Di lain fihak, karena memang Kwi Eng amat cantik jelita, memiliki daya tarik yang keras, tentu saja Bun Houw juga senang sekali berdekatan dan bercakap-cakap dengan gadis ini. Kwi Beng sebagai saudara kembar memilki hubungan jiwa yang amat dekat dengan adiknya, maka tentu saja dia pun segera dapat merasakan debaran jantung adiknya yang mulai disentuh asmara itu. Sambil berjalan di dekat Tio Sun, Kwi Beng berbisik kepada pendekar muda itu tentang adiknya, menunjuk dengan gerakan mukanya ke depan,
"Tio-twako, lihat betapa cocoknya mereka berdua... aihhh…, betapa akan senang hatiku kalau saja adikku bisa menjadi jodohnya kelak..."
Kwi Beng sama sekali tidak mengira bahwa bisikannya itu sebenarnya merupakan ujung pisau berkarat yang menghujam di ulu hati Tio Sun! Kwi Beng sama sekali tidak pernah menduga bahwa sebetulnya Tio Sun inilah yang sudah bertekuk lutut, jatuh hati kepada adiknya semenjak saat mereka saling jumpa.
Tio Sun sudah jatuh cinta kepada Kwi Eng, dara jelita yang bermata lebar kebiruan dan berambut hitam agak pirang keemasan itu! Hanya karena Tio Sun orangnya pendiam dan pemalu, maka perasaan cinta itu sedikit pun tidak pernah nampak, baik pada pandang matanya, kata-katanya mau pun gerak-geriknya.
“Hemmm..." Hanya begitulah Tio Sun menjawab sambil menundukkan mukanya, karena tidak tahan melihat betapa Kwi Eng sambil tersenyum-senyum bicara kepada Bun Houw yang jalan berendeng sedemikian dekatnya sehingga seakan-akan lengan mereka saling bersentuhan.
Dan Bun Houw demikian gagahnya, demikian tampannya, juga mempunyai kepandaian demikian tingginya. Putera ketua Cin-ling-pai pula. Seorang pemuda yang gagah perkasa, putera pendekar sakti yang dijunjung tinggi dan dihormati oleh semua orang kang-ouw. Sedangkan dia? Hanya putera dari seorang bekas pengawal miskin dan tak terkenal. Tio Sun semakin menunduk, berusaha mengusir rasa tidak enak dan sakit yang berada di rongga dadanya.
Malam itu mereka melewatkan malam dalam sebuah hutan di tepi sungai karena menurut nasehat Tio Sun, lebih baik berhati-hati menyelidiki tempat Lima Bayangan Dewa yang di samping lihai tentu juga mempunyai banyak anak buah itu. Dia sendiri lalu membuat api unggun, dan dua orang saudara Souw pergi menangkap beberapa ekor kelinci dan ayam hutan.
Kwi Eng segera sibuk menguliti dan memanggang kelinci dan ayam hutan, sedangkan Bun Houw sudah duduk bersama Kwi Beng dan Tio Sun bercakap, saling menceritakan pengalaman masing-masing di dekat api unggun. Pada waktu Tio Sun bercerita tentang pengalamannya menolong seorang gadis cilik kemudian bertemu dengan Bun Hwat Tosu, Bun Houw dan Kwi Beng merasa kagum sekali. Terutama Bun Houw yang sudah sering mendengar dari ayahnya bahwa pada jaman itu, Bun Hwat Tosu merupakan seorang di antara tokoh-tokoh sakti yang jarang muncul di dunia persilatan, yang merupakan seorang manusia setengah dewa. Tentu saja Bun Houw sama sekali tidak pernah mengira bahwa gadis cilik yang diselamatkan kawannya itu sebetulnya adalah Yap Mei Lan, anak dari Yap Kun Liong yang masih terhitung suheng-nya itu!
"Aku mendengar dari ayah bahwa ilmu kepandaian bekas ketua Hoa-san-pai itu seperti dewa. Dan Yap Kun Liong suheng juga menerima sebagian dari ilmu-ilmunya dari kakek dewa itu," kata Bun Houw kagum. "Untung sekali engkau dapat bertemu dengan beliau, Tio-twako."
"Akan tetapi engkau sendiri adalah murid seorang manusia dewa, Houw-te. Aku pernah mendengar dari ayah yang mengenal baik keadaan Cin-ling-pai bahwa engkau sejak kecil telah menjadi murid Kok Beng Lama di Tibet yang kepandaiannya sulit dibicarakan saking tingginya."
"Ahhh, engkau terlalu memuji, twako. Memang, suhu Kok Beng Lama seorang sakti luar biasa, akan tetapi aku yang muda dan bodoh mana bisa mewarisi seluruh kepandaian Suhu? Sayang bahwa begitu pulang ke Cin-ling-pai, terdapat mala petaka itu sehingga aku terus saja berangkat menyelidiki Lima Bayangan Dewa, tidak sempat mengunjungi enci-ku yang tinggal di Sin-yang dan mengunjungi Yap-suheng yang tinggal di Leng-kok. Sungguh menggemaskan sekali Lima Bayangan Dewa itu."
"Mereka itu pengecut kalau berani bergerak selagi ayahmu tidak berada di Cin-ling-san, Houw-ko," Kwi Beng ikut pula bicara.
"Aiiiihhhhh...!"
Tiga orang pemuda itu terkejut sekali. Bun Houw sudah mencelat dan diikuti oleh Tio Sun dan Kwi Beng. Yang menjerit adalah Kwi Eng dan kini dara itu sudah tidak kelihatan lagi, hanya kelihatan bayangan orang berkelebat ke barat.
Bun Houw yang memiliki gerakan paling ringan dan cepat sudah meloncat seperti terbang cepatnya, disusul oleh Tio Sun dan Kwi Beng lari paling akhir karena pemuda peranakan ini biar pun juga memiliki kepandaian cukup tinggi, masih kalah jauh kalau dibandingkan dengan Bun Houw dan kalah setingkat oleh Tio Sun.
"Aihhh... apa kau gila...?!" Kwi Eng menjerit dan kelihatan terdesak hebat oleh serangan sesosok bayangan yang bertubuh ramping. Bayangan wanita!
Ketika Bun Houw sampai di tempat itu, dia melihat Kwi Eng terancam bahaya maut maka cepat dia menerjang dan sempat menangkis pukulan maut yang telah mengancam kepala Kwi Eng.
"Dukkkk...!”
“Aihhhh...!" Bayangan wanita itu terkejut ketika pukulannya tertangkis dan dia terhuyung ke belakang, lalu dia meloncat sambil terkekeh dan lenyap ditelan kegelapan malam.
Bun Houw tidak dapat melihat wajahnya, akan tetapi melihat bentuk tubuh wanita itu dan melihat caranya bergerak dan menyerang, jantungnya berdebar tegang karena dia yakin siapa adanya wanita yang menyerang Kwi Eng tadi. Melihat Kwi Eng terhuyung, cepat dia menyambar, mendukungnya dan membawanya kembali ke tempat tadi, diikuti oleh Tio Sun dan Kwi Beng yang menjadi khawatir sekali.
Bun Houw dengan hati-hati merebahkan Kwi Eng di dekat api unggun. Hatinya lega ketika memeriksa dan ternyata Kwi Eng tidak menderita luka parah, hanya mengalami tamparan yang membuat pipi dan lehernya terdapat tanda jari tangan yang merah, tanda bahwa tamparan itu keras sekali. Kwi Eng masih nanar, akan tetapi dia dapat bangkit duduk dan mukanya merah sekali.
"Keparat, dia entah orang gila entah setan!" dia memaki sambil meraba leher dan pipinya yang terasa panas.
"Eng-moi, apakah yang terjadi?" Kakaknya bertanya, kelihatan marah bukan main melihat adiknya dipukuli orang.
"Aku sendiri tidak tahu dengan jelas. Seperti kalian tahu, aku baru memanggang daging dan aku hendak membuang isi perut kelinci dan ayam hutan agak jauh dari sini agar tidak mendatangkan bau tidak enak. Kulihat kalian masih sibuk bercakap-cakap. Ketika aku tiba di sana..." Dia menuding ke arah gerombolan pohon tidak jauh dan yang gelap, "…aku membuang isi perut itu dan tiba-tiba saja lenganku disambar orang lalu aku dibawa lari seperti terbang cepatnya!"
“Siapa dia? Bagaimana orangnya?" Tio Sun bertanya.
Bun Houw hanya mendengarkan, bahkan menundukkan mukanya karena dia sudah mulai menduga siapa orang yang mengganggu Kwi Eng itu dan sedang menduga-duga kenapa terjadi hal itu.
"Aku tidak dapat melihat mukanya karena gelap sekali, akan tetapi yang jelas dia adalah seorang wanita, agaknya masih muda dan cantik karena cahaya api unggun sebentar menimpa pipinya. Dia kuat sekali karena betapa pun aku meronta, aku tetap tidak dapat melepaskan diri, bahkan dia lalu menampariku dan berbisik penuh ancaman. Tentu saja aku melawan, namun gerakannya lihai bukan main sehingga betapa pun aku mengelak dan menangkis, tetap saja aku kena ditampar beberapa kali," Kwi Eng kembali meraba leher dan pipinya. "Dan... kalau saja Houw-koko tidak keburu datang, aku... aku agaknya sudah terpukul mati, aku merasa betul bahwa iblis itu menghendaki kematianku dan ilmu kepandaiannya begitu hebat!" Kwi Eng bergidik.
"Bagaimana kau tahu kepandaiannya amat hebat?" kakaknya mendesak.
"Kau tahu, koko, ketika dia menarikku, aku sudah mengerahkan tenaga, aku diam-diam mencabut tusuk kondeku. Kau tahu tusuk kondeku itu adalah pemberian ibu, terbuat dari baja tulen seperti pedang, luarnya diselaputi emas. Aku sempat menusuknya di tempat gelap, tepat pada lambungnya, tetapi kau lihatlah ini..." Dara itu mengeluarkan sebatang tusuk konde yang telah patah menjadi dua!
"Ihhh...!" Kwi Beng berteriak dengan hati ngeri. Membayangkan lawan yang lambungnya ditusuk dengan senjata itu malah senjatanya yang patah, benar-benar mengerikan sekali.
"Adik Kwi Eng, engkau tadi mengatakan bahwa iblis itu berbisik penuh ancaman. Bisikan apakah yang dikatakan kepadamu?" Tiba-tiba Tio Sun bertanya.
Kwi Beng dan Bun Houw juga memandang sementara Kwi Eng kelihatan gugup, bahkan lalu mengerling dan menatap wajah Bun Houw sampai lama. Pemuda ini mengerutkan alisnya, hatinya menjadi tidak enak dan akhirnya dia menunduk.
"Aku sendiri pun merasa heran sekali memikirkan apa yang dibisikkan oleh iblis betina itu." Kwi Eng akhirnya berkata lirih. "Suaranya halus namun bisikannya jelas terdengar olehku kelika dia menampariku. Dia berkata, berani kau mendekati dia? Kubunuh kau kalau kau berani jatuh cinta padanya!"
"Ehhhh...! Gila!" Kwi Beng berkata marah dan memandang ke kanan kiri.
"Hemmm, siapakah yang dimaksudkannya itu?" Tio Sun juga berkata sambil mengerling ke arah Bun Houw yang makin menundukkan mukanya.
Mendengar penuturan ini, Bun Houw makin yakin siapa wanita yang telah menyerang Kwi Eng itu dan dia merasa heran, terkejut, bingung serta penasaran. Tentu dara bernama Hong itu! Akan tetapi mengapa demikian? Kenapa Hong bersikap seperti itu? Apa artinya semua itu? Cemburu? Ahhh, mengapa cemburu?
"Houw-koko, apakah engkau mengenal iblis itu?" Tiba-tiba Kwi Eng bertanya kepada Bun Houw dan pemuda ini terkejut, tersentak dari lamunannya.
"Aku tidak tahu..." dia menggeleng ragu. "Aku tidak melihat suatu sebab yang membuat orang dapat bersikap seperti itu kepadamu. Mungkin dia seorang gila, atau siapa tahu dia adalah seorang mata-mata Lima Bayangan Dewa..."
"Atau mungkin juga dia salah melihat orang, kau disangka orang lain, adik Kwi Eng," kata pula Tio Sun yang merasa tidak enak melihat Bun Houw kelihatan bingung. "Sudahlah, karena tidak ada akibat yang terlalu hebat, mari kita makan dan beristirahat. Malam ini kita harus berjaga-jaga, siapa tahu kalau-kalau dia muncul kembali."
Kwi Eng melanjutkan pekerjaannya memanggang daging, kini tak berani terlalu jauh dari teman-temannya. Sesudah mereka makan daging dan cukup kenyang, Bun Houw yang masih merasa tidak enak dan menduga bahwa boleh jadi dara bernama Hong itu yang melakukan perbuatan kasar terhadap Kwi Eng karena orang aneh seperti dia sulit diduga sebelumnya apa yang akan dilakukannya, mengusulkan supaya mencari penginapan di dalam dusun di luar hutan saja.
Mereka lalu melanjutkan perjalanan keluar dari hutan sambil membawa obor. Maksud Bun Houw mencari penginapan di dusun adalah untuk menghindari gangguan dari ‘iblis’ tadi, karena hatinya masih khawatir akan keselamatan Kwi Eng. Ketika dia menangkis pukulan iblis tadi, dia memperoleh kenyataan alangkah kuatnya tenaga lengan iblis betina itu dan kalau mereka tetap tinggal di dalam hutan yang terbuka, sukarlah baginya untuk terus melindungi Kwi Eng.
Benar saja, tepat di luar hutan, mereka mendapatkan sebuah dusun kecil yang dihuni oleh puluhan keluarga petani. Tentu saja di dusun yang kecil seperti itu tidak terdapat rumah penginapan, akan tetapi Kwi Eng yang pandai bicara ramah dan juga mempunyai banyak uaug bekal itu berhasil mendapatkan sebuah rumah besar tempat tinggal seorang petani yang agak kaya untuk menampung dan memberi kamar kepada mereka berempat untuk satu malam itu. Petani yang kecukupan ini she Ma dan hidup bersama seorang istri, dua orang anak gadis yang sudah dewasa dan dua orang pelayan.
Keluarga she Ma ini ternyata ramah sekali. Dengan gembira mereka menyambut empat orang tamu mereka, bahkan menjamu mereka dengan nasi, lauk pauk serta minuman, memaksa mereka berempat makan walau pun mereka menyatakan bahwa mereka sudah makan di hutan.
Memang kehidupan di dusun jauh bedanya dengan di dalam kota. Biasanya orang-orang kota terlampau mementingkan diri sendiri, masing-masing hidup memisahkan diri dan tak saling mengacuhkan keadaan orang lain, jarang sekali nampak keakraban dan kegotong royongan. Berbeda dengan kehidupan di pedesaan di mana mereka lebih saling bergaul dengan akrabnya, senasib sependeritaan dan selalu bersikap ramah apa bila kedatangan tamu.
Demikian pula keluarga she Ma ini. Ketika mendengar permintaan Kwi Eng untuk dapat bermalam di situ malam itu, mereka gembira sekali, apa lagi ketika melihat bahwa Kwi Eng adalah seorang dara yang demikian cantik jelita dan mempunyai kecantikan yang khas, sedangkan tiga orang pemuda itu begitu gagah-gagah dan tampan, terutama sekali Bun Houw dan Kwi Beng.
Diam-diam timbullah keinginan besar di dalam hati suami isteri Ma. Sudah lama mereka itu ingin sekali memperoleh mantu-mantu yang sesuai dengan keadaan mereka. Sebagai petani yang paling kaya di dusun itu, tentu saja mereka menganggap pemuda-pemuda dusun itu kurang memenuhi syarat untuk menjadi mantu-mantu mereka.
Dan kini muncul pemuda-pemuda kota yang demikian gagah dan tampan, maka tentu saja timbul harapan di dalam hati mereka. Sang ibu segera memberi nasehat kepada dua orang puterinya untuk keluar dan turut pula melayani para tamu makan minum sambil bersikap ramah dan manis kepada para tamunya. Tentu saja mereka itu tak lupa berhias diri untuk menarik perhatian para pemuda kota itu, terutama Kwi Beng dan Bun Houw.
Kwi Eng yang dapat mengerti sikap ibu dan dua orang anak gadisnya itu merasa geli dan juga kasihan. Sikap mereka begitu polos dan kaku sehingga amat menyolok mata ketika perawan pertama dengan manisnya melayani Bun Houw, sedangkan adiknya dengan sikap memikat melayani Kwi Beng. Beberapa kali Kwi Eng menutup mulutnya menahan ketawa melihat betapa Kwi Beng dan Bun Houw menjadi merah mukanya dilayani oleh perawan-perawan dusun yang berbedak tebal dan memakai minyak wangi semerbak itu.
Karena keramahan fihak tuan rumah sekeluarga, mereka berempat merasa tidak enak untuk menolak dan walau pun mereka sudah kenyang makan daging kelinci dan ayam hutan tadi, kini mereka makan dan minum lagi sekedarnya hanya untuk menyenangkan hati keluarga tuan rumah.
Begitu pula setelah mereka makan, keluarga itu mengajak para tamunya bercakap-cakap di ruangan depan, dan kembali dalam kesempatan ini dua orang anak gadis keluarga itu memperlihatkan sikap manis dan tertarik sekali kepada Bun Houw dan Kwi Beng. Tentu saja dua orang pemuda ini menjadi sungkan dan malu-malu, dan baru mereka merasa terbebas ketika Tio Sun akhirnya minta perkenan dari keluarga itu untuk mengaso.
Kwi Eng memperoleh kamar sendiri, sedangkan tiga orang pemuda itu tidur menjadi satu di dalam sebuah kamar besar sederhana di bagian belakang rumah itu. Menjelang tengah malam, semua orang terkejut ketika mendengar jerit melengking yang amat mengerikan.
Sebagai orang-orang berkepandaian tinggi, tentu saja tiga orang pemuda itu cepat-cepat meloncat keluar dari kamar mereka, kemudian bertemu dengan Kwi Eng yang juga telah meloncat keluar kamarnya. Lalu mereka mendengar suara tangis dari kamar dua orang gadis puteri tuan rumah.
Tentu saja mereka terkejut dan cepat mendatangi kamar itu. Dapat dibayangkan betapa kaget hati mereka ketika melihat bahwa gadis pertama she Ma telah rebah tak bernyawa lagi di atas pembaringannya, sedangkan di dahinya terdapat tanda tiga buah jari tangan menghitam. Jelas bahwa gadis ini tewas terbunuh orang yang memiliki kepandaian tinggi! Ketika melihat empat orang itu, suami isteri Ma dan anaknya yang kedua menangis makin riuh rendah.
Tanpa diminta lagi, Tio Sun dan ketiga orang temannya sudah menggunakan kepandaian mereka untuk meloncat dan melakukan pengejaran, mencari di luar belakang dan di atas genteng rumah, namun tidak nampak bayangan orang lagi. Mereka kembali ke kamar itu di mana semua keluarga masih menangis.
"Apakah sebenarnya yang telah terjadi?" Tio Sun bertanya kepada tuan rumah. "Mengapa puteri ji-wi tahu-tahu meninggal seperti ini?"
Sambil menangis orang she Ma itu menjawab bahwa mereka suami isteri juga tidak tahu, akan tetapi menurut penuturan gadis mereka yang kedua, anak pertama mereka itu telah dibunuh oleh seorang wanita!
"Seorang wanita?" Bun Houw bertanya dengan suara kaget sekali. Jantungnya berdebar tegang dan dia langsung bertanya kepada gadis she Ma yang muda dan yang masih menangis itu, "Nona, harap ceritakan, apa yang telah terjadi dan siapa yang membunuh enci-mu?"
"Saya... saya terbangun oleh suara dalam kamar kami...," gadis itu bercerita dengan air mata bercucuran. "Lampu kami bernyala amat kecil... dan... dan saya melihat bayangan seorang wanita di kamar... ada bau harum bunga... dan saya mendengar suara wanita itu berkata kepada enci..." Dia melihat lagi terisak-isak.
Ibunya memeluknya dan berkata, "Kau tenanglah dan ceritakan dengan jelas..."
"Saya... saya mendengar jelas, wanita itu... bayangan itu berkata, ‘Kau berani menggoda pemuda itu, kau harus mati!’ Enci menjerit dan bayangan itu berkelebat lenyap... seperti iblis... melalui jendela. Saya lalu menghampiri enci dan... dan..." gadis itu menangis lagi sesenggukan.
Kwi Eng, Kwi Beng, dan Tio Sun saling pandang dengan mata terbelalak, sedangkan Bun Houw yang merasa jantungnya berdebar-debar dan tengkuknya meremang menundukkan mukanya sambil mengepal tinju tangannya. Benarkah? Benarkah wanita iblis itu adalah wanita yang telah mengancam Kwi Eng dan sekarang membunuh puteri tuan rumah ini? Benarkah nona Hong yang cantik jelita, gagah perkasa, penolong dan penyelamatnya itu, dia itukah iblis betina ini?
Agaknya tidak mungkin salah lagi! Siapa lagi kalau bukan dia yang berkepandaian begitu tinggi sehingga Kwi Eng sendiri pun tidak berdaya? Akan tetapi mengapa dia melakukan hal itu? Mengapa? Karena cinta kepadanya dan karena cemburu melihat sikap puteri tuan rumah manis kepadanya? Cemburu? Begitu kejamnya? Dia bergidik.
Tio Sun menyentuh lengannya dan pemuda itu memberi isyarat kepadanya. Bun Houw mengangkat muka, melihat betapa tiga orang temannya itu sedang memandang padanya dengan sinar mata tajam penuh selidik. Dia menghela napas dan keluar dari kamar itu bersama tiga orang temannya.
Setelah tiba di ruangan depan rumah itu, Tio Sun memandang kepada Bun Houw dengan tajam kemudian berkata, "Houw-te, agaknya pembunuhan ini ada hubungannya dengan penyerangan atas diri adik Kwi Eng. Apakah engkau bisa menduga siapa yang melakukan perbuatan ini?"
Melihat mereka bertiga memandangnya penuh selidik, Bun Houw menghela napas dan menjawab, "Sungguh, aku sendiri menjadi bingung. Ada seorang pendekar wanita yang kukenal, akan tetapi agaknya tidak mungkin dia berubah menjadi iblis betina. Aku tidak dapat percaya. Tidak, tentu ada apa-apa yang aneh di balik semua ini."
Bun Houw tetap tidak mau mengaku. Bagaimana mungkin dia menceritakan tentang nona Hong yang sangat dikagumi dan yang telah menyelamatkan nyawanya itu? Terus terang saja, di sudut hatinya memang ada dugaan bahwa nona itulah yang melakukan ancaman terhadap Kwi Eng dan pembunuhan malam ini, karena betapa pun juga, dia tahu bahwa nona perkasa itu memiliki watak aneh dan hati yang keras, tidak dapat memberi ampun kepada musuhnya.
Akan tetapi kenapa menyatakan cemburu secara begini ganas? Dan benarkah perbuatan itu dilakukan karena cemburu? Apakah nona Hong yang penuh rahasia itu jatuh cinta kepadanya? Semua pertanyaan ini mengaduk otaknya, akan tetapi karena belum terdapat bukti-bukti nyata, meski pun dia mulai menduga demikian, dia tidak mau merusak nama gadis penolongnya itu.
Bagaimana pun juga dia masih tidak mau percaya bahwa dara yang cantik jelita itu telah membunuh gadis she Me yang sama sekali tidak berdosa itu. Dia bergidik. Bagaimana kalau benar nona Hong yang membunuhnya? Betapa kejamnya. Seperti iblis betina saja!
Dia menjadi makin penasaran sehingga ingin sekali dia bertemu dengan gadis itu untuk ditanyainya. Teringat dia betapa ganasnya nona itu ketika hendak membasmi anak buah Lembah Bunga Merah. Seorang gadis yang cantik jelita, berilmu tinggi dan sangat ganas menghadapi musuh-musuhnya. Akan tetapi membunuh gadis she Ma yang tidak berdosa dengan darah dingin begitu saja? Sungguh keterlaluan!
Bun Houw merasa tersiksa batinnya di antara keraguan dan rasa penasaran. Benarkah nona Hong yang membunuhnya? Seorang dara laksana bidadari, laksana seorang dari kahyangan! Tapi mengapa begitu kejam? Seperti Dewi Maut saja, bidadari yang bertugas mencabut nyawa sebagai pembantu Giam-lo-ong!
Dapat dibayangkan betapa bingungnya hati pemuda itu. Dia amat kagum kepada In Hong dan merasa berhutang budi karena harus diakuinya bahwa kalau bukan nona itu yang menyelamatkannya dari tangan musuh-musuhnya, tentu dia sekarang sudah mati. Akan tetapi peristiwa penyerangan terhadap diri Kwi Eng dan pembunuhan terhadap gadis she Ma itu menunjukkan seolah-olah gadis yang dikaguminya itu adalah seorang ibils betina yang kejam.
Tangannya sudah merogoh kantong, menyentuh burung hong kumala yang diterimanya dari nona itu. Saking gemas dan bencinya hampir saja dia meremas benda itu, akan tetapi dia segera ingat bahwa belum ada bukti nyata bahwa nona itulah yang melakukan semua kekejian ini. Kelak dia pasti akan menyelidiki dan membongkar rahasia ini!
Karena hatinya amat terganggu oleh peristiwa itu, dan juga karena tiga orang temannya agaknya mencurigainya, maka dengan dalih mencari dan mengejar pembunuh itu, Bun Houw mengajak tiga orang temannya meninggalkan rumah keluarga Ma dan malam itu juga mereka meninggalkan dusun itu dan berusaha mencari jejak pembunuh, akan tetapi semua usaha mereka sia-sia belaka…..
********************
Ngo-sian-chung (Kampung Lima Dewa) ialah sebuah dusun kuno yang terletak di lembah muara sungai Huang-ho. Di dusun itu, di dekat sungai, terdapat bukit kecil di mana orang dapat melihat adanya lima buah batu gunung besar yang berjajar dan kalau dilihat dari kejauhan mirip lima orang sedang duduk bercakap-cakap. Mungkin karena itulah maka dusun itu disebut Dusun Lima Dewa.
Akan tetapi, belasan tahun yang lalu ketika ada seorang datuk kaum sesat datang dan menetap di dusun itu, lambat-laun para penghuni dusun lalu pindah ke lain tempat dan akhirnya dusun itu seolah-olah menjadi ‘milik pribadi’ datuk kaum sesat itu yang bukan lain adalah Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok.
Sebetulnya dia ini adalah seorang peranakan Mongol yang memiliki ilmu tinggi. Ayahnya seorang bangsa Han akan tetapi ibunya seorang wanita Mongol. Ayahnya adalah seorang petualang yang berkepandaian tinggi dan ketika bertualang di daerah Mongol ayahnya itu menikah dengan puteri kepala Suku Bangsa Mongol.
Oleh karena itu, biar pun dia memakai nama keturunan ayahnya dan mempunyai nama Han, akan tetapi wajahnya yang tampan itu mirip orang Mongol dari seperti juga orang Mongol, dia tak begitu suka kepada Bangsa Han, bangsa ayahnya sendiri, dan lebih setia kepada Bangsa Mongol yang dianggapnya bangsa paling besar dan mulia di dunia.
Phang Tui Lok menerima ilmunya dari seorang sakti, dan dia adalah sute dari mendiang Ban-tok Coa-ong, seorang datuk kaum sesat yang pada puluhan tahun yang lalu sangat terkenal di dunia persilatan. Seperti yang kita ketahui, di dalam cerita Petualang Asmara, Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok tewas di tangan Pendekar Sakti Cia Keng Hong ketua Cin-ling-pai, dan oleh karena ini maka Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok menaruh dendam terhadap Cin-ling-pai dan semenjak dia tinggal di Ngo-sian-chung, dia selalu mencari kesempatan uatuk membalas sakit hatinya itu. Namun, dia bukanlah seorang bodoh dan ceroboh. Dia maklum betapa lihainya ketua Cin-ling-pai, maka dia selalu mencari dan menanti kesempatan yang baik sambil menyusun kekuatan.
Setelah dia dapat mengumpulkan harta dan menjadi ‘majikan’ dusun Ngo-sian-chung itu, mulailah dia mengumpulkan teman-teman yang dia tahu juga merupakan musuh-musuh dari ketua Cin-ling-pai sehingga akhirnya dia berhasil menarik empat orang lihai lainnya dan bahkan mengangkat saudara dengan mereka ini dan mereka menggunakan julukan Lima Bayangan Dewa, sesuai dengan Ngo-sian-chung yang menjadi sarang atau pusat pertemuan mereka.
Setelah merasa kuat, maka Pat-pi Lo-sian mengajak empat orang saudara angkatnya itu untuk menyerbu Cin-ling-pai. Seperti sudah dituturkan di bagian depan cerita ini, mereka berhasil membunuh Cap-it Ho-han murid-murid kepala Cin-ling-pai sedangkan Phang Tui Lok sendiri sebagai saudara tertua dan yang terpandai, berhasil pula merampas pedang Siang-bhok-kiam.
Setelah berhasil menggegerkan dunia kang-ouw dengan serbuan mereka ke Cin-ling-pai itu, Lima Bayangan Dewa maklum bahwa tentu fihak Cin-ling-pai tidak akan tinggal diam, maka mereka pun kemudian mengumpulkan teman-teman segolongan untuk bersiap-siap menghadapi musuh besar mereka. Bahkan Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok sendiri lantas membujuk dua di antara Lima Bayangan Dewa, yaitu Liok-te Sin-mo Gu Lo It yang tadinya tinggal di pantai timur, dan Toat-beng-kauw Bu Sit yang tadinya di selatan untuk tinggal di Ngo-sian-chung.
Selain mengumpulkan tokoh-tokoh besar kaum sesat yang juga memusuhi Cin-ling-pai, juga Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok yang masih terhitung keluarga para bangsawan Mongol, diam-diam menghubungi seorang pembesar istana yang pada waktu itu sedang berkuasa besar, yaitu seorang pembesar thaikam (pembesar kebiri) yang berpengaruh di istana kaisar.
Kini dusun Ngo-sian-chung tidaklah seramai dahulu lagi, sebagian besar penghuni asli dusun itu, yang sudah tinggal di situ selama beberapa keturunan, telah pergi dari situ dan pindah ke dusun lain semenjak Lima Bayangan Dewa menguasai dusun itu. Mereka ini, orang-orang dusun yang lemah, tidak mau terlibat dengan urusan orang-orang kang-ouw yang mengandalkan kepandaian serta kekerasan untuk melewati hidup. Mereka yang masih tinggal di sana adalah orang-orang yang memperoleh keuntungan dengan adanya Lima Bayangan Dewa dan bekerja menjadi kaki tangan mereka.
Pada pagi hari itu, empat orang muda memasuki dusun Ngo-sian-chung dengan sikap tenang namun penuh kewaspadaan. Mereka itu adalah Bun Houw, Tio Sun, Kwi Beng dan Kwi Eng. Setelah di malam hari itu mereka gagal mencari dan mengejar pembunuh rahasia yang telah membunuh gadis she Ma, mereka merasa tidak enak untuk kembali ke dusun dan mereka melanjutkan perjalanan menuju ke Ngo-sian-chung.
Karena Ngo-sian-chung memang telah dekat, berada di lembah muara sungai Huang-ho, maka pada keesokan harinya, pagi-pagi mereka telah memasuki dusun itu dengan sikap penuh kewaspadaan karena mereka menduga bahwa mereka tentu tiba di sarang Lima Bayangan Dewa yang mereka cari-cari.
Dugaan mereka memang tepat. Mereka sedang memasuki sarang naga yang berbahaya sekali. Tidak percuma tempat itu dijadikan sarang Lima Bayangan Dewa dan meski pun pagi hari itu empat orang muda ini memasuki pintu gerbang dusun yang sunyi seolah-olah tempat itu aman dan kosong, seakan-akan tidak terdapat bahaya sama sekali, namun sesungguhnya sejak malam tadi kedatangan mereka sudah diketahui oleh para penghuni Ngo-sian-chung dan pagi ini, empat orang itu memang dibiarkan memasuki dusun seperti empat ekor domba yang dibiarkan masuk ke dalam jebakan dan di sekeliling tempat itu, secara bersembunyi, sudah menunggu segerombolan harimau yang kelaparan dan yang memandangi gerakan empat ekor domba itu!
Sebetulnya, sebelum mereka memasuki dusun itu, Tio Sun menyatakan tidak setujunya karena dia menganggap perbuatan mereka ini terlampau ceroboh.
"Lima Bayangan Dewa yang sudah melakukan perbuatan menentang Cin-ling-pai tentu sudah selalu bersiap menghadapi lawan," katanya kepada Bun Houw. "Kalau kita masuk secara berterang, bukankah hal itu sangat berbahaya? Mereka sudah tahu bahwa kita hanya berempat, dan kita tidak tahu sampai di mana kekuatan mereka."
"Tio-twako," Bun Houw menjawab malam tadi. "Mereka itu merupakan orang-orang dari golongan sesat. Pada saat mereka menyerbu Cin-ling-pai, mereka sengaja menanti ketika ayah dan ibu tidak berada di sana, dan mereka juga memancing para suheng dari Cap-it Ho-han meninggalkan Cin-ling-san. Akan tetapi, kedatanganku ini adalah untuk menuntut balas maka aku pantang masuk secara menggelap. Aku menyesal sekali telah membawa twako dan kedua adik Souw ke dalam bahaya ini."
"Ahhh, Houw-koko mengapa kau berkata demikian?" Kwi Beng membantah. "Kita adalah keturunan para pendekar, bahaya, sakit dan kematian dalam membela kebenaran bukan apa-apa bagi kita."
Tio Sun menarik napas panjang. "Maaf Houw-te, aku hanya memperingatkan, sama sekali bukan berarti bahwa aku takut. Kalau begitu, marilah kita masuk dusun itu."
Demikianlah, pagi itu mereka memasuki dusun dengan sikap tenang akan tetapi hati-hati dan penuh kewaspadaan. Mereka tidak melihat adanya fihak musuh yang memang sudah mengawasi setiap gerak-gerik mereka sambil bersembunyi, namun mereka seperti dapat merasakan kehadiran musuh yang tidak nampak itu.
Pada waktu itu, orang tertua dari Lima Bayangan Dewa, yaitu Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok tidak berada di Ngo-sian-chung. Dia dan orang ketiga, yaitu Sin-ciang Siauw-bin-sian Hok Ho Siang, beberapa hari yang lalu berangkat ke kota raja atas panggilan pembesar thaikam di istana yang membutuhkah tenaga bantuan mereka. Karena itu yang menjaga Ngo-sian-chung adalah Liok-te Sin-mo Gu Lo It, orang kedua dari Lima Bayangan Dewa. Baru saja rombongan Hui-giakang Ciok Lee Kim juga tiba di situ, yaitu Toat-beng-kauw Bu Sit, Hwa Hwa Cinjin, Hek I Siankouw, dan Bouw Thaisu sehingga kini Ngo-sian-chung penuh dengan orang-orang yang berilmu tinggi!
Di samping tiga orang Bayangan Dewa dan tiga orang tamu mereka yang bahkan lebih lihai dari pada mereka sendiri, masih terdapat pula anak-anak buah Ngo-sian-chung yang hampir tiga puluh orang jumlahnya, masih ditambah lagi beberapa orang pembantu dan kaki tangan Hui-giakang Ciok Lee Kim yang ikut datang dari Lembah Bunga Merah.
Sebetulnya Liok-te Sin-mo Gu Lo It yang pada saat itu menjadi wakil tuan rumah, telah memimpin barisan pendam yang sudah bersiap dengan anak panah dan senjata rahasia mereka. Kalau dia memberi aba-aba untuk menghujankan senjata rahasia, kemudian dia bersama teman-temannya yang lihai itu menyerbu, kiranya empat orang muda itu akan menghadapi bahaya yang amat besar.
Akan tetapi ketika mereka mengintai itu, para tamu dari Lembah Bunga Merah segera mengenal Bun Houw! Mereka terkejut sekali karena mereka sudah menyaksikan sendiri kelihaian pemuda ini, dan sungguh pun mereka sudah berhasil menangkap pemuda itu, menyiksanya secara hebat, akan tetapi kini tampaknya pemuda itu sudah sembuh sama sekali!
Mereka tidak mengenal tiga orang muda lainnya yang ikut datang bersama Bun Houw, akan tetapi mereka itu memandang rendah dan menduga bahwa mereka agaknya adalah murid-murid Bu-tong-pai yang hendak membalas dendam kepada Hui-giakang Ciok Lee Kim. Oleh karena itu, Ciok Lee Kim cepat menahan suheng-nya dan menyentuh lengan Liok-te Sin-mo Gu Lo It sambil berbisik-bisik.
"Pemuda yang di depan itu lihai sekali, dan agaknya dia utusan Cin-ling-pai. Akan tetapi dia belum mengaku. Dan tiga yang lain itu, boleh jadi murid-murid Bu-tong-pai. Tidak baik kalau membunuh mereka, dan pemuda bernama Bun Houw itu harus dipaksa mengaku."
"Tepat sekali, memang mereka itu harus ditawan hidup-hidup untuk dimintai keterangan. Kita harus mengetahui gerak-gerik musuh, jangan sampai kita terjebak oleh Cin-ling-pai." Toat-beng-kauw Bu Sit membenarkan pendapat sucinya.
Sebenarnya siasat yang dipergunakan oleh dua orang tokoh Lima Bayangan Dewa ini mengandung maksud lain yang bersumber kepada keinginan pribadi. Begitu Ciok Lee Kim melihat wajah dan bentuk tubuh Kwi Beng, dengan matanya yang bening kebiruan dan rambutnya yang agak pirang, wanita ini sudah menjadi tergila-gila dan dia akan merasa sayang sekali apa bila pemuda seperti itu dibunuh begitu saja. Dia sudah membayangkan betapa akan senang hatinya kalau dia dapat ditemani oleh pemuda setampan itu untuk beberapa malam lamanya.
Demikian pula Toat-beng-kauw Bu Sit si wajah monyet. Begitu dia melihat Kwi Eng yang cantik jelita, yang memiliki kecantikan yang khas dan aneh namun amat menarik itu, dia sudah mengilar dan tergila-gila. Betapa pun juga, dia harus dapat menguasai gadis yang demikian cantiknya!
Gu Lo It bukan tidak tahu akan watak sumoi dan sute-nya ini, akan tetapi karena memang usul mereka itu tepat dan dia pun ingin sekali mengetahui siapa sebenarnya pemuda tampan yang menurut cerita dua orang adik angkatnya itu memiliki kepandaian yang amat tinggi, maka dia mengangguk dan segera diaturlah siasat untuk menghadapi empat orang penyerbu muda yang demikian tenang dan beraninya memasuki sarang Lima Bayangan Dewa.
Setelah empat orang muda itu tiba di tengah-tengah dusun Ngo-sian-chung dan di antara rumah-rumah yang agaknya kosong, mendadak terdengar sorak-sorai dari empat penjuru dan tahulah mereka bahwa mereka telah terjebak dan terkurung.
"Awas dan siap-siap, kita harus saling melindungi!" Bun Houw berbisik dan tiga orang temannya mengangguk, lantas mereka berdiri saling membelakangi, menghadapi empat penjuru dengan seluruh urat saraf di tubuh mereka menegang, siap menghadapi segala kemungkinan yang akan menimpa mereka.
Kini nampaklah orang-orang muncul dari balik-balik rumah dengan gendewa terpentang dan anak panah yang sudah siap ditodongkan ke arah mereka. Sedikitnya ada tiga puluh orang bersenjata lengkap, kebanyakan dari mereka menodongkan anak panah, muncul dan mengurung empat orang muda yang sudah siap dan tidak bergerak di tengah-tengah lapangan yang cukup luas itu.
Dengan sikap tenang Bun Houw berkata, suaranya nyaring sekali sehingga bukan hanya dapat terdengar oleh semua pengepung, melainkan juga dapat terdengar sampai jauh di empat penjuru, "Kami datang bukan hendak mengganggu orang-orang yang tak memiliki kepentingan, maka harap suruh Lima Bayangan Dewa untuk keluar!"
Tiba-tiba terdengar suara wanita tertawa mengejek, "Heh-heh-hi-hik! Jadi engkau belum mampus?" Ciok Lee Kim meloncat keluar.
"Dan engkau datang untuk mengantar nyawa? Jangan harap sekarang engkau akan bisa lolos dari tanganku, pemuda sombong!" Bu Sit juga menyusul suci-nya, meloncat keluar dengan sikap sombong sebab dia merasa yakin bahwa dengan bantuan teman-temannya mereka akan dapat menangkap empat orang itu dengan mudah.
Biar pun dia berkata kepada Bun Houw, namun matanya yang bulat seperti mata monyet, bulat kecil, mengincar wajah Kwi Eng karena empat orang muda itu kini membalik dan menghadapi tokoh yang menjadi musuh-musuh besar dan yang baru muncul itu.
Melihat dua orang ini, tentu saja darah Bun Houw menjadi panas. Teringat dia betapa dia telah disiksa secara hebat oleh mereka ini. Akan tetapi sebagai seorang pendekar muda gemblengan orang-orang sakti, dia dapat menahan diri dan hanya memandang dengan tersenyum ketika melihat dua orang yang telah dikenalnya itu muncul diikuti oleh Bouw Thaisu yang amat lihai, Hwa Hwa Cinjin, Hek I Siankouw, dan seorang laki-laki berhidung besar berjubah hitam, bertopi dan bertubuh kokoh kuat berusia kurang lebih enam puluh tahun.
Bun Houw menduga bahwa laki-laki ini agaknya merupakan salah seorang di antara Lima Bayangan Dewa, dan kalau benar demikian, mana yang dua lagi? Dia ingin berhadapan dengan mereka berlima sekaligus agar dia dapat membuat perhitungan secara serentak.
"Aku telah mengenal Hui-giakang Ciok Lee Kim dan Toat-beng-kauw Bu Sit, dua orang berwatak pengecut di antara Lima Bayangan Dewa," kata Bun Houw dengan lantang dan berani, "akan tetapi mana yang tiga lagi? Apakah tiga orang Bayangan Dewa yang lain begitu pengecut untuk selalu menyembunyikan diri dan mengajukan orang-orang lain?"
"Hemmm, kalau begitu rubah saja julukan Bayangan Dewa menjadi Bayangan Tikus yang penakut dan pengecut!" Kwi Eng menyambung dengan suara mengejek.
"Bocah she Bun yang sombong!" Liok-te Sin-mo Gu Lo It membentak sambil melangkah ke depan. "Dari sumoi dan sute aku telah mendengar bahwa engkau menyamar sebagai pengawal Kiam-mo Liok Sun, akan tetapi sebenarnya engkau dari Cin-ling-pai! Sebelum engkau mampus, hayo kau perkenalkan dahulu siapa adanya tiga orang muda yang kau ajak mengantar nyawa ke sini. Apakah kalian bertiga juga murid-murid Cin-ling-pai?"
Tio Sun memandang dengan sinar mata berapi dan dia menjawab, "Ketahuilah, manusia-manusia iblis. Aku bernama Tio Sun dan ayahku adalah Tio Hok Gwan. Kami sekeluarga sudah biasa menentang dan membasmi manusia-manusia iblis macam kalian."
Semua orang merasa terkejut karena mereka tentu saja sudah mendengar nama besar Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan.
"Dan kami kakak beradik bernama Souw Kwi Beng dan Souw Kwi Eng. Ibu kami adalah pendekar wanita Souw Li Hwa murid mendiang Panglima Besar The Hoo! Hayo kalian lekas berlutut dan menyerah dari pada terpaksa kami membunuh kalian!" Kwi Beng juga membentak dengan suara nyaring.
Kembali para tokoh kang-ouw yang memusuhi Cin-ling-pai itu terkejut. Nama Souw Li Hwa memang tidak mereka kenal, akan tetapi siapakah yang tidak mengenal nama The Hoo yang ditakuti lawan disegani kawan? Dan dua orang muda ini adalah putera-puteri murid The Hoo, hal ini saja sudah membuat mereka memandang dengan sinar mata lain dan tidak berani memandang rendah.
Akan tetapi, tetap saja mata Si Kelabang Terbang Ciok Lee Kim dan Monyet Pencabut Nyawa Bu Sit seperti akan keluar dari rongganya saking kagumnya setelah kini mereka berdiri dekat dengan kakak beradik kembar itu yang ternyata memiliki ketampanan dan kecantikan yang benar-benar sangat menjatuhkan hati mereka dan menimbulkan nafsu birahi karena memang keelokan mereka itu khas dan belum pernah mereka temukan dalam petualangan mereka bercinta dengan macam-macam orang!
Liok-te Sin-mo Gu Lo It yang ditemani tidak hanya oleh dua orang sumoi dan sute-nya, akan tetapi juga oleh tiga orang sakti Bouw Thaisu, Hwa Hwa Cinjin dan Hek I Siankouw, belum lagi anak buah Ngo-sian-chung ditambah anak buah Lembah Bunga Merah, tentu saja sama sekali tidak merasa gentar, bahkan dia memandang rendah empat orang muda itu.
"Bagus!" katanya mengejek. "Kiranya kalian adalah keturunan orang-orang pandai, akan tetapi sayang sekali bahwa guru-guru atau ayah-ayah kalian amat sembrono, mengirim kalian orang muda hijau datang ke sini. Orang muda she Bun, kalau engkau benar dari Cin-ling-pai, apa maksud kedatanganmu di sini mengajak tiga orang temanmu ini?"
"Siapakah engkau?" Bun Houw balas bertanya sambil memandang penuh selidik. "Suruh tiga orang lain dari Bayangan Dewa untuk keluar menemui aku!"
"Ha-ha-ha, betapa sombongnya! Aku adalah Liok-te Sin-mo Gu Lo It, orang kedua dari Lima Bayangan Dewa. Dengan adanya kami bertiga dan tiga orang sahabat kami yang mulia ini, sudah cukup. Orang pertama dan ketiga dari kami sedang ada urusan keluar, maka kau sampaikan saja kepada kami apa yang menjadi keperluan dan kehendakmu."
Bun Houw agak kecewa bahwa dua orang di antara Lima Bayangan Dewa tidak hadir. Kini dia mengepal tinju dan membentak, "Liok-te Sin-mo, kalian Lima Bayangan Dewa telah bertindak pengecut, selagi ketua Cin-ling-pai tidak ada, kalian berani menyerbu dan mengacau Cin-ling-pai. Sekarang aku datang untuk meminta kembali pusaka Cin-ling-pai, Siang-bhok-kiam dan nyawa Lima Bayangan Dewa."
"Ha-ha-ha-ha-ha, sungguh sombong kau, keparat!" Liok-te Sin-mo adalah seorang yang berwatak keras dan kasar, maka mendengar ucapan Bun Houw, dia tidak dapat menahan kemarahannya lagi. Cepat dia memberi isyarat kepada teman-temannya dan kepada para anak buahnya.
Sambil bersorak riuh, anak-anak buah Ngo-sian-chung dibantu anak buah Lembah Bunga Merah lalu maju menyerbu dengan senjata mereka, mengepung dan mengeroyok empat orang muda itu. Sedangkan Liok-te Sin-mo Gu Lo It, sesuai dengan rencana, mundur dan bersama teman-temannya mereka menonton lebih dahulu untuk menilai siapa di antara empat orang muda itu yang paling lihai dan siapa pula yang lebih lemah agar lebih mudah bagi mereka untuk melakukan pengeroyokan yang menguntungkan.
Akan tetapi, karena sudah maklum dari laporan dua orang adik angkatnya akan kelihaian Bun Houw, maka seperti sudah direncanakan, Bouw Thaisu, Hwa Hwa Cinjin, dan Hek I Siankouw sudah menggerakkan tubuh mereka dan tiga orang sakti ini mengurung dan mengeroyok Bun Houw!
Dari pengalamannya di Lembah Bunga Merah, Bun Houw sendiri maklum bahwa ketiga orang tua ini memang hebat sekali kepandaiannya, maka dia pun malah merasa lega bahwa mereka langsung mengeroyoknya sehingga kawan-kawannya akan menghadapi pengeroyokan lawan yang tidak selihai mereka bertiga ini. Maka dia pun cepat meraba pinggangnya dan nampaklah sinar pedang yang sudah dipegang di tangan kanannya.
Pedang ini pedang pemberian In Hong, sebatang pedang yang cukup baik. Sebetulnya, berkat gemblengan dari suhu-nya, Kok Beng Lama, Bun Houw dapat menghadapi lawan yang betapa lihainya pun dengan kedua tangan kosong saja, akan tetapi karena dia tahu betapa hebat kepandaian tiga orang pengeroyoknya yang juga mempergunakan senjata, maka dia tidak mau bersikap ceroboh memandang rendah, dan dia sudah mengeluarkan pedang itu untuk melakukan perlawanan mati-matian.
Sementara itu, Tio Sun juga sudah mengeluarkan kedua senjatanya yang ampuh, yaitu sebatang pedang pada tangan kanan dan sebatang joan-pian, yaitu sabuk yang dapat digunakan sebagai cambuk, kemudian dia sudah mengamuk hebat, dalam waktu singkat saja sudah merobohkan dua orang pengeroyoknya.
Kwi Beng dan Kwi Eng, dua saudara kembar yang tentu saja memiliki perasaan yang amat dekat dan saling membela, sudah mengamuk pula dengan pedang di tangan, saling melindungi dan keduanya sudah memutar pedang dengan tangan kanan, ada pun tangan kiri mereka melemparkan hui-to, yaitu pisau-pisau terbang yang mereka lempar dengan kegapahan seorang ahli sehingga masing-masing juga sudah berhasil merobohkan dua orang pengeroyok dengan hui-to mereka.....