Sampai beberapa kali dia mengetuk dan pendengarannya yang tajam itu bisa menangkap gerakan di sebelah dalam rumah makan itu, gerakan perlahan seolah-olah mereka tengah mengintai dan mengawasinya. Tidak lama kemudian sesudah dia mengetuk-ngetuk meja untuk ke tiga kalinya, muncullah seorang lelaki yang tubuhnya berbentuk lucu dan aneh.
Saking laparnya, Kun Liong hampir saja memanggil kakek bongkok dan pincang itu untuk ditegurnya, akan tetapi tiba-tiba pendengarannya kembali menangkap gerakan orang di dalam warung itu, bukan gerakan wajar melainkan gerakan dua orang yang sangat ringan dan gesit! Hatinya penasaran bukan main, maka pemuda gundul ini membatalkan niatnya memanggil kakek bongkok, bahkan dia berpura-pura tidak tahu dan kembali duduk sambil memperhatikan kegiatan di dalam dengan pendengarannya.
Akan tetapi hal ini tidak berlangsung lama. Ketika Kun Liong mengerahkan perhatiannya dengan sikap waspada, terdengar kakek itu berjalan keluar, tetap dengan tubuh bongkok dan langkah terpincang-pincang. Kedua tangannya memegang sebuah baki berisi sebotol arak dengan cangkirnya yang sederhana terbuat dari tanah liat, sepiring mi dan beberapa potong bakpauw.
Lenyap kemendongkolan hati Kun Liong. Dia sedang lapar dan haus, kini hatinya girang melihat makanan, biar pun sederhana. Kakek pemilik warung itu kembali pergi masuk meninggalkan Kun Liong dan hal ini pun menyenangkan Kun Liong karena bila dia makan sambil ditunggui kakek yang mukanya mengerikan itu tentu sedikitnya akan mengurangi seleranya.
Mulailah dia makan, mula-mula empat buah bakpauw diganyangnya habis dan rasanya lumayan. Bakmi yang agak terlalu asin itu pun lenyap ke dalam perutnya, hanya tersisa beberapa potong bawang yang kurang disukainya. Kemudian dia minum arak dari cawan butut itu.
Begitu minum dia pun terkejut. Lidahnya yang sudah terbiasa dapat merasakan campuran racun yang amat kuat dalam arak itu. Akan tetapi dia tak merasa khawatir karena maklum bahwa perutnya telah kebal menerima racun ini. Dia minum arak itu sampai rasa hausnya hilang dan timbul pikirannya untuk melihat perkembangan apa yang akan terjadi. Kenapa kakek aneh itu hendak meracuninya dan siapa pula orang-orang yang tadi dia tahu sudah mengintainya dari dalam rumah.
Maka, setelah menghabiskan beberapa cawan arak, dia pura-pura memegangi kepalanya dan perutnya. Dia mengingat-ingat bagaimana cara racun itu bekerja, lalu berkata,
“Aihhh… mengapa kepalaku mendadak pusing dan mata ini… ahh… mata ini ini begitu mengantuk… Huahhh…!” Kun Liong sengaja menguap lebar agar terlihat oleh dua orang yang dia tahu sedang mengintainya dari dalam.
Sesudah itu Kun Liong sengaja membuat tubuhnya terkulai lemas, lantas perlahan-lahan dia menyandarkan punggungnya pada sebuah tiang kayu yang berdiri di belakang tempat duduknya, menguap sekali lagi lalu memejamkan kedua matanya. Pemuda ini mengatur tubuhnya agak miring ke kiri agar lagaknya berpura-pura pingsan tidak mudah diketahui, akan tetapi dia masih dapat mengawasi sekelilingnya, lalu dia mulai mengintai dari balik bulu matanya kepada kakek itu.
Sekarang terjadi perubahan yang mengejutkan hatinya. Kakek itu tak lagi terbongkok atau pincang, melainkan bergerak dengan sigap, dengan langkah kaki seorang ahli ginkang, dan pada tangan kanannya kini tampak sebatang tongkat pendek yang berbentuk sebuah tangan manusia, atau lebih tepat tangan setan karena tangan itu telah mengering, terlihat keras membaja dengan jari-jarinya hendak mencengkeram, lengkap dengan kuku warna kehitaman yang tentu mengandung racun berbahaya.
Ehh, kiranya seorang tokoh yang memiliki ilmu kepandaian, pikir Kun Liong. Akan tetapi dia masih belum bergerak, hendak melihat apa yang akan dilakukan oleh kedua orang itu.
“Sungguh bagus pekerjaan kita, tepat seperti rencanamu, Tuan Muda Markus,” kakek itu berkata.
“Siasatmu memang hebat, Lo-mo. Begitu melihat dia tadi berjalan seorang diri, aku sudah langsung mengenalnya dan kebetulan sekali dia masuk ke warung ini. Habis bagaimana dengan pemilik warung dan isterinya yang kita belenggu di dalam itu?”
“Mereka berjasa, kalau urusan ini selesai, kita bebaskan mereka,” kata si Kakek.
“Dan aku akan memberi mereka hadiah,” kata si Pemuda Asing.
Mereka kemudian duduk di atas bangku dekat Kun Liong, keduanya siap dengan senjata masing-masing. Bagaimana pun juga mereka tetap bersikap waspada terhadap pemuda gundul yang mereka tahu amat lihai ini. Cukup lama mereka duduk dengan pandang mata ke arah luar, seperti tengah menantikan seseorang atau sesuatu.
Kurang lebih setengah jam kemudian, dari arah selatan terdengar suara derap kaki kuda yang membuat Si Kakek dan Si Pemuda Asing serentak mengalihkan pandangan ke arah suara itu. Walau pun masih cukup jauh namun pandang mata Si Kakek yang tajam sudah dapat melihat bahwa suara itu ditimbulkan oleh dua ekor kuda yang sedang dilarikan oleh dua orang berpakaian perwira.
“Hemm, akhirnya yang kita tunggu datang juga,” kata Si Kakek yang segera bangkit dari duduknya dan melangkah keluar, diikuti oleh Si Pemuda Asing yang bernama Markus itu.
Dua perwira yang sedang melarikan kuda menuju benteng mereka cepat memperlambat lari kuda mereka ketika dari kejauhan melihat ada dua orang yang menghadang di tengah jalan yang akan mereka lewati, dan akhirnya menghentikan kudanya setelah tiba tepat di hadapan dua orang yang menghadang, yang ternyata adalah Si Kakek dan Si Pemuda Asing. Kedua perwira itu mengerutkan alis, kemudian seorang yang tubuhnya lebih tinggi dan tegap segera membentak,
“Ada apa kalian menghadang kami dua orang perwira pemerintah? Apa kalian hendak memberontak?!”
“Maafkan kami yang menghambat perjalanan Jiwi-ciangkun, tapi kami harus melaporkan bahwa kami baru saja meringkus seorang penjahat yang sedang dicari oleh Panglima The Hoo,” kata Si Kakek sambil menghormat dengan mengangkat dua tangan ke depan dada.
Dua perwira itu sangat terkejut, membuat kerut dia atas alis mereka makin dalam.
“Siapa penjahat itu? Dan apa yang sudah dia lakukan sampai dicari oleh Panglima Besar The Hoo?”
“Dia adalah Yap Kun Hong, murid keponakan dari Cia Keng Hong yang telah memalsukan pusaka bokor milik Panglima The Hoo,” jawab kakek itu, lalu melanjutkan. “Sekarang dia ada di dalam warung itu, sudah kami buat tak berdaya.”
Dua perwira itu makin terkejut. Berita tentang pusaka bokor yang dipalsukan itu memang telah beredar di kalangan tentara kerajaan, sekaligus beredar pula perintah untuk mencari bokor yang tulen.
Namun, Kun Liong yang memiliki pendengaran tajam dan dapat pula mendengar ucapan tadi, bahkan lebih terkejut dari pada dua perwira itu. Dia sendiri yang menyerahkan bokor itu kepada Panglima Besar The Hoo, bagaimana sekarang tahu-tahu pusaka itu menjadi bokor palsu? Akan tetapi dia cepat melanjutkan sandiwara pingsannya ketika mendengar langkah empat orang itu yang sudah memasuki warung.
“Hemm, inikah orangnya?” tanya perwira bertubuh tinggi besar sambil memandang tubuh Kun Liong yang bersandar pada tiang. Setelah sejenak melirik pewira lain yang berdiri di sampingnya, dia kemudian berkata lagi, “Baik. Kalian jaga dia di sini. Kami akan kembali ke benteng untuk mengajak pasukan ke sini dan penjahat ini akan langsung kita bawa ke kota raja.” Dua perwira itu lalu bergegas keluar, menaiki kuda mereka dan melarikannya ke arah utara.
Setelah dua orang perwira itu pergi, barulah Markus membuka suara. “Jadi dia ini adalah keponakan Cia Keng Hong. Bukankah pendekar itu merupakan pembantu Panglima The Hoo?”
“Dia memang pembantu Panglima The Hoo, akan tetapi sekarang dia sudah kembali ke Cin-ling-san setelah dipanggil menghadap ke Istana Panglima The Hoo. Tidak salah lagi, pemuda cerdik inilah yang memalsukan bokor, karena menurut cerita yang kudengar, dia inilah orang pertama yang menemukan bokor.”
Dua orang itu kembali duduk di dekat Kun Liong, tetap dengan senjata di tangan, menanti kedatangan pasukan tentara yang akan mengawal tawanan ke kota raja.
Biar pun tidak begitu tertarik karena pemuda asing bernama Markus (Marcus) itu hanya mementingkan urusannya sendiri, namun untuk menanti datangnya pasukan yang diberi laporan, Marcus bertanya, "Siapakah gurumu, Lo-mo? Tentu dia lihai bukan main."
"Seperti dewa! Guruku itu, biar pun sampai kini tidak atau belum mau meninggalkan goa pertapaannya karena sedang mencipta ilmu untuk melawan Thi-khi I-beng ilmu tertinggi Cia Keng Hong, namun jelas guruku adalah orang yang paling sakti di dunia ini pada saat sekarang. Namanya pun harus kurahasiakan sampai guruku itu keluar dari goa dan turun ke dunia ramai."
Marcus mengangguk-angguk. "Dan tiga orang susiok-mu itu, siapakah mereka? Mengapa pula sampai terbunuh oleh Cia Keng Hong?"
"Mereka dulu terkenal sekali sebagai Thian-te Sam-lomo (Tiga Iblis Tua Langit dan Bumi) yang masing-masing bernama julukan Kai-ong Lo-mo (Iblis Tua Raja Pengemis), Bun-ong Lo-mo (Iblis Tua Raja Sastra), Thian-to Lo-mo, yang menjadi seorang pendeta agama To. Sebagai adik-adik seperguruan guruku, kepandaian mereka sangat hebat, namun dengan secara licik, dengan Ilmu Thi-khi I-beng maka Cia Keng Hong dapat membunuh mereka. Karena itulah maka sudah selama belasan tahun ini guruku bersemedhi hendak mencipta ilmu untuk menandingi Thi-khi I-beng."
Mengenai kematian Thian-te Sam-lo-mo di tangan Cia Keng Hong ini terjadi dalam cerita Pedang Kayu Harum. Akan tetapi Kun Liong yang belum pernah mendengar cerita ini, terkejut bukan main. Dua kali dia terkejut, pertama mendengar bahwa bokor emas yang dirampasnya di Pulau Ular itu ternyata palsu dan ke dua adalah urusan dendam terhadap supek-nya itu. Namun dia tetap diam, pura-pura pingsan.
Tidak lama kemudian terdengar derap kaki kuda dan muncullah pasukan pemerintah yang sedikitnya ada lima puluh orang banyaknya. Beberapa orang prajurit segera memasuki warung itu lantas menodongkan tombaknya kepada Kun Liong yang masih terkulai lemas bersandar pada tiang.
"Heh-heh-heh, tidak perlu menggunakan kekerasan. Selama setengah hari dia tidak akan dapat bergerak. Belenggu saja dia kuat-kuat," berkata kakek yang disebut Lo-mo tadi, lalu bersama Marcus dia menemui komandan pasukan.
Komandan pasukan memang sudah tahu akan bokor emas yang palsu, maka mendengar laporan dua orang asing baginya ini, bahwa tentu pemuda ini sebagai penemu pertama bokor emas yang telah memalsukannya, menjadi percaya dan girang.
"Kita tangkap dia dan bawa kepada The-ciangkun. Kalian berdua tentu menerima hadiah banyak kalau bokor yang asli dapat ditemukan melalui pemuda gundul ini."
"Kami tidak mengharapkan hadiah, Ciangkun, karena kami, yaitu para pedagang di Teluk Pohai, dengan senang hati selalu akan membantu pemerintah," jawab Marcus sehingga hati komandan itu makin senang, apa lagi sesudah Marcus membagi-bagikan dinar emas kepada para anggota pasukan, seorang satu dan lima buah untuk Sang Komandan.
Kun Liong dibelenggu kaki tangannya, dan digusur keluar, kemudian tubuhnya dinaikkan ke atas punggung kuda, menelungkup dan melintang, sedangkan Marcus dan Lo-mo itu pun masing-masing memperoleh seekor kuda. Marcus membebaskan suami isteri pemilik warung dan memberi hadiah pula.
Berangkatlah rombongan itu dan Kun Liong masih pura-pura menelungkup pingsan. Dia amat tertarik dan ingin sekali dihadapkan kepada Panglima The Hoo untuk mendapatkan keterangan sebenarnya apa yang telah terjadi dengan bokor itu. Dia tidak percaya bahwa seorang sakti bijaksana seperti panglima itu akan menuduhnya sembarangan saja seperti yang dilakukan oleh orang-orang ambisius yang gila uang ini.
Setelah setengah hari lamanya, Kun Liong pura-pura sadar dan mengeluh. Dia pura-pura meronta, akan tetapi punggungnya segera ditodong cakar di ujung tongkat kakek itu, dan beberapa ujung tombak runcing para prajurit juga menodongnya.
"Mengapa aku dibelenggu? Ke mana aku dibawa pergi?" Kun Liong pura-pura bertanya untuk menyempurnakan sandiwara.
"Heh-heh-heh, engkau Yap Kun Liong, murid keponakan Cia Keng Hong, bukan? Engkau adalah penipu busuk yang menyembunyikan bokor emas pusaka Panglima The Hoo dan menggantinya dengan yang palsu. Sekarang katakan di mana kau menyimpan yang asli, kalau tidak, engkau akan dihukum penggal kepala, heh-heh-heh!"
Dengan susah payah Kun Liong menggerakkan lehernya menengadah, lalu memandang kakek itu dan bertanya, "Kakek yang botak, jauhkan cakar bebek itu dari kepalaku! Kau ini siapakah? Bukankah kau pemilik warung tadi?"
"Heh-heh-heh, bocah gundul tolol. Mau tahu siapa aku? Heh-heh-heh, di dunia kang-ouw orang menyebutku Tok-jiauw Lo-mo (Iblis Tua Cakat Beracun)!"
"Hemm, aku tidak mengenalmu."
"Orang macam engkau mana mengenal? Lebih baik katakan di mana bokor itu."
“Aku tidak tahu, yang kutahu hanyalah bokor yang telah diserahkan kepada The-ciangkun di Laut Pohai.”
"Bohong!"
"Terserah penilaianmu. Hadapkan aku kepada The-ciangkun dan biarlah beliau yang menentukan apakah aku bohong atau tidak."
Mendengar ucapan ini, Tok-jiauw Lo-mo tidak berani turun tangan. Di situ terdapat banyak prajurit dan juga terdapat Marcus yang tentu saja tidak suka kalau dia menyiksa pemuda ini untuk kepentingannya sendiri. Dia harus berlaku cerdik.
Tentu saja tak ada selembar rambut pun di dalam hatinya, seperti kepala botaknya, untuk menyerahkan bokor emas yang asli kepada Panglima The Hoo! Jika sampai dia berhasil, tentu akan dibawanya kepada gurunya dan dinikmatinya bersama.
Ujung tongkatnya yang sebelah belakang, yaitu yang tumpul, bergerak cepat sekali dan tahu-tahu kakek ini telah menotok punggung dan pinggul Kun Liong. Seketika pemuda ini merasa betapa kedua tangannya dan kedua kakinya menjadi lumpuh dan diam-diam dia mengutuk kakek ini yang amat cerdik. Kalau tidak ditotok seperti itu, betapa mudahnya mematahkan belenggu dan membebaskan diri. Sekarang dia benar-benar tidak berdaya sehingga terpaksa dia melemaskan tubuhnya untuk dibawa pergi oleh pasukan itu.
Malam itu, rombongan pasukan berhenti beristirahat dalam sebuah hutan. Mereka semua telah melakukan perjalanan jauh sehari suntuk sehingga semuanya merasa lelah. Setelah menghabiskan ransum yang dibagi-bagi, dan Kun Liong juga kebagian karena meski pun kaki tangan dan tubuhnya dibelenggu pada sebatang pohon namun di waktu makan tali yang membelenggu tangannya diperpanjang, maka para prajurit itu pergi tidur di bawah pohon-pohon.
Ada pun Tok-jiauw Lo-mo dan Marcus kemudian tidur pula bersama komandan pasukan, di dalam sebuah tenda yang didirikan secara darurat. Mereka merasa bahwa Kun Liong tak akan mampu berkutik lagi sebab selain kedua tangannya tergantung dengan belenggu di batang pohon, juga kedua kakinya dan tubuhnya diikat erat dengan sebatang pohon, ditambah lagi totokan baru yang dilakukan oleh Lo-mo untuk melumpuhkan kedua tangan dan kakinya.
Seperti biasanya, para atasan tidur di dalam tenda sedangkan para prajurit menggeletak begitu saja di atas tanah. Hal ini sudah lajim terjadi di mana pun juga, yang tinggi selalu enak dan bekerja ringan, yang rendah selalu kekurangan dan bekerja paling berat!
Yang menjaga tawanan dilakukan secara bergilir. Dua belas orang sekali menjaga dan mereka ini mengambil tempat duduk mengelilingi pohon di mana Kun Liong diikat. Karena mereka merasa bahwa tawanan itu pun tidak akan mampu lolos, maka mereka itu banyak yang duduk sambil melenggut-lenggut diserang kentuk, bahkan ada pula yang tidak tahan terus terguling rebah dan tidur mengorok!
Pada malam itu hawa amat dingin, maka api unggun dibuat pada beberapa tempat untuk mendapatkan penerangan juga untuk sekedar menghangatkan tubuh. Menjelang tengah malam, Kun Liong melihat berkelebatnya sosok bayangan yang cepat sekali menyelinap di antara pepohonan, makin lama semakin dekat, kemudian dengan gerakan yang sangat mengagumkan hatinya karena cepatnya, bayangan itu berloncatan dan setiap kali loncat ke dekat seseorang, tentu terus menotoknya dengan tepat dan membuat mereka pingsan seorang demi seorang dalam keadaan masih seperti semula. Yang jongkok tetap jongkok, yang bersandar pada pohon dan yang rebahan tetap begitu pula. Kemudian bayangan itu berkelebat dan berada di depan Kun Liong.
Kun Liong memandang dengan takjub dan sejenak dia terpesona. Orang ini jelas seorang wanita yang pakaiannya seperti nikouw, berwarna seba putih, serta memakai kerudung kepala. Akan tetapi yang mempesonakannya adalah wajah orang itu. Wajah seorang dara yang masih amat muda dan luar biasa cantik jelitanya!
Alisnya melengkung seperti digambar, matanya seperti sepasang bintang pagi terlindung bulu mata yang lentik panjang, hidungnya mancung kecil dan mulutnya sama kecilnya dengan hidung, akan tetapi bibirnya penuh kemerahan. Tubuhnya ramping dan biar pun pakaiannya kebesaran akan tetapi tidak dapat menyembunyikan secara sempurna bentuk tubuh yang penuh lekuk lengkung indah sekali.
Seorang dara yang betul-betul cantik jelita, akan tetapi anehnya menjadi seorang nikouw dan kepalanya tentu gundul pelontos seperti kepalanya sendiri, walau pun kepala gundul dara ini tertutup kerudung putih!
"Engkau siapakah, Nikouw muda yang lihai...?" tanya Kun Liong.
"Sssttttt...!" Desis halus ini keluar dari mulut nikouw itu dan telunjuk tangan kirinya yang panjang meruncing itu menyentuh bibirnya sendiri.
Dengan langkah ringan sekali dia meloncat ke depan pemuda itu, lantas dengan gerakan cekatan, jari jemari tangan yang halus lunak dan meruncing, yang agaknya hanya pantas untuk dipakai menulis sajak, melukis, menyulam atau mengobati orang terluka itu, sekali renggut saja telah mematahkan semua tali yang mengikat kedua lengan, dan kaki Kun Liong!
Kembali hal ini merupakan demonstrasi sinkang yang amat kuat di samping ginkang-nya tadi yang membuat dia bergerak seperti seekor burung dan totokan-totokannya yang lihai. Begitu tali-tali itu tidak mengikatnya, Kun Liong merosot dengan lemasnya karena dia telah tertotok lumpuh.
"Aihhh... kau kenapa...?"
Dengan lemas Kun Liong memandang penuh perhatian.
"Aku... agaknya aku pernah mendengar suaramu yang halus merdu itu... akan tetapi di mana, ya? Wajahmu yang cantik jelita seperti bidadari itu belum pernah aku melihatnya, mungkin hanya dalam mimpi naik ke sorga..."
"Hushhh!" Muka yang berkulit putih halus itu menjadi merah sekali. "Kau kenapa?"
"Tertotok, pusat jalan darah ke lengan dan kaki terhenti, membuat lumpuh kaki tanganku."
Tanpa banyak cakap lagi, jari-jari tangan yang halus itu menotok beberapa kali di kedua pundak dan di kedua pinggang kanan kiri, dan seketika itu Kun Liong dapat bergerak lagi. Dia meloncat berdiri, menghadapi nikouw itu dan berkata,
"Kau hebat! Kau luar biasa sekali, Nona... ehh, Suthai!"
"Dan kau tolol sekali membiarkan dirimu ditawan oleh mereka, Tuan... ehh, Hwesio!"
"Wah, aku bukan hwesio!"
"Kau pun mengatakan aku nikouw!"
"Kan pakaianmu itu adalah pakaian nikouw dan aku berani bertaruh bahwa kepalamu itu tentu gundul halus dan bersih sekali."
"Kau juga gundul."
"Namun aku bukan hwesio, aku Yap Kun Liong orang biasa, orang sial dangkalan yang selalu bernasib malang, akan tetapi juga orang berbintang terang karena selalu tertolong wanita-wanita cantik!"
"Engkau gundul tapi bukan hwesio, apa kau kira kalau aku berpakaian nikouw dan gundul aku lalu seorang nikouw asli?"
"Ehh, ehhh! Apa ada nikouw palsu?"
"Tentu saja ada!"
"Mana?"
"Ini, yang berdiri di depanmu!"
Keduanya saling pandang dan perbantahan itu terasa lucu bagi mereka sehingga mereka tertawa kecil. Kun Liong masih celangap tertawa tetapi segera suara ketawanya terhenti dan dia masih celangap memandang wajah dara itu.
Dara itu tersenyum simpul, tapi cukup untuk memperlihatkan sedikit kilatan gigi dan cukup untuk menciptakan dua lesung pipit di kanan kiri pipinya. Manis sekali! Manis dan jelita membuat Kun Liong terpesona dan bengong terlongong karena dia harus jujur mengakui bahwa selama hidupnya belum pernah dia bertemu dengan seorang dara secantik ini, belum pernah melihat wajah seperti itu, tiada cacatnya baginya, sempurna dan... dan... sukar dia mengatakan, pendeknya, tidak ada keduanya di dunia ini!
"Kenapa kita berbantahan tidak karuan? Hayo cepat ikut denganku. Kita harus cepat pergi dari sini."
"Kenapa? Aku tidak takut! Dan terus terang saja, aku memang sengaja membiarkan diriku ditangkap agar dibawa ke depan Panglima The Hoo yang sudah kukenal baik. Aku tentu akan dibebaskan dan..."
"Bodoh! Kau kira aku tidak tahu itu semua? Sudah semenjak kau ditangkap aku mengintai dan membayangimu. Akan tetapi jangan mengira bahwa kau akan dibawa ke sana. Kau akan disiksa dan dipaksa mengaku di mana adanya bokor, kemudian sesudah bokor itu mereka dapatkan, kau akan dibunuh."
"Tak mungkin, pasukan itu adalah pasukan pemerintah..."
"Tetapi kau tidak kenal siapa itu, Tok-jiauw Lo-mo. Gurunya... hemmm, lihai bukan main. Dan pemuda asing itu agaknya sekutunya. Mari kita pergi..."
Kun Liong terkejut bukan main. "Tidak, aku akan menemui mereka. Akan kutanya secara terang-terangan kenapa mereka hendak mengkhianati Panglima The Hoo. Mereka harus dihajar dan kalau begitu, harus ditangkap dan dihukum!" Setelah berkata demikian, Kun Liong malah lari ke tenda dan berteriak-teriak,
"Lo-mo setan tua, hayo ke sini kau bersama Marcus itu! Kalian berdua mau berkhianat, ya?" Tanpa mempedulikan lagi kepada nikouw muda itu yang membanting kaki gemas kemudian meloncat pergi ke dalam gelap, Kun Liong terus berteriak-teriak dengan penuh kemarahan.
Segera terjadi geger di tempat itu. Para prajurit terbangun, kecuali dua belas orang yang tertotok, dan komandan pasukan bersama Marcus dan Tok-jiauw Lo-mo juga berlari-lari mendatangi. Melihat pemuda gundul itu sudah bebas, belenggunya terputus semua dan dua belas orang penjaganya tertotok semua hingga tak mampu bergerak, mereka menjadi terkejut dan semua orang sudah mengeluarkan senjata, siap untuk mengeroyok.
"Hai, komandan pasukan. Jangan kau percaya kepada dua orang ini!" Kun Liong bicara sambil menudingkan telunjuknya ke arah Lo-mo dan Marcus. "Mereka berdua ini hendak berkhianat. Mereka tak akan membawaku kepada Panglima The Hoo, melainkan hendak menculikku dan mungkin membunuh kalian semua. Hayo tangkap mereka, kemudian kita bersama pergi menghadap Panglima The Hoo untuk minta keadilan!"
"He-heh-heh, bocah gundul, kalau kau tidak tolol tentu kepalamu terisi otak yang miring!" Tok-jiauw Lo-mo berkata nyaring, "Akulah yang sudah menangkapmu, kalau aku hendak berkhianat apa aku memberi kabar kepada komandan? Hayo Ciangkun, kerahkan semua orangmu untuk menangkap kembali tawanan gila yang berbahaya ini!"
Sang Komandan tentu saja lebih percaya kepada Lo-mo, apa lagi kepada Marcus yang sudah membagi-bagikan uang emas, maka dia memberi aba-aba dan serentak Kun Liong diterjang dari seluruh penjuru!
"Heiii, orang-orang bodoh...! Kalian telah ditipu setan tua itu... wah, celaka ini!"
Kun Liong terpaksa mengelak ke sana ke mari sambil mendorong-dorong dengan kedua tangannya. Belasan orang roboh oleh angin dorongan kedua tangan, akan tetapi mereka bangkit lagi dan kini lebih banyak yang mengeroyoknya karena ketika mereka terbanting, mereka tidak mengalami luka apa-apa.
Marcus sudah mengeluarkan pistolnya, akan tetapi tidak sempat menembak karena Kun Liong ‘terlindung’ oleh begitu banyak pengeroyok. Tok-jiauw Lo-mo sudah menggerakkan tongkat pendeknya yang berujung cakar setan, lalu maju menerjang pula.
Kun Liong memang tidak suka berkelahi, akan tetapi dikeroyok seperti itu tentu saja dia harus mempertahankan diri dan menghalau lawan tanpa melukainya. Akan tetapi ketika Lo-mo maju, dia merasa terkejut dan hampir saja lehernya kena dicengkeram oleh cakar setan kalau saja dia tidak cepat-cepat menggulingkan diri dan bergulingan sambil menarik banyak kaki lawan sehingga lima orang prajurit pengeroyoknya jatuh tumpang tindih!
"Tolol! Tolol!" Tiba-tiba terdengar bentakan halus dan Marcus langsung roboh tak bangkit lagi karena kepalanya kena hantam oleh tamparan tangan halus nikouw muda.
Beberapa orang juga terpelanting dan ada yang terlempar ke atas pohon dilontarkan oleh tangan kecil itu. Nikouw itu mengamuk menghampiri Kun Liong dan di tangannya terdapat sebuah sapu tangan putih yang digerakkan secara istimewa lihainya.
"Siuuuttt...!" Ujung sapu tangan putih itu menangkap cakar setan sehingga serangannya terhadap Kun Liong terhalang.
Kakek tinggi kurus itu terkejut sekali, lalu membentak. "Siapa kau!"
Akan tetapi nikouw muda itu tidak peduli, cepat melepaskan libatan sapu tangannya dan menyerang kakek itu dengan tamparan tangan kirinya. Pukulannya seperti pukulan biasa saja, seperti seorang wanita menampar muka seorang pria yang hendak berkurang ajar kepadanya, akan tetapi tamparan itu cepat dan mendatangkan angin tenaga sinkang yang kuat, juga datangnya tidak langsung melainkan membentuk lingkaran.
"Aihhh...!" Lo-mo amat terkejut dan meloncat ke belakang lalu membalas dengan gerakan tongkat cakar setannya, mengarah muka nikouw itu.
"Hemm, manusia ganas!" Nikouw itu berseru, dengan mudah mengelak dan ujung sapu tangannya meledak mengenai pundak kakek itu.
"Nikouw keparat!" Kakek itu marah ketika melihat pakaian di pundaknya robek dan kulit pundaknya terasa panas.
Sebaliknya Si Nikouw Muda maklum bahwa tubuh kakek itu kebal. Hantaman ujung sapu tangannya tadi dapat menghancurkan batu karang, akan tetapi pundak kakek itu lecet pun tidak! Maka dia lalu menangkap lengan Kun Liong.
"Hayo pergi!"
Apa bila Kun Liong menghendaki, tentu saja dia dapat merenggutkan tangannya terlepas dari pegangan dan dapat menahan tarikan nikouw itu. Akan tetapi karena nikouw itu telah menjadi penolongnya dan dia sendiri sudah bosan harus melayani pengeroyokan sekian banyaknya prajurit, maka dia pun membiarkan dirinya diseret dan dia berlari cepat sekali diseret oleh nikouw muda yang ternyata memiliki ginkang istimewa,
Tentu saja Kun Liong tidak tega membiarkan nikouw itu kelelahan, maka diam-diam dia pun mengerahkan ginkang-nya sehingga tubuhnya menjadi ringan dan biar pun kelihatan dia diseret, namun sebenarnya dia berlari sendiri!
Setelah lari jauh dan para pengejarnya sudah tidak tampak atau terdengar lagi, Kun Liong sengaja terengah-engah dan berkata, "Aduhhh... berhenti dulu... aduhh... napasku huhh... senin kamis... huh-huh-huhhh..."
Nikouw itu melepaskan pegangannya, kemudian mereka menjatuhkan diri duduk di bawah pohon. Nikouw itu memandang pada Kun Liong sambil tersenyum melihat betapa pemuda itu ngos-ngosan napasnya.
"Aihh,…, kiranya engkau hanya pandai dalam hal ilmu pengobatan saja, akan tetapi ilmu silatmu tidak berapa tinggi."
"Huuh-hahhh... kau sih lari seperti kuda saja!"
Nikouw itu cemberut dan heranlah hati Kun Liong. Mana ada orang cemberut kok malah semakin manis?
"Kau samakan aku dengan kuda?"
"Kalau ibarat kuda, engkau tentulah kuda ajaib yang disebut Han-hiat Po-ma (Kuda Ajaib Berkeringat Darah) yang kabarnya sehari dapat lari seribu li."
"Tidak sudi! Biar pun disamakan dengan kuda dewa sekali pun aku tetap tidak sudi. Kuda nasibnya hanya ditunggangi orang! Aku bukan kuda!"
Kun Liong bengong, tidak hanya terheran-heran melihat sikap wanita, watak wanita yang selalu berbeda dan dianggapnya edan-edanan dan kekanak-kanakan ini, akan tetapi juga heran karena setelah marah malah lebih manis dari pada ketika cemberut tadi. Agaknya dalam setiap gerak-geriknya, nikouw muda jelita ini memiliki daya tarik yang berbeda, dan yang satu lebih menarik dan manis dari pada yang lain!
"Sabar... sabar... aku hanya mengatakan larimu seperti kuda saking cepatnya."
"Itu pun menghina namanya!"
"Elhoooh! Bukankah kuda itu paling cepat larinya? Bukan menghina melainkan memuji."
"Siapa bilang? Larinya kuda saja berapa cepatnya sih? Aku sanggup berlari lebih cepat dari pada kuda!"
"Wah-wah, kalau begitu engkau tentu seorang bidadari dari kahyangan, bukan seorang manusia."
"Ngawur, aku hanya seorang nikouw."
"Nikouw palsu."
"Nikouw benar-benar, tetapi nikouw terpaksa, hatiku bukan nikouw akan tetapi terpaksa aku menjadi nikouw..." Dan tiba-tiba nikouw itu menangis sesenggukan!
"Aihhh... Nona yang baik, kau maafkan aku..." Kun Liong berlutut di depan nikouw itu.
"Heii, apa kau sudah gila? Apa yang kau lakukan ini?" Nikouw itu lupa kesedihannya dan membentak menegur Kun Liong yang sudah duduk kembali.
"Kukira engkau menangis karena kata-kataku yang tidak sopan atau yang menyinggung."
"Tidak sama sekali. Aku hanya ingat akan nasibku. Sudahlah, tak perlu bicara mengenai diriku."
"Aku seperti pernah mendengar suaramu, bukan menjadi kebiasaanku melupakan suara yang amat merdu dan halus. Selama hidupku tentu akan teringat, akan tetapi entah di mana karena kita tak pernah saling bertemu. Mungkin aku mendengar suaramu di dalam mimpi..."
"Bodoh, biar pun hanya di dalam mimpi, mana bisa mendengar suara orang yang belum dijumpainya. Engkau memang pernah mendengar suaraku."
"Benar-benarkah? Di mana? Kapan?"
"Ketika engkau mengobati seorang nikouw di dalam joli yang terluka... anunya..." Agaknya nikouw muda itu tidak sampai hatinya untuk menyebut sebuah pinggulnya yang terluka dahulu itu. Menceritakannya kembali saja membuat dia teringat sehingga seolah-olah dia merasakan kembali betapa jari tangan pemuda ini dulu telah menyentuh kulit pinggulnya, membuat bulu tengkuknya berdiri!
"Apa...?!" Kun Liong bengong memandang wajah nikouw itu dan anehbukan main! Yang kelihatan olehnya adalah sebukit pinggul berkulit putih kuning halus dan yang terluka oleh jarum merah. "Pinggul... ehhh pinggul..."
Kun Liong mau bicara akan tetapi karena matanya membayangkan pinggul, otomatis dari mulutnya keluar kata-kata itu membuat Si Nikouw Muda makin merah mukanya.
"Maaf, iihhh, kenapa mulut ini? Aku sekarang ingat. Pantas saja aku mengenal suaramu. Jadi engkaukah nikouw yang terluka oleh jarum merah itu? Siapakah engkau dan kenapa pula engkau sampai bisa terluka oleh Ouwyang Bouw?"
Kini nikouw itu memandang wajah Kun Liong dengan penuh keheranan. "Kau mengenal senjata rahasia Ouwyang Bouw?"
Kun Liong mengusap-usap kepalanya. "Karena jarumnya itulah maka kepalaku sekarang menjadi gundul pelontos seperti ini. Tentu saja aku pernah berjumpa dengan Ouwyang Bouw dan bapaknya Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok."
Nikouw muda itu bergidik, ngeri mendengar nama-nama itu. "Anaknya sangat jahat, tentu ayahnya lebih kejam dan lihai luar biasa. Yap Kun Liong, aku sudah mendengar namamu disebut banyak orang karena urusan bokor emas, dan memang engkau orang luar biasa sekali. Semua tokoh kang-ouw memperebutkan bokor, namun engkau yang sama sekali tidak tahu apa-apa malah yang menemukan bokor itu! Aku... aku adalah Pek Hong Ing dan terus terang saja, aku... aku hanya terpaksa menjadi nikouw, maka jangan engkau menyebutku sebagai nikouw. Lain orang tidak apa-apa, akan tetapi aku merasa canggung dan tidak enak kalau kau menyebutku sebagai nikouw."
"Eihh, kalau aku yang menyebutnya mengapa sih? Apa bedanya aku dengan orang lain?"
Hong Ing cemberut dan kembali Kun Liong menelan ludah. Manisnya!
"Kau boleh menyebut aku nikouw, akan tetapi aku pun akan menyebutmu hwesio karena kepalamu juga gundul seperti kepalaku. Bagiku, menjadi pendeta bukanlah lahirnya akan tetapi batinnya, dan di dalam batinku, aku sama sekali tidak ingin menjadi nikouw."
Mendengar dara itu berbicara dengan serius, Kun Liong tidak mau menggoda lagi. "Ya sudahlah, Hong Ing, aku menganggap saja engkau seorang dara yang berkepala gundul seperti aku. Tetapi kau belum menceritakan bagaimana sampai anumu itu terluka jarum merah milik Ouwyang Bouw."
"Sebut saja pinggulku, mengapa anumu-anumu? Tidak enak sekali mendengarnya."
"Ehh, bukankah kau sendiri yang menyebut begitu tadi? Aku hanya menirumu."
"Apa engkau ini selalu hanya pandai meniru orang lain? Meniru sih baik asal yang benar, kalau yang salah masa harus ditiru?"
Kun Liong tertawa. Mengelus-elus gundulnya dan berkata, "Memang aku tolol... ha-ha-ha, mungkin karena gundul..."
"Ingat, aku pun gundul...," kata Hong Ing dan keduanya tertawa geli.
Mendadak wajah Hong Ing pucat sekali dan Kun Liong cepat membalikkan tubuh karena mendengar gerakan perlahan. Tahu-tahu di depan mereka telah berdiri seorang dara lain yang wajahnya cantik jelita pula namun dingin dan pada saat itu wajah cantik ini kelihatan marah, sepasang matanya menyinarkan api dan bergantian mata itu menatap wajah Kun Liong dan Hong Ing.
Dengan tubuh lemas Hong Ing bangkit berdiri, sedangkan Kun Liong tetap saja duduk enak-enak karena dia tidak mengenal wanita gagah dan cantik yang datang itu dan tidak merasa bersalah apa-apa, hanya terheran mengapa wanita muda secantik itu kelihatan marah sekali dan mengapa pula Hong Ing kelihatan pucat ketakutan.
"Engkau... Pek Hong Ing! Hemmm, biar pun menyamar sebagai nikouw, aku tetap dapat mengenalmu. Sungguh tak tahu malu engkau, Sumoi! Menghindarkan diri dari pernikahan dengan cara menjadi nikouw, akan tetapi apa yang kutemukan di sini? Kau bermain gila dengan seorang hwesio muda! Betapa memalukan, dan kau mencemarkan orang yang menjadi gurumu dan suci-mu!"
"Suci! Harap jangan menuduh sembarangan!" Hong Ing berseru, suaranya mengandung isak karena ucapan suci-nya itu benar-benar menusuk perasaannya yang halus.
"Tak perlu engkau memutar lidah membela diri karena jelas kalian tertangkap basah! Apa perlunya duduk di dalam hutan sunyi berduaan saja sambil bersenda-gurau tertawa-tawa kalau kalian tidak main gila? Ahhh, sungguh percuma saja kepala kalian yang gundul itu. Sumoi, hayo kau ikut bersamaku menghadap Subo (Ibu Guru)."
Dengan kedua mata terbelalak dan muka pucat Hong Ing menggeleng-geleng kepalanya. "Tidak... tidak... aku tidak mau kembali ke sana... aku lebih baik mati dari pada dipaksa menikah..."
"Keparat! Berbulan-bulan aku mencarimu dengan susah-payah, dan setelah bertemu kau kudapatkan main gila dengan hwesio ini, tapi aku masih sabar, masih mau melupakan itu semua asal engkau suka turut bersamaku menghadap Subo. Aku tak ingin bicara tentang kelakuanmu di pagi hari ini, dan kau menolak, bahkan memilih mati?"
"Memang lebih baik aku mati!" kata Hong Ing, suaranya kini mantap.
"Singgg...!"
Tampak sinar berkilat pada saat wanita cantik yang galak itu mencabut pedangnya yang berkilauan saking tajamnya.
"Kau memilih mati? Nah, biar aku memenuhi permintaanmu, sesuai pula dengan perintah Subo, kalau kau masih membangkang supaya aku membunuhmu." Begitu selesai ucapan ini, pedang itu berkelebat dan dia telah menyerang Hong Ing dengan gerakan yang amat dahsyat.
Kun Liong terkejut melihat gerakan itu yang benar-benar sangat cepat dan mengandung tenaga kuat sekali. Akan tetapi, Hong Ing masih sempat mengelak dengan gerakannya yang lincah dan ringan seperti burung. Namun suci-nya terus menyerangnya bertubi-tubi, membuat Hong Ing terdesak hebat dan terpaksa harus berloncatan ke kanan kiri dan belakang untuk menghindarkan diri dari ujung senjata yang membawa maut itu.
"Suci, begini tegakah engkau...? Kita sudah semenjak kecil seperti kakak beradik..."
"Wuuuuttt…!"
Hong Ing cepat menjatuhkan dirinya untuk menghindarkan diri dari sambaran pedang itu. Biar pun Kun Liong dapat melihat bahwa gerakan Hong Ing tidak kalah ringan dari pada gerakan suci-nya, namun karena dara ini tidak memegang senjata dan juga sama sekali tidak mau melakukan serangan balasan, hanya mengelak ke sana-sini saja, maka hatinya gelisah sekali dan tanpa terasa lagi tangannya telah meraba sebatang ranting kering yang menggeletak di dekatnya.
Kegelisahannya terbukti ketika Hong Ing menjerit terkena tendangan suci-nya. Tubuhnya terbanting dan dengan kecepatan kilat suci-nya sudah datang menerjang dengan tusukan maut yang agaknya tak mungkin dapat dihindarkan lagi oleh Hong Ing yang sudah rebah miring itu.
"Trangggg...!"
Kun Liong sengaja mengerahkan sinkang-nya yang mendatangkan getaran hebat hingga ketika rantingnya bertemu dengan pedang yang ditangkisnya, pedang itu lantas terpental, terlepas dari tangan pemiliknya!
Dara itu terbelalak memandang, bukan main rasa heran dan penasarannya dan merasa bagai dalam mimpi. Siapa orangnya yang mampu menangkis pedangnya dengan sebuah ranting dan hanya sekali tangkis membuat pedangnya lepas dari tangannya? Benar-benar aneh dan luar biasa sekali! Ataukah dia yang tadi lengah dan tidak memegang pedangnya erat-erat karena sudah memastikannya bahwa sumoi-nya tentu tewas di tangannya?
Kun Liong tidak mempedulikannya lagi. Dia membuang ranting itu dan menghampiri Hong Ing yang masih rebah. "Hong Ing, kau... terluka...?"
Hong Ing bangkit duduk dan menggeleng kepala. "Tidak apa-apa, Kun Liong, biarkanlah aku... heiiii... hati-hati...!"
Namun terlambat. Hui-to (pisau terbang) yang disambitkan oleh suci-nya itu hebat sekali meluncur dengan kecepatan melebihi anak panah menuju ke sasarannya, yaitu punggung Kun Liong. Pemuda ini sama sekali tidak menyangka bahwa ada dara demikian cantiknya akan sudi menyerang orang secara menggelap, maka seruan Hong Ing itu terlambat. Lagi pula, kalau dia mengelak, bukankah Hong Ing yang terancam oleh senjata rahasia itu?
Dia lalu mengerahkan sinkang-nya dan hui-to itu menancap di punggungnya, tidak terus, melainkan menancap paling banyak sepanjang jari telunjuk dan menempel di situ. Darah muncrat dan Hong Ing menjerit.
"Kun Liong...!"
Sebelum Kun Liong sempat melakukan sesuatu, Hong Ing sudah menggendongnya dan dara ini lantas meloncat jauh dan terus melarikan diri secepat kilat sambil menggendong tubuh Kun Liong!
“Hemm, Sumoi Pek Hong Ing...! Begitu tak tahu malukah engkau? Berhenti!" dia mengejar dari belakang setelah menyambar pedangnya dan menyarungkannya.
Akan tetapi Hong Ing tak peduli, dia terus menggendong Kun Liong sambil mengerahkan seluruh ginkang-nya untuk melarikan diri. Pada waktu dia menengok dan melihat suci-nya mengejar, dia berlari makin cepat lagi.
Kun Liong diam-diam merasa geli, dan juga terharu. Tidak disangkanya bahwa sang suci seganas dan segalak itu sedang sang sumoi begini halus budinya. Sebenarnya luka di punggungnya itu tidak seberapa dan kalau dia mau, tentu saja dia dapat melawan suci itu, atau andai kata melarikan diri sekali pun, tidak perlu digendong karena dia dapat lari lebih cepat dari Hong Ing.
Akan tetapi, sekali merasa digendong belakang, dia merasa kenikmatan yang luar biasa. Tubuhnya mendekap ketat punggung Hong Ing sehingga terasa kelembutan yang hangat dan hidungnya mencium keharuman memabukkan, maka dia merangkulkan kedua lengan di atas pundak Hong Ing sedangkan dua kakinya yang panjang dia kempitkan di pinggang dara itu. Dia pura-pura setengah pingsan!
Akan tetapi karena maklum bahwa mereka berdua sedang dikejar, diam-diam Kun Liong mengerahkan ginkang-nya hingga tubuhnya ringan sekali dan tidak menjadi penghalang bagi Hong Ing untuk mengerahkan seluruh ilmunya berlari cepat. Dan ternyata dalam hal ilmu berlari cepat, Hong Ing lebih menang dibandingkan dengan suci-nya.
Dia memasuki hutan, menyelinap di antara pohon-pohon dan makin lama jarak antara dia dan pengejarnya semakin jauh dan akhirnya Hong Ing tiba di tempat yang ditujunya, yaitu sebuah kuil kuno di tengah hutan. Dia segera menyelinap di balik pohon dan memasuki semak-semak, menurunkan tubuh Kun Liong yang pura-pura pingsan, mencabut hui-to itu dan memeriksa lukanya.
Betapa heran rasa hati Hong Ing ketika memeriksa luka itu. Ketika mencabut hui-to tadi, dia pun sudah heran melihat hui-to yang panjang itu hanya masuk sedikit saja, padahal ia tahu benar bahwa suci-nya adalah seorang ahli penyambit pisau terbang yang amat lihai dan yang telah mewarisi kepandaian guru mereka sepenuhnya. Tidak saja hui-to itu amat cepat jika dilontarkan suci-nya, juga pasti mengenai sasarannya dan biasanya tentu akan menancap sampai ke gagangnya!
Akan tetapi dia tak memusingkan hal itu, hanya merasa bersyukur dan selagi dia hendak mengambil obat dari dalam saku jubahnya, tiba-tiba saja dia merangkul Kun Liong sambil mendekap mulut pemuda itu dengan tangannya, khawatir kalau-kalau pemuda itu setelah siuman mengeluarkan suara. Matanya memandang ke depan di mana terdapat sebuah lorong kecil dan di atas lorong ini nampak tujuh orang nikouw berjalan beriringan sambil membaca doa!
Kun Liong melirik dan dapat pula melihat iring-iringan itu. Dia senang sekali didekap dan kepalanya berbantalkan lengan halus itu, apa lagi mulutnya didekap. Dengan halus dia memegang lengan yang mendekap mulutnya lantas menariknya sehingga mulutnya tidak tertutup lagi. Dia mengeluarkan rintihan perlahan, pura-pura merasa kesakitan hebat!
"Sssttt...!" Dalam kekhawatirannya akan terlihat oleh para saudaranya dari kuil itu, tanpa disadarinya lagi Hong Ing mendekap kepala Kun Liong ke dadanya dan kebetulan sekali Kun Liong miringkan mukanya sehingga kini mukanya terdekap ke dada.
Kun Liong meram melek dan sekali ini dia benar-benar hampir pingsan pada saat merasa betapa hidung dan pipinya merapat pada dada yang membusung itu dan tercium olehnya keharuman yang aneh. Aduh, mau rasanya aku selamanya begini, pikirnya dan tak terasa lagi mulutnya tersenyum penuh kesenangan hati!
Sesudah rombongan nikouw yang berdoa itu lewat dan sudah jauh, barulah Hong Ing bernapas lega dan ketika dia menunduk, kedua matanya terbelalak melihat betapa tanpa disadarinya dia sudah mendekap muka Kun Liong ke dadanya! Hampir dia menjerit dan dia cepat melepaskan kepala itu sehingga kepala gundul itu jatuh ke tanah mengeluarkan suara berdebuk.
"Aduhhhh...!" Kun Liong mengeluh.
"Kusangka kau masih pingsan!"
"Aku tidak pernah pingsan!"
"Kalau begitu, mengapa kau diam saja?"
"Habis disuruh apa?"
"Hemmm, kau aneh dan kadang-kadang timbul sangkaanku bahwa kau adalah seorang yang kurang ajar! Nah, miringlah, biar kuobati lukamu!"
Kun Liong tidak bicara lagi, takut kalau benar-benar dia dibenci karena dianggap kurang ajar, maka dia miring dan membiarkan lukanya diobati oleh Hong Ing. Sekali ini Kun Liong merasakan sesuatu yang aneh di hatinya. Dia merasa amat kasihan kepada dara ini dan di dalam hatinya sama sekali tidak ada niat untuk menggoda, sungguh pun kehadiran dan kecantikan dara ini jauh lebih hebat pengaruhnya terhadap dirinya dibandingkan dengan gadis-gadis cantik lain yang pernah dijumpainya dan digodanya.
Sesudah selesai mengobati luka di punggung Kun Liong, Hong Ing berkata, "Aku girang sekali dapat membalas kebaikanmu dulu ketika mengobati aku dengan sekarang merawat lukamu, Kun Liong. Sekarang, harap kau suka cepat pergi sebelum Suci datang lagi dan sebelum para nikouw di Kwan-im-bio tahu bahwa kau berada di sini."
Kun Liong telah duduk. Mereka duduk saling berhadapan dan Kun Liong menggelengkan kepalanya. "Nanti dulu, Hong Ing. Sudah terlalu banyak kita mengalami bahaya bersama, dan sudah terlalu banyak aku berhutang budi kepadamu. Aku ingin sekali mengenalmu lebih dekat dan lebih baik lagi. Sudikah kau menceritakan kepadaku semua hal ihwalmu, barang kali aku dapat membantumu, baik dengan nasehat mau pun dengan perbuatan?"
Hong Ing meragu, sejenak mereka berpandangan. Kemudian Hong Ing menghela napas dan berkata, "Baiklah. Kita memang masih harus bersembunyi di sini sampai keadaan aman benar."
Maka dara cantik jelita yang terpaksa menjadi nikouw ini mulai menceritakan riwayatnya kepada Kun Liong dengan suara bisik-bisik dan yang didengarkan penuh perhatian oleh Kun Liong.
Pek Hong Ing yang pada waktu itu baru berusia tujuh belas tahun adalah murid tersayang dari seorang pertapa wanita di Pegunungan Go-bi-san yang berjulukan Go-bi Sin-kouw (Wanita Sakti dari Go-bi). Nenek sakti ini hanya memiliki dua orang murid, yang pertama adalah Lauw Kim In, yaitu dara jelita galak yang menyerang Hong Ing itu.
Hong Ing adalah seorang anak yatim piatu, demikian pula suci-nya, Kim In. Sejak berusia lima tahun dia telah digembleng bersama suci-nya oleh Go-bi Sin-kouw, dan kedua orang anak perempuan yang sama-sama yatim piatu ini hidup bagaikan kakak beradik, Kim In lebih tua tiga tahun dari Hong Ing, dan sekarang telah berusia dua puluh tahun.
Sukarlah dikatakan siapa di antara dua orang dara ini yang lebih berhasil mewarisi ilmu kepandaian Go-bi Sin-kouw. Kim In kelihatan sangat lihai dengan ilmu pedangnya dan terutama sekali senjata rahasia hui-to (pisau terbang) yang membuat dara ini sukar dicari tandingannya. Sedangkan Hong Ing telah mewarisi ilmu cambuk dari gurunya yang dapat dia mainkan dengan sehelai sapu tangan sutera saja! Di samping ini, juga dalam hal ilmu meringankan tubuh (ginkang), si sumoi ini agaknya jauh melampaui suci-nya.
Ketika berusia delapan belas tahun, oleh gurunya yang terkenal galak dan berhati baja itu Kim In ditunangkan dengan seorang pemuda yang tampan dan gagah. Akan tetapi, ketika pada suatu hari pemuda tunangannya ini oleh Go-bi Sin-kouw disuruh berkunjung kepada seorang sahabatnya di kaki Pegunungan Go-bi-san, terjadilah hal yang amat hebat.
Sahabat dari Go-bi Sin-kouw itu adalah seorang tokoh yang sangat sakti, terkenal sekali akan tetapi seperti juga Go-bi Sin-kouw, dia tak pernah turun gunung. Julukannya adalah Thian-ong Lo-mo (Iblis Tua Raja Langit) dan sudah lama menjadi sahabat baik Go-bi Sin-kouw karena memang masih ada pertalian perguruan di antara mereka.
Ketika pemuda tunangan Kim In itu tiba di tempat pertapaan Thian-ong Lo-mo dia diterima baik, suratnya dari Go-bi Sin-kouw juga diterima dan karena hari sudah malam, pemuda itu disuruh bermalam di pondok si kakek pertapa. Dan pada malam hari itulah terjadinya mala petaka.
Di samping kesaktiannya, kakek Thian-ong Lo-mo juga terkenal sebagai seorang kakek yang tidak pernah hidup sendiri, tentu selalu ditemani seorang isteri yang cantik dan muda dan yang hampir setiap tahun berganti orang!
Isteri atau selir cantiknya pada waktu itu, yang biasanya hanya tidur dan dipeluk seorang kakek yang usianya sudah hampir seratus tahun, tentu saja menjadi terpesona dan amat tergila-gila kepada pemuda tampan yang menjadi tamu suaminya. Hal yang lumrah pun terjadilah. Sang pemuda tidak kuat menahan bujuk rayu si cantik jelita sehingga terjadilah perjinahan di antara mereka. Dan celakanya, mereka tertangkap basah oleh Thian-ong Lo-mo sendiri!
Pasangan kekasih itu lantas dibunuh oleh Thian-ong Lo-mo dan kepala mereka dikirimnya kepada Go-bi Sin-kouw yang dapat mengerti apa yang sudah terjadi. Karena kesalahan berada di pihak calon mantunya itu, maka Go-bi Sin-kouw juga tidak bisa berbuat apa-apa kecuali minta maaf.
Dapatlah dibayangkan betapa hancur hati Lauw Kim In melihat peristiwa ini. Bukan hanya hancur karena ia urung menikah, tapi terutama sekali hancur karena sakit hati mendengar betapa tunangannya itu berjinah dengan isteri Kakek Thian-ong Lo-mo. Dengan demikian baginya dianggap bahwa dia dihina dan diremehkan oleh tunangannya, dan mulai saat itu di dalam hatinya tumbuh bibit kebencian yang amat mendalam terhadap kaum pria!
Semenjak itu, di hadapan gurunya dia bersumpah untuk tidak menikah dan gurunya pun tidak mampu berbuat apa-apa karena maklum apa yang diderita oleh murid pertama ini. Kim In dan sumoi-nya yang ketika itu baru berusia lima belas tahun, semakin giat berlatih silat sampai dua tahun lamanya.
“Dan pada suatu hari, pagi-pagi sekali, sekitar tiga bulan yang lalu, mala petaka menimpa diriku..." kata Hong Ing menyambung ceritanya yang terus didengarkan penuh perhatian oleh Kun Liong.
Cerita tentang suci dara ini memang menarik, tetapi dia tidak begitu mempedulikan. Akan tetapi sekarang setelah Hong Ing mulai menceritakan riwayatnya sendiri, dia benar-benar menaruh perhatian sehingga pandang matanya seolah-olah tergantung kepada bibir yang merah kecil mungil itu.
Hong Ing melanjutkan ceritanya…..
Pada pagi hari itu, seperti biasa dia seorang diri berjalan-jalan di dalam hutan di lereng puncak Go-bi-san. Semenjak kecilnya, tidak seperti suci-nya, dara ini memang suka sekali akan keindahan alam, suka menyendiri di dalam hutan-hutan besar, apa lagi di waktu pagi hari ketika matahari baru saja muncul menyinarkan cahaya keemasan dan burung-burung berkicau menyambut datangnya sinar surya yang cemerlang indah itu, butir-butir embun menghias setiap ujung daun sehingga membuat rumput dan kembang berseri-seri penuh kesegaran. Kalau sudah berjalan seorang diri di dalam hutan seperti itu, Hong Ing merasa hidup di dunia lain, dunia yang baginya tidak ada lagi kesunyian karena semua yang ada di sekelilingnya bagai telah menjadi satu dengan dirinya, membuat dia tak lagi kehilangan orang tuanya yang telah tiada.
Ketika pagi hari itu dia dengan wajahnya yang cantik segar kemerahan berseri-seri, bagai peri jelita penjaga hutan itu sendiri, berlari-larian kecil mengejutkan burung-burung dan kelinci-kelinci, membuatnya tertawa terkekeh, mendadak dia dikejutkan oleh suara auman keras dan suara jerit orang minta tolong.
Cepat laksana seekor kijang meloncat, Hong Ing melarikan diri menuju ke arah suara itu dan apa yang dilihatnya membuat dia terkejut sekali. Seekor harimau yang sebesar anak kerbau sudah merobohkan seekor kuda dan penunggang kuda itu, yakni seorang laki-laki berpakaian indah, yang ikut pula roboh dengan sebelah kaki tertindih tubuh kudanya. Kini harimau itu siap untuk menerkam orang laki-laki itu yang tadi menjerit minta tolong.
Dengan tiga loncatan saja Hong Ing sudah sampai di tempat itu, berdiri di antara laki-laki dengan harimau. Binatang ini menggereng, memperlihatkan taringnya, dan dua matanya seolah-olah hendak menyihir Hong Ing.....