Petualang Asmara Jilid 29

"Bu-moi (Adik Bu)... terima ini...!"

Kwi-eng Niocu Ang Hwi Nio melemparkan bokor emas itu kepada adik angkatnya ketika dia terdesak oleh tiga orang datuk pria, yaitu Toat-beng Hoatsu, Ban-tok Coa-ong, serta Hek-bin Thian--sin yang sudah berhasil menyusulnya pada waktu Ketua Kwi-eng-pang itu melarikan diri sambil membawa bokor emas yang diterimanya dari Kun Liong.

Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci tentu saja cepat menyambut bokor emas yang melayang ke arahnya itu dan membawanya lari, sedangkan Kwi-eng Niocu berusaha mencegah tiga orang datuk yang hendak mengejar. Akan tetapi, tentu saja dia tidak sanggup menahan mereka bertiga dan kini Siang-tok Mo-li yang menjadi kejaran mereka. Tiga orang datuk pria mengejar untuk merampas bokor, ada pun Kwi-eng Niocu mengejar untuk membantu adik angkatnya itu.

Betapa cepatnya lari Siang-tok Mo--li, tetap saja dia tidak mampu membebaskan diri dari pengejaran para datuk itu. Tiga orang datuk pria itu mempunyai tingkat kepandaian yang amat tinggi, bahkan sedikit lebih tinggi dari pada tingkat kepandaian Siang-tok Mo-li, maka tidak lama kemudian ketiga orang datuk pria itu sudah berhasil menyusulnya dan segera mengepungnya.

"Siang-tok Mo-li, serahkan bokor itu kepadaku!" Toat-beng Hoatsu menubruk ke depan.

Siang-tok Mo-li terkejut, cepat dia meloncat ke kiri menghindar, akan tetapi sambil tertawa menyeramkan, Ban-tok Coa-ong sudah menyambutnya dengan lengannya yang panjang seperti ular itu menyambar untuk merampas bokor! Bu Leng Ci terkejut sekali, apa lagi melihat betapa Hek-bin Thian-sin juga sudah menerkamnya.

"Ang-cici (Kakak Ang), terimalah bokor ini...!" Dia berseru dan cepat melemparkan bokor melambung tinggi ke arah Kwi-eng Niocu yang sudah tiba di tempat itu.

Tentu saja Kwi-eng Niocu cepat menyambar bokor dan melarikan diri secepatnya. Ia ingin cepat-cepat tiba di Kwi-ouw, karena kalau dia sudah tiba di tempat perkumpulannya itu, dengan mengandalkan telaga yang penuh rahasia dan bantuan anak buahnya, tentu dia akan dapat melawan tiga orang datuk pria itu. Akan tetapi sayang sekali, Kwi-ouw (Telaga Setan) masih sangat jauh dan kini tiga orang datuk pria itu sudah mengejar lagi sambil berteriak-teriak.

"Wah, curang! Kalian berdua bersekongkol!" Ban-tok Coa-ong berteriak.

"Dasar perempuan. licik dan selalu hendak menipu kita kaum pria!" Toat-beng Hoatsu ikut mengomel sambil mempercepat larinya mengejar.

Hek-bin Thian-sin diam saja dan terus mengejar. Dia mendongkol sekali kenapa Legaspi Selado, tokoh asing botak yang sangat lihai itu, yang sudah berjanji akan membantunya memperebutkan bokor emas, masih juga belum muncul. Apa bila ada Si Botak Asing itu bersama pasukannya, tentu dia akan dapat merampas bokor dan mengatasi empat orang datuk lainnya.

Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci yang mengejar di sebelah belakang, tiba-tiba mengeluarkan suara melengking tinggi dua kali. Dari jauh terdengar lengkingan tinggi yang hampir sama, juga dua kali.

Bu Leng Ci tersenyum girang dan dia mempercepat larinya, akan tetapi tidak mengambil jalan yang sama seperti yang dilalui Kwi-eng Niocu dan tiga orang pengejarnya. Kwi-eng Niocu mengambil jalan mendaki naik ke pegunungan, ada pun Siang-tok Mo-li memotong jalan melalui sebelah bawah dari mana tadi dia mendengar suara melengking tinggi yang menyambut tanda rahasianya. Pada waktu dia tiba di seberang sebuah jurang, tampaklah olehnya di sebelah atas, terhalang oleh jurang itu, bayangan Kwi-eng Niocu sedangkan tiga orang pengejarnya sudah hampir menyusul Ketua Kwi-eng-pang itu.

"Ang-cici...! Lekas lemparkan ke sini...!" Bu Leng Ci berseru.

Ang Hwi Nio sedang gelisah karena tiga orang datuk itu sudah dekat sedangkan dia tidak melihat bayangan adik angkatnya. Saat mendengar suara ini dia menengok dan giranglah hatinya melihat orang yang dicari-carinya itu berada di sebelah bawah, terhalang jurang yang amat curam dan cukup lebar. Dia percaya bahwa dia mampu melemparkan bokor itu sampai ke seberang jurang dan dia percaya pula bahwa adik angkatnya cukup lihai untuk dapat menangkap bokor itu.

Melihat betapa tiga orang datuk pria sudah dekat, dia segera melontarkan bokor itu ke seberang jurang. Benda itu meluncur dengan cepat sekali ke arah Bu Leng Ci yang sudah berdiri dan siap menyambut. Bagaikan seekor burung garuda menyambar seekor burung dara, Siang-tok Mo-li meloncat dan berhasil menangkap bokor emas yang melayang dari atas itu.

"Ehh, ke mana kau membuang pusaka itu?" Toat-beng Hoatsu berteriak kaget, mengira bahwa Kwi-eng Niocu membuang bokor yang mereka perebutkan. Juga Ban-tok Coa-ong dan Hek-bin Thian-sin terkejut.

Bukan hanya tiga orang kakek itu yang terkejut, bahkan Kwi-eng Niocu juga kaget sekali ketika melihat betapa Siang-tok Mo-li setelah menerima bokor itu lalu melemparkan bokor itu ke seberang jurang lain dan bokor itu lenyap! Siang-tok Mo-li menoleh dan tersenyum lebar penuh ejekan, kemudian membalikkan tubuh dan sekali melompat tubuhnya lenyap di antara pohon-pohon!

Timbul kecurigaan di dalam hati Ang Hwi Nio, akan tetapi dia sudah dapat menghadapi tiga orang kakek itu sambil berkata mengejek, "Kalian ini tua-tua bangka mau apa lagi? Kalian tak akan dapat merampas bokor itu!"

Tiga orang kakek itu maklum bahwa mereka tidak mungkin melompati jurang ini tanpa bahaya maut mengancam mereka, namun untuk melakukan pengejaran, mereka harus menuruni bukit dan mengambil jalan memutar yang makan waktu lama dan tentu orang termuda dari lima datuk itu sudah pergi jauh entah ke mana!

"Ha-ha-ha-ha, sekali ini Kwi-eng Niocu menjadi seorang yang amat tolol dan mudah saja ditipu orang. Ha-ha-ha!"

Kwi-eng Niocu memandang Kakek Raja Ular itu dengan mata mendelik. Biar pun hatinya makin tidak enak, akan tetapi dia membentak, "Ban-tok Coa-ong! Engkau bicara seenak perutmu sendiri. Apa kau kira Kwi-eng Niccu takut menghadapi ular-ularmu yang hanya dapat kau pakai menakuti kanak-kanak itu?"

Akan tetapi kini Toat-beng Hoatsu juga berkata penuh penyesalan. "Ucapan Si Raja Ular benar sekali. Kwi-eng Niocu, apa kau kira Siang-tok Mo-li akan sedemikian lemah hatinya untuk membagi bokor itu denganmu? Hemmm…, aku berani bertaruh dua jari tangan! Dia tentu sudah lari minggat dengan membawa bokor itu bersama seorang sekutunya yang tadi menyambut bokor di seberang jurang di bawah itu."

Wajah Kwi-eng Niocu menjadi pucat sekali. "Celaka...! Giok-hong-cu...!"

"Siapa? Siapa itu Giok-hong-cu?" Hek-bin Thian-sin berseru.

"Siapa lagi? Muridnya. Celaka, perempuan iblis itu telah menipuku. Kalian benar. Mari kita kejar mereka sebelum mereka berlari terlalu jauh!" Kwi-eng Niocu segera meloncat dan berlari cepat turun dari bukit. Tiga orang kakek itu juga tidak mau ketinggalan dan mereka berempat segera lari bersicepat seperti berlomba menuruni bukit untuk mencari Bu Leng Ci dimulai di tempat di mana tadi Siang-tok Mo-li menerima bokor.

Empat orang datuk sesat ini laksana orang-orang yang lupa diri dan mereka melakukan pengejaran dan pencarian tanpa mengenal lelah. Seolah-olah hidup mereka bergantung kepada bokor emas itu! Seolah-olah hidup mereka akan menjadi hampa dan tak berarti apa bila mereka tidak mendapatkan bokor emas yang diperebutkan itu.

Bokor emas itu, yang mengandung rahasia besar yang didongengkan orang, pusaka dari Panglima Besar The Hoo yang sudah terkenal di seluruh dunia, merupakan satu-satunya tujuan bagi para datuk ini. Mereka merasa yakin bahwa bila mereka berhasil menguasai bokor emas, tentu mereka menjadi orang yang terkuat, terpandai, dan terkaya di dunia ini, dan tentu mereka tak akan kekurangan apa-apa lagi, dan karenanya dapat hidup bahagia!

Betapa tersesatnya pendapat seperti ini, dan betapa menyedihkan bahwa kita semua ini, disadari mau pun tidak, kita hidup dalam cengkeraman tujuan dan cita-cita seperti para datuk itu! Kita mengharapkan sesuatu, selalu mengharapkan, menginginkan sesuatu yang kita beri nama cita-cita muluk!

Padahal, mengapa kita harus bercita-cita? Mengapa kita harus mengharap dan beringin? Bukankah pengharapan dan keinginan ini akan menjadi penyebab dari kekecewaan dan kekhawatiran? Bila kita mengejar sesuatu yang dinamakan cita-cita, maka hati kita selalu diliputi kekhawatiran kalau-kalau kita gagal! Dan kalau sampai gagal, kita akan dirundung kecewa, merasa sengsara.

Padahal, kalau kita berhasil menguasai apa yang kita kejar dan kita namakan cita-cita itu, benarkah kita akan menemukan kebahagiaan? Berhasilnya cita-cita yang kita kejar itu, benarkah akan membebaskan kita dari duka dan kecewa, dari bosan dan dari khawatir?

Biasanya, sesuatu yang amat diinginkan, kalau sudah tergenggam tangan, hanya akan mendatangkan kepuasan sejenak saja, kemudian kita menjadi bosan dan kita mengejar yang lain lagi sehingga cita-cita menjadi lingkaran setan yang tiada putusnya, yang selalu mencengkeram selama hidup kita dan membuat hidup kita tak pernah bebas dan tenang!

Pengejaran cita-cita menandakan bahwa kita masih tidak dapat menghadapi dan mengerti keadaan apa adanya, dan sekali kita tidak merasa puas dengan keadaan apa adanya, maka selamanya kita takkan pernah merasa puas, apa dan bagaimana pun keadaan kita. Sekali kita dicengkeram oleh pengejaran cita-cita, maka hidup hanyalah merupakan derita karena kita tidak pernah dapat melihat dan menikmati saat sekarang, saat demi saat di mana kita sesungguhnya hidup, karena mata kita hanya ditujukan jauh ke depan, kepada esok, lusa, dan masa depan, sehingga saat ini, sekarang, tidak ada artinya lagi. Padahal saat ini atau sekarang inilah kita hidup!

Para datuk kaum sesat itu, demi untuk memperoleh bokor emas yang menjadi tujuan dan cita-cita mereka, tak segan-segan melakukan apa pun juga. Tak segan untuk membunuh, kalau perlu antara kawan sendiri.

Dan demikian pula dengan kita yang berlomba dalam mengejar cita-cita. Untuk berhasil dalam pengejaran ini, kita pun akan selalu menyingkirkan segala aral yang melintang di tengah jalan! Maka timbullah pertentangan, permusuhan, dan kebencian, dan semua itu dilapisi dengan kedok kebenaran dan keadilan yang pada hakekatnya adalah kebenaran dan keadilan demi kepentingan pribadi dan karenanya palsu. Bahkan di dalam kesesatan kita, tak segan-segan pula di antara kita manusia ada yang berpegang kepada semboyan ‘tujuan menghalalkan segala cara’!

Semboyan dan pendapat yang sungguh tidak patut! Cara tidaklah berbeda garis dengan tujuan. Mungkinkah mengusahakan perdamaian dengan peperangan? Apakah mungkin menghilangkan permusuhan dengan penindasan? Mengusahakan persahabatan dengan kemenangan? Cara yang buruk tidak mungkin sama sekali memperoleh tujuan yang baik, demikian pula, tujuan yang buruk tidak mungkin dilakukan dengan cara yang baik!

Sebulan kemudian, usaha pencaharian yang tekun dari keempat orang datuk itu dibagi menjadi dua kelompok. Sebetulnya mereka itu berpencar, akan tetapi karena saling curiga dan tidak ingin kalau orang lain menemukan tempat persembunyian Siang-tok Mo-li tanpa yang lain mengetahuinya, maka diam-diam mereka saling membayangi, atau lebih tepat lagi, Kwi-eng Niocu dan Hek-bin Thian-sin melanjutkan pencaharian mereka dengan arah yang sama, demikian pula Toat-beng Hoatsu dan Ban-tok Coa-ong saling membayangi.

Hek-bin Thian-sin dan Kwi-eng Niocu lebih tepat menentukan arahnya. Karena itu setelah mencari keterangan di sana sini, akhirnya pada suatu hari mereka tiba di depan goa di Bukit Burung Walet. Bukit itu terkenal sebagai sarang burung walet, maka dinamakan demikian, dan di situ terdapat banyak goa dan di dalam goa-goa inilah burung-burung itu bersarang. Sebuah di antara goa-goa itu kini dijadikan tempat sembunyi Siang-tok Mo-li dan Giok-hong-cu muridnya!

Hari sudah sore dan burung-burung walet beterbangan memasuki goa-goa yang sangat banyak itu. Kedua orang datuk kaum sesat itu masih belum tahu benar goa yang mana yang dijadikan tempat sembunyi orang yang dicarinya. Mereka berdiri di depan goa-goa dan memasuki goa yang gelap.

"Hemm, tak salah lagi, tentu di sana dia bersembunyi." Akhirnya Kwi-eng Nio-cu berkata sambil menuding ke arah sebuah goa yang agak besar di tengah-tengah kumpulan goa itu.

Hek-bin Thian-sin memandang. Mula-mula dia tidak dapat menduga mengapa Kwi-eng Niocu dapat menentukan demikian, akan tetapi dia pun bukan orang bodoh dan segera dia dapat melihat perbedaan keadaan goa yang satu ini dengan yang lain. Burung-burung walet yang beterbangan itu, memasuki goa-goa yang lain dengan cepat tanpa ragu-ragu, akan tetapi burung-burung yang hendak memasuki goa yang dimaksudkan itu, tak segera terbang masuk melainkan beterbangan ke sana-sini di depan goa, seakan-akan mereka segan masuk atau ada sesuatu di dalam goa itu yang mereka takuti.

"Memang, di sanalah dia bersembunyi!"

Seperti dikomando saja, keduanya berloncatan dan dengan beberapa loncatan saja, dua orang datuk yang berilmu tinggi itu telah tiba di depan goa yang dimaksudkan tadi. Goa itu besar dan gelap, juga karena agak dalam maka ujungnya tidak kelihatan dari luar.

"Bu Leng Ci, keluarlah engkau! Kami telah tahu bahwa engkau bersembunyi di dalam goa ini! Apa kau minta kami membakar dan mengasapi goa lebih dulu sehingga kau terpaksa keluar seperti seekor kelinci dari dalam lubang? Ha-ha-ha!" Hek-bin Thian-sin berteriak.

"Plok! Plok!"

Dua ekor burung walet yang sedang beterbangan di atas kepala kedua orang datuk itu, tiba-tiba jatuh di depan kaki mereka dan ternyata dua ekor burung itu telah tewas dengan tubuh berlubang-lubang terkena Siang-tok-soa (Pasir Beracun Wangi).

"Bu Leng Ci, engkau anjing betina, pengkhianat!" Kwi-eng Niocu memaki dengan marah.

"Ang-cici, aku sudah menantimu sampai lama sekali di sini! Aku tetap menjadi sekutumu! Mari kita bunuh Si Muka Hitam itu dan bokor ini kita nikmati berdua!"

Akan tetapi Kwi-eng Niocu sudah terlalu marah karena dikhianati dan dia tidak percaya lagi kepada Siang-tok Mo-li, maka dia berkata, "Tidak perlu banyak cerewet. Aku datang untuk membunuhmu dan merampas bokor!"

"Serrr... serrr...!"

Sinar hijau menyambar ke arah kedua orang datuk itu. Tentu saja dua orang sakti yang sudah bersiap sedia ini dapat cepat mengelak dan menghindarkan diri dari ancaman maut Siang-tok-soa. Hek-bin Thian-sin tertawa bergelak dengan nada mengejek.

"Hek-bin Thian-sin!" terdengar teriakan Bu Leng Ci dari dalam goa, "Mari kau bantu aku membunuh Kwi-eng Niocu, dan bokor kita nikmati berdua! Kalau kau tidak mau bersekutu dengan aku, mana mungkin engkau menghadapi dia dan dua orang kakek tua bangka yang lain?"

Kwi-eng Niocu terkejut sekali dan dia sudah siap menghadapi kalau-kalau Si Muka Hitam itu dapat terkena bujukan Bu Leng Ci yang amat licik itu. Hek-bin Thian-sin meraba-raba dagunya sambil mengerutkan alisnya, kelihatan ragu-ragu sekali kembali memandang ke arah Kwi-eng Niocu. Kemudian dia mengomel,

"Hemm... hemm, usulmu itu sebetulnya baik juga... tapi..."

"Thian-sin, jangan gila kau!" Kwi-eng Niocu langsung berseru. "Begitu bodoh tertipu oleh anjing betina itu!"

Saat itu dari dalam goa berkelebat bayangan Bu Leng Ci, didahului pedang samurainya yang menjadi sinar terang menyambar ke arah Kwi-eng Niocu. Tentu saja Kwi-eng Niocu sudah cepat meloncat ke belakang untuk menghindar, kemudian kembali menerjang maju mempergunakan senjatanya yang tidak kalah ampuhnya dengan segala macam senjata tajam, yaitu kuku-kuku tangannya yang panjang dan beracun!

"Hek-bin Thian-sin, kau pilih saja! Mau tikus betina tua yang berbahaya ini atau aku yang memegang bokor emas!" Bu Leng Ci masih berteriak sambil menggerakkan samurainya menghadapi Kwi-eng Niocu.

Hek-bin Thian-sin masih berdiri termangu dan memandang dua orang wanita yang sudah bertanding dengan hebat itu.

Di dalam pikirannya terjadi perang sendiri. Membantu yang mana? Kalau dia membantu, tentu seorang di antara dua wanita ini akan kalah dan tewas, dan dia memperhitungkan kemungkinan-kemungkinannya, tentu saja dengan menekankan keuntungan bagi dirinya sendiri. Senjatanya yang sangat menyeramkan, yakni sebatang golok besar yang tajam mengkilap, telah siap di tangan kanannya.

Pertandingan yang terjadi antara dua orang wanita lihai itu, amat seru dan mati-matian. Pedang samurai yang panjang melengkung sedikit itu sudah lenyap bentuknya, berubah menjadi segulung cahaya terang yang berkeredepan.

Akan tetapi, gerakan Kwi-eng Niocu bukan main gesitnya. Memang, datuk wanita ini amat terkenal dengan ilmu ginkang-nya sehingga tubuhnya menjadi amat ringan, gerakannya cepat sampai bayangannya lenyap dan karena kelihaian ilmu ginkang-nya inilah maka dia dijuluki Si Bayangan Hantu!

Biar pun dia tidak memegang senjata, tapi sepuluh buah kuku jari tangannya merupakan senjata-senjata yang amat ampuh, karena jangankan sampai terkena tusukan, tapi baru terkena guratan sebuah di antaranya saja sudah cukup untuk merobohkan lawan! Namun, menghadapi Bu Leng Ci yang dia tahu amat lihai ilmu pedang samurainya yang tajam itu, dia harus berhati-hati, karena betapa pun kuat kukunya, kalau sampai terkena sabetan samurai tentu akan patah.

Kedua orang wanita ini bertanding dengan bimbang, terutama sekali Kwi-eng Niocu yang khawatir kalau-kalau Si Muka Hitam itu terkena bujukan Bu Leng Ci sehingga akan maju mengeroyoknya. Rasa bimbang inilah yang membuat pertandingan itu menjadi seimbang, biar pun sebenarnya tingkat kepandaian Ketua Kwi-eng-pang ini masih menang setingkat dibandingkan dengan lawannya.

Tiba-tiba Hek-bin Thian-sin tertawa bergelak dan berseru nyaring, "Ha-ha-ha! Mampuslah kau!" Goloknya berkelebat menyambar ke arah leher Kwi-eng Niocu!

Ketua Kwi-eng-pang ini kaget dan cepat mengelak, akan tetapi tahu-tahu golok itu sudah menyeleweng dan dengan kecepatan yang tidak terduga-duga sudah membacok ke arah tubuh Bu Leng Ci! Kiranya kakek muka hitam itu tadi hanya menyerang Kwi-eng Niocu secara palsu untuk mengalihkan perhatian Bu Leng Ci, padahal yang menjadi sasaran goloknya sebenarnya adalah Siang-tok Mo-li.

Keputusan ini diambil dan membuktikan kelihaian dan kecerdikan Si Muka Hitam ini. Biar pun bokor berada di tangan Bu Leng Ci, akan tetapi dia telah mengambil keputusan untuk membantu Kwi-eng Niocu. Dia teringat akan keterangan Kwi-eng Niocu bahwa Bu Leng Ci mempunyai seorang murid yang berjuluk Giok-hong-cu, dan dia sudah mendengar pula akan kelihaian Giok-hong-cu.

Bu Leng Ci muncul sendirian dan bokor emas tidak berada di tangannya, tentu berada di tangan Giok-hong-cu itu. Kalau dia membantu Bu Leng Ci dan mereka berdua berhasil membunuh Kwi-eng Niocu, berarti bahwa dia akan berhadapan dengan Bu Leng Ci dan muridnya itu. Ilmu kepandaiannya hanya menang setingkat dibandingkan dengan Bu Leng Ci, maka kalau Siang-tok Mo-li itu dibantu oleh muridnya yang lihai juga, mana dia akan mampu menang?

Sebaliknya, kalau dia membantu Kwi-eng Niocu, tentu Bu Leng Ci serta muridnya dapat dirobohkan, dan kemudian dia hanya akan berhadapan dengan Kwi-eng Niocu seorang! Tentu saja lebih ringan dan lebih besar harapannya untuk dapat merampas bokor.

Bu Leng Ci terkejut bukan main. Dia sama sekali tidak pernah menyangka bahwa Si Muka Hitam itu akan menyerangnya. Tadi ketika mendengar seruan kakek itu dan melihat golok menyambar ke arah Kwi-eng Niocu, dia sudah merasa girang bukan main. Siapa mengira bahwa golok itu tiba-tiba membalik dan menyerangnya sedemikian cepat dan hebatnya! Karena itu dia agak terlambat menggerakkan samurainya menangkis.

"Cringggg...!"

Bu Leng Ci berhasil menyelamatkan diri dari sambaran golok dengan tangkisannya, akan tetapi karena dia terlambat menangkis dan kedudukannya tidak baik, maka dia terhuyung dan pada saat itu dia merasa pundaknya perih dan panas!

"Siluman betina...!" Dia memaki dan terdengar suara ketawa Kwi-eng Niocu yang sudah berhasil mencengkeram dan melukai pundak Bu Leng Ci.

Dengan kemarahan meluap, Bu Leng Ci tak mempedulikan lagi sambaran golok di tangan Hek-bin Thian-sin, samurainya lantas meluncur bagai sambaran halilintar ke arah Kwi-eng Niocu. Serangan nekat ini membuat Kwi-eng Niocu terkejut, dan terpaksa dia mengelak. Melihat samurai masih mengancamnya, terpaksa dia menggunakan ujung kuku tangan kirinya menangkis.

"Trakkk...!"

Dia berhasil menyelamatkan dirinya, akan tetapi dia harus mengorbankan lima kuku jari tangan kirinya yang terbabat putus semua! Dan pada saat itu, golok Hek-bin Thian-sin telah melukai paha kanan Bu Leng Ci. Wanita ini terguling, akan tetapi sambil memutar samurainya, dia sudah meloncat lagi, tidak mempedulikan darah yang muncrat-muncrat keluar dari luka di pahanya.

"Bi Kiok...! Lari...!" Dia menjerit.

Tepat seperti diduga oleh Hek-bin Thian-sin, murid Siang-tok Mo-li memang bersembunyi di dalam goa sambil menunggu tanda dari gurunya. Kalau bujukan gurunya berhasil dan Kwi-eng Niocu dapat dirobohkan, dia akan keluar untuk membantu gurunya mengeroyok Hek-bin Thian--sin.

Akan tetapi betapa terkejutnya ketika dari tempat pengintaiannya dara ini melihat keadaan berubah dan terbalik sama sekali. Malah gurunya yang dikeroyok oleh dua orang datuk itu, dan kini gurunya terluka hebat. Sebetulnya ingin dia mengamuk, membela gurunya, akan tetapi karena memang semua telah diatur gurunya, semenjak mereka melarikan diri setelah berhasil menguasai bokor emas, Bi Kiok tidak berani melanggar perintah dan dia lalu melompat keluar dari dalam goa dan terus melarikan diri.

"Haii, hendak ke mana engkau?!"

Hek-bin Thian-sin yang memang telah memperhitungkan hal ini bisa bergerak lebih cepat dari pada Kwi-eng Niocu. Dia sengaja mendekati mulut goa sambil membiarkan Kwi-eng Niocu melampiaskan kemarahannya kepada Bu Leng Ci karena kehilangan kuku-kuku jari tangan kiri, sedangkan dia sendiri begitu melihat berkelebatnya bayangan seorang dara cantik, cepat menubruk maju.

"Singggg...!"

Sinar terang meluncur ke arah kakek itu saat Yo Bi Kiok atau yang berjuluk Giok-hong-cu menusukkan pedangnya kepada kakek yang menghadang di depannya.

"Trangggg...!"

Golok besar itu menangkis dengan pengerahan tenaga hebat sekali, membuat pedang itu terpental dan hampir terlepas dari tangan Bi Kiok! Dara itu maklum bahwa dia tidak boleh terlalu lama melayani lawannya yang amat tangguh, maka sesuai dengan rencana yang telah diatur gurunya, dia melemparkan bokor emas jauh ke kiri.

Melihat hal ini, Hek-bin Thian-sin segera mendorongkan tangan kirinya ke arah Bi Kiok. Pukulan jarak jauh ini dahsyat sekali dan Bi Kiok yang tidak menyangkanya, dilanda hawa pukulan sehingga terjengkang. Dadanya terasa panas dan napasnya sesak, akan tetapi dia dapat meloncat bangun dan cepat melarikan diri dari tempat itu. Hek-bin Thian-sin tertawa bergelak ketika dia menyambar bokor emas dengan tangan kirinya, lalu cepat membalikkan tubuh ke arah Kwi-eng Niocu dengan golok siap di tangan kanan.

Kwi-eng Niocu sudah berhasil merobohkan Bu Leng Ci. Kegemasannya terhadap adik angkat yang sebenarnya diangkat adik hanya untuk memenuhi muslihat masing-masing, karena Bu Leng Ci telah mengkhianatinya dan telah mematahkan lima kuku jari tangan kirinya, membuat Ketua Kwi-eng-pang ini seperti gila.

Mula-mula, sebuah tangannya berhasil melemparkan samurai dari genggaman tangan Bu Leng Ci yang terluka parah, terkena racun kuku jari Kwi-eng-pang dan pahanya terluka hebat oleh golok Hek-bin Thian-sin. Namun Bu Leng Ci yang sudah maklum akan bahaya maut yang mengancam nyawanya, masih nekat melakukan perlawanan, justru menubruk maju dengan kedua tangan hendak mencengkeram, kedua tangan yang sudah merobek banyak dada pria untuk mengambil jantungnya dan memakannya itu, jari tangan yang amat kuat seperti baja.

Akan tetapi karena dia sudah terluka, maka gerakannya kurang cepat dan Kwi-eng Niocu yang maklum pula betapa bahayanya lawan yang sudah menjadi nekat, cepat miringkan tubuh mengelak sehingga tubuh Bu Leng Ci terdorong ke depan oleh gerakannya sendiri. Saat itu dipergunakan oleh Kwi-eng Niocu untuk mencengkeram ubun-ubun kepala lawan dari samping.

"Krekkk...! Auuugghhh...!"

Bu Leng Ci yang sangat terkenal dengan julukan Siang-tok Mo-li, yang di daerah pantai laut selatan namanya amat terkenal dan ditakuti seperti iblis, kini menjerit mengerikan dan agaknya nyawanya melayang pergi bersama jeritannya itu.

Setelah melihat lawannya tewas, Kwi-eng Niocu lalu memandang Hek-bin Thian-sin yang tersenyum-senyum memandangi bokor emas di tangannya.

"Hek-bin Thian-sin, karena kita berdua yang menemukan bokor itu, dan aku pula yang membunuh Siang-tok Mo-li, maka sudah sepatutnya kalau kita berdua yang berhak atas pusaka itu."

"Ha-ha-ha, Kwi-eng Niocu. Terhadap Siang-tok Mo-li saja aku sudah tidak dapat terbujuk, apa lagi menghadapi engkau. Tentu saja aku tidak percaya. Jika kau mampu, boleh kau coba merampas bokor ini dari tanganku!" Kakek muka hitam itu memegang bokor dengan tangan kiri sedangkan golok di tangan kanannya dikelebatkan.

Kwi-eng Niocu bukanlah seorang bodoh. Ketika dalam keadaan tidak terluka sekali pun, kekuatannya seimbang dibandingkan dengan Si Muka Hitam itu dan meski pun dia tidak takut, agaknya dia harus mengeluarkan seluruh ilmu kepandaiannya untuk memenangkan datuk timur ini.

Akan tetapi sekarang dia sudah kehilangan lima buah kuku jari tangan kirinya. Meski pun dia tak terluka, akan tetapi mala petaka ini baginya lebih hebat dari pada kalau dia terluka karena kini dia kehilangan separuh dari senjatanya dan karenanya dia tidak akan dapat bergerak secara leluasa.

Dalam keadaan seperti sekarang ini, melawan Hek-bin Thian-sin sama artinya dengan membunuh diri secara konyol. Tentu saja dia tidak sudi membunuh diri. Masih banyak waktu untuk kelak berusaha merampas bokor itu dari tangan Si Muka Hitam. Bukankah tidak ada orang lain yang tahu bahwa bokor yang diperebutkan itu kini berada di tangan Hek-bin Thian-sin? Maka dia tidak menjawab, bahkan cepat dia membalikkan tubuh dan lari pergi dari tempat itu sebelum datuk dari timur itu berpikir lain.

Dan memang kepergian Kwi-eng Niocu ini tidak terlambat dan tepat sekali karena setelah datuk wanita itu pergi, Hek-bin Thian-sin mengerutkan alis dan merasa menyesal kenapa dia tidak membunuh saja Kwi-eng Niocu yang ketika itu sudah kehilangan semua kuku tangan kirinya. Sekarang dia maklum bahwa setidaknya masih ada bahaya mengancam kepadanya dari satu jurusan, yaitu dari Kwi-ouw tempat tinggal Ketua Kwi-eng-pang itu.

Akan tetapi kegembiraan memperoleh bokor emas yang diidam-idamkan itu membuat dia segera melupakan hal ini dan cepat dia pun lari pergi menuju ke timur karena dia berniat untuk bersembunyi di pantai timur, tempat di mana dia menjadi datuknya dan diam-diam memeriksa rahasia bokor emas yang kabarnya di samping mengandung rahasia tempat penyimpanan harta karun yang jumlahnya amat besar, juga mengandung rahasia tempat penyimpanan kitab-kitab pelajaran kesaktian dari Panglima Besar The Hoo!

Dia harus cepat-cepat menyelamatkan diri dan menghindarkan diri dari pengejaran dua orang kakek datuk lainnya, yaitu Toat-beng Hoatsu dan Ban-tok Coa-ong, dua orang yang dia tahu sangat sakti dan lebih lihai dari pada dia sendiri. Di samping ini, juga dia harus menghindarkan pertemuan dengan kakek asing botak Legaspi Selado yang selain lihai juga mempunyai banyak kaki tangan, bahkan bersekutu dengan pasukan pemberontak.

Tadinya memang dia telah menceritakan tentang bokor kepada Legaspi sehingga menarik perhatian kakek itu yang telah berjanji untuk membantunya. Akan tetapi setelah kini bokor terjatuh ke dalam tangannya, dia merasa tidak perlu lagi untuk berurusan dengan kakek asing itu!

Ternyata bahwa Hek-bin Thian-sin terlalu memandang rendah pada Legaspi Selado. Dia sama sekali tidak mengira bahwa kakek asing yang botak itu selain berkepandaian tinggi, juga sangat cerdik, jauh lebih cerdik dari pada datuk timur ini! Maka, dapat dibayangkan betapa kaget hati Hek-bin Thian-sin ketika dia menuruni bukit dan sampai di hutan yang mengurung kaki bukit, mendadak muncul Legaspi Selado di depannya sambil tersenyum lebar!

Terlambat bagi Hek-bin Thian-sin untuk menyembunyikan bokor emas itu, maka dengan jantung berdebar dia mendengar kakek asing botak itu menegurnya. "Ahai sahabatku yang baik Hek-bin Thian-sin Louw Ek Bu! Siapa mengira bahwa kita bertemu di sini dan ternyata engkau sudah berhasil menemukan bokor emas itu. Bagus! Mari kita bawa ke kapalku dan di sana kita mencari rahasia bokor itu, sahabatku yang baik!"

Biar pun dia terkejut dan khawatir melihat munculnya kakek asing yang sama sekali tidak disangka-sangkanya ini, namun mendengar ucapan itu, Hek-bin Thian-sin menjadi marah. Dia maklum bahwa Legaspi memiliki kepandaian tinggi, namun dia tidak takut.

"Legaspi Selado, bokor ini adalah aku sendiri yang mendapatkannya, maka tidak mungkin dapat kubagi dengan siapa pun juga."

"Hemmm, begitukah...?" Kakek botak itu tiba-tiba mengeluarkan suara bersuit nyaring dan bermunculanlah belasan orang dari balik pohon-pohon di sekeliling tempat itu.

Mereka ini adalah para perwira pemberontak yang berhasil menyelamatkan diri dan lari pada saat Ceng-to diserbu oleh pasukan pemerintah yang dipimpin sendiri oleh Pendekar Sakti Cia Keng Hong. Bekas perwira ini menyamar dengan pakaian preman, kemudian dipergunakan oleh Legaspi Selado yang juga dapat melarikan diri bersama teman-teman sebangsanya. Kini, atas isyarat yang diberikan kakek botak itu, mereka sudah mencabut senjata golok dan pedang, mengurung Hek-bin Thian-sin.

"Legaspi Selado, mau apa kau?!" Hek-bin Thian-sin membentak.

"Ha-ha-ha, Tuan Low Ek Bu! Engkau memang seorang yang murka dan khianat. Ketika di Ceng-to engkau telah meninggalkan kami. Sekarang, dengan baik aku mengajakmu untuk bersama-sama menyelidiki rahasia bokor, akan tetapi engkau ingin menguasainya sendiri saja. Karena itu, aku tidak sudi lagi bersahabat denganmu. Engkau adalah musuhku dan kau harus menyerahkan bokor atau nyawamu!"

"Anjing biadab asing keparat!" Hek bin Thian-sin memaki dan golok di tangannya sudah diputar cepat sekali, berubah menjadi segulung sinar menyilaukan mata dan datuk timur ini pun mengamuk.

Dua orang bekas perwira yang menangkis goloknya, berteriak pada saat pedang mereka patah-patah dan golok terus menyambar ke arah tubuh mereka, merobek dada dan perut sehingga mereka roboh dan tewas seketika. Seorang lain yang menusukkan pedang dari belakang dapat dielakkan oleh Hek-bin Thian-sin, dan goloknya menyambar lagi. Pedang itu kena dihantam dari samping sehingga mencelat dan pedang itu menancap di dada kiri seorang pengeroyok yang memekik nyaring dan roboh telentang, tewas pula.

Amukan Hek-bin Thian-sin amat hebat. Kepandaian datuk ini tak dapat dilawan oleh para bekas perwira. Melihat ini, Legaspi menjadi marah sekali. Segera dilolosnya pecut dari pinggangnya, lalu pecut itu digerakkan cepat sekali, meledak-ledak, menyambar ke atas kepala Hek-bin Thian-sin.

"Tar-tar-tar-tarrr...!"

Hek bin Thian-sin cepat mengelak dan membabatkan golok di sekeliling tubuhnya dengan kecepatan luar biasa. Kembali ada tiga orang pengeroyok roboh dan darah muncrat dari luka-luka mereka.

"Mundur semua...!" Legaspi Selado berteriak marah melihat enam orang anak buahnya tewas akibat sepak terjang lawan yang hebat itu. Dia sendiri sudah menerjang maju dan terjadilah kini pertandingan yang amat seru.

Legaspi Selado memperoleh ilmu cambuknya dari Nepal, dilatih oleh seorang ahli cambuk yang banyak terdapat di negara itu. Selain ini, Legaspi sudah banyak mempelajari ilmu silat dan mempunyai sinkang serta ginkang yang tinggi.

Namun, Hek-bin Thian-sin adalah seorang datuk timur yang lihai. Dengan bokor di tangan kiri kakek ini menggerakkan goloknya, kadang-kadang bertubi-tubi menyerang, kadang kala golok diputarnya sedemikian rupa sehingga tubuhnya terlindung oleh gulungan sinar, membuat ancaman dan serangan ujung cambuk gagal semua.

Selama berkenalan dengan Hek-bin Thian-sin, baru sekali ini Legaspi Selado bertanding melawan bekas sekutu ini. Maka, dia yang terlalu mengandalkan kepandaian sendiri dan memandang rendah orang lain, ketika melihat betapa cambuk saktinya yang selama ini sukar menemukan tanding namun kini tak dapat berbuat banyak menghadapi datuk timur ini, menjadi terkejut bukan main.

"Tar-tar-tar... wuuttttt...!"

Sekarang dia merobah gerakan pecutnya. Ujung cambuk itu menjadi cahaya hitam yang melingkar-lingkar di atas, kemudian meluncur ke bawah dan tahu-tahu telah melibat golok Hek-bin Thian-sin. Datuk ini kaget sekali, tentu saja mempertahankan goloknya dengan pengerahan sinkang-nya. Terjadi tarik-menarik, keduanya mengerahkan tenaga sinkang.

"Trakkk...! Brettt...!"

Golok patah tengahnya, ada pun cambuk juga putus bagian tengahnya. Kedua orang itu mendengus marah, melempar gagang golok dan gagang cambuk, lantas mereka saling menerjang dengan tangan kosong!

Akan tetapi karena Hek-bin Thian-sin menggunakan tangan kirinya untuk memeluk bokor emas, maka dia hanya mempergunakan tangan kanan dan hal ini membuat dia terdesak hebat. Selagi kakek ini mencari jalan ke luar untuk melarikan diri, tiba-tiba terdengar suara tertawa halus dan dari atas melayang sesosok tubuh yang langsung menerjang dua orang yang sedang bertanding. Begitu terjun dari atas, tangan kiri orang itu mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala Hek-bin Thian-sin dengan gerakan yang dahsyat sekali.

"Aihhh...!"

Hek-bin Thian-sin berteriak kaget, maklum bahwa serangan ke arah ubun-ubun kepalanya itu dapat mendatangkan maut! Maka segera dia menangkis dengan tangan kirinya dan pada saat itu juga, tangan kanan Toat-beng Hoatsu sudah merampas bokor emas yang dipegang erat-erat oleh tangan kiri datuk timur.

"Heii... kembalikan!" Hek-bin Thian-sin berseru.

"Serahkan bokor itu kepadaku!" Legaspi Selado juga berteriak.

Dua orang kakek ini mengulurkan tangan untuk merampas bokor, akan tetapi dengan gerakan sangat ringan, Toat-beng Hoatsu sudah mencelat ke atas, berjungkir balik dan tertawa melihat betapa Legaspi dan Hek-bin Thian-sin bertumbukan pada waktu berebut merampas bokor.

Tubrukan ini digunakan oleh Legaspi untuk menghantam ke arah dada Hek-bin Thian-sin. Melihat gerakan ini, Toat-beng Hoatsu yang sudah meluncur turun itu pun menggunakan telapak tangan kirinya untuk menghantam punggung Hek-bin Thian-sin. Diserang secara berbareng oleh kedua orang kakek sakti itu, dari depan dan belakang, Hek-bin Thian-sin terkejut, mengerahkan sinkang dan berusaha menangkis.

Namun terlambat. Dada dan punggungnya terpukul, dia berkelojot, matanya terbelalak, mulutnya menyemburkan darah segar, kedua tangannya masih berusaha untuk memukul kedua orang lawan itu. Namun, begitu Legaspi dan Toat-beng Hoatsu meloncat mundur, Hek-bin Thian-sin Louw Ek Bu terguling roboh dan tewas seketika. Tentu saja isi dadanya remuk terkena hantaman dua orang sakti dari depan dan belakang itu.

Legaspi Selado memandang kepada Toat-beng Hoatsu dengan mata terbelalak lebar. Dia belum pernah bertemu dengan kakek ini, akan tetapi dari keterangan Hek-bin Thian-sin ketika masih menjadi sekutunya, dia telah mendengar tentang empat orang datuk kaum sesat lainnya, maka kini melihat Toat-beng Hoatsu, segera dia dapat menduganya.

"Toat-beng Hoatsu, berikan bokor itu kepadaku!" bentaknya sambil meloncat ke depan dan serta merta dia memukul dengan kedua tangannya bergantian.

"Ha-ha-ha, anjing asing kau hendak ikut-ikut memperebutkan bokor?!" Toat-beng Hoatsu menangkis.

"Dess! Dess! Plak-plak-plakkk!"

Pertemuan kedua tangan secara bertubi ini membuat keduanya terhuyung ke belakang dan keduanya terkejut sekali. Pertemuan tangan mereka tadi telah membuktikan betapa masing-masing memiliki tenaga sinkang yang berimbang atau kalau ada selisihnya pun tidak banyak. Toat-beng Hoatsu yang sudah berhasil merampas bokor, segera meloncat jauh ke belakang dan melarikan diri keluar dari hutan itu.

"Kejar...!" Legaspi Selado berseru sambil lari mengejar, diikuti oleh sisa anak buahnya.

Akan tetapi, tiba-tiba tampak beberapa orang yang riap-riapan rambutnya melepas anak panah berapi sehingga terjadilah kebakaran di hutan itu yang menghadang Legaspi dan anak buahnya. Ternyata mereka itu adalah orang-orang Nepal yang menjadi anak buah Toat-beng Hoatsu!

Pada saat Toat-beng Hoatsu bersama tiga orang datuk lain secara berpencar menyelidiki larinya Siang-tok Mo-li, dia bersama Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok telah berunding dan bermufakat untuk bekerja sama. Mereka maklum bahwa kalau seorang di antara mereka berhasil mendapatkan bokor, tentu mereka akan terpaksa saling bunuh dan mereka tidak akan pernah dapat hidup aman dengan bokor di tangan.

Maka, mereka mengambil keputusan untuk bekerja sama sehingga kedudukan mereka kuat, dan Ban-tok Coa-ong malah menawarkan tempat persembunyiannya di Pulau Ular. Orang-orang Nepal itu merupakan para pembantu Ban-tok Coa-ong pula yang kemudian dibagi menjadi dua, sebagian membantu Toat-beng Hoatsu dan sebagian pula membantu Ban-tok Coa-ong untuk mencari secara terpisah.

Akhirnya Toat-beng Hoatsu yang berhasil lebih dulu dan bersama anak buah orang-orang Nepal itu dia melarikan diri ke pantai di mana sudah menanti sebuah perahu besar yang diberi nama Angin Barat. Toat-beng Hoatsu beserta anak buahnya disambut oleh Ban-tok Coa-ong yang telah kembali ke perahu dulu. Tentu saja Ban-tok Coa-ong menjadi girang sekali.

"Biarkan Angin Barat berangkat sendiri, kita berdua menggunakan perahu kecilku!" kata Ouwyang Kok Si Raja Ular itu.

"Mengapa begitu? Bukankah lebih aman naik Angin Barat yang besar?" Toat-beng Hoatsu bertanya.

"Benda ini dicari oleh banyak sekali orang pandai di dunia kang-ouw dan menurutkan ceritamu tadi, tentu Legaspi Selado tak akan tinggal diam begitu saja. Orang-orang asing itu memiliki kapal besar yang jauh lebih kuat dari pada perahu kita, maka kalau sampai kita tersusul di tengah lautan, tentu akan berbahaya sekali. Kapal asing itu mempunyai senjata api besar berupa meriam dan kalau perahu besar kita tenggelam, apa yang dapat kita lakukan? Lebih baik kita naik perahu kecil, perahu nelayan sehingga tidak ada yang menaruh curiga. Kalau kita sudah tiba di Pulau Ular, kita tidak perlu khawatir lagi terhadap serbuan musuh."

Toat-beng Hoatsu mengangguk-angguk, memuji kecerdikan dan sikap yang berhati-hati ini. Mereka mendahului berangkat dengan sebuah perahu layar kecil yang meluncur cepat walau pun pagi itu tiada angin, karena dua batang dayung digerakkan oleh dua pasang tangan yang memiliki kekuatan dahsyat.....

Traktiran: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan) ataupun bisa melalui via Trakteer yang ada dibawah

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar