Petualang Asmara Jilid 11

Melihat dua orang yang tidak terkenal akan tetapi kemunculannya yang secara tiba-tiba membuktikan ilmu kepandaian mereka yang tinggi, tiga orang pendekar Secuan menjadi kaget. Lim Hwi Sian sudah mencabut pedangnya dan membentak dengan suara nyaring, "Apakah kalian juga orang-orang Pek-lian-kauw?!"

Ouw-siucai tersenyum lebar dan memandang Hwi Sian dengan sinar mata kagum penuh gairah. "Nona kecil yang manis dan pandai ilmu pedang, sungguh mengagumkan sekali!"

"Cih! Keparat bermulut lancang!" Hwi Sian sudah menyerang dengan tusukan pedangnya. Akan tetapi dengan gerakan amat ringan Ouw-siucai miringkan tubuhnya dan mendorong pundak dara itu sehingga terhuyung ke depan.

"Ihhhh... iblis keparat!"

"Sumoi, tunggu dulu!" menyaksikan ketangkasan sastrawan itu, Poa Sut It cepat-cepat mencegah sumoi-nya, kemudian dia berkata kepada mereka, "Melihat pakaian dan sikap Ji-wi, agaknya Ji-wi bukan dari Pek-lian-kauw. Siapakah Ji-wi dan ada keperluan apakah dengan kami?"

"Ha-ha-ha-ha-ha!" Kiang Ti tertawa bergelak. "Kalian adalah kaki tangan The Hoo seperti yang kami dengar dalam percakapan kalian dengan orang-orang Pek-lian-kauw tadi, dan karena itulah maka kalian semua harus kami bunuh, kecuali nona ini yang sudah lancang membunuh seorang anggota kami, maka dia harus menebus dosa lebih dahulu di dalam tangan Ouw-siucai, ha-ha-ha!"

Kun Liong merasa sebal mendengar ini dan kini dia mengerti kenapa Ketua Ui-hong-pang yang usianya lebih tua itu menyebut twako (kakak) terhadap Ouw-siucai, agaknya untuk menghormat karena dia memerlukan tenaga bantuan siucai cabul itu. Diam-diam dia ingin sekali keluar lalu membuka kejahatan mereka, akan tetapi dia takut menjadi bahan ejekan Hwi Sian, juga dia ingin melihat apakah tiga orang itu sanggup menghadapi dua orang ini yang agaknya lebih lihai dari pada kelima orang Pek-lian-kauw tadi. Karena itu dia tetap bersembunyi sambil menonton penuh perhatian.

Poa Sut It dan kedua orang adik seperguruannya memandang kepada Kiang Ti dengan tajam, kemudian terdengar Hwi Sian membentak, "Kiranya engkau orang Ui-hong-pang, kaki tangan iblis betina Si Bayangan Hantu!"

"Bocah bermulut lancang!" bentak Kiang Ti. "Engkau berani memaki guruku? Aku adalah Ketua Ui-hong-pang!" Berkata demikian, dia sudah menubruk maju untuk menyerang Hwi Sian.

"Eiiit, ingat, dia untukku, Kiang-pangcu (Ketua Kiang)!" Ouw-siucai berkata dan langsung menghadang sehingga Ketua Ui-hong-pang itu kini menggunakan kedua tangannya untuk menyerang Poa Sut It dan Tan Swi Bu.

Melihat pukulan yang hebat dari tangan yang berubah menghitam, dua orang ini maklum bahwa pukulan yang ini tidak boleh dipandang ringan. Mereka cepat mengelak kemudian memutar tubuh membalas dengan serangan pedang mereka dari kanan kiri.

Kiang Ti terkejut sekali melihat berkelebatnya dua sinar pedang yang amat cepat itu, dari kiri menyambar ke arah lehernya sedangkan sinar pedang dari kanan menyambar ke arah kaki. Tak ada jalan lain baginya kecuali meloncat ke belakang dengan cepat, menjatuhkan diri bergulingan sampai beberapa meter jauhnya. Pada saat dia meloncat kembali, tangan kanannya telah memegang senjatanya yang tadinya dililitkan di pinggang, yaitu sebatang rantai baja lemas yang pada ujungnya dipasangi bola baja. Mukanya agak pucat karena serangan kedua orang lawannya tadi benar-benar amat dahsyat.

"Hiaaaattttt…!"

Ketua Ui-hong-pang ini mengeluarkan pekikan panjang dan dia sudah menerjang maju sambil memutar senjata rantai bajanya.

"Cringgg…! Tranggg…!"

Dua orang lawannya menangkis dengan pedang hingga tampak bunga api berpijar ketika senjata rantai itu bertemu dengan pedang-pedang itu. Selanjutnya terjadilah pertandingan yang seru antara mereka, namun segera rantai baja terhimpit dan terdesak oleh kedua sinar pedang, membuat Kiang Ti terpaksa harus mengeluarkan seluruh tenaganya dan sebentar saja dia sudah mandi keringat.

Hati Kun Liong merasa lega ketika dia melihat keadaan kedua orang suheng dari Hwi Sian itu karena dia maklum bahwa keadaan mereka tidak perlu dikhawatirkan. Akan tetapi ketika dia melihat keadaan Hwi Sian sendiri, dia menjadi amat terkejut dan diam-diam dia mencari tempat pengintaian yang lebih dekat.

Walau pun ilmu pedang dara itu sangat tangkas, namun ternyata dia bukanlah tandingan Ouw-siucai atau Ouw Ciang Houw yang amat lihai. Sambil tersenyum-senyum sastrawan cabul itu mempermainkan Hwi Sian, hanya dengan tangan kosong menghadapi pedang dara remaja itu, mengelak ke sana ke mari sambil mengejek dan menggoda,

"Aih, luput lagi, Nona manis! Kalau marah begini engkau bertambah cantik saja. Aihhh, tidak kena! Wah, kedua pipimu menjadi merah jambon, ingin aku menciumnya!"

Ketika pedang menyambar ke dada, siucai itu membuat sedikit gerakan dan pedang itu sudah dijepitnya di bawah lengan, kemudian dia mendekatkan mukanya hendak mencium pipi Hwi Sian sambil memperdengarkan suara menyedot.

"Biadab...!" Hwi Sian memaki dan cepat-cepat menarik tubuh atasnya ke belakang sambil menendangkan kakinya ke arah perut lawan dan menarik pedangnya dengan sepenuh tenaganya.

"Wahhh, galaknya! Makin galak semakin menyala!" Ouw-siucai melepaskan pedang yang dijepit lengan, kemudian menyambar kaki yang menendang.

Nyaris kaki itu tertangkap, akan tetapi ternyata Hwi Sian cukup cerdik. Sebelum kakinya tertangkap, pedangnya sudah berkelebat membabat dari samping ke arah tangan yang hendak menangkap kakinya. Pada waktu lawan menarik tangannya, dia pun meloncat ke belakang dengan muka amat merah, siap untuk bertanding mati-matian sebab dia maklum bahwa lawannya benar-benar amat lihai.

"Ouw-twako... lekas robohkan dia dan bantulah aku...!" terdengar Kiang Ti berseru minta bantuan kepada temannya.

"Ha-ha-ha-ha, baiklah, Kiang-pangcu. Nah, kau tidurlah dulu, Nona manis, nanti aku akan menemanimu!"

Sambil berkata demikian, Ouw Ciang Houw menerjang dengan hebatnya, menggunakan jari-jari tangannya untuk menotok dengan sasaran jalan-jalan darah pada tubuh nona itu. Repot sekali Hwi Sian mengelak dan melindungi tubuh dengan pedang, akan tetapi dia terdesak hebat dan agaknya tidak lama lagi benar-benar dia harus tidur dulu oleh totokan!

"Ouw-siucai sastrawan keparat!" Tiba-tiba Kun Liong sudah melompat keluar dari tempat sembunyinya dan langsung dia mengulur tangannya hendak menangkap dan mendorong pundak Ouw Ciang Houw. Gerakannya bukanlah serangan berdasarkan ilmu silat, tetapi hanya sekedar untuk menyuruh siucai itu mundur dan tidak mendesak Hwi Sian.

Melihat munculnya seorang pemuda tanggung yang berkepala gundul, Ouw Ciang Houw menyangka seorang hwesio muda, maka dia cepat mengelak. Akan tetapi tanpa disadari sendiri oleh Kun Liong, pemuda itu telah memiliki gerakan yang amat luar biasa. Karena hatinya ingin memegang pundak dan mendorong, otomatis gerakannya pun mengandung unsur Ilmu Silat Pat-hong Sin-kun yang dapat memotong jalan delapan penjuru, karena itu pengelakan Ouw Ciang Houw sia-sia saja, tahu-tahu pundak siucai itu dapat didorongnya sehingga tubuh Ouw-siucai terhuyung ke belakang!

"Ehhh...!" Ouw-siucai berseru kaget bukan main karena dia sendiri tidak tahu bagaimana elakannya sampai gagal, hanya dia merasa lega bahwa tenaga dorongan ‘hwesio’ muda itu ternyata tidaklah begitu hebat. "Hwesio busuk dari mana berani berlancang tangan mencampuri urusanku?" bentaknya sambil memandang dengan mata melotot kepada Kun Liong.

Kalau saja tidak disebut hwesio masih mending, akan tetapi kini bahkan disebut hwesio busuk, tentu saja perut Kun Liong terasa panas. Maka sepasang matanya memandang dengan sinar mata bercahaya aneh dan tajam menusuk sehingga Ouw-siucai sekali lagi terkejut setengah mati. Mata itu tiba-tiba menjadi mata setan, pikirnya seram.

"Engkau ini seorang sastrawan, akan tetapi berwatak cabul, genit, dan tersesat. Apakah engkau akan mengulangi perbuatanmu yang biadab di perahu itu lima tahun yang lalu?" Kun Liong menegur. "Bukankah sudah banyak kitab kuno yang kau baca, yang mengajar bagaimana orang harus hidup benar? Sudah lima tahun namun belum bertobat, belum sadar malah semakin gila!"

Untuk ke tiga kalinya siucai itu terkejut dan heran. "Siauw-suhu dari kuil dan golongan mana? Harap tidak mencampuri urusan ini karena urusan ini adalah persoalan pribadi dan permusuhan dari kedua golongan!"

Makin mendalam kerut alis Kun Liong, apa lagi ketika mendengar suara ketawa tertahan di belakangnya. Dia sudah hafal benar suara ketawa tertahan dari Hwi Sian itu!

"Aku bukan dari kuil dan golongan mana pun juga!" Dia membentak. "Bahkan aku sama sekali bukan hwesio. Engkau Ouw Ciang Houw sastrawan sesat yang dulu memperkosa isteri guru silat Gui Tiong di perahuku, kemudian mengakibatkan matinya suami isteri itu. Ingat?"

Untuk ke empat kalinya Ouw Ciang Houw terbelalak heran. "Wah-wah...!" Kemudian dia menggaruk-garuk kepalanya. "Jadi kau... Si Gundul bocah tukang perahu itu...?"

"Wuuuuttt, plakkk!"

Kembali Ouw Ciang Houw terhuyung karena Kun Liong telah menampar pipinya dan biar pun tadi dia mengelak, tetap saja pipinya kena tampar! Hal ini amat mengherankan bagi Ouw Ciang Houw yang berkepandaian tinggi, akan tetapi sama sekali tak mengherankan bagi Kun Liong.

Pemuda gundul ini hanya mengira bahwa sastrawan itu barusan tidak sungguh-sungguh mengelak, maka dorongannya tadi dan tamparannya mengenai sasaran! Dia tidak sadar bahwa sesudah memiliki Ilmu Silat Tinggi Pat-hong Sin-kun (Silat Sakti Delapan Penjuru Angin), setiap gerakannya memang mengandung gaya yang luar biasa sehingga sukar diduga lawan ke mana hendak meluncur!

"Bocah setan, agaknya kau sudah bosan hidup!" Ouw Ciang Houw menjadi marah sekali dan dengan pengerahan tenaganya dia lalu memukul ke arah kepala dan dada Kun Liong secara cepat sekali dengan kedua tangannya.

Kun Liong paling anti apa bila kepalanya dibuat permainan, apa lagi dipukul. Sesudah dia gundul, segala sesuatu yang menyinggung kepalanya benar-benar menyakitkan hatinya, maka kini dia mengangkat tangan menangkis pukulan yang mengancam kepalanya. Akan tetapi, pukulan ke arah dadanya tak sempat ditangkisnya lagi, maka otomatis bergeraklah tenaga sinkang yang dilatih selama lima tahun.

"Bukkk! Auuuuwww... duhhh...!"

Ouw Ciang Houw memegangi tangan kirinya yang seolah-olah remuk rasanya pada saat membentur dada Kun Liong tadi.

"Engkau malah berani memukul kepalaku, ya? Benar-benar engkau orang jahat dan perlu dihajar!" Kun Liong sudah maju dan tangan kirinya bergerak dari depan memukul dada lawan.

Biar pun kesakitan, Ouw Ciang Houw yang dapat menduga bahwa Si Gundul ini memiliki kepandaian aneh. Dia segera menangkis, akan tetapi sungguh di luar dugaannya ketika tiba-tiba kepalanya ditempiling oleh tangan kanan Kun Liong dari belakang.

"Plenggg…!" Dan dia terguling!

Inilah keistimewaan gerak Pat-hong Sin-kun! Serangan pertama dari depan hanya untuk memancing perhatian, sedangkan serangan susulan datang dari arah berlawanan. Dalam ilmu silat sakti ini banyak serangan macam ini yang datang dari delapan penjuru!

Ouw Ciang Houw hanya merasa kepalanya pening saja, maka begitu terguling dia dapat meloncat berdiri lagi. Kemarahannya membuat mukanya berubah pucat sekali, tangannya lantas meraba punggung dan tampaklah cahaya berkilat ketika dia mencabut pedangnya menerjang Kun Liong.

"Trangggg…!"

Hwi Sian telah menangkis pedang itu, padahal tentu saja Kun Liong pun sudah siap untuk menghindarkan serangan tadi. Terjadilah pertandingan pedang yang seru antara Hwi Sian dan sastrawan itu.

Melihat betapa hanya dalam belasan jurus dara itu langsung terdesak hebat, Kun Liong menjadi khawatir sekali. Untuk maju dengan tangan kosong saja dia merasa ngeri, maka dia lalu meloncat ke atas pohon, mematahkan sebuah dahan pohon dan meloncat turun terus langsung menerjang Ouw-siucai dengan senjata dahan di tangan. Begitu menerjang tentu saja dia menggunakan gerakan dari Ilmu Siang-liong-pang dan hebat bukan main akibatnya!

Bukan hanya Ouw-siucai yang cepat berloncatan mundur, bahkan Hwi Sian juga bingung melihat tiba-tiba banyak sekali tongkat melayang ke sana-sini dengan ganasnya sehingga dara itu pun segera meloncat mundur! Akan tetapi, tongkat dahan itu terus menyerang Ouw-siucai yang berusaha menangkis dengan pedangnya.

Celaka baginya, tongkat yang ditangkis itu seperti dapat mengelak dan tahu-tahu lengan kanannya yang memegang pedang terpukul tongkat. Bukan main nyeri rasanya sehingga kalau saja dia tidak mempertahankan pedangnya dengan tenaga sinkang, tentu pedang itu akan terlepas. Akan tetapi, gebukan kedua menyusul tanpa dapat diduganya.

“Bukk!” terdengar suara dan tubuhnya kembali terguling karena pantatnya sudah terpukul sehingga daging pinggul rasanya remuk-remuk!

Kini maklumlah Ouw-siucai bahwa kalau dia melanjutkan pertandingan, dia dan temannya akan mati konyol. Maka dia bersuit keras, tubuhnya mencelat ke dekat temannya yang sedang didesak hebat, lalu pedangnya bergerak menangkis memberi kesempatan kepada Kiang Ti untuk melepaskan diri dari kepungan sinar pedang lawan, kemudian keduanya melompat jauh dan melarikan diri tanpa berani menoleh sama sekali!

Tiga orang itu hendak mengejar, akan tetapi Kun Liong segera berkata, "Mereka sudah mendapatkan pelajaran, tentu sudah bertobat. Perlu apa dikejar lagi?"

Poa Su It menyuruh kedua adiknya berhenti, kemudian mereka menghampiri Kun Liong dan orang tertua di antara mereka itu lantas menjura, "Ah, kiranya Laote adalah seorang pendekar muda yang berilmu tinggi!"

"Sungguh kami telah bersikap kurang hormat!" kata pula Tan Swi Bu.

"Ji-wi Suheng (Kakak Seperguruan Berdua), kalau tidak ada dia, tentu sumoi-mu ini telah celaka di tangan siucai busuk tadi!" kata Lim Hwi Sian yang kini memandang kepada Kun Liong dengan sinar mata penuh kagum.

Kun Liong mengerutkan alisnya dan membuang tongkatnya dengan hati mengkal. Masih berdengung di telinganya suara ketawa Hwi Sian tadi pada saat dia disebut hwesio busuk oleh Ouw-siucai. Kini mereka memuji-mujinya. Siapa tahu di balik pujian bibir manis dari dara itu tersembunyi ejekan terhadap kepala gundulnya!

Dengan suara dingin dia berkata, "Aku hanyalah seorang gundul yang tidak ada artinya. Selamat tinggal!" Sesudah berkata demikian, dia lalu melangkah pergi tanpa menengok lagi.

"Ehhh, sungguh aneh!" kata Tan Swi Bu.

"Hemm, dia marah, agaknya masih marah karena engkau pernah mentertawai kepalanya, Sumoi!" Poa Sut It berkata menyesal. Dia tahu bahwa pemuda tanggung yang gundul itu adalah seorang yang luar biasa, dan sebetulnya dia ingin sekali tahu siapakah pemuda itu dan murid siapa.

Lim Hwi Sian juga merasa menyesal, apa lagi ketika dia teringat betapa tadi belum lama ini dia terpaksa tertawa lagi melihat Ouw-siucai yang jahat juga salah duga, menganggap pemuda itu seorang hwesio!

"Biarlah aku minta maaf kepadanya!" katanya lalu berlari mengejar Kun Liong yang sudah lenyap di balik sebuah tikungan.

Kedua orang suheng-nya hanya saling pandang dan membiarkannya saja, bahkan tetap menunggu di sana dengan harapan mudah-mudahan sumoi mereka dapat menyabarkan hati pemuda gundul yang luar biasa itu sehingga mereka dapat saling berkenalan.

"Taihiap, tunggu dulu...!"

Kun Liong amat terkejut dan heran mendengar suara wanita ini. Sebelum dia menengok, tampak bayangan berkelebat dari belakangnya dan kiranya Hwi Sian kini sudah berdiri di depannya dengan wajah sungguh-sungguh.

Dia menyebut aku ‘taihiap’! Jantung Kun Liong berdebar. Sebuah ejekan barukah ini? Dia disebut pendekar besar! Bila dara itu kembali mengejeknya, pasti akan dimakinya! Diejek orang lain tidak apa-apa, akan tetapi diejek dara ini! Sakit hatinya! Kini dia sadar bahwa sikap pemarahnya akhir-akhir ini mengenai kepala gundulnya adalah karena orang-orang melakukannya di depan dara ini.

"Kau... kau mau apakah menyusul aku?" tanyanya, gagap karena pandangan mata dara itu benar-benar membuat dia canggung, malu dan bingung.

"Kami tahu bahwa Taihiap marah, dan memang sepantasnyalah kalau Taihiap..."

"Ahh, sebutanmu ini ejekan ataukah pujian kosong? Kalau ejekan, tidak perlu kita bicara lagi, kalau pujian kosong, kuharap jangan lakukan itu. Aku tidak suka disebut Taihiap, baik ejekan mau pun pujian."

Sepasang mata yang jeli dan indah itu terbuka lebar-lebar, memandang bingung. "Habis disuruh menyebut apakah aku ini?"

"Namaku Kun Liong, Yap Kun Liong, bukan pendekar besar, bahkan bukan pula pendekar kecil. Sebut saja namaku, beres!"

"Wah, mana aku berani? Bia aku menyebut Yap-enghiong (Orang Gagah Yap) saja."

"Aku bukanlah enghiong, bukan pula bu-hiap (pendekar silat), aku hanya seorang gundul yang..."

"Stop! Kau benar-benar marah besar dan semua adalah karena kesalahanku! Kami sudah berhutang budi padamu, bahkan mungkin aku berhutang nyawa, dan aku telah membuat engkau marah besar dan sakit hati. Tidak... tidak adakah maaf bagiku?"

Melihat sinar mata itu sayu penuh penyesalan dan suara itu demikian minta dikasihani, kekerasan hati Kun Liong akibat kemarahannya tadi hancur luluh, mencair bagaikan salju digodok! Cepat dia mengangguk dan menjawab, "Tentu saja aku memaafkanmu, bahkan tidak perlu kau minta maaf karena sebetulnya aku tidak marah kepadamu, hanya... ehhh, malu karena kepalaku..."

"Mengapa dengan kepalamu? Kepalamu tidak apa-apa, bahkan... hemmm... baik sekali bentuknya!"

"Sesungguhnyakah?"

"Aku berani bersumpah tidak membohongimu. Yap-enghiong, ehhh..."

"Jangan sebut enghiong segala, namaku Kun Liong, tanpa embel-embel."

"Kun... Kun Liong, kini aku telah berhutang nyawa kepadamu, bagaimana aku akan dapat membalasmu?"

"Hemmm, berkali-kali kau menyatakan hutang nyawa, nama pun belum kau perkenalkan kepadaku, Lim Hwi Sian!"

"Ehh, engkau tahu...?"

Kun Liong tersenyum dan sinar matanya kini sudah berseri penuh kenakalan.

"Setan gundul tentu saja tahu segala!"

Mata yang jernih itu terbelalak. "Engkau sangat aneh, orang sudah berhati-hati untuk tidak menyinggungmu, engkau malah memaki-maki diri sendiri setan gun..."

"Teruskan saja! Ha-ha-ha, memang kepalaku gundul. Nih, halus bersih, kan?" Kun Liong menundukkan kepalanya dan mengelus-elusnya. "Kau boleh menyebut aku gundul seribu kali asal jangan mentertawakan. Asal engkau tidak jijik melihatnya."

"Siapa yang jijik? Aku bahkan senang melihatnya. Memang lucu, akan tetapi lucu bukan berarti buruk. Contohnya, seorang bayi selalu lucu, dan tidak pernah buruk! Semua orang ingin memeluk dan menciumnya."

"Wah, apakah kepalaku juga menimbulkan hasrat orang untuk menciumnya?" Kun Liong memandang nakal dan senyumnya melebar ketika dia melihat dara itu tersipu-sipu malu dan sepasang pipinya berubah kemerahan, apa lagi bibirnya yang menjadi merah sekali. Tiba-tiba saja Kun Liong ingin kepalanya dicium oleh bibir seperti itu!

"Engkau memang orang yang lucu dan gagah, Kun Liong. Aku sudah kau tolong, entah bagaimana aku dapat membalas kebaikanmu."

"Benarkah engkau ingin membalasnya? Dan engkau tidak akan marah kalau aku minta kau melakukan sesuatu untuk membalasnya?"

"Tidak, Kun Liong. Bagaimana aku bisa marah kepadamu?"

"Sumpah?"

"Sumpah apa?"

"Bahwa engkau tidak akan marah kepadaku?"

"Aku bersumpah!"

"Wah, engkau mudah sekali bersumpah, Hwi Sian."

"Tentu saja, karena memang aku sungguh-sungguh. Sudahlah, lekas katakan saja, apa permintaanmu itu?"

"Aku... aku... ehhh... aku ingin kau... hemmm..."

"Mau apa sih engkau ini? Ah-ah eh-eh, ham-ham hem-hem seperti orang gagu."

"Hwi Sian, aku ingin kau... ehh…, mencium gundulku satu kali saja!"

Hwi Sian terbelalak, hidungnya kembang kempis, kedua pipinya merah sekali akan tetapi matanya mengeluarkan cahaya aneh, tersipu dan berseri. "Dekatkan kepalamu," katanya lirih.

Kun Liong hampir tidak percaya. Dia sudah khawatir kalau dara remaja itu marah dan kalau marah, dia pun tidak akan menyalahkan Hwi Sian. Siapa sangka dara itu menerima permintaannya! Dengan kulit muka merah sampai ke kepalanya, dia menundukkan kepala dan agak membungkuk di depan Hwi Sian.

Dengan kedua tangan, tanpa ragu-ragu gadis itu memegang pinggiran kepalanya, lantas menunduk dan mencium kepala gundul itu, mencium lagi, mencium lagi. Tiga kali, bukan hanya satu kali seperti yang dimintanya!

Berdebar tidak karuan rasa jantung Kun Liong. Kepalanya yang disentuh hidung dan bibir hangat basah itu terasa geli seperti digelitik, rasa geli yang menembus seluruh tubuhnya, membakar darahnya hingga membuat mukanya merah, napasnya agak terburu. Dengan mendadak dia mengangkat mukanya menengadah, kemudian dengan tubuh masih agak membungkuk dia berkata, "Kau baik sekali... uppphh..."

Karena dia membuat gerakan menengadah sedangkan Hwi Sian masih menunduk di atas kepalanya, tanpa disengaja mulut mereka bersentuhan, membuat keduanya meloncat ke belakang dengan muka merah padam!

"Ehh... ohhh... maafkan, aku, Hwi Sian, aku tak sengaja...! Terima kasih, engkau... engkau sungguh baik sekali, selama hidup takkan kulupakan saat ini..."

"Ihhh... huu-hukk..." Dara itu tiba-tiba terisak, membalikkan tubuh lalu melompat dan lari pergi meninggalkan Kun Liong!

"Hwi Sian...!" Kun Liong memanggil, akan tetapi dara itu terus lari dan lenyap di tikungan.

Kun Liong tak berani mengejar, merasa malu sekali kalau peristiwa tadi sampai diketahui kedua orang suheng dara itu. Dia pun lalu melanjutkan perjalanannya sambil mengangkat kedua pundak beberapa kali, kemudian tersenyum-senyum bila mana teringat betapa Hwi Sian sudah mencium kepalanya sampai tiga kali, bahkan ada tambahannya yang sangat hebat, yaitu pertemuan bibir mereka tanpa sengaja.

Dia memejamkan mata sambil menarik napas panjang. Diusapnya kepala yang dicium tadi dan dibawanya jari tangan yang mengusap itu ke depan hidung dan mulut, menyedot penuh kegirangan karena seolah-olah tercium olehnya bau harum seperti yang diciumnya ketika Hwi Sian berada di dekatnya tadi. Semua ini dilakukan dengan mata terpejam dan kaki masih melangkah berjalan.

"Bruuuusss…!"

Kun Liong jatuh menelungkup karena kakinya tertumbuk pada akar pohon. Dahinya benjol sedikit, dia bangkit berdiri dan diusapnya benjolan itu, akan tetapi mulutnya masih tetap tersenyum ketika dia melanjutkan perjalanan.

Ternyata kegembiraan hati Kun Liong tidak berlangsung lama karena kurang lebih dua jam kemudian setelah dia berpisah dari Hwi Sian dan memasuki hutan ke dua, tiba-tiba dia bertemu dengan serombongan orang yang membuat dia terkejut bukan main.

Rombongan ini terdiri dari delapan orang dan semua orang ini sudah dikenalnya. Dua orang sudah jelas adalah Ouw Ciang Houw dan Kiang Ti yang tadi melarikan diri, dan lima orang lagi adalah anggota Pek-lian-kauw yang tadi pun melarikan diri setelah dihajar oleh Hwi Sian dan dua orang suheng-nya.

Akan tetapi yang seorang lagi adalah seorang berpakaian seperti tosu, usianya tentu lebih dari enam puluh tahun, memegang tongkat yang panjangnya hanya tiga kaki saja. Yang mengejutkan hati Kun Liong sehingga membuat dia bisa mengenal tosu ini adalah karena mata tosu itu seperti mata orang buta, hanya tampak putih saja tanpa ada manik mata yang hitam. Tidak salah lagi, tosu ini tentulah Loan Khi Tosu, tokoh Pek-lian-kauw yang pernah diusir oleh ayahnya pada waktu hendak membunuh tiga orang perwira pengawal di Leng-kok!

"Nah, itu dia setan cilik gundul!" Kiang Ti dan Ouw Ciang Houw membentak ketika mereka melihat Kun Liong berjalan seenaknya. "Dialah yang terlihai di antara mereka!"

Kun Liong berdiri dan menenangkan hatinya yang sebenarnya tidak tenang karena dia maklum bahwa dia berhadapan dengan orang-orang yang kejam. Akan tetapi karena dia tidak merasa bersalah, seujung rambut pun dia tidak merasa takut.

Dengan tegak dia berdiri sambil membiarkan delapan orang itu mengurungnya, kemudian dia pun bertanya kepada Ouw Ciang Houw, Kiang Ti, dan Loan Khi Tosu yang berdiri di depannya, "Cu-wi (Anda Sekalian) ini mau apakah mengurung aku yang tidak bersalah apa-apa?"

Mendengar suara ini, Loan Khi Tosu menggerak-gerakkan dua biji matanya dan berusaha memandang lebih jelas. Sungguh pun matanya yang lamur hanya dapat melihat bentuk seorang pemuda tanggung berkepala gundul, namun telinganya mampu menangkap lebih jelas lagi, membuat dia merasa yakin bahwa yang berdiri di hadapannya adalah seorang anak laki-laki berusia paling banyak enam belas tahun.

Yang membuat dia heran adalah karena di dalam suara itu terkandung keberanian dan ketenangan yang tak dibuat-buat dan dalam keadaan dikurung lawan sikap tenang seperti ini hanyalah sikap seorang jagoan yang mempunyai kepandaian tinggi dan sudah percaya penuh akan kemampuannya. Tentu saja dia tidak tahu bahwa Kun Liong bersikap tenang bukan karena mengandalkan kemampuannya, melainkan karena tidak merasa bersalah.

"Ah, dia hanya seorang anak laki-laki yang belum dewasa benar," Loan Khi Tosu berkata dengan nada mencela. Menghadapi seorang anak-anak saja, mengapa teman-temannya ini kewalahan dan kelihatan jeri benar?

"Biar pun dia masih kecil, dialah yang melindungi tiga pendekar Secuan itu dan karena dia maka mereka dapat lolos!" kata Kiang Ti.

"Hemm, bocah. Engkau siapakah dan mengapa engkau mencampuri urusan kami?" Tosu itu kini bertanya.

"Loan Khi Tosu, aku tidak pernah suka mencampuri urusan orang lain, hanya tidak ingin melihat orang menggunakan ilmu silat untuk menyerang, melukai atau membunuh orang seperti yang kau lakukan di kuil di luar kota Leng-kok dahulu itu!"

"Siancai...!" Loan Khi Tosu mengerutkan sepasang alisnya. "Engkaukah setan cilik itu? Saudara-saudara tangkap dia ini! Dia adalah putera Yap Cong San di Leng-kok!"

"Ehh...?" Kiang Ti yang banyak mengenal tokoh-tokoh persilatan karena dia adalah ketua perkumpulan Ui-hong-pang, berseru kaget, "Tetapi, bukankah Yap-sinshe (Tabib Yap) itu adalah murid Siauw-lim-pai?"

"Bukan murid Siauw-lim-pai lagi," kata Loan Khi Tosu. "Dia sudah tidak diakui lagi dan hal ini tentu saja tidak ada sangkut pautnya dengan Siauw-lim-pai."

"Tapi... sekarang ayahnya menjadi pelarian, dimusuhi pemerintah!" Kembali ada bantahan dan sekali ini dari mulut Ouw Ciang Houw datangnya.

"Benar, dan karena itulah maka kita tak akan membunuhnya, hanya akan menangkapnya sebagai sandera. Kita perlu bantuan orang pandai, dan dengan dia sebagai umpan, maka kita dapat memancing tenaga bantuan dari ayah bundanya, dan siapa tahu, kelak Siauw-lim-pai juga..."

Mengertilah para teman tosu itu sehingga serentak mereka lantas menubruk maju hendak menangkap Kun Liong. Kun Liong sendiri masih tidak mengerti akan maksud percakapan mereka, maka dia sibuk mengelak dan menangkis.

"Ehh, ehhh, kalian ini mau apa? Aku tidak ingin berkelahi! Di antara kita tidak ada urusan apa-apa!"

Akan tetapi, percuma saja Kun Liong berteriak-teriak dan karena ada tujuh orang yang mengeroyoknya, semua mempunyai kepandaian tinggi, repot juga dia dan beberapa kali tubuhnya kena hantaman. Meski pun semua pukulan itu meleset karena secara otomatis sinkang-nya yang istimewa itu membuat setiap pukulan meleset, tapi kulit tubuhnya terasa panas dan nyeri-nyeri juga, apa lagi setelah beberapa kali ada pukulan mengenai kepala dan mukanya, mulai terasa panas perut Kun Liong.

Dia sendiri tidak tahu kenapa semenjak belajar pada Bun Hwat Tosu, terutama semenjak dia mempelajari sinkang yang aneh itu, setiap kali datang kemarahan, perutnya menjadi panas. Dia tidak tahu bahwa ini adalah akibat latihan sinkang istimewa dari bekas Ketua Hoa-san-pai itu!

Tadinya para pengeroyok itu tidak ingin memukul karena sesuai dengan perintah Loan Khi Tosu yang memimpin rombongan itu, mereka hanya ingin menangkap. Akan tetapi setelah beberapa kali tangan mereka yang hendak mencengkeram dan menangkap selalu meleset, mereka menjadi penasaran dan mulai mempergunakan kepalan!

"Hiaaaatttttt…!"

Tiba-tiba Kun Liong berseru, tubuhnya digoyangkan seperti seekor anjing menggoyang tubuhnya yang basah, dan tujuh orang yang mengeroyoknya seperti semut itu terdorong mundur semua. Marahlah pemuda gundul itu sesudah mukanya biru-biru dan kepalanya benjol-benjol, tubuhnya nyeri semua.

Mulailah dia memainkan Ilmu Silat Pat-hong Sin-kun dengan teratur. Dapat dibayangkan betapa heran hatinya setelah dia mainkan ilmu ini, hanya dalam beberapa gebrakan saja serangannya langsung membuat tiga orang pengeroyok jatuh tersungkur dan terdengar teriakan kaget dari mulut para pengeroyoknya!

Akan tetapi karena dia tidak mempunyai niat melukai lawan, apa lagi membunuh, maka dorongan-dorongan sebagai pengganti pukulan itu hanya membuat lawannya roboh saja tanpa terluka sehingga mereka bisa bangkit kembali. Jika saja setiap pukulannya disertai tenaga sinkang-nya yang istimewa, agaknya sekali saja terkena pukulannya, setiap lawan itu tentu tak akan mudah untuk bangkit kembali!

Melihat sepak terjang pemuda gundul itu, Loan Khi Tosu terheran-heran. Dia tahu bahwa ayah anak ini memiliki ilmu kepandaian yang lebih tinggi dari padanya, akan tetapi ilmu silat yang dimainkan anak ini luar biasa anehnya dan sama sekali bukan ilmu silat Siauw-lim-pai biar pun ada terasa olehnya dasar-dasar gerakan ilmu silat Siauw-lim-pai.

Demikian tajam pendengaran tosu setengah buta ini sehingga pendengarannya bisa lebih tajam menangkap setiap gerakan dari pada pandang mata seorang yang awas! Cepat dia menggerakkan tongkatnya pada waktu yang tepat, dan robohlah Kun Liong, tertotok jalan darah pada pundaknya. Beberapa orang segera menindih tubuhnya dan kaki tangannya dibelenggu dengan tali terbuat dari kulit kerbau yang kuat!

"Wah, kalian ini orang-orang sesat yang jahat sekali ! Apakah kalian tidak mempedulikan hukum lagi? Di mana peri kemanusiaan kalian? Tidak tahukah kalian akan hukum dunia dan akhirat?"

Akan tetapi delapan orang itu hanya tertawa seolah-olah mendengar kelakar yang lucu. Perut Kun Liong makin terasa panas. Kalau saja tubuhnya dapat digerakkan, tidak lumpuh oleh totokan Loan Khi Tosu yang lihai, kiranya dia masih sanggup meloloskan diri dari belenggu itu. Kini tidak ada lain jalan untuk melampiaskan kemarahannya selain dengan suara mulutnya.

"Loan Khi Tosu, engkau berpakaian pendeta akan tetapi hatimu amat kejam melebihi iblis. Engkau seorang munafik tak tahu malu. Pakaian pendeta yang kau pakai itu hanya untuk menutupi kekotoran batinmu. Engkau membunuhi manusia tanpa berkejap mata, bukan karena matamu lamur, melainkan karena mata batinmu sudah buta sama sekali!"

"Bukkkk!"

Untung bagi Kun Liong bahwa Loan Khi Tosu masih ingat kalau pemuda gundul itu amat penting bagi Pek-lian-kauw, jika tidak tentu dia sudah membunuhnya dengan tongkatnya, bukan hanya menggebuk punggung pemuda itu. Akan tetapi karena Kun Liong tak dapat mengerahkan sinkang-nya, gebukan itu cukup membuat punggungnya seperti patah dan rasanya nyeri bukan main sampai menembus ke tulang sumsum.

Biar pun demikian, dia tidak mengeluh, hanya memejamkan mata sebentar menahan rasa nyeri, kemudian membuka mata setelah rasa nyerinya berkurang dan memaki lagi. "Ouw Ciang Houw manusia cabul! Engkau pun munafik besar, aksinya saja berpakaian indah mewah seperti sastrawan, berlagak seperti orang terpelajar dan sudah kenyang membaca kitab, akan tetapi agaknya engkau menghafal semua ayat kitab suci hanya untuk pamer, padahal sebetulnya, di balik semua keindahan itu terdapat kebusukan yang menjijikkan! Engkau tukang memperkosa wanita, perampas isteri orang dan tidak segan membunuh mereka. Agaknya, isteri semua temanmu ini pun sudah kau incar..."

"Desss…!"

Ouw Ciang Houw mengirim pukulan keras ke arah dada. Karena tidak ingin membunuh, walau pun sangat marah, sastrawan itu hanya menggunakan tenaga kasar sehingga Kun Liong menjadi pingsan! Pukulan itu seperti mengusir semua hawa dari dalam dadanya, menghentikan napasnya.

"Siancai... kau terlalu sembrono, Ouw-sicu! Dia bisa mati kalau tidak segera kubebaskan totokannya!" Dengan tongkatnya, tosu itu menotok pundak Kun Liong sehingga terbebas dari totokan. Biar pun masih pingsan, pemuda gundul itu dapat bernapas lagi dan bebas dari cengkeraman maut.

Sesudah siuman, Kun Liong mendapatkan dirinya dipanggul oleh salah seorang di antara para anggota Pek-lian-kauw. Rombongan itu telah melanjutkan perjalanan dan hari sudah mulai gelap sehingga mereka berjalan dengan tergesa-gesa untuk dapat keluar dari hutan itu sebelum gelap.

Kun Liong mendongkol bukan main. Dia dipanggul seperti seekor babi yang dibelenggu kuat-kuat. Kepalanya tergantung di belakang punggung orang tinggi besar itu, di dekat ketiak sehingga terpaksa hidungnya tersiksa oleh bau yang keluar dari ketiak penuh bulu dan keringat itu! Dia tahu bahwa ketiak berkeringat mengeluarkan bau tidak sedap, akan tetapi belum pernah hidungnya tersiksa seperti ini, terus-menerus begitu dekat dengan ketiak yang bukan tak sedap lagi baunya, melainkan keras menyengat membuat dia ingin muntah! Apa lagi kepalanya tergantung terus sehingga mendatangkan pusing!

Tapi betapa girangnya ketika dia mendapat kenyataan bahwa totokannya telah terbebas! Dengan hati-hati dia menggerakkan sinkang dari pusarnya, dan dengan bantuan sinkang ini dia mengerahkan ilmu melemaskan diri Sia-kut-hoat maka berhasillah dia meloloskan tangannya yang dapat dilemaskan itu dari belenggu. Karena sudah merasa tak tahan lagi, pertama-tama yang dilakukan adalah menampar pundak orang yang memanggulnya.

"Krekkk!"

Tamparan itu membuat sambungan tulang pundak orang itu terlepas. Orang itu memekik dan tubuh Kun Liong terlepas. Tentu saja dia terbanting karena dua kakinya masih dalam keadaan terbelenggu. Sebelum dia sempat melepaskan belenggu kakinya, Loan Khi Tosu sudah menotoknya kembali dan kedua tangannya langsung dibelenggu lagi dengan lebih erat dari pada tadi!

Sekali lagi dia dipanggul oleh orang lain, bahkan kini oleh Kiang Ti sendiri, dengan tubuh bagian atas di depan supaya kedua tangannya dapat selalu diawasi oleh pemanggulnya. Kembali kepalanya tergantung, akan tetapi hidungnya tidak tersiksa lagi biar pun hidung itu kini sering terbentur pada perut Kiang Ti!

Rombongan itu bermalam di sebuah kuil di luar hutan. Mereka membagi-bagi makanan, akan tetapi Kun Liong tidak mau makan. Dia tidak memaki lagi, hanya diam saja namun diam-diam dia mencari akal bagaimana dapat lolos dari orang-orang lihai itu.

Dia maklum bahwa yang amat lihai hanyalah tiga orang, yaitu Loan Khi Tosu, Ouw Ciang Houw, dan Kiang Ti. Kalau bisa lolos dari tiga orang ini, mudah saja mengalahkan lima orang anggota Pek-lian-kauw.

Dia mendengarkan percakapan mereka, karena itu tahulah dia bahwa ternyata ada kontak hubungan antara Pek-lian-kauw dan Kwi-eng-pai yang dipimpin oleh Si Bayangan Hantu. Sedangkan Kiang Ti sebagai murid Si Bayangan Hantu yang sudah berdiri sendiri dan mengetuai Ui-hong-pang, menjadi perantara. Inilah sebabnya mereka bisa bekerja sama.

Sedangkan Ouw Ciang Houw berniat untuk membantu atau menghambakan diri kepada Si Bayangan Hantu yang terkenal sebagai seorang di antara Lima Datuk Kaum Sesat yang sakti dan berpengaruh. Karena dia juga menggunakan Kiang Ti sebagai perantara, maka tentu saja dengan senang hati dia bergabung dengan Pek-lian-kauw.

"Dengan bantuan yang sangat berharga dari Ketua Kwi-eng-pai, pinto yakin bahwa dalam waktu singkat perjuangan rakyat akan berhasil!" kata Loan Khi Tosu dengan suara penuh semangat.

Ingin sekali Kun Liong berteriak membantah, akan tetapi tubuhnya terlampau lemah dan lemas sehingga dia hanya membantah dalam hati saja. Huh, betapa banyaknya di dunia ini orang-orang seperti Loan Khi Tosu. Dunia ini penuh dengan manusia-manusia yang mencuri dan membonceng nama rakyat demi kepentingan diri pribadi. Sungguh tak tahu malu manusia-manusia seperti itu.

Sejarah sudah menunjukkan betapa kekuasaan-kekuasaan jatuh bangun di dunia ini, dan semua kekuasaan itu, pada waktu bangkit, pada waktu berusaha merenggut kekuasaan, selalu menggunakan nama rakyat jelata! Demi rakyat! Pencinta rakyat! Dan masih banyak lagi nama-nama yang dipakai untuk tercapainya cita-cita mereka.

Pemerintah yang sekarang ini, di bawah kekuasaan Kaisar Yung Lo, saat memperebutkan tahta kerajaan dengan keponakannya sendiri ketika perang saudara, juga menggunakan nama rakyat untuk mendapat dukungan. Sebaliknya, pemerintah lama sebelumnya juga selalu membonceng kepada nama rakyat.

Dengan sendirinya rakyat menjadi pecah belah, karena yang mendukung dianggap rakyat sedangkan yang tidak mendukung tentu saja dianggap musuh! Dan musuh ini tentu saja dianggap rakyat oleh pihak lawan. Maka dengan sendirinya rakyat yang menjadi korban. Rakyat menjadi bingung dijadikan permainan orang-orang seperti Loan Khi Tosu dan para pimpinan Pek-lian-kauw.

Setelah kini Yung Lo menang dan menjadi kaisar, timbul lagi penentangnya, yang paling hebat adalah Pek-lian-kauw yang kembali mempergunakan nama rakyat sebagai dasar perjuangannya! Akan dibawa ke manakah rakyat ini? Apakah selama dunia berkembang rakyat hanya akan menjadi permainan belaka untuk memuaskan nafsu ambisi beberapa gelintir manusia yang menamakan diri sebagai pemimpin-pemimpin rakyat?

Pernahkah ditemui mereka yang tadinya menggunakan nama rakyat dalam perjuangan, sesudah berhasil dalam perjuangannya, benar-benar ingat kepada rakyat jelata? Ataukah mereka itu lalu menjadi lupa karena mabok akan kemenangan, mabok akan kedudukan dan kemuliaan, seperti pemetik buah lupa akan bangku yang diinjaknya untuk mengambil buah setelah buah itu terdapat olehnya? Rakyat hanya dianggap sebagai bangku tempat berpijak, atau sebagai batu loncatan, atau sebagai boneka-boneka!

"Harap Totiang jangan khawatir! Saya berani pastikan bahwa Subo (Ibu Guru) tentu akan suka bekerja sama dengan Pek-lian-kauw, karena cita-cita Subo hanya untuk membikin hancur manusia she The itu, dan juga pemerintah yang banyak merugikan golongan kami. Kalau Subo sendiri turun tangan, siapa yang berani menentang? Kwi-eng-pai terkenal di seluruh dunia, dan nama besar Kwi-eng Niocu Ang Hwi Nio, siapakah yang tidak gentar mendengarnya?" kata Kiang Ti dengan bangga, menyombongkan nama besar gurunya.

"Sayang saya sendiri belum beruntung berhadapan dengan gurumu itu, Saudara Kiang. Akan tetapi saya yakin, dengan perantaraanmu ini saya akan dapat menghadap Kwi-eng Niocu (Nona Bayangan Hantu) yang namanya sudah lama kudengar sebagai seorang di antara para datuk dunia persilatan. Kabarnya, di antara para datuk, ada dua orang wanita, pertama adalah Kwi-eng Niocu, dan yang ke dua ialah Siang-tok Mo-li. Benarkah?" tanya Ouw Ciang Houw.

Kiang Ti, Ketua Ui-hong-pang itu mengangguk-angguk. "Benar demikian, akan tetapi aku sendiri pun belum pernah bertemu dengan Siang-tok Mo-li (Iblis Betina Racun Wangi). Kabarnya dia masih belum tua benar dan amat lihai, sungguh pun aku tidak percaya akan lebih lihai dari Subo."

"Dan siapakah datuk-datuk yang lain, Kiang pangcu?"

"Yang saya ketahui hanya tiga orang. Pertama adalah Subo, ke dua Siang-tok Mo-li, dan ke tiga Ban-tok Coa-ong. Yang dua orang lagi entah siapa. Akan tetapi, saya sendiri juga belum pernah bertemu dengan mereka dan hanya mendengar dari Subo saja. Sudahlah, kita tidak perlu membicarakan mereka, bahkan Subo sendiri pernah melarang saya untuk menyebut-nyebut nama mereka. Menurut desas-desus, dengan menyebut nama mereka saja sudah cukup untuk mengundang mereka."

"Ihhh...!" Ouw Ciang Houw yang berwatak kejam itu merasa ngeri!

"Siancai... ketua kami ingin sekali dapat mengadakan kontak dengan para datuk. Mudah-mudahan melalui hubungan dengan Kwi-eng-pai, kami akan bisa pula menghubungi para datuk yang lain," kata Loan Khi Tosu.

Percakapan segera dihentikan. Mereka mengaso dan Kun Liong yang amat tertarik akan percakapan tadi pun mencoba untuk tidur. Akan tetapi dia tidak dapat tidur. Percakapan tadi membuat dia teringat pada Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok, kakek yang mengerikan seperti ular itu. Si Raja Ular (Coa ong) itu patut menjadi datuk kaum sesat, kekejamannya luar biasa, lebih-lebih puteranya yang bernama Ouwyang Bouw itu.

Meremang bulu tengkuk Kun Liong kalau dia teringat akan ayah dan anak raja ular itu. Kepalanya kini menjadi gundul gara-gara ayah dan anak itulah. Setelah ia digigit oleh ular beracun dan terkena jarum beracun Ouwyang Bouw, rambutnya rontok semua! Kelak dia harus memberi hajaran kepada Ouwyang Bouw agar tidak ada orang yang dibikin gundul seperti dia lagi, memberi hajaran sampai bertobat betul-betul baru dia mau sudah!

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali rombongan itu sudah siap untuk meninggalkan kuil tua melanjutkan perjalanan. Akan tetapi tiba-tiba terdengar seruan kaget seorang di antara para anggota Pek-lian-kauw di luar! Semua orang kecuali Kun Liong yang masih terbelenggu dan rebah meringkuk di atas lantai dingin, berlarian ke luar.

Kun Liong mendengar ada suara orang yang berbantahan di luar kuil, akan tetapi dia tidak dapat mendengar jelas dan tidak dapat melihat karena tak dapat bergerak dari tempat itu. Tiba-tiba dia melihat bayangan berkelebat masuk. Cuaca masih suram karena hari masih sangat pagi dan sinar matahari baru sedikit menyinari ruangan dalam kuil itu di mana dia berada.

"Engkau Kun Liong, bukan?" Terdengar suara bayangan itu yang tidak begitu jelas bentuk wajahnya, namun bentuk tubuhnya jelas menunjukkan seorang dara remaja.

Tentu Hwi Sian, siapa lagi? Berdebar rasa jantung Kun Liong dan mukanya terasa panas sekali karena jengah teringat akan ciuman di kepalanya. Sebelum dia sempat menjawab pertanyaan aneh itu, karena kalau dia Hwi Sian perlu apa bertanya lagi apakah dia Kun Liong, dara remaja itu menggerakkan sebatang pedang panjang yang mengeluarkan sinar berkeredepan dan... sekali tebas saja belenggu kaki di tangan Kun Liong putus semua! Bukan main hebatnya gerakan pedang ini!

Kun Liong menggosok-gosok pergelangan kedua tangannya yang terasa nyeri dan hampir mati rasa. Malam tadi totokan pada tubuhnya telah terbebas dengan sendirinya. Sekarang dia memandang terbelalak.

Dara ini bukan Hwi Sian! Sama sekali bukan, biar pun dara remaja yang agak lebih muda ini juga cantik sekali, cantik dan sikapnya tenang, bahkan agak dingin. Sikap dingin itu terasa sekali pada bentuk mulut dan dagunya yang mengeras, dan matanya yang keras seperti baja, memandang seperti tanpa perasaan.

"Kau... kau siapakah?"

"Engkau tentu lupa lagi kepadaku, setelah berpisah lima tahun. Aku Yo Bi Kiok."

"Aihh! Tentu saja aku lupa! Engkau sudah... eh, besar sekarang, sudah menjadi seorang dara yang... ahhh, cantik jelita!" Kun Liong berhenti ketika melihat sinar mata itu tiba-tiba menjadi tajam sekali ditujukan padanya. Maka cepat dia menyambungnya, "Dan engkau menjadi lihai sekali dengan pedangmu. Bi Kiok, bagaimana engkau bisa mengenalku?"

Bi Kiok menggerakkan pandang matanya dan tahulah Kun Liong. Kepalanya! Tentu saja, di dunia ini mana ada kepala gundul lain kecuali dia? Kalau ada pemuda gundul, tentu para hwesio.....

Traktiran: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan) ataupun bisa melalui via Trakteer yang ada dibawah

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar