Pedang Kayu Harum Jilid 28

"Wah-wah-wah, tak tahu malu!" Keng Hong mengejek sehingga memancing suara ketawa lebih hebat lagi.

Thian It Tosu hampir pingsan saking malu dan marah. Dengan tangan kirinya mendekap bagian rahasia tubuhnya, tangan kanan mengangkat golok tinggi-tinggi, ia lalu menerjang maju. Akan tetapi tubuhnya terguling karena dia lupa akan celananya dan kedua kakinya yang terbelit celana itu membuatnya terjerat dan roboh!

Thian It Tosu menjadi pucat mukanya. Dia menggigit goloknya, kemudian dia bangkit dan menarik celananya ke atas, mengikat celananya dengan kolor yang putus itu sedapatnya, kemudian menyambar kembali goloknya dan dengan mati-matian dia menerjang pemuda yang masih tersenyum-senyum.

Sekali ini Keng Hong tidak mau main-main lagi. Tubuhnya bergerak ke depan dan sebuah tamparan dengan jari tangan terbuka membuat lawan terpental karena tangan kanan tosu itu sudah patah oleh hantaman jari-jari tangannya! Tosu itu terhuyung mundur dan berdiri dengan muka pucat serta mulut meringis kesakitan.

"Thian It Tosu!" Kini Keng Hong berkata dengan suara nyaring dan penuh wibawa, tidak lagi bermain-main seperti tadi, sikapnya angkuh dan seperti seorang dewasa benar.

"Engkau adalah seorang tosu, bahkan juga ketua dari sebuah perguruan seperti Kim-to Bu-koan, akan tetapi kenapa engkau masih suka mengumbar nafsumu? Tiat-ciang-pang melakukan pemilihan ketua baru adalah urusan dalam, tidak boleh dicampuri orang luar, akan tetapi mengapa engkau dengan menggunakan ketajaman golokmu hendak merebut kekuasaan? Andai kata engkau berhasil merebut kekuasaan, apa kau kira para anggota Tiat-ciang-pang akan sudi menerimamu? Dan apakah artinya kedudukan yang kau rebut jika para anggota tidak menerimanya? Apa artinya raja tanpa rakyat? Apa artinya jenderal tanpa prajurit? Apa artinya ketua tanpa anggota? Totiang, engkau tentu maklum bahwa yang memperebutkan takkan mendapatkan dalam arti kata yang sesungguhnya. Lupakah Totiang dengan pelajaran agama Totiang sendiri bahwa, ‘To adalah: selalu menang tanpa merebut, mendapat sambutan tanpa berkata, semua datang tanpa memanggil, selalu berhasil tanpa rencana. Jalan langit lebar dan luas, biar jarang namun tiada yang bocor’. "Mengapa Totiang sekarang mempergunakan kekerasan untuk merebut kedudukan yang bukan menjadi hak Totiang?"

Mendengar ucapan ini dan melihat sikap Keng Hong, semua orang tertegun, juga Ouw Beng Kok semakin kagum, akan tetapi Thian It Tosu yang ditegur dengan menggunakan pelajaran dari kitab agamanya sendiri, malah menjadi semakin marah.

Ia sudah merasa kepalang, kalau sekarang mundur berarti dia harus menderita malu yang luar biasa, dan hal ini akan menghancurkan sama sekali namanya. Maka tanpa menjawab dia lalu menerjang lagi dengan kedua tangan karena goloknya sudah lenyap. Walau pun tangan kanannya patah tulangnya dan sakit rasanya, namun kakek ini masih cukup kuat menerjang maju, bahkan mempergunakan tangan kanan yang patah tulang lengannya itu untuk menyerang lagi.

Keng Hong menyambut serangan ini dengan tamparan tangan yang mengenai leher kiri kakek itu. Tubuh Thian It Tosu lalu terlempar ke arah Kim-to Lai Ban dan memang hal ini disengaja oleh Keng Hong. Melihat tubuh suheng-nya yang melayang itu, Lai Ban cepat menangkapnya dan ternyata bahwa tosu itu telah pingsan.

Ouw Beng Kok cepat meloncat maju dan menudingkan telujuknya ke arah Lai Ban sambil berkata, "Lai Ban, mulai detik ini juga engkau tak kami akui lagi sebagai seorang anggota Tiat-ciang-pang, dan para anggota yang menyeleweng, kalau masih setia padanya maka selamanya tidak akan diakui juga sebagai anggota Tiat-ciang-pang!"

Lai Ban yang masih memondongkan tubuh Thian It Tosu, tidak dapat bicara lagi. Ia hanya menundukkan mukanya dan membawa pergi tubuh suheng-nya yang pingsan. Ada pun para pendukungnya yang juga merasa bahwa mereka tidak ada muka lagi untuk terus berada di sana, satu demi satu lalu berdiri dan dengan muka tunduk mengikuti Lai Ban meninggalkan tempat itu.

Setelah kepergian orang-orang yang mengacaukan pemilihan ketua ini, tentu saja dengan sendirinya Ouw Kian dipilih sebagai ketua baru menggantikan ayahnya, kemudian pesta dilanjutkan dengan meriah. Ouw Beng Kok lalu menarik tangan Keng Hong, diajak masuk ke dalam, diikuti oleh Ouw Kian. Lain orang tidak diperkenankan menyaksikan pertemuan di dalam.

Ouw Beng Kok mempersilakan Keng Hong duduk menghadapi meja, berhadapan dengan dia dan puteranya, kemudian ketua Tiat-ciang-pang yang selama ini menatap wajah Keng Hong penuh perhatian, lalu berkata,

"Sekarang tiba saatnya supaya Taihiap suka memperkenalkan diri. Siapakah Taihiap dan meski pun kami semua menghaturkan banyak terima kasih dan merasa bersyukur sekali atas bantuan Taihiap yang mencuci bersih nama baik perkumpulan kami, tetapi sungguh kami ingin mengetahui, mengapa Taihiap melakukan ini semua?"

Keng Hong yang sekarang tidak lagi bersikap ketolol-tololan seperti tadi, menghela napas panjang dan berkata, "Ouw-pangcu, sebelum saya memperkenalkan diri, lebih dulu saya mohon tanya, bagaimana pendapat Pangcu tentang diri Lai Ban?"

"Dia? Ah, sudah jelas bahwa dia seorang yang mengkhianati perkumpulan, seorang yang tamak dan ingin merampas kedudukan. Hemm, sayang aku tidak mendapat kesempatan untuk menghancurkan kepalanya!"

Keng Hong mengangguk-angguk. "Jadi Pangcu tentu dapat menerima apa bila dikatakan bahwa dalam sepak terjangnya dulu, banyak kemungkinan dia pun melakukan kesalahan-kesalahan, melakukan tindakan sewenang-wenang hingga dapat mengotorkan nama baik perkumpulan Tiat-ciang-pang?"

Ouw Beng Kok mengerutkan keningnya, kemudian mengangguk-angguk. "Sangat boleh jadi, dan kalau hal itu terjadi, sungguh aku merasa menyesal sekali."

"Dan banyak hal seperti itu memang terjadi, Pangcu. Dulu Lai Ban sering kali melakukan hal sewenang-wenang, menanam bibit permusuhan dengan partai-partai lain, memimpin anak buahnya yang memang tidak dapat dikatakan bersih kelakuannya. Sekarang saya mohon bertanya, Pangcu. Saya datang dan menyamar sebagai anggota Tiat-ciang-pang untuk melawan Lai Ban dan tosu Kim-to Bu-koan itu untuk membuktikan niat baik saya. Andai kata saya mempunyai kesalahan-kesalahan yang timbul dari salah pengertian pada masa lalu, sudikah Pangcu memaafkan saya dan menghapus semua kesalah pahaman yang timbul karena sepak terjang Lai Ban?"

Ouw Beng Kok menatap wajah pemuda itu dan mengerahkan seluruh ingatannya untuk mengenalnya, akan tetapi dia merasa yakin bahwa dia belum pernah berjumpa dengan pemuda ini. Ia menghela napas dan berkata, "Dahulu aku amat percaya kepada Lai Ban, akan tetapi sekarang aku mengerti bahwa tentu banyak perbuatannya yang menyimpang hingga menyelewengkan Tiat-ciang-pang. Aku akan melupakan segala persoalan antara engkau dan perkumpulan kami, Taihiap."

"Bagus, Pangcu. Patut dikagumi seorang laki-laki yang dapat menyadari kekurangan diri sendiri. Sekarang, lihatlah baik-baik, tentu Pangcu sudah mengenal aku." Keng Hong lalu meraba mukanya, mengupas lapisan pada mukanya yang terbuat dari pada getah pohon.

Meski pun mukanya belum bersih benar, namun sekarang telah berubah sama sekali dan tentu saja Ouw Beng Kok mengenal bekas ‘musuh besar’ ini. Dia mencelat dari kursinya, memandang Keng Hong dan berkata, "Kau... kau... murid Sin-jiu Kiam-ong...!"

Keng Hong juga bangkit berdiri dan menjura. "Benar, Ouw-pangcu. Aku adalah Cia Keng Hong dan perbuatanku tadi hanya untuk membuktikan bahwa sesungguhnya aku sama sekali tidak memusuhi Tiat-ciang-pang dan bukanlah musuh Tiat-ciang-pang. Kalau dulu terjadi peristiwa sehingga aku dimusuhi, semua adalah gara-gara sepak terjang Lai Ban dan anak buahnya terhadap murid-murid Hoa-san-pai."

Keng Hong lalu menceritakan semua pengalamannya ketika dia membantu kakak beradik Sim yang dikeroyok oleh anak buah Lai Ban. Mendengar penuturan Keng Hong ini, Ouw Beng Kok mengangguk-angguk, kemudian berkata,

"Peristiwa yang lalu baiklah kita anggap sebagai sebuah kesalah pahaman dan untuk semua perbuatan itu, saya mengharap Taihiap suka memaafkan. Akan tetapi saya juga mengharap agar peristiwa yang terjadi hari ini tak sampai terdengar oleh dunia kang-ouw, karena sesungguhnya..."

Ketua ini ragu-ragu sejenak lalu melanjutkan, "Lebih baik saya berterus terang saja bahwa saya tidak ingin dunia kang-ouw mendengar bahwa Taihiap, murid Sin-jiu Kiam-ong telah membantu Tiat-ciang-pang. Dapatkah Taihiap berjanji?"

"Ayah! Mengapa begitu? Cia-taihiap sudah menolong kita..."

Keng Hong tersenyum memandang Ouw Kian dan berkata kepadanya. "Ouw-pangcu, aku bisa mengerti pendirian ayahmu. Memang benar sebaiknya begitu sebab nama mendiang guruku dimusuhi oleh banyak tokoh kang-ouw, maka ayahmu tidak menghendaki kalau sampai timbul persangkaan bahwa Tiat-ciang-pang bersahabat dengan aku, murid guruku yang dimusuhi." Ia lalu menghadapi Ouw Beng Kok yang agak merah mukanya. "Harap Pangcu jangan khawatir. Aku pun tidak berniat memperkenalkan diri, maka aku sengaja menyamar. Tujuanku yang utama hanyalah ingin menghapus permusuhan di antara kita. Nah, selamat tinggal, Pangcu, aku harus pergi sekarang juga." Dia menoleh dan berkata, "Ilmu kepandaian Lo-pangcu tidak kalah oleh tosu itu, akan tetapi sebaiknya kalau kau menggembleng puteramu supaya kelak mampu menghadapi tosu itu bila mana dia datang mengacau membalas dendam. Selamat tinggal!"

Dia lalu berkelebat melalui jendela dan dalam sekejap mata saja lenyap, meninggalkan ayah dan anak yang bengong dengan kagum itu…..

********************

Cia Keng Hong kembali melakukan perjalanan naik turun gunung, keluar masuk hutan dan dusun-dusun. Beberapa pekan kemudian, tibalah dia di lereng Beng-san yang amat indah pemandangannya.

Dia terkenang kepada Siauw-bin Kuncu karena di lembah inilah dia mula-mula bertemu dengan kakek itu. Teringat akan kakek itu, mau tidak mau Keng Hong tersenyum. Kakek itu benar-benar seorang yang amat ahli dalam filsafat, dan biar pun tidak sengaja, namun telah merupakan seorang yang amat berjasa baginya.

Karena merasa lelah, Keng Hong berhenti di lereng itu, mengaso di bawah pohon sambil memandang pemandangan di bawah yang amat indah mempesonakan. Ia teringat akan semua pengalamannya dan saat dia mengenangkan Siauw-bin Kuncu, dia menarik napas panjang.

Dia sendiri pun semenjak kecil banyak membaca kitab-kitab filsafat, akan tetapi betapa banyaknya hal-hal yang amat sulit bila menghadapi peristiwa dalam penghidupan. Selagi pikiran dan hati bersih, tentu saja mudah menangkap dan mengerti akan filsafat-filsafat yang tinggi. Akan tetapi sekali nafsu menguasai diri. Menghadapi peristiwa yang menimpa diri, semua filsafat diterbangkan angin, mata terbuka serasa buta dan otak yang terang menjadi gelap. Betapa sukarnya menguasai nafsu.

Gurunya sendiri, seorang sakti yang cerdik dan pandai, rupa-rupanya tidak kuasa dan tak berdaya menundukkan nafsunya sendiri, bahkan seperti mengumbarnya sehingga banyak mengakibatkan permusuhan, atau lebih tepat dimusuhi oleh banyak sekali orang. Semua gara-gara nafsu pribadi.

Dan dia sendiri? Ahhh…, dia merasa malu kalau dia mengenang semua pengalamannya. Betapa dengan mudahnya dia tergelincir oleh bujuk rayu Cui Im, betapa dia terpeleset menghadapi keindahan tubuh serta kecantikan wajah wanita. Membuat dia mata gelap, digelapkan oleh nafsunya, membuat dia tunduk dan menuruti nafsunya, selain melayani Cui Im yang memang haus akan cinta birahi, juga dia menyambut uluran gadis-gadis yang kemudian menjadi korban karena cintanya. Teringat dia akan nasib Sim Ciang Bi, murid Hoa-san-pai itu. Teringat pula akan nasib kedua orang murid wanita Kong-thong-pai, Kim Bwee Ceng dan Tang Swat Si. Dia menghela napas dengan hati penuh penyesalan. Tiga orang gadis itu telah menjadi korban semua.

Memang benar bahwa mereka tewas dalam tangan Cui Im, akan tetapi andai kata dia tak melayani cinta kasih mereka, andai kata dia tidak bermain cinta dengan mereka, belum tentu mereka akan dibunuh oleh Cui Im yang cemburuan, yang agaknya akan membunuh semua wanita yang dia layani cinta kasihnya! Dengan demikian, biar pun tidak langsung, sama artinya bahwa dialah yang menyebabkan kematian mereka.

Ahhh... nafsu...! Dia harus belajar menguasai nafsunya sendiri. Teringat dia akan filsafat kitab kuno yang pernah dia baca.

Pelajaran yang menyatakan bahwa nafsu itu sifatnya sama dengan kuda. Jasmani adalah keretanya dan kemajuan jasmani tergantung kepada tarikan kuda nafsu. Tanpa adanya tarikan kuda nafsu, maka kereta jasmani tidak akan mendapatkan kemajuan.

Namun, kuda yang sifatnya liar, seperti nafsu, perlu sekali dikendalikan dan dikuasai oleh tangan kusir yang pandai dan bijaksana. Sebenarnya, kusir inilah yang harus menguasai segalanya, kusir ini adalah jiwa yang murni. Sang Aku sejati!

Kusir inilah yang seharusnya memelihara dan mengawasi kereta jasmani, supaya kereta jangan rapuh dan rusak. Kusir ini pula yang harus dapat mengendalikan kuda, sehingga dapat mengemudikan kuda nafsu untuk menarik kereta jasmani menuju pada jalan yang tepat dan benar. Kalau sang kusir ini tidak pandai menguasai nafsu, kuda yang sifatnya liar itu akan membedal dan membawa kereta ke mana saja dia suka, sehingga akhirnya banyak bahayanya kuda itu akan menjerumuskan kereta dan sekalian kusirnya ke dalam jurang!

Betapa tepatnya perumpamaan itu. Nafsu pada diri manusia tidak semestinya dibunuh, melainkan dipelihara dan dikendalikan. Nafsu yang dikendalikan akan dapat membawa jasmani ke arah kemajuan, akan dapat mambawa diri ke tempat yang dikehendaki, dan akan dapat mendatangkan kenikmatan dan kesenangan hidup. Namun, kuda nafsu yang tidak dikendalikan akan berbahaya sekali, akan membedal, meliar, mengganas, bahkan memperhamba diri dan akhirnya keruntuhanlah akibatnya
.

Maka, tepat pula pelajaran dalam kalimat di kitab pelajaran para pemeluk Agama To, yaitu di dalam To-tik-keng yang berbunyi:

Mengerti akan orang lain adalah pandai,
mengerti akan diri sendiri adalah bijaksana.
Menaklukkan orang lain adalah kuat tubuhnya,
menaklukkan diri sendiri adalah kuat batinnya.
Yang puas akan keadaan diri sendiri adalah kaya raya,
yang memaksakan kehendaknya adalah orang nekat.
Yang tahu akan kedudukannya akan berlangsung
mati dalam kebenaran berarti panjang usia
.

Keng Hong menarik napas panjang. Ahhh…, kalau dia teringat akan semua filsafat dan pelajaran kebatinan yang pernah dibacanya, dia kini dapat melihat betapa gurunya sudah menyia-nyiakan hidupnya dengan berkecimpung di dalam lautan pemuasan hawa nafsu. Perlukah watak seperti itu dia contoh?

Biar pun guru, akan tetapi dia beguru kepada Sin-jiu Kiam-ong hanya dalam hal mengejar ilmu silat. Bila mana dia melihat sifat-sifat yang tidak benar dari gurunya, tidak perlu dia mencontoh. Bahkan dia harus membetulkan kesalahan-kesalahan yang sudah dilakukan gurunya, seperti yang dia dengar dalam nasehat Siauw-bin Kuncu!

Mempunyai ilmu kepandaian saja, seperti yang telah dia miliki sekarang, tidak akan ada gunanya bagi manusia dan dunia, bahkan dapat mengakibatkan kerusakan jika dia tidak berpegang pada kebenaran dan kebajikan. Ilmu tetap ilmu, akan tetapi dapat membangun atau merusak, tergantung dari pada akhlak si pemilik ilmu. Manusia tetap manusia, akan tetapi ada dua macam, yaitu manusia utama dan manusia rendah, dan untuk menjadi satu di antara keduanya, hanya diri pribadilah yang akan mengusahakan dan menentukannya.

Teringatlah dia kepada pelajaran Nabi Khong Cu yang menjawab pertanyaan-pertanyaan para muridnya tentang manusia utama yang tinggi budi dan manusia rendah yang rendah budinya.

Manusia utama mengerti mana yang benar,
Manusia rendah mengerti mana yang menguntungkan dirinya.
Manusia utama menyayang jiwanya,
Manusia rendah menyayang hartanya.
Manusia utama ingat akan hukuman dosa-dosanya,
Manusia rendah ingat akan hadiah jasa-jasanya.
Manusia utama mencari kesalahan diri sendiri,
Manusia rendah mencari kesalahan orang lain
.

Masih banyak sekali contoh-contoh dan dalam keadaan tenang di tempat sunyi di lereng Beng-san itu, Keng Hong teringat akan semua filsafat dan makin jelaslah terasa olehnya betapa dia sudah keliru mengikuti cara hidup suhu-nya dahulu, dan betapa dia pun telah menyeleweng dan akan mencontoh gurunya kalau saja dia tidak lekas-lekas sadar dan bertobat, mengubah wataknya dengan memperkuat batin sehingga dia akan bisa menjadi seorang kusir yang bijaksana dan pandai mengendalikan kuda-kuda liar berupa nafsunya sendiri.

"Aku akan berusaha, akan berusaha sekuat tenagaku...!" Demikian pemuda ini berjanji kepada diri sendiri. Ia lalu bangkit berdiri dan melanjutkan perjalanannya menuruni lereng Pegunungan Beng-san.

Ketika lereng itu akan habis dituruninya, tiba-tiba telinganya menangkap suara teriakan-teriakan di sebelah bawah yang datangnya dari hutan di kaki gunung. Cepat dia meloncat ke atas pohon yang tinggi dan memandang ke bawah. Dari tempat tinggi itu tampaklah olehnya berkelebatnya bayangan-bayangan orang dalam pertempuran.

Dari tempat yang jauh itu dia tidak dapat melihat siapa orangnya yang bertanding, akan tetapi dia dapat melihat seorang dikeroyok oleh belasan orang dan dari gerakan mereka tahulah dia bahwa yang bertanding adalah orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi. Dia menjadi tertarik sekali, cepat melompat turun dari atas pohon kemudian berlari cepat menuruni lereng dan memasuki hutan itu.

Keng Hong menyelinap di antara pepohonan sambil mendekati tempat pertempuran, dan sesudah dekat serta bersembunyi di balik pohon, dia mendapat kenyataan bahwa yang sedang dikeroyok oleh tiga belas orang itu bukan lain adalah Kiu-bwe Toanio Lu Sian Cu, nenek galak berpakaian serba hitam yang dulu bersama beberapa tokoh lainnya pernah menyerang gurunya di Kiam-kok-san, bahkan yang ikut ‘mengadilinya’ di Kun-lun-san saat dia ditangkap.

Nenek itu kini mainkan senjatanya yang hebat, yaitu pecut yang di tiap ujung cabangnya dipasangi kaitan. Gerakan nenek itu masih tangkas, jelas membuktikan bahwa nenek itu seorang ahli ginkang yang mahir, dan meski pun dia dikeroyok tiga belas orang, namun sembilan cabang cambuknya itu dapat melayani para pengeroyoknya dengan ganas.

Keng Hong memperhatikan tiga belas orang laki-laki yang menggeroyok Kiu-bwe Toanio. Mereka itu rata-rata berusia empat puluh tahun lebih, bentuk tubuh mereka bermacam-macam, akan tetapi rata-rata mereka mempunyai ilmu kepandaian yang tinggi. Mereka semua bersenjatakan golok besar dan ternyata bahwa gerakan mereka teratur sekali, merupakan gerakan barisan tiga belas orang yang mengurung dengan rapi sehingga biar pun nenek itu lihai ilmu cambuknya, sedemikian lamanya dia tidak mampu merobohkan seorang pun di antara para pengeroyoknya, bahkan pengepungan makin rapat.

"Ha-ha-ha-ha! Kiu-bwe Toanio, lebih baik kau menyerah saja dan menyerahkan nyawamu agar kau dapat mati dengan tubuh utuh! Engkau tidak akan dapat menandingi Cap-sha Toa-to (Tiga Belas Golok Besar) dari Beng-san!" seorang mengejek.

"Tar-tar-tar!"

Cambuk pada tangan Kiu-bwe Toanio meledak-ledak menyambar, akan tetapi tanpa hasil dan kembali dia terkurung oleh cahaya golok yang berkilauan sehingga nenek ini cepat memutar cambuk melindungi tubuhnya.

"Tiga belas perampok laknat dari Beng-san! Bila aku tidak mampu membasmi perampok-perampok jahat semacam kalian ini, percuma saja aku menyebut diriku sebagai pendekar wanita!" Nenek itu berseru, suaranya garang dan semangatnya tak kunjung padam meski pun dia terancam bahaya maut dan terdesak terus.

"Ha-ha-ha-ha! Mungkin dahulu engkau terkenal sebagai pendekar wanita yang cantik dan perkasa, akan tetapi sekarang engkau tidak lebih hanyalah seorang nenek tua keriputan yang sudah hampir mampus. Phuahh, tua bangka tak tahu diri, sudah mendekati kuburan masih berlagak pendekar!"

Wajah nenek itu menjadi merah dan dia pun memutar cambuknya makin hebat sehingga terpaksa para pengeroyoknya melompat mundur. Kiu-bwe Toanio kemudian menudingkan telunjuk tangan kirinya. "Penjahat-penjahat rendah! Kalian sudah merampok dusun-dusun di sebelah selatan gunung, melakukan banyak pembunuhan dan perkosaan, tidak pantang melakukan segala macam kekejian. Aku Kiu-bwe Toanio Lu Sian Cu yang kebetulan lewat dan mendengar akan kejahatan kalian, jika hari ini tidak mampu membasmi kalian, jangan sebut lagi aku seorang pendekar dan aku rela mampus tercacah-cacah oleh golok kalian, Majulah!"

Keng Hong memandang kagum. Dia sudah mendengar dari suhu-nya siapa nenek ini. Kiu-bwe Toanio Lu Sian Cu semenjak muda terkenal sebagai seorang pendekar wanita yang paling anti terhadap perampok. Wanita ini sudah membuat nama besar karena dia telah membasmi banyak sekali sarang perampok, membunuh banyak kepala rampok dan membubarkan gerombolan-gerombolan. sekarang hingga menjadi nenek-nenek pun masih gigih membasmi perampok.

Seorang pendekar wanita yang patut dikagumi. Akan tetapi juga seorang pendekar wanita yang memusuhi gurunya!

Keng Hong tersenyum dan mengeleng-gelengkan kepala bila mana ia teringat akan cerita gurunya mengenai wanita sakti ini. Ia mencoba untuk membayangkan Kiu-bwe Toanio di waktu muda. Memang tidak sukar.

Wajah nenek itu masih membayangkan bekas kecantikan, dan tubuh itu masih ramping, hanya buah dadanya yang luar biasa besarnya itulah yang sukar dibayangkan bagaimana bentuknya pada waktu nenek itu masih muda.

Akan tetapi, jika Sin-jiu Kiam-ong mau melayani cinta kasih wanita itu, tentu pada waktu mudanya dahulu dia cantik menarik. Keng Hong menghela napas. Wanita ini pun menjadi korban petualangan gurunya. Gurunya tentu melayani cinta wanita itu, seperti halnya dia melayani Cui Im, atau Ciang Bi, Bwee Ceng dan Swat Si. Melayani cinta wanita-wanita itu hanya seperti orang menikmati keindahan bunga.

Akan tetapi nenek ini mencinta gurunya secara mendalam, maka menjadi sakit hati ketika ditinggalkan! Ah, nenek ini juga telah menjadi korban gurunya, dialah yang harus berusaha memperbaiki kesalahan itu. Kini secara kebetulan sekali dia mendapat kesempatan baik. Sekarang nenek itu terdesak hebat, bahkan terancam oleh tiga belas golok besar yang memang lihai itu.

Tanpa banyak cakap lagi Keng Hong melompat keluar dari tempat sembunyiannya dan menerjang barisan tiga belas orang yang mengurung Kiu-bwe Toanio. Karena pemuda ini menerjang dari luar kepungan dan gerakannya amat hebat, maka begitu kaki tangannya bergerak, tiga orang pengeroyok roboh terlempar keluar kepungan dan tiga belas orang itu menjadi kacau-balau.

Lima orang kemudian membalikkan tubuh dan dengan marah sekali lalu menerjang Keng Hong dengan golok mereka, sedangkan yang lima orang lagi masih mengeroyok Kiu-bwe Toanio. Cambuk nenek ini bagaikan sembilan ekor burung garuda menyambar-nyambar.

Tadi ketika dikeroyok tiga belas orang dia terdesak hebat, akan tetapi setelah kini yang mengeroyoknya hanya tinggal lima orang saja, begitu dia memutar cambuknya, dua orang terjungkal roboh dengan leher terkait ujung cambuk sehingga urat lehernya putus-putus! Mereka roboh mengeluarkan suara seperti babi disembelih, dari leher yang sudah rusak pula. Kiu-bwe Toanio tertawa lagi dan betapa pun keras melindungi diri, namun belasan jurus saja sisa tiga orang pengeroyoknya juga menggeletak dan berkelojotan.

Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kaget, heran dan kagumnya pada saat nenek itu menoleh, ia melihat pemuda yang menolongnya itu agaknya telah sejak tadi merobohkan lima orang lawannya! Ternyata ia kalah cepat merobohkan para pengeroyoknya, padahal pemuda itu hanya bertangan kosong saja!

"Orang muda yang gagah perkasa! Sungguh mengagumkan sekali, aku Kiu-bwe Toanio harus mengakui bahwa kepandaianmu jauh melampauiku!" berkata nenek ini yang masih terheran-heran dan kagum.

Keng Hong tersenyum dan menjura dengan hormat. "Selamat berjumpa, Toanio. Agaknya Toanio telah lupa lagi kepadaku."

"Engkau... siapakah...?" Nenek itu melebarkan matanya, memandang lebih tajam dengan sepasang matanya yang sudah kurang awas. Ia melangkah dekat dan kini ia mengenal pemuda itu. Rasa kagetnya bertambah dan ia berseru, "Engkau... engkau muridnya...!"

Keng Hong mengangguk sambil tersenyum. "Benar, Toanio. Aku adalah murid mendiang suhu Sin-jiu Kiam-ong dan karena itulah maka aku sengaja membantumu melawan para perampok ini, untuk membuktikan bahwa baik suhu mau pun aku tidak mempunyai rasa permusuhan terhadap Toanio. Dengan jalan ini aku hendak mewakili suhu mohon maaf kepada Toanio apa bila pada waktu dahulu suhu pernah melakukan kesalahan-kesalahan terhadap Toanio yang semenjak muda sampai kini ternyata merupakan seorang pendekar wanita yang hebat!"

Wajah nenek itu berubah pucat, kemudian mengeluh, "Ahhh... kau murid Sie Cun Hong..." Tiba-tiba tubuhnya terhuyung dan terguling roboh.

"Toanio...!" Keng Hong cepat melompat dan menangkap lengan nenek itu sehingga tubuh itu tak sampai terguling. Tubuh itu lemas tergantung di lengan Keng Hong yang merangkul pinggangnya.

"Kau kenapa, Toanio...?" Keng Hong bertanya, khawatir.

"Terluka... aku... terluka oleh pukulan perampok-perampok laknat..."

Tadi Keng Hong tidak melihat nenek itu terkena pukulan. Mungkin sebelum dia datang atau sesudah dia membantunya, pikirnya.

"Boleh kutolong engkau, Toanio? Mana yang terpukul?"

"Dadaku... tidak apa-apa, hanya aku telah lama menderita penyakit jantung, dan.. melihat engkau... murid Sie Cun Hong... Aduuuhhh... Aku kaget dan jantungku..." Dia mencegah tangan Keng Hong yang hendak memeriksanya. "Tidak usah, hanya... maukah engkau menolongku, membawaku ke pondokku... tidak jauh dari sini… hanya kira-kira tiga puluh li..."

"Baiklah, Toanio. Biar kupondong engkau!" Keng Hong cepat-cepat membungkuk hendak memondong nenek itu.

Akan tetapi Kiu-bwe Toanio dengan kasar menolak lengannya. "Jangan pondong aku!"

Pemuda itu terheran menyaksikan kekasaran nenek itu.

"Selama hidupku, baru satu kali ada pria menyentuh dan memondongku, hanya Sie Cun Hong... ahhh, Cun Hong, laki-laki tidak setia... dan semenjak itu, belum pernah ada pria menyentuhku.."

Keng Hong merasa geli hatinya, juga terharu menyaksikan betapa nenek ini ternyata amat mencinta dan setia pada gurunya. "Habis, bagaimana aku dapat membawamu, Toanio?" tanyanya bingung.

"Kalau kau mau... kau gendong saja aku di punggungmu... Begitu lebih sopan."

Keng Hong menahan senyumnya. Sudah nenek-nenek begini tua, masih memiliki pikiran malu dipondong seorang pemuda seperti dia! Ah, wanita memang aneh, begini tua masih genit, pikirnya.

"Baiklah, mari kugendong kau, Toanio." Keng Hong kemudian membalikkan tubuh dan membelakangi nenek itu sambil berjongkok.

Dengan tubuh lemas Kiu-bwe Toanio lalu naik ke punggung Keng Hong dan pemuda itu segera bangkit berdiri, menyangga kedua paha nenek itu yang sudah peyot.

"Tar-tar-tar-tar-tar...!"

Keng Hong mendengar pecut nenek itu meledak-ledak di atas kepalanya dan sembilan cabang cambuk itu menyambar ke depan, menghantam kepala delapan orang perampok yang tadi roboh di tangan Keng Hong. Delapan orang itu ia robohkan dan ia sengaja tidak membunuh mereka, berbeda dengan nenek itu yang tadi membunuh seluruh lima orang pengeroyoknya. Keng Hong terkejut. Kepala delapan orang itu remuk dan mereka tewas seketika.

"Aihhh, Toanio, mengapa kau...?"

"Kalau tidak dibunuh tentu mereka akan mendatangkan mala petaka kepada penduduk dusun-dusun. Kalau tidak dibunuh, apa artinya aku menentang para perampok laknat itu?"

Keng Hong menghela napas. Dia memang setuju saja kalau nenek itu menentang para perampok, akan tetapi membunuhi lawan yang telah roboh, sungguh-sungguh merupakan perbuatan yang kejam, yang tentu tidak akan dapat dia lakukan.

"Toanio yang melakukan, Toanio sendiri pula yang merasakan," katanya dan dia mulai melangkah. "Ke mana kita harus menuju, Toanio?"

"Maju terus, keluar dari hutan ini. Nanti kutunjukkan jalannya," kata si nenek yang biar pun tubuhnya lemas ternyata masih sangat hebat cambuknya itu, sekali bergerak membunuh delapan orang!

Keng Hong melangkah keluar dari hutan dan selanjutnya menuruti petunjuk nenek itu menuju ke sebuah bukit. Tubuh nenek itu ringan sekali, dan menggendongnya merupakan pekerjaan yang mudah dan tidak berat bagi Keng Hong.

"Namamu siapa?"

"Keng Hong, Cia Keng Hong, Toanio."

"Hemmm, Keng Hong, tahukah engkau dosa apa yang dilakukan gurumu kepadaku?"

Tentu saja Keng Hong telah mendengar penuturan gurunya tentang nenek ini, akan tetapi untuk menghilangkan rasa sunyi di dalam perjalanan itu, dia ingin mendengar penuturan Kiu-bwe Toanio sendiri, karena itu dia menjawab, "Aku hanya tahu bahwa Toanio dahulu mendendam kepada suhu, akan tetapi aku tidak tahu jelas persoalannya."

"Hemmm, gurumu seorang pria yang tidak setia, tidak kenal budi, tidak menghargai cinta kasih seorang wanita!" Sejenak nenek itu terengah-engah, agaknya dia hendak menekan kemarahannya yang timbul dari rasa sakit hati.

"Dahulu aku adalah seorang pendekar wanita muda yang cantik jelita dan gagah perkasa. Tak terhitung banyaknya orang yang tergila-gila kepadaku, yang meminangku, akan tetapi semua kutolak karena aku belum dapat menjatuhkan hatiku kepada seorang pria. Aku ingin memilih seorang pria yang selain mempunyai wajah yang mencocoki seleraku, juga memiliki kepandaian yang jauh melampauiku. Betapa sukarnya menemukan pria seperti idaman hatiku. Kemudian... hemmm, terjadinya hampir sama dengan munculmu tadi. Aku dikeroyok penjahat, kemudian Sie Cun Hong muncul dan membantuku. Aku jatuh cinta kepadanya. Aku mencintanya dengan seluruh jiwa ragaku. Dia muda dan tampan, seperti engkau, dia gagah perkasa seperti engkau. Akan tetapi dia hangat dan pandai merayu, tidak seperti engkau yang dingin dan kaku. Aku semakin cinta kepadanya sehingga aku menyerahkan jiwa ragaku, aku terbuai dalam rayuan dan belaiannya, aku menyerahkan kehormatanku. Akan tetapi... akhirnya dia meninggalkan aku, tak mau menjadi suamiku!"

"Bukankah suhu mencintaimu, Toanio?"

"Uhhh, cinta apa? Cinta mulut, cinta palsu, dia hanya ingin memiliki tubuhku seperti tubuh wanita-wanita lain! Dia seorang laki-laki yang berhati palsu, hanya suka mempermainkan wanita. Terkutuk!"

Keng Hong menarik napas panjang lalu memberanikan diri bertanya, "Akan tetapi, kenapa Toanio dahulu suka menyerahkan... kehormatan Toanio kepada suhu? Mengapa Toanio begitu... begitu... mudah...?"

"Setan alas kau! Aku terjebak oleh bujuk rayunya! Aku mabuk oleh nafsu birahi yang dia bangkitkan! Kalau aku tahu... ahhh, kalau aku tahu..." Nenek itu seperti meronta-ronta di gendongan Keng Hong. "Akhirnya… sebelum meninggalkan aku, dia bilang bahwa cinta kasih antara pria dan wanita tidak seharusnya selalu diakhiri perkawinan! Cih, omongan laki-laki bangsat! Mau enaknya saja. Dia bebas dan enak saja mempermainkan ribuan orang wanita, laki-laki tetap dihargai. Akan tetapi wanita? Sekali menjadi permainan pria dan ditinggalkan, siapa sudi menghargainya lagi? Hidupku rusak oleh gurumu, maka aku penasaran sekali tidak dapat menghancurkan kepalanya! Akan tetapi, masih ada engkau muridnya!"

Keng Hong terkejut bukan main ketika merasa betapa ujung jari yang keras menyentuh ubun-ubun kepalanya. Ia maklum bahwa sekali dia melawan, maka jari-jari itu tentu akan mencengkeram dan tak mungkin ia mampu melindungi ubun-ubun kepalanya. Namun dia bersikap tenang dan bertanya,

"Apa maksudmu, Toanio?"

"Maksudku? Hi-hi-hik, maksudku, aku yang tidak berhasil membalas dendam kepadanya, masih dapat melampiaskan dendamku kepadamu, kepada muridnya. Dalam sekejap mata aku dapat membunuhmu, Cia Keng Hong murid Sie Cun Hong!"

Keng Hong merasa bulu tengkuknya berdiri. Kalau nenek itu membuktikan ancamannya, tidak ada yang akan dapat menolongnya, juga kepandaiannya yang bertahun-tahun dia pelajari tidak akan ada gunanya. Tentu saja dia dapat menyerang nenek yang berada di punggungnya itu, akan tetapi serangan macam apa yang akan dapat melebihi kecepatan nenek itu menanamkan jari-jari tangan di ubun-ubun kepalanya?

Tentu dia kalah cepat dan akan tewas sebelum mampu bergerak. Pula, nenek itu berada di punggungnya. Karena semua gerakan tangan diawali oleh gerakan pundak sedangkan gerakan kaki diawali gerakan pangkal paha, tak mungkin dia mendahului nenek itu, maka berusaha menyerangnya sama dengan bunuh diri.

"Toanio, setelah aku membantumu dan menggendongmu, mengantar engkau yang terluka ke pondok, engkau masih hendak membunuhku...?"

"Hi-hi-hik! Siapa menolongku? Apa kau kira aku kalah dikeroyok tiga belas ekor tikus tadi? Jangan sombong seperti gurumu! Dan kau tidak secerdik gurumu. Siapa bilang aku luka? Aku sehat segar tidak terluka apa-apa. Akan tetapi kini aku berada di punggungmu dan kau akan dapat berbuat apa? Engkau telah mewarisi banyak ilmu gurumu, tentu aku tidak dapat membunuhmu mengandalkan kepandaian. Sekarang, aku tidak akan membunuhmu asal saja engkau suka mengajarkan Ilmu Thi-khi I-beng kepadaku."

Keng Hong merasa geli dan juga muak. Yang baik mau pun yang jahat, sekali manusia dikuasai oleh angkara murka dan menghendaki sesuatu yang tak dimilikinya, sama saja, memuakkan! Kelakukan jahat yang tidak segan merugikan orang, tidak segan melakukan kecurangan, timbul dari hati yang angkara murka, yang menghendaki sesuatu yang bukan menjadi haknya!

Akan tetapi dia tidak berdaya, dan tidak ada pilihan lain. Meski pun hatinya merasa berat untuk membuka rahasia ilmu yang pada waktu itu tiada orang lain yang mengetahuinya, akan tetapi kalau dia menolak tentu dia akan tewas. "Toanio, apakah kalau aku memberi ilmu itu kepadamu, Toanio pasti akan membebaskan aku?"

"Tentu saja!"

"Bagaimana kalau Toanio melanggar janji?"

"Plakkk!" Kepala Keng Hong ditampar sehingga dia merasa pening dan pandang matanya berkunang.

"Apa bila sekali lagi engkau meragukan janji seorang pendekar seperti aku, tentu engkau akan kubunuh! Kiu-bwe Toanio Lu Sian Cu bukan seorang rendah budi yang tidak bisa memegang janji. Janji lebih berharga dari pada nyawa, tahu?"

"Hemm, kalau begitu boleh saja. Harap Toanio turun dulu dari punggungku dan aku akan mengajarkan Thi-khi I-beng kepada Toanio."

"Mana bisa? Kalau aku turun, benar-benarkah engkau akan mengajarkan Thi-khi I-beng?"

"Tentu, Toanio."

"Bagaimana kalau melanggar janji?" Engkau bukan pendekar seperti aku. Engkau adalah murid Sie Cun Hong yang plin-plan, mulut laki-laki perayu, berani sumpah tak berani mati. Mana bisa aku percaya?"

Hati Keng Hong mendongkol bukan main, akan tetapi apa dayanya? Dia lalu menekan kemarahan di hatinya dan tersenyum. "Terserah kepada Toanio akan percaya kepadaku ataukah tidak. Akan tetapi kalau Toanio tidak turun dari punggung, bagaimana aku dapat mengajarkan Thi-khi I-beng kepadamu?"

Sejenak nenek itu berpikir, kemudian baru berkata, "Baiklah, sekarang kau bersumpahlah! Bersumpahlah demi arwah gurumu, demi nenek moyangmu bahwa engkau tidak akan menipu aku. Setelah aku turun dari punggungmu engkau tidak akan menyerangku dan benar-benar akan mengajarkan Thi-khi I-beng kepadaku."

Keng Hong makin mendongkol, akan tetapi dia menekan hatinya, bahkan dia mengejek sambil tersenyum, "Apakah Toanio tidak takut kalau-kalau aku melanggar sumpah, seperti yang Toanio katakan tadi bahwa mulut laki-laki berani bersumpah tak berani mati?"

"Cerewet! Bersumpahlah!"

Keng Hong kemudian mengucapkan sumpah seperti yang dikehendaki nenek itu. Kiu-bwe Toanio melompat turun, siap dengan cambuknya kalau-kalau pemuda itu akan melanggar sumpahnya. Akan tetapi Keng Hong malah duduk bersila dan berkata,

"Marilah duduk bersila di depanku, Toanio. Aku akan mengajarkan Thi-khi I-beng kepada Toanio."

Dengan hati penuh gairah Kiu-bwe Toanio duduk bersila di depan Keng Hong. Nenek itu menganggap ilmu menyedot hawa sinkang lawan itu merupakan ilmu mukjijat yang tiada taranya sehingga kalau ia memiliki ilmu itu tentu dia akan menjadi seorang tokoh nomor satu di dunia kang-ouw!

Keng Hong juga menduga demikian, maka diam-diam hatinya geli. Ah, betapa dangkalnya pendapat itu, pikirnya. Ilmu tidak dapat diukur tinggi atau dalamnya, tidak ada batasnya dan setiap macam ilmu pasti akan ada yang mengatasinya.

"Toanio, ilmu ini sesungguhnya merupakan ilmu yang amat sukar dipelajari dan amat sulit, karena bukan hanya membutuhkan dasar tenaga sinkang yang sangat kuat, akan tetapi juga harus melatih tenaga di dalam tubuh sehingga dapat menimbulkan tenaga menyedot yang otomatis. Terus terang saja, mendiang suhu tidak menguasai ilmu ini, dan saya pun selama hidup belum pernah mempelajari Ilmu Thi-khi I-beng, dan ilmu menyedot sinkang lawan yang kumiliki timbul secara mukjijat pada saat saya menerima pemindahan sinkang dari suhu."

Keng Hong lalu menceritakan pengalamannya ketika tanpa dia sadari dia sudah memiliki ilmu mukjijat yang tak dapat dikendalikannya itu.

"Kemudian, berkat kitab-kitab peninggalan Thai Kek Couwsu, saya bisa menemukan cara untuk mengatur tenaga mukjijat itu, dan menurut pendapat saya, seorang seperti Toanio yang telah memiliki sinkang cukup kuat akan dapat mempelajari ilmu itu asal saja Toanio bersabar. Kalau Toanio sudah mulai dapat mempergunakan tenaga menyedot itu, jangan sembarangan Toanio pergunakan secara berlebihan, melainkan sedikit demi sedikit."

"Hemmm, orang muda. Engkau tidak perlu menasehati aku yang sudah menjadi seorang ahli sebelum engkau terlahir di dunia ini. Lekas ajarkan ilmu itu."

"Agar supaya Toanio bisa mendapatkan penambahan tenaga secara tiba-tiba, maka saya harus mengoper sebagian tenaga saya kepada Toanio, harap Toanio tidak melawan dan menerima sinkang saya itu sehingga akan timbul tenaga menyedot di pusar Toanio, baru kemudian saya akan ajarkan cara melatih tenaga menyedot itu."

"Lakukanlah, aku sudah siap!" kata nenek itu dengan hati penuh ketegangan karena dia ingin sekali memiliki ilmu itu.

Keng Hong lalu menggeser duduknya di belakang, dan telapak tangannya ditempelkan ke punggung nenek tadi sambil mengerahkan sinkang dari pusar. Tenaga yang sangat kuat menerobos melalui kedua telapak tangannya.

Nenek itu terkejut dan kagum. Hebat bukan main tenaga yang memasuki tubuhnya dan kalau saja ia tidak menaruh kepercayaan besar, tentu ia akan melawan tenaga itu karena biasanya tenaga itu dipergunakan untuk menyerang lawan. Namun ia membuka pusarnya dan menerima tenaga yang membanjir memasuki tubuhnya, berkumpul di pusar. Karena ia membuka pusarnya, maka tenaga itu memenuhi tubuhnya dan ia merasa betapa timbul daya menyedot di tubuhnya yang membuat tenaga sinkang pemuda itu membanjir makin banyak.

Setelah merasa bahwa bantuannya seperti yang dulu dilakukan gurunya kepadanya telah cukup untuk membangkitkan daya sedot dari pusar nenek itu, Keng Hong menghentikan pemindahan tenaganya. Dia melepaskan dua tangannya, kemudian duduk bersila dengan wajah pucat. Hampir setengah tenaga sinkang-nya telah dia buang dan dia pindahkan ke tubuh Kiu-bwe Toanio!

Juga nenek itu duduk bersila sambil memejamkan mata, tubuhnya bergoyang-goyang dan dia merasa seakan-akan hendak terbang oleh gelora tenaga yang memenuhi tubuhnya. Sampai berjam-jam keduanya duduk bersila, yang seorang berusaha untuk memulihkan kekuatannya yang banyak terbuang, yang seorang lagi berusaha mengendalikan tenaga yang membanjiri tubuhnya.

Kemudian terdengar suara Keng Hong, lemah dan lirih namun cukup jelas, "Toanio, kau kendalikan tenaga yang berlebihan itu, tekan tenaga itu melalui jalan darah Ci-kiong-hiat kemudian terus disalurkan melalui Tiong-teng-hiat. Setelah berkumpul lalu kau kerahkan melalui Thai-hiat-to menuju ke pusar. Setelah kau ulangi sampai lancar betul, coba kau kerahkan kembali tenaga dari pusar menuju ke seluruh bagian tubuh yang kiranya sedang terserang lawan, kemudian tiba-tiba mengosongkan bagian itu sehingga sinkang Toanio tertarik kembali bersama-sama sinkang lawan itu." Keng Hong terus memberi penerangan seperti dia pelajari dari kitab-kitab di tempat rahasia gurunya.

Kiu-bwe Toanio mendengarkan penuh perhatian. Memang ia pun adalah seorang ahli silat yang pandai dan pengertiannya tentang penggunaan sinkang sudah cukup. Maka setelah keterangan-keterangan itu diulangi beberapa kali saja, dia pun telah dapat menangkap inti sarinya dan mulailah nenek ini berlatih.

Diam-diam Keng Hong merasa kagum dan juga geli hatinya melihat betapa nenek ini amat tekunnya berlatih. Kagum menyaksikan semangat yang tidak kalah oleh semangat orang muda ini dan geli memikirkan betapa manusia amat serakahnya, juga dalam hal mengejar ilmu. Usia sudah begitu tua, hidup pun tentu tidak akan lama lagi, untuk apa bersusah payah mempelajari ilmu itu?

Kiu-bwe Toanio berlatih sampai tiga hari tiga malam dengan tekun, lupa makan lupa tidur. Keng Hong tidak mau mengganggunya dan pemuda ini terpaksa makan buah-buah yang dapat dia cari di dalam hutan dan minum air sungai. Pada hari ke empat, pagi-pagi sekali Toanio melompat bangun dari atas tanah di mana dia berlatih sambil duduk bersila dan berkata,

"Keng Hong, kurasa aku sudah dapat menguasai Thi-khi I-beng! Coba kau serang aku, hendak kucoba ilmu ini!"

Keng Hong tersenyum menyaksikan kegembiraan pada wajah nenek itu. "Toanio memang hebat dan tekun sekali. Aku tidak akan merasa heran kalau Toanio sudah berhasil dalam waktu tiga hari. Akan tetapi amat perlu dijaga agar Toanio tidak keburu nafsu, dan hanya mempergunakan ilmu apa bila perlu saja. Dasar sinkang Toanio sungguh pun sudah kuat, akan tetapi belum tentu akan dapat menerima serbuan sinkang lawan yang disedot dan hal ini amat berbahaya, demikian menurut petunjuk jalan kitab yang kubaca."

"Kitab petunjuk gurumu? Heh, siapa bisa percaya Sie Cun Hong? Dia selalu membohong. Hayo, kau pukul aku untuk mencoba ilmu ini."

"Toanio..."

"Hemm, orang muda. Engkau sudah berjanji untuk mengajarkan Thi-khi I-beng kepadaku, mana bisa aku tahu buktinya bahwa pelajaran ini benar atau palsu? Apa bila nanti sudah kubuktikan hasilnya, baru aku tahu bahwa selama ini kau tidak membohong dan tidak melanggar sumpahmu sendiri. Hayo, kau pukullah aku sekarang juga."

Keng Hong menarik napas panjang dan merasa serba salah. Dia tahu nenek ini memiliki kekerasan hati dan kehendaknya sukar dibantah. Sebab itu dia lalu melangkah maju dan berkata, "Hati-hatilah, Toanio!"

Tangannya melayang dan menepuk pundak nenek itu, sengaja mengerahkan sedikit saja sinkang untuk menguji ‘daya sedot’ nenek itu.

"Plakkkkk!"

Keng Hong merasa betapa tenaga sinkang di tangannya yang menempel pada pundak nenek itu tersedot melalui pundak dan tangannya tidak dapat dia lepaskan kembali, juga hawa sinkang-nya molos keluar. Akan tetapi tentu saja dia juga tahu bagaimana caranya melepaskan tangan. Kalau dia menyimpan hawa sinkang-nya, maka otomatis tangannya akan terlepas. Tiba-tiba saja dia terkejut sekali karena tangan nenek itu sudah menyentuh dadanya, tepat di bagian jantung.

"Jangan lepaskan tanganmu, jangan coba-coba tarik kembali sinkang-mu atau... engkau akan kubunuh!"

Keng Hong yang merasa terkejut itu menjadi penasaran. "Toanio, apa yang hendak kau lakukan ini?"

Pemuda itu merasa betapa tenaganya terus menerobos melalui telapak tangannya yang melekat pada pundak Kiu-bwe Toanio.

"Hemmm, kau bocah murid Sie Cun Hong. Di dunia ini tidak boleh ada dua orang yang menguasai Thi-khi I-beng! Hanya aku seoranglah yang boleh memilikinya," kata nenek itu sambil terus mengerahkan tenaga menyedot. Muka nenek itu kini menjadi merah sekali, matanya melotot dan napasnya terengah-engah.

Keng Hong menjadi pucat. Ia maklum bahwa kalau sinkang-nya habis, dia akan menjadi lemas atau bahkan dia dapat tewas karenanya. Namun, kalau dia menghentikan saluran sinkang-nya, tentu nenek itu akan menotok dadanya dan dia akan tewas pula.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar