Petualang Asmara Jilid 08

"Hi-hi-hik, engkau tidak takut? Kalau tanganku ini turun, kepalamu akan pecah-pecah!"

"Aku tidak takut! Aku tidak takut mati, tidak takut padamu!" Bi Kiok berkata lantang.

"Heh-heh-heh, bagus!" Wanita itu kembali memuji dan menurunkan kedua tangannya lagi.

"Lagi-lagi bagus! Apanya yang bagus?!" Bi Kiok membentak, kini marah sekali, sepasang tangannya dikepal seolah-olah dia hendak menyerang iblis betina itu!

"Tentu saja bagus, anak baik. Engkau hidup seorang diri di dunia, seperti aku! Tadinya kukira engkau penakut, tidak tahunya tadi engkau kelihatan takut karena dilanda duka dan ngeri, sebenarnya engkau seorang pemberani yang bernyali besar. Orang seperti engkau ini sungguh sudah pantas sekali menjadi muridku."

"Muridmu?"

"Ya, muridku, murid Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci, hal yang belum tentu terjadi di antara selaksa orang anak perempuan!"

Bi Kiok seorang yang cerdik sekali. Biar pun usianya baru delapan tahun, akan tetapi dia maklum bahwa keadaannya yang sebatang kara itu akan sukar sekali, dari mana-mana akan muncul bahaya yang mengancamnya. Kini muncul wanita cantik ini, yang biar pun kejam seperti iblis akan tetapi mempunyai ilmu kepandaian yang menakjubkan, sehingga orang seperti Phoa Sek It dibuat permainan, dan wanita ini mengambilnya sebagai murid. Serta-merta dia menjatuhkan diri berlutut dan berkata,

"Teecu (murid) senang sekali menjadi murid Subo (Ibu Guru)!"

Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci tertawa gembira. Ia menarik bangun muridnya, menggandeng tangan muridnya sambil meloncat ke atas sebuah di antara tiga perahu itu sambil berkata, "Mari kita kejar bocah she Yap itu!"

Perahu Kun Liong sudah memasuki sungai Huang-ho. Hatinya merasa tenteram karena sudah lama dia berlayar tetapi tidak ada yang tampak mengejarnya. Hari telah siang dan sinar matahari yang terik membuat seluruh tubuhnya berpeluh. Akan tetapi dia tidak mau berhenti dan terus melayarkan perahunya.

Pagi tadi ada empat orang yang ikut dengan perahunya dan untuk itu dia telah menerima sedikit uang dan makanan. Kini perutnya tidak lapar lagi dan sewaktu-waktu dia dapat berhenti untuk membeli makanan.

Menjelang sore, tampak dua orang di pinggir sungai yang memanggilnya. "Harap minggir! Kami hendak ikut menumpang!" Demikian teriakan laki-laki itu. Yang seorang lagi, wanita masih muda, berdiri di dekat laki-laki itu.

Kun Liong meminggirkan perahunya. Lumayan, pikirnya. Semakin banyak penghasilannya semakin baik pula karena melakukan perjalanan tanpa bekal sungguh berbahaya sekali, kadang-kadang dia menderita kelaparan. Lagi pula, melihat bahwa yang ingin menumpang di perahunya adalah sepasang suami isteri, dia merasa kasihan. Hari sangat panas dan amat tidak patut membiarkan seorang wanita kepanasan menanti perahu.

"Bisakah engkau mengantarkan kami ke kota Liok-ek-tung? Perahumu hendak ke sana, bukan?" tanya laki-laki itu dengan ramah.

Kun Liong hanya mengangguk. Dia tidak tahu di mana itu Liok-ek-tung, akan tetapi karena laki-laki itu menudingkan jari telunjuknya ke depan, berarti arah yang mereka tuju sama karena dia pun tidak mempunyai tujuan tertentu, asal menurutkan ke mana air Sungai Huang-ho mengalir!

"Silakan, Ji-wi naik," kata Kun Liong tanpa banyak komentar.

Laki-laki itu kelihatan galak. Wajahnya biasa saja, mungkin pedang yang tergantung pada punggungnya itulah yang membuat dia kelihatan galak. Akan tetapi isterinya, yang paling banyak berusia dua puluh tahun, sepuluh tahun lebih muda dari pada suaminya, amat cantik dengan pakaian sederhana namun tidak menyembunyikan bentuk tubuhnya yang bagus.

Sang suami dengan sikap penuh kasih sayang membantu isterinya melangkah naik ke dalam perahu. Setelah isterinya naik dan duduk di bangku perahu, barulah dia sendiri naik sambil membawa buntalan besar yang agaknya bekal pakaian mereka.

Setelah mereka duduk, Kun Liong menggerakkan dayungnya, hendak mendayung perahu ke tengah. Kini dia sudah mulai biasa mengemudikan perahu, sesudah beberapa kali dia terpaksa menjadi tukang perahu, sejak membantu para nelayan, sampai terpaksa harus melarikan perahu dua kali!

"Heeei, bung cilik gundul tukang perahu! Tunggu dulu, aku mau ikut!" Tiba-tiba terdengar teriakan dan Kun Liong menghentikan dayungnya, menoleh dan melihat seorang laki-laki berpakaian sastrawan naik ke atas perahunya.

Sekali pandang saja, dia merasa tidak suka kepada sastrawan muda itu, dan mungkin sekali rasa tidak suka ini timbul ketika mendengar sebutan ‘gundul’. Lagi pula, seorang sastrawan semestinya tahu aturan, tidak sekasar itu, apa lagi bila melihat bahwa di dalam perahu itu sudah ada seorang wanita yang menumpang.

Dia melihat bahwa sastrawan itu lebih muda dari pada orang yang membawa pedang. Usianya antara dua puluh lima dan tiga puluh tahun. Pakaiannya indah, dari kain halus, wajahnya tampan dengan kulit muka putih, sepasang matanya selalu bersinar-sinar. Akan tetapi mulut yang agak terlalu lebar dan selalu tersenyum itu menimbulkan rasa tidak suka di hati Kun Liong. Gerak senyum pada mulut lebar itu mengandung ejekan, bahkan terbayang kekejaman! Akan tetapi dia tidak peduli dan bertanya,

"Tuan hendak ke mana?"

"Ke mana saja perahumu menuju, heh-heh-heh!"

Kun Liong tak bertanya lagi, terus mendayung perahunya ke tengah dan memasang layar. Setelah perahunya meluncur, dia segera duduk memegang kemudi dan mengambil sikap seolah-olah tidak memperhatikan tiga orang penumpangnya itu.

Si Sastrawan itu sudah menghadapi suami-isteri yang duduk di atas papan, membungkuk dan mengangkat kedua tangan di depan dada, akan tetapi matanya mengerling tajam ke arah dada membusung yang tertutup pakaian sederhana wanita itu. "Harap Ji-wi (Kalian Berdua) sudi memaafkan saya kalau kehadiran saya mengganggu Ji-wi."

Dengan muka merah dan malu-malu wanita itu hanya menunduk, membiarkan suaminya yang menjawab. Dia tidak biasa berhadapan dengan laki-laki asing, apa lagi seorang pria muda dan tampan menarik seperti sastrawan ini!

"Ah, harap Kongcu jangan bersikap sungkan. Kita sama-sama hanya penumpang perahu ini. Kami suami-isteri hendak pergi ke Liok-ek-tung, tidak tahu Kongcu hendak pergi ke manakah?" Lelaki berpedang itu membalas penghormatan dan menjawab dengan suara ramah pula.

"Ah, saya hanya seorang pelancong, ke mana pun baik saja. Dan kalau perahu ini pergi ke Liok-ek-tung, ke sanalah saya pergi. Sungguh merupakan keuntungan dan kehormatan besar sekali bagi saya dapat bersama Ji-wi naik perahu. Sungguh menyenangkan sekali!"

Isteri itu mencuri pandang, mengangkat mata yang tadinya menunduk saja dan kebetulan siucai (sastrawan) itu pun mengerling ke arahnya sehingga dalam waktu satu dua detik, dua pasang mata itu bertemu pandang. Wanita itu semakin merah mukanya dan cepat melempar pandang ke bawah lagi, memandangi lantai perahu kemudian ke luar perahu, seolah-olah dia tertarik oleh bayangan ikan-ikan yang berenang di pinggir perahu, bibirnya yang tipis merah itu tersenyum-senyum dikulum.

"Kami yang merasa terhormat sekali dapat melakukan perjalanan bersama Kongcu," Si Suami berkata lagi. "Silakan duduk, Kongcu."

"Terima kasih." Sastrawan itu lantas mengambil tempat duduk di atas papan, berhadapan dengan suami isteri itu. "Congsu (Tuan) sungguh baik hati. Perkenalkan, saya Ouw Ciang Houw, tinggal di Nam-cu di selatan dan sekarang setelah selesai menempuh ujian dengan hasil baik, sebelum pulang, saya hendak melancong dulu."

"Ahh, kiranya seorang siucai (sastrawan lulus ujian), harap maafkan kalau kami berlaku kurang hormat, Ouw-siucai. Nama saya Gui Tiong, dan ini isteri saya. Kami tinggal di kota Liok-ek-tung dan di sana saya membuka perguruan silat."

Ouw-siucai membelalakkan matanya, kelihatan terkejut. "Wah, kiranya saya berhadapan dengan seorang ahli silat yang lihai dan menjadi guru! Maaf, maafkan saya, Gui-kauwsu (Guru Silat Hui)."

"Ahh..., Ouw-siucai terlalu merendah. Saya hanya membuka perguruan silat kecil-kecilan saja karena kebisaanku pun tidak seberapa. Pula, kata orang, sekarang ini kepandalan bun (sastra) lebih berharga dari pada bu (silat), dan gerakan sebatang pit (alat tulis) jauh lebih berbahaya dari pada gerakan sebatang pedang!"

Yang dimaksudkan dengan ucapan ini adalah bahwa kepandaian menulis lebih berbahaya dari pada pedang, karena dengan kepandaian menulis seorang dapat menjatuhkan fitnah yang lebih berbahaya dari pada serangan pedang, lagi pula kepandaian menulis dapat pula membawa orang kepada kedudukan yang lebih tinggi.

Ouw-siucai tertawa, sengaja dibuat-buat agar terdengar enak dan gagah, dan tentu saja ini dimaksudkan untuk mendatangkan kesan di hati wanita cantik yang duduk menunduk di depannya. "Ha-ha-ha, Gui-kauwsu bisa saja! Akan tetapi, mungkin benar juga kata-kata itu. Aku tidak memiliki kepandaian apa-apa kecuali sedikit coret-coret dan kesenanganku yang lain adalah bermain dadu dan minum arak"

"Wah, kesenangan itu cocok dengan kesenanganku. Sayang tidak ada dadu dan jika ada tentu kita berdua dapat melewatkan waktu dengan gembira sambil menunggu sampainya perahu ini ke Liok-ek-tung..."

"Jangan khawatir, Gui-kauwsu. Saya selalu membawa bekal!" Seperti orang main sulap saja, dari dalam saku jubahnya yang lebar siucai itu mengeluarkan seguci besar arak dan sebuah dadu dengan mangkoknya.

Melihat ini, guru silat itu tertawa bergelak dan dengan gembira mereka lalu bermain dadu. Mula-mula mereka bermain dengan taruhan minum arak, dan dalam hal ini, peruntungan mereka agaknya seimbang karena mereka yang menang menerima secawan arak hampir bergantian. Karena kemasukan arak, mereka berdua menjadi makin gembira dan sering kali terdengar suara mereka tertawa bergelak.

Isteri guru silat itu hanya menonton dan kadang-kadang dia pun ikut tersenyum sehingga tampak deretan giginya yang putih dan kadang-kadang juga tampak ujung lidah yang kecil merah. Beberapa kali dia bertemu pandang dengan Si Siucai, tadinya secara tak sengaja, akan tetapi lambat laun terjadi permainan mata di antara keduanya, sungguh pun nyonya muda itu bersikap malu-malu dan hal ini baru pertama kali dia lakukan selama hidupnya.

Kesempatan memang merupakan penggoda yang amat kuat dan berbahaya. Kalau tidak ada kesempatan seperti ini, agaknya sampai mati pun nyonya muda itu tidak ada pikiran untuk bermain mata dan bertukar senyum dengan seorang laki-laki muda!

Sekarang arak sudah habis, kegembiraan mereka berdua memuncak sehingga akhirnya, atas persetujuan berdua, mereka melanjutkan permainan dadu dengan taruhan uang! Kun Liong yang mengemudikan perahu hanya menonton dari jauh, dari ujung perahu dan dia pun terbawa oleh kegembiraan mereka berdua itu.

Akan tetapi setelah mereka berdua mempertaruhkan uang, dia mengerutkan alisnya dan diam-diam merasa tidak senang. Sekarang wajah kedua orang itu sungguh-sungguh dan tegang, tidak segembira tadi, dan bagaimana kalau seorang di antara mereka kalah dan kehabisan uang? Tentu tidak akan mampu membayar upah kepadanya!

Sesudah kini permainan dadu disertai taruhan uang, agaknya bintang peruntungan siucai itu lebih terang dan dia lebih sering menarik uang guru silat itu sampai-sampai Si Guru Silat kehabisan uang dari saku bajunya dan harus mengambil bekal dari buntalan pakaian. Sementara itu, sore telah mendatang dan sungai mulai sunyi karena perahu-perahu telah kembali ke pelabuhan masing-masing. Hanya ada tampak beberapa buah perahu nelayan agak jauh.

Permainan dadu itu dilakukan dengan cara sederhana saja. Biji dadu yang hanya sebuah, yang mempunyai enam permukaan, diisi tulisan yang berarti jumlah satu sampai enam. Mereka mengocok biji dadu itu ke dalam mangkok, menutupi mangkok dengan telapak tangan, lalu meletakkannya di atas lantai perahu dan membuka tangan yang menutupi. Siapa yang mendapatkan angka terbanyak ketika mangkok dibuka, dialah yang menang.

"Wah, sudah cukup, Ouw-siucai. Uangku sudah habis sama sekali. Engkau benar-benar sedang mujur!" Akhirnya guru silat itu berkata sambil menarik napas panjang.

Ouw Ciang Houw tersenyum lebar dan melirik ke arah isteri guru silat itu yang sekarang tampak menunduk sambil mengerutkan alis. Biar pun mulutnya tak mengatakan sesuatu, tentu saja isteri ini marah sekali melihat betapa bekal uang mereka dihabiskan ludas oleh suaminya untuk berjudi!

"Ahh, Gui-kauwsu. Bermain dadu tidak hanya menggunakan uang saja sebagai taruhan. Masih banyak yang kau miliki."

"Hemm, aku sudah kehabisan uang, tidak mempunyai apa-apa lagi."

"Mari kita bertaruh satu kali lagi." Siucai itu berkata sambil mengeluarkan semua uang kemenangannya yang dia taruh ke dalam kantung uang itu ke atas lantai perahu. "Kalau menang, biarlah semua uangku ini untukmu."

"Ihhh! Mana mungkin aku dapat bertaruh sebanyak itu, Ouw-siucai? Harap engkau jangan main-main!"

"Aku tidak main-main dan aku berjanji, apa bila aku kalah satu kali ini, maka semua uang ini untukmu."

"Bagaimana kalau aku yang kalah?" Guru silat itu bertanya.

"Aku akan mengambil satu di antara milikmu."

"Wah, engkau aneh sekali. Milikku hanya pakaian dan... dan pedang ini, biar pun pedang baik namun harganya tidak sebanyak itu."

"Pendeknya, engkau berani atau tidak Gui-kauwsu? Engkau sudah kalah banyak dan aku hanya memberi kesempatan kepadamu untuk mendapatkan kembali uangmu."

Merah wajah guru silat itu. Biarlah, biar dia kehabisan semua barangnya, sudah kepalang tanggung. Benar kata-kata siucai ini, dia sudah kalah terlalu banyak dan andai kata dia dalam pertaruhan terakhir ini sampai habis pakaian beserta pedangnya, selisihnya tidak banyak dengan kekalahannya sekarang dan sampai di rumah tentu isterinya akan marah-marah. Akan tetapi sebaliknya kalau dia menang, dia akan mendapatkan kembali semua uang kekalahannya! Biarlah kalau kalah tidak kepalang, dan siapa tahu kalau menang!

"Baiklah! Akan tetapi bukan aku yang mendesakmu, Ouw-siucai!" kata Gui-kauwsu sambil menyambar mangkuk dadu, memasukkan dadunya dan mengocok dengan keras.

"Plakk!"

Mangkuk itu dia letakkan di atas papan dengan tangan masih menutupi mulut mangkok. "Diteruskankah pertaruhan terakhir ini, Ouw-siucai?" tanyanya lagi sebelum dia membuka tangannya.

Ouw Ciang Houw tersenyum dan mengangguk. "Tentu saja diteruskan."

"Dan ini merupakan permainan terakhir, kalau aku menang uang di kantung itu menjadi milikku dan..."

"Dan kalau aku yang menang, aku boleh mengambil satu di antara milikmu."

"Baik! Nah, kubuka, Ouw-siucai!" Tangan guru silat itu diangkat dan dadu dalam mangkuk itu memperlihatkan angka lima!

"Ha-ha-ha, engkau yang memaksaku, Ouw-siucai dan sekali ini agaknya engkau terpaksa harus mengembalikan semua uangku!"

Angka lima merupakan angka kedua terbesar, dan di dalam permainan dadu, angka ini merupakan angka yang amat baik dan harapan besar untuk menang. Satu-satunya lawan hanya angka terakhir, angka enam, ada pun angka lima lawan hanya akan berarti sama kuat dan diulang. Angka satu sampai angka empat dari lawan berati dia menang, dengan demikian, harapannya untuk menang dengan kemungkinan kalah adalah empat melawan satu!

Ouw-siucai masih tersenyum tenang dan pada waktu melirik ke arah wanita itu, Si Wanita kelihatan berseri wajahnya, tanda gembira hatinya melihat suaminya mendapatkan angka lima. Melihat ini, senyum Ouw-siucai melebar dan dengan tenang dia lantas mengambil mangkuk, mengocok mangkuk itu sambil berkata,

"Memang angkamu itu baik sekali, Gui-kauwsu," dia meletakkan mangkuk di atas papan sambil menutup mulut mangkuk dengan tangan. "Akan tetapi, yang menentukan adalah peruntungan, dan siapa tahu, bintangku masih terang. Lihat, kubuka, Gui-kauwsu!" Siucai itu mengangkat tangannya dan Si Guru Silat langsung mengeluh ketika melihat dadu itu memperlihatkan angka enam! Dia kalah lagi!

Dengan lemas guru silat itu menjatuhkan diri duduk di atas papan, melirik pada isterinya yang menunduk dengan muka merah. Dia menghela napas panjang lalu berkata,

"Ouw-siucai, ternyata engkau mujur sekali. Nah, ambillah barangku, kau boleh pilih."

"Ha-ha-ha-ha, benar-benar hari mujur bagiku, Gui-kauwsu, aku memilih milikmu yang satu ini, bukan kuambil, tetapi hanya kupinjam untuk semalam saja!" Sambil berkata demikian, tangan Ouw-siucai memegang pundak isteri guru silat itu!

Mata guru silat itu terbelalak, mukanya menjadi pucat sekali, sedangkan wanita itu pun terkejut dan mukanya berubah merah padam. Tak dapat disangkalnya bahwa diam-diam dan menjadi rahasia pribadinya, dia tertarik kepada siucai yang tampan ini, dan agaknya dia akan mengenang wajah tampan itu di dalam alam mimpi, menyambut senyum serta pandang mata itu sebagai cumbuan di alam mimpi. Sama sekali tidak disangkanya bahwa siucai itu akan secara terang-terangan dan kurang ajar sekali minta dia sebagai taruhan untuk dipinjam semalam!

"Apa...?! Srattt!" Guru silat itu telah mencabut pedangnya. Tangannya bergemetar ketika dia memalangkan pedang di depan dadanya. "Hemmm... kau... kau...! Jahanam keparat! Manusia rendah! Kalau tidak ingat engkau seorang kutu buku yang lemah, tentu sudah kupenggal kepalamu! Hayo cepat engkau berlutut minta ampun kepada isteriku, kemudian meloncat keluar dari perahu!"

Kun Liong merasa tegang sekali. Tidak disangkanya urusan menjadi begini dan dia pun merasa marah kepada siucai yang kurang ajar itu. Akan tetapi di samping kemarahannya, dia pun heran sekali dan mulai curiga melihat betapa siucai itu sama sekali tidak gentar menghadapi ancaman itu. Bahkan dia tersenyum, lalu benar-benar dia sudah berlutut di hadapan wanita yang masih duduk itu, akan tetapi bukan untuk minta ampun, melainkan tangannya memeluk dan dia terus menciumi! Wanita itu terpekik dan meronta, berusaha melepaskan diri.

"Hemm, manis... jangan berpura-pura...," bisik siucai itu.

"Jahanam!" Gui Tiong menggerakkan pedangnya menusuk ke arah punggung siucai itu. Gerakannya cukup cepat dan mengandung tenaga dan agaknya menurut penglihatan Kun Liong, tentu punggung siucai itu akan tertembus pedang.

Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika tanpa menoleh, masih merangkul leher serta dengan paksa menciumi pipi dan bibir wanita itu, Si Siucai menggerakkan sebelah tangannya ke belakang, memukul pedang itu dengan telapak tangan dimiringkan dan... pedang itu terlempar, terlepas dari pegangan Gui-kauwsu dan lenyap ke dalam air sungai!

Guru silat itu terkejut bukan main, akan tetapi hal ini menambah kemarahannya. Kini dia menggunakan kepalan tangan menghantam ke arah kepala Ouw-siucai. Tiba-tiba siucai itu melompat bangun, membalikkan tubuh dan dia mendahului dengan sodokan jari-jari tangannya ke arah pusar Gui-kauwsu.

"Hukkk...!" Tubuh kauwsu itu terjengkang dan dia pun terengah-engah, sulit bernapas dan dalam keadaan setengah pingsan!

"Kau berani menyerangku, ya? Dasar sudah bosan hidup!" Siucai itu menyambar tali layar perahu dan menggunakan ujung tali untuk mengikat leher guru silat itu dan menggantung tubuhnya ke atas!

Guru silat itu siuman dan meronta, akan tetapi dua kali siucai menotok pundak membuat kedua lengan guru silat itu kaku dan tak dapat bergerak dan tentu saja tali yang mengikat lehernya menjadi makin mencekik erat karena berat tubuhnya. Sebentar saja, mata orang yang digantung ini mendelik dan lidahnya keluar!

"Aughhh... jangan bunuh... jangan bunuh dia... lepaskan suamiku...!"

"Ha-ha-ha, bagus sekali dia, bukan? Seperti penakut burung di tengah sawah!" Si Siucai tertawa dan suara ketawanya seperti suara ketawa orang yang miring otaknya.

"Aihhh... ampunkan suamiku... jangan bunuh dia...!" Wanita itu meloncat dan hendak lari menghampiri bambu tiang layar untuk menolong suaminya. Akan tetapi siucai itu segera mendorongnya sehingga dia jatuh telentang di atas papan.

"Jangan bunuh dia...! Tolonggggg...! Ahhh... engkau menginginkan aku, bukan? Nah, kau ambillah..." Seperti orang gila wanita itu menanggalkan pakaiannya dengan cepat namun dengan jari-jari tangan gemetar. "Kau boleh memiliki tubuhku, akan tetapi... bebaskan dia. Jangan… bunuh suamiku... uhu-hu-hu-huuk...!" Wanita itu menjadi lemas dan menangis, tubuhnya setengah telanjang, rebah di atas papan.

"Ha-ha-ha, bagus! Engkau bertanggung jawab kalau begitu! Ha-ha-ha-ha! Orang laknat! Engkau telah berani menyerangku, untuk itu sebetulnya kau harus mampus. Akan tetapi, isterimu cantik manis, dan biarlah engkau menyaksikan betapa isterimu ini melayaniku, ha-ha-ha!" Siucai gila itu lalu meloncat dan sekali renggut putuslah tali yang menggantung Gui-kauwsu.

Tubuh guru silat itu jatuh ke atas lantai perahu. Ketika ikatan lehernya dilepas, lehernya tampak ada guratan merah membiru, akan tetapi dia dapat bernapas lagi, terengah-engah dan kedua lengannya masih kaku tak dapat bergerak, dalam keadaan tertotok.

Dengan mata terbelalak dan dalam keadaan setengah sadar, Gui-kauwsu melihat betapa siucai itu menubruk isterinya di atas papan perahu. Dia melihat isteriya menggeliat-geliat dan mengeluh, menangis perlahan seperti merintih.

"Manusia jahat yang gila! Lepaskan dia...!" Kun Liong tak dapat lagi menahan diri melihat perbuatan siucai itu, dia sudah menubruk ke depan sambil menghantamkan tangannya ke arah kepala siucai itu.

"Desss...! Aduhhh...!"

Siucai yang tadinya menangkis pukulan Kun Liong tanpa menoleh itu, terkejut bukan main karena tangkisannya itu mengenai lengan yang mengandung kekuatan dahsyat dan yang mendatangkan rasa nyeri bukan main pada lengannya, sampai terasa ke dalam dadanya. Hampir dia tak percaya akan keanehan ini dan dia sudah melompat bangun, menghadapi Kun Liong.

"Ehh, engkau bocah gundul, berani engkau menyerangku?"

"Manusia hina! Aku mempertaruhkan nyawa untuk membasmi manusia macam engkau yang jahat dan gila ini!" Kun Liong berteriak lalu menyerang dengan kenekatan bulat.

Melihat gerakan Kun Liong, tahulah siucai itu bahwa anak gundul ini memang pandai ilmu silat, akan tetapi karena masih kanak-kanak, tentu saja dia memandang rendah gerakan Kun Liong. Hanya dia tahu bahwa secara luar biasa sekali, bocah ini telah memiliki tenaga sinkang yang mukjijat, maka dia tidak berani menangkis, melainkan miringkan tubuhnya dan secepat kilat dia memukul dari samping.

"Desss…!" Lambung Kun Liong terpukul dan tubuhnya terlempar keluar dari perahu.

"Byuuurrr…!"

Air muncrat tinggi dan tubuhnya tenggelam, lenyap dari permukaan air. Siucai itu tertawa bergelak, sejenak memandang ke permukaan air. Setelah yakin bocah gundul itu tak akan muncul lagi, Ouw Ciang Houw Si Siucai gila yang lihai itu sambil terkekeh-kekeh kembali kepada isteri guru silat yang masih menangis lirih.

Kebiadaban yang terjadi di perahu itu dilihat serta didengar oleh Gui Tiong, dan karena tubuhnya masih kaku tertotok, dia hanya dapat memejamkan mata, hanya pendengaran telinganya saja yang sangat menyiksa hatinya karena dia diharuskan mendengar rintihan isterinya. Senja mendatang dan cuaca menjadi gelap seakan-akan hendak menyelubungi peristiwa terkutuk itu agar tidak tampak oleh orang lain.

Kun Liong yang terlempar ke dalam air, cepat dapat menguasai dirinya. Dia berenang ke arah perahu, lalu berpegangan pada dasar perahu di mana dia menyembunyikan bokor emas. Sebelum perahunya memasuki Huang-ho, dia sudah menyembunyikan bokor itu pada bawah perahu sehingga tidak tampak dari luar. Karena dia maklum bahwa bokor itu akan mendatangkan banyak mala petaka kalau terlihat orang, maka dia melakukan hal itu dan sekarang dia dapat berpegang pada tali pengikat bokor itu.

Tubuhnya tenggelam akan tetapi kepalanya timbul di atas permukaan air, di bawah tubuh perahu. Napasnya agak sesak dan dadanya terasa nyeri sekali oleh pukulan tadi. Kalau tidak ada tali untuk berpegangan, tentu dia akan tewas dan tenggelam karena dia tidak mempunyai tenaga lagi untuk naik ke perahu, apa lagi berenang ke pinggir sungai yang masih jauh dari situ.

Dari bawah perahu, dia tidak tahu apa yang terjadi di atas perahu dan untung bahwa dia terluka sehingga tidak dapat naik ke perahu. Kalau hal ini terjadi dan dia menyaksikan apa yang terjadi di dalam perahu, tentu dia akan mempertaruhkan nyawanya dan tentu dia akan tewas di tangan Ouw-siucai yang gila namun amat lihai itu.

Setelah malam tiba, perahu bergerak ke pinggir, di bawah perahu berombak tanda tidak ada yang mengemudikan perahu. Setelah dekat dengan tepi, perahu itu bergoyang dan terdengar suara dari tepi sungai,

"Engkau hebat dan manis sekali, sayang! Selamat tinggal. Eh, terima kasih, Gui-kauwsu ha-ha-ha!"

Tahulah Kun Liong bahwa siucai gila itu tadi meloncat ke darat dan telah pergi, jadi di atas perahu tinggal guru silat Gui dan isterinya. Kun Liong mengerahkan tenaganya, dengan susah payah berusaha naik ke perahu. Jari-jari tangannya berhasil menjangkau pinggiran perahu dan perlahan-lahan, payah sekali, dia menarik tubuhnya ke atas hingga akhirnya dengan napas hampir putus dia berhasil naik ke atas perahu, tiba di ujung perahu dekat kemudi. Bulan purnama bersinar terang sehingga dia dapat melihat permukaan perahu itu dengan jelas.

Dengan pakaian awut-awutan hanya dipakai untuk menutupi tubuh belaka, isteri guru silat itu terlihat berlutut dan menangis dekat tubuh suaminya, memeluk tubuh itu dan menangis tanpa dapat mengeluarkan kata-kata yang bisa dimengerti. Agaknya sudah tiba saatnya Gui-kauwsu terbebas dari totokan. Jalan darahnya dapat mengalir kemball pulih seperti biasa dan sambil mengeluh dia bangkit duduk.

Dipandangnya sejenak isterinya yang berlutut dan menangis itu. Ketika tampak olehnya tubuh isterinya setengah telanjang, teringatlah dia dan tiba-tiba saja dia mendorong tubuh isterinya sehingga terjengkang dan pakaian isterinya terbuka lagi.

"Tidak perlu lagi kau pura-pura menangis! Apa pula yang ditangisi?" bentak Gui-kauwsu.

Wanita itu merangkak bangun, terbelalak dan terisak. "Mengapa... mengapa... kau bahkan marah-marah kepadaku? Kenapa... kau marah kepadaku? Apakah salahku...??" Dia pun menangis tersedu-sedu.

"Huh! Palsu! Air mata palsu! Perempuan rendah tak tahu malu! Kau menikmatinya, ya? Kalau engkau lebih suka tidur dengan bajingan itu, kenapa kau tadi tidak ikut saja dengan dia?"

Wanita itu menjerit, "Apa...?! Kau... kau... kau tega berkata begitu? Suamiku, aku... aku tadi terpaksa melakukannya untuk menolong nyawamu!" Wanita itu kini menghentikan tangisnya dan memandang suaminya penuh rasa penasaran.

"Hemm, alasan kosong! Memang kau sudah tergila-gila kepadanya! Kau kira aku tuli? Kau kira aku tidak tahu betapa engkau menikmatinya? Betapa engkau merasa puas dengan dia? Perempuan rendah pelacur dan hina...!"

"Suamiku...!" Wanita itu menubruk dan hendak merangkul suaminya, akan tetapi kembali suaminya mendorong, bahkan menampar pipi isterinya dengan keras.

"Plakkk!”

“Jangan dekati aku! Jangan sentuh aku dengan tubuhmu yang ternoda, yang kotor dan hina! Kau pergi sana ikut dengan siucai gila yang menjadi kekasihmu itu!"

Wanita itu bangkit perlahan, tampak perubahan dalam sikapnya dan pandang matanya. Dia bangkit berdiri, tidak mempedulikan pakaiannya yang lebih banyak terbuka dari pada tertutup itu, kemudian terdengar suaranya, masih bercampur isak tetapi bernada dingin,

"Cihhh! Laki-laki yang tak tahu diri! Baik, dengarkan sekarang, buka telingamu lebar-lebar seperti tadi, juga bukalah matamu lebar-lebar seperti ketika engkau menonton tadi! Aku menikmatinya, memang! Nah, habislah! Aku lebih puas dengan dia dari pada denganmu! Sudah cukupkah? Masih kurang puas? Aku memang lebih suka ikut dengan dia jika saja dia mau, dari pada ikut dengan engkau manusia tak tahu diri, tak kenal budi. Cihhh! Aku muak melihatmu, dan aku tidak sudi lagi berdekatan denganmu!" Tiba-tiba saja wanita itu meloncat keluar dari perahu.

"Byuuurrr...!" Air muncrat tinggi.

Dengan mata terbelalak Kun Liong melihat betapa tubuh itu disambar air yang mengalir agak kuat di tempat itu, lalu tenggelam. Tubuhnya terlalu lelah, dadanya terasa sesak dan sakit-sakit sehingga dia merasa tidak kuasa menolong wanita itu. Dia mengharapkan Si Suami akan menolong isterinya maka dia menoleh kepada laki-laki yang berdiri bengong di pinggir perahu.

"Isteriku...! Di mana engkau...? Apa yang telah kau lakukan ini? Isteriku, maafkanlah aku... aku berdosa padamu, aku... aku cinta padamu...! Jangan tinggalkan aku...!" Kemudian Gui-kauwsu itu pun moloncat keluar dari perahu.

"Byuuur...!" Untuk kedua kalinya air sungai muncrat ke atas.

Dan dengan mata terbelalak lebar Kun Liong melihat betapa guru silat itu gelagapan dan tenggelam. Ternyata guru silat itu, seperti juga isterinya, sama sekali tidak pandai renang!

Lupa akan keadaan dirinya sendiri, Kun Liong meloncat keluar dari perahu. Akan tetapi dia pun gelagapan karena arus air amat deras, dan tenaganya amat lemah. Pula, ketika dia mencari-cari dengan matanya, dia sudah tak dapat melihat lagi tubuh kedua orang itu. Terpaksa dia berenang kembali ke perahunya dan dengan amat susah payah, akhirnya berhasil juga dia naik ke perahunya. Dia masih menggunakan sisa-sisa tenaganya untuk mendayung perahu, mencari-cari tubuh suami isteri itu, akan tetapi sama sekali tidak tampak.

Dalam keadaan setengah pingsan karena peristiwa hebat itu dan akibat kehabisan tenaga ditambah luka oleh pukulan di lambungnya tadi, Kun Liong rebah di perahu, membiarkan perahu itu hanyut perlahan-lahan. Akhirnya dia tidak bergerak-gerak lagi, setengah tidur setengah pingsan!

Anak ini mengalami ketegangan hati hebat ketika menyaksikan peristiwa di perahu tadi. Dia benar-benar tidak mengerti akan sikap orang-orang dewasa itu. Mengapa siucai itu melakukan perbuatan yang begitu hina? Dan mengapa isteri guru silat itu membiarkan dirinya diperkosa, malah menawarkan dirinya! Betulkah untuk menyelamatkan suaminya?

Yang paling aneh baginya dan yang membuat dia merasa bingung sekali, adalah sikap Gui-kauwsu sendiri. Tadinya Gui-kauwsu secara mati-matian membela isterinya terhadap penghinaan Ouw-siucai, namun melihat isterinya diperkosa siucai itu timbul kebenciannya sehingga dia menampar dan mengusir, memaki dan menghina isterinya.

Sesudah isterinya nekat membunuh diri dengan terjun ke sungai, dia yang tidak pandai berenang kemudian nekat pula terjun dan mengaku cinta! Kenapa orang-orang dewasa itu bersikap seperti itu? Dan benarkah isteri kauwsu itu lebih suka kepada Si Siucai? Ataukah itu hanya untuk membalas perlakuan suaminya? Apakah isteri itu pun mencinta suaminya? Dia benar-benar tidak mengerti dan dalam tidur setengah pingsan itu, wajah suami isteri dan siucai itu ganti berganti menganggunya, menjadi muka yang amat besar, tanpa tubuh, menakutkan sekali.

Cinta terlalu halus untuk dapat dimengerti pikiran manusia yang kasar, terlalu tinggi untuk dicapai pikiran yang rendah dan terlalu dalam untuk dijajaki pikiran yang dangkal. Pikiran yang berputar sekitar sayang diri, demi aku, untuk aku, tak mungkin dapat mengerti cinta yang bersih dari pada kepentingan diri tanpa pamrih itu.

Gui-kauwsu ingin menguasai isterinya lahir batin, memonopoli isterinya lahir batin dan menganggap hal ini sebagai perasaan cintanya terhadap isterinya. Keinginan menguasai dan memiliki lahir batin ini tentu saja menimbulkan iri hati jika melihat isterinya menoleh kepada orang lain dan menimbulkan cemburu, bahkan menimbulkan benci! Adakah iri itu cinta? Adakah cemburu itu cinta? Adakah benci itu cinta? Apakah cinta itu dapat mendatangkan derita?

Hanya pengejaran dan pemuasan nafsulah yang akan mendatangkan derita. Keinginan menguasai dan memiliki lahir batin terhadap sesuatu, benda mau pun manusia, berarti mengundang datangnya derita sengsara, pertentangan dan penyesalan.

Memang, berhasil menguasai dan memiliki sesuatu atau seseorang, dapat mendatangkan rasa puas. Akan tetapi kepuasan nafsu keinginan ini hanya seperti angin lalu saja karena keinginan itu selalu didorong oleh pengejaran akan sesuatu yang lebih indah. Bila mana sudah didapat, tentu akan lepas dari pengejaran dan perhatian, karena keinginan sudah mencari lagi ke depan untuk mendapatkan yang lebih indah lagi!

Pada keesokan harinya, setelah sinar matahari sudah naik tinggi, Kun Liong bangun dari tidurnya. Dadanya masih terasa sakit sedikit, akan tetapi tenaganya sudah agak pulih. Melihat betapa perahunya berhenti, dia cepat melihat ke depan dan ternyata dia telah tiba di daerah yang berbatu-batu.

Sungai menjadi lebar sekali, akan tetapi batu-batu itu menonjol ke permukaan air. Perahu itu tertahan oleh sebaris batu dan untung saja terdampar di situ, tidak terbentur keras dan pecah.

Pada saat dia berdiri di pinggir perahu, tiba-tiba dia membelalakkan mata melihat sesuatu yang tersangkut pada batu tak jauh dari situ. Tadinya dia mengira seekor ikan besar yang mati, akan tetapi sesudah matanya terbiasa, dia hampir berteriak saking kagetnya.

Yang dilihatnya itu adalah mayat isteri Gui-kauwsu! Hanya sebagian muka, rambutnya, dan perutnya yang tampak, perut yang menggembung besar sehingga kelihatan seperti perut ikan, putih bersih. Mayat yang telanjang bulat!

Kun Liong mengejap-ngejapkan kedua matanya, hendak mengusir penglihatan itu. Ketika dia memandang ke kanan kiri, hampir dia terpekik lagi melihat sesosok mayat lain, juga terdampar dan tersangkut batu. Mayat Gui-kauwsu sendiri, mukanya tidak tampak akan tetapi dia dapat mengenal celana hitam baju putih dan sarung pedang di punggung mayat yang tertelungkup itu!

Kun Liong menghela napas panjang penuh kengerian. Sudah dia duga bahwa tentu suami isteri itu akan tewas, melihat betapa mereka tidak pandai berenang dan arus sungai yang dalam itu amat derasnya.

Perahunya tersangkut dan agaknya bocor. Hanya seorang diri saja tak mungkin dia bisa mengambil dua jenazah itu untuk dikuburkan ke darat. Dia tidak dapat berbuat apa-apa, bahkan harus meninggalkan perahu yang tersangkut dan terjepit ini.

Dia teringat akan bokor di bawah perahu. Sayang kalau dibiarkan begitu saja. Bokor itu amat penting dan menjadi rebutan orang-orang di dunia kang-ouw. Kalau kelak dia bawa pulang dan dia serahkan ayahnya, siapa tahu bokor itu akan agak meredakan kemarahan ayahnya.

Dengan hati-hati dia lalu turun ke air, mengumpulkan napas, menyelam dan meraba-raba. Bokor itu masih ada, terikat di bawah perahu. Dilepaskannya ikatan itu dan dibawanya bokor meninggalkan perahu, berenang dari batu ke batu, sampai akhirnya dia tiba di darat yang berbatu-batu.

Pandang matanya tertarik kepada sebuah batu besar di pinggir sungai dan tak terasa dia meraba kepalanya. Batu itu besar dan halus, bentuknya seperti kepalanya! Dihampirinya batu itu dan diraba-rabanya. Benar-benar batu yang amat halus dan besar, dikelilingi oleh batu-batu yang tidak sebesar batu kepala itu.

Ketika dia meraba-raba ini, dia menemukan sebuah lubang terhimpit di antara batu-batu dan segera dia memasuki bokor ke dalam lubang ini. Lubang itu dalam sekali dan begitu bokor dimasukkan, benda itu meluncur dan hilang! Sama sekali tidak tampak dari luar dan betapa pun Kun Liong merogoh ke dalam lubang, jari tangannya tak dapat mencapainya.

Hatinya menjadi girang. Benda itu tersimpan dengan aman dan hanya jika batu berbentuk kepalanya itu didorong roboh, bokor itu dapat ditemukan. Akan tetapi siapakah orangnya yang akan mendorong batu besar itu? Pula, siapakah yang akan kuat mendorong batu sebesar itu? Agaknya akan membutuhkan tenaga sedikitnya belasan orang kuat!

Hatinya menjadi ringan. Benda itulah yang selama ini membuat hatinya berat dan setelah benda itu disimpan di tempat aman, dia dapat melanjutkan perjalanannya tanpa khawatir terlibat dalam perebutan bokor emas. Sejenak dia memandang ke sekeliling sampai dia yakin benar kelak akan dapat mengenali tempat ini.

Mudah mengenalinya. Bentuk pegunungan di utara itu, pemandangan di seberang yang penuh pohon-pohon raksasa, sungai yang penuh batu-batu menonjol dan belokan sungai di depan itu. Apa lagi dengan adanya batu yang berbentuk kepala gundulnya ini, dia tidak akan melupakan tempat ini, dan kelak dia pasti akan mengingat tempat persembunyian bokor emas!

Mulailah Kun Liong melanjutkan perjalanannya ke arah timur, menyusuri sepanjang pantai sungai. Di dalam kantungnya masih terdapat sisa-sisa uang upah perahu. Sayang bahwa tiga orang penumpangnya itu tidak membayarnya sepeser pun, bahkan yang dua orang sudah mati dan yang seorang lagi?

Teringat akan siucai gila itu, meremang bulu tengkuknya. Sungguh banyak berkeliaran orang berilmu tinggi dunia ini, tapi kenapa setiap orang berilmu tinggi yang dijumpainya demikian jahat dan kejam?

Pertama-tama Loan Khi Tosu, tosu Pek-lian-kauw yang membunuh orang tanpa berkedip mata. Kemudlan Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok dengan puteranya, Ouwyang Bouw yang mengerikan dan yang ilmunya jauh lebih tinggi dari pada tosu Pek-lian-kauw itu. Setelah itu Si Siucai gila yang menyeramkan itu! Dia harus berhati-hati. Ternyata perantauannya membawanya kepada bahaya yang beberapa kali nyaris merenggut nyawanya.

Kun Liong tersenyum seorang diri. Betapa mata ibunya akan terbelalak dan ayahnya akan menggeleng-geleng kepala bila melihat dia seperti sekarang ini. Dia bisa membayangkan keheranan hati ayah bundanya itu.

Kun Liong tertawa dan meraba kepalanya. Dapatkah ibunya menyembuhkan kepalanya sehingga dapat tumbuh rambut kembali? Aha! Tentu ayah dan ibunya akan mengira dia sudah menjadi hwesio! Kenangan akan ayah bundanya dan akan lucunya kalau mereka melihat dia membuat Kun Liong merasa gembira dan dia berloncatan di atas batu-batu besar yang berserakan di tepi sungai.

Tiba-tiba dia menyelinap dan bertiarap, bersembunyi di balik batu-batu besar ketika dia melihat tiga orang laki-laki muncul dari balik pohon-pohon di tepi sungai. Yang seorang bertubuh tinggi besar seperti raksasa, mukanya licin tidak berambut dan sebatang pedang tergantung di punggungnya. Orang ke dua brewok dan kelihatan galak sekali, pakaiannya kasar seperti orang pertama, bahkan tidak berlengan, dan pada pinggangnya tergantung ruyung berduri yang amat menyeramkan. Orang ke tiga masih muda, juga bajunya tidak berlengan dan di punggungnya tergantung sebuah golok.

"Benarkah dia lewat di sini?" tanya Si Brewok kepada yang termuda.

"Benar, aku sudah mengikutinya semenjak kemarin. Dia bertukar keledai dan membawa buntalan yang berat," kata yang muda.

"Seorang tosu mempunyai apa sih?" tanya Si Tinggi Besar.

"Aihhh, kita lupakan dulu urusan merampok!" Si Brewok menegur. "Kita sedang menanti datangnya utusan yang akan membawa uang tebusan."

"Masa seorang tosu?"

"Mungkin saja! Jika bukan utusan, masa seorang tosu menunggang keledai siang malam, bertukar keledai, menginap di hotel, dan membawa bungkusan besar?" kata yang muda. "Nah, itu dia...!" sambungnya sambil menuding ketika dia menoleh ke belakang.

Dengan gerakan berlompatan cepat sekali tiga orang itu sudah menyelinap dan sembunyi di belakang pohon-pohon.

Kun Liong juga mengintai dari balik batu-batu. Ia melihat seorang kakek tua menunggang seekor keledai perlahan-lahan menuju ke tempat itu. Di depan kakek itu, pada punggung keledai, tampak sebuah buntalan besar dan berat, sedangkan di punggung kakek itu pun tergendong sebuah buntalan kain.

Jantung Kun Liong berdebar penuh ketegangan. Dia merasa kasihan kepada kakek itu, yang pakaiannya longgar bagai pakaian seorang tosu. Ingin dia berteriak memperingatkan, akan tetapi tiga orang tadi berada di antara dia dan tosu itu. Untuk lari menyambut juga tidak mungkin, tentu didahului mereka. Akan tetapi kakek yang dikhawatirkan itu mulai bemyanyi dengan suara lantang!

Mengerti akan orang lain adalah bijaksana
mengerti akan diri sendiri adalah waspada
mengalahkan orang lain adalah kuat
mengalahkan diri sendiri lebih gagah perkasa!
Kata-kata yang benar tidaklah manis
kata-kata yang manis belum tentu benar
yang baik tidak akan berbantah
yang berbantah belum tentu baik!

Kun Liong mengenal sajak yang dinyanyikan itu. Yang pertama adalah ayat ke tiga puluh tiga dan yang ke dua ayat ke delapan puluh satu dari kitab To-tik-keng, diambil bagian depannya saja. Pada saat itu, tosu tua ini sudah tiba dekat dan tiba-tiba muncullah tiga orang tadi! Mereka langsung mengurung dan Si Brewok sudah mendekat dan memegang tali di hidung keledai.

"Siancai..., Sam-wi-sicu (Tiga Orang Gagah) siapakah dan mengapa menghentikan pinto (saya)?" Tosu itu bertanya sesudah mengangkat sepasang alisnya tanda keheranan dan kekagetan.

"Tak perlu banyak cakap lagi, turunlah dan ikut dengan kami!" Si Brewok membentak.

"Siancai...! Pinto adalah seorang tua yang tidak mempunyai urusan apa-apa, yang hidup dengan tenang dan damai, tak pernah berbuat kesalahan kepada siapa pun juga, apa lagi kepada Sam-wi yang tidak pinto kenal..."

"Ha-ha-ha-ha, kakek ini selain pandai menyanyi juga pandai berceloteh!" Si Tinggi Besar berkata sambil tertawa-tawa.

"Aihhhh..." Tosu itu menggelengkan kepala. "Yang dicari belum ketemu, sekarang timbul kesulitan baru lagi!"

Mendengar ini, Si Brewok girang dan cepat berkata, "Totiang tentu akan dapat bertemu dengan yang dicari asal membawa tebusan cukup. Dan marilah ikut dengan kami."

"Apa? Pinto tidak mengerti..."

Si Brewok agaknya kehilangan kesabarannya. Dipegangnya lengan kanan kakek itu dan ditariknya, hendak dipaksa turun.

"Eh-eh-eh, mengapa ditarik-tarik? Engkau sungguh tidak menghormati orang yang sudah tua!"

Kemarahan dan rasa penasaran di dalam hati Kun Liong tak dapat ditahan lagi dan dia sudah meloncat keluar dari balik batu, lari menghampiri dan berkata marah kepada tiga orang yang memandang kepadanya dengan terheran-heran itu.

"Sam-wi bertiga kelihatannya adalah orang-orang gagah yang berkepandaian tinggi! Akan tetapi siapa kira, ternyata sekarang Sam-wi mengganggu seorang kakek yang lemah dan tidak bersalah apa-apa. Apakah Sam-wi (Tuan Bertiga) tidak merasa malu?"

"Bocah gundul, kau muncul seperti setan. Siapa engkau?!" bentak Si Brewok heran.

"Dia tentu mata-mata yang sejak tadi bersembunyi!" kata temannya yang muda.

"Ahhh, siapa lagi kalau bukan kaki tangan kakek ini?" kata yang tinggi besar.

"Tangkap saja mereka berdua!" Si Brewok membentak. "Hayo kalian ikut bersama kami! Ataukah kami harus rnenggunakan senjata?"

Dia sudah melepas ruyungnya dan mengancam kepada kakek itu. Juga Si Tinggi Besar telah meloloskan pedangnya lalu ditodongkan ke dada Kun Liong, sedangkan orang yang termuda memegang kendali keledai dan menuntunnya.....
Terima Kasih atas dukungan dan saluran donasinya🙏

Halo, Enghiong semua. Bantuannya telah saya salurkan langsung ke ybs, mudah-mudahan penyakitnya cepat diangkat oleh yang maha kuasa🙏

Traktiran: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan) ataupun bisa melalui via Trakteer yang ada dibawah

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar