Hati yang gembira, tubuh yang ringan karena tanpa disadarinya sendiri dia kini sudah memiliki ilmu kepandaian yang hebat, membuat Kun Liong dapat bergerak cepat sekali menuruni bukit. Pagi hari itu sangat indah dan cerah dan suasana di pegunungan sunyi sekali.
Menjelang tengah hari, Kun Liong melihat enam orang laki-laki yang kelihatannya kuat dan gagah mengawal sebuah kereta naik ke puncak gunung dan di atas kereta itu tampak berkibar bendera yang menandakan bahwa para pengawal itu adalah para piauwsu dari Sam-to Piauwkiok (Perusahaan Expedisi Tiga Golok).
Enam orang itu memandang dengan sinar mata tajam menyelidiki ketika bertemu dengan Kun Liong, akan tetapi karena pemuda gundul itu tidak mempedulikan mereka, maka tidak terjadi sesuatu. Kun Liong hanya menganggap bahwa ada barang kiriman untuk Siauw-lim-pai, maka tentu saja dia tidak berani bertanya-tanya, dan dia tidak tahu barang apa yang berada di dalam kereta yang ditarik oleh empat ekor kuda itu. Dia melanjutkan perjalanannya turun gunung sambil bersenandung dengan hati riang.
Sukong-nya benar, pikirnya sambil menikmati hawa udara yang jernih sejuk. Hidup adalah saat sekarang ini, yang sesungguhnya nikmat apa bila pikiran kita tidak kita biarkan untuk mengenang hal-hal lalu atau hal-hal mendatang, bahkan kematian bukan merupakan hal yang menakutkan atau mendukakan.
Apa sih kematian? Kita tidak tahu bagaimana kematian itu, dan tidak mungkin kita takut akan sesuatu yang kita belum tahu. Ketakutan timbul dari bayangan-bayangan, atau dari angan-angan tentang hal yang kita ketahui atau yang kita anggap sudah kita ketahui dari kitab atau dari orang lain. Kalau kematian hanya menjadi kelanjutan dari hidup, perlu apa takut?
Hidup sendiri pun sesungguhnya bukanlah suatu keadaan yang sangat menyenangkan. Lihat saja pengalamannya sejak dia meninggalkan rumah. Betapa hidup manusia penuh dengan pertentangan, penuh dengan persoalan yang agaknya sambung menyambung tak kunjung henti.
Dan apa bila dia pelajari persoalan-persoalan itu, kesemuanya timbul dari nafsu keinginan manusia memperebutkan sesuatu, baik yang diperebutkan itu benda atau kebenaran! Semua demi si-akunya manusia, sampai-sampai kebenaran sekali pun ingin dimonopoli. Kebenaran-Ku! Dan Si aku inilah sumber dari segala persengketaan, sumber dari segala pertentangan dan permusuhan, sehingga membuat hidup menjadi semacam gelanggang pertempuran demi si aku masing-masing.
Hidup sendiri pun sesungguhnya bukanlah suatu keadaan yang sangat menyenangkan. Lihat saja pengalamannya sejak dia meninggalkan rumah. Betapa hidup manusia penuh dengan pertentangan, penuh dengan persoalan yang agaknya sambung menyambung tak kunjung henti.
Dan apa bila dia pelajari persoalan-persoalan itu, kesemuanya timbul dari nafsu keinginan manusia memperebutkan sesuatu, baik yang diperebutkan itu benda atau kebenaran! Semua demi si-akunya manusia, sampai-sampai kebenaran sekali pun ingin dimonopoli. Kebenaran-Ku! Dan Si aku inilah sumber dari segala persengketaan, sumber dari segala pertentangan dan permusuhan, sehingga membuat hidup menjadi semacam gelanggang pertempuran demi si aku masing-masing.
Memang benar sukong-nya yang berkata bahwa bagi orang yang sudah dapat mematikan akunya sewaktu hidup, tiada perubahan keadaan antara hidup dan mati!
Setelah hari senja baru Kun Liong tiba di sebuah dusun di kaki bukit. Dari jauh dia melihat sebuah warung makan di dekat sebuah rumah penginapan kecil sederhana. Dirogohnya bajunya yang lebar dan sederhana. Tadi dia diberi bekal uang sekedarnya oleh Thian Kek Hwesio.
Lima tahun lamanya dia tidak pernah makan masakan yang enak, hanya makan sayur-sayuran sederhana saja seperti yang dimakan sukong-nya. Minumnya pun selama lima tahun itu hanya air jernih.
Ada tercium bau arak dan daging panggang dari warung itu, membangkitkan seleranya. Maka masuklah dia ke dalam warung itu, warung kecil yang hanya mempunyai beberapa bangku panjang, meja reyot dan diterangi oleh lampu minyak kecil tergantung di bawah genteng.
Tiga orang tamu yang sudah terlebih dahulu duduk di dalam warung, mengangkat muka memandang Kun Liong dengan penuh perhatian. Melihat orang-orang itu memandangnya penuh selidik, hati Kun Liong merasa tidak enak, akan tetapi dengan sikap tidak peduli dia menoleh kepada seorang pelayan yang sedang melayani mereka dan berkata sederhana, "Bung pelayan, tolong sediakan arak dan bakmi semangkuk!"
Pelayan itu menoleh, kelihatan ragu-ragu dan mengulang lagi, "Arak? Dan bakmi dengan daging?"
Kun Liong mengangguk, kemudian dia mengambil tempat duduk di ujung sebuah bangku panjang karena tidak ada tempat duduk lain yang kosong. Bangku ini di ujung sana telah diduduki oleh salah satu di antara ketiga tamu itu, seorang setengah tua yang berjenggot pendek dan agaknya sudah terlampau banyak minum arak karena mukanya merah dan wajahnya berseri. Dengan menggerakkan kedua pundak sambil bertukar pandang dengan tiga orang tamunya, pelayan itu segera pergi ke belakang untuk mengambilkan arak dan bakmi yang dipesan Kun Liong.
"Aku mendengar bahwa Siauw-lim-pai merupakan partai persilatan yang paling besar dan sudah terkenal sekali bahwa hwesio-hwesio Siauw-lim-pai adalah para hwesio yang tidak pernah menyeleweng." Terdengar suara yang tinggi sekali seperti kaleng digurat sampai menyakitkan anak telinga.
Kun Liong melirik dan melihat bahwa yang bicara ini adalah seorang di antara tiga tamu tadi, orang yang mukanya kecil, bertopi kain dan bermuka pucat.
"Ha-ha-ha-ha, apa yang kau dengar itu memang benar, Kui-suheng (Kakak Seperguruan Kui). Kalau ada seorang hwesio melakukan pelanggaran, sudah hampir dapat dipastikan dia itu bukan seorang anggota Siauw-lim-pai!" kata orang yang duduk sebangku dengan Kun Liong.
Arak dan bakmi yang dipesan Kun Liong tiba, dan pemuda ini segera mulai makan tanpa mempedulikan tiga orang tamu itu. Orang ke tiga di antara tamu itu sudah tua, kurus dan lucu sekali karena kelihatan selalu mengantuk. Biar pun kadang-kadang dia mengangkat cawan araknya, akan tetapi matanya seperti terus tidur melenggut dan tidak pernah ikut berbicara dengan kedua orang kawannya, bahkan sama sekali tidak mempedulikan Kun Liong.
"Benarkah bahwa setiap ada anak murid yang melanggar, Siauw-lim-si bertindak keras sekali dengan hukumannya?" tanya pula Si Muka Pucat yang disebut Kui-suheng oleh Si Jenggot Pendek tadi.
"Kabarnya demikian. Bahkan seorang murid tidak akan diijinkan keluar sebelum lulus dari ujian yang diadakan. Apakah Suheng tidak mendengar betapa ketuanya yang lama, Tiong Pek Hosiang yang terkenal di seluruh dunia kang-ouw itu, terpaksa harus mengundurkan diri karena pelanggaran?"
"Ya, kabarnya begitu. Bahkan murid Siauw-lim-pai yang paling lihai, Yap Cong San yang kabarnya mewarisi ilmu kepandaian kakek sakti itu, terpaksa pula harus meninggalkan keanggotaannya dari Siauw-lim-pai karena pelanggaran."
"Urusan apakah?"
"Entahlah, Sute. Aku sendiri pun tidak tahu jelas. Tentu Tio-taihiap (Pendekar Besar Tio) yang lebih tahu," jawab Si Muka Pucat sambil memandang kepada teman yang sejak tadi seperti orang mengantuk itu. Kedua orang itu kini memandang kepadanya dan diam-diam Kun Liong juga memperhatikan dengan kerling matanya kepada Si Pengantuk yang tadi disebut Pendekar Besar Tio itu.
"Sudahlah, perlu apa berbicara tentang urusan orang lain? Yang penting malam ini kita mengaso di losmen dan baru besok pagi kita naik ke Siauw-lim-si. Mudah-mudahan saja perjalanan jauh kita akan berhasil."
Mendengar ini, timbul kecurigaan di dalam hati Kun Liong. Tiga orang ini sikapnya amat mencurigakan dan mereka ini besok hendak naik ke Siauw-lim-si! Mau apakah mereka? Apakah ada hubungan mereka dengan Kwi-eng-pai yang sudah mencuri pusaka Siauw-lim-si?
"Ucapan Tio-taihiap benar," Si Jenggot Pendek berkata. "Kita harus menghormati para pendeta Siauw-lim-pai yang terhormat, tetapi bagaimana mungkin aku dapat menghormat pendeta munafik yang terang-terangan melanggar pantangan di depan umum?" Setelah berkata demikian, Si Muka Merah yang berjenggot pendek ini mengangkat cawan araknya melirik ke kiri ke arah Kun Liong sambil mengerahkan tenaga sinkang ke tubuh bagian bawah.
Kun Liong terkejut bukan main ketika tiba-tiba bangku yang didudukinya itu bergetar dan bergerak terangkat naik! Maklumlah dia bahwa Si Muka Merah ini sengaja bermain gila hendak mempermainkan dia yang tentu dianggap seorang hwesio yang sudah melanggar pantangan makan daging dan minum arak.
Perutnya terasa panas! Akan tetapi dia bersikap tenang saja seolah-olah tidak tahu apa yang terjadi, akan tetapi dia pun lalu mengerahkan sinkang sehingga ujung bangku yang didudukinya itu, yang tadinya sudah terangkat sampai sejengkal lebih dari lantai, kini turun kembali!
Si Muka Merah terbelalak dan terheran, lalu menjadi penasaran. Sinkang-nya dikerahkan dengan sekuatnya, dan andai kata Kun Liong bukan seorang yang telah memiliki sinkang kuat, tentu dia akan terlempar jauh oleh getaran ujung bangku yang didudukinya! Akan tetapi, tubuh pemuda ini sama sekali tidak berguncang, bahkan ketika dia mengerahkan tenaganya, segera terdengar suara…
"Krakkk!"
Bangku itu patah pada tengahnya dan tubuh Si Muka Merah itu terlempar ke atas seperti dilontarkan oleh sebuah tenaga raksasa yang tidak tampak! Cawan araknya terlepas dari tangannya dan tentu akan terbanting tumpah di atas meja kalau saja Si Pengantuk yang disebut Tio-taihiap itu tidak mengulurkan tangan menyambar cawan itu dan aneh sekali... arak yang tumpah itu seakan-akan tersedot dan melayang kembali ke dalam cawan itu!
Sedangkan Si Muka Merah sudah berjungkir-balik dan tidak sampai terbanting. Dia sudah mengepal tinjunya sambil memandang kepada Kun Liong dengan mata mendelik, melihat pemuda gundul itu tetap enak-enak duduk di ujung bangku yang sudah patah tengahnya, menghabiskan sisa arak dalam cawannya!
"Pendeta palsu, hayo lawan aku orang she Song kalau kau ada kepandaian!" Si Muka Merah itu membentak marah.
Kun Liong menghabiskan sisa arak dalam cawan, kemudian meletakkan cawan kosong di atas meja dan bangkit berdiri. Tentu saja bangku yang sudah patah tengahnya itu lantas terguling roboh ketika dia bangkit, mengeluarkan bunyi nyaring memecah kesunyian yang menegangkan itu. Ia merogoh saku bajunya dan menggapai kepada pelayan yang datang membungkuk-bungkuk dengan ketakutan, lalu membayar harga makanan serta minuman setelah menanyakan harganya.
Sesudah pelayan itu bergegas pergi, dia berpaling kepada Si Muka Merah dan berkata, "Semenjak tadi aku makan dan minum di sini dengan aman, tanpa pernah mengganggu orang, baik dengan ucapan atau dengan tingkah laku. Engkau hampir jatuh oleh tingkah sendiri, mengapa sekarang ribut-ribut hendak menantang orang?"
"Pendeta palsu, tak usah banyak cakap. Keluarlah kalau kau berani!"
"Saudara Song, duduklah!" Tiba-tiba Si Pengantuk itu berseru nyaring.
Kun Liong melihat betapa Si Muka Merah itu, biar pun bersungut-sungut, mengangguk tak berani membantah, sudah duduk lagi di sudut dengan muka merah. Si Pengantuk itu lalu berdiri menghadapi Kun Liong, mengangkat kedua tangan ke depan dada sambil berkata,
"Siauw-suhu, harap suka memaafkan kekasaran kawanku. Akan tetapi aku pun tak dapat terlalu menyalahkannya karena dia memang paling tidak suka menyaksikan sesuatu yang ganjil, misalnya ada seorang pendeta yang melanggar pantangan di depan umum, makan daging dan minum arak."
Kun Liong tersenyum lebar dan memandang Si Pengantuk itu dengan wajah berseri. Dia kini tidak marah lagi, bahkan merasa betapa lucunya keadaan. Sambil balas menjura dia pun menjawab, "Sudahlah, tidak ada apa-apa yang harus diributkan kalau hanya karena kesalah pahaman diakibatkan oleh kepalaku yang gundul. Taihiap, aku bukanlah seorang hwesio dan tidak ada seorang manusia pun di dunia ini yang berhak melarang aku untuk berkepala gundul, minum arak dan makan daging!"
Si Muka Pucat tertawa dan sungguh aneh. Walau pun dia kelihatan mengantuk, namun sesudah tertawa wajahnya yang tua kurus itu berseri dan sepasang mata yang sipit itu mengeluarkan sinar mata yang menyambar amat tajamnya, membuat Kun Liong terkejut sekali dan diam-diam pemuda ini maklum bahwa dia berhadapan dengan orang pandai.
"Ha-ha-ha, Song-laote, kau lihat betapa lucunya dan betapa merugikan kalau kau tidak teliti, menyangka orang yang bukan-bukan dan sudah tergesa-gesa turun tangan sebelum yakin akan kesalahan orang. Saudara muda ini sama sekali bukan hwesio, tentu saja bukan merupakan hal aneh kalau dia makan daging dan minum arak."
Orang she Song itu kini berubah sikapnya. Dia cepat bangkit dan menjura ke arah Kun Liong sambil berkata, "Aihhh, mataku seperti buta! Harap suka memaafkan kecurigaan saya tadi, Siauw-enghiong. Semuda ini engkau telah memiliki kepandaian hebat, sungguh mengagumkan hatiku. Pertemuan ini harus dilanjutkan dengan persahabatan dan sudilah engkau menjadi tamu kami!"
Kun Liong cepat menjura, "Maaf, saya tidak dapat menerima kehormatan itu. Saya adalah seorang petualang biasa yang tidak ada artinya, dan saya lelah sekali hendak mengaso. Maaf!"
Dia lalu melangkah keluar dari warung itu, memasuki losmen sederhana, memesan kamar dan merebahkan dirinya di atas dipan di dalam kamar yang sempit itu, melupakan lagi urusan tadi. Akan tetapi diam-diam dia masih menaruh hati curiga terhadap ketiga orang yang hendak naik ke Siauw-lim-si.
Kecurigaannya ini membuat Kun Liong gelisah. Maka pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, dia mendahului tiga orang itu naik ke puncak, kembali ke Siauw-lim-si. Sedikitnya dia harus memberi tahukan Thian Kek Hwesio mengenai ketiga orang aneh yang hendak mengunjungi kuil dan yang keadaannya mencurigakan agar supaya Siauw-lim-pai dapat berjaga-jaga.
Meski pun sekarang Kun Liong melalui jalan yang jauh lebih sukar dari pada ketika dia meninggalkan puncak, yaitu jalannya terus mendaki, namun karena dia tergesa-gesa dan mempergunakan ilmu berlari cepat, maka menjelang senja sampai juga dia ke puncak dan memasuki halaman kuil Siauw-lim-si yang amat luas.
Heran hati pemuda ini menyaksikan kesibukan anak murid Siauw-lim-pai, dan setelah dia bertemu dengan ketua dan para tokoh Siauw-lim-pai di ruangan depan, bisa dibayangkan betapa kagetnya mendengar berita bahwa Thian Lee Hwesio telah tewas terbunuh orang dan baru saja kemarin jenazahnya tiba, dibawa oleh rombongan piauwsu yang kemarin dijumpai di tengah jalan. Kiranya yang berada di dalam kereta adalah sebuah peti yang terisi jenazah Thian Lee Hwesio!
Di dalam ruangan itu terdapat dua buah peti mati dan Kun Liong segera berlutut memberi hormat di depan kedua peti mati itu setelah dia mengetahui bahwa dua peti mati itu berisi jenazah sukong-nya, Tiong Pek Hosiang, dan jenazah Thian Lee Hwesio!
"Bukan pinceng tidak mentaati pesan terakhir dari Suhu," kata Thian Kek Hwesio kepada Kun Liong setelah mempersilakan pemuda itu duduk. "Akan tetapi sebelum kami dapat melaksanakan perintah Suhu dan memperabukan jenazahnya, telah datang jenazah Sute. Maka biarlah kita sekarang mengadakan upacara kepada dua jenazah, apa lagi karena sudah sepatutnya bila jenazah Suhu mendapat kehormatan dan menerima penghormatan para tokoh kang-ouw yang tentu akan berdatangan mendengar berita kematian Suhu dan Sute. Pinceng harap Sicu akan suka menunggu di sini sampai kedua jenazah ini selesai disempurnakan."
Kun Liong mengangguk. "Tentu saja, teecu akan menanti di sini karena teecu juga ingin sekali bertemu dengan tokoh-tokoh kang-ouw. Sudah menjadi kewajiban teecu pula untuk menunggu jenazah Sukong sampai diperabukan. Akan tetapi yang sangat mengherankan hati teccu, bagaimanakah Thian Lee-losuhu yang katanya mencari pusaka yang hilang, tahu-tahu kembali dalam keadaan sudah tewas dan siapa pula yang mengantar dengan kereta piauw-kiok itu?"
"Yap-sicu telah kami beri tugas untuk mencari kembali dua pusaka sesuai dengan pesan Suhu. Sekarang dengan terjadinya kematian Sute, tugas Sicu menjadi lebih berat. Agar jelas, baiknya Sicu mendengar sendiri penuturan para piauwsu yang mengawal jenazah Sute," kata Ketua Siauw-lim-pai yang segera memanggil enam orang piauwsu itu masuk ke ruangan, sedangkan dia sendiri melanjutkan memimpin para anak murid melakukan upacara sembahyangan terhadap dua peti mati terisi jenazah.
Enam orang piauwsu itu tercengang juga ketika diperkenalkan kepada Kun Liong yang mereka kenal sebagai pemuda gundul yang kemarin berjumpa dengan mereka di tengah jalan. Pada saat mendengar bahwa pemuda itu adalah sahabat baik Ketua Siauw-lim-pai, mereka segera memberi hormat, apa lagi ketika Ketua Siauw-lim-pai minta agar mereka menceritakan semua kepada Kun Liong, pimpinan piauwsu yang bermuka hitam segera mulai dengan penuturannya.
Sam-to Piauwkiok adalah sebuah perusahaan pengawalan dan pengiriman barang di kota Lam-san-bun yang sudah amat terkenal karena perusahaan ini dipimpin tiga orang kakak beradik yang tinggi ilmu silatnya, terutama sekali ilmu golok mereka yang sukar dicari tandingannya, sehingga terkenallah sebutan Sam-to-eng (Tiga Pendekar Golok). Karena itu, perkumpulan yang juga memakai nama Tiga Golok ini sangat dipercaya orang untuk mengawal pelancong atau barang-barang berharga.
Pada suatu hari, seorang pemuda tampan datang berkereta dan membawa sebuah peti yang panjang besar, menyerahkan peti itu kepada Sam-to Piauwkiok dan minta agar peti itu dikirimkan secepatnya ke Siauw-lim-pai dengan biaya mahal dan dibayar kontan pula!
"Karena pada waktu peti itu datang tiga orang pimpinan kami sedang tidak ada di rumah, maka sebagai pembantu-pembantunya kami menerima barang itu. Kami tidak mengutus para anak buah, melainkan kami mengawalnya sendiri mengingat akan baiknya hubungan antara tiga orang pemimpin kami dengan Siauw-lim-pai. Karena barang kiriman itu untuk Siauw-lim-si, maka harus kami jaga agar jangan sampai terjadi sesuatu di tengah jalan. Sama sekali kami tidak pernah menyangka bahwa peti itu berisi... berisi..."
"Jenazah Thian Lee-losuhu?" Kun Liong melanjutkan sebab pemimpin para piauwsu yang bermuka bitam itu kelihatan gagap.
"Benar, Yap-sicu. Kalau kami tahu apa isinya, hemmm... tentu kami akan menahan dia!"
"Siapakah dia yang mengirim peti itu?"
"Seorang pemuda tampan, namun sekarang, melihat bahwa peti itu berisi jenazah wakil Ketua Siauw-lim-pai, timbul dugaan kami bahwa agaknya pemuda itu adalah penyamaran dari dia..." Si Muka Hitam yang biasanya bersikap gagah itu kelihatan ragu-ragu dan jeri, tampak dari matanya yang otomatis melirik ke kanan kiri, seakan-akan dia merasa takut kalau-kalau suaranya terdengar orang lain!
"Siapakah dia yang kau maksudkan?"
"Giok... hong... cu..."
Kun Liong mengerutkan sepasang alisnya karena dia sama sekali tidak mengenal nama julukan Giok-hong-cu (Si Burung Hong Kemala) itu. "Hemmm, dia itu orang apakah?"
Pemimpin rombongan piauwsu itu memandang dengan muka heran, kemudian dia dapat menduga bahwa pemuda gundul yang diakui sebagai sahabat oleh Ketua Siauw-lim-pai itu agaknya adalah seorang yang sama sekali belum mengenal keadaan dunia kang-ouw, maka dengan penuh gairah seorang yang suka bercerita dia berkata,
"Dia adalah seorang wanita muda yang selama dua tahun ini namanya tersohor di seluruh dunia kang-ouw. Ilmu kepandaiannya hebat dan mengerikan, sepak terjangnya pun ganas sekali. Melihat betapa banyaknya tokoh-tokoh golongan putih yang sudah menjadi korban keganasan tangannya, agaknya dia adalah seorang tokoh baru golongan hitam, sungguh pun ada pula golongan hitam yang dibasminya. Dia adalah seorang tokoh penuh rahasia dan melihat bahwa isi peti adalah jenazah wakil Ketua Siauw-lim-pai, segera saja kami ingat kepadanya."
"Hemm, sungguh tidak baik kalau menuduh orang tanpa bukti, siapa pun juga orang itu," Kun Liong membantah. Hatinya merasa tidak rela ada orang menuduh seorang wanita muda yang melakukan pembunuhan keji terhadap Thian Lee Hwesio.
"Kami tidak menuduh sembarangan!" Si Muka Hitam itu membantah. "Sungguh pun dia berpakaian seperti seorang pemuda, akan tetapi wajahnya demikian tampan dan suara serta gerak-geriknya demikian halus. Dia pasti seorang wanita muda yang menyamar."
"Akan tetapi, bagaimana kau dapat memastikan bahwa dia itu tokoh wanita yang berjuluk Giok-hong-cu?"
"Karena Giok-hong-cu juga seorang dara muda yang cantik jelita, dan... di baju pemuda itu, pada bagian dada kiri, terdapat sebuah hiasan burung hong terbuat dari batu kemala. Kami sendiri belum pernah bertemu dengan Giok-hong-cu, tetapi kabarnya tokoh itu pun selalu menghias rambutnya dengan burung hong batu kemala, maka benda itu dijadikan julukannya karena tidak ada seorang pun tahu siapa namanya."
Kun Liong mengerutkan alisnya makin dalam. Blarpun dia tidak yakin benar akan tuduhan ini, namun dia mencatat semua itu di dalam hatinya untuk bahan penyelidikannya kelak. Dia bertugas dan ini perintah dari mendiang sukong-nya, untuk mendapatkan kembali dua buah benda pusaka Siauw-lim-pai yang dicuri orang. Dan karena Thian Lee Hwesio tewas dalam usahanya mencari pula pusaka itu, maka agaknya pembunuh hwesio tua itu tentu orang yang mempunyai hubungan dengan pencurian pusaka itu.
Dahulu pun orang yang memimpin pencurian, yang sudah melukainya, adalah seorang pemuda yang amat lihai sehingga tidak dapat tertangkap oleh tokoh-tokoh Siauw-lim-pai. Akan tetapi, pemuda itu dulu berkedok sapu tangan, dan tubuhnya memang kecil namun tegap dan gagah. Menurut penuturan Ketua Siauw-lim-pai, dua orang pencuri yang dapat tertangkap kemudian membunuh diri, mungkin sekali merupakan anggota Kwi-eng-pai di Kwi-ouw, melihat dari duri yang mereka pakai membunuh diri.
"Apakah Giok-hong-cu yang kau sebut itu seorang anggota Kwi-eng-pai?" tanyanya.
Kembali piauwsu itu kelihatan kaget dan jeri, menggeleng kepala dengan kuat. "Ahh, saya rasa ini… tidak ada hubungannya dengan Kwi-eng-pai... akan tetapi entahlah, sepanjang pendengaran kami, Giok-hong-cu selalu bergerak sendiri. Kwi-eng-pai terlalu besar untuk hanya diwakili oleh satu orang saja yang tidak pernah menyebut nama perkumpulan itu."
Kun Liong lalu mengangguk-angguk. "Jadi orang yang mungkin sekali menyamar sebagai Giok-hong-cu itu mendatangi Sam-to Piauwkiok di Lam-san-bun? Apakah memang dia tinggal di Lam-san-bun?"
"Yap-sicu, siapakah yang dapat mengetahui di mana tempat tinggalnya? Tetapi memang pada bulan-bulan terakhir ini sepak terjangnya berbekas di antara Lam-san-bun sampai ke kota raja."
Kun Liong merasa lega mendengar keterangan ini. Biar pun dia belum yakin benar bahwa tokoh wanita terkenal itu yang membunuh wakil Ketua Siauw-lim-pai, namun sedikitnya dia dapat menyelidikinya dan mencarinya antara Lam-san-bun dan kota raja.
Para piauwsu Sam-to Piauwkiok itu tidak lama berada di kuil Siauw-lim-si. Mereka segera berpamit untuk kembali ke Lam-san-bun dan melaporkan peristiwa hebat itu kepada tiga orang pimpinan mereka.
Setelah para piauwsu itu pergi, teringatlah Kun Liong akan tiga orang yang ditemuinya di warung, dan kecurigaannya bertambah. Dalam keadaan seperti pada waktu itu, setelah peristiwa hebat yang menimpa diri wakil Ketua Siauw-lim-pai, maka setiap orang yang datang ke Siauw-lim-si tentu mengandung niat yang meragukan. Siapa tahu kalau-kalau ketiga orang yang dijumpainya itu, yang jelas bukanlah orang-orang biasa, adalah anak buah Kwi-eng-pai atau setidaknya mempunyai hubungan dengan pembunuh Thian Lee Hwesio.
Pikiran ini mendorong Kun Liong untuk meninggalkan kuil dan menghadang di depan kuil, menanti kemunculan tiga orang yang dicurigai itu. Dia tidak menanti lama, karena segera tampak olehnya tiga orang yang ditunggu-tunggu itu berlari-lari mendaki puncak dengan gerakan cepat.
Diam-diam dia terkejut juga. Dia memang tahu bahwa mereka bertiga adalah orang-orang berkepandaian, terutama sekali Si Pengantuk yang telah dia saksikan kelihaiannya ketika Si Pengantuk yang disebut Tio-taihiap itu menyambar cawan arak yang terlempar dan menyedot arak yang tumpah keluar untuk kembali ke dalam cawan, membuktikan tenaga sinkang yang amat kuat. Akan tetapi melihat tiga orang itu menaiki puncak sambil berlari sedemikian cepatnya, dia benar-benar tercengang dan kecurigaannya bertambah.
Sekarang Siauw-lim-pai telah kedatangan tiga orang lawan berat, pikirnya. Lebih baik dia menghalangi mereka itu di luar supaya tidak mengacaukan dalam kuil di mana sedang diadakan upacara sembahyang terhadep dua jenazah dalam peti-peti mati.
Hari masih pagi di waktu itu. Kun Liong berdiri di tengah lorong kecil yang menuju ke kuil, membelakangi pintu kuil yang terbuka sebelah. Keadaan di luar kuil sunyi karena semua hwesio amat sibuk di sebelah dalam, melayani ketua dan para pimpinan yang melakukan sembahyangan. Dari luar terdengar bunyi liam-keng (doa) mereka dengan suara ketukan-ketukan mengiringi doa sembahyang seperti nyanyian puji-puji yang penuh khidmat.
Tiga orang itu menghentikan gerakan kaki mereka dan berdiri berhadapan dengan Kun Liong. Si Pengantuk berusaha melebarkan matanya yang sipit ketika melihat Kun Liong, sedangkan Si Muka Merah dan yang seorang lagi memandang dengan penuh keheranan dan juga mereka terlihat marah ketika mengenal bahwa yang menghadang di tengah jalan itu bukanlah seorang hwesio yang menyambut kedatangan mereka, melainkan pemuda gundul yang pernah ribut dengan Si Muka Merah di dalam warung! Kalau tadinya mereka itu sudah menghabiskan kecurigaan mereka setelah mendengar bahwa pemuda itu bukan seorang hwesio, kini mereka menjadi curiga lagi melihat pemuda itu menghadang mereka di depan pintu gerbang kuil Siauw-lim-si!
Orang she Tio yang tinggi kurus dan seperti mengantuk itu sudah mendahului dua orang kawannya, maju dan menjura kepada Kun Liong sambil berkata, "Kiranya sahabat muda yang menghadang kami di sini. Harap kau orang muda suka minggir dan membiarkan kami pergi memasuki kuil Siauw-lim-si, dan kalau ada urusan dengan kami, biarlah akan kita bicarakan kelak kalau urusan kami di Siauw-lim-si sudah selesai."
Kun Liong bersikap tenang, akan tetapi dia menggeleng kepalanya. "Pada saat ini Siauw-lim-si sedang tidak menerima kunjungan orang-orang asing. Harap Sam-wi kembali saja dari mana Sam-wi datang dan jangan memasuki kuil karena para suhu sedang sibuk."
"Ehh, ehhh, omongan apa ini?" Orang she Song yang bermuka merah menegur dengan suaranya yang galak. Dia memang termasuk orang yang wataknya berangasan. "Engkau bilang bahwa kau bukan seorang hwesio walau pun kepalamu gundul. Sekarang engkau menghalangi kami hendak memasuki Siauw-lim-si. Sebenarnya siapakah engkau dan apa kehendakmu terhadap kami?"
"Aku adalah seorang sahabat baik dari para pimpinan Siauw-lim-pai, karena itu aku harus mencegah kalian melakukan pengacauan di Siauw-lim-si."
"Manusia sombong! Apakah engkau menantang berkelahi?" Si Muka Merah membentak.
Kun Liong menggeleng kepalanya. "Aku tidak menantang siapa pun, akan tetapi aku tidak ingin melihat orang-orang menggunakan kepandaian untuk melakukan kejahatan, apa lagi terhadap Siauw-lim-pai. Oleh karena itu, harap Sam-wi (Tuan Bertiga) suka pergi lagi dan jangan mengganggu para pimpinan Siauw-lim-pai yang sedang sibuk."
"Bocah lancang! Engkau tidak tahu sedang berhadapan dengan siapa! Manusia sombong seperti engkau memang layak dlhajar!" Si Muka Merah sudah mengepal tinju dan hendak menerjang maju, akan tetapi Si Pengantuk melarangnya,
"Saudara Song, jangan!"
Si Muka Merah itu mundur kembali, akan tetapi mukanya menjadi makin merah karena dia marah bukan main. Sekarang Si Pengantuk melangkah maju menghadapi Kun Liong dan memandang penuh selidik, kemudian berkata,
"Sahabat muda, dengan tegas engkau melarang kami memasuki kuil Siauw-lim-si dan menuduh kami hendak mengadakan pengacauan. Agaknya engkau salah sangka. Kami bukan berniat melakukan kekacauan, karena itu harap engkau jangan menghalangi kami."
Kun Liong menggeleng kepalanya. "Melihat sikap kalian, aku tidak dapat percaya dan aku menduga bahwa tentu engkau tidak mempunyai niat baik. Akan tetapi, kalau engkau suka memberi tahu kepadaku apa niat kedatangan kalian bertiga, aku akan melaporkan kepada Ketua Siauw-lim-pai dan kalian menanti dulu di sini."
Akan tetapi Si Pengantuk masih kelihatan tenang dan sabar. "Orang muda, kami memang ada urusan penting sekali dengan Ketua Siauw-lim-pai, akan tetapi urusan ini tidak dapat kuberi tahukan kepada siapa pun juga."
"Kalau begitu menyesal sekali, kuharap kalian suka pergi lagi saja." Kun Liong berkata tegas.
"Kalau kami tidak mau dan hendak terus memasuki kuil?"
"Terpaksa aku mencegah kalian."
"Orang muda, engkau menantang kami?"
"Nah, lagi-lagi aku dituduh menantang!" Kun Liong tersenyum. "Engkau ini orang tua yang disebut taihiap yang berarti pendekar besar, maka dengan sendirinya seorang pendekar tentu maklum akan duduknya perkara. Sam-wi datang hendak memaksa memasuki kuil, aku sebagai seorang yang merasa pula bertanggung jawab akan keselamatan kuil Siauw-lim-si, menolak kedatangan Sam-wi dan minta supaya Sam-wi pergi lagi saja, akan tetapi Sam-wi hendak memaksa. Tentu saja aku akan mencegah kalau Sam-wi memaksa. Ehh, kini Sam-wi menuduh aku menantang! Benarkah pendapat seperti itu?"
Si Pengantuk she Tio berkata, kini suaranya terdengar dingin serta tegas. "Orang muda, agaknya engkau mempunyai sedikit kepandaian dan terlalu mengandalkan kepandaian itu sehingga berani bicara main-main dengan kami. Minggir dan jangan mencari perkara!"
"Kalian yang terlalu, aku tidak mau minggir."
"Kalau begitu bersiaplah kau, orang muda. Mari kita putuskan urusan ini dengan mengadu kepandalan."
"Aku tidak mau berkelahi."
Si Pengantuk tercegang dan bingung juga bagaimana harus bersikap terhadap pemuda gundul yang aneh ini. Si Muka Merah sudah membentak lagi,
"Dia pengecut!"
"Aku tidak takut kepada kalian bertiga, pasti aku bukan pengecut," bantah Kun Liong yang tersinggung juga disebut pengecut.
"Kalau berani, majulah!" tantang Si Muka Merah.
"Tentu saja berani, akan tetapi aku tidak suka berkelahi!"
"Ehh, orang muda! Engkau bersikap menantang kami akan tetapi menyatakan tidak suka berkelahi, sebenarnya apakah maksudmu!"
"Maksudku sudah jelas, Taihiap. Aku minta supaya kalian bertiga tidak memasuki kuil dan suka pergi dengan aman dan damai. Nah, bukankah kita tidak saling mengganggu dan urusan dapat dihabiskan sampai di sini saja?"
"Bocah sombong! Tio-taihiap, biarkan aku menghajarnya!" orang she Song yang bermuka merah tak dapat menahan kemarahannya lagi karena merasa bahwa pemuda gundul itu sengaja mempermainkan mereka. Teriakannya ini disusul dengan gerakan tubuhnya yang sudah menerjang maju dan mengirim pukulan tangan kanannya ke arah dada Kun Liong.
Biar pun pukulan kasar ini dilakukan dengan pengerahan sinkang dan cepat serta keras sekali datangnya, tapi bagi Kun Liong yang sudah dapat mengukurnya bukan merupakan serangan yang berbahaya. Karena itu, pemuda ini sama sekali tidak mau mengelak atau menangkis, melainkan dia menerima pukulan itu dengan dadanya sambil mengerahkan tenaga sinkang yang dahulu dipelajarinya dari Bun Hwat Tosu.
Dengan sinkang yang sama pula, dahulu Bun Hwat Tosu juga pernah menerima pukulan Hek-tok-ciang (Tangan Beracun Hitam) dari Ketua Ui-hong-pang tanpa terluka, bahkan Si Ketua itu sendiri yang terluka tangannya oleh pukulan sendiri yang membalik hawanya.
"Bukkkk!"
Keras sekali datangnya pukulan itu, tepat mengenai dada Kun Liong sehingga membuat tubuh pemuda gundul itu terguncang. Namun berkat tenaga sinkang yang membetot dan menolak, tangan yang memukul itu meleset seolah-olah memukul karet yang amat keras.
Dan Si Muka Merah itu meringis ketika tangannya menyeleweng dan tubuhnya terpental sampai terhuyung ke kiri! Ketika dia melihat ke arah tangan kanannya, tangannya itu telah bengkak-bengkak! Dan ketika dia melirik ke arah pemuda gundul itu, Si Pemuda masih berdiri tegak dengan sikap tenang dan mulut tersenyum.
"Hemm, tukang pukul orang! Masih ada lagikah pukulanmu yang lunak seperti tahu tadi?" Kun Liong mempermainkan Si Muka Merah yang menjadi marah sekali. Dengan tangan kirinya, Si Muka Merah sudah meraba punggung dan tampaklah sinar berkilauan ketika dia telah mencabut pedangnya.
"Saudara Song, jangan main senjata!" Si Pengantuk menegur.
"Sute, mundurlah!"
Orang bermuka pucat she Kui yang menjadi suheng dari Si Muka Merah sudah meloncat ke depan. Gerakannya lincah, ringan dan cepat bukan main. Sekaii pandang saja, tahulah Kun Liong bahwa kepandaian Si Muka Pucat ini lebih lihai darlpada Si Muka Merah yang kasar. Begitu menyerang, Si Muka Pucat she Kui itu telah mengirim totokan halus yang cepat sekali ke arah leher dan pundak Kun Liong.
Biar pun dia sama sekali belum berpengalaman, namun berkat bimbingan dua orang sakti yang berilmu tinggi, pandang mata Kun Liong menjadi awas sekali. Dia maklum bahwa amat berbahayalah untuk melindungi tubuhnya dengan sinkang seperti yang dilakukannya tadi karena kini yang menjadi sasaran serangan lawan adalah jalan darah yang lemah dan totokan lawan itu selain cepat juga mengandung hawa pukulan yang amat kuat.
Maka dia pun lalu menggerakkan tubuh mengelak dan begitu dia bergerak, Si Pengantuk menahan seruannya saking kagumnya. Gerakan Kun Liong ini jauh lebih cepat dari pada gerakan Si Muka Pucat dan serangan bertubi-tubi yang dilanjutkan oleh orang she Kui itu selalu tidak pernah berhasil, kalau tidak dielakkan tentu kena ditangkis secara tepat sekali oleh Kun Liong. Tidaklah mengherankan bila semua serangan itu gagal karena Kun Liong telah melindungi dirinya dengan gerakan-gerakan Ilmu Silat Sakti Im-yang Sin-kun bagian pertahanan.
Si Pengantuk yang memperhatikan dengan teliti gerakan Kun Liong, terkejut menangkap dasar-dasar Ilmu Silat Siauw-lim-pai. Akan tetapi ilmu silat yang dimainkan oleh pemuda itu hanya memiliki dasar ilmu silat Siauw-lim-pai, ada pun perkembangan dan gerakannya sama sekali tidak dapat dia kenali! Padahal, biasanya dia boleh berbangga bahwa jarang ada ilmu silat yang tidak dikenalnya, apa lagi ilmu silat yang berdasar Siauw-lim-pai.
Ketika kakek pengantuk itu melihat betapa pemuda gundul itu sama sekali tak membalas serangan temannya, akan tetapi semua serangan temannya itu sama sekali tidak pernah berhasil, tahulah dia bahwa temannya she Kui itu pun bukan lawan pemuda gundul yang ilmu silatnya amat aneh itu. Maka dengan gerakan ringan sekali bagaikan seekor burung terbang dia sudah meloncat ke depan, menyambar lengan temannya, lalu menarik sambil berseru, "Mundurlah, Saudara Kui!"
Tubuh orang she Kui yang bermuka pucat itu tertarik dan melayang meninggalkan lawan. Kun Liong yang kehilangan lawan itu memandang kaget ketika melihat betapa tahu-tahu lawannya telah berganti orang, yaitu Si Pengantuk yang dia tahu amat lihai.
"Sam-wi betul-betul keras kepala dan mau mengandalkan kepandaian untuk memaksakan kehendak sendiri!" Kun Liong mencela, namun tetap siap siaga menghadapi lawan yang dia tahu tak boleh dipandang ringan itu.
"Orang muda, engkaulah yang keras kepala. Pergilah!" Si Pengantuk sudah menyerang, akan tetapi gaya serangannya jauh berbeda dengan gerakan kedua orang temannya tadi, Si Pengantuk ini hanya menggerakkan tangan kirinya saja, dan ujung jari tangan kirinya melecut seperti ujung cambuk yang lemas, mengarah leher dan pundak Kun Liong.
Pemuda itu terkejut bukan main. Biar pun serangan itu kelihatannya bersahaja dan tidak sungguh-sungguh, namun kepretan tangan itu mendatangkan hawa pukulan yang panas sekali! Tentu saja dia tidak berani menerima serangan sehebat itu, maka cepat dia pun mengerahkan tenaganya ke arah tangan lalu menggerakkan tangan kanannya menangkis jari-jari tangan lawan itu dan dari tangannya mengepul uap putih.
"Plak! Plakkk!"
Kakek pengantuk itu mencelat mundur dengan terkejut sekali. Ternyata bahwa lengan pemuda gundul itu mampu menangkis kepretan ujung jari tangannya, padahal dia tahu benar bahwa jarang ada orang kang-ouw yang sanggup menangkisnya tanpa terdorong mundur atau terluka tangannya.
Pemuda itu menangkis dengan kekuatan dahsyat dan sama sekali tak terlihat menderita! Bahkan tangan pemuda itu mengeluarkan uap putih yang aneh! Lagi-lagi dia tadi sudah mempergunakan Pek-in-ciang yang dipelajarinya dari Tiong Pek Hosiang.
Kalau lawannya terkejut dan terheran, Kun Liong juga kagum sekali ketika merasa betapa hawa tamparan ujung jari itu membuat lengannya tergetar hebat. Makin yakinlah hatinya bahwa lawannya ini benar-benar berilmu tinggi!
"Orang muda, terpaksa aku tidak boleh mengalah lagi kepadamu!" Kakek pengantuk itu berkata.
Kedua lengannya lalu bergerak dan terdengarlah suara berkerotokan seolah-olah seluruh tulang-tulang lengannya patah-patah! Kun Liong yang belum terlalu banyak pengalaman memandang dengan dua mata terbelalak dan hati ngeri karena dia dapat menduga bahwa tentu kakek itu mengeluarkan ilmunya yang mukjijat.
"Omitohud... harap tahan dulu, Tio-taihiap...!"
Si Pengantuk dan Kun Liong yang telah siap untuk bertanding secara mati-matian karena maklum bahwa lawannya tidak boleh dibuat main-main, segera melangkah mundur dan menoleh. Ternyata Thian Kek Hwesio sendiri, Ketua Siauw-lim-pai yang sudah berada di situ.
Melihat kakek ini, Si Pengantuk cepat menjura dengan hormat diikuti dua orang temannya dan Si Pengantuk berkata,
"Harap Thian Kek-suhu suka memaafkan kami..."
Thian Kek Hwesio memandang Kun Liong dengan wajah terheran-heran, lalu bertanya, "Yap-sicu, apakah yang telah terjadi?"
Kun Liong sudah merasa terkejut dan menyesal sekali karena ternyata bahwa tiga orang itu betul-betul mengenal Ketua Siauw-lim-pai! Dengan terus terang dia menjawab, "Karena teecu curiga kepada mereka dan mengira mereka datang untuk mengacau Siauw-lim-si, maka teecu melarang mereka memasuki kuil sehingga terjadi pertengkaran."
Hwesio tua itu tampak kaget sekali. "Aihh... engkau tidak tahu siapa yang kau tentang ini, Sicu!"
Dia kembali menghadapi Si Pengantuk dan menjura sambil berkata, "Harap Taihiap sudi memaafkan Yap-sicu yang masih amat muda. Sesungguhnya Yap-sicu berniat baik untuk membela Siauw-lim-pai. Dia merupakan seorang sahabat kami yang baik... dan Yap-sicu, ketahuilah bahwa taihiap ini adalah Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan dan Tio-taihiap ini adalah pengawal kepala yang mulia Panglima Besar The Hoo!"
Si Pengantuk yang ternyata bukan orang sembarangan itu mengangkat tangan ke atas, mencegah Ketua Siauw-lim-pai itu melanjutkan perkenalan itu sambil berkata, "Losuhu, marilah kita bicara di dalam saja."
Hwesio itu mengangguk-angguk, kemudian mempersilakan mereka semua memasuki kuil. Kun Liong juga ikut masuk sambil memandang dengan penuh perhatian, diam-diam dia terkejut mendengar disebutnya nama Panglima Besar The Hoo tadi.
Kiranya kakek pengantuk itu seorang yang berpangkat tinggi! Dan mendengar julukannya, Ban-kin-kwi (Setan Bertenaga Selaksa Kati) dapat diduga bahwa kakek pengantuk itu tentu mempunyai sinkang yang amat kuat. Meski pun dia belum pernah mendengar nama Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan, akan tetapi melihat sikap Ketua Siauw-lim-pai itu terhadap Si Pengantuk ini, dia mengerti bahwa kakek pengantuk ini tentu seorang tokoh kang-ouw yang terkenal.
Memang demikianlah, kakek berusia lima puluh tahun yang kelihatannya seperti seorang pengantuk itu bukanlah orang biasa, melainkan seorang yang amat terkenal dan memiliki ilmu kepandaian tinggi. Siapakah yang tidak mengenal nama besar Panglima The Hoo? Dan pengawal panglima itu adalah Si Pengantuk ini yang merupakan pengawal paling setia, paling dipercaya oleh Panglima The dan paling lihai.
Melihat orangnya memang sama sekall tidak pantas kalau dia seorang kepala pengawal yang berkedudukan tinggi, lebih patut seorang pemalas yang selalu kurang tidur! Akan tetapi, pengawal itulah yang selalu mengawal Sang Panglima ketika Panglima Besar The Hoo melakukan pelayaran dan memimpin armada sampai jauh menyeberangi lautan dan menjelajah di negara-negara asing.
Sedangkan kedua orang kawannya itu adalah dua orang pengawal yang menjadi anak buahnya. Mereka juga bukan orang-orang biasa, melainkan kakak beradik seperguruan yang tentu saja sudah memiliki kepandaian tinggi untuk dapat diterima menjadi pengawal-pengawal Panglima The Hoo. Si Muka Pucat itu bernama Kui Siang Han, berusia empat puluh lima tahun sedangkan sute-nya, Si Muka Merah bernama Song Kin berusia empat puluh tahun.
Ketika Tio Hok Gwan dan dua orang temannya memasuki kuil dan melihat dua buah peti jenazah, dia terkejut bukan main. Apa lagi ketika mendapat keterangan bahwa peti-peti itu terisi jenazah Tiong Pek Hosiang dan Thian Lee Hwesio!
"Ahh... maafkan kami yang sama sekali tidak tahu akan hal yang menyedihkan ini dan berani datang mengganggu!" katanya dan cepat dia bersama dua orang anak buahnya lalu menyalakan hio (dupa) dan bersembahyang di depan kedua peti mati dengan penuh khidmat.
Setelah selesai sembahyang, tiga orang pengawal itu segera bertanya apa yang menjadi penyebab kematian dua orang tokoh Siauw-lim-pai itu. Thian Kek Hwesio memejamkan mata dan menarik napas panjang sambil merangkap kedua tangan di depan dada.
"Omitohud... mati hidup manusia berada di tangan Tuhan, tak ada yang harus disesalkan dalam menghadapi kematian seseorang. Akan tetapi, jika Suhu meninggal dunia dengan wajar karena usia beliau sudah terlampau tua, adalah Sute Thian Lee Hwesio meninggal secara menyedihkan sekali."
Dia kemudian menceritakan betapa rombongan piauwsu yang tidak tahu-menahu datang membawa peti yang terisi jenazah Thian Lee Hwesio yang terbunuh orang!
"Sungguh penasaran sekali!" Tio Hok Gwan berseru. "Ini merupakan tanda bahwa kaum sesat di dunia kang-ouw sudah mulai berani bergerak lagi!" Tentu saja hati pengawal ini menjadi penasaran karena semenjak Panglima The Hoo melakukan pembersihan, kaum sesat di dunia persilatan banyak yang terbasmi dan tidak berani sembarangan bergerak. Kini, wakil Ketua Siauw-lim-pai terbunuh, berarti bahwa kaum sesat agaknya sudah mulai berani unjuk gigi dan merupakan tantangan tak langsung kepada pemerintah!
Pada waktu diperkenalkan kepada tiga orang pengawal itu, Kun Liong lalu menjura dan berkata, "Harap Tio-taihiap bertiga suka memaafkan saya yang karena tidak mengenal telah bersikap kurang hormat."
Orang she Tio itu memandang Kun Liong dengan kedua mata hampir terpejam, kemudian mengangguk-angguk dan memuji, "Yap-sicu tidak usah bersikap sungkan. Kami kagum sekali melihat kegagahan Sicu, dan tidak merasa heran setelah mendengar bahwa Sicu adalah putera tunggal Yap Cong San yang sudah kami kenal. Siauw-lim-pai boleh merasa beruntung memiliki seorang sahabat seperti Sicu yang setia dan menjaga Siauw-lim-pai dengan gagah."
Sebagai tamu-tamu yang dihormati, ketiga orang itu dijamu makan oleh para pimpinan Siauw-lim-pai dan mereka pun tidak bersikap sungkan dan menerima undangan makan, sungguh pun hidangannya hanya terdiri dari masakan tak berdaging yang bersahaja dan minumnya hanya air dan teh tanpa setetes pun arak! Kun Liong yang dianggap ‘keluarga sendiri’ juga hadir. Setelah selesai makan, barulah Ketua Siauw-lim-pai bertanya,
"Pinceng mengerti bahwa kedatangan Sam-wi tentu membawa urusan yang amat penting. Pinceng harap Sam-wi tidak bersikap sungkan, dan sungguh pun di sini sedang tertimpa mala petaka, namun kami selalu siap untuk membantu Sam-wi. Maka harap Sam-wi suka menjelaskan urusan apa yang Sam-wi bawa dari kota raja."
Tio Hok Gwan menarik napas panjang, agaknya sukar baginya untuk membuka mulut dan menceritakan keperluan kedatangannya. Setelah beberapa kali meragu, akhirnya dia pun berkata,
"Memang benar apa yang Losuhu katakan. Apa bila kami tahu bahwa di Siauw-lim-pai terjadi hal yang sangat menyedihkan ini, tentulah kedatangan kami khusus untuk melayat dan berkabung saja. Akan tetapi karena kami tidak tahu, sebaiknya kami berterus terang saja. Kami memang sedang melaksanakan tugas, Losuhu, dan kini kami datang sebagai utusan pribadi dari Panglima The sendiri."
Thian Kek Hwesio cepat bangkit berdiri dan menjura penuh hormat kepada tiga orang itu, "Pinceng beserta para anak murid Siauw-lim-pai siap untuk melaksanakan perintah Yang Mulia Panglima The."
"Terima kasih atas kebaikan Losuhu. Sebenarnya tidak ada permintaan sesuatu kepada Losuhu maupun Siauw-lim-pai, hanya kami diutus melakukan penyelidikan dan mengingat akan luasnya pengaruh dan hubungan Siauw-lim-pai dengan dunia kang-ouw, kami ingin mohon bantuan Siauw-lim-pai dalam hal ini."
Thian Kek Hwesio menarik napas lega. Jelas bahwa urusan itu tak langsung menyangkut Siauw-lim-pai sehingga tidak akan timbul hal-hal yang tidak diinginkan.....