbau harum. Kun Liong tidak berani membantah dan kedua kakinya menggigil karena dia merasa seakan-akan dia sudah menjadi seekor domba yang digiring memasuki tempat jagal di mana dia akan disembelih!
"Duduklah, Koko..." Kim Seng Siocia mempersilakan Kun Liong dengan suara merdu dan mengandung kemanjaan yang membuat Kun Liong merasa bulu tengkuknya meremang. Begitu mesranya wanita ini menyebutnya koko (kakanda)!
Dia tidak menjawab, hanya mengangguk dan duduk di atas sebuah bangku menghadapi meja yang terukir indah. Kim Seng Siocia lalu membalikkan tubuhnya menghadapi pintu kamarnya, bertepuk tangan tiga kali. Muncullah dua orang wanita muda yang cantik, dua orang pelayan yang menggantikan Acui dan Amoi karena kedua orang pelayan kepala itu sedang membawa pergi Hong Ing.
"Sediakan makan minum yang paling istimewa untuk kami berdua. Cepat!"
Dua orang pelayan itu memberi hormat, meninggalkan kamar dan menutupkan daun pintu kamar perlahan-lahan dari luar.
"He-he-he, hatiku riang gembira bukan main, Koko. Inilah saat yang kunanti-nanti selama hidupku. Aku benar-benar bahagia sekali." Dia menjatuhkan dirinya duduk di atas sebuah bangku dekat Kun Liong dan pemuda ini dengan hati ngeri mendengar suara bangku itu menjerit saking beratnya beban yang menghimpitnya.
"Koko yang baik, engkau dari manakah dan siapa kedua orang tuamu? Kelak aku tentu ingin sekali bertemu dan menyampaikan hormatku kepada ayah dan ibu mertua."
Kun Liong bergidik. Aih, bagaimana akan sikap ayah bundanya andai kata mereka masih hidup dan melihat ‘anak mantunya’ ini? Mukanya menjadi merah sekali dan dia berkata, "Aku tidak mempunyai tempat tinggal dan ayah bundaku sudah meninggal dunia, Siocia."
"Emmm...!" Kim Seng Siocia membanting-banting kedua kaki di lantai dan menggoyang-goyang tubuhnya dengan sikap kemanjaan seorang anak kecil yang sedang ‘ngambek’. "Tidak mau ahh kalau begitu! Aku sudah menyebutmu Koko, mengapa kau masih terus menyebutku Siocia? Suami isteri harus lebih mesra sebutannya!"
Aduh manjanya! Kun Liong bengong dan ingin sekali menampar kepala gundulnya sendiri mengapa dia terpaksa harus melayani wanita seperti ini. Sudah tubuhnya seperti gajah, usianya tentu sudah tiga puluhan tahun, masih manja seperti seorang kanak-kanak, atau seperti seorang wanita cantik yang dipuja-puja seorang pria yang tergila-gila kepadanya! Bukan main!
Akan tetapi karena khawatir kalau-kalau wanita ini menjadi marah benar-benar, dia cepat berkata, "Baiklah, aku akan menurut, akan tetapi aku tidak tahu sebutan apa yang harus kupakai."
"Ihhh... hi-hik, suamiku masih bodoh! Ehh, kau tentu mesih perjaka tulen, ya? Hi-hik, kau sebut aku Moi-moi!"
Ampun! Demikian jerit hati Kun Liong. Pantas menjadi bibinya dan dia disuruh menyebut moi-moi (adinda)!
"Baiklah, Moi-moi!" Kun Liong mengucapkan sebutan ini dengan suara sumbang karena baru pertama kali itulah dia menyebut wanita dengan sebutan adinda!
Tiba-tiba Kim Seng Siocia menangis! Menangis terisak-isak dan memegang kedua tangan Kun Liong. Pemuda ini makin kaget dan heran, mengira bahwa dia tentu telah melakukan kesalahan lagi diluar pengetahuannya.
"Hu-huu-huuk... sungguh kasihan engkau, Koko... hu-huuk, dan sungguh sial sekali aku... belum apa-apa sudah kematian ayah dan ibu mertuaku..."
Disinggung mengenai kematian ayah bundanya, kalau dalam keadaan biasa tentu paling sedikit hati Kun Liong akan merasa terharu juga. Akan tetapi sikap wanita ini keterlaluan, pakai menangis segala! Hanya anehnya, wanita ini menangis sungguh-sungguh dan air matanya bercucuran, bukan dibuat-buat. Diam-diam Kun Liong merasa makin ngeri sebab menduga bahwa tentu ada gejala-gejala tidak beres pada otak wanita ini.
Oleh karena Kun Liong memang tidak mau berbicara banyak, akhirnya Kim Seng Siocia menceritakan semua riwayatnya sendiri kepada Kun Liong yang didengarkan oleh pemuda ini dengan penuh perhatian. Penuturan wanita itu begitu menarik hatinya sehingga dia tak mempedulikan dan tidak merasa lagi betapa telapak tangan Kim Seng Siocia yang besar itu kadang-kadang membelai tangannya dengan mesra, bahkan kadang kala tangan yang berjari besar itu merayap naik dan mengelus kepalanya yang gundul!
Memang cerita wanita itu amat menarik hatinya. Dia sudah pernah mendengar penuturan ibunya tentang seorang datuk wanita yang berjuluk Go-bi Thai-houw dan menurut ibunya memiliki ilmu kepandaian yang amat luar biasa, akan tetapi datuk ini adalah seorang yang miring otaknya.
Ibunya bercerita betapa datuk wanita gila itu telah menimbulkan kekacauan besar, bahkan hampir saja berhasil merusak kehidupan ayah bundanya sendiri dan kehidupan Pendekar Sakti Cia Keng Hong dan isterinya, yaitu Sie Biauw Eng. Kemudian, berkat kesaktian Cia Keng Hong, akhirnya datuk wanita yang merupakan nenek iblis itu berhasil dibinasakan oleh Cia Keng Hong.
Dan sekarang Kim Seng Siocia mengaku bahwa dia merupakan bekas pelayan kecil dari Go-bi Thai-houw yang tersayang dan yang dijadikan ahli waris oleh nenek iblis itu!
"Thai-houw amat sayang kepadaku, Koko. Semua pusaka warisannya disimpan di sebuah tempat rahasia dan hanya aku yang diberi tahu. Oleh karena itu, hanya akulah yang dapat mewarisi kepandaiannya dan aku menjadi pemimpin di bekas istananya ini. Akan tetapi... u-hu-huuu... dia dibunuh mati orang, Koko!" Kembali Kim Seng Siocia menangis.
Kun Liong makin tertarik. "Jadi... apa yang kau kehendaki, Sio... ehh, Moi-moi?"
"Apa lagi? Tentu membalas dendam atas kematian Thai-houw! Aku mendapatkan semua ini dari Thai-houw dan dia dibunuh orang!"
"Kalau begitu, dengan kepandaianmu yang tinggi, kenapa kau tidak sejak dulu membalas dendam, Moi-moi"
"Aku... aku takut..."
"Ehh...?" Kun Liong benar-benar terheran mengapa wanita aneh ini mempunyai rasa takut juga, karena itu dia pun melanjutkan pancingannya, "Begitu lihaikah musuhmu yang telah membunuh Go-bi Thai-houw?"
"Aku tidak takut kepadanya! Hemm, biar dia memiliki Thi-khi I-beng sekali pun! Dahulunya memang aku tak berani mengingat akan ilmunya itu, akan tetapi setelah aku mempelajari kitab peninggalan Thai-houw, dengan mempergunakan cambuk ini, aku dapat membuat Thi-khi I-beng tidak ada artinya! Kau lihatlah, Koko!" Setelah berkata demikian, wanita ini meloncat dari bangkunya, menyambar cambuknya dan menuding ke atas, ke arah dinding di mana terdapat dua ekor cecak yang sedang bercumbuan dan saling berkejaran.
"Lihat dua ekor cecak itu!" katanya pula.
Tiba-tiba terdengar suara meledak-ledak beberapa kali bersama sinar hitam menyambar-nyambar dan ketika Kun Liong memandang, ternyata dua ekor cecak itu tubuhnya sudah terpotong-potong menjadi empat dan jatuh ke atas meja, sedangkan pada dinding itu tidak nampak sedikit pun darah! Diam-diam Kun Liong terkejut.
Ternyata tadi wanita ini tidak menyombong kosong pada saat mengatakan bahwa dengan cambuknya dia amat lihai. Kalau dalam pertempuran tadi Kim Seng Siocia menggunakan cambuk seperti itu, dia tentu akan repot menghadapinya! Dan dia harus mengakui bahwa dengan senjata cambuk seperti itu, Thi-khi I-beng tidak akan dapat dipergunakan karena tak mungkin untuk menempel ujung cambuk dan menyedot sinkang lawan lewat cambuk lemas yang panjang itu!
"Wah, kau hebat sekali, Moi-moi..." Kun Liong cepat menekan hatinya karena dia bergidik melihat bangkai dua ekor cecak yang kini masing-masing telah menjadi empat potong dan tergeletak di atas meja itu. "Dengan kepandaianmu itu, tentu engkau akan dapat menang melawan musuhmu, akan tetapi mengapa tidak juga kau lakukan?"
"Sudah kukatakan tadi, aku takut, aku takut gagal. Aku ingin yakin akan kemenanganku, oleh karena itu... bertahun-tahun aku berdoa kepada Thian agar bisa mendapatkan jodoh seorang yang lihai dan yang akan dapat membantuku menghadapi musuhku yang sakti. Dan hari ini aku telah mendapatkan jodoh yang kutunggu-tunggu itu, Koko yang tampan!"
Wanita itu hendak merangkulnya. Cepat-cepat Kun Liong mundur dan berkata, "Moi-moi, semenjak tadi belum kau katakan siapakah musuhmu itu, dia yang sanggup membunuh seorang lihai seperti Go-bi Thai-houw?"
"Dia? Dia adalah si keparat Cia Keng Hong, yang kabarnya sekarang telah menjadi Ketua Cin-ling-pai di Cin-ling-san! Kau tunggulah, keparat Cia Keng Hong! Tunggulah saat-saat kematianmu kalau Kim Seng Siocia bersama suaminya Yap Kun Liong datang membalas dendam! Koko, dengan bantuanmu, aku merasa yakin bahwa kita akan dapat membunuh Cia Keng Hong. Aku melihat gerakan-gerakanmu tadi hebat sekali. Orang seperti engkau inilah yang kutunggu-tunggu!"
Kembali Kim Seng Siocia hendak merangkul dan Kun Liong sudah bingung. Tiba-tiba saja datang pertolongan ketika pintu kamar terbuka dan dua orang pelayan tadi datang sambil membawa hidangan yang masih panas, yang serba mewah dan lezat. Dengan senyum manis dua orang pelayan itu menurunkan piring mangkok dan panci ke atas meja, juga seguci arak wangi.
"Harap singkirkan bangkai cecak ini...," kata Kun Liong kepada dua orang pelayan itu.
"Eihhh, mengapa? Dua ekor cecak itu merupakan lalap yang sedaaap…!" kata Kim Seng Siocia yang mengusir kedua orang pelayannya dengan gerakan tangan. Mereka pergi dan kembali menutupkan pintu kamar.
Kun Liong hampir muntah. Bangkai cecak dipakai lalap? Biasanya orang melalap dengan sayur segar dan mentah! Akan tetapi dia tidak mencela karena dia mulai bersikap hati-hati sekali terhadap wanita ini sesudah diketahuinya bahwa wanita ini adalah musuh besar Cia Keng Hong dan berniat mempergunakan dia sebagai teman untuk membunuh pendekar sakti yang masih terhitung supek-nya sendiri, bahkan yang sudah mengajarkan Thi-khi I-beng kepadanya itu!
Dengan menekan perasaannya, dia menemani wanita itu makan minum. Hanya dengan kekuatan luar biasa saja dia dapat bertahan ketika Kim Seng Siocia menggunakan sumpit menjepit bangkai cecak dan melalapnya dengan bunyi "kriuk! kriuk!" ketika giginya yang kuat mengunyah bangkai itu berikut tulang-tulangnya. Yang lebih menjijikkan lagi adalah ketika Kim Seng Siocia menyumpit ekor cecak yang masih bergerak-gerak menggeliat itu, memasukkan benda yang masih hidup itu ke dalam mulut lalu mengunyahnya!
Tahulah dia bahwa wanita ini benar-benar tidak waras otaknya! Namun Kun Liong makan sampai kenyang tanpa berbicara, hanya diam-diam dia mengasah otaknya mencari jalan keluar dari bahaya ini, terutama sekali bagaimana caranya dia akan bisa menolong Hong Ing yang keselamatannya sedang terancam bahaya maut. Bukan hanya dari Kim Seng Siocia datangnya bahaya mengancam yang sewaktu-waktu dapat membunuh Hong Ing, melainkan juga dari Marcus yang jelas adalah seorang laki-laki yang tidak baik.
Sesudah selesai makan minum yang bagi Kim Seng Siocia sangat menggembirakan itu, wanita ini bertepuk tangan dan dua orang pelayan itu cepat-cepat muncul. Mereka disuruh membersihkan meja dan pada waktu itu, hari telah mulai menjadi petang. Salah seorang di antara mereka menyalakan lampu untuk menerangi kamar yang sudah mulai gelap.
Sesudah kedua orang pelayan itu selesai membersihkan meja, menyalakan lampu serta membereskan pembaringan, menyapu lantai kamar, sambil tersenyum-senyum Kim Seng Siocia berkata kepada mereka,
"Sekarang panggil Acui dan Amoi ke sini, sementara itu, Pek Nikouw harus dijaga oleh selosin orang penjaga yang siap turun tangan membunuhnya begitu ada tanda rahasia dariku."
Dua orang pelayan itu mengangguk, kemudian mengundurkan diri setelah mengerling dan tersenyum geli ke arah Kun Liong yang duduk bagai arca di atas bangku. Kim Seng Siocia duduk kembali.
"Koko, hanya Acui dan Amoi itulah pelayan-pelayanku yang paling boleh kuandalkan dan kupercaya. Mereka menjadi pembantu dan juga muridku. Mereka yang memandikan aku, menggantikan pakaian, pendeknya, hanya mereka yang bisa kupercaya. Karena itu, pada malam pengantin ini... hi-hi-hik, aku pun hanya mau dilayani oleh mereka..."
Kun Liong hanya mengangguk-angguk, padahal dia tidak mengerti apa yang dikehendaki dan dimaksudkan oleh ‘isterinya’ itu, isteri paksaan. Sementara itu, pada bagian lain dari istana itu, Marcus sedang membujuk-bujuk kepada Acui dan Amoi.
"Mengapa kalian hendak melindunginya? Serahkan dia kepadaku sebentar saja, dan aku akan bersikap manis kepadamu, Acui dan Amoi."
"Hushh! Cepat pergilah! Kalau ketahuan Siocia, apakah kau masih dapat menyelamatkan kepalamu yang berambut kuning itu?" Acui membentak, ada pun Amoi hanya tersenyum-senyum genit kepada pemuda asing yang tampan itu.
"Ehh, Marcus, apakah kau sudah lupa kepada lima orang teman-temanmu? Apakah kau ingin pula dilempar kepada anak buah yang merupakan serigala-serigala kelaparan itu?" kata Amoi mengejek, akan tetapi di balik ejekannya itu, sinar matanya memandang ke arah tubuh yang tegap dan kuat itu dengan penuh gairah.
Marcus merasa ngeri kalau mengingat kepada lima orang itu. Mereka telah mati konyol, mati dengan tubuh mengering akibat kehabisan darah, bagai matinya lima ekor lalat yang semua darahnya telah habis dihisap oleh laba-laba yang banyak itu! Akan tetapi dia amat cerdik dan tidak memperlihatkan kengeriannya, bahkan dia tertawa,
"Ahh, seperti kalian tidak tahu saja! Siocia suka kepadaku dan memang kemarin aku tidak berani main gila dengan wanita lain, betapa pun rindu dan inginku kepada kalian berdua yang cantik jelita ini! Akan tetapi sekarang, Siocia sudah mendapatkan seorang kekasih baru, tentunya aku menjadi bebas pula untuk bermain cinta dengan siapa juga. Acui dan Amoi, nikouw ini tidak urung akan dibunuh juga, maka apa salahnya kalau membiarkan aku mempermainkannya sebentar?"
Amoi melangkah maju. "Hemm, apa sih menariknya perempuan gundul ini? Ehh Marcus, apakah kami berdua kalah cantik oleh nikouw gundul ini?"
Marcus tersenyum lebar. "Tentu saja tidak, dan aku berjanji, jika kalian suka memberikan nikouw itu kepadaku sebentar, setelah aku selesai dengan dia, aku akan menemui kalian berdua bersenang-senang. Bagaimana?"
"Huh! Kau temani kami dulu, baru kami berikan dia kepadamu."
"Baiklah, aku memang sudah lama rindu kepada kalian. Mari!"
"Enci Acui, kau bersenanglah dulu, biar aku yang menjaganya," kata Amoi.
Acui yang masih khawatir kalau-kalau Siocia-nya akan marah, mengerutkan alisnya akan tetapi hatinya pun tertarik sekali. Sudah terlalu lama bagi dia dan Amoi tak pernah dirayu oleh seorang pria, apa lagi pria semuda dan setampan Marcus yang memiliki ketampanan khas pula sebagai seorang berkulit putih.
"Engkau saja dulu, Amoi, biar aku yang menjaganya."
Amoi tersenyum genit dan mengangguk kepada Marcus yang tertawa-tawa girang lantas merangkulnya dan hendak menariknya pergi dari tempat penjagaan rahasia itu. Tapi pada saat itu muncullah dua belas orang penjaga yang bersenjata lengkap, dipimpin oleh dua orang pelayan yang diperintah oleh Kim Seng Siocia tadi. Mereka berkata dengan suara nyaring bahwa Acui dan Amoi dipanggil oleh Kim Seng Siocia dan bahwa dua belas orang itu ditugaskan untuk menggantikan dua orang pelayan kepercayaan itu supaya menjaga tawanan.
Amoi kelihatan kecewa, akan tetapi dia melepaskan Marcus sambil berkata, "Kau tidak boleh di sini. Keluarlah dulu dan menunggu kami. Awas, sebelum kami kembali, kau tidak boleh menyentuhnya. Hai, para penjaga! Selama kami berdua pergi, kalian jaga tawanan baik-baik dan jangan membolehkan siapa pun juga, termasuk dia ini, menyentuh tawanan. Mengerti?"
Para penjaga itu menyatakan taat kepada Amoi yang menjadi orang kepercayaan majikan mereka dan Marcus yang kecewa juga tidak berani membantah lalu pergi keluar. Dia akan sabar menanti.
Acui dan Amoi memasuki kamar majikan mereka dan keduanya langsung terkekeh genit saat melihat Kun Liong duduk seperti arca di atas bangkunya, sedangkan Siocia kelihatan begitu gembira, mukanya kemerahan tanda bahwa dia sudah banyak minum arak wangi.
"Acui... Amoi..., aihhh, aku menjadi gugup di malam pengantin ini. Kalian bantulah aku...," kata Kim Seng Siocia sambil tersenyum. "Bagaimana sih baiknya? Sin-liang (pengantin pria) kelihatan malu-malu... ihhh, dia memang masih perjaka tulen..."
Acui dan Amoi cekikikan. "Benarkah, Siocia? Ah, kalau begitu kau bahagia sekali, Siocia. Kionghi (selamat)!" kata Amoi. Keduanya lalu menghampiri Kun Liong dan berkata,
"Kongcu (Tuan Muda), mengapa Kongcu belum juga menanggalkan pakaian luar? Sudah waktunya sepasang pengantin tidur, maka harap Kongcu tidak malu-malu lagi, karena hal itu dapat mendatangkan kesalah pahaman bagi pengantin wanita, dapat dianggap bahwa pengantin pria menolak dan ini merupakan penghinaan besar," kata Acui.
"Benar itu, Kongcu. Mari kami membantumu menanggalkan pakaian...," kata Amoi genit dan keduanya lalu menyerbu, menanggalkan pakaian luar Kun Liong sehingga pemuda ini menjadi bingung dan malu. Untuk melawan tentu saja dia dapat, akan tetapi teringat akan keselamatan Hong Ing, dia diam saja.
Akhirnya semua pakaian luarnya termasuk sepatunya telah ditanggalkan dan dia dituntun setengah paksa duduk di tepi tempat tidur yang lebar panjang dan berbau harum itu. Kaki dan tubuh atasnya menjadi segundul kepalanya, dan hanya tersisa sebuah celana dalam panjang yang tipis saja yang masih menutup tubuhnya.
Kini matanya terbelalak memandang ke depan di mana Kim Seng Siocia sedang dibantu oleh dua orang pelayannya itu menanggalkan pakaian luar. Agak sukar juga bagi wanita gendut itu untuk menanggalkan pakaian luarnya dan pekerjaan ini mereka lakukan bertiga sambil tertawa cekikikan.
Sesudah banyak sekali kancing yang ketat itu dilepaskan, maka mulailah pakaian luar itu diperosotkan dari atas hingga mulai tampaklah tubuh yang kini hanya dibungkus pakaian dalam yang tipis sekali itu. Dengan pakaian luar menutupi tubuhnya, bentuk tubuh Kim Seng Siocia masih tertolong, masih terlindung oleh pakaian luar yang lebar, akan tetapi setelah kini pakaian luar itu sedikit demi sedikit merosot dari atas, mata Kun Liong juga menjadi makin besar dan makin lebar, tubuhnya menggigil seperti orang diserang demam malaria, sampai kedua bibirnya pun ikut bergerak-gerak seperti orang kedinginan.
Mulailah tampak tubuh Kim Seng Siocia. Mula-mula lehernya, lalu tampak pundaknya di balik pakaian dalam yang amat tipis sehingga tembus pandangan itu, kemudian mulailah tampak tonjolan dadanya yang... aduhai! Dua onggok daging yang bergumpal besar luar biasa, sebuah saja sudah sebesar dua kali kepala Kun Liong! Makin merosot ke bawah pakaian luar itu, semakin ngerilah hati Kun Liong, matanya terbelalak, mulutnya celangap dan semua jari tangannya menahan bibirnya yang gemetaran keras. Akhirnya atas isyarat majikan mereka, sambil cekikikan Acui dan Amoi meninggalkan kamar dan menutupkan pintu kamar rapat-rapat.
Kini sambil tersenyum Kim Seng Siocia melangkah perlahan menghampiri pembaringan, dan setiap langkah terasa oleh Kun Liong seolah-olah seluruh kamar itu tergetar seperti terjadi gempa bumi!
Setelah kini tampak kedua buah kaki wanita itu, Kun Liong merasa seram bukan main. Kaki gajah! Kaki yang besarnya ada empat kali kakinya sendiri! Apa lagi ketika kaki itu melangkah, seluruh tubuh yang merupakan gumpalan-gumpalan daging yang bertumpuk menjadi satu itu bergoyang-goyang semua! Kun Liong hampir pingsan ketika wanita itu akhirnya berdiri dekat sekali di hadapannya, dan hidungnya mencium bau minyak wangi yang terlalu keras sehingga membuat dia sukar bernapas.
"Hi-hi-hik, Koko... jangan malu-malu, suamiku... aku cinta padamu..."
Cepat luar biasa, tak sesuai dengan bentuk tubuhnya, Kim Seng Siocia sudah menubruk sehingga Kun Liong terjengkang dan terlentang di atas pembaringan, lenyap tertindih oleh bukit daging itu! Kun Liong megap-megap tak dapat bernapas, hanya kedua kakinya yang kelihatan bergerak-gerak dan kedua lengannya yang terpentang.
"Ehh... ohh... nanti dulu... ehh, Siocia... ehh, Moi-moi..." Dia gelagapan ketika Kim Seng Siocia menutupi mukanya dengan ciuman-ciuman kasar sehingga hampir seluruh muka Kun Liong basah oleh ciumannya.
Ketika merasa betapa wanita itu menjadi semakin ganas dan mulutnya yang besar itu menutupi separuh mukanya, Kun Liong cepat menggerakkan dua jari tangannya menotok pundak wanita itu, menotok jalan darah hong-hu-hiat-to untuk membuat wanita itu lemas. Akan tetapi dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika merasakan kedua jari tangannya menotok daging yang sedemikian tebalnya sehingga jari tangan itu tidak dapat mencapai jalan darah! Mengertilah dia bahwa wanita ini menjadi kebal bukan lain karena jalan darah di tubuhnya terlindung oleh ketebalan dagingnya!
Dia kaget, akan tetapi Kim Seng Siocia juga terkejut. Kesempatan ini dipergunakan oleh Kun Liong, dia menggigit bibir wanita itu untuk mencegahnya berteriak, dan mengerahkan Thi-khi I-beng ketika wanita itu menggunakan kedua tangan mencengkeram pundaknya.
"Iiihhhh... oooohhhh...!" hanya keluhan ini yang keluar dari mulut Kim Seng Siocia yang bibirnya masih tergigit oleh Kun Liong ketika dia merasa betapa sinkang-nya memberobot keluar, membanjir melalui kedua telapak tangan, tersedot oleh hawa mukjijat dari dalam tubuh pemuda itu.
Memang kesempatan inilah yang dinanti-nanti Kun Liong, yang sejak tadi diasah di dalam benaknya. Dia maklum akan kelihaian wanita ini, dan kalau saja wanita itu berada dalam keadaan siap siaga, apa lagi dengan cambuk sakti yang ditaruh di atas meja itu, dia tidak akan mampu menolong Hong Ing. Dia tidak akan sanggup mengalahkan wanita ini dan membuatnya tak berdaya tanpa mampu berteriak.
Tadinya, menurut rencananya, dia akan menotoknya begitu wanita itu menerkamnya di tempat tidur. Akan tetapi ternyata totokannya gagal, sehingga terpaksa dia menggunakan Thi-khi I-beng sambil ‘menahan’ mulut Kim Seng Siocia supaya jangan berteriak, dengan jalan mengigigit bibirnya!
Makin lama Kun Liong merasa makin pengap karena onggokan daging yang membukit itu makin menghimpitnya, makin panas rasa tubuhnya karena kemasukan sinkang dan makin lemah pula tubuh Kim Seng Siocia! Kun Liong tidak berniat membunuhnya, maka begitu melihat bahwa wanita itu sudah tak mampu meronta lagi karena sinkang-nya telah hilang setengahnya lebih, dia lalu mempergunakan ujung bantal untuk menyumpali mulut yang lebar itu, kemudian menggunakan alas tempat tidur untuk mengikat kaki tangannya.
Dia maklum bahwa apa bila wanita itu bertenaga sepenuhnya, tentu ikatan itu tidak ada artinya. Akan tetapi dalam keadaan sinkang-nya sudah tersedot terlalu banyak, membuat wanita itu seperti tidur, atau setengah pingsan dan mendengkur keras seperti seekor babi, Kun Liong sudah merasa cukup.
Dia lalu meloncat dari tempat tidur, maksudnya hendak meloncat dan berpakaian. Akan tetapi hampir dia menjerit ketika loncatannya itu membuat tubuhnya melayang ke atas! Dia lupa bahwa penambahan tenaga sinkang di tubuhnya membuat tenaganya menjadi berlebihan dan tubuhnya terasa seperti bola karet yang penuh hawa, merasa seolah-olah tubuhnya menjadi sebesar tubuh Kim Seng Siocia!
"Dukkkk!"
Kepalanya yang gundul terbentur pada langit-langit kamar hingga langit-langit itu ambrol dan pecah! Dia terkejut sekali, baru teringat, maka cepat dia mengatur tenaga yang liar menjelajahi seluruh tubuh itu sesuai dengan petunjuk Cia Keng Hong.
Biar pun dadanya masih terasa sesak dan tubuhnya terasa panas, namun dapat juga dia mengenakan pakaiannya. Dia maklum bahwa tanpa mengurangi hawa yang disedotnya dari Kim Seng Siocia itu, dia seperti orang mabuk dan akan sukar menguasai tenaga yang berlebihan.
Maka dia lalu meloncat, menerobos melalui langit-langit yang jebol tadi, mempergunakan ginkang-nya yang menjadi berlipat ganda itu berkelebat keluar dari istana. Dia memasuki hutan yang gelap dan setelah merasa yakin di situ tidak terdapat orang lain, mulailah dia menghamburkan tenaga kelebihan dari tubuhnya itu untuk memukul batu-batu dan pohon besar. Dalam waktu singkat, lima buah batu besar hancur dan tujuh batang pohon besar tumbang! Barulah terasa enak tubuhnya, ringan dan tidak mabuk seperti tadi.
Dia lalu melesat kembali menuju ke istana hendak menolong Hong Ing sebelum Kim Seng Siocia dapat melepaskan dirinya atau sebelum para pembantu wanita itu ada yang tahu. Dia bergidik ngeri bila dia mengenangkan pengalamannya dalam kamar Kim Seng Siocia tadi.
Memang dia bukanlah perjaka lagi, dan dia sudah berenang di lautan cinta dengan Hwi Sian, akan tetapi hal itu dilakukan oleh keduanya atas dasar suka rela. Akan tetapi tadi? Bukan main ngerinya! Dan dia tak dapat membayangkan apa akan jadinya dengan dirinya kalau saja dia tidak memiliki Thi-khi I-beng!
Dengan tergesa-gesa namun hati-hati sekali Kun Liong memeriksa seluruh bagian istana dan akhirnya dia dapat menemukan tempat rahasia di mana Hong Ing ditahan. Tempat itu merupakan bagian belakang istana, rapat terkurung dinding baja dan pada bagian depan terjaga oleh belasan orang wanita.
Dengan sigap dan cepat sekali, tanpa diketahui mereka, Kun Liong lalu meloncat ke atas genteng tempat tahanan itu, kemudian membuka atap dan mulai mengintai ke bawah. Dia melihat pemandangan yang amat mengherankan.
Hong Ing masih seperti tadi, kaki tangannya dibelenggu dengan tali hitam yang bisa mulur dan sukar diputuskan itu, dijaga oleh Acui yang memegang pedang dan menodongkan pedang itu ke tubuh Hong Ing, siap sewaktu-waktu untuk menusuk tubuh tawanan itu apa bila majikannya memberi tanda! Keadaan Hong Ing benar-benar amat berbahaya karena andai kata tadi Kim Seng Siocia sempat mengeluarkan jeritan mencurigakan sedikit saja tentu pedang di tangan Acui itu sudah menembus jantungnya!
Selagi dia yang bersikap hati-hati itu, mencari-cari di mana adanya Amoi, dia mendengar suara tertawa pelayan genit itu dan muncullah Amoi bersama Marcus bergandeng tangan dari sebuah kamar di samping tempat tahanan itu. Wajah Amoi berseri kemerahan dan rambutnya kusut.
"Enci Acui, sekarang giliranmu. Biarlah aku menjaganya!"
Acui tersenyum, memberikan pedangnya kepada Amoi dan dia sendiri lalu dirangkul oleh Marcus dan keduanya memasuki kamar sebelah. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Kun Liong. Cepat dia menyambar turun sebelum Amoi yang nampak kelelahan itu sempat menodongkan pedangnya kepada Hong Ing.
Amoi terkejut mendengar suara angin bertiup dari atas. Dia membalik namun terlambat, karena tubuh Kun Liong yang menukik turun sudah menyambar dirinya. Sekali tangannya bergerak pedang itu sudah terampas olehnya dan sebuah tamparan perlahan ke pundak Amoi membuat gadis ini menjerit dan terguling.
Mendengar jeritan ini, Acui bertanya dari dalam kamar, "Amol, ada apakah?"
"Enci Acui, tolong...!"
Acui dan Marcus berloncatan keluar dari kamar, keduanya sama-sama dalam keadaan setengah telanjang. Melihat betapa Kun Liong sudah menyambar dan memondong tubuh Hong Ing, Acui cepat menubruk sambil memukul. Akan tetapi sekali ini Kun Liong tidak menaruh sungkan atau kasihan lagi karena keadaan Hong Ing terancam.
Dia mendahului gadis itu dengan sebuah tendangan yang segera mencium lutut kiri gadis ini sehingga Acui terkejut sekali, berteriak dan terjungkal. Kun Liong tidak mempedulikan mereka lagi, lebih-lebih karena Acui dan Amoi sudah mulai berteriak-teriak memanggil kawan-kawannya. Dia memondong tubuh Hong Ing dan meloncat melalui atas atap.
Baru saja tubuhnya muncul ke atas genteng, dia sudah disambut oleh lima orang gadis penjaga yang bersenjata tombak. Lima buah mata tombak menusuknya dari lima penjuru. Akan tetapi tubuh Kun Liong sudah mencelat ke atas, menukik cepat sekali ke kiri dan menyambar sebatang tombak sebelum pemiliknya sempat melihat jelas apa yang terjadi.
"Krekkk!"
Bagian ujung tombak yang runcing dipatahkan oleh Kun Liong, kemudian dengan jurus Ilmu Tongkat Siang-liong-pang, akan tetapi hanya mainkan sebatang tongkat saja karena lengan kirinya mengempit tubuh Hong Ing, dia lantas menyerang.
Terdengar empat kali suara nyaring akibat empat batang tombak pengeroyoknya sudah patah semua. Kun Liong membuang tongkatnya dan meloncat turun, bukan ke atas tanah di bawah di mana sudah menunggu puluhan orang gadis bersenjata lengkap, melainkan meloncat ke sebuah pohon dan dari sana, menggunakan ginkang-nya yang bertambah karena penyedotan sinkang dari Kim Seng Siocia tadi, dia meloncat lagi ke atas pohon di depan, kemudian menghilang ke dalam gelap…..
********************