Dewi Maut Jilid 21

Hui-giakang Ciok Lee Kim yang tidak ingin dilakukan pembunuhan di dalam rumahnya, sudah bergerak terjun ke dalam gelanggang pertandingan. Dua tangannya bergerak dan nampaklah dua sinar merah dari sepasang sapu tangan suteranya.

Ujung kedua sapu tangan itu langsung menyambar dan menotok ke arah jalan darah di punggung dan pundak dua orang muda yang sedang sibuk didesak oleh joan-pian Bu Sit, maka mereka tidak mampu menghindarkan diri dari totokan sapu tangan merah. Mereka mengeluh, pedang mereka terlepas dari tangan kemudian tubuh mereka terguling dengan lemas seperti keadaan teman mereka yang pertama tadi.

"Ciok-suci, sebaiknya mereka bertiga ini dibunuh saja!" kata Bu Sit sambil mangamang-amangkan joan-pian-nya.

"Sute, jangan mengotori rumah ini dengan darah dan pembunuhan!" Ciok Lee Kim cepat mencegah.

"Ha-ha-ha, kalau begitu biar kubawa mereka ke hutan dan kuhabisi mereka di sana!" Bu Sit berkata, lantas kedua matanya menyambar dan melahap tubuh dua orang gadis cantik murid Bu-tong-pai itu.

Di dalam benaknya yang kotor itu sudah terbayang betapa dia akan mempermainkan dan menikmati dua orang murid wanita ini lebih dulu sebelum dibunuhnya. Memang di antara Lima Bayangan Dewa, Ciok Lee Kim dan Bu Sit sama-sama mata keranjang dan batinnya penuh dengan kecabulan.

"Mengapa mereka harus dibunuh?" Tiba-tiba Kiam-mo Liok Sun ikut bicara. "Ciok-toanio, saya kira amat tidak baik kalau membunuh anak-anak murid Bu-tong-pai, sungguh tidak menguntungkan bagi toanio kalau kelak dimusuhi oleh partai itu."

Sejak tadi sebetulnya Bun Houw sudah bersiap. Andai kata dia melihat tiga orang murid Bu-tong-pai tadi hendak dibunuhi, dia sudah siap-siap untuk membantu serta menolong mereka. Akan tetapi melihat mereka hanya dirobohkan dengan totokan saja, dia belum mau turun tangan karena dia menganggap belum tiba saatnya. Apa bila urusannya yang besar dan penting itu dirusak oleh bantuannya terhadap tiga orang murid Bu-tong-pai ini, sungguh tidak baik sekali. Kini dia mendengarkan saja dengan penuh perhatian.

Toat-beng-kauw Bu Sit memandang kepada Liok Sun dengan dua mata disipitkan, alisnya berkerut dan dia berkata kepada nyonya rumah, "Ciok-suci, engkau sendiri tentu mengerti mengapa mereka ini harus dibunuh dan tidak perlu mendengarkan pendapat orang lain!"

Melihat ada ketegangan dan perbedaan pendapat ini, Ciok Lee Kim memandang ke arah tiga orang murid Bu-tong-pai dan berkata, "Sebaiknya mereka ditahan dulu dan mari kita bicarakan hal ini di dalam saja," katanya sambil memberi isyarat.

Kemudian, dipimpin oleh Ai-kwi dan Ai-kiauw, orang-orangnya segera menyeret tubuh tiga orang murid Bu-tong-pai itu, dibawa ke tempat tahanan yang mereka jaga ketat. Setelah menyerahkan mereka kepada para anak buah untuk menjaganya, dua orang murid Ciok Lee Kim itu lalu kembali ke ruangan karena mereka ingin turut mendengarkan kelanjutan percakapan tadi. Sementara itu tiga orang tua yang menjadi tamu agung, menonton dan mendengarkan dengan sikap tenang dan tidak acuh karena mereka merasa diri mereka terlalu tua untuk ikut mencampuri urusan tetek-bengek itu!

Ketika Bun Houw melihat mereka semua memasuki ruangan kembali, dia mendapatkan kesempatan baik dan diam-diam dia menyelinap kembali ke kamarnya. Sudah diambilnya keputusan untuk menyelamatkan dan membebaskan tiga orang Bu-tong-pai itu lebih dulu, kemudian baru dia akan membunuh Ciok Lee Kim dan Bu Sit, kalau mungkin dia hendak memaksa seorang di antara mereka mengaku di mana adanya tiga orang teman mereka yang lain. Bergegas Bun Houw memasuki kamarnya untuk membawa buntalannya.

Akan tetapi, selagi dia mengumpulkan pakaiannya, tiba-tiba saja terdengar suara tertawa girang dan... dua orang wanita cantik yang genit itu, Ai-kwi bersama Ai-kiauw, memasuki kamarnya dan langsung memalang daun pintu sambil tertawa-tawa. Kemudian dua orang wanita itu menubruk dan menggeluti Bun Houw!

"Hayo... cepat... selagi kita mempunyai sedikit waktu sebelum mereka memanggil kami...!" Ai-kwi berkata dengan napas memburu karena didesak nafsu.

"Benar, adik yang manis... mari kau layani kami sebentar...!" Ai-kiauw juga berkata sembil berebut dengan suci-nya untuk menciumi wajah yang tampan itu.

"Plakk! Plakk!"

Kedua tangan Bun Houw menampar dengan tepat mengenai hidung kedua orang wanita itu. Karena pemuda ini mengerahkan tenaga, maka seketika tulang hidung yang mancung itu menjadi hancur dan berdarah! Tulang di ujung hidung merupakan tulang muda, maka ditampar seperti itu tentu saja langsung menjadi remuk dan lenyaplah hidung mancung yang merupakan penghias utama wajah cantik mereka.

Sebelum mereka yang terkejut dan kesakitan mampu berteriak, Bun Houw telah menepuk tengkuk mereka dengan kecepatan luar biasa dan mereka jatuh pingsan tanpa sempat mengeluarkan suara sebelumnya. Bun Houw cepat-cepat menotok jalan darah mereka, dan sesudah menutupkan kembali pintu kamar itu, dia menyelinap keluar untuk mencari tempat ditahannya tiga orang murid Bu-tong-pai. 

Akan tetapi pada saat itu juga terdengar suara pekik-pekik kesakitan dari arah belakang gedung. Bun Houw terkejut dan cepat dia berlari ke arah suara itu, khawatir kalau-kalau dia terlambat dan tiga orang murid Bu-tong-pai itu sudah disiksa atau dibunuh.

Akan tetapi alangkah kagetnya ketika dia melihat anak-anak murid atau anak-anak buah Lembah Bunga Merah malang melintang di sekitar kamar tahanan yang kini telah menjadi kosong! Belasan orang itu berserakan dengan luka-luka hebat, ada yang patah tulangnya, ada yang pecah kepalanya, dan mereka yang terluka berkata,

"Tahanan... lari... ditolong setan...!"

Bun Houw melihat ada bayangan berkelebat di atas, maka cepat dia meloncat dan masih sempat melihat berkelebataya bayangan orang bertubuh ramping kecil, agaknya seorang di antara dua gadis Bu-tong-pai, akan tetapi gerakannya cepat sekali dan dalam sekejap mata saja sudah lenyap ditelan kegelapan malam yang sudah hampir pagi itu.

Terpaksa dia turun kembali dan ternyata Ciok Lee Kim bersama semua tamunya sudah berkumpul di situ. Dengan suara marah Ciok Lee Kim memeriksa seorang di antara para anak buahnya yang hanya patah tulang lengannya.

"Kami sedang berjaga... lalu entah dari mana datangnya, ada angin menyambar-nyambar dan ada bayangan orang berkelebatan, lalu tahu-tahu kami semua roboh dan tiga orang tawanan itu melarikan diri." Orang itu bercerita dengan suara hampir menangis, bukan hanya karena kesakitan, akan tetapi juga karena takut kepada majikannya ini.

"Hemm, babi-babi tolol kalian! Bagaimana muka orang itu? Laki-laki atau wanita?"

"Hamba... hamba tidak tahu... gerakannya terlalu cepat... agaknya dia itu bukan manusia, melainkan... setan..."

"Dessss!" Tangan Ciok Lee Kim menampar gemas dan orang yang sialan itu kini selain patah tulang lengannya, juga roboh pingsan!

"Ha, inilah kalau menurut pendapat orang luar!" Tiba-tiba Toat-beng-kauw Bu Sit berkata dengan suara mengejek dan melirik ke arah Liok Sun. "Kalau tadi sudah kubunuh mereka, tentu tidak begini jadinya. Kini mereka dapat kembali lagi ke Bu-tong-pai dan sudah dapat dipastikan bahwa kita mempunyai musuh baru, yaitu Bu-tong-pai dan untuk ini kita boleh berterima kasih kepada Kiam-mo Liok Sun!"

Merah wajah Liok Sun mendengar ejekan ini. "Harap Bu-enghiong tidak berkata demikian. Saya tadi hanya mengusulkan agar urusan ini didamaikan saja..."

"Ya, dan kau yang menjadi sahabat baik Bu-tong-pai akan menjadi perantara. Bukankah begitu? Ehhh, Kiam-mo Liok Sun, kau yang menjadi sahabat baik Bu-tong-pai tentu tahu pula siapa dia yang telah membebaskan tiga orang murid Bu-tong-pai itu."

Ucapan Bu Sit ini membuat semua orang, termasuk Ciok Lee Kim, memandang kepada Si Setan Pedang itu dengan pandangan mata penuh pertanyaan serta tuntutan. Liok Sun menjadi terkejut dan marah bukan main karena pertanyaan orang she Bu itu mengandung ejekan dan juga tuduhan berat seolah-olah dia mengenal orang yang membebaskan tiga orang murid Bu-tong-pai tadi!

"Bu-enghiong, apa artinya kata-katamu ini? Engkau tahu bahwa aku sama sekali tidak mengenal siapa setan itu. Aku hanya mengusulkan agar tiga orang murid Bu-tong-pai itu tidak dibunuh dan aku tadinya ingin mengusulkan pula agar mereka dikembalikan kepada Bu-tong-pai disertai keterangan tentang kesalah pahaman yang terjadi sehingga dengan begitu ketua Bu-tong-pai akan mau mengerti duduknya perkara kemudian menghabiskan permusuhan..."

"Hemmm... kalau tadi tidak kau cegah, tentu sudah kami bunuh mereka dan Bu-tong-pai pun tak akan tahu apa-apa. Sekarang mereka lolos dan semua ini adalah salahmu, orang she Liok!" Bu Sit berseru marah.

"Toat-beng-kauw, sungguh keterlaluan kau menuduh orang!" Liok Sun membentak sambil mencabut pedangnya.

"Ha-ha, sekarang baru kelihatan belangnya! Engkau agaknya bersekongkol dengan orang Bu-tong-pai!" Bu Sit membentak dan melolos cambuk bajanya.

Memang orang she Bu ini sudah merasa tidak senang ketika Liok Sun datang bersama Bun Houw, merasa iri hati melihat pergaulan yang akrab antara Setan Pedang itu dengan Ciok Lee Kim, apa lagi melihat betapa Liok Sun datang bersama seorang pemuda tampan yang menjadi pengawalnya, pemuda yang dia tahu membuat Ciok Lee Kim dan dua orang muridnya tergila-gila.

Melihat dua orang itu saling serang, Ciok Lee Kim hanya menonton saja, karena ia sendiri merasa penasaran, juga marah dan menyesal melihat lolosnya tiga orang tawanan tadi. Betapa pun juga, cegahan Liok Sun tadilah yang membuat pembunuhan terhadap diri tiga orang tawanan itu tertunda sehingga mereka dapat lolos.

"Trang-cring-cringgg...!"

Berkali-kali pedang di tangan Kiam-mo Liok Sun bertemu dengan joan-pian di tangan Bu Sit. Pertandingan itu seru dan ramai sekali, akan tetapi segera terbukti bahwa kepandaian Bu Sit masih jauh lebih tinggi karena pedang di tangan Liok Sun mulai terdesak hebat dan sinarnya menjadi makin menyempit.

"Trangg... cring... srattt...!"

Saking hebatnya tangkisan cambuk baja itu, pedang Liok Sun membalik dan hampir saja mengenai lehernya sendiri. Tepat pada saat itu, terdengar ledakan cambuk disusul suara tawa dari Toat-beng-kauw Bu Sit yang bergerak cepat sekali, tahu-tahu ujung cambuknya sudah melecut ke arah ubun-ubun Liok Sun. Kalau saja ujung cambuk baja itu mengenai ubun-ubun kepala, tentu akan berlubang.

Liok Sun terkejut, segera menggerakkan pedangnya menangkis. Ubun-ubunnya selamat, akan tetapi pundaknya masih saja terkena ujung cambuk sehingga terluka parah dan mengeluarkan darah. Liok Sun terhuyung-huyung dan dengan suara meledak cambuk itu terus mengejarnya, mengancam bagian-bagian berbahaya dari tubuhnya.

“Tar-tarr-tarrrr...!"

Tiba-tiba ujung cambuk itu terhenti di tengah udara. Bu Sit terkejut dan cepat memutar tubuhnya. Dia melihat betapa ujung cambuknya yang tertahan itu kiranya dijepit oleh dua jari tangan Bun Houw yang telah berdiri di belakangnya!

Liok Sun terhuyung dengan tubuh penuh luka-luka lecutan cambuk dan pedangnya sudah terlempar entah ke mana. Kini dia memegangi pundaknya dan berdiri dengan muka pucat dan penuh kekhawatiran melihat pengawalnya yang begitu berani menahan ujung cambuk Bu Sit yang amat lihai itu.

Pada waktu melihat bahwa yang menahan cambuknya adalah pemuda pengawal yang menimbulkan iri hati dan dibencinya itu, Bu Sit menjadi marah bukan main. Dengan mata mendelik dia memaki, "Keparat busuk, engkau pun sudah bosan hidup!"

Dia segera mengerahkan sinkang-nya untuk menarik kembali joan-pian itu, akan tetapi betapa pun dia mengerahkan tenaga, ujung pecut baja itu tetap saja tidak terlepas dari tangan Bun Houw. Tentu saja Bu Sit menjadi terkejut, penasaran dan marah sekali. Dia memperkuat tenaganya, menarik sepenuh tenaga sampai perutnya mengeluarkan suara melalui kerongkongannya,

"Hekkk…!"

Dan... tiba-tiba ujung pecut itu dilepaskan Bun Houw.

"Wirrrr...!"

Ujung pecut menyambar ganas, dengan kecepatan bagaikan kilat karena tenaga Bu Sit sendiri yang membalik dan dengan hebatnya menyerang ke arah kepalanya!

Dapat dibayangkan betapa kagetnya Bu Sit melihat ini dan matanya terbelalak, mukanya pucat sekali karena dia maklum akan datangnya bahaya maut di depan mata! Dia hanya bisa miringkan kepalanya untux menghindarkan diri.

"Ciuuuttt... tessss...!"

"Auhhh... aduhhh... aduhhh... wah, keparat kau...!" Bu Sit tentu saja berjingkrak kesakitan sambil memegangi bagian kepala di mana tadi telinga kirinya berada dan kini bagian itu tidak ada lagi daun telinga yang sudah hancur oleh sambaran ujung cambuknya sendiri.

Semua orang menjadi kaget bukan main, terutama sekali Ciok Lee Kim dan Bu Sit sendiri. Mereka berdua maklum betapa hebat kepandaian Bu Sit, akan tetapi hanya dalam satu gebrakan saja, sebelum pemuda itu menggerakkan kaki tangan, Toat-beng-kauw (Monyet Pencabut Nyawa) telah kehilangan daun telinga kirinya!

"Lihat... lihat... jahanam she Liok itu ternyata menyelundupkan mata-mata ke sini...!" Bu Sit membentak.

Dengan kemarahan meluap-luap Bu Sit langsung menerjang kepada Bun Houw. Cambuk bajanya meledak-ledak dan menyambar-nyambar ke arah Bun Houw dengan dahsyatnya, akan tetapi dengan tenang sekali pemuda itu dapat menghindar ke sana ke mari.

Pada saat itu terdengar teriakan-teriakan aneh, setengah tangisan setengah maki-makian marah, kemudian tampaklah Ai-kwi dan Ai-kiauw berlari terhuyung ke tempat itu, tangan kiri menutupi hidung yang sudah remuk dan berdarah, tangan kanan manuding-nuding ke arah Bun Houw yang masih berkelebatan diserang joan-pian di tangan Bu Sit itu.

Melihat keadaan dua orang muridnya itu, Ciok Lee Kim terkejut dan dengan susah payah dua orang wanita yang suaranya menjadi bindeng dan tidak karuan itu lalu menceritakan bahwa muka mereka dibikin cacat dan buruk oleh Bun Houw. Ciok Lee Kim makin kaget dan cepat dia lalu menerjang dan membantu sute-nya menyerang pemuda yang ternyata amat lihai itu.

Hati Bun Houw girang sekali. "Majulah, memang aku hendak membunuh kalian!" katanya sambil menangkis sambaran ujung sapu tangan merah yang meluncur ke arah lehernya itu dengan sentilan jari tangannya.

"Prattt...! Aihhh...!"

Ciok Lee Kim menjerit karena sentilan jari tangan yang mengenai ujung sapu tangannya itu membuat sapu tangannya terpental ada pun jari-jari tangannya sendiri tergetar hebat sekali!

"Ciok Lee Kim dan Bu Sit, kematian sudah di depan mata, hayo katakan di mana adanya Tiga Bayangan Dewa yang lain dan di mana pula kalian sembunyikan Siang-bhok-kiam pusaka Cin-ling-pai!" Bun Houw berseru dan tubuhnya bergerak cepat sekali.

Dua orang lawannya menjadi silau oleh gerakan ini. Mereka berdua berusaha memutar senjata untuk melindungi tubuh mereka, akan tetapi tetap saja sambaran hawa pukulan dari kedua lengan pemuda itu membuat mereka terhuyung-huyung. Tentu saja mereka terkejut sekali oleh kehebatan tenaga sinkang ini, namun mereka lebih kaget mendengar pertanyaan pemuda itu.

"Keparat! Siapakah engkau?" Ciok Lee Kim berseru dan kedua sapu tangannya berubah menjadi dua gulungan sinar merah di depan dan atas tubuhnya.

"Aku adalah Dewa Akhirat yang bertugas mencabut nyawa Lima Bayangan Dewa!" Bun Houw berkata sambil meloncat ke depan.

Ciok Lee Kim terkejut sekali, dua gulungan sinar merahnya segera menyambut. Ada pun Toat-beng-kauw Bu Sit yang maklum akan kelihaian pemuda itu membantu suci-nya dan menubruk dengan lecutan cambuk bajanya.

"Tar-tarrr... suiiiittt...!"

Sebatang cambuk baja dan dua helai sapu tangan merah itu menyambut Bun Houw, akan tetapi dengan kelincahan luar biasa Bun Houw bergerak di antara gulungan sinar senjata lawan sambil menggerakkan kaki tangannya.

"Desss...! Plakkk...!"

Dan tubuh Ciok Lee Kim bersama sute-nya terlempar dan terbanting ke kanan kiri!

"Singggg...!"

Sinar hitam menymbar ganas dan Bun Houw terkejut karena maklum bahwa senjata yang menyambarnya adalah sebatang pedang hitam yang digerakkan secara cepat sekali dan mengandung tenaga yang jauh lebih kuat kalau dibandingkan dengan tenaga dua orang Bayangan Dewa ini. Cepat dia menarik tubuh atas ke belakang lalu memutar dan kakinya melayang ke arah penyerangnya.

Namun Hek I Siankouw, nenek tua yang pakaiannya serba hitam itu, dapat meloncat ke belakang sambil menarik pedangnya sehingga tendangan maut dari Bun Houw mengenai tempat kosong pula. 

“Wuuuttt-wut-wutttt...!"

Bun Houw lebih terkejut lagi karena sambaran cahaya kemerahan dari samping kiri yang secara bertubi-tubi menyerang ke arah tiga belas jalan darah utama di tubuhnya dengan kecepatan serta tenaga dahsyat ini bahkah lebih lihai lagi dari pada serangan pedang hitam si nenek tadi. Untuk menyelamatkan diri, tubuhnya dilemparkan ke belakang dan dia membuat salto sampai lima kali baru terhindar. Pada saat dia turun dan memandang, ternyata bahwa yang menyerangnya adalah Hwa Hwa Cinjin, tosu tinggi kurus yang tak banyak cakap itu, menggunakan sebatang hudtim (kebutan dewa) di tangannya.

"Hemmm, lumayan juga kepandaianmu, bocah lancang!" Hwa Hwa Cinjin mengangguk-angguk memuji.

Serangan hudtim-nya tadi dilakukan dengan cepat dan sungguh-sungguh dan agaknya tidak banyak lawan di dunia kang-ouw yang akan mampu menghindarkan diri, akan tetapi pemuda ini dengan lemparan tubuh ke belakang dan berjungkir balik lima kali itu ternyata sekaligus telah dapat menyelamatkan diri. Hal ini selain membuatnya kagum, juga amat penasaran dan dia lalu menerjang maju didahului gulungan sinar hudtim-nya yang lebar dan mendatangkan angin kencang. Juga Hek I Siankouw yang merasa penasaran telah menggerakkan pedangnya dengan hebat.

Bun Houw maklum bahwa tamu-tamu agung dari Ciok Lee Kim itu adalah orang-orang yang pandai dan agaknya kini telah membantu musuh besarnya, karena itu dia pun cepat menggerakkan tubuhnya, menghindarkan diri dengan sangat cepat sambil mengerahkan ginkang-nya yang luar biasa.

Dua orang kakek dan nenek itu terkesiap juga menyaksikan gerakan pemuda itu sangat cepatnya, lebih cepat dari pada gerakan mereka berdua! Akan tetapi betapa pun cepatnya gerakan Bun Houw, dihujani serangan pedang dan hudtim dari dua orang tokoh besar yang kepandaiannya sudah mencapai tingkat tinggi itu, dia masih saja harus menghadapi sambaran hudtim ke lehernya yang tidak dapat dielakkannya lagi.

"Plakkk...!”

“Siancai...!" Tosu tua itu terkejut setengah mati melihat betapa hudtim-nya kena ditangkis dengan tangan oleh pemuda itu dan terpental! Hampir dia tidak dapat percaya akan hal ini.

Hudtim-nya itu bukanlah sembarangan hudtim, didapatkannya di utara di dekat kutub dan bulu-bulu hudtim itu terbuat dari bulu monyet salju raksasa yang amat kuat. Bulu-bulu itu dapat menyalurkan sinkang-nya secara langsung dan kalau dia gerakkan dengan tenaga sinkang-nya yang sangat kuat, jangankan senjata biasa, bahkan senjata pusaka lawan akan dapat rusak bila beradu dengan bulu-bulu hudtim-nya.

Akan tetapi pemuda ini berani menangkis dengan tangan kosong, bahkan telah membuat hudtim-nya terpental! Ini berarti bahwa tangan kosong pemuda ini lebih kuat dari pada senjata pusaka!

Tentu saja tosu ini tidak tahu bahwa Bun Houw adalah murid terkasih Kok Beng Lama dan bahkan juga sudah mendapat gemblengan dari ayahnya sendiri yang sakti. Pemuda ini sudah memiliki tenaga Thian-te Sin-ciang dari Kok Beng Lama, dan tenaga sinkang ini membuat kedua tangannya menjadi sedemikian kebalnya sehingga berani dipergunakan untuk menangkis senjata pusaka lawan yang bagaimana kuat pun.

Bun Houw maklum bahwa sebelum dia mengalahkan kakek dan nenek ini maka sukarlah baginya untuk dapat memaksa pengakuan dari dua orang musuhnya sebelum akhirnya dia membunuh mereka. Akan tetapi tiba-tiba saja terdengar teriakan Liok Sun, teriakan mengerikan dan ketika Bun Houw menoleh, dia melihat Bu Sit menggunakan cambuk bajanya untuk menyerang Liok Sun. Majikan rumah judi itu terguling roboh dan sekali lagi cambuk baja mengenai kepalanya.

"Keparat...!" Bun Houw meloncat dan dengan tendangan kaki dari udara dia membuat Bu Sit yang menangkis dengan cambuknya tetap saja terguling. Bun Houw lalu berlutut di dekat Liok Sun. Ternyata orang ini terluka parah di kepalanya dan sekali pandang saja maklumlah Bun Houw bahwa Liok Sun tak dapat tertolong lagi.

"Bun-hiante... tolong... kau didik... anak... ku...!" Maka habislah napas orang she Liok itu.

"Siuuuutttt...! Plak! Plakk!"

Bun Houw yang masih berlutut itu mempergunakan tangan kirinya, dua kali menangkis sambaran kebutan Hwa Hwa Cinjin dan kini dia meloncat berdiri, dikepung oleh Hwa Hwa Cinjin, Hek I Siankouw, Ciok Lee Kim, Bu Sit, dan dua orang murid perempuan Ciok Lee Kim yang memegang pedang di tangan kanan dan menutup hidung dengan tangan kiri itu.

Bun Houw memandang mereka semua dengan sinar mata tajam, kemudian dia berkata, yang ditujukan kepada Hwa Hwa Cinjin dan Hek I Siankouw. "Aku tidak berurusan dengan orang lain kecuali dengan dua orang Bayangan Dewa ini. Harap yang lain mundur agar jangan ikut menjadi korban."

"Keparat, hayo mengaku, siapa kau sebenarnya? Engkau jelas bukan pengawal biasa dari Liok Sun!" Bu Sit membentak.

Bun Houw tersenyum. "Aku memang hanya menyamar sebagai pengawalnya dan sudah kukatakan bahwa aku adalah Dewa Akhirat yang bertugas membasmi Lima Bayangan Dewa."

"Jahanam!" Bu Sit memaki dan cambuk bajanya mcledak-ledak.

Seperti berebut saling mendahului dengan Ciok Lee Kim, dia sudah menerjang maju dari depan, dibarengi oleh sambaran dua sapu tangan merah Ciok Lee Kim dari kanan. Ada pun Hwa Hwa Cinjin dan Hek I Siankouw yang maklum bahwa kedua orang Bayangan Dewa itu tak akan mampu menandingi pemuda yang lihai itu juga menggerakkan senjata masing-masing mengepung dan mengeroyok.

Ai-kwi dan Ai-kiauw yang kini menjadi besar hati karena gurunya dan orang-orang pandai itu telah mengepung, dengan kemarahan meluap juga sudah menyerang dengan pedang mereka. Hanya Bouw Thaisu seorang yang masih berdiri dengan tenang dan tidak ikut mengeroyok, karena kakek yang memiliki ilmu kepandaian amat tinggi ini masih merasa canggung dan tidak enak kalau dia sebagai seorang cabang atas tingkat tinggi ikut-ikut mengeroyok seorang lawan yang begitu muda, walau pun pandang matanya yang tajam sudah mengenal bahwa pemuda itu memang lihai luar biasa.

Dikeroyok enam orang, empat di antaranya merupakan tokoh-tokoh berkepandaian tinggi, Bun Houw lantas memperlihatkan ketangkasannya. Berkali-kali Hwa Hwa Cinjin dan Hek I Siankouw berseru kaget karena serangan-serangan maut mereka yang sukar dihindarkan lawan tangguh, tetap tidak berhasil merobohkan pemuda ini!

Diam-diam mereka merasa terkejut dan terheran, menduga-duga siapa adanya pemuda tidak terkenal yang mempunyai kepandaian begini hebat sehingga dikeroyok oleh mereka berempat, ditambah oleh Ai-kwi dan Ai-kiauw, masih dapat menyambut mereka dengan serangan balasan yang sangat berbahaya, walau pun hanya dilakukan dengan tangan kosong belaka.

Ai-kwi yang kini menjadi benci sekali kepada Bun Houw karena batang hidungnya remuk dan wajahnya yang tadinya cantik sekarang tentu berubah menakutkan dan menjijikkan, mengeluarkan pekik dahsyat dan menggunakan kesempatan selagi senjata empat orang sakti itu berkelebat menyambar-nyambar mengurung Bun Houw, dia menubruk dengan pedangnya, secara nekat dia menyerang dengan menusukkan pedang itu ke arah pusar pemuda yang belum lama tadi diciuminya dan dirayunya penuh gairah nafsu birahi!

Melihat serangan nekat ini, Bun Houw miringkan tubuh, menyambar pedang itu dengan tangannya, dan pada saat itu pula cambuk baja Bu Sit dan pedang hitam Hek I Siankouw menyambar dari atas dan bawah. Cepat dia mengerahkan tenaga, mendorong pedang Ai-kwi yang dipegangnya tadi.

"Wuuuttt... crapp... aihhhhhhh...!"

Pedang itu membalik dan bagaikan digerakkan oleh tangan yang tidak kelihatan, pedang yang membalik ini menusuk perut pemiliknya sendiri. Pedang itu amblas ke perut Ai-kwi sampai tembus ke punggungnya, kemudian robohlah Ai-kwi setelah mengeluarkan jeritan mengerikan.

Melihat ini, Ai-kiauw lalu menjerit dan tiba-tiba saja dia melemparkan pedangnya lantas menubruk tubuh Bun Houw, merangkul pinggang dan menggigit ke arah lambung pemuda itu! Bun Houw terkejut, tidak menduga bahwa wanita ini melakukan serangan liar seperti itu.

Dia menggoyang tubuhnya. Akan tetapi kedua lengan dan kaki Ai-kiauw sudah membelit tubuhnya dan gigi-gigi wanita itu menggigit kulit lambungnya! Bun Houw bergidik karena merasa jijik, seolah-olah tubuhnya diserang seekor lintah besar. Siku kirinya bergerak ke belakang, ke arah kepala wanita itu yang menempel di lambung kirinya.

"Krakkk!"

Pecahlah kepala itu dan Ai-kiauw mati seketika, akan tetapi sungguh mengerikan, wanita itu masih saja mencengkeram dan menggigitnya!

Bun Houw menggunakan kedua tangannya memaksa tubuh Ai-kiauw yang kaku itu untuk melepaskan kaki tangan dan gigitannya dari dirinya, lalu melemparkan mayat wanita itu. Akan tetapi serangan Ai-kiauw yang membabi-buta tadi mendatangkan peluang banyak sekali bagi empat orang pengeroyoknya yang berilmu tinggi.

Seperti hujan datangnya, pedang Hek I Siankouw, cambuk Bu Sit, sapu tangan merah Ciok Lee Kim dan kebutan di tangan kanan Hwa Hwa Cinjin menyambar dahsyat. Dalam kesibukannya menghadapi kenekatan Ai-kiauw tadi, Bun Houw tentu saja kurang leluasa mengelak, maka dia hanya menangkisi dengan kedua lengannya sambil mengerahkan Thian-te Sin-ciang sehingga senjata-senjata lawan itu terpental. Akan tetapi dengan tepat sekali ujung cambuk baja Bu Sit menotok jalan darah di pundaknya, pada saat dia baru saja berhasil melempatkan mayat Ai-kiauw dari tubuhnya.

"Tarrrr...!"

Seketika tubuh Bun Houw kesemutan dan dia terhuyung lalu jatuh. Akan tetapi begitu tubuhnya meyentuh tanah, dengan pengerahan sinkang-nya dia dapat memulihkan jalan darahnya dan meloncat bangun lagi. Celakanya, baru saja dia meloncat, pedang Hek I Siankouw yang ganas menyambarnya.

Bun Houw yang baru saja terbebas dari totokan hebat tadi, masih merasa kesemutan pundaknya tetapi dia berhasil menangkis pedang itu dengan tamparan tangan kanannya. Akan tetapi pada saat itu, sepasang sapu tangan merah menyambar, yang kiri menotok jalan darah di tengkuknya, yang kanan menotok jalan darah di punggungnya, sedangkan kebutan di tangan Hwa Hwa Cinjin juga cepat sekali menotok pundak kanannya.

Sekaligus menerima totokan-totokan maut di jalan darahnya sebanyak tiga tempat, maka seketika tubuh Bun Houw menjadi lemas dan dia terguling roboh. Akan tetapi pemuda ini memang hebat bukan main.

Begitu dia roboh, dia menggunakan kedua tangannya mendorong tanah hingga tubuhnya mencelat tinggi ke atas, lantas di udara dia menggoyang tubuh mengerahkan sinkang-nya sehingga bobollah semua totokan itu, jalan darahnya mengalir kembali sungguh pun dia masih tergetar hebat.

Akan tetapi, ketika dia mampu memulihkan jalan darahnya dari tiga totokan itu, tiba-tiba tampak sosok bayangan berkelebat dan ada angin pukulan dahsyat menyambar ke arah kepalanya. Inilah serangan dengan tenaga sinkang yang sangat berbahaya. Bun Houw yang masih tergetar itu cepat mengelak, akan tetapi tiba-tiba lututnya kena ditendang oleh Bouw Thaisu yang baru sekarang turun tangan. Bun Houw terguling dan ujung baju Bouw Thaisu menyambar, menotoknya bertubi-tubi di tujuh jalan darahnya sehingga sekali ini Bun Houw tidak mampu berkutik lagi!

Bu Sit dan Ciok Lee Kim yang sangat membenci pemuda yang sudah membunuh Ai-kwi dan Ai-kiauw, dengan kemarahan meluap cepat menggerakkan cambuk dan sapu tangan menyerang tubuh Bun Houw yang sudah tidak mampu bergerak dan menggeletak di atas lantai itu.

"Wuuuuttt... tarrrr...!"

Senjata-senjata itu menyambar ganas, sementara Bun Houw hanya membelalakkan mata sambil menanti maut.

"Plakk! Plakk!"

Bu Sit dan Ciok Lee Kim terkejut sekali dan menarik senjata mereka, lalu memandang kepada Bouw Thaisu yang menangkis senjata mereka dengan ujung lengan baju.

"Thaisu, mengapa menghalangi kami?" Ciok Lee Kim bertanya, alisnya berkerut.

Dia tahu bahwa kakek sakti ini boleh dipercaya, karena kakek ini adalah seorang sahabat Thian Hwa Cinjin yang dahulu menjadi ketua Pek-lian-kauw wilayah timur dan tewas oleh keluarga Cin-ling-pai, karena itu Bouw Thaisu yang ingin menuntut balas atas kematian sahabatnya itu pun merupakan musuh Cin-ling-pai dan bersekutu dengan Lima Bayangan Dewa untuk menghadapi keluarga Cia Keng Hong yang sakti itu. Akan tetapi mengapa kakek ini sekarang mencegah dia membunuh pemuda yang jelas-jelas memusuhi Lima Bayangan Dewa?

Bouw Thaisu menghela papas panjang dan menggeleng-gelengkan kepalanya. "Selama hidupku, baru sekali ini aku bertemu dengan seorang pemuda yang memiliki kepandaian sehebat ini! Orang seperti ini tidak boleh kita samakan dengan musuh-musuh biasa, dia tentu mempunyai latar belakang yang menarik. Karena itu, Ciok-toanio, amat bodoh kalau membunuhnya begitu saja tanpa mengetahui dengan betul siapakah dia ini sebenarnya, dan apa pula sebabnya dia memusuhi engkau beserta Lima Bayangan Dewa. Apakah dia punya hubungan dengan Cin-ling-pai? Dan apa hubungan pemuda yang kepandaiannya luar biasa hebatnya ini dengan Cia Keng Hong?"

Hwa Hwa Cinjin menarik napas panjang. "Ucapan Thaisu tadi sungguh tepat, Ciok-toanio. Pemuda ini tentu orang penting dan terus terang saja, pinto (aku) sendiri harus mengakui bahwa belum pernah pinto bertemu tanding semuda ini dengan kepandaian sehebat yang dimilikinya."

Ciok Lee Kim mengangguk-angguk. Dia lalu memberi isyarat kepada anak buahnya untuk mengambil tali yang kuat dan membelenggu kaki tangan Bun Houw.

"Dia memiliki kekebalan yang melebihi Ilmu Kim-ciong-ko, semacam ilmu kekebalan yang hebat. Bayangkan saja, tangannya mampu menyambut pedangku!" kata Hek I Siankouw. "Oleh karena itu, apa artinya tali ini, Ciok-toanio? Kalau dia sudah bebas dari totokan, biar pun dirangkap sepuluh, tali ini akan putus olehnya. Tenaganya melebihi kekuatan seekor gajah. Jalan satu-satunya untuk mencegah dia lolos hanya dengan mengait tulang-tulang pundaknya!"

Toat-beng-kauw Bu Sit menjadi girang sekali dan dia cepat meminta kepada anak buah Lembah Bunga Merah untuk mengambilkan dua batang kaitan baja, lalu dengan wajah beringas dia menghampiri Bun Houw. Pemuda ini maklum bahwa dia tidak akan terlepas dari ancaman siksaan atau bahkan maut di tangan musuh-musuhnya ini, akan tetapi dia adalah seorang pemuda berjiwa gagah perkasa yang sejak kecil telah digembleng oleh orang tuanya, maka sedikit pun dia tidak merasa jeri.

Sambil mengeluarkan bentakan, Bu Sit yang sudah kehilangan sebelah daun telinganya dan merasa malu dan marah sekali kepada pemuda itu, lalu menusukkan kaitan-kaitan itu di pundak Bun Houw. Tentu saja hal ini mendatangkan rasa kenyerian yang amat hebat.

Bun Houw memejamkan matanya dan mematikan rasa. Akan tetapi, karena besi-besi kaitan itu menembus kulit daging dan mengait tulang kunci pundaknya, dia tidak dapat bertahan lagi, mengeluh panjang dan pingsan!

Sesudah dia siuman kemball, Bun Houw mendapatkan dirinya sudah berada di dalam sebuah kamar yang kokoh kuat. Dia rebah di atas pembaringan batu, kedua tangannya terbelenggu dan kaitan yang mengait pada kedua tulang pundaknya itu disambung rantai panjang lalu diikatkan pada dinding sehingga andai kata dia dapat menggunakan tenaga sinkang untuk mematahkan belenggu, tentulah gerakan ini akan membuat tulang-tulang pundaknya tertarik patah!

Dengan tulang pundak terkait baja-baja kaitan itu, dia benar-benar tidak berdaya dan biar dia memiliki kekuatan sepuluh kali lipat pun tidak mungkin dia mampu membebaskan diri tanpa mematahkan kedua tulang pundaknya, dan bila mana hal ini terjadi berarti kedua lengannya menjadi lumpuh.

Perasaan nyeri yang mengentak-entak dan berdenyut-denyut sampai ke ujung ubun-ubun kepalanya membuat dia memejamkan matanya kembali. Lalu dia teringat akan ilmu yang dia pelajari dari Kok Beng Lama, yaitu ilmu untuk mematikan rasa.

Setiap orang pendeta yang suka bertapa dan melakukan upacara menyiksa diri seperti para pendeta Lama tentu mahir akan ilmu ini. Dengan ilmu mati rasa ini mereka mampu melakukan segala macam bentuk penyiksaan diri dan puasa tanpa terlalu menderita.

Bun Houw memejamkan matanya dan ‘menutup’ saluran pikiran dengan perasaan tubuh melalui urat syaraf. Tidak lama kemudian dia sudah membuka matanya dan dia seperti dalam keadaan ‘lupa’ bahwa tubuhnya tersiksa dan rasa nyeri yang hebat itu tidak lagi terlalu mengganggunya. Dia mulai memeriksa keadaan di sekelilingnya dengan pandang mata penuh selidik.

Kamar itu amat kuat, tidak berjendela, hanya berpintu sebuah yang terbuat dari besi dan pada bagian atasnya berterali. Dari celah-celah terali baja sebesar lengan tangan itu dia melihat kepala banyak orang yang agaknya menjaganya. Sudah dibelenggu, dikait kedua tulang punggungya, dikeram di dalam kamar yang kokoh kuat, masih dijaga ketat lagi. Bagaimana dia akan mampu membebaskan diri? Bahkan pertolongan dari luar pun, kalau ada, merupakan ketidak mungkinan besar.

Dari celah-celah terali itu pula Bun Houw dapat menduga bahwa waktu itu masih malam, terbukti dari penerangan lampu yang menyorot dari luar pintu. Dia merasa heran sekali. Ketika dia tertawan, hari sudah hampir pagi, mengapa sekarang masih juga gelap? Dia tidak tahu bahwa dia telah pingsan selama satu hari penuh dan sekarang memang telah malam lagi.

Pintu besi terbuka dan muncullah Ciok Lee Kim serta Bu Sit, lalu pintu segera ditutup kembali. Bun Houw memandang dengan mata terbelalak penuh tantangan.

"Kalian manusia-manusia tak tahu malu, pengecut besar!" Dia memaki.

"Wah, sekarang dia sudah siuman, suci. Lekas suci yang menanyai dia, jika dia berkeras kepala tidak mau terus terang, aku yang akan menyiksanya sampai dia mengaku!" Bu Sit menghampiri pembaringan batu dengan wajah beringas penuh kekejaman, siap dengan sebatang jarum panjang hitam.

Sekali pandang saja maklumlah Bun Houw bahwa yang dipegang oleh Monyet Pencabut Nyawa yang kini daun telinganya buntung itu tentu sebatang jarum yang mengandung racun hebat. Si muka monyet itu pun memegangnya dengan menggunakan sapu tangan untuk melindungi jari-jarinya yang menjepit ujung gagang jarum.

"Orang she Bun," Ciok Lee Kim kini menghampiri dan memandang Bun Houw tidak lagi dengan pandangan mata penuh gairah birahi seperti kemarin malam, melainkan dengan pandang mata penuh ancaman. "Sudah satu hari kami menunggu dan baru sekarang kau siuman. Kau tahu bahwa kau tidak mungkin dapat meloloskan dirl lagi."

"Tidak perlu banyak cerewet, aku sudah tertangkap karena kalian orang-orang pengecut menggunakan pengeroyokan. Sekarang mau bunuh lekas bunuh, siapa takut mati?" Bun Houw mengejek.

"Hi-hi-hik, justru itulah yang tidak kami kehendaki. Terlalu enak kalau kau mati begitu saja. Kau lihat apa yang dipegang oleh Bu-sute itu? Bukan jarum sembarang jarum. Jarum ini sudah direndam dengan racun kelabang hitam yang amat jahat. Bila mana jalan darah tertentu di tubuhmu tertusuk jarum ini, engkau akan merasakan siksaan yang belum tentu terdapat di neraka sekali pun. Engkau akan menderita kenyerian hebat dan engkau tidak akan segera mati, melainkan akan hidup selama tiga hari tiga malam dan terus menerus menderita siksaan itu. Rasa gatal-gatal seperti ada ribuan ekor semut menggigiti daging dan tulangmu di sebelah dalam."

"Banyak mulut, gertak sambal!" Bun Houw membentak.

"Aku sebenarnya kasihan kepadamu. Engkau masih muda, tampan dan gagah. Ada jalan yang lebih baik bagimu, yaitu mati seketika atau mungkin bahkan... kebebasan. Untuk memperoleh itu, engkau hanya perlu mengaku siapa sebetulnya kau ini, apa hubunganmu dengan Cin-ling-pai, apakah hubunganmu dengan Cia Keng Hong?"

Bun Houw membuang muka dan tidak mau menjawab. Dia mengerti bahwa tidak ada gunanya mengaku bahwa dia putera ketua Cin-ling-pai, karena pengakuan ini hanya akan mendatangkan kegembiraan dan rasa kemenangan bagi kedua Bayangan Dewa itu. Baik mengaku atau tidak, dia tentu akan dibunuh, maka tak ada perlunya membuat pengakuan yang akan memuaskan hati musuh-musuh ini. Lagi pula, hal ini tentu akan menjadi bahan hinaan dan ejekan terhadap nama orang tuanya. Tidak, biar dia disiksa atau pun dibunuh, dia tidak akan membiarkan mereka ini menikmati kemenangan mereka atas nama orang tuanya.

"Bun Houw, kau tetap tidak mau mengaku?"

"Bunuh aku, atau pergilah! Kalian menjijikkan hatiku!" Bun Houw membentak.

Wajah dua orang Bayangan Dewa itu menjadi merah padam.

"Manusia kepala batu dan sombong!" Ciok Lee Kim berseru. "Sudah tak mampu bergerak, masih bermulut lebar."

"Suci, biar kusiksa dia, dan kita lihat apakah dia masih belum juga mau mengaku," Bu Sit berkata. Ciok Lee Kim mengangguk dan melangkah mundur.

Dengan wajahnya yang seperti monyet itu menyeringai kejam dan buas, Bu Sit kemudian menghampiri Bun Houw. Bu Sit merasa sakit hati sekali kepada pemuda yang membuat daun telinganya buntung itu. Dia mendekatkan mukanya dan dengan mata bersinar-sinar penuh kebencian dia menghardik, "Kau membuntungi telinga kiriku, akan tetapi aku akan menyiksamu sampai engkau terkuik-kuik seperti anjing, sampai kau minta-minta ampun di depanku, keparat!"

Bun Houw tidak menjawab melainkan tiba-tiba meludahi muka Monyet Pencabut Nyawa itu. Bu Sit mengelak dengan miringkan kepalanya, dan tentu saja dia menjadi semakin marah. Jarum di tangannya didekatkan tengkuk Bun Houw. Pemuda ini siap menerima datangnya maut, karena dia tidak mampu bergerak lagi.

"Creppp...!" Jarum itu menusuk tengkuk Bun Houw.

Pemuda ini menggigit bibirnya ketika merasa tengkuknya ditusuk, rasanya tidak berapa nyeri. Jarum dicabut dan dua kali lagi Bun Houw ditusuk dengan jarum itu di kanan kiri atas pundaknya. Sambil terkekeh Bu Sit lalu melangkah mundur dan memandang puas, membungkus jarum panjang hitam itu dengan sapu tangan dan mengantonginya.

Pada mulanya Bun Houw hanya merasa nyeri tusukan biasa saja, akan tetapi tidak lama kemudian dia mulai merasakan betapa tengkuk dan kedua pundaknya berdenyut-denyut, disusul perasaan seperti kesemutan dan segera datang serangan yang membuat sekujur tubuhnya terasa seperti dibakar dari dalam!

Dia berusaha mengerahkan sinkang-nya untuk melawan akan tetapi rasa panas itu makin lama makin menghebat. Mukanya menjadi merah, matanya melotot dan seluruh tubuhnya mengeluarkan uap tipis. Namun tidak ada sepatah pun kata keluhan keluar dari mulutnya. Dia malah memejamkan matanya dan alisnya berkerut-kerut, keringatnya jatuh menetes-netes.

"Hi-hi-hik, kau masih bersikeras? Hayo, lekas kau mengaku dan aku akan memberi obat penawar kepadamu sebelum terlambat!" Ciok Lee Kim berkata sedangkan Bu Sit masih tertawa puas.

"Persetan dengan kalian!" Bun Houw membentak.

Akan tetapi segera dia dilanda rasa nyeri yang amat hebat. Kini rasa panas itu berubah dengan rasa dingin yang membuat seluruh tubuhnya menggigil! Dia menjadi kaget karena maklum bahwa racun itu demikian hebatnya sehingga mempengaruhi hawa murni dalam tubuhnya, membangkitkan hawa panas lalu seolah ‘menelan’ hawa dingin yang terkumpul di tubuhnya berkat latihan di Tibet sehingga dapat merusak penguasaannya atas tenaga saktinya sendiri!

Betapa pun juga, dia tahu bahwa segala siksaan badaniah ada batasnya dan kalau sudah melampaui batas itu, maka dia akan mati. Paling hebat cuma mati, perlu apa dia takut menghadapinya. Lebih baik mati namun tetap dapat memukul musuh dengan membuat kecewa hati mereka dari pada mendengar penghinaan terhadap orang tuanya, dan andai kata dia mengaku, sama sekali tidak mungkin dia akan selamat, bahkan hal itu menjadi alasan yang lebih kuat lagi bagi dua Bayangan Dewa untuk menyiksanya lebih hebat dan membunuhnya.

Setelah rasa dingin yang membuat tubuhnya menggigil dan gigi-giginya saling beradu itu lenyap, sekarang mulailah rasa gatal-gatal merayapi seluruh tubuhnya dan benar seperti ancaman Ciok Lee Kim tadi, seperti ada ribuan ekor semut merayap di sebelah dalam tubuhnya, atau di bawah kulit, dan semut-semut itu menggigitnya.

Terhadap serangan hawa panas membakar dan dingin luar biasa tadi, Bun Houw masih mampu bertahan dan tidak ada sedikit pun suara keluhan terdengar keluar dari mulutnya. Akan tetapi rasa gatal-gatal di seluruh tubuh ini demikian menyiksa, begitu mengganggu urat-urat syarafnya, membuat dia ingin sekali menggaruk-garuk padahal kedua tangannya dalam keadaan tidak bebas, sehingga tubuhnya mulai menggeliat-geliat di luar kekuasaan pertahanannya.

Mendengar Ciok Lee Kim dan Bu Sit tertawa-tawa melihat dia menggeliat-geliat itu, Bun Houw menelan kembali keinginannya untuk bersambat. Dia menggigit bibirnya, menahan penderitaan itu sampai kulit bibirnya pecah berdarah. Dia berhasil menahan sehingga tak ada keluhan keluar dari mulut, akan tetapi dia tidak mampu menahan agar tubuhnya tidak bergerak. Dia tetap menggeliat-geliat dan makin lama ‘semut-semut’ di bawah kulitnya itu makin hebat menggigiti, menimbulkan kegatalan yang tidak tertahankan lagi.

Peluhnya bercucuran. Ingin dia menjerit, hampir dia menangis, hampir dia memaksa diri menggerakkan kedua lengannya yang tentu akibatnya akan celaka. Akhirnya Bun Houw terkulai lemas dan pingsan!

Melihat korban mereka sudah pingsan, tentu saja Ciok Lee Kim dan Bu Sit kehilangan kegembiraan dan meninggalkannya di dalam tahanan setelah memesan kepada belasan orang anak buah Lembah Bunga Merah untuk menjaga dengan ketat malam itu secara bergiliran.

Dapatlah dibayangkan betapa hebat penderitaan yang dialami oleh Bun Houw. Baru saja meninggalkan perguruan di Tibet, dia sudah menghadapi mala petaka yang menimpa keluarganya di Cin-ling-san, dan sekarang ketika baru saja dia dapat menemukan tempat persembunyian dua di antara Lima Bayangan Dewa, dia sudah tertawan dan menderita penyiksaan hebat, bahkan sekaligus nyawanya pun terancam maut karena tusukan jarum beracun yang dilakukan oleh Bu Sit itu bukan hanya untuk menyiksanya, melainkan juga untuk membunuhnya.

Ucapan Ciok Lee Kim bukanlah gertak belaka, akan tetapi setelah mengalami penusukan jarum beracun itu, tanpa mendapatkan obat penawar dari Ciok Lee Kim sendiri, dia hanya akan hidup selama tiga hari tiga malam saja dan di dunia ini jarang ada orang yang akan mampu menyelamatkannya dari ancaman maut itu.....

Traktiran: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan) ataupun bisa melalui via Trakteer yang ada dibawah

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar