Pedang Kayu Harum Jilid 41

"Wah-wah-wah, bocah itu hebat...!" Si kakek jembel berjingkrak-jingkrak gembira sekali. "Tosu tukang sembelih babi dengan goloknya itu takkan menang!"

Diam-diam Lian Ci Sengjin menjadi mendongkol juga kepada Thian-te Sam-lo-mo, apa lagi kepada si kakek jembel itu. Mereka adalah golongan cianpwe yang berkedudukan tinggi dan dia harapkan akan turun tangan meredakan kekacauan, akan tetapi kakek itu malah berjingkrak-jingkrak memuji si pemuda Siauw-lim-pai, seolah-olah merasa girang melihat pihak yang membelanya menderita kekalahan.

Sambil mengeluarkan seruan keras, bekas tokoh Kun-lun-pai ini lalu meloncat ke depan. Pedangnya telah terhunus, ada pun terjangannya hebat ketika dia menusuk ke arah dada Cong San.

"Cringgg…!"

Pedang itu terpental ketika tertangkis pensil hitam. Thian It Tosu telah menerjang kembali dengan goloknya dan sekarang Cong San dikeroyok dua.

Pemuda ini menjadi mendongkol sekali. Tak disangkanya bahwa dalam mengejar musuh besarnya, dia malah bentrok dengan tokoh-tokoh dari partai besar seperti Kun-lun-pai dan Tiat-ciang-pang, padahal menurut patut, tokoh-tokoh partai besar itu mestinya membantu dia menghadapi Ang-kiam Bu-tek yang jahat.

Dengan marah dia lalu menggerakkan kedua pensilnya sedemikian rupa sehingga Lian Ci Sengjin dan Thian It Tosu yang diserang totokan maut pada jalan darah mereka berseru keras dan meloncat mundur. Sementara itu, Sian Ti Sengjin juga sudah melompat maju.

Akan tetapi pada saat itu, terdengar seruan halus berwibawa dari Cui Im, "Mundur semua! Biar aku memberi hajaran kepada bocah ini!"

Bayangan merah berkelebat didahului angin pukulan dahsyat menyambar ke arah Cong San pada waktu tiga orang pengeroyoknya termasuk Sian Ti Sengjin mundur dan minggir mendengar seruan Cui Im. Pukulan sinkang yang dilontarkan Cui Im hebat bukan main.

Cong San yang belum pernah bertanding mati-matian melawan wanita itu menangkis dan dia terjengkang! Untung dia segera menekan lantai dengan sikunya dan tubuhnya sudah meloncat bangun lagi sambil menggerakkan kedua pensilnya.

"Cring-cring-cring..!"

Sinar merah dari jarum-jarum merah Cui Im semuanya runtuh terpukul sepasang pensil. Pemuda itu sudah meloncat bangun dan memandang Cui Im dengan marah. Ia maklum akan kelihaian wanita itu dan tadi pun hampir saja dia celaka.

"Wah, kiranya nona pengantin benar-benar hebat! Sekarang baru ramai!" Kakek jembel itu berseru.

Sekali ini dia benar-benar memuji karena maklum bahwa tingkat kepandaian Ang-kiam Bu-tek benar-benar hebat. Kalau tadinya tiga orang iblis tua ini kepingin sekali menantang dan menggempur Cong San untuk menguji kepandaian tokoh muda Siauw-lim-pai yang lihai itu, kini mereka pun ingin sekali mencoba kesaktian Cui Im.

Tiba-tiba terdengar pekik seorang pelayan wanita berlari keluar, "Celaka... Toanio... kamar Toanio sudah dibongkar orang…!"

"Apa..?!" Mendengar ini, Cui Im langsung membalikkan tubuh dan lari meninggalkan Cong San untuk memeriksa kamarnya.

Melihat ini, Lian Ci Sengjin, Sian Ti Sengjin dan Thian It Tosu telah maju lagi mengeroyok Cong San. Sementara itu, kakek jembel yang sudah tidak dapat menahan nafsunya ingin bertanding, tiba-tiba tertawa bergelak, tubuhnya melayang ke udara dan bagaikan seekor burung dia menerkam kepala Cong San.

"Dukkkkkk! Ayaaaaa...!"

Tubuh kakek itu mencelat kembali ke belakang di mana dia hinggap di atas lantai dengan kedua mata terbelalak memandang pada seorang pemuda bermuka hitam bopeng yang berpakaian longgar seperti pakaian pendeta yang tadi menyambut tubuhnya di udara dan mendorongnya kembali ke tempatnya. Hampir ia tidak percaya bahwa yang telah menolak tubuhnya tadi adalah pemuda bopeng itu! Kakek yang tadinya banyak bicara dan suka ketawa itu kini hanya terbelalak memandang dengan muka melongo.

"Apakah kita sedang mimpi...?" Ia berkata kepada dua orang saudaranya. "Muncul tokoh Siauw-lim-pai, dan nona pengantin yang hebat, kemudian bocah bopeng ini. Bagaimana dunia sekarang bisa penuh dengan orang-orang muda sakti yang berkeliaran?"

Pemuda muka bopeng itu melayang turun. Begitu kaki tangannya bergerak, golok Thian It Tosu terlempar, pedang Lian Ci Sengjin dan Sian Ti Sengjin terpental ke belakang, ada pun tubuh mereka terhuyung-huyung.

"Lian Ci Sengjin, apakah engkau masih belum sadar dari kesesatanmu?" berkata pemuda muka bopeng sambil meraba mukanya sehingga terbukalah kedok karet tipis dan tampak mukanya yang asli.

"Keng Hong...! Keparat, kau pemuda busuk, di mana-mana menimbulkan kekacauan...!" Lian Ci Sengjin berseru memaki.

"Hemmm, ingatlah akan perbuatanmu sendiri! Lupakah kau akan nona Tan Hun Bwee yang kau perkosa di dalam hutan?"

"Apa...?!" Lian Ci Sengjin menjadi pucat wajahnya.

"Sute, benarkah itu...?" Sian Ti Sengjin memandang sute-nya dengan mata tajam.

"Tidak... Ehh, aku..." Lian Ci Sengjin tergagap.

"Lian Ci Sengjin, sesudah engkau berani menjadi Sancu di Phu-niu-san, apakah engkau tetap menjadi pengecut? Seorang jantan telah berani berbuat tentu berani pula mengakui perbuatannya. Engkau memperkosa nona Tan!"

Muka Lian Ci Sengjin menjadi merah dan matanya melotot. "Benar! Habis engkau mau apa?"

"Mau menghajarmu!" Keng Hong berteriak.

Tangan kirinya langsung memukul dengan jari tangan terbuka ke arah perut ketua atau kepala di Phu-niu-san itu. Kalau pukulan ini mengenai sasaran tentu perut itu akan pecah dan agaknya Lian Ci Sengjin tak dapat mengelak lagi.

"Desssss…!"

Pukulan sinkang tangan kiri Keng Hong tertangkis oleh tangan Cui Im yang melesat dari dalam. Muka wanita itu merah sekali dan pandang matanya menyinarkan maut ketika dia saling bertatapan dengan Keng Hong.

"Cia Keng Hong! Kembalikan pusaka-pusaka itu!" jeritnya, setelah itu dia menangis saking marah dan bencinya.

Keng Hong tertawa, lantas bersedakap seperti hendak melindungi pusaka-pusaka yang sudah dapat dia rampas kembali dan kini dia sembunyikan di dalam baju yang longgar itu.

"Enak saja! Susah payah aku mencari. Engkau asyik menjadi pengantin, maka lengah. Salahmu sendiri!"

"Kau... pencuri laknat!"

"Husshhhhh, engkau sendiri mencurinya dari aku, dan sekarang aku mencurinya kembali. Adil, bukan?"

"Bangsat!" Pedang merah di tangan Cui Im menyambar, akan tetapi Keng Hong sudah mengelak.

"Cringgggg...!" Pensil putih di tangan Cong San yang menangkis pedang itu.

"Iblis betina, sekarang nyawamu harus kuambil!" bentak pemuda ini.

Cong San masih hendak menyerang lagi, akan tetapi Keng Hong memegang pundaknya dan mendorongnya keras sekali sehingga tubuh pemuda murid Siauw-lim-pai terlempar.

"Mari kita pergi, Yap-twako.."

"Tetapi...!"

"Nanti bicara, sekarang lari!" Keng Hong juga sudah meloncat, kemudian sekali lagi dia mendorong dengan tenaga sepenuhnya hingga tubuh Cong San seperti dilontarkan keluar dari gedung itu, diikuti bayangan Keng Hong.

"Berhenti, Keng Hong manusia keparat!" Cui Im mengejar.

"Eh-eh-ehh, murid Siauw-lim-pai, bocah bopeng, tunggu, mari kita mengadu kepandaian. Coba kalian kalahkan Thian-te Sam-lo-mo!" Si jembel dan kedua orang saudaranya juga mengejar keluar. "Kalau mereka tidak mau, engkau saja, nona pengantin. Engkau pun cukup lihai!" Teriak pula si jembel dari belakang Cui Im.

Cui Im sudah menyambitkan jarum-jarum merahnya ke arah pungung Keng Hong. Akan tetapi Keng Hong mengulurkan tangan dan dari samping dia menangkap jarum-jarum itu, kemudian sambil tertawa dia berseru, "Lian Ci Sengjin, kutitipkan nyawamu kepadamu. Ini untuk peringatan, terimalah!"

Tangan Keng Hong bergerak dan jarum-jarum merah itu menyambar laksana sinar-sinar merah ke arah Cui Im, tiga orang kakek iblis dan ke arah Lian Ci Sengjin! Dengan mudah Cui Im dan ketiga orang kakek iblis mengelak, akan tetapi Lian Ci Sengjin memaki marah karena daun telinganya ditembus sebatang jarum merah isterinya!

Cui Im kembali meloncat hendak mengejar, akan tetapi tiba-tiba di belakangnya terdengar suara. "Jangan pergi semua! Layani dulu kami beberapa jurus, nona pengantin!"

Cui Im terkejut karena ada angin menyambar dari belakang. Cepat dia mengelak sambil memutar tubuh dan ternyata ketiga orang Thian-te Sam-lo-mo sudah menyerangnya dan memaksanya untuk menguji kepandaiannya.

"Apakah kalian gila?" Cui Im memaki dengan mendongkol sekali.

Ia cepat mengelebatkan pedang merahnya. Demikian hebat sambaran pedangnya hingga tiga orang kakek iblis itu terpaksa meloncat ke belakang. Ketika Cui Im menoleh ternyata bayangan Keng Hong dan Cong San telah lenyap. Pintu depan penuh dengan para tamu yang kacau balau lari ke sana ke mari.

Cui Im marah bukan main, dan karena yang menghalanginya adalah Thian-te Sam-lo-mo, maka sambil mengeluarkan teriakan melengking nyaring dia segera menerjang tiga orang kakek itu dengan pedangnya!

"Aduh, ganas..!" Teriak si kakek jembel.

"Kiam-sut yang hebat!" Si sasatrawan juga berseru sambil mengelak.

"Bukan main!" Seru pula orang ketiga yang berpakaian tosu.

Cui Im tidak peduli lagi, kemarahannya memuncak dan ia menerjang tiga orang itu kalang kabut. Tiga orang kakek itu mula-mula hanya mengelak ke sana ke mari, menganggap Cui Im main-main dan ingin menguji kepandaian. Akan tetapi pedang itu semakin ganas, bahkan dibarengi dengan pukulan-pukulan tangan kiri yang mengandung sinkang sangat kuat. Mereka terkejut dan mencabut pedang masing-masing yang tersembunyi di balik jubah mereka.

"Trang-trang-trang...!"

Bunga api berhamburan dan tiga orang kakek itu terdorong mundur sampai tiga langkah sedangkan Cui Im hanya mundur selangkah. Tiga orang kakek iblis tua itu benar-benat kaget dan kagum bukan main, akan tetapi mereka menjadi makin gembira. Bagi mereka ini, semakin tangguh lawan, makin menggembirakan, maka mereka sudah bergerak maju pula.

"Tahan...!" Teriak Lian Ci Sengjin.

"Harap berhenti...!" teriak pula Sian Ti Sengjin.

"Tidak perlu bertanding antara teman sendiri!" ucapan ini keluar dari mulut Lai Ban.

Mereka semua, golongan tamu-tamu kehormatan, sudah tiba di situ dan melerai Cui Im serta ketiga orang kakek iblis itu. Tiga orang kakek iblis itu mundur dan si kakek jembel memuji sambil mengacungkan jempolnya.

"Engkau hebat, nona pengantin. Aku si tua benar-benar kagum sekali!"

Cui Im cemberut, akan tetapi diam-diam dia pun berpikir bahwa dia tadi hanya mengejar sendirian, dia tidak akan mampu memenangkan Keng Hong. Kalau saja tiga orang kakek iblis itu tidak seperti anak kecil dan suka membantunya, agaknya mereka berempat masih ada harapan untuk merampas pusaka-pusaka itu kembali. Pusaka-pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong! Tadinya semua disimpan di dalam kamarnya dan kini semuanya lenyap dicuri Keng Hong. Gemas bukan main hatinya.

"Mari kita kembali dan mari kita rundingkan bersama untuk menghadapi musuh-musuh itu karena tanpa direncanakan, akan sukar menghadapi mereka yang lihai. Keng Hong itu memang seorang pengacau besar dan…"

"Sudahlah!" Cui Im memotong ucapan calon suaminya. "Aku suka menjadi isterimu sebab mengharapkan kalian semua dengan teman-teman kalian akan membantuku menghadapi Keng Hong dan aku berjanji akan membantu kalian membalas dendam kalian. Akan tetapi siapa kira, kalian adalah manusia-manusia tolol sehingga begitu Keng Hong tiba, semua barangku sudah digondolnya! Kalian bodoh dan tolol, terutama Thian-te Sam-lo-mo ini!" Setelah berkata demikian, Cui Im mencengkeram pakaian pengantin yang dipakainya.

"Brettt! Brettt!"

Pakaian itu telah direnggut dan dirobek-robeknya. Ternyata di sebelah dalamnya dia telah mengenakan pakaian merahnya yang biasa!

"Eh-ehh... Niocu... ehh...!" Lian Ci Sengjin berseru kaget dan menghampiri calon isterinya.

"Plak! Plak! Plak!" Pipinya ditampar oleh Cui Im.

"Kau boleh mencari gadis Tan yang dulu kau perkosa!" Setelah berkata demikian, Cui Im melesat pergi dengan cepat sekali, meninggalkan bekas calon suaminya yang melongo.

Sepasang pipinya merah bekas ditampar dan daun telinganya berdarah karena tertembus jarum merah. Untung bahwa dia telah diberi obat yang ditinggalkan Cui Im di kamarnya, kalau tidak dia bisa mati terluka jarum itu.

"Hayaaaa... sial dangkalan!" Kakek jembel membanting-banting kaki. "Lama tidak bertemu tanding, sekarang muncul tiga orang muda sakti dan mereka pergi semua tanpa menguji kami!"

Akan tetapi Lian Ci Sengjin yang sudah marah dan makin malu, tidak mempedulikannya. Dia bahkan lari memasuki rumahnya di mana dia mengeram diri di dalam kamar. Ingin dia menangis saking marah dan malunya. Kebenciannya pada Keng Hong makin menghebat akan tetapi dia pun teringat akan Tan Hun Bwee dan diam-diam dia bergidik. Bagaimana Keng Hong tahu akan perbuatannya itu? Dan di manakah Tan Hun Bwee sekarang? Dia menjadi ngeri jika membayangkan betapa gadis itu akan mendendam sakit hati padanya.

Sementara itu secara bijaksana Sian Ti Sengjin membubarkan pesta dengan pernyataan maaf. Para tamu tidak terlalu kecewa. Meski pun mereka kehilangan barang sumbangan untuk pengantin yang tidak jadi menikah, akan tetapi mereka diberi suguhan pertandingan tingkat tinggi serta peristiwa-peristiwa lucu dan aneh yang sama sekali tak pernah mereka sangka-sangka…..

********************

"Cia-taihiap, kenapa engkau melarangku membunuh iblis betina itu?" Cong San menegur Keng Hong setelah mereka melarikan diri selama setengah hari dan baru berhenti di tepi Sungai Han-sui di sebelah selatan Pegunungan Phu-niu-san.

Keng Hong menarik napas. Hatinya lega bahwa dia sudah berhasil merampas kembali semua pusaka selengkapnya. Hari telah menjelang malam dan mereka beristirahat sambil duduk di dekat api unggun yang mereka buat untuk mengusir nyamuk.

"Yap-twako, kalau aku tidak memaksa engkau pergi, belum tentu kita akan dapat hidup sampai saat ini. Engkau tidak tahu, tiga orang kakek itu adalah Thian-te Sam-lo-mo yang berkepandaian hebat bukan main. Kalau mereka membantu Cui Im, ditambah bantuan para tamu yang agaknya semua berpihak mereka, dan dikeroyok anak buah Phu-niu-san yang seratus orang lebih jumlahnya, mana mungkin kita dapat menang, apa lagi dapat keluar dari Phu-niu-san dengan selamat?"

"Aku tidak gentar menghadapi kematian di dalam usahaku melaksanakan tugas sebagai murid Siauw-lim-pai!"

Keng Hong menghela napas dan berkata, nada suaranya sedih karena dia teringat akan semua pengalamannya dahulu ketika dikejar-kejar di mana tokoh-tokoh Siauw-lim-pai juga turut mengejarnya. Teringat pula betapa dia pernah bentrok akhir-akhir ini dengan Thian Kek Hwesio dan lima hwesio Siauw-lim-pai yang hendak membunuh Biauw Eng.

"Yap-twako, di dunia ini kiranya tidak ada orang yang pernah meragukan kegagahan dan kejantanan jago-jago dari Siauw-lim-pai. Akan tetapi sesungguhnya, hanya mengandalkan keberanian dan kekerasan saja, selain hidup ini tidak akan menjadi aman, juga sering kali menimbulkan hal-hal yang meruwetkan. Pernah aku sendiri dikejar-kejar Thian Ti Hwesio dan Thian Kek Hwesio tanpa bersalah hanya karena aku adalah murid Sin-jiu Kiam-ong! Pernah pula belum lama ini nona Sie Biauw Eng diserang oleh tokoh tokoh Siauw-lim-pai di bawah pimpinan Thian Kek Hwesio hanya karena nona itu adalah sumoi dari Ang-kiam Bu-tek Bhe Cui Im. Padahal antara nona Sie Biauw Eng sudah tiada hubungan apa pun, berbeda jauh seperti bumi dengan langit, bahkan ibu nona Sie Biauw Eng yaitu Lam-hai Sin-ni sendiri telah dibunuh oleh Cui Im, ada pun nona Sie Biauw Eng hampir saja mati di tangan bekas suci-nya. Inilah buruknya watak keras dan kaku, hanya mengandalkan asal berani dan benar terus merunduk saja tanpa wawasan dan pertimbangan lagi."

Wajah pemuda baju hijau yang tampan itu menjadi merah. Dia tidak senang mendengar pemuda itu mencela tokoh-tokoh Siauw-lim-pai, akan tetapi karena celaan itu sebenarnya menurut kenyataan dan sama sekali bukan dimaksudkan untuk menghina, dia pun tidak dapat membantah dan berkata,

"Habis, jika menurut pendapatmu bagaimana, Cia-taihiap? Apakah karena kedudukannya yang sedemikian kuatnya itu aku lalu harus lari ketakutan dan melapor kepada suhu di Siauw-lim-si bahwa aku tidak sanggup melaksanakan perintah suhu?"

Keng Hong tersenyum sabar, maklum bahwa hati pemuda yang gagah perkasa ini agak tersinggung.

"Bukan begitu, Twako. Tugas dari guru merupakan tugas suci yang harus dilaksanakan dengan taruhan nyawa, akan tetapi kalau tugas itu gagal karena kecerobohan, dan hal itu tentu terjadi kalau kau nekat melawannya, bukankah akan berarti kau menyia-nyiakan dan menggagalkan tugasmu pula? Melawan dengan nekat sampai mati padahal sudah tahu bahwa melawan hanya berarti akan mengantarkan nyawa sendiri sama sekali bukanlah perbuatan orang gagah, melainkan perbuatan orang bodoh yang nekat. Terus terang aku memberitahu padamu, Yap-twako, bahwa dengan tingkat kepandaianmu yang sekarang, engkau tidak akan sanggup menangkan Cui Im. Ketahuilah, dia sudah mewarisi ilmu-ilmu dalam kitab-kitab pusaka peninggalan guruku Sin-jiu Kiam-ong dan agaknya tokoh Siauw-lim-pai yang akan dapat menundukkan dia hanya gurumu sendiri!"

Yap Cong San termenung dan di hatinya dia betul-betul terkejut mendengar ini. Memang tadi dia sudah menyaksikan sendiri kelihaian wanita itu, akan tetapi tidak mengira bahwa Keng Hong akan menyatakan seperti itu. Dia menjadi bingung dan bertanya, suaranya mengandung penasaran.

"Mohon petunjuk dari Cia-taihiap. Bagaimanakah saya harus bersikap sekarang? Apakah yang harus saya lakukan?"

Keng Hong lalu mengeluarkan dua buah kitab yang sudah kuning dan menyerahkannya kepada pemuda itu. Yap Cong San menerima dua kitab itu dan begitu melirik ke atas judul yang tertulis di kulit sampul, dia berseru,

"Ahhh…! Kitab I-kiong Hoan-hiat dan kitab Seng-to Cin-keng! Bukankah ini dua buah kitab pusaka Siauw-lim-pai yang dikabarkan hilang…?"

"Benar. Itulah dua buah kitab yang dahulu sudah dipinjam oleh mendiang guruku, Sin-jiu Kiam-ong dan yang pernah kujanjikan kepada tokoh-tokoh Siauw-lim-pai untuk kucari dan kukembalikan kepada Siauw-lim-pai. Baru sekarang aku berhasil merampasnya kembali dari Cui Im. Nah, dua buah kitab ini kuserahkan kepadamu, Yap-twako, agar kau bawa ke Siauw-lim-pai, disertai hormat dan permohonan maaf dariku demi nama mendiang guruku. Walau pun kau tidak berhasil membunuh Cui Im, namun dengan membawa kembali dua buah kitab yang amat penting ini, berarti perjalananmu tidak sia-sia belaka. Ada pun untuk membalas dendam kepada Cui Im, sekarang ini percuma. Dia tentu tidak lagi berada di Phu-niu-san sesudah melihat aku mencarinya, dan engkau pun perlu memperdalam ilmu kepandaianmu untuk menghadapinya kelak, Twako. Lebih baik kau ceritakan terus terang semua pemberitahuanku tentang kelihaian Ang-kiam Bu-tek kepada suhu-mu agar beliau dapat pula mempertimbangkan dan mempertinggi tingkat kepandaianmu sebelum engkau ditugaskan lagi untuk menandingi Cui Im."

Yap Cong San mengangguk-angguk hatinya terharu melihat dua buah kitab itu. Dia tahu sebab pernah mendengar penuturan suhu-nya tentang dua buah kitab pusaka yang hilang dibawa Sin-jiu Kiam-ong, dan selain hal itu merupakan pukulan memalukan bagi Siauw-lim-pai, juga merupakan kehilangan yang amat besar. Sekarang dua buah kitab itu telah diberikan kepadanya, hal yang sama sekali tidak pernah disangkanya.

Pemuda Siauw-lim-pai itu cepat menjura dengan hormat sambil berkata, "Banyak terima kasih, Cia-taihiap. Bukan hanya atas pengembalian dua buah kitab pusaka Siauw-lim-pai ini, akan tetapi juga atau nasehat-nasehat Taihiap yang kini dapat kulihat dan kurasakan kebenarannya. Baiklah, aku akan menghadap suhu, Mempersembahkan dua buah kitab ini dan menceritakan keadaan musuh besar itu yang sekarang menjadi amat lihai. Tentu dia sudah pula mempelajari ilmu dari kedua buah kitab ini."

Keng Hong menghela napas panjang. "Memang benar demikianlah, sebab itu dia menjadi begitu lihai."

Yap Cong San mengangguk-angguk dan berkata dengan suara tegas, "Betapa pun juga, aku hendak mohon kemurahan hati suhu untuk memberi gemblengan supaya aku dapat memperdalam ilmu sehingga akan mampu menandingi wanita iblis itu! Sekali lagi terima kasih, Taihiap, dan selamat berpisah sampai jumpa pula."

"Selamat jalan dan berhati-hatilah. Dua buah kitab yang kau bawa itu kalau saja sampai terlihat tokoh-tokoh kang-ouw tentu akan mendatangkan bahaya dan gangguan hebat."

Yap Cong San menyimpan dua buah kitab itu di sebelah dalam bajunya dan mengangguk, "Aku mengerti, Taihiap, dan karena dua buah kitab ini merupakan benda-benda pusaka Siauw-lim-pai, aku akan melindunginya dengan nyawaku!”

Sekali lagi ia memberi hormat, kemudian tubuh pemuda Siauw-lim-pai ini berkelebat cepat dan pergi meninggalkan Keng Hong yang memandang kagum. Pemuda itu benar-benar tampan dan gagah perkasa, keberaniannya pun luar biasa membuat dia kagum dan suka sekali.

Setelah Yap Cong San pergi, Keng Hong segera membuka bajunya dan mengeluarkan semua benda yang tadi dia rampas atau curi dari kamar pengantin wanita, pusaka-pusaka yang dahulu dilarikan oleh Cui Im dari tempat persembunyian gurunya. Sebatang pedang pusaka Hoa-san-pai, sepasang golok emas yang gagangnya ditaburi mutiara, yaitu benda pusaka dari Kong-thong-pai, sekumpulan benda-benda perhiasan yang dulu oleh Sin-jiu Kiam-ong dirampas dari tangan Tan-piauwsu dan isterinya, yaitu benda-benda kepunyaan pembesar yang dikawalnya, juga sebuah kitab kuno dari Go-bi-pai yang dia rampas dari tangan Go-bi Chit-kwi, karena memang kitab ini dari Go-bi-pai dicuri oleh Tujuh Iblis Go-bi itu.

Selain benda-benda dan pusaka milik orang atau partai lain, di sana terdapat pula tujuh buah kitab peninggalan Sin-jiu Kiam-ong yang ditulis oleh pendekar sakti itu sendiri, dan sekantung penuh berisi potongan emas dan puluhan butir permata yang amat indah dan mahal harganya, entah milik siapa.

Hemm, benda-benda inilah di antara semua benda yang menimbulkan keributan di dunia kang-ouw, yang membuat gurunya dulu dimusuhi oleh banyak orang kang-ouw, dan yang kini menjadi tugasnya untuk dia kembalikan kepada pemiliknya yang berhak.

Pertama-tama ia harus mengembalikan pokiam (pedang pusaka) dari Hoa-san-pai seperti yang pernah dia janjikan kepada tokoh-tokoh Hoa-san-pai. Sambil tersenyum puas Keng Hong memandang benda-benda pusaka yang terletak di depan kakinya itu.

Tiba-tiba saja, secepat kilat ia menyambar benda-benda itu dan beberapa detik kemudian benda-benda pusaka itu sudah lenyap tersembunyi di dalam saku-saku bajunya sebelah dalam, sedangkan tubuhnya sudah melompat dan membalik.

Sungguh pun dia tadi sudah bergerak cepat sekali menyimpan semua benda itu ketika mendengar suara mencurigakan di sebelah belakang, namun Keng Hong maklum bahwa dia masih belum cukup cepat untuk menyembunyikan dari mata tiga orang kakek yang tahu-tahu sudah berada di situ dan berdiri memandangnya. Mereka itu bukan lain adalah Thian-te Sam-lo-mo!

Tiga orang kakek ini sebetulnya adalah tiga orang yang usianya amat tinggi, kurang lebih seratus tahun! Di antara datuk-datuk golongan tua seperti Bu-tek Su-kwi yang kini tinggal tiga orang, yaitu Ang-bin Kwi-bo, Pak-san Kwi-ong serta Pat-jiu Sian-ong, mereka inilah yang paling tua.

Semenjak dulu mereka dikalahkan oleh Sin-jiu Kiam-ong, sudah puluhan tahun tiga orang iblis tua ini mengundurkan diri, bertapa dan tidak lagi mencampuri urusan dunia, karena mereka telah berjanji dan bertaruh dengan Sin-jiu Kiam-ong bahwa pihak yang kalah akan mengundurkan diri dan tidak akan muncul lagi di dunia kang-ouw!

Mereka itu bersembunyi dan bertapa di antara puncak-puncak di Pegunungan Himalaya, selain untuk memenuhi janji, juga untuk menggembleng diri dengan ilmu-ilmu yang tinggi agar supaya kelak jika perlu mereka akan dapat menebus kekalahan mereka dari Sin-jiu Kiam-ong! Akan tetapi, mereka lalu mendengar bahwa Sin-jiu Kiam-ong telah meninggal dunia di puncak Kun-lun-san, yaitu Lembah Kiam-kok-san. Berita ini menggirangkan hati mereka karena mereka kini terbebas dari janji karena kalah bertaruh, juga mengecewakan karena tidak ada kesempatan lagi untuk menebus kekalahan!

Tetapi, ketika tiga orang iblis tua ini menuruni Pegunungan Himalaya dan memasuki dunia ramai lagi, mereka jadi kehilangan gairah. Melihat tokoh-tokoh besar yang boleh dijadikan saingan sudah tidak ada, mereka menjadi jemu.

Pula, karena usia mereka yang sudah tua membuat mereka tidak bersemangat lagi untuk bermusuhan dan menimbulkan ribut, dan nafsu-nafsu jasmani mereka sudah mulai lemah, maka ketiga orang ini hanya mencurahkan kesenangan dalam melakukan pibu melawan orang-orang pandai. Akan tetapi mereka tidak mau sembarangan turun tangan mencoba kepandaian orang kalau tidak merasa yakin betul bahwa lawannya cukup berharga untuk mereka tandingi! Watak tiga orang yang sudah terlampau tua ini seperti kembali menjadi kanak-kanak.

Ketika lewat di Phu-niu-san dan mendengar tentang Sancu dari gunung itu yang kabarnya lihai, mereka pun mampir. Akan tetapi setelah bertemu dan mendapat kenyataan bahwa Sancu dan suheng-nya itu hanyalah tokoh-tokoh Kun-lun-pai tingkat tiga atau empat saja, mereka memandang rendah dan hanya mau menerima persahabatan Lian Ci Sengjin dan Sian Ti Sengjin setelah dua orang yang dapat mengenal orang sakti itu menerima mereka bertiga sebagai tamu-tamu kehormatan.

Apa lagi pada waktu Thian-te Sam-lo-mo melihat calon isteri Sancu itu. Mereka menjadi terheran-heran karena dapat menduga bahwa calon pengantin wanita ini adalah seorang wanita muda yang memiliki kepandaian yang mungkin tidak akan mengecewakan untuk diajak pibu! Mereka diperlakukan sebagai tamu-tamu terhormat sampai tiba saat pesta pernikahan di mana ketiga kakek tua renta ini bertemu dengan jago muda Siauw-lim-pai Yap Cong San dan pendekar muda yang memiliki kepandaian hebat, Cia Keng Hong.

Ketika Cui Im yang marah-marah dan kecewa sekali pergi meninggalkan Phu-niu-san, tiga orang kakek itu pun cepat-cepat menggunakan kepandaian mereka untuk mengejar. Akan tetapi mereka kehilangan jejak Cui Im sehingga mereka itu, terutama sekali orang tertua yang berpakaian jembel, membanting-banting kaki dengan gemas dan kecewa. Mereka masih merasa penasaran dan belum puas kalau belum menguji kepandaian wanita muda yang sudah berani menggunakan nama julukan Bu-tek (Tanpa Tanding) setelah mereka kecewa tidak dapat mengadu ilmu dengan dua orang pemuda lihai itu.

Tiga orang itu memang kakak beradik seperguruan. Yang tertua adalah si kakek jembel itu yang mempunyai watak ugal-ugalan dan suka berkelakar. Dahulu dia berjuluk Kai-ong Lo-mo (Iblis tua Raja Pengemis) maka sampai sekarang pun pakaiannya seperti seorang jembel gelandangan!

Orang ke dua adalah Bun-ong Lo-mo (Iblis Tua Raja Sastrawan) yang berwatak angkuh dan menganggap diri sendiri yang paling pandai, baik mengenai ilmu sastra mau pun ilmu silat! Pakaiannya pun sampai sekarang seperti pakaian seorang sastrawan!

Ada pun orang ke tiga dahulu berjuluk Thian-to Lo-mo, seorang penganut to-kauw yang fanatik! Mereka ini setelah tua selalu berkumpul maka terkenal dengan julukan Thian-te Sam-lo-mo (Tiga Iblis Tua Bumi Langit)!

Oleh karena penasaran, tiga orang kakek itu melanjutkan pengejaran mereka. Akan tetapi mereka salah mengambil jalan, bukan Cui Im yang mereka temui, melainkan Keng Hong. Sejenak mereka terkejut, akan tetapi hati mereka girang sekali. Sekarang mereka malah bertemu dengan pemuda yang merupakan lawan Ang-kiam Bu-tek!

Keng Hong maklum bahwa tiga orang kakek ini amat lihai, dan biar pun dia tidak gentar, akan tetapi tidak ingin menanam bibit permusuhan baru dengan tokoh-tokoh datuk hitam ini. Maka dia cepat mengangkat kedua tangan memberi hormat dan berkata,

"Ahhh, ternyata Sam-wi Locianpwe yang datang. Saya kagum sekali dengan kepandaian Sam-wi Locianpwe dan perkenankan saya yang muda menyatakan hormat dan kagum!"

Sejenak ketiga orang kakek itu saling pandang. Si sastrawan hanya tersenyum, si tosu juga menyeringai akan tetapi si kakek jembel tertawa bergelak.

"Ha-ha-ha-ha! Engkau ini orang muda sungguh mempunyai banyak bakat! Bakatmu yang pertama, engkau tampan sopan santun dan pandai ilmu silat dan bakatmu ke dua engkau pandai bermulut manis, dan bakatmu ke tiga engkau pandai menjadi pencuri. Ha-ha-ha!"

"Locianpwe, saya bukan pencuri!" Keng Hong membantah.

"Ha-ha-heh-heh-heh, dia bukan pencuri katanya! Ha-ha-ha! Orang muda, apakah engkau mengira kami tiga orang kakek sudah pikun dan lamur? Engkau mencuri benda-benda berharga dari dalam kamar mempelai wanita. Mencuri pusaka-pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong! Engkau masih tak mau mengaku? Kami tadi sempat mengenal pedang pusaka Hoa-san-pai dan sepasang golok emas Kong-thong-pai! Bahkan kami sudah lama tahu bahwa benda-benda pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong itu disimpan oleh si mempelai wanita. Ha-ha-ha, dan sekarang kami akan mengambilnya darimu!"

Keng Hong mengangguk-angguk. Di mana-mana, tokoh kaum sesat ini sama saja, tidak lain hanyalah orang-orang yang diperhamba nafsu menginginkan benda lain orang, meski pun sudah setua mereka itu!

"Sam-wi Locianpwe, kalau sudah tahu mengapa tidak mendahului saya mencurinya dari kamar mempelai?"

"Bocah lancang, tutup mulutmu!" Mendadak kakek berpakaian sastrawan Bun-ong Lo-mo membentak sambil melangkah maju. Dua matanya mendelik dan kepalanya dikedikkan ke belakang, dadanya membusung. "Kau lihat baik-baik, siapakah kami? Lancang mulutmu menuduh kami pencuri! Apa kau sangka kami ini hanyalah golongan maling-maling kecil seperti engkau yang secara pengecut mengambil barang milik orang lain di luar tahunya si pemilik? Puluhan tahun lamanya, kalau kami menghendaki sesuatu, kami ambil saja, dan pemiliknya yang melihat di depan hidungnya akan dapat berbuat apakah?"

Keng Hong terkejut. Benar-benar aneh kakek sastrawan ini. Marah disangka maling, akan tetapi dengan bangga mengaku bahwa bila menghendaki barang, mereka mengambilnya begitu saja dari depan hidung pemiliknya alias merampok!

"Maaf, saya tidak menuduh Sam-wi Locianpwe, tetapi hanya penasaran Sam-wi menuduh saya pencuri. Memang saya mengambil benda-benda itu dari kamar mempelai wanita, akan tetapi saya hanya mengambil barang yang menjadi hak saya karena lima enam tahun yang lalu barang-barang itu dicuri oleh Bhe Cui Im dari tangan saya."

"Nah-nah, tambah satu lagi bakatmu, bakat membohong! Barang itu adalah peninggalan Sin-jiu Kiam-ong, bagaimana kau bisa mengatakan berhak atas pusaka itu?"

Keng Hong tidak perlu menyembunyikan keadaan dirinya lagi. "Memang berhak, karena Sin-jiu Kiam-ong adalah guruku."

"Siancai...!" Engkau murid mendiang Sin-jiu Kiam-ong?" Sekarang kakek tosu itu bertanya sambil merangkap kedua tangan penuh keheranan.

"Benar, Locianpwe."

"Phuuuahhh! Gurunya maling besar, muridnya pun maling kecil!" Si sastrawan mengejek, mukanya membayangkan hati yang muak.

Akan tetapi kakek jembel berjingkrak sambil bertepuk-tepuk tangan. "Ha-ha-ha-heh-heh, lucunya... ha-ha-ha, lucunya! Sie Cun Hong hidup lagi! Ha-ha-ha-ha, persis sekali! Sin-jiu Kiam-ong Sie Cun Hong hidup lagi di dalam diri muridnya. Sama-sama tampan dengan sepasang mata yang genit dan tentu akan dapat menjatuhkan hati setiap orang wanita! Dengan lidah yang pandai bergoyang, pandai berbicara dengan sikap lemah-lembut dan halus, pandai menanam tebu di bibir dan pandai membujuk rayu, ditambah lagi pandai mencuri dan membohong! Ha-ha-ha, lucunya!"

"Bocah, siapa namamu?" Si sastrawan bertanya.

"Nama saya Cia Keng Hong, Locianpwe."

"Cia Keng Hong?! Ha-ha-ha-ha, pakai huruf Hong pula, sama dengan gurunya, Sie Cun Hong! Wah-wah, huruf Hong yang dipakai guru dan murid ini entah berarti apa? Kalau Hong lebah, pantas karena memang Sie Cun Hong seperti seekor lebah yang suka sekali mengejar bunga untuk dihisap madunya sampai habis kemudian ditinggalkan begitu saja! Kalau Hong, burung Hong, memang tepat karena guru dan murid ini sama-sama tampan dan angkuh seperti burung hong yang pandai berlagak. Kalau Hong angin, tentulah angin busuk…"

"Alias kentut!" Kakek jembel menyambung ucapan kakek sastrawan sambil tertawa-tawa. "Pandai bicara namun kosong dan hanya membohong atau menipu, apa bedanya dengan kentut?"

Keng Hong merasa panas juga perutnya mendengar gurunya yang sudah mati diejek dan dipermainkan namanya, maka dia cepat berkata, "Sam-wi Locianpwe! Kapankah guruku membohong dan menipu Sam-wi? Menuduh orang tanpa bukti berarti fitnah dan fitnah hanya akan dilakukan oleh orang-orang yang berjiwa pengecut dan curang serta berwatak hina!"

"Siancai…! Engkau memang membohong atau menipu apa bila mengatakan bahwa kau berhak atas benda-benda pusaka itu, Cia Keng Hong." Kini si kakek tosu mencela "Baik engkau mau pun Sin-jiu Kiam-ong Sie Cun Hong tidak berhak atas benda-benda pusaka itu!"

"Saya membenarkan akan hal itu, Locianpwe. Memang tidak berhak memiliki, akan tetapi berhak dan berkewajiban untuk mendapatkan kemudian mengembalikan semua pusaka ini kepada pemiliknya masing-masing untuk menebus kesalahan yang dulu dilakukan oleh mendiang suhu terhadap mereka."

"Wah-wah-wah, tidak benar! Jika kau mengembalikan pusaka-pusaka itu, apakah jenazah gurumu tidak akan berbalik di dalam kuburnya? Apakah arwahnya tak akan turun mencari dan mencekikmu? Dia susah payah merampas dan mencuri, engkau menjadi muridnya malah hendak mengembalikan pusaka-pusaka itu. Benar-benar murid yang puthauw (tak berbakti)!"

"Hemm, apa pendapat Locianpwe sebagai seorang sastrawan tentang hauw (kebakitan)?" Keng Hong bertanya dengan rasa penasaran kepada kakek sastrawan yang memakinya sebagai puthauw, yang lebih rendah dari pada kalau dimaki penjahat!

Seorang penjahat sekali pun, kalau masih mempunyai kebaktian, akan mudah dimaafkan kejahatannya. Sebaliknya seorang puthauw diangggap manusia serendah-rendahnya dan tidak akan dipercaya oleh siapa pun juga!

"Ha-ha-ha, bocah yang baru lahir kemarin sore seperti engkau hendak berdebat tentang hauw dengan aku?" Bun-ong Lo-mo mengejek. "Mengabdi terhadap negara, itulah hauw! Kalau sebaliknya dari pada itu adalah puthauw!"

"Hanya sebegitu. Locianpwe? Alangkah dangkal dan sederhananya. Dan memang tidak mengherankan, segala sesuatu di dunia ini tergantung manusianya, sehingga pelajaran dan filsafat mengenai hidup dan segala lika-likunya sekali pun ditafsirkan menurut selera dan kebenaran masing-masing. Locianpwe, saya tak peduli disebut putahauw atau tidak, akan tetapi bagi saya, yang penting adalah kebenaran. Biar pun perbuatan itu dilakukan oleh musuh guru atau orang tua saya, kalau perbuatan itu saya anggap benar, tidak akan saya tentang. Sebaliknya kalau ada perbuatan yang dilakukan guru saya itu saya anggap tidak benar, tentu takkan saya turut dan malah akan saya tentang. Menentang perbuatan keliru dari orang tua atau guru kuanggap bukan sikap yang puthauw, Locianpwe, karena yang ditentang bukanlah orangnya tetapi perbuatannya! Guru yang melakukan perbuatan tidak benar, sama halnya dengan tersesat jalan memasuki rawa berlumpur. Bila muridnya membenarkan kesesatannya, sama saja dengan si murid mendorong punggung gurunya dari belakang sehingga si guru menjadi semakin jauh tersesat ke dalam lumpur. Inikah yang Locianpwe anggap sebagai hauw?"

Merah wajah kakek sastrawan itu. "Bocah she Cia, engkau manusia yang sombong dan besar kepala! Mari kita berdebat tentang..."

"Ha-ha-ha-ha-ha, perlu apa melayani dia berdebat? Engkau akan kalah, Sute, seperti juga dulu ketika berdebat dengan Sie Cun Hong. Memang bocah ini agaknya telah dilatih dan mewarisi kepandaian Sin-jiu Kiam-ong dalam soal berdebat dan bersilat lidah!" Si jembel memotong dan meloncat ke depan, menghadapi Keng Hong, memandang penuh selidik dengan wajah berseri-seri kemudian berkata, "Cia Keng Hong, kami tiga orang tua sudah bosan untuk merampok, bosan untuk bermusuhan namun makin gemar untuk mengadu ilmu! Dahulu, puluhan tahun yang lalu sebelum engkau dapat menangkis, entah masih menjadi apa, kami pernah bertanding mengadu ilmu dengan Sin-jiu Kiam-ong dan disertai taruhan. Kami kalah dan kami memenuhi janji dalam taruhan itu. Sekarang kami bertemu muridnya. Kebetulan sekali. Kami mengulangi peristiwa puluhan tahun yang lalu dan kami menantangmu untuk menguji kepandaian sambil bertaruh!"

"Saya tidak berniat mengadu ilmu dengan Sam-wi, juga saya bukan seorang penjudi yang biasa bertaruhan."

"Itu tandanya engkau pengecut, engkau takut dan engkau sama sekali tidak menghargai kesenangan orang yang sudah menjadi gurumu! Jika betul sedemikian rendahnya engkau memandang gurumu, biar pun kami pernah dikalahkan hingga terpaksa menyembunyikan diri sampai puluhan tahun, biarlah hari ini kami mewakili gurumu untuk menghajarmu dan mengirimmu ke akhirat supaya di sana gurumu sendiri akan dapat memberi hukuman kepadamu!" Suara si kakek jembel kini berubah, tidak ramah dan ugal-ugalan seperti tadi, melainkan serius sekali dan senyumnya lenyap dari wajahnya.

Keng Hong terkejut sekali dan merasa bahwa kalau dia menolak terus, tentu akan terjadi ribut dan dia pun mulai dapat menangkap maksud dari tiga orang kakek ini tentang sikap gurunya yang agaknya mereka kenal baik di waktu mudanya.

"Baiklah, jika Sam-wi mendesak, saya menerima tantangan Sam-wi untuk mengadu ilmu. Tentang taruhan itu… apakah yang Sam-wi maksudkan? Saya belum pernah bertaruhan, maka tidak mengerti…"

Berseri kembali wajah si kakek jembel. "Bagus... bagus...! Nah, begitu baru murid baik namanya! Kita melakukan pibu (mengadu ilmu silat). Kalau engkau kalah, pusaka-pusaka yang kau curi dari mempelai wanita tadi harus kau serahkan kepada kami!"

"Hemmm… ternyata pada dasarnya Sam-wi memang menginginkan pusaka-pusaka ini!" Keng Hong berkata dengan suara mengejek dan mencela. "Dari pada harus memakai jalan berputaran dan sungkan-sungkan, mengapa tidak terang-terangan merampas saja dari saya kalau bisa?"

"Wah, alangkah sombongnya monyet cilik ini!" Si kakek sastrawan menuding. "Cia Keng Hong simpanlah lidahmu yang tajam berbisa itu!"

Akan tetapi Kai-ong Lo-mo tertawa bergelak. "Cia Keng Hong, kami kakek-kakek tua renta sama sekali tidak menginginkan pusaka-pusaka itu. Segala macam pedang dan golok, segala macam emas intan, segala macam kitab-kitab lapuk, bagi kami untuk apakah? Kami tidak perlu menggunakan pedang dan golok, kami tak butuh harta benda, dan kami pun tidak memiliki banyak waktu untuk mempelajari ilmu-ilmu baru. Engkau benar-benar tolol. Kami mempertaruhkan pusaka-pusaka itu agar kalau engkau kalah, engkau dapat menggembleng diri lagi dan mencari kami untuk mendapatkan kembali pusaka-pusaka itu. Bukankah ini baik sekali untukmu? Atau engkau lebih suka kalau kami mempertaruhkan kepalamu atau nyawamu?"

Keng Hong baru sadar dan diam-diam dia memuji tiga orang kakek ini. Dengan taruhan pusaka, memang kalau dia yang kalah, kelak kakek itu akan dapat terus menikmati pibu dengannya yang tentu akan menggembleng diri sampai dapat mengatasi kakek-kakek itu. Mengingat ini, dia harus mengalahkan Sam-lo-mo ini, maka dia menjawab,

"Maafkan dugaan saya yang ternyata keliru. Baiklah, saya menerima tantangan Sam-wi untuk berpibu dengan taruhan pusaka-pusaka ini. Akan tetapi, Sam-wi Locianpwe adalah tiga orang tokoh besar yang namanya sudah menjulang tinggi ke langit selama puluhan tahun, sedangkan saya hanyalah orang yang baru saja berkecimpung di dunia persilatan. Bukankah amat janggal dan lucu, juga amat tidak adil dan akan menjadi bahan tertawaan orang gagah di seluruh dunia apa bila tiga orang tokoh besar dan tua seperti Sam-wi mengeroyok seorang hijau seperti saya?"

Tusukan kata-kata yang dilakukan Keng Hong ini benar-benar mengenai sasaran. Tiga orang kakek itu menjadi merah mukanya, saling pandang, kemudian si kakek sastrawan membentak, "Cia Keng Hong, engkau memang sombong! Apa kau kira kami perlu maju bertiga hanya untuk menandingi seorang bocah macam engkau?"

Diam-diam Keng Hong menjadi girang. Walau pun mereka itu masing-masing merupakan lawan yang berat, akan tetapi kalau maju seorang demi seorang, agaknya dia akan dapat mengimbangi mereka. Kalau maju bertiga, benar-benar sangat berbahaya. Cepat dia lalu mengeluarkan semua benda pusaka yang tadi dia periksa, dan dia letakkan di atas sapu tangan yang dia bentangkan di atas tanah.

"Nah, inilah taruhannya. Kalau aku Cia Keng Hong, murid Sin-jiu Kiam-ong, sampai kalah bertanding melawan salah seorang di antara Sam-wi, biarlah untuk sementara pusaka ini kutitipkan pada Sam-wi hingga aku mengambilnya kembali dengan mengalahkan Sam-wi. Akan tetapi kalau sekarang ini tidak ada seorang pun dari Sam-wi dapat mengalahkan aku, pusaka itu akan kubawa pergi dan Sam-wi tidak akan mengangguku lagi."

"Baik, baik... Biarlah pinto mencobamu lebih dahulu!" kata kakek yang berpakaian dan bersikap seperti pendeta.

"Silakan, Locianpwe." Keng Hong meloncat ke belakang dan bersiap-siap.

Melihat kakek tua renta berpakaian pendeta ini tidak mengeluarkan senjata, Keng Hong juga akan menghadapinya dengan tangan kosong. Diam-diam dia bersikap waspada dan memandang penuh perhatian.

Dahulu dia sudah membaca tulisan-tulisan suhu-nya tentang inti dari ilmu-ilmu silat tinggi hampir seluruh partai persilatan dan pelbagai aliran. Pengertian tentang silat dan dasar ilmu-ilmu silat ini sangat penting karena kalau dia sudah mengenal dasar ilmu silat lawan, tentu akan lebih mudah menghadapi dan mengatasinya.

"Cia Keng Hong, jagalah serangan pinto!" kakek tua renta berpakaian tosu itu berkata dan tiba-tiba saja tubuhnya membuat gerakan menyerang dari bawah!

Tubuh kakek itu merendah seperti orang berjongkok, akan tetapi kedua kakinya bergerak cepat sekali dan tangan kirinya yang menyambar ke atas menuju ke pusar Keng Hong mendorong hawa yang amat panas dan angin yang menyambar itu mengeluarkan bunyi menguik!

Keng Hong cepat menggerakkan kakinya mengelak ke kiri dan ketika secara aneh sekali tubuh yang memasang kuda-kuda jongkok itu telah mengejar elakannya dengan pukulan susulan tangan kanan, Keng Hong terkejut dan melompat mundur untuk menghindar.

Akan tetapi kembali dengan tubuh masih berjongkok, kakek itu tiba-tiba juga meloncat, posisi kedua kakinya masih ditekuk rendah. Begitu tubuh kakek itu hinggap pada tanah di depan Keng Hong, kaki kirinya mencuat lantas menendang ke depan. Dan seperti juga pukulannya, tendangan ini mengandung tenaga sinkang yang amat kuat, disusul dengan dorongan-dorongan kedua tangan bertubi-tubi yang memaksa Keng Hong menggunakan ginkang-nya untuk berloncatan ke sana ke mari dalam keadaan terdesak.

Ia masih bingung karena dia tidak mengerti dasar ilmu silat kakek ini! Amat aneh gerakan itu, seperti seekor ular merayap kadang-kadang menggeliat, lalu menyerang dari samping bagai ular menyabetkan ekornya, ada kalanya meluncur ke depan seperti ular menyerang dengan giginya.

Karena kedudukan tubuh kakek yang selalu bergerak di bawah itu, membuat Keng Hong agak sulit untuk membalas serangan lawan. Apa lagi karena serangan-serangan Thian-te Sam-lo-mo ini sama sekali tak boleh disamakan dengan penyerangan lawan-lawan biasa.

Setiap serangan Thian-te Sam-lo-mo ini mengandung tenaga sinkang yang amat kuat dan yang hanya dapat dihadapi dengan pengerahan tenaga sinkang pula karena kalau tidak, baru angin pukulannya saja sudah cukup merobohkan lawan.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar