Mendengar penuturan para tokoh kang-ouw yang menceritakan kepada mereka tentang kelihaian lima orang datuk kaum sesat ini, maka timbul keinginan di hati Keng Hong dan terutama Biauw Eng untuk berjumpa dengan mereka lantas mencoba kesaktian mereka. Keinginan seperti ini memang wajar dimiliki oleh ahli-ahli seperti mereka, bukan keinginan untuk menundukkan dan menjagoi, tetapi keinginan untuk mengukur kepandaian masing-masing. Akan tetapi Keng Hong mencegah isterinya sambil menyabarkan diri dan berkata bahwa tidak semestinya mereka yang sudah memimpin sebuah partai seperti Cin-ling-pai merendahkan diri berkenalan dengan tokoh-tokoh yang dianggap jahat seperti iblis itu.
"Lagi pula, dalam keadaan dirimu sedang mengandung, amat berbahaya untuk bertanding menghadapi lawan yang sakti, selain itu tidak baik apa bila kita terlalu lama meninggalkan Giok Keng seorang diri saja di Cin-ling-san. Sebaiknya kita lekas pulang dan mengingat akan munculnya banyak orang pandai di kalangan kaum sesat, kita harus lebih tekun lagi menggembleng Giok Keng dan meningkatkan kepandaian para anggota Cin-ling-pai."
Mendengar ucapan suaminya yang tak dapat dibantah kebenarannya, Biauw Eng pun tak membantah. Maka pulanglah pasangan suami isteri pendekar ini ke Cin-ling-san dengan hati kecewa karena mereka tak berhasil bertemu dengan Yap Cong San dan Gui Yan Cu seperti yang mereka harap-harapkan.
Tentu saja mereka berdua sama sekali tak pernah mimpi bahwa putera tunggal sahabat-sahabat mereka itu, Yap Kun Liong, baru saja beberapa pekan lalu datang mengunjungi Cin-ling-san, bahkan sudah bentrok dan bertanding dengan puteri mereka. Ketika mereka tiba di Cin-ling-san, Giok Keng yang merasa takut kalau-kalau ayahnya mendengar akan penyambutannya terhadap Yap Kun Liong, tentu saja menutup mulutnya dan sama sekali tidak menceritakan tentang kedatangan pemuda gundul itu kepada ayah bundanya.
Ketika Giok Keng mendengar penuturan ayah bundanya akan nasib yang menimpa diri keluarga Yap, diam-diam Giok Keng merasa kasihan sekali kepada Kun Liong. Kemudian dia mendengar tentang lima orang datuk kaum sesat yang selain amat lihai juga kabarnya jahat bagaikan iblis, maka dia merasa ngeri dan dengan tekun dia memperdalam semua ilmunya di bawah bimbingan ayahnya sendiri.
Selama hampir tiga tahun dara yang mulai berangkat dewasa ini berlatih dengan rajinnya sehingga dia hampir dapat mewarisi seluruh ilmu kepandaian ibunya dan hanya beberapa macam ilmu yang terlalu tinggi dan sulit saja yang belum dapat dia warisi dari ayahnya. Akan tetapi harus diakui bahwa untuk mencari tandingan bagi Giok Keng pada waktu itu, benar-benar bukan merupakan pekerjaan yang mudah!
Cia Giok Keng telah menjadi seorang gadis berusia tujuh belas tahun yang sangat cantik jelita dan gagah perkasa. Adiknya lahir tidak lama setelah ibunya pulang ke Cin-ling-san sehingga pada saat itu Cia Bun Houw telah menjadi seorang anak laki-laki berusia hampir tiga tahun, bertubuh sehat, berwajah tampan dan berwatak gembira mirip seperti enci-nya (kakaknya) ketika masih kecil.
Dengan lahirnya adik laki-laki ini, maka berkuranglah sifat kemanjaan Giok Keng, apa lagi karena dia kini sudah dewasa. Kini yang tertinggal pada dara ini hanya kekerasan hatinya yang diwarisi dari ibunya.
Ayahnya sering kali memandang kagum karena melihat puterinya ini seolah-olah melihat isterinya ketika masih gadis! Begitu persis wataknya! Maka diam-diam Keng Hong suka merasa khawatir sendiri.
Biar pun watak isterinya tidak jahat, namun andai kata isterinya itu tidak saling mencinta dengan dia dan kemudian menjadi isterinya yang mencinta dan setia, andai kata isterinya itu tetap berkecimpung di dalam dunia kaum sesat, agaknya isterinya akan mempunyai watak keras yang mengerikan, dapat terjerumus ke dalam watak yang kejam!
Yang lebih menggelisahkan hati Cia Keng Hong dan menambah kerut di wajahnya adalah sikap Giok Keng yang sama sekali tidak mengacuhkan mengenai perjodohan! Padahal usianya sudah tujuh belas tahun! Sedikit pun dara itu tidak mau mendengar kalau orang tuanya bicara tentang perjodohan, dan berkelebat pergi dengan marah kalau mendengar usul mau pun bujukan orang tuanya supaya dia segera menentukan pilihan untuk menjadi jodohnya.
"Aku tidak ingin kawin. Harap Ayah dan Ibu jangan bicara tentang itu-itu saja. Muak aku mendengar tentang kawin!" Pernah dia berkata demikian kepada ayah bundanya yang hanya dapat saling pandang dengan melongo.
"Nah, lihat. Betapa dia manja dan membawa kehendak sendiri!" Keng Hong mengomel.
"Sabarlah, suamiku. Kalau memang dia belum ingin, apakah kita harus memaksanya?"
Cia Keng Hong hanya dapat menarik napas panjang dan diam-diam dia merasa semakin rindu kepada Cong San dan Yan Cu, ingin sekali dia dapat bertemu dengan mereka yang hilang tak tentu rimbanya itu untuk membicarakan tentang jodoh anak mereka.
Pada suatu hari lewat tengah hari, keadaan di Cin-ling-san sunyi dan nyaman. Matahari yang bersinar terang tanpa terhalang awan tebal seperti biasanya, mendatangkan hawa yang hangat mengusir dingin yang biasanya membuat orang kedinginan. Kenyamanan hawa pada siang hari itu dimanfaatkan oleh Pendekar Sakti Cia Keng Hong dan isterinya.
Pada waktu itu Cia Keng Hong telah berusia empat puluh tahun sedangkan isterinya telah tiga puluh tujuh tahun. Mereka berdua yang telah mendengar akan banyaknya tokoh dari kaum sesat yang lihai, walau pun makin tua mereka tidak pernah lalai untuk berlatih ilmu silat serta menjaga daya tahan tubuh dan kekuatan sinkang dengan bersemedhi setiap hari.
Pada siang hari itu pun mereka memanfaatkan hawa yang hangat nyaman dengan duduk bersemedhi berdua di dalam kamar mereka. Putera mereka, Bun Houw, sedang tidur di dalam kamarnya sendiri yang berdekatan dengan kamar mereka, sedangkan Giok Keng, seperti biasa pada saat seperti itu, sedang berlatih seorang diri di lian-bu-thia (ruangan berlatih silat) yang berada di samping rumah.
Ketika itu, para penduduk dusun di lereng Puncak Cin-ling-san yang juga dikenal sebagai anggota-anggota Cin-ling-pai, sudah mendapat latihan keras sehingga tingkat kepandaian mereka memperoleh kemajuan pesat selama tiga tahun ini. Pada siang hari itu, sebagian dari mereka sedang bekerja di sawah ladang, dan sebagian lagi ada pula yang berlatih di bawah pohon-pohon rindang.
Seperti yang diajarkan oleh pimpinan mereka, para anggota ini berlatih berpasangan, baik lelakinya, wanitanya, mau pun anak-anaknya. Gerakan mereka cepat-cepat dan terutama kaum dewasanya, mereka mempunyai sinkang yang kuat yang merupakan ilmu khas dari para anggota Cin-ling-pai.
Untuk para anggota ini, Cia Keng Hong menurunkan ilmu silatnya yang ampuh dan amat lihai, yaitu San-in Kun-hoat (Ilmu Silat Awan Gunung) dan menggembleng mereka dengan cara-cara bersemedhi untuk menghimpun sinkang yang kuat. Isterinya, Sie Biauw Eng, menurunkan ilmu meringankan tubuh yang dinamakan Hui-niau Coan-in (Burung Terbang Menerjang Awan) sehingga rata-rata para anggota Cin-ling-pai memiliki kecepatan gerak yang mengagumkan. Kombinasi ilmu dari suami isteri pendekar ini yang masing-masing merupakan ilmu-ilmu pilihan yang tinggi nilainya, lalu digabungkan dan menjadi landasan ilmu silat para anggota Cin-ling-pai.
Tentu saja di samping ilmu ini, Keng Hong masih mengajarkan ilmu silat yang lebih tinggi, akan tetapi hanya kepada orang tertentu yang dianggapnya telah cukup matang ilmunya. Mereka ini berjumlah sebelas orang saja dan merupakan anggota-anggota pimpinan atau murid-murid tertua. Betapa pun juga, tidak ada seorang di antara mereka yang diwarisi dua macam ilmu yang jarang tandingannya di dunia persilatan, yaitu Thai-kek Sin-kun dan Thi-khi I-beng.
Yang pertama adalah karena ilmu itu merupakan ilmu rahasia dari Kun-lun-pai dan karena ia bukan murid Kun-lun-pai, tentu saja ia tidak berani mengajarkan ilmu rahasia itu kepada orang lain. Yang kedua, Thi-khi I-beng, merupakan ilmu mukjijat yang pernah diperebutkan para jagoan di kalangan kang-ouw dan di dunia ini hanya dia seorang yang memilikinya.
Ilmu ini amat ganas, merupakan sinkang yang dapat menyedot habis tenaga sakti lawan, membuat lawan kehabisan tenaga, lumpuh bahkan bisa tewas. Kalau belum mempunyai dasar yang amat kuat, berbahayalah memiliki ilmu ini. Karena itu, Keng Hong tidak berani menurunkan kepada orang lain, bahkan belum berani pula mengajarkan kepada puterinya sendiri karena dia menganggap puterinya belum kuat menerima ilmu mukjijat itu.
Pada siang hari itu, serombongan pemuda Cin-ling-san tengah berlatih silat berpasangan, dipimpin oleh dua orang kakak beradik yang menjadi murid-murid kepala dari Cin-ling-pai. Mereka berdua ini adalah Kwee Kin Ta, berusia tiga puluh lima tahun, dan Kwee Kin Ci, adiknya berusia tiga puluh tahun.
Saat Cin-ling-pai mula-mula berdiri keduanya adalah dua orang pemuda, dan telah belajar ilmu silat cukup lama di bawah pimpinan Cia Keng Hong, maka bolehlah dibilang mereka merupakan dua orang yang tingkat kepandaiannya paling tinggi di antara para anggota Cin-ling-pai.
Kedua orang ini tak pernah menikah dan hidup membujang di Cin-ling-san, dan bersama sembilan orang adik-adik seperguruannya merupakan wakil-wakil dari Ketua Cin-ling-pai, para murid kepala yang semuanya berjumlah sebelas orang itu. Dengan penuh ketekunan dua orang ini mewakili ketua mereka mengawasi para pemuda sebanyak lima belas orang yang sedang berlatih di siang hari itu.
Tiba-tiba kedua orang saudara Kwee ini terkejut ketika mendengar suara orang tertawa, juga para pemuda yang sedang berlatih berhenti bersilat dan menoleh ke arah dua orang kakek berjenggot panjang yang tertawa-tawa dan tahu-tahu telah berada di dekat mereka. Yang mengejutkan kedua orang saudara Kwee itu adalah karena kehadiran kedua orang kakek ini sama sekali tidak mereka ketahui dan hal ini saja sudah membuktikan bahwa dua orang tua itu bukan orang sembarangan!
"Ha-ha-ha, nama Cin-ling-pai dan ketuanya memang setinggi awan, akan tetapi mengapa para anggotanya hanya sebegini saja?" Seorang di antara mereka, kakek yang mukanya merah berkata sambil menyeringai lebar.
"Ahhh, Ang-kui (Setan Merah), tentu saja karena mereka ini tentunya hanya orang-orang rendahan dari Cin-ling-pai. Betapa pun juga kurasa orang Cin-ling-pai bukan dewa-dewa yang berkepala tiga berlengan enam dan pandai terbang, ha-ha-ha!"
Para anggota Cin-ling-pai itu adalah pemuda-pemuda yang walau pun sudah digembleng selain ilmu silat juga kesabaran, tetap saja naik darah mendengar ucapan~ucapan yang nadanya mengejek itu. Dua orang di antara mereka tidak dapat menahan kemarahan lagi, meloncat ke depan dua orang kakek itu sambil berteriak hampir berbareng,
"Orang tua sombong, berani engkau menghina Cin-ling-pai?"
"Kalau kau menantang, terimalah seranganku!"
Dua orang muda itu segera menerjang dengan pukulan keras ke arah kedua orang kakek itu dan dua orang bersaudara she Kwee tidak sempat lagi mencegah mereka. Akan tetapi kakek-kakek asing yang diserang hanya tersenyum, sama sekali tidak gugup melainkan mengangkat kedua tangan mereka dengan gerakan lambat, satu tangan menangkis dan tangan ke dua menampar dari samping.
Biar pun gerakan mereka kelihatan lambat, namun aneh sekali, dua orang pemuda itu tak dapat menghindar lagi. Mereka mengaduh dan terpelanting tanpa dapat bangun kembali. Melihat kedua orang teman mereka roboh dengan muka pada bagian pipi terdapat tanda telapak tangan hitam dan mereka itu pingsan, para pemuda menjadi marah sekali dan serta-merta dua orang kakek itu mereka terjang dan keroyok!
Sambil tertawa-tawa, dua orang kakek itu bergerak dan terjadilah pertempuran yang seru. Akan tetapi baru beberapa jurus saja, kembali empat orang pemuda terpelanting dengan tanda telapak tangan hitam di tubuh mereka dan keempat orang itu langsung pingsan.
"Mundurlah kalian!" Kwee Kin Ta dan Kwee Kin Ci berteriak nyaring, kemudian mereka berdua meloncat ke depan, tanpa banyak cakap lagi sudah menyerang dengan pukulan-pukulan berat.
Kwee Kin Ta menyerang kakek muka merah dengan kedua lengan dilonjorkan ke depan, yaitu jurus dari Ilmu Silat San-in Kun-hoat yang disebut Siang-in Twi-san (Sepasang Awan Mendorong Gunung), jurus yang ke tiga.
Pada waktu tertawa-tawa tadi, dua orang kakek itu bukan semata-mata sengaja hendak mengejek, melainkan karena mereka memang merasa amat terheran dan kecewa melihat pemuda-pemuda itu berlatih dengan gerakan yang mereka anggap terlalu rendah. Akan tetapi, ketika kakek muka merah itu menghadapi serangan yang dilakukan oleh Kwee Kin Ta, dia terkejut bukan main. Dari kedua tangan yang didorongkan itu menyambar hawa pukulan yang dahsyat sekali!
Memang, Ilmu Silat San-in Kun-hoat yang diajarkan oleh Cia Keng Hong kepada para anggota Cin-ling-pai, dan yang telah dikuasai dengan baik oleh dua orang saudara Kwee, adalah ilmu tingkat tinggi yang hebat. Ilmu silat ini hanya terdiri dari delapan jurus, namun jurus-jurus itu amat dahsyat dan dapat dikembangkan dengan hebat sesuai dengan bakat masing-masing.
Kini, menghadapi jurus Siang-in Twi-san, kakek muka merah cepat-cepat membuang diri ke samping dan balas menyerang dari samping. Akan tetapi, jurus Siang-in Twi-san telah dilanjutkan sebagai jurus bertahan, tangan yang tadinya mendorong itu berbalik ke bawah, lengannya digunakan untuk menangkis pukulan tangan kakek yang selalu meninggalkan tanda telapak tangan hitam itu.
"Plakkk!"
Kakek Muka Merah kembali berseru kaget. Tangkisan itu membuat dia terhuyung mundur, meski pun lawannya juga terpental ke belakang dengan kaget. Mereka segera bertanding kembali dan kali ini mereka bergerak lebih hati-hati, maklum bahwa lawan amat tangguh.
Demikian pula dengan Kin Ci yang bertanding melawan kakek muka putih, pertandingan di antara mereka juga seru dan ramai sekali. Para anggota Cin-ling-pai yang muda telah maklum bahwa dua orang kakek yang telah melukai enam orang teman mereka itu tidak bisa dipandang ringan, maka mereka tidak sembrono membantu suheng-suheng mereka, melainkan menolong keenam orang teman yang masih pingsan, ada pula yang segera memanggil suheng-suheng dan suci-suci mereka yang lebih pandai dan ada pula yang lari melapor kepada nona Cia Giok Keng.
"Siocia... Siocia (Nona)... lekas! Ada dua orang kakek jahat mengacau dan melukai enam orang anggota kita...!"
Cia Giok Keng yang berlatih seorang diri, kaget sekali mendengar laporan ini. Dia cepat meloncat dan berlari ke luar sesudah menyarungkan pedangnya yang tadi dipakai untuk berlatih. Ketika tiba di tempat pertandingan, Giok Keng melihat betapa dua orang saudara Kwee yang sudah dibantu oleh tiga orang sute-sute mereka, masih juga belum mampu mendesak dua orang kakek itu, apa lagi merobohkan.
Merahlah wajah Giok Keng. Sungguh memalukan sekali. Murid-murid kepala Cin-ling-pai sampai harus mengeroyok dua orang kakek itu! Dan ada enam orang murid yang terluka.
Dengan sudut mata dia melihat betapa enam anggota Cin-ling-pai yang terluka itu masih pingsan dan ada tanda telapak tangan hitam pada tubuh mereka, di pipi, di leher, bahkan pukulan yang mengenai pundak atau dada membuat baju hangus terbakar dan kulitnya juga ternoda hitam berbentuk telapak tangan. Diam-diam dia merasa terkejut dan marah. Tak salah lagi, tentulah itu pukulan beracun, kalau bukan Hek-tok-ciang (Tangan Beracun Hitam) tentu semacam itu.
"Paman Kwee berdua, mundurlah!"
Teriakan Giok Keng ini membuat hati Kwee Kin Ta dan empat orang sute-nya membesar, dan mereka segera meloncat ke belakang. Dua orang kakek itu membalik tubuhnya dan memandang Giok Keng penuh perhatian.
Mereka berdua lalu menjura dan kakek yang bermuka putih bertanya, "Apakah Nona ini Cia-siocia (Nona Cia) yang terhormat? Kami berdua adalah Siang-lo-kui (Dua Setan Tua) dari..."
"Tidak peduli kalian ini sepasang setan, sepasang iblis atau siluman dari neraka, kalian sudah bosan hidup. Mampuslah!" Tiba-tiba Giok Keng menggerakkan kedua tangannya dan segulung sinar merah muda menyambar ke depan, ke arah kedua orang kakek itu.
Dua orang kakek yang mengaku berjuluk Sepasang Setan Tua itu terkejut sekali. Sinar merah muda itu adalah ujung sabuk sutera merah muda yang menyambar cepat bukan main, dan kedua ujung sabuk itu telah menyambar seperti ular-ular hidup mengarah jalan darah kematian di leher kedua orang kakek itu.
Dari angin sambaran ujung sabuk itu mengertilah mereka bahwa apa bila totokan ujung sabuk itu mengenai sasaran, maka mereka benar-benar terancam bahaya maut! Cepat keduanya meloncat dan mengelak, akan tetapi betapa terkejut hati mereka ketika kedua sinar merah muda itu seolah-olah hidup dan terus mengejar mereka, tetap menghujankan totokan-totokan maut bertubi-tubi! Dengan kaget sekali terpaksa mereka membuang diri ke belakang dan bergulingan di atas tanah sehingga membuat totokan-totokan itu sukar untuk mengenai sasaran.
Melihat ini, dalam kegemasannya Giok Keng cepat merobah serangan, kini menggunakan kedua ujung sabuknya bukan untuk menotok jalan darah yang tidak mungkin berhasil lagi karena dua orang kakek itu terus menggerakkan tubuh, melainkan untuk melecut! Sabuk sutera merah muda itu dipegang di bagian tengah, karena itu gerakan kedua tangannya membuat kedua ujung sabuk itu melecut-lecut dan mengeluarkan suara ledakan-ledakan keras.
"Tar-tar-tat-tar...!"
Kedua orang kakek itu berusaha mengelak, namun tetap saja tubuh mereka terkena hujan cambukan, membuat pakaian mereka robek-robek dan kulit tubuh mereka luka-luka. Biar pun hanya luka di bagian luar yang ringan, akan tetapi mengeluarkan darah dan rasanya cukup nyeri dan pedih!
"Tar-tar... wuuuuttt! Aihhh!"
Giok Keng berteriak kaget dan marah ketika tiba-tiba ujung sabuk suteranya terhenti di udara. Ketika dia membalik, tahu-tahu kedua ujung sabuk itu telah dipegang oleh seorang pemuda yang berwajah tampan dan gagah sekali! Dia terkejut. Sabuk sutera di tangannya adalah senjata yang hebat, dengan ilmu yang dia pelajari dari ibunya.
Ibunya sangat terkenal dengan Ilmu Pek-in Sin-pian (Cambuk Lemas Awan Putih) yang dimainkan dengan sabuk sutera putih. Dia tidak menyukai warna putih seperti ibunya, melainkan lebih suka menggunakan sabuk warna merah muda. Biar pun ilmu cambuknya belum semahir dan sehebat ibunya, tapi menurut ibunya sudah cukup untuk menghadapi senjata lawan yang bersifat keras. Kini tahu-tahu kedua ujung sabuknya dapat dipegang oleh seorang lawan, hal ini membuktikan bahwa lawan ini tentu amat lihai!
Pemuda itu sudah berkata kepada kedua orang kakek dengan nada suara memerintah, "Kalian mundurlah! Sungguh tak tahu diri berani melawan Cia-siocia!"
Setelah kedua orang kakek itu mundur, pemuda itu menjura kepada Giok Keng dengan sikap menghormat sekali sambil berkata dengan wajah berseri, bibir tersenyum dan suara halus.
"Saya mohon dengan hormat sudilah Cia-siocia untuk memaafkan dua orang paman ini. Sesungguhnya kedatangan kami bukan dengan maksud buruk. Saya Liong Bu Kong dan bersama kedua Paman Siang-lo-kui datang hendak menghadap Ketua Cin-ling-pai, Yang Mulia Cia Keng Hong Locianpwe..."
"Cukup!" Giok Keng langsung memotong ucapan pemuda itu dengan bentakan nyaring. "Tidak membawa maksud buruk tetapi melukai enam orang anggota Cin-ling-pai. Ditebus nyawa pun masih belum impas!" Sesudah berkata demikian, dengan tangan kiri dara itu menggulung sabuknya lalu menyimpannya, ada pun tangan kanannya bergerak mencabut pedang.
"Singggg…!"
Sinar putih menyilaukan mata berkelebat ketika pedang yang terbuat dari perak murni itu tercabut. Itulah pedang Gin-hwa-kiam (Pedang Bunga Perak) yang terbuat dari perak dan diukir bunga-bunga, pedang pemberian ibunya. Biar pun dia tidak suka akan warna puth seperti ibunya, namun pedang itu amat indah buatannya, pula merupakan sebuah pusaka yang ampuh, maka Giok Keng sayang sekali kepada pedangnya ini.
"Eiiitt, Nona, tunggu... saya bukan hendak bermusuh..."
"Wuuuuttt... singggg…!"
Sinar putih itu menyambar laksana kilat dan andai kata tidak dielakkan cepat-cepat oleh pemuda yang mengaku bernama Liong Bu Kong itu, tentulah leher itu akan terbabat putus dan kepala dengan wajah ganteng itu akan berpisah dari tubuhnya!
Liong Bu Kong terpaksa harus berloncatan ke kanan kiri dan ke atas, dan terpaksa pula dua kali menggulingkan tubuhnya di atas tanah, terus dikejar oleh sinar putih menyilaukan mata itu.
"Nanti dulu, Nona...!”
“Brettt…!" Ujung lengan baju yang dipakai pemuda itu terbabat buntung. Nyaris tangannya yang buntung!
"Srattt…!"
Pemuda itu mencabut sebatang pedang yang mengeluarkan sinar kebiruan dan terpaksa menggunakan pedangnya menangkis.
"Tringgg... cranggg... tranggg…!"
Bunga api berpijar-pijar ketika berkali-kali dua batang pedang itu bertemu di udara. Giok Keng merasa betapa telapak tangannya panas dan pedangnya tergetar, tanda bahwa selain lawan memiliki sinkang yang kuat, juga pedangnya yang bersinar biru itu adalah sebatang pedang yang baik dan hebat pula.
"Nona... sabarlah, saya tidak ingin bertanding..."
"Singgg... trangggg…!"
Kembali pemuda itu menangkis dan tangan Giok Keng gemetar dan terasa panas telapak tangannya.
"Tak usah banyak cakap!" bentak Giok Keng.
Dia kembali sudah menerjang dengan ganas. Maklum bahwa lawannya lihai dan memiliki pedang pusaka pula, Giok Keng langsung menyerang dengan pengerahan tenaga dan menggunakan jurus-jurus pilihan. Namun dia terkejut dan diam-diam kagum sekali karena pemuda itu selain memiliki tenaga sinkang amat kuat, juga mempunyai kecepatan gerak mengagumkan sehingga setiap serangannya mampu dihindarkan dengan tangkisan atau elakan.
Para anggota Cin-ling-pai dan kedua orang kakek tadi menonton dengan mata terbelalak penuh kagum menyaksikan betapa dua gulung cahaya pedang putih dan biru saling belit, saling desak dan saling dorong. Demikian terangnya cahaya kedua pedang itu sehingga menyelimuti bayangan kedua orang yang memainkannya.
"Tahan senjata!" Bentakan ini menggetarkan jantung kedua orang muda yang sedang bertanding, membuat tangan mereka menggigil beberapa detik sehingga gerakan mereka tertahan.
Detik-detik ini cukup bagi Keng Hong untuk menangkap kedua tangan yang memegang pedang lalu mendorong Giok Keng dan pemuda itu sampai terhuyung ke belakang. Selagi pemuda itu terhuyung, Keng Hong sudah menggerakkan tangannya. Jari-jari tangannya menangkap ujung pedang bersinar kebiruan, tenaga sinkang mukjijat dia keluarkan, dan jari-jari tangan membuat gerakan menekuk.
"Krakkk!" Ujung pedang pusaka yang mengeluarkan sinar kebiruan itu patah!
Pemuda itu terbelalak dengan muka pucat bukan main. Matanya memandang pedang di tangannya yang sudah menjadi pedang buntung. Hampir dia tidak dapat percaya. Begitu mudahnya Ketua Cin-ling-pai itu mematahkan pedang pusakanya, seolah-olah pedang itu sama dengan sebatang lidi kering saja! Padahal pedangnya merupakan sebatang pedang pusaka yang ampuh!
Diam-diam dia bergidik ngeri membayangkan betapa kuat jari-jarl tangan orang setengah tua yang berdiri tenang di depannya itu, lebih ngeri lagi ketika mendengar suara Cia Keng Hong yang halus, penuh kesabaran dan ketenangan, namun juga penuh wibawa,
"Orang muda, siapa pun adanya engkau, seorang tamu yang datang dengan pedang terhunus tentu bukan seorang yang beriktikad baik!"
"Engkau masih beruntung bukan aku yang turun tangan, kalau demikian halnya jangan harap engkau masih dapat bernapas!" Ucapan ini keluar dari mulut seorang wanita yang usianya sudah setengah tua akan tetapi masih tampak cantik jelita dan gagah perkasa. Mudah saja bagi Liong Bu Kong untuk menduga bahwa tentu nyonya itulah isteri Ketua Cin-ling-pai yang bemama Sie Biauw Eng, yang dahulu berjuluk Song-bun Siu-li!
Dengan jantung berdebar serta keringat dingin membasahi lehernya, pemuda itu segera menyarungkan pedang buntungnya dan menjura penuh hormat kepada Cia Keng Hong dan Sie Biauw Eng sambil berkata, "Mohon Ji-wi-locianpwe (Kedua Orang Tua Sakti) sudi mengampunkan saya yang lancang berani mendatangi Cin-ling-san. Saya bernama Liong Bu Kong dan sengaja dari tempat jauh sekali datang ke sini bersama kedua orang Paman Ang-kui Tung Sek dan Pek-kui Gak Song."
Cia Keng Hong melirik ke arah dua orang kakek itu yang juga sudah menjura dengan hormat. Melihat bahwa mereka adalah orang-orang yang telah berusia enam puluh lebih, dia pun membalas penghormatan mereka dengan sikap dingin. Dua orang itu berjulukan Ang-kui (Setan Merah) dan Pek-kui (Setan Putih), tentu termasuk golongan hitam atau kaum sesat, maka dia cepat bertanya,
"Setelah tahu bahwa engkau lancang, mengapa masih berani? Ada keperluan apakah?"
Pemuda itu dengan sikap hormat dan kedua tangan di depan dada melirik ke arah Giok Keng. Dara itu juga sedang memandang kepadanya. Dua pasang mata bertemu pandang dan jantung Giok Keng berdebar, mukanya berubah merah. Pemuda itu sungguh tampan dan gagah, juga sikapnya begitu halus dan penuh hormat!
"Harap Locianpwe sudi memaafkan, sebenarnya kedatangan kami... yaitu kedua paman ini... dengan maksud... ehhh, Paman Gak, harap Totiang saja yang menjelaskan kepada Cia-locianpwe." Agaknya sukar sekali bagi pemuda itu untuk melanjutkan kata-katanya, beberapa kali dia harus menelan ludah dan lehernya serasa tercekik.
Kini kedua orang kakek itu yang melangkah maju menghadap Keng Hong sambil menjura, kemudian Pek-kui Gak Song berkata, "Tak perlu kiranya kami membohong kepada Paicu (Ketua). Sesungguhnya sudah lama sekali Liong-kongcu (Tuan Muda Liong) mendengar akan nama besar Paicu dan akan kehebatan puteri Paicu, yaitu Nona Cia Giok Keng. Harap Paicu ketahui bahwa Liong-kongcu adalah putera tunggal pangcu kami di Kwi-ouw (Telaga Setan)."
"Hemm... bukankah Kwi-ouw adalah sarang Kwi-eng-pang dan ketuanya adalah Kwi-eng Niocu Ang Hwi Nio, datuk kaum sesat?" Biauw Eng memotong.
Kedua orang kakek itu tersenyum. "TIdak salah dugaan itu, pangcu kami adalah Kwi-eng Niocu Ang Hwi Nio." Tentu saja mereka merasa amat bangga menyebut nama yang telah tersohor itu. "Dan kami berdua merupakan pembantu-pembantu utamanya, juga termasuk murid-murid yang setia dari pangcu kami."
"Coba kalian lanjutkan, apa keperluan kalian dan Liong Bu Kong ini datang ke sini?" Keng Hong mendesak, hatinya tidak enak.
Melihat sikap tuan dan nyonya rumah, Pek-kui Gak Song juga kelihatan gugup dan jeri. "Sesungguhnya kami ditugaskan Pangcu kami untuk mengiringkan kongcu kami untuk... untuk dapat bertemu muka dengan Cia-siocia... dan hal ini sudah terlaksana... tentu tidak lama lagi pangcu kami akan segera resmi mengajukan pinangan, melamar Nona Cia Giok Keng untuk menjadi jodoh kongcu kami..."
"Keparat!" Tiba-tiba Biauw Eng membentak marah, "Hendak melamar setelah mengacau di Cin-ling-san dan berani pula melukai enam orang anggota Cin-ling-pai dengan pukulan Hek-tok-ciang?"
Dua orang kakek itu menjadi pucat wajahnya. "Ini... ini... hanya kesalah pahaman... hanya keinginan menguji kepandaian... bukan bermaksud buruk... kami mohon maaf dan biarlah kami mengobati mereka yang terluka..."
"Siapa butuh bantuan kalian? Tidak perlu memberi obat, pukulan Hek-tok-ciang macam itu saja apa sih artinya? Biarlah aku menukarnya dengan pukulanku. Terimalah!"
Biauw Eng memberi kesempatan kepada dua orang kakek itu untuk ‘menjaga diri’ lebih dahulu sebelum dia bergerak. Meski pun dua orang kakek itu jauh lebih tua dari padanya, namun dia adalah isteri Ketua Cin-ling-pai sedangkan dua orang kakek itu hanya utusan dan murid Ketua Kwi-eng-pai, maka kedudukannya jauh lebih tinggi. Karena ini, dia tidak mau menggunakan kecepatannya menyerang dua orang yang belum siap. Sesudah dua orang kakek yang maklum akan dipukul itu berjaga-jaga, baru ia menggerakkan tubuhnya sambil berseru, "Robohlah!"
Dua orang kakek yang namanya di dunia kang-ouw sudah amat terkenal dengan julukan Siang-lo-kui (Sepasang Setan Tua) ini cepat menggerakkan tangan menangkis.
"Des! Dess! Plak-plak!"
Sepasang tangan Biauw Eng yang menampar itu memang dapat tertangkis oleh mereka, namun lengan mereka yang menangkis terdorong dan terpental sedangkan kedua buah tangan halus itu tetap saja menyambar terus dan menampar dada mereka. Tamparan yang tidak begitu kuat, akan tetapi akibatnya hebat karena kedua orang kakek itu roboh, muntah darah dan pingsan.
Kiranya mereka telah menderita luka dalam yang cukup hebat, dan juga pukulan Biauw Eng itu beracun, tidak kalah dahsyatnya dibandingkan dengan Hek-tok-ciang. Tidak aneh kalau Sie Biauw Eng mampu menggunakan ilmu pukulan beracun yang biasanya hanya dikuasai oleh kaum sesat karena dia adalah puteri mendiang Lam-hai Sin-ni (Wanita Sakti Laut Selatan).
Pukulannya tadi adalah Ngo-tok-ciang (Tangan Panca Racun) yang mengandung inti sari lima macam hawa beracun dan tentu saja jauh lebih berbahaya dari pada Hek-tok-ciang, apa lagi dilakukan oleh seorang yang tingkat kepandaiannya sudah setinggi nyonya itu!
Liong Bu Kong terkejut sekali. Dia tadi telah menyaksikan kehebatan ilmu kepandaian Cia Keng Hong Ketua Cin-ling-pai yang dengan amat mudahnya mematahkan ujung pedang pusakanya. Kini dia menyaksikan kelihaian nyonya ketua itu yang dalam segebrakan saja mampu merobohkan Siang-lo-kui, padahal dua orang kakek itu adalah murid-murid kelas satu dari ibunya!
Pemuda yang sangat cerdik ini tidak memperlihatkan perasaan menyesal pada mukanya, bahkan dia menjura kepada Sie Biauw Eng sambil berkata, "Hukuman bagi kedua paman yang lancang ini memang sudah sepantasnya. Saya menghaturkan terima kasih kepada Locianpwe yang telah menghajarnya dan mengampuni nyawa mereka."
Walau pun Bu Kong mengambil sikap sabar, sopan dan manis budi, akan tetapi dalam pandangan Cia Keng Hong, pemuda itu sangat tidak menyenangkan, karena itu dia pun berkata, "Sudahlah, bawa mereka pulang dan jangan sekali-kali berani menginjakkan kaki di daerah Cin-ling-san. Ada pun soal jodoh, tidak perlu lagi dibicarakan dan tidak perlu datang meminang karena bagaimana pun juga, kami tidak akan suka berbesan dengan golongan hitam. Nah, pergilah!"
Bu Kong merasa betapa jantungnya seperti ditusuk oleh kekecewaan dan putus harapan. Sudah lama dia mendengar akan kecantikan puteri Ketua Cin-ling-pai, dan sesudah kini bertemu dengan orangnya, apa lagi setelah menyaksikan kelihaian Giok Keng, sekaligus dia tergila-gila dan jatuh cinta. Akan tetapi dia pun tahu bahwa kedua orang tua dara itu menentang keras.
Kembali pemuda itu menjura dan berkata, "Maafkan saya, Ji-wi-locianpwe. Saya mengaku bahwa kami bertiga telah lancang, semoga saja kelak saya akan dapat menghadap Ji-wi dalam keadaan yang lebih baik dan menyenangkan. Selamat tinggal dan sekali lagi terima kasih atas semua pelajaran yang kami terima."
Dia menjura, membungkuk, dan mengempit tubuh dua orang kakek yang masih pingsan, kemudian turun dari puncak sambil berlari cepat. Semua orang, termasuk Cia Keng Hong, Sie Biauw Eng, dan Cia Giok Keng, memandang dengan hati kagum. Sungguh pemuda yang benar-benar lihai!
Setelah mengobati luka keenam pemuda akibat pukulan Hek-tok-ciang, Keng Hong dan anak isterinya kembali ke dalam rumah. Sesudah berada di dalam, Keng Hong berkata kepada puterinya,
"Nah, kau lihat sendiri betapa tidak baiknya bagi seorang dara yang sudah dewasa kalau tak segera menikah. Tentu banyak godaan yang datang dan penolakan-penolakan hanya akan mendatangkan permusuhan."
"Ayahmu benar, Anakku. Sebaiknya kalau engkau segera menentukan pilihan hatimu dan mendapatkan jodoh."
Giok Keng cemberut. "Ayah dan Ibu tentu akan memaksaku, soal jodoh ini tidak perlu dibicarakan lagi karena aku tidak mau! Dalam penolakan lamaran Ayah dan Ibu bertindak tanpa persetujuanku, tentu kelak Ayah dan Ibu pun akan menerima lamaran orang tanpa mengajukan persetujuanku pula! Karena itu, aku tidak mau menikah!"
Keng Hong dan isterinya saling pandang dan Keng Hong berkata agak keras, "Tentu saja kita tolak lamaran seorang pemuda dari golongan hitam itu. Apa lagi kalau dia putera Iblis Betina Kwi-eng Niocu yang tersohor!"
Giok Keng tetap saja cemberut. Sedikit banyak hatinya telah tertarik oleh sikap pemuda tampan tadi, dan walau pun hal itu bukan berarti bahwa dia jatuh cinta dan menerima pinangan, akan tetapi dia tersinggung juga menyaksikan betapa ayah bundanya menolak mentah-mentah tanpa mempedulikan perasaannya sendiri!
"Menolak mau pun menerima lamaran bukan soal, yang menjadi soal adalah bahwa saya seorang manusia, yang berperasaan pula dan patut menentukan hidup dan masa depan saya sendiri. Hal ini harap Ayah dan Bunda tidak lupa! Sudahlah, siapa sih yang ingin menikah?" Setelah berkata demikian Giok Keng meninggalkan ayah bundanya, memasuki kamarnya sendiri dan menangis!
Keng Hong menggeleng-gelengkan kepalanya. Isterinya menghibur, "Sabarlah. Dia baru berusia tujuh belas tahun, belum lenyap sama sekali sifat kekanak-kanakannya!"
"Kekanak-kanakan apa? Itulah kalau anak manja!"
Akan tetapi Keng Hong tidak melanjutkan kemarahannya ketika melihat pandang mata isterinya yang mengalah, bahkan dia segera memeluk isterinya dan berkata, "Biarlah kita serahkan jodoh anak kita kepada nasib."
"Perlu apa dipusingkan? Biar dia memilih sendiri dan kita hanya mengawasi dari belakang agar dia jangan salah pilih."
Semenjak terjadinya pengacauan yang dilakukan oleh orang-orang Kwi-eng-pai itu dan mendapat kenyataan bahwa kepandaiannya masih jauh dari cukup sehingga ketika dia menyerang pemuda bernama Liong Bu Kong itu dia sama sekali tidak berhasil, Giok Keng makin tekun berlatih silat. Hal ini menggirangkan hati Keng Hong, maka pendekar ini pun melatih puterinya dengan sungguh-sungguh sehingga akhirnya dia menurunkan juga Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun kepada puterinya itu dengan janji agar dara itu tidak akan pernah membocorkannya kepada orang lain!
Dua tahun lamanya Giok Keng berlatih dengan tekun siang malam sehingga setelah dia berusia sembilan belas tahun, ilmu kepandaiannya meningkat dengan hebatnya. Bahkan dia berhasil pula mempelajari Ngo-tok-ciang dari ibunya yang memesan agar puterinya jangan sembarangan menggunakan ilmu ini, kecuali kalau menghadapi golongan hitam karena ilmu ini adalah ilmu keji dari kaum sesat.
Betapa pun juga, Keng Hong masih belum berani mengajarkan Thi-khi I-beng kepada puterinya. Kalau puterinya mendesak agar ayahnya menurunkan ilmu itu, dia menjawab,
"Kau kira mudah saja menguasai Thi-khi I-beng? Kalau belum kuat benar dasarnya, ilmu ini bisa mencelakakan diri sendiri. Ayahmu mendapatkan ilmu ini secara kebetulan saja, akan tetapi ketahuilah, dulu ada seorang tokoh golongan hitam yang ilmu kepandaiannya tinggi bernama Kiu-bwe Toanio Lu Sian Cu, dia berhasil memaksaku memberikan Thi-khi I-beng, namun akhirnya dia mati karena ilmu itu sendiri. Mempelajari ilmu ini kalau belum memiliki kekuatan yang melebihi ukuran sinkang biasa, berarti menghadapi bahaya maut. Ilmu-ilmu yang kau pelajari sudah cukup, Keng-ji, kalau semua itu kau kuasai dengan baik disertai latihan dan ketenangan, kiranya sukar sekali akan dapat dikalahkan lawan, walau pun engkau tidak menggunakan Thi-khi I-beng."
Mendengar keterangan ini, Giok Keng menjadi ngeri sendiri dan merasa puas dengan ilmu-ilmu yang sudah dimilikinya. Akan tetapi, Cia Keng Hong dan Sie Biauw Eng makin berduka oleh karena telah belasan kali datang lamaran dari pemuda-pemuda yang bukan orang-orang sembarangan, putera ketua-ketua partai besar, pemuda-pemuda sastrawan dan hartawan, bahkan pernah seorang pemuda putera pangeran dari kota raja melamar, semua itu ditolak mentah-mentah oleh Giok Keng. Padahal, usia dara itu sekarang telah meningkat, sudah sembilan belas tahun!
Ketika Keng Hong dan Biauw Eng mendengar akan kematian Tiong Pek Hosiang serta Thian Lee Hwesio, mereka segera berangkat untuk melayat, sekaligus untuk menghibur kekecewaan hati mereka dan mengharapkan pertemuan dengan Yap Cong San. Siapa tahu kalau-kalau jodoh puteri mereka itu adalah putera sahabat ini yang sudah hampir dua puluh tahun, atau sedikitnya delapan belas tahun tak pernah mereka jumpai.
Giok Keng disuruh menjaga Cin-ling-pai dan mengawasi adiknya, Cia Bun Houw yang baru berusia lima tahun. Hati Giok Keng agak kecewa karena setelah kini ilmunya maju pesat, dia ingin sekali ikut merantau dan bertemu dengan tokoh-tokoh besar. Akan tetapi dia tahu juga bahwa selain Cin-ling-pai perlu dijaga, juga tidak baik kalau adiknya harus ditinggalkan seorang diri, hanya bersama para pimpinan Cin-ling-pai, dalam keadaan di mana bahaya selalu mengancam dari pihak kaum sesat.
Akan terpenuhikah harapan Keng Hong dan Biauw Eng bahwa mereka akan berjumpa dengan sahabat baik mereka Yap Cong San beserta isterinya di kuil Siauw-lim-si? Untuk mengetahui ini. sebaiknya kita mencari Yap Cong San dan isterinya dan melihat keadaan mereka. Sudah terlampau lama kita meninggalkan mereka dan kini marilah kita mengikuti perjalanan mereka semenjak mereka meninggalkan Leng-kok…..
********************
Seperti telah kita ketahui, Yap Cong San bersama isterinya lari meninggalkan Leng-kok sebagai orang buruan sesudah dengan kekerasan Yan Cu membebaskan suaminya dari tahanan Ma-taijin. Mereka lantas mulai mencari putera mereka yang hilang. Akan tetapi karena kepergian Kun Liong tidak meninggalkan bekas yang jelas, mereka tersesat dan sampai dua tahun mereka menjelajah ke selatan dan ke timur, tetapi belum juga mereka berhasil menemukan putera mereka itu! Akhirnya mereka terpaksa kembali ke utara.
Tiga tahun telah lewat semenjak mereka meninggalkan Leng-kok tanpa hasil sama sekali dalam usaha mereka mencari Kun Liong. Hampir saja mereka putus harapan dan timbul kekhawatiran bahwa putera mereka yang lenyap itu sudah tewas, ketika pada suatu hari harapan itu timbul kembali secara kebetulan ketika mereka mendengar mengenai putera mereka itu.
Hal itu terjadi ketika perjalanan mereka membawa mereka tiba di tepi Sungai Huang-ho di lereng Pegunungan Lu-liang-san yang menjadi tapal batas antara Propinsi Shansi di timur dan Propinsi Sensi di barat. Mereka bermalam di dalam sebuah kamar rumah penginapan kecil sederhana, di sebuah dusun nelayan di tepi Sungai Huang-ho.
Menjelang tengah malam, setelah suami isteri yang kelelahan ini tertidur, tiba-tiba Yan Cu terbangun oleh suara berbisik-bisik. Dia terbangun, memasang telinga dan mendengarkan percakapan lirih yang terjadi di kamar sebelah, percakapan yang dapat didengarnya jelas karena agaknya dua orang wanita yang bercakap-cakap itu tidak menyembunyikan suara mereka dan antara kamamya dan kamar sebelah itu hanya teraling oleh dinding papan yang sambungannya tidak begitu rapat.
Tentu saja Yan Cu tidak akan sudi mendengarkan percakapan orang lain kalau saja dia tidak tertarik karena mendengar disebutnya nama puteranya, nama Kun Liong!
"Sungguh mengherankan sekali! Ke mana perginya bocah setan itu? Kalau dia melarikan diri dengan perahu, masa dia bisa naik perahu sampai ke langit? Kenapa jejaknya lenyap sama sekali?" terdengar suara wanita yang mengandung penasaran dan kemarahan.
"Memang dia bukan bocah biasa, Subo (Ibu Guru)," terdengar jawaban suara seorang anak perempuan. "Dahulu Kongkong sudah bilang bahwa anak itu memang luar biasa, munculnya pun secara aneh sekali, dari dalam sungai!"
"Huh! Apakah dia anak iblis sungai? Siapa namanya?"
"Dia mengaku bernama Kun Liong, Subo. Akan tetapi teecu (murid) tidak yakin bahwa dia yang membawa pergi benda itu karena benda itu tadinya berada di tangan Phoa Sek It. Ketika Phoa Sek it membunuhi semua orang, Kun Liong melarikan diri. Mana mungkin dia merampasnya dari tangan Phoa Sek It?"
"Siapa tahu? Setidaknya bocah itu tentu mengetahui di mana adanya benda itu. Hemm... apa bila dia dapat tertangkap olehku, akan kupaksa dia mengaku, akan kupatah-patahkan semua tulang tubuhnya agar dia suka mengaku!"
Mendengar itu, Yan Cu sudah tidak dapat menahan hatinya lagi. Meski pun dia merasa heran dan ragu-ragu mendengar percakapan itu, namun besar kemungkinan mereka itu bicara tentang puteranya yang hilang. Cepat dia turun dari pembaringan, menghampiri dinding dan mengintai dari celah-celah dinding papan.
Dilihatnya dalam kamar sebelah itu ada seorang wanita berusia empat puluh tahun lebih, bertubuh pendek, cantik manis akan tetapi matanya menyinarkan kekejaman dan bentuk mulutnya selalu menyeringai seperti orang mengejek, rambutnya panjang, sedang duduk di kursi berhadapan dengan seorang anak perempuan berusia kurang lebih sebelas tahun yang bersikap pendiam dan berwajah cantik dan dingin. Di atas meja di hadapan wanita rambut panjang itu terdapat sebatang pedang panjang yang bentuknya agak melengkung dan gagangnya panjang, sebatang pedang berbentuk asing bagi Yan Cu.
Yan Cu menduga bahwa wanita itu tentulah bukan orang sembarangan, maka dia pun bersikap hati-hati sekali. Melihat suaminya masih tertidur pulas, dia berindap keluar dari dalam kamarnya, lantas menyelinap ke luar rumah penginapan yang sunyi karena semua orang sudah tidur. Dengan ringan tubuhnya mencelat ke atas genteng dan dia membuka genteng tepat di atas kamar sebelah tadi. Sebagai penjagaan, sebelum keluar kamarnya Yan Cu sudah menyambar pedangnya.
Akan tetapi, pada saat dia membuka genting, tiba-tiba dari bawah menyambar sinar hijau dengan kecepatan kilat ke arahnya! Yan Cu terkejut tetapi tidak menjadi gugup. Dia sudah meloncat ke belakang dan berjungkir balik. Ketika dia turun lagi dan berdiri di wuwungan genteng rumah itu, terlihat bayangan berkelebat dan tahu-tahu wanita pendek berambut panjang tadi telah berdiri di hadapannya dengan sebatang pedang panjang melengkung yang berkilauan di tangannya!
Yan Cu menjadi marah sekali, apa lagi ketika teringat betapa wanita ini mengancam untuk mematahkan semua tulang di tubuh puteranya dan memaksanya mengaku! Andai kata yang diancam itu bukan puteranya, melainkan seorang anak lain yang namanya juga Kun Liong, tetap saja ancaman itu menunjukkan bahwa wanita pendek ini merupakan seorang yang kejam dan jahat sekali, patut untuk dibasmi. Namun, pada saat itu, yang terpenting bagi Yan Cu adalah untuk mengetahui apakah benar puteranya yang dibicarakan mereka itu.
"Perempuan kejam! Apakah yang kau bicarakan dalam kamar tadi, yang kau sebut-sebut namanya, anak yang bernama Kun Liong itu adalah seorang anak laki-laki yang berusia kira-kira tiga belas tahun sekarang ini dan she Yap?"
"Jika benar dia, kau mau apa?" wanita itu balas bertanya dan mulutnya makin mengejek.
"Tetapi benarkah dia? Wajahnya tampan, matanya lebar, kepalanya bundar dan dahinya lebar, alisnya seperti golok, hidungnya mancung? Benarkah dia Yap Kun Liong?"
"Perempuan lancang, kau telah berani melakukan pengintaian. Hemm, kau tak mengenal Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci?"
Tentu saja Yan Cu sudah mendengar nama datuk kaum sesat ini selama perantauannya mencari Kun Liong, akan tetapi pada saat itu dia tidak mempedulikan semua hal kecuali persoalan di mana adanya puteranya. "Tidak peduli kau siapa, akan tetapi benarkah Yap Kun Liong yang kau bicarakan tadi?"
Sinar mata wanita pendek itu mengeluarkan kilat kemarahan. Namanya sudah tersohor di seluruh jagat sebagai seorang datuk dari daerah selatan. Tidak ada orang kang-ouw yang tidak menjadi gentar mendengar namanya, apa lagi bertemu dengan dia! Dan perempuan ini sama sekali tidak peduli.....!