Para tamu sudah membubarkan diri, berlari ketakutan keluar dari pintu rumah judi. Akan tetapi yang berhati tabah memberanikan diri untuk menonton, sambil berlindung di balik meja-meja judi yang besar dan kuat.
Bun Houw hanya ingin memancing perhatian, akan tetapi untuk melaksanakan siasatnya, tentu saja dia tidak ingin bermusuhan dengan kaki tangan Kiam-mo Liok Sun ini, sungguh pun dia amat tidak senang menyaksikan betapa bandar-bandar judi itu menipu para tamu yang datang berjudi dengan permainan-permainan curang.
"Hemm, kalian ini sungguh aneh. Aku datang hanya melihat-lihat karena aku tertarik akan nama besar Kiam-mo Liok loya (tuan besar Liok) dan ingin membantunya, namun kalian menyambutku dengan kekerasan."
Tentu saja mereka semua tidak mempedulikan omongan ini karena mereka sudah marah sekali mendengar betapa tadi pemuda ini menentang bandar sehingga sang bandar kalah dalam perjudian dadu itu dan melihat betapa pemuda ini sudah merobohkan empat orang tukang pukul. Sambil berteriak-teriak mereka sudah menerjang maju dan senjata tajam di tangan mereka gemerlapan tertimpa sinar penerangan.
Bun Houw terpaksa membela diri mempergunakan kelincahannya melompat ke sana-sini di antara meja-meja judi yang sekarang menjadi berantakan karena didorong oleh para pengeroyok yang mengejarnya. Kalau dia mau, tentu saja dengan mudah Bun Houw akan mampu merobohkan mereka semua dalam waktu singkat. Akan tetapi bukan demikianlah yang dikehendakinya.
Dia hendak menyelidiki Lima Bayangan Dewa dan menurut keterangan penyanyi jalanan tadi, majikan tempat inilah yang mengaku kenal dengan Lima Bayangan Dewa, maka dia harus dapat mendekatinya, apa bila perlu masuk menjadi anak buahnya. Untuk keperluan ini, tidak baiklah kalau dia merobohkan mereka semua. Kalau tadi dia merobohkan empat orang tukang pukul, hal itu hanya untuk memancing perhatian, dan dia pun tidak melukai mereka secara hebat, bahkan tidak ada tulang yang patah.
Keadaan di dalam ruangan judi yang biasanya gaduh dengan suara orang berjudi, kini menjadi makin gaduh dengan teriakan-teriakan para pengeroyok dan suara senjata yang beradu dengan meja atau lantai, oleh karena senjata-senjata itu beterbangan ketika luput mengenai tubuh Bun Houw dan sebagian ada yang terlepas dari tangan pemegangnya karena terkena totokan jari tangan pemuda itu yang memperlihatkan kelincahannya.
Semenjak tadi Bun Houw maklum akan kedatangan seorang laki-laki berusia empat puluh tahun lebih yang berpakaian mewah, berkumis rapi dan bermata tajam. Melihat sebatang pedang pada punggung orang itu, sikapnya yang angkuh serta sikap merendah beberapa orang yang datang bersamanya, Bun Houw sudah dapat menduga bahwa yang datang itu tentulah Kiam-mo Liok Sun. Maka dia segera mengurangi kecepatan geraknya walau pun dia masih tetap dapat menghindarkan diri dari para pengeroyoknya yang terus mengejar dan menghujankan serangan kepadanya itu.
"Kalian orang-orang yang tak mengenal maksud baik orang lain!" Bun Houw berpura-pura kewalahan dan berteriak-teriak.
"Sudah kukatakan, aku datang hendak bersahabat dan membantu Liok-loya yang terkenal gagah, mengapa kalian memaksaku berkelahi?"
Sejak tadi Kiam-mo Liok Sun menonton dengan hati tertarik. Meski pun gerakan pemuda tampan itu kacau dan tidak membayangkan ilmu silat tinggi yang dikenalnya, akan tetapi tampak jelas bahwa pemuda itu memiliki kelincahan dan kecepatan gerakan yang sangat mengagumkan sehingga belasan orang kaki tangannya yang mengeroyok dengan senjata di tangan sama sekali tidak mampu mendesaknya, apa lagi melukai dan merobohkannya.
Kini mendengar teriakan pemuda itu, dia makin tertarik. Tentu saja dia tidak begitu bodoh untuk mempercayai kata-kata orang asing ini, akan tetapi diam-diam dia mengakui bahwa apa bila dia bisa memperoleh pemuda gagah itu sebagai pembantunya, dia mendapatkan keuntungan besar sekali.
Keadaan menjadi sunyi setelah semua orang berhenti bergerak, sunyi yang menegangkan karena semua orang menduga bahwa sebentar lagi tentu sinar pedang maut dari pedang setan akan membuat kepala pemuda tampan itu terpisah dari badannya. Tetapi alangkah heran hati mereka ketika Liok Sun menggerakkan tangan kemudian dengan langkah lebar dia mengampiri Bun Houw.
Sejenak mereka berdiri saling berhadapan, kemudian Liok Sun bertanya, "Aku mendengar laporan bahwa engkau adalah seorang pemuda yang pandai sekali bermain judi. Betulkah itu?"
"Ahh, selama hidupku, belum pernah aku bermain judi, mana bisa disebut pandai?" Bun Houw merendah.
"Orang muda, engkau adalah seorang asing dan datang-datang menimbulkan keributan di po-koan ini, sesungguhnya apakah yang kau kehendaki?" Liok Sun yang merasa suka kepada pemuda ini bertanya.
"Apakah saya berhadapan dengan Liok-loya sendiri?"
"Benar, akulah Kiam-mo Liok Sun. Apakah engkau datang untuk menantangku?" Laki-laki yang kelihatan tampan dan gagah karena pakaian dan sikapnya itu bertanya, tetapi nada suaranya mengejek.
"Sama sekali tidak, Liok-loya. Saya memang telah lama mendengar nama besar loya dan saya bahkan ingin menawarkan tenaga saya untuk membantu dan bekerja kepada loya."
"Hemm, orang muda. Siapakah namamu dan dari mana kau datang?"
"Nama saya Bun Houw dan saya tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap. Karena sedang kehabisan bekal dan tidak mempunyai pekerjaan tetap, ketika tiba di kota ini dan mendengar akan kegagahan serta kedermawanan loya, saya lalu datang ke sini hendak mencari loya dan minta pekerjaan."
Kiam-mo Liok Sun memandang penuh selidlk. "Orang muda she Bun, agaknya engkau memiliki kepandaian pula maka engkau berani mencari aku minta pekerjaan secara ini. Jangan mengira bahwa akan mudah saja mendapatkan pekerjaan dariku, apa lagi setelah engkau melakukan pengacauan di sini."
Bun Houw maklum bahwa orang ini sudah salah menduga, mengira dia she Bun bernama Houw, akan tetapi hal ini memang kebetulan karena dia tidak ingin memperkenalkan diri sebagai putera Cia Keng Hong ketua Cin-ling-pai.
"Maafkan saya, Liok-loya. Bukan maksud saya untuk mengacau..."
"Sudahlah. Karena engkau telah memperlihatkan kepandaianmu berjudi, biarlah sekarang aku tantang engkau berjudi dengan aku..."
"Akan tetapi... saya tidak pandai berjudi dan saya tidak mau..."
"Harus! Engkau harus mau berjudi dengan aku. Apa bila engkau kalah, tidak perlu banyak cakap lagi dan engkau harus dihukum sebab telah banyak merugikan aku dan mengacau po-koan ini. Kalau engkau menang, nah... baru kita bicara tentang pekerjaan itu."
Semua anak buah Liok Sun tersenyum-senyum karena mereka mengira bahwa majikan mereka hendak mempermainkan pemuda itu sebelum membunuhnya. Bun Houw juga maklum bahwa Si Setan Pedang ini hendak mencobanya, maka sambil menarik napas dia berkata,
"Apa boleh buat, caramu menerima pembantu baru sungguh aneh, Liok-loya."
Dengan tersenyum Liok Sun melangkah, lantas duduk di belakang sebuah meja judi yang tidak berantakan dan dengan isyarat tangan dia menyuruh Bun Houw duduk menghadapi meja itu, bertentangan dengan dia. Dengan sikap seakan terpaksa Bun Houw duduk di atas bangku. Liok Sun lalu minta dua butir dadu dan sebuah mangkok. Dia memasukkan dadu itu di dalam mangkok lalu menggoyang-goyang mangkok sehingga terdengar bunyi berkeratakan ketika dua butir dadu berputaran di dalam mangkok yang ditutup dengan telapak tangan kirinya.
"Hanya ada dua kemungkinan saja yang keluar," kata Liok Sun sambil tersenyum dan memandang tajam kepada Bun Houw, "Yaitu nomor ganjil atau nomor genap, Nah engkau boleh memilih, orang muda."
Bun Houw melihat ke kanan kiri. Semua yang tampak di sekelilingnya hanya wajah-wajah menyeringai yang seakan-akan sudah memastikan bahwa dia akan kalah dan menerima hukuman! Dia tahu bahwa kehendak majikan po-koan ini tidak dapat dibantah lagi, maka dengan suara tenang dia menjawab,
"Aku memilih genap!"
"Bagus, dan aku memilih ganjil. Engkau tahu bahwa angka yang tidak dapat dibagi dua adalah ganjil!" kata Liok Sun.
"Dan yang dapat dibagi dua adalah genap!" Bun Houw berkata pula.
"Lihat baik-baik, aku membuka mangkok!" Majikan Hok-po-koan itu berteriak, dan cepat mangkoknya menelungkup kemudian dibukanya.
Pandang mata Bun Houw yang terlatih dengan cepat dapat melihat bahwa dua butir dadu itu menunjukkan angka tiga dan lima, berarti berjumlah delapan, atau genap. Akan tetapi tiba-tiba saja sebutir dadu bergerak terguling. Melihat ini, Bun Houw yang juga menekan tangannya ke atas meja, mengerahkan sinkang dan dadu itu kembali lagi ke nomor lima. Akan tetapi tentu saja Liok Sun tidak mau kalah, dan dengan kedua tangan di atas meja dia mengerahkan tenaga dan dadu itu miring ke angka enam!
Bun Houw sudah mengukur tenaga orang ini dan dia tahu bahwa biar pun Liok Sin jauh lebih kuat dari bandar judi tadi, akan tetapi kalau dia menggunakan sinkang melawannya, dengan amat mudah dia akan dapat mengalahkan Liok Sun. Dia tidak mau menyinggung perasaan Liok Sun, akan tetapi dia harus dapat mendekati orang ini, maka dia pun cepat mengerahkan tenaganya dan... dadu itu tetap berdiri miring antara nomor lima dan nomor enam, seolah-olah tenaga mereka seimbang, dan dengan tenaga sinkang-nya yang luar biasa kuatnya, Bun Houw membuat dadu-dadu itu melesak ke dalam papan kayu meja itu sehingga yang sebutir tetap menunjukkan angka tiga ada pun yang sebutir lagi melesak miring antara nomor lima dan enam! Semua orang yang melihat ini membelalakkan mata dengan terheran-heran.
Liok Sun juga merasa terkejut sekali ketika mendapat kenyataan bahwa dia tidak mampu memaksa dadu itu terlentang dengan nomor enam di atas. Akan tetapi dia pun gembira melihat dadu itu tidak menunjukkan nomor lima, melainkan miring dan dia mengira bahwa bertemunya dua tenaga, yaitu tenaganya dan tenaga pemuda itu, sedemikian hebat dan kuatnya sehingga dadu itu sampai melesak di atas meja! Giranglah hatinya, girang karena dia tidak kalah akan tetapi juga mendapat kenyataan bahwa calon pembantunya ini hebat sekali kepandaiannya!
"Ha-ha-ha-ha, yang keluar adalah nomor tiga dan nomor... lima setengah! Kita tidak kalah dan tidak menang!" kata Liok Sun.
Bun Houw tersenyum. "Sebaiknya begitu, Liok-loya, karena kalau dadu yang sebutir ini rebah dengan angka lima atau enam di atas, berarti saya yang menang."
"Ehhh...? Mengapa begitu? Kalau keluar angka enam, berarti aku yang menang, karena tiga dan enam adalah sembilan, angka ganjil!"
Bun Houw menggeleng kepalanya. "Dalam hal ini, loya bersikap cerdik dan salah hitung. Kalau keluar angka sembilan, berarti saya yang menang, bahkan keluar angka apa pun, dari satu sampai dua belas, saya yang menang."
"Gila! Mana bisa begitu?"
"Lupakah loya bahwa yang saya pegang adalah nomor..."
"Genap!"
"Ya, dengan penjelasan bahwa nomor genap adalah nomor yang dapat dibagi dua!"
"Memang begitu, dan kalau keluar nomor sembilan, tidak bisa dibagi dua!"
"Siapa bilang, loya? Sembilan dibagi dua adalah empat setengah, bukan? Nah, siapakah yang dapat menyangkal bahwa segala nomor, dari satu sampai dua belas atau sampai selaksa sekali pun, semuanya dapat dibagi dua?"
Liok Sun melongo, menatap wajah pemuda yang bersikap tenang itu dengan kedua mata terbelalak, kemudian terdengar semua orang berbisik-bisik gaduh. Ucapan pemuda aneh ini sama sekali tidak dapat disangkal memang!
"Apakah bicaraku salah, Liok-loya?"
"Tidak... tidak... hemm, kau benar. Bahkan keluar angka delapan setengah ini pun masih dapat dibagi dua! Engkau menang, orang muda yang cerdik. Akan tetapi aku baru mau menerimamu bekerja membantuku jika engkau dapat mengalahkan pembantu-pembantu utamaku."
Dia menengok ke belakangnya dan memberi isyarat kepada dua orang yang tadi keluar bersamanya dan yang selalu menjaga di belakangnya. Dua orang itu menyeringai lantas meloncat ke tengah ruangan. Bun Houw memandang dengan penuh perhatian.
Yang seorang bertubuh tinggi besar, kulitnya kehitaman, bermata lebar, kepalanya botak. Dia berdiri dengan tangan kiri bertolak pinggang, tangan kanan mengelus-elus kumisnya yang dipelintir ke atas seperti dua buah golok menjungat ke atas di kanan kiri hidungnya yang besar. Orang kedua adalah seorang laki-laki yang usianya sebaya dengan si tinggi besar, kurang lebih lima puluh tahun, bertubuh pendek gendut dan matanya sipit, kulitnya kuning sekali seperti orang menderita penyakit kuning, kuning sampai ke kuku jari dan ke matanya.
Bun Houw sudah maju pula tanpa mengeluarkan kata-kata lagi, menghadapi dua orang pembantu utama dari Kiam-mo Liok Sun. "Silakan Ji-wi maju," katanya tenang.
Dua orang tukang pukul yang merupakan orang-orang paling kuat di antara anak buah Liok Sun itu memandang ke arah majikan mereka. Tanpa perkenan majikan mereka, dua orang ini tak berani sembarangan bergerak dan mereka masih ragu-ragu apakah mereka berdua diharuskan melawan bocah yang masih amat muda ini.
Akan tetapi Liok Sun yang sudah mengukur tenaga Bun Houw dan yakin akan kelihaian pemuda ini, memberi isyarat dengan mata dan anggukan kepala, menyuruh dua orang pengawalnya itu maju mengeroyok!
Dua orang itu lalu mengeluarkan suara gerengan dan bagaikan seekor gajah mengamuk, orang yang tinggi besar itu sudah menerjang dengan sepasang lengannya yang panjang menyambar dari kanan kiri, menyerang Bun Houw dengan dahsyat. Pemuda ini segera menggerakkan tubuhnya, mengelak dengan cekatan ke kiri tetapi di sini dia disambut oleh orang kedua yang gemuk pendek dan ternyata bahwa serangan si gemuk pendek ini tidak kalah hebatnya oleh kawannya yang tinggi besar.
Namun, tentu saja bagi Bun Houw dua orang tukang pukul itu bukan apa-apa dan kalau dia menghendaki, dalam segebrakan saja dia akan mampu merobohkan mereka. Akan tetapi, dia tidak ingin terlampau menonjolkan kepandaiannya kepada Liok Sun karena hal ini tentu akan menimbulkan kecurigaannya, maka dia hanya melakukan perlawanan yang cukup untuk mengimbangi mereka berdua. Maka perkelahian itu tampak sangat seru dan ramai, ditonton oleh Liok Sun dan semua anak buahnya dengan penuh kekaguman.
Sesudah lewat lima puluh jurus dan membiarkan dada serta pahanya dua kali terkena pukulan lawan, akhirnya Bun Houw berhasil menendang sambungan lutut si tinggi besar sehingga orang ini roboh tak mampu berdiri lagi, dan juga merobohkan si pendek gendut dengan sodokan tangan terbuka ke lambungnya, membuat lawan ini langsung menjadi mulas perutnya dan juga tidak mampu melanjutkan pertandingan.
Bukan main girangnya hati Liok Sun. Ia cepat menghampiri Bun Houw dan menggandeng tangan pemuda itu. Menurut penilaiannya pada saat menyaksikan pertandingan tadi, ilmu kepandaian pemuda ini setingkat dengan dia! Dengan memperoleh pembantu selihai ini, tentu saja dia akan menjadi makin kuat.
Bun-hiante, kau hebat sekali! Aku menerima lamaranmu bekerja. Mulai saat ini, engkau menjadi pengawal pribadiku!" katanya dengan girang dan dengan suara lantang karena ucapan ini bukan hanya ditujukan kepada Bun Houw, melainkan juga kepada semua anak buahnya.
"Terima kasih atas kebaikan Liok-loya..."
"Ahh, mulai sekarang jangan menyebut loya lagi, cukup Liok-twako saja," kata majikan rumah judi itu yang kemudian menoleh kepada anak buahnya. "Hayo bereskan semua meja dan buka kembali po-koan. Jangan sampai menimbulkan keributan lagi supaya para langganan kita tidak menjadi jeri untuk bermain judi." Sesudah berkata demikian, dia lalu mengajak Bun Houw masuk ke dalam rumahnya yang terletak di belakang rumah judi itu.
Mulai saat itu juga, berhasillah Bun Houw mendekati Kiam-mo Liok Sun, bahkan setelah mereka bercakap-cakap, Liok Sun makin suka kepada pemuda ini yang selain tinggi ilmu kepandaiannya ternyata juga bukan seorang jahat! Sebaliknya, Bun Houw merasa amat terheran-heran bahwa majikan rumah judi ini ternyata bukan pula seorang jahat! Bahkan hidupnya menduda dan agaknya dengan terpaksa sajalah Liok Sun membuka rumah judi itu.
"Sekarang berdagang sangat sukar memperoleh keuntungan, Bun-hiante," katanya. "Aku tahu bahwa pekerjaan bandar judi tidaklah bersih dan kalau tidak berani bermain curang tak akan mendapat untung. Akan tetapi aku memerlukan uang untuk menyusun kekuatan, karena aku mempunyai seorang musuh besar yang harus kubalas. Sekarang aku bertemu dengan engkau, sungguh membesarkan hatiku sebab dengan bantuanmu, aku tidak takut lagi menghadapi musuh besarku itu."
Bun Houw mengerutkan alisnya. "Apakah dia lihai sekali, twako?"
Sudah tiga hari dia tinggal di rumah Liok Sun dan memperoleh pelayanan baik sekali dan dia merasa akrab dengan ‘majikannya’ yang menganggapnya seperti sahabat baik ini.
"Dia cukup lihai dan mempunyai banyak pengawal, selain kaya raya juga berpengaruh karena dia adalah seorang yang memegang jabatan dalam pemerintahan dan tinggal di Koan-hu."
Bun Houw terkejut, lalu dia teringat akan urusannya sendiri yang sedang menyelidiki Lima Bayangan Dewa. "Maaf, twako, akan tetapi aku merasa heran mengapa twako tidak dari dulu menghadapi musuh besar itu. Twako sendiri terkenal sebagai ahli pedang yang lihai dan memiliki banyak pembantu..."
"Aihhh, mereka itu hanya pandai berlagak akan tetapi kosong tanpa isi."
"Akan tetapi kabamya twako juga mempunyai banyak sahabat orang-orang sakti di dunia kang-ouw, bahkan aku pernah mendengar bahwa diam-diam twako bersababat dengan Lima Bayangan Dewa."
Liok Sun mengangkat muka memandang sambil tersenyum. "Eh, engkau juga mendengar tentang mereka, hiante?"
"Siapa yang tidak mendengarnya, twako? Seluruh dunia kang-ouw menjadi geger setelah Lima Bayangan Dewa mengacau di Cin-ling-pai dan mencuri pedang Siang-bhok-kiam. Aku kagum sekali kepada mereka dan kalau benar twako bersahabat dengan mereka, aku ingin sekali twako memperkenalkan aku dengan mereka."
Liok Sun tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, mereka adalah orang-orang luar biasa, mana aku ada kehormatan menjadi sahabat mereka? Memang aku mengenal baik seorang yang mungkin sekali merupakan salah seorang di antara mereka atau setidaknya mengenal siapa adanya Lima Bayangan Dewa yang tersohor itu. Aku akan mengajakmu berkenalan dengan dia setelah engkau membantu aku menghadapi musuh besarku itu, hiante."
Bun Houw menjadi bingung. Seujung rambut pun tidak ada maksudnya untuk menjadi pembantu bandar judi ini! Tetapi agaknya dari orang inilah dia akan berhasil menemukan musuh-musuh besarnya yang sudah sekian lamanya dicari tanpa ada hasilnya. Betapa pun juga, dia tidak mau sembarangan turun tangan membantu Liok Sun memusuhi orang lain yang tidak ada sangkut-pautnya dengan dirinya sama sekali, apa lagi sebelum dia ketahui apa sebabnya Liok Sun memusuhi orang itu.
"Aku telah menjadi pembantumu, sudah sepatutnya kalau aku membantumu, Liok-twako. Akan tetapi, siapakah musuh besarmu itu, dan kalau boleh aku mengetahui supaya jelas bagiku dan tidak meragukan tindakanku, mengapa twako bermusuhan dengan dia?"
Liok Sun Si Pedang Setan itu menghela napas panjang dan tiba-tiba wajah yang tampan itu berubah keruh dan muram tanda bahwa pertanyaan itu menimbulkan kenangan yang amat mendukakan hatinya.
"Semua orang mengenalku sebagai Liok Sun Si Pedang Setan, akan tetapi sebenarnya baru engkaulah yang mendengar bahwa dahulu namaku adalah Sun Bian Ek. Aku dahulu bukan orang baik-baik sungguh pun aku juga tidak pernah berhati kejam kepada siapa pun yang tidak bersalah, dan dahulu aku adalah seorang perampok tunggal yang sudah mengundurkan diri dan bertobat, lalu aku menjadi pedagang hasil bumi." Liok Sun mulai menuturkan keadaan dirinya.
Setelah mengundurkan diri dari dunia hitam dan menjadi pedagang hasil bumi, Liok Sun menikah dan hidup berbahagia bersama isterinya yang cantik sampai mereka dikaruniai seorang anak perempuan yang mungil. Akan tetapi, mala petaka menimpa keluarganya dan hal ini tidak dapat dilepaskan dari cara hidupnya dahulu ketika dia masih menjadi perampok.
Pihak pemerintah mengadakan pembersihan, dan menangkapi banyak sekali orang-orang dunia hitam di kota Koan-hu dan sekitarnya. Dalam pembersihan ini, Liok Sun atau yang dahulu bernama Sun Bian Ek ikut pula ditangkap! Kepala pasukan keamanan di kota itu yang bernama Phang Un agaknya tahu akan riwayat hidup pedagang Sun Bian Ek maka biar pun semua orang terheran mengapa pedagang itu ikut ditangkap, namun Sun Bian Ek sendiri tidak dapat menyangkal bahwa dia dahulu adalah perampok dan dia tidak lepas dari pandang mata tajam dari Phang Un.
"Aku dijatuhi hukuman buang ke daerah utara untuk bekerja paksa memperbaiki saluran kota raja." Liok Sun lalu melanjutkan penuturannya. "Semua itu tidak menyakitkan hatiku karena aku pun maklum bahwa kesesatanku yang lalu sudah sepatutnya mendapatkan hukuman. Akan tetapi, dapat kau bayangkan bagaimana rasanya perasaanku ketika aku mendengar bahwa sebenarnya yang menjadi sebab mengapa aku yang sudah mencuci tangan itu ditangkap, sama sekali bukan dikarenakan dosa-dosaku yang lalu, melainkan karena isteriku..."
“Eh...? Apa maksudmu, twako?" tentu saja Bun Houw terkejut dan heran mendengar arah cerita yang sama sekali menyimpang dan tidak disangka-sangkanya itu.
"Sehari setelah aku ditangkap, isteri dan anakku diboyong ke gedung si keparat Phang Un!"
"Ahh, jadi dia merampas isteri dan anakmu?"
Liok Sun mengangguk. "Mula-mula kukira demikian. Di utara aku tertolong oleh seorang tokoh hitam yang kusangka adalah seorang di antara Lima Bayangan Dewa, orang yang kumaksudkan tadi. Setelah aku bebas, diam-diam aku mengganti namaku dan membuka rumah judi di kota Kiang-shi ini. Sambil mengumpulkan harta dan kekuatan, aku menanti kesempatan baik untuk membalas dendam. Ketika itu baru aku mengerti bahwa di antara keparat itu dan isteriku memang sudah terjalin hubungan sebelum peristiwa penangkapan itu terjadi. Kau tahu, aku adalah seorang pedagang hasil bumi di waktu itu, sering keluar kota sampai berhari-hari, dan Phang Un adalah kepala pasukan keamanan yang setiap malam boleh saja meronda dan memeriksa, maka..."
Liok Sun menarik napas panjang dan tidak melanjutkan, akan tetapi Bun Houw sudah dapat membayangkan apa yang terjadi antara isteri yang tidak setia itu dan si kepala pasukan keamanan yang mata keranjang.
"Hemm, memang dia patut dihajar!" kata Bun Houw.
Demikianlah, karena merasa simpati mendengar riwayat Liok Sun, maka pada suatu pagi beberapa hari kemudian, berangkatlah kedua orang ini menuju ke kota Koan-hu yang tak begitu jauh letaknya dari Kiang-shi. Malamnya, mereka berdua telah bergerak seperti dua ekor kucing di atas genteng rumah-rumah orang, dan berhasil meloncati pagar tembok yang mengurung gedung tempat tinggal Phang-ciangkun (Perwira Phang) tanpa diketahui para perajurit yang berjaga di sekitar tempat itu. Para penjaga itu memang agak lengah, karena mereka tidak percaya bahwa ada orang yang berani mati mengganggu rumah perwira itu.
Dengan berindap-indap, akhirnya Liok Sun dan Bun Houw mengintai dari sebuah jendela kamar. Bun Houw melihat seorang wanita yang cantik berdandan mewah sedang duduk menyulam di dalam kamar itu. Wanita yang berpakaian mewah dan pesolek, usianya antara tiga puluh lima tahun, kulitnya putih dan pinggangnya ramping. Tidak ada orang lain lagi di dalam kamar itu.
Bun Houw merasa betapa napas temannya memburu dan tahulah dia bahwa wanita itulah agaknya isteri tidak setia itu. Dengan gerak tangannya, Liok Sun menyuruh Bun Houw berjaga-jaga di luar jendela dan dia sendiri hendak menerjang masuk. Bun Houw hanya mengangguk. Tadi dia sudah berpesan kepada Liok Sun supaya ‘majikannya’ itu tidak sembarangan turun tangan dan hanya berurusan dengan musuh-musuhnya saja, jangan melibatkan orang-orang lain dan pasukan keamanan pemerintah.
Dengan kekuatan tangannya, Liok Sun mendorong daun pintu yang patah kuncinya dan seperti seekor burung dia melayang masuk ke dalam kamar itu. Bun Houw mengintai di luar jendela.
Wanita itu menjerit dan bangkit berdiri, seketika wajahnya menjadi pucat dan kain yang disulamnya terlepas dari tangannya dan segulung benang sulam jatuh menggelinding ke sudut kamar.
"Kanda... Sun Bian Ek...!" Tubuh wanita itu menggigil dan suaranya menggetar. "Kau... kau... masih hidup...?"
Liok Sun atau Sun Bian Ek memandang dengan muka merah dan mata berapi, suaranya dingin dan penuh penyesalan, "Perempuan hina, andai kata sudah mati pun pasti aku akan bangkit untuk mengutukmu. Kau perempuan hina, isteri yang khianat hendak kulihat bagaimana macamnya hatimu!"
Mata itu semakin terbelalak, mukanya semakin pucat. "Tidak... ahhh, jangan kau salah sangka...!" Wanita itu menangis dan menjatuhkan dirinya berlutut di atas lantai di depan bekas suaminya itu. "Kau... suamiku... kau salah sangka... aku... aku tidak berkhianat padamu..."
"Hemmm, siapa percaya mulutmu yang palsu itu? Kau masih berani menyangkal bahwa sebelum aku ditangkap dahulu, diam-diam engkau sudah menjual dirimu yang kotor dan hina kepada si jahanam Phang Un?"
"Tidak... tidak... itu hanyalah fitnah belaka... kau dengarlah... aku memang tidak pernah berani berterus terang akan terjadinya mala petaka pada malam itu... pada suatu malam ketika engkau pergi berdagang... dia datang dan mengancam akan membunuh anakku kalau aku tidak mau melayaninya... dengan ujung golok di leher anakku, apa dayaku...? Kanda Bian Ek... malam itu, untuk menyelamatkan nyawa anakku... aku… aku terpaksa... melayaninya dan... dan setelah kau ditangkap, aku lalu diboyong ke sini... apakah dayaku sebagai seorang wanita lemah?"
Liok Sun memandang bekas isterinya itu. Dia amat mencinta wanita ini dan selama lima tahun ini semenjak mereka berpisah, dia selalu mengenangkan kemesraan yang pernah dialaminya bersama isterinya. Kini, mendengar cerita itu, dia tertegun sehingga tidak tahu harus berbuat apa terhadap isterinya yang kini menangis sesenggukan itu.
"Di mana adanya anakku, di mana? Aku harus membawa dia pergi dari sini, dan di mana jahanam itu? Akan kubunuh dia..."
Wanita itu kelihatan terkejut sekali, lalu bangkit berdiri dan dengan sikap ketakutan dia mundur-mundur sambil menggelengkan kepala berkali-kali dan berkata, "Jangan... tidak... jangan...!"
Pada saat itu terdengar suara ribut-ribut dari sebelah belakang dan tiba-tiba saja wanita itu menoleh dan lari ke arah pintu belakang sambil menjerit, "Toloong...! Ada penjahat...! Tolooooong...!"
"Keparat, perempuan hina...!" Kiam-mo Liok Sun menjadi marah sekali.
Segala keraguan akan kesalahan isterinya sesudah mendengar cerita tadi lenyap sama sekali dan dia tahu bahwa isterinya tadi hanya membodohinya untuk mengulur waktu agar para penjaga mendengar dan tahu akan kedatangan bekas suaminya ini.
Dalam kemarahannya yang meluap, Liok Sun mencabut pedangnya dan sinar pedangnya menyambar dari belakang tubuh bekas isterinya. Wanita itu menjerit mengerikan lantas roboh dengan punggung tertusuk pedang sampai tembus ke dadanya.
"Ibu...!" Tampak seorang anak perempuan berusia kurang lebih sepuluh tahun berlarian masuk. Melihat anak ini, Liok Sun cepat menyambarnya dengan tangan kiri.
Dapat dibayangkan betapa kaget hatinya ketika tiba-tiba ada angin menyambar dari arah samping diikuti dengan berkelebatnya bayangan sinar terang. Dia menggerakkan pedang menangkis.
"Cringgg...!”
“Aduhhhhh...!" Liok Sun berteriak karena pundaknya yang kanan tetap saja keserempet golok yang dipegang oleh seorang laki-laki tinggi besar yang telah menyerangnya secara tiba-tiba. Karena tadi dia baru saja mencabut pedang dari tubuh bekas isterinya kemudian menyambar anaknya dengan tangan kiri, maka ketika mendadak diserang, tangkisannya kurang cepat sehingga dia terluka oleh laki-laki yang bukan lain adalah Phang Un itu.
Melihat betapa isterinya terbunuh dan anak tirinya dirampas, dan mengenal Sun Bian Ek, perwira ini menjadi marah bukan main. Ia mengeluarkan teriakan untuk memanggil semua pengawalnya, kemudian goloknya bergerak menerjang Liok Sun yang sudah terluka.
"Plakkk...!"
Perwira itu terhuyung dan goloknya langsung terlepas dari tangannya ketika Bun Houw yang meloncat masuk menepuk bahu kanannya dari belakang. Pemuda ini tadi merasa terkejut ketika melihat Liok Sun membunuh bekas isterinya, hal yang sama sekali tidak disangka-sangkanya, sungguh pun dia maklum pula akan kepalsuan wanita itu.
Akibat tertegun menyaksikan peristiwa mengerikan antara suami isteri yang tentu dulunya saling mencinta itu, maka dia terlambat menolong Liok Sun sehingga ‘majikannya’ itu terluka pundaknya. Baru ketika melihat Liok Sun terluka, dia meloncat ke dalam dan sempat menggagalkan serangan maut Phang-ciangkun tadi.
"Keparat busuk kau...!" Liok Sun membentak ketika melihat Phang Un terhuyung, biar pun tangan kirinya memondong anak perempuan itu dan pundak kanan sudah terluka, namun pedangnya masih berkelebat cepat sekali.
Phang Un masih kaget oleh tamparan yang bukan main kuatnya tadi. Ia masih terhuyung sambil memutar kepala untuk melihat siapa yang telah menamparnya ketika sinar pedang berkelebat. Phang Un berusaha mengelak, akan tetapi hanya dua kali berturut-turut dia mampu mengelak. Sambaran pedang yang ketiga kalinya mengena sasaran dan robohlah Phang Un dengan leher yang hampir buntung terbabat pedang Liok Sun.
Pada saat itu, datanglah belasan orang perajurit dan pengawal ke tempat itu. Melihat Liok Sun hendak mengamuk, Bun Houw cepat berkata,
"Liok-twako, hayo kita pergi...!"
Liok Sun juga maklum betapa berbahayanya untuk menentang penjaga keamanan, maka melihat pembantunya itu sudah menerjang keluar kamar dan dengan mudahnya pemuda itu membuat lima enam orang pengawal terlempar ke kanan kiri, dia pun lalu mengikuti Bun Houw dan setelah Bun Houw kembali merobohkan beberapa orang, mereka berdua berhasil meloncat ke atas genteng dan menghilang di kegelapan malam.
Peristiwa itu membuat Liok Sun merasa makin percaya kepada Bun Houw. Dia pun tidak melupakan dan mengingkari janjinya. Setelah dia menitipkan puterinya kepada seorang sahabat baiknya, Liok Sun lalu mengajak Bun Houw untuk pergi mengunjungi seorang kenalannya, yang juga merupakan penolongnya ketika dia dihukum buang di utara, dapat juga disebut bekas kekasihnya, yang dianggapnya mungkin salah seorang di antara Lima Bayangan Dewa. Dan memang anggapannya ini sama sekali tidaklah keliru karena wanita yang dimaksudkannya ini bukan lain adalah Hui-giakang Ciok Lee Kim.
Ketika Bun Houw diberi tahu bahwa yang dimaksudkan itu adalah Hui-giakang Ciok Lee Kim, tentu saja hatinya merasa gembira sekali. Tidak percuma dia mendekati Liok Sun, karena ternyata orang ini benar-benar hendak membawanya ke rumah seorang di antara Lima Bayangan Dewa yang dicari-carinya.
Maka berangkatlah mereka berdua dengan menunggang kuda dan Liok Sun melakukan perjalanan ini dengan senang hati karena dia pun perlu sekali untuk beberapa lamanya meninggalkan Kiang-shi sampai keributan yang terjadi di kota Koan-hu itu menjadi dingin kembali…..
********************
Hong Khi Hoatsu yang usianya sudah tujuh puluh tiga tahun itu menggandeng tangan Lie Seng dengan wajah muram, memasuki pekarangan rumah Lie Kong Tek, muridnya yang telah tewas itu. Peristiwa yang menyedihkan menimpa keluarga murid tunggalnya yang sudah dianggap sebagai puteranya sendiri itu, dan peristiwa itu menambah keriput pada wajah kakek ini dan menambah uban di kepalanya. Andai kata tidak bersama Lie Seng, agaknya Hong Khi Hoatsu tidak akan sanggup memasuki pekarangan rumah mendiang muridnya itu.
"Sukong (kakek guru), alangkah sunyinya rumah kita..." Lie Seng berkata.
Ucapan anak kecil ini terasa bagaikan pedang menusuk ulu hati Hong Khi Hoatsu. Dia lalu menghela napas panjang dan melihat kenyataan betapa kehidupan manusia penuh dengan suka duka, namun dukalah yang lebih banyak kalau dibandingkan dengan suka. Betapa keadaan hidup sama sekali tidak menentu.
Muridnya, Lie Kong Tek, tadinya hidup berbahagia dengan isteri dan dua orang anaknya, akan tetapi dalam sekejap mata saja keadaan penuh bahagia itu berubah sama sekali, berubah secara hebat dan kebahagiaan itu kini berubah menjadi kesengsaraan lahir batin yang menyedihkan. Muridnya atau puteranya itu tewas membunuh diri, menantunya pergi mencari penjahat yang belum diketahuinya siapa dan dua orang cucunya kehilangan ayah bunda!
Tentu hidup terasa makin tidak menyenangkan bagi orang setua dia, terasa makin sunyi. Tentu saja rumah di Sin-yang yang biasanya penuh kegembiraan dengan suara tawa dari dua orang cucunya, senyum manis mantunya, dan gelak tawa muridnya sekarang hanya membangkitkan kenangan yang telah lenyap.
Kita manusia hidup memang selalu menjadi permainan suka dan duka selama kita masih terbelenggu oleh segala ikatan. Selama batin kita masih belum bebas dari rasa takut akan kesunyian, kita selalu mencari sandaran dan kita mengikatkan diri dengan segala sesuatu yang dianggap akan mendatangkan kesenangan abadi. Kita selalu mengejar kesenangan dan menuntut kesenangan dari segala sesuatu sehingga kita mengikatkan diri dengan isteri, dengan keluarga, dengan kedudukan, dengan harta, dengan nama dan sebagainya.
Pengikatan diri dengan semua ini dasarnya karena diri pribadi yang selalu menonjolkan pencarian kesenangan baik kesenangan duniawi mau pun kesenangan rohani. Apa bila sewaktu-waktu kita diharuskan terpisah dengan semua itu, tentu saja menimbulkan duka dan sengsara yang sama artinya dengan kekecewaan karena kesenangan kita dirampas.
Sesungguhnya baik suka mau pun duka bersumber kepada hati dan pikiran kita sendiri, tergantung dari bagaimana kita menanggapi dan menghadapi semua yang terjadi pada diri kita. Kebanyakan orang menganggap bahwa kesenangan juga berarti kebahagiaan dan sumbernya terletak pada harta, kedudukan, nama dan sebagainya. Betapa bodohnya anggapan seperti itu, betapa dangkalnya.
Di manakah letaknya kekayaan? Apakah di kantong baju, di peti uang dan harta benda? Bukan, melainkan di dalam hati dan pikiran sendiri. Meski pun orang memiliki lima buah gunung emas, apa bila dia masih merasa kurang maka dia adalah miskin dan akan terus mengejar kekayaan dengan tamaknya. Orang yang mengantongi uang satu juta adalah orang miskin apa bila dia menginginkan barang yang harganya lebih mahal dari jumlah itu.
Orang tidak akan mampu menikmati, tidak akan mampu melihat keindahan, dari apa pun yang berada di dalam tangannya, betapa pun tinggi nilai benda itu, apa bila dia masih menginginkan barang yang lain dari pada yang telah dimilikinya. Dan orang yang selalu diperhamba oleh nafsu keinginannya, tak akan pernah merasa cukup dan takkan pernah dapat mengerti apa yang dinamakan keindahan, apa yang dinamakan kebahagiaan hidup.
Sebaliknya, orang yang sudah bebas batinnya dari semua ikatan, menghadapi kehidupan dan segala macam peristiwanya dengan hati terbuka, dengan perasaan lapang, dengan gembira maka dia tidak pernah tenggelam di dalam duka mau pun suka. Bagi dia, segala sesuatu yang terjadi di dunia ini mengandung hikmah kehidupan yang luar biasa, yang indah dan wajar sehingga dia tidak lagi mengenal apa artinya kecewa, karena dia tidak mengejar apa-apa, tidak mengharapkan apa-apa. Keadaan demikian ini akan membuat dia bebas dari suka duka, bebas dari arus lingkaran setan yang membuat manusia yang belum bebas dan belum sadar dalam bidupnya selalu jatuh bangun di antara suka dan duka.
Akan tetapi betapa menyedihkan karena kebanyakan dari kita menerima keadaan hidup seperti ini! Kita menerimanya sebagai hal yang ‘sudah semestinya’. Hidup yang penuh dengan duka nestapa, kesengsaraan, pertentangan dan permusuhan, benci dan iri hati, segala macam kepalsuan di segala lapangan dan dalam segala macam bentuk perang, pembunuhan dan kelaparan, di antara semua kengerian ini dan hanya kadang-kadang saja ada kesenangan yang hanya lewat bagaikan sinar kilat sekali-kali, dan kita sudah menerima kehidupan semacam ini sebagai hal yang semestinya!
Kita selalu mengejar kesenangan, dengan suka rela menghambakan diri pada pemuasan kesenangan sungguh pun kita tahu bahwa di balik dari semua kesenangan itu terdapat kesusahan yang mengintai dan siap menerkam korbannya, yaitu kita!
Tak ada kekuasaan apa pun di dunia ini dapat merubah semua kesengsaraan kehidupan yang bersumber dalam diri pribadi, kecuali kita sendiri. Bukan kita yang mengusahakan perubahannya. Kita tidak akan dapat merubah diri sendiri, namun dengan kewaspadaan dan kesadaran, dengan mengenal diri sendiri luar dan dalam, dengan pengawasan serta pengamatan setiap saat, akan timbul pengertian dan kesadaran, dan pengertian ini tanpa diusahakan, dengan sendirinya akan menghalau semua perintang dan penghalang dari perubahan.
Pengertian yang mendalam inilah yang penting, bukan segala macam pengetahuan mati mengenai filsafat atau kebatinan mana pun, karena pengetahuan-pengetahuan itu hanya akan menjadi slogan mati, klise-klise lapuk yang hanya akan diulang-ulang oleh mulut, bahkan diperalat untuk membanggakan diri belaka.
Pengikatan diri dengan semua ini dasarnya karena diri pribadi yang selalu menonjolkan pencarian kesenangan baik kesenangan duniawi mau pun kesenangan rohani. Apa bila sewaktu-waktu kita diharuskan terpisah dengan semua itu, tentu saja menimbulkan duka dan sengsara yang sama artinya dengan kekecewaan karena kesenangan kita dirampas.
Sesungguhnya baik suka mau pun duka bersumber kepada hati dan pikiran kita sendiri, tergantung dari bagaimana kita menanggapi dan menghadapi semua yang terjadi pada diri kita. Kebanyakan orang menganggap bahwa kesenangan juga berarti kebahagiaan dan sumbernya terletak pada harta, kedudukan, nama dan sebagainya. Betapa bodohnya anggapan seperti itu, betapa dangkalnya.
Di manakah letaknya kekayaan? Apakah di kantong baju, di peti uang dan harta benda? Bukan, melainkan di dalam hati dan pikiran sendiri. Meski pun orang memiliki lima buah gunung emas, apa bila dia masih merasa kurang maka dia adalah miskin dan akan terus mengejar kekayaan dengan tamaknya. Orang yang mengantongi uang satu juta adalah orang miskin apa bila dia menginginkan barang yang harganya lebih mahal dari jumlah itu.
Orang tidak akan mampu menikmati, tidak akan mampu melihat keindahan, dari apa pun yang berada di dalam tangannya, betapa pun tinggi nilai benda itu, apa bila dia masih menginginkan barang yang lain dari pada yang telah dimilikinya. Dan orang yang selalu diperhamba oleh nafsu keinginannya, tak akan pernah merasa cukup dan takkan pernah dapat mengerti apa yang dinamakan keindahan, apa yang dinamakan kebahagiaan hidup.
Sebaliknya, orang yang sudah bebas batinnya dari semua ikatan, menghadapi kehidupan dan segala macam peristiwanya dengan hati terbuka, dengan perasaan lapang, dengan gembira maka dia tidak pernah tenggelam di dalam duka mau pun suka. Bagi dia, segala sesuatu yang terjadi di dunia ini mengandung hikmah kehidupan yang luar biasa, yang indah dan wajar sehingga dia tidak lagi mengenal apa artinya kecewa, karena dia tidak mengejar apa-apa, tidak mengharapkan apa-apa. Keadaan demikian ini akan membuat dia bebas dari suka duka, bebas dari arus lingkaran setan yang membuat manusia yang belum bebas dan belum sadar dalam bidupnya selalu jatuh bangun di antara suka dan duka.
Akan tetapi betapa menyedihkan karena kebanyakan dari kita menerima keadaan hidup seperti ini! Kita menerimanya sebagai hal yang ‘sudah semestinya’. Hidup yang penuh dengan duka nestapa, kesengsaraan, pertentangan dan permusuhan, benci dan iri hati, segala macam kepalsuan di segala lapangan dan dalam segala macam bentuk perang, pembunuhan dan kelaparan, di antara semua kengerian ini dan hanya kadang-kadang saja ada kesenangan yang hanya lewat bagaikan sinar kilat sekali-kali, dan kita sudah menerima kehidupan semacam ini sebagai hal yang semestinya!
Kita selalu mengejar kesenangan, dengan suka rela menghambakan diri pada pemuasan kesenangan sungguh pun kita tahu bahwa di balik dari semua kesenangan itu terdapat kesusahan yang mengintai dan siap menerkam korbannya, yaitu kita!
Tak ada kekuasaan apa pun di dunia ini dapat merubah semua kesengsaraan kehidupan yang bersumber dalam diri pribadi, kecuali kita sendiri. Bukan kita yang mengusahakan perubahannya. Kita tidak akan dapat merubah diri sendiri, namun dengan kewaspadaan dan kesadaran, dengan mengenal diri sendiri luar dan dalam, dengan pengawasan serta pengamatan setiap saat, akan timbul pengertian dan kesadaran, dan pengertian ini tanpa diusahakan, dengan sendirinya akan menghalau semua perintang dan penghalang dari perubahan.
Pengertian yang mendalam inilah yang penting, bukan segala macam pengetahuan mati mengenai filsafat atau kebatinan mana pun, karena pengetahuan-pengetahuan itu hanya akan menjadi slogan mati, klise-klise lapuk yang hanya akan diulang-ulang oleh mulut, bahkan diperalat untuk membanggakan diri belaka.
"Sukong, mengapa begini sunyi? Ke mana perginya para pelayan?" Lie Seng berkata lagi dengan nada suara heran dan tidak enak.
Anak berusia dua belas tahun ini telah dapat merasakan kehebatan mala petaka yang menimpa keluarganya, dan kini, saat mendekati rumah di mana dia dilahirkan, dia merasa perubahan hebat karena rumah itu sekarang seolah-olah merupakan tempat berkabung di mana tidak ada lagi ayahnya, ibunya, dan adiknya.
"Aku juga merasa amat heran..." kakek itu berkata dan hatinya terasa kurang enak karena kesunyian pekarangan rumah itu memang amat mencurigakan.
Namun dia dan cucunya telah tiba di ruangan depan dan sudah terlambat karena tiba-tiba tampak bayangan berkelebatan dan tahu-tahu di ruangan depan itu berdiri empat orang laki-laki yang gerakannya ringan seperti setan.
Hong Khi Hoatsu belum pernah bertemu dengan keempat orang ini, maka dia menatap penuh perhatian, kemudian mengangkat tangan di depan dada sambil bertanya, "Maafkan apa bila saya tidak mengenal su-wi (anda berempat). Siapakah kalian dan su-wi mencari siapa?"
Orang yang tertua di antara mereka, seorang kakek berusia enam puluh lima tahun akan tetapi masih kelihatan muda dan berwajah tampan, yang memakai pakaian serba putih, tertawa dan berkata kepada kawan-kawannya, "Kalian berhati-hatilah. Tukang sulap ini boleh jadi kepandaiannya tidak berapa tinggi, akan tetapi ilmu sihirnya berbahaya. Kalau dia mengeluarkan ilmu sihirnya, lawan dengan sinkang dan tulikan telinga, butakan mata terhadap semua ucapan dan gerakannya."
Mendengar ini, Hong Khi Hoatsu terkejut. Maklumlah dia bahwa empat orang ini adalah orang-orang yang berilmu tinggi dan tentu membawa maksud buruk dengan kedatangan mereka yang aneh ini.
"Hong Khi Hoatsu, aku adalah Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok dan kedatangan kami adalah untuk bertemu dengan puteri dan cucu ketua Cin-ling-pai. Akan tetapi mereka tidak ada dan kebetulan kau datang. Kau adalah mertua puteri ketua Cin-ling-pai, hayo katakan di mana dia dan anak-anaknya?"
"Manusia-manusia jahat, mau apa kalian mencari ibuku?" Lie Seng yang masih dihimpit kedukaan itu menjadi marah sekali mendengar ucapan kakek itu. Hong Khi Hoatsu kaget sekali dan untuk mencegah cucunya bicara pun sudah terlambat.
"Ha-ha-ha, inikah puteranya? Anak baik, kau cucu ketua Cin-ling-pai? Ha-ha-ha, sungguh kebetulan sekali!"
Sementara itu, Hong Khi Hoatsu menekan debar jantungnya. Biar pun dia belum pernah bertemu dengan mereka ini, namun mendengar nama Pat-pi Lo-sian, dia tahu siapakah mereka ini karena di Cin-ling-san dia telah mendengar penuturan Cia Keng Hong tentang Lima Bayangan Dewa yang memusuhi Cin-ling-pai.
"Hemmm... masih kurang seorang lagi, bukankah Bayangan Dewa ada lima orang?" Hong Khi Hoatsu berkata. "Kalian datang berkunjung ada urusan apakah?"
"Ha-ha-ha, Hong Khi Hoatsu. Kami sudah kesal melihat rumah ini kosong, dan sungguh baik sekali engkau mengantar cucu ketua Cin-ling-pai kepada kami. Kau berikan anak itu kepada kami dan kami akan membiarkan engkau yang sudah tua ini untuk terus hidup beberapa tahun lagi."
Hong Khi Hoatsu menjadl merah mukanya. "Kiranya Lima Bayangan Dewa yang terkenal gagah karena telah berani menentang Cin-ling-pai itu hanyalah lima orang pengecut yang beraninya mengganggu anak kecil! Kalau memang gagah, mengapa kalian tidak langsung saja mendatangi Cin-ling-pai dan menantang ketuanya? Dia bersama isterinya sudah siap untuk membasmi kalian."
"Tua bangka cerewet! Serahkan anak itu atau terpaksa kami akan membunuhmu lebih dulu!"
"Haaiiitttt...! Siapa yang kau cari? Anak kecil ini tidak ada di sini!" Tiba-tiba saja Hong Khi Hoatsu berteriak dan... empat orang jagoan itu terkejut bukan main karena benar saja, tiba-tiba bocah itu lenyap berubah menjadi gulungan asap putih!
"Awas, jangan terpedaya. Serang...!" Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok berseru nyaring sambil mengerahkan khikang-nya hingga suaranya mengandung getaran dashsyat dan tubuhnya sudah bergerak ke depan mengirim pukulan bertubi-tubi secepat kilat dan mengandung kekuatan sinkang yang hebat ke arah Hong Khi Hoatsu.
"Plak-plak-plak...!"
Hong Khi Hoatsu berhasil menangkis serangan ini, akan tetapi dia langsung terhuyung karena tenaganya memang kalah kuat oleh Si Dewa Tua Berlengan Delapan itu. Dan tiga orang Bayangan Dewa yang lain sudah pula menyerang dengan pukulan-pukulan yang amat dahsyat.
Hong Khi Hoatsu mengelak ke sana-sini dan terhuyung-huyung dalam keadaan terdesak hebat. Dia maklum bahwa dalam hal ilmu kepandaian silat, meski pun hanya menghadapi seorang saja di antara mereka, belum tentu dia akan menang, apa lagi dikeroyok empat. Terutama sekali Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok benar-benar mempunyai kepandaian yang hebat dan tenaga sinkang yang besar.
Dia hanya dapat mengandalkan ilmu hoatsut (sihir). Akan tetapi karena empat orang itu sudah siap dan melindungi diri dengan kekuatan batin, kiranya tidak akan mudah baginya untuk dapat mempengaruhi mereka sekaligus.
"Berlutut engkau...!" bentaknya keras ketika pecut baja di tangan Toat-beng-kauw Bu Sit menyambar dan meledak di atas kepalanya.
Bu Sit terkejut dan biar pun tadi dia sudah diperingatkan oleh Pat-pi Lo-sian, tetap saja dia terkejut, lalu memandang sehingga tanpa dapat disadari atau dipertahankannya pula, dia sudah menjatuhkan diri berlutut sedangkan Liok-te Sin-mo Gu Lo It juga terhuyung karena dia juga memandang dan terpengaruh, biar pun sudah dia pertahankan dengan kekuatan batinnya.
"Ilmu setan!" Hok Hosiang yang berjulukan Sin-ciang Siauw-bin-sian (Dewa Tersenyum Bertangan Sakti) dan berkepala gundul itu dengan marah menggerakkan tangan kirinya.
Tasbih hijau yang merupakan senjata istimewanya itu menyambar dan berubah menjadi sinar hijau menyambar ke arah dada Hong Khi Hoatsu. Kakek ini kaget sekali dan cepat mengelak, akan tetapi tetap saja pundak kirinya keserempet dan dia roboh terguling.
"Jangan pukul kakekku!" Tiba-tiba Lie Seng berteriak dan tentu saja kini dia kelihatan lagi oleh empat orang itu yang menjadi sangat girang.
Karena Hong Khi Hoatsu terkena hantaman tasbih, maka pengaruh sihirnya terhadap dua orang tadi pun membuyar dan mereka sudah meloncat bangun kembali. Hong Khi Hoatsu juga sudah meloncat dan menghadapi empat orang lawan tangguh itu dengan hati penuh kekhawatiran, mengkhawatirkan cucunya.....