Pedang Kayu Harum Jilid 11

Sementara itu, semenjak Kun-lun-pai menerima Siang-bhok-kiam dari tangan Keng Hong, perkumpulan besar ini tidak pernah mengalami hari-hari aman tenteram lagi. Baru lewat beberapa hari sejak Keng Hong meninggalkan Pedang Kayu Harum itu, Kun-lun-pai telah diserbu oleh orang-orang kang-ouw dari bermacam partai. Cara penyerbuan mereka pun berbeda-beda, tergantung dari sifat perkumpulan atau partai mereka.

Golongan bersih yang merasa pernah ‘menghutangkan sesuatu’ kepada Sin-jiu Kiam-ong dan karenanya berhak untuk mendapatkan bagian dari pusaka peninggalan pendekar itu, mendatangi Kun-lun-pai secara berterang melalui pintu depan, kemudian terang-terangan menyatakan ‘minta bagian’ karena dengan diserahkannya Siang-bhok-kiam kepada pihak Kun-lun-pai, mereka ini menganggap bahwa Kun-lun-pai sudah mewarisi semua pusaka peninggalan Sin-jiu-Kiam-ong.

Akan tetapi golongan sesat memiliki cara yang lain lagi. Mereka datang dengan berbagai macam cara, ada yang sembunyi-sembunyi bagai pencuri, ada pula yang datang dengan melontarkan tuduhan-tuduhan dan menantang pibu.

Tetapi, partai persilatan Kun-lun-pai adalah sebuah partai besar yang mempunyai banyak tokoh yang berilmu tinggi. Di samping ini, juga para tosu anak murid Kun-lun-pai rata-rata juga memiliki kepandaian yang lihai, jumlahnya banyak pula sehingga semua usaha para tokoh kang-ouw yang hendak merampas Siang-bhok-kiam dapat digagalkan.

Karena munculnya gangguan-gangguan ini, para tokoh Kun-lun-pai menjadi sibuk sekali dan akhirnya mereka sadar bahwa keputusan yang diambil oleh Kiang Tojin sebagai wakil suhu-nya, yaitu Thian Seng Cinjin ketua Kun-lun-pai, sungguh pun merupakan keputusan yang sangat baik demi menjunjung tinggi kedaulatan dan nama besar Kun-lun-pai, namun merupakan keputusan yang amat berbahaya.

Dengan mencegah Keng Hong membawa pergi Siang-bhok-kiam dan merampas pedang itu lalu menyimpannya di Kun-lun-pai, maka kini perhatian semua orang kang-ouw tertuju kepada Kun-lun-pai. Jika dahulu para tokoh kang-ouw mengejar-ngejar Sin-jiu Kiam-ong, kini mereka menyerbu Kun-lun-pai untuk merampas pedang Siang-bhok-kiam!

Sungguh pun sejauh ini pihak Kun-lun-pai selalu berhasil menghalau para penyerbu yang hendak merampas Siang-bhok-kiam, akan tetapi dalam pertandingan-pertandingan yang terjadi selama pedang itu berada di sana, di pihak mereka sudah jatuh korban sebanyak empat orang murid yang tewas dalam pertempuran. Hal ini masih ditambah pula dengan perasaan gelisah, selalu harus berjaga-jaga sehingga para tosu itu tidak dapat lagi tidur nyenyak.

Mulailah timbul perasaan tidak senang mereka terhadap keputusan Kiang Tojin dulu yang mereka anggap tidak tepat dan hanya menyusahkan Kun-lun-pai saja. Murid-murid Thian Seng Cinjin yang lainnya mulai mengomel dan menyatakan ketidak senangan mereka di depan ketua Kun-lun-pai itu sehingga kakek ini yang melihat adanya bahaya perpecahan, pada suatu pagi mengumpulkan murid-muridnya untuk diajak berunding mengenai pedang Siang-bhok-kiam!

Murid-murid Thian Seng Cinjin jumlahnya ada tujuh orang. Kiang Tojin merupakan murid kepala, bahkan dialah merupakan calon ketua kelak kalau Thian Seng Cinjin meninggal dunia atau mengundurkan diri. Segala urusan mengenai Kun-lun-pai juga sudah banyak yang diserahkan kepadanya oleh kakek yang sudah amat tua itu.

Karena Kiang Tojin adalah orang yang luas pandangannya, berpengalaman dan memiliki watak teguh dan adil, selain kelihaiannya yang hanya berada di bawah tingkat gurunya, maka segala urusan berjalan lancar apa bila dia yang mengatur penyelesaiannya. Hal ini saja sudah membuat beberapa orang sute-nya diam-diam merasa iri hati.

Pagi hari itu, di dalam ruangan yang diberi nama Ruangan Ketenangan yang letaknya di bagian belakang asrama Kun-lun-pai, Thian Seng Cinjin duduk di atas lantai yang ditilami kasur bundar, bersila dihadap oleh tujuh orang murid-muridnya yang juga duduk bersila dalam bentuk setengah lingkaran menghadap guru mereka.

Suasana di ruangan itu memang sangat hening, bersih dan nyaman. Angin pegunungan bersilir masuk karena ruangan itu memang tidak tertutup dinding sehingga dari situ dapat tampak tamasya pegunungan yang sangat indah. Memang tepat sekali nama ruangan ini karena suasana di situ benar-benar tenang dan menimbulkan ketenangan di hati, cocok untuk bersemedhi atau untuk bertukar pikiran.

Untuk kepentingan perundingan ini, Thian Seng Cinjin sengaja membawa serta pedang Siang-bhok-kiam yang ia letakkan di depannya di atas lantai. Kemudian, sesudah sejenak delapan orang tosu ini bersama-sama mengheningkan cipta membersihkan pikiran, kakek itu menggerakkan tangan mengelus jenggot panjangnya dan berkata dengan suara halus,

"Sekarang kita semua sudah berkumpul dengan pikiran jernih. Pinto tahu bahwa pedang peninggalan Sin-jiu Kiam-ong ini telah menimbulkan banyak keributan yang biasanya aman tenteram dan tenang. Akan tetapi, keributan itu ditimbulkan oleh orang-orang luar yang hendak merampas pedang dan sudah seharusnya kalau kita mempertahankannya dan menghalau para penyerbu, hal itu tidaklah menyusahkan hati. Yang membuat pinto prihatin dan sekarang mengumpulkan kalian untuk berunding adalah karena pinto melihat adanya ketidak tenangan yang timbul di antara kita karena getaran bentrokan ketidak cocokan itu dan mencari jalan keluar dengan musyawarah. Keluarkan semua isi hati dan pendapat kalian untuk kita telaah dan pelajari."

Hening sejenak menyusul ucapan kakek ini yang dikeluarkan dengan suara halus, namun mengandung penuh teguran. Jelas terasa oleh mereka yang hadir bahwa suhu mereka ini merasa tidak senang dengan adanya pertentangan diam-diam di kalangan mereka sendiri.

Karena sekarang tiba saatnya dan mendapatkan kesempatan untuk mengeluarkan semua ketidak puasan hati, mereka pun mengambil keputusan hendak menekan Kiang Tojin. Di antara para adik seperguruan Kiang Tojin, hanya dua orang yang merasa iri hati dan diam-diam menentang kakak seperguruan ini, yaitu murid ke dua bernama Sian Ti Tojin, dan murid ke lima Lian Ci Tojin. Ada pun murid yang lainnya ada yang berpihak kepada Kiang Tojin, namun ada pula yang tidak mau mencampuri pertentangan pendapat antara saudara sendiri itu.

"Tepat sekali seperti yang dikatakan suhu tadi," berkata Sian Ti Tojin. "Setelah Siang-bhok-kiam berada di sini, kita menjadi tidak tenang lagi dan mendapatkan banyak musuh. Teecu anggap keliru sekali keputusan Twa-suheng untuk menahan pedang itu di sini. Pedang itu menjadi bahan perebutan orang-orang kang-ouw, kalau sekarang disimpan di sini tentu saja semua resikonya tertimpa ke pundak kita. Apakah keuntungannya bagi kita mencari permusuhan dengan sahabat-sahabat dari dunia kang-ouw? Sudah empat orang anak murid Kun-lun-pai mengorbankan jiwa, hanya untuk mempertahankan pedang kayu peninggalan Sin-jiu Kiam-ong!"

"Benar sekali ucapan Ji-suheng," sambung Lian Ci Tojin cepat-cepat. "Menurut pendapat teecu, dahulu Twa-suheng mengambil keputusan menahan pedang itu pun hanya untuk melindungi Cia Keng Hong!"

Sunyi di ruangan itu sesudah Lian Ci Tojin mengucapkan kata-kata ini, dan hati mereka mulai menjadi tegang. Ucapan Sian Ti Tojin tadi hanya mengeluarkan pernyataan yang memang nyata terjadi, akan tetapi ucapan Lian Ci Tojin ini lebih condong kepada ucapan menuduh Kiang Tojin.

Dengan diucapkannya tuduhan tadi, Thian Seng Cinjin maklum akan gawatnya urusan ini. Maka, dengan pandang mata tajam dia berkata kepada muridnya yang ke lima itu dengan suara tetap halus,

"Lian Ci, tuduhan tanpa alasan kuat dan tanpa bukti dapat menjerumuskan kepada fitnah, dan engkau tentu mengerti betapa jahatnya fitnah. Bicaralah secara terus terang sesuai dengan sifat kejujuran dan keadilan yang kita junjung tinggi."

"Memang teecu menjunjung tinggi pendapat suhu. Teecu sendiri pun tidak suka dengan perbuatan yang berpura-pura dan mengandung rahasia. Bukan tanpa alasan kalau teecu mengatakan bahwa Twa-suheng menahan pedang untuk melindungi Keng Hong. Pertama, Cia Keng Hong adalah anak yang dibebaskan dari maut oleh Twa-suheng dan bukan rahasia lagi betapa besar kasih sayang Twa-suheng kepada Keng Hong sehingga tidak mengherankan apa bila Twa-suheng melindunginya. Ke dua, memang dapat dimengerti bahwa kalau pedang Siang-bhok-kiam itu berada di tangan Keng Hong, bukan kita yang diserbu orang-orang kang-ouw, melainkan Keng Hong yang akan dikejar-kejar sehingga membahayakan keselamatan anak itu. Akan tetapi, betapa piciknya melindungi bocah yang bukan anak murid perguruan Kun-lun-pai dengan mengorbankan nyawa empat orang murid kita, bahkan mungkin lebih banyak lagi! Twa-suheng harus bertanggung jawab atas keputusannya yang tidak bijaksana itu!"

Semua mata kini ditujukan kepada Kiang Tojin yang masih duduk bersila dengan sikap tenang. Juga Thian Seng Cinjin memandang kepadanya dengan sinar mata seakan-akan meminta jawaban. Kiang Tojin mendehem perlahan lalu berkata, suaranya halus namun lantang, tak menyembunyikan perasaan lain dari pada apa yang akan dikeluarkan melalui mulutnya.

"Semua ucapan Ji-sute dan Ngo-sute tiada yang keliru. Siang-bhok-kiam mendatangkan keributan, itu sudah jelas. Juga tuduhan Ngo-sute ada benarnya, memang sedikit banyak ada terkandung di hati teecu ketika menahan pedang bahwa hal itu akan menyelamatkan pula Keng Hong dari ancaman maut."

Pada saat Kiang Tojin berhenti sejenak, semua tosu memandangnya dengan hati tegang. Akan tetapi Kiang Tojin melanjutkan dengan sikap tetap tenang, "Akan tetapi sebenarnya bukan karena keselamatan Keng Hong semata maka teecu memutuskan untuk menahan pedang Siang-bhok-kiam di sini, melainkan terutama sekali untuk mengangkat tinggi nama besar dan kehormatan Kun-lun-pai."

"Harap Twa-suheng jelaskan alasannya!" Sian Ti Tojin mendesak.

"Siang-bhok-kiam merupakan pedang peninggalan Sin-jiu Kiam-ong dan menjadi rebutan orang-orang kang-ouw. Sedangkan Sin-jiu Kiam-ong meninggal dunia pada waktu berada di Kiam-kok-san. Kita semua tahu bahwa Kiam-kok-san adalah sebuah tempat keramat bagi Kun-lun-pai, dan termasuk wilayah terdekat Kun-lun-pai. Kalau sampai pedang yang sekian lamanya berada di wilayah Kun-lun-pai itu terjatuh ke tangan orang lain, bukankah ini berarti bahwa Kun-lun-pai merupakan partai persilatan yang amat lemah, tidak mampu mempertahankan benda keramat yang menjadi haknya? Bukankah hal ini akan menjadi buah tutur di dunia kang-ouw dan Kun-lun-pai akan ditertawakan sampai tujuh keturunan? Harus teecu akui bahwa dengan adanya pedang Siang-bhok-kiam di sini, Kun-lun-pai diserbu orang-orang luar dan memang ada empat orang anak murid kita tewas. Akan tetapi apa artinya kematian kalau terjadi dalam membela Kun-lun-pai dari serbun orang luar? Mati sebagai orang gagah perkasa adalah menjadi pegangan teecu sesuai yang diajarkan suhu selama ini bahwa jauh lebih baik mati sebagai orang gagah dari pada hidup sebagai seorang pengecut. Sekian penjelasan teecu dan selanjutnya tentu saja teecu serahkan kepada keputusan Suhu dalam hal Siang-bhok-kiam ini."

Kecuali dua orang tosu yang menentang, semua sute dari Kiang Tojin secara diam-diam mengakui kebenaran pendapat suheng mereka. Kalau saja Kiang Tojin tadi menyangkal bahwa dia melindungi Keng Hong, hal itu tentu akan tetap menjadi kecurigaan dan bahan tuduhan. Akan tetapi setelah dengan tenang Kiang Tojin mengakui hal itu, maka tuduhan ini menjadi hilang artinya, apa lagi setelah ada alasan lain yang demikian kuatnya.

Thian Seng Cinjin mengelus-elus jenggotnya. Diam-diam kakek ini kagum kepada murid kepala ini dan makin yakin hatinya bahwa kelak yang akan dapat memimpin Kun-lun-pai menuju ke arah kemajuan dan kebesaran nama adalah Kiang Tojin ini. Dia lalu menyapu murid-murid lain dengan pandang matanya, kemudian berkata,

"Siancai! Kurasa pendapat suheng kalian ini cukup beralasan dan tepat. Namun betapa pun juga, pertemuan ini kita adakan untuk bermusyawarah. Pinto tidak akan mengambil keputusan begitu saja sebelum pinto mendengar semua isi hati kalian. Tidak boleh ada keputusan diambil tanpa dimufakati semua orang. Pinto tidak ingin melihat pertentangan paham di antara kalian karena hal itu akan melemahkan Kun-lun-pai, justru pada waktu Kun-lun-pai dimusuhi banyak orang yang memiliki kepandaian tinggi. Setelah pinto sendiri amat tua dan lemah, seluruh nasib Kun-lun-pai berada di tangan kalian bertujuh. Apa bila kalian tidak bersatu, bagaimana mungkin bisa mempertahankan kebesaran Kun-lun-pai? Karena itu, kalau masih ada yang tidak setuju mengenai Siang-bhok-kiam ini, katakanlah terus terang berikut alasannya."

Kembali Lian Ci Tojin yang bicara dan nada suaranya mengandung penasaran karena dia mendapat kenyataan betapa mudahnya Kiang Tojin lolos dari tuduhan itu. Lian Ci Tojin ini masih muda apa bila dibandingkan dengan para suheng-nya. Usianya baru empat puluh lima tahun, akan tetapi karena dia sangat berbakat sehingga dapat menguasai ilmu silat tertinggi dari Kun-lun-pai, maka dia termasuk salah seorang di antara tujuh tokoh besar Kun-lun-pai, muid-murid Thian Seng Cinjin. Kini terdengar suaranya.

"Suhu, teecu berpendapat bahwa kalau pun kita menahan Siang-bhok-kiam di sini, berarti pedang itu menjadi hak kita, dan sudah sepatutnya pula bila susah payah yang kita derita untuk mempertahankannya itu mendapat imbalan yang sepadan, yaitu dengan menambah simpanan Kun-lun-pai dengan kitab-kitab pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong. Bukankah Siang-bhok-kiam dikabarkan menjadi kunci dari pada tempat rahasia peninggalan pusaka itu? Hal ini sudah berkali-kali teecu usulkan kepada Twa-suheng, akan tetapi selalu tidak disetujui oleh Twa-suheng. Sekarang, sekali lagi di hadapan Suhu dan para suheng sute sekalian teecu hendak bertanya lagi kepada Twa-suheng, apakah pusaka-pusaka itu tidak akan kita cari untuk perbendaharaan Kun-lun-pai?"

"Tidak! Kita tidak akan mencari pusaka-pusaka itu karena Sin-jiu Kiam-ong tidak pernah mewariskannya kepada kita. Kun-lun-pai sebuah perkumpulan yang besar, bukan sebuah perkumpulan yang biasa merampas hak milik orang lain!" Kiang Tojin menjawab dengan suara tegas sehingga para sute-nya termasuk gurunya sendiri, menjadi amat kagum dan bangga di dalam hati.

Akan tetapi tiba-tiba Lian Ci Tojin tertawa. "Ha-ha-ha-ha, sungguh pintar Twa-suheng dan sungguh bodoh kita yang dapat dikelabui! Kalau sudah berani menahan pedang dengan dalih bahwa pedang berada di wilayah Kun-lun-pai, kenapa tidak berani memiliki pusaka yang juga berada di wilayah Kun-lun-pai? Ahhh, siapakah tokoh di dunia persilatan yang tidak ingin memiliki? Termasuk Twa-suheng tentunya! Kalau pusaka-pusaka itu kita ambil dan menjadi milik Kun-lun-pai, berarti semua murid Kun-lun-pai dapat mempelajarinya, akan tetapi Kiang Tojin suheng tidak setuju karena Twa-suheng hendak memiliki semua pusaka itu untuk diri sendiri. Bukankah begitu?"

Muka Kiang Tojin menjadi merah dan semua mata memandangnya. Akan tetapi tosu yang berpengalaman ini selain kuat ilmu silatnya, juga kuat sekali batinnya. Dia tidak sudi dikuasai perasaan hatinya, karena itu sekuat tenaga dia menekan kemarahannya dengan kesadarannya bahwa sute ke lima ini melontarkan tuduhan-tuduhan kepadanya tentu ada latar belakangnya.

Maka dia memandang sute-nya itu dan mengingat-ingat. Mengapa sute-nya yang ke lima ini seolah-olah membenci dirinya? Kemudian dia teringat. Terhadap para sute-nya, Kiang Tojin memang selalu bersikap keras dan memimpin, selalu tidak segan menegur apa bila mereka itu melakukan kekeliruan sehari-hari.

Teringatlah dia betapa seringnya dia menegur Lian Ci Tojin ini yang masih sering kali tampak lemah menghadapi godaan nafsu birahi, sering kali tampak nyata amat tergoda batinnya kalau bertemu wanita cantik.

Yang terakhir, pada waktu Kiang Tojin menangkap Ang-kiam Tok-sian-li Bhe Cui Im dan menyuruh sute-sute-nya membelenggu gadis cantik itu, dia melihat betapa Lian Ci Tojin cepat-cepat melakukan perintah ini dan pandang matanya yang tajam bisa melihat betapa sinar mata Lian Ci Tojin berkobar oleh nafsu, betapa saat membelenggu tangan sute-nya itu sengaja meraba-raba tubuh gadis itu.

Penyelewengan karena dorongan nafsu ini, walau pun tidak berarti dan kecil, juga tidak terlihat oleh siapa pun, namun sudah cukup kuat bagi Kiang Tojin untuk pada keesokan harinya memanggil sute-nya ini dan memarahinya dengan keras. Pada saat itu, Lian Ci Tojin hanya menunduk dengan muka sebentar pucat sebentar merah, akan tetapi ketika pandang mata mereka bertemu, sepasang mata sute-nya itu memancarkan kebencian seperti yang sekarang terpancar kepadanya dalam bentuk tuduhan-tuduhan itu.

Kiang Tojin menghela napas panjang dan berhasil memadamkan api amarahnya setelah dia melihat latar belakangnya mengapa sute-nya itu seperti membencinya.

"Teecu hanya melaksanakan tugas sebaiknya dan dalam urusan Siang-bhok-kiam, teecu mengambil keputusan setelah teecu pikirkan masak-masak. Teecu tidak sudi melakukan sesuatu di luar garis peraturan Kun-lun-pai sendiri." Demikian Kiang Tojin berkata kepada gurunya dan ketika gurunya mengangguk-angguk, Kiang Tojin lalu menoleh ke arah Lian Ci Tojin.

"Ngo-sute, kiranya masih ingat bagaimana bunyi peraturan ke tiga dari perguruan kita? Setiap murid Kun-lun-pai dilarang mempelajari ilmu silat dari lain perguruan dan kalau hal ini dilanggar, berarti si murid telah murtad dan mengkhianati Kun-lun-pai. Dengan adanya peraturan yang sudah jelas ini, bagaimana Ngo-sute dapat mengusulkan agar supaya kita mengambil kitab-kitab pusaka peningalan Sin-jiu Kiam-ong?"

Ditegur begini, Lian Ci Tojin menjadi merah mukanya. Diam-diam dia memaki di dalam hati atas kecerdikan twa-suheng-nya ini sehingga dari keadaan menuduh kini dia malah menjadi seorang tertuduh melanggar peraturan perguruan mereka! Namun Lian Ci Tojin cukup cerdik dan dia cepat berkata,

"Twa-suheng jangan menuduh yang bukan-bukan. Pinto bukan sekali-kali mengusulkan agar supaya kita menyeleweng dan mempelajari isi kitab-kitab pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong, hanya mengusulkan untuk menguasai kitab-kitab itu. Tentang mempelajarinya, tentu terserah kepada suhu, bila suhu mengijinkan kita mempelajarinya untuk menambah kepandaian dan dengan demikian nama besar Kun-lun-pai akan makin meningkat, apakah itu dianggap melanggar peraturan?"

Melihat keadaan mulai ‘panas’, Thian Seng Cinjin cepat-cepat mengangkat tangannya dan berkata, suaranya amat berpengaruh, "Cukuplah sudah semua perbantahan yang kosong ini! Pinto sangat setuju dengan tindakan yang diambil oleh Twa-suheng kalian! Memang tidak semestinya kalau Kun-lun-pai menguasai kitab-kitab pusaka peninggalan dari Sin-jiu Kiam-ong. Kalian harus tahu bahwa kitab-kitab itu adalah milik perguruan-perguruan tinggi lainnya yang dahulu dicuri atau dirampas Sin-jiu Kiam-ong. Kalau kita menguasainya dan mempelajarinya, tentu kita akan bermusuhan dengan pemilik-pemilik kitab itu. Lagi pula, hendaknya kalian ingat bahwa kesaktian bukan tergantung pada kitab atau pelajarannya, juga bukan tergantung pada senjatanya, melainkan kepada si manusianya sendiri. Kalau kalian tekun memperdalam semua ilmu-ilmu asli dari Kun-lun-pai, kurasa tidak akan kalah saktinya dari pada pelajaran-pelajaran lain perguruan. Nah, pinto perintahkan agar mulai detik ini semua pertentangan paham dilenyapkan dari hati masing-masing."

Tujuh orang muridnya itu segera berlutut dan dengan suara bulat menyatakan ketaatan mereka. Pada saat itu, dua orang anak murid Kun-lun-pai lari tergopoh-gopoh memasuki Ruangan Ketenangan dan serta-merta menjatuhkan diri berlutut menghadap Thian Seng Cinjin sambil berkata dengan muka pucat dan suara gemetar.

"Teecu berdua datang melaporkan bahwa pada saat ini puncak Kun-lun sedang terancam dijadikan kancah perang antara pasukan utara dan pasuka selatan! Kita sudah terkurung, dari utara muncul pasukan dari Peking dan dari selatan muncul pasukan dari Nanking. Mereka telah mengurung tempat kita."

Hanya Thian Seng Cinjin dan Kiang Tojin saja yang menerima berita mengagetkan ini dengan sikap tenang. Guru dan murid kepala ini bertukar pandang, kemudian Thian Seng Cinjin mengangguk dan bangkit dari lantai, menyambar tongkatnya lalu berkata,

"Kita harus menghadapi mereka selengkapnya. Perintahkan kepada seluruh anak murid Kun-lun-pai untuk mengatur barisan dan bersiap-siap!"

Tujuh orang murid itu lalu berpencar menunaikan tugas masing-masing. Kemudian kakek tua Kun-lun-pai itu diikuti oleh ketujuh orang muridnya melangkah keluar dan menuju ke puncak.

Anak murid Kun-lun-pai telah berbaris rapi, terbagi atas dua bagian, sebagian menghadap selatan dan sebagian lainnya menghadap ke utara. Sedangkan Thian Seng Cinjin sendiri dengan gerakan ringan lantas melompat ke atas sebuah batu yang tinggi di puncak itu, diikuti oleh ketujuh orang muridnya. Mereka berdiri tegak di atas batu ini dan nampaklah oleh mereka dua pasukan yang mengurung itu, satu di utara, satu lagi di selatan.

Pasukan itu tidak terlalu besar, paling banyak seratus orang masing-masing pihak, akan tetapi lengkap bersenjata dan kalau dilihat besarnya pasukan, tidak mungkin mereka itu muncul untuk berperang. Hal ini sangat melegakan hati Thian Seng Cinjin yang segera mengerahkan khikang-nya dan berkata dengan lantangnya.

"Kami dari Kun-lun-pai selamanya tidak pernah melibatkan diri dengan perang saudara. Hari ini pasukan-pasukan kedua pihak telah datang berkunjung ke Kun-lun-pai, harap para ciangkun (perwira) kedua pasukan sudi menjelaskan apa yang menjadi maksud dari pada kedatangan cu-wi!"

Tiba-tiba dari pasukan sebelah utara itu tampak berlari maju seorang berpakaian perwira yang bertubuh kurus tinggi. Larinya amat cepat dan geraknya gesit sekali, sungguh pun pakaian perang itu kelihatan kaku, namun tidak menghalangi gerakannya yang cekatan sehingga para tokoh Kun-lun-pai menjadi kagum dan maklum bahwa pasukan utara itu dipimpin oleh perwira yang lihai.

Sebentar saja perwira itu sudah tiba di bawah batu. Ia berdiri dengan tegak, memandang ke arah tokoh-tokoh Kun-lun-pai yang berada di atas batu, kemudian dia memberi hormat dengan sikap gagah, dua tangan dirangkap di depan dada, agak membungkuk sehingga pedangnya yang panjang itu ikut bergerak di pinggangnya kemudian terdengar suaranya lantang namun mengandung sikap hormat dan ramah.

"Kami Han Tek Thai yang memimpin pasukan pengawal melaksanakan tugas yang sudah diperintahkan oleh junjungan kami, Raja Muda Yung Lo dari utara yang gagah perkasa, calon kaisar yang asli, untuk menghadap kepada para pimpinan Kun-lun-pai. Raja muda kami menyampaikan rasa terima kasih bahwa Kun-lun-pai selama ini tidak membantu kekuasaan raja penyerobot mahkota di Nanking, karena hal itu membuktikan bahwa Kun-lun-pai dapat mengerti akan kebenaran dan keadilan yang berada di pihak utara!"

Diam-diam Kiang Tojin tersenyum dan merasa kagum. Perwira dari utara ini benar-benar orang yang tepat dijadikan seorang perwira, karena di samping ilmu kepandaiannya tinggi yang dapat dilihat dari gerakannya tadi, juga jelas bahwa perwira ini memiliki kecerdikan dan kepandaian untuk menarik rakyat ke pihaknya. Dia sudah banyak mendengar bahwa sifat-sifat ini menjadi inti kekuatan pihak utara, karena sifat itu membuat rakyat jelata merasa bersimpati terhadap perjuangan mereka sehingga rakyat berbondong-bondong membantu.

"Maaf, Han-ciangkun," kata Kiang Tojin sesudah dia mendapat isyarat dari gurunya untuk menjawab. "Kiranya raja muda dari utara tidak seharusnya berterima kasih kepada kami, karena pendirian Kun-lun-pai sama sekali bebas, tidak memihak mana pun juga. Kami seluruh anggota Kun-lun-pai hanya merasa perihatin menyaksikan perang saudara sebab yang menjadi korban tak lain adalah rakyat jelata. Karena inilah kami tidak mau memihak siapa-siapa. Hendaknya Han-ciangkun maklum akan pendirian kami dan selanjutnya suka menjelaskan apa kehendak selanjutnya dengan kunjungan ini."

Perwira utara itu tersenyum sabar dan berkata, "Ucapan Totiang betul-betul membuktikan bahwa para tosu merupakan manusia-manusia dewa yang tidak sudi mencampuri urusan dunia lagi. Sungguh menimbulkan rasa kagum! Kami diutus oleh junjungan kami untuk mengharapkan budi kebaikan pihak Kun-lun-pai, agar suka menyerahkan kitab Thai-yang Tin-keng yang tentu tidak akan ada manfaatnya bagi Kun-lun-pai kepada kami."

"Kitab Thai-yang Tin-keng? Kitab apakah itu? Kami tidak tahu, bahkan baru mendengar namanya sekarang," kata Kiang Tojin tanpa ragu-ragu.

Perwira itu masih bersikap sabar. "Kitab itu, sesuai dengan namanya yaitu Kitab Barisan Matahari, adalah ciptaan Raja Besar Jenghis Khan dan merupakan kitab pelajaran untuk mengatur barisan yang diambil dari pengalaman-pengalaman barisan Mongol pada waktu menyerbu ke Tiong-goan (Daratan Tengah). Junjungan kami mohon pinjam kitab itu dari Kun-lun-pai."

"Tapi... kami tidak mempunyai kitab seperti itu!" jawab Kiang Tojin.

Perwira itu mengangguk-ngangguk. "Mungkin memang bukan milik Kun-lun-pai, akan tetapi setelah pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong kabarnya jatuh ke tangan Kun-lun-pai, tentu kini kitab itu berada di tangan totiang sekalian. Kitab ini dahulu dicuri oleh Sin-jiu Kiam-ong dari gedung perpustakaan kaisar."

Sebelum Kiang Tojin dapat menjawab, terdengar teriakan keras dan tampaklah bayangan orang berlari cepat sekali dari selatan. Orang ini pun berpakaian seperti perwira, tubuhnya tinggi besar akan tetapi larinya cepat dan tubuhnya kelihatan ringan sekali, membuktikan bahwa perwira selatan ini pun mempunyai kepandaian yang tak boleh dipandang ringan. Begitu sampai di sebelah selatan batu tinggi itu, perwira ini menggerak-gerakkan kedua tangannya dan berkata, suaranya seperti geledek.

"Harap para tosu Kun-lun-pai jangan sampai kena terbujuk oleh mulut para pemberontak hina dina! Kami percaya bahwa Kun-lun-pai tidak berjiwa pemberontak! Kitab Thai-yang Tin-keng adalah milik kaisar kami, maka sudah semestinya dikembalikan kepada kami!"

"Manusia sombong! Kami bukan pemberontak, melainkan pejuang yang memperjuangkan kebenaran dan keadilan, pembela kepentingan rakyat! Raja kalian yang merupakan raja lalim, penyerobot mahkota, orang muda yang tidak tahu menghormat orang tua!" Perwira utara yang bernama Han Tek Thai itu membentak marah.

"Kau pemberontak laknat! Sudah jelas memberontak terhadap pemerintahan yang syah, kau masih banyak cakap lagi?" bentak perwira tinggi besar dari selatan sambil menerjang maju.

Tanpa dapat dicegah lagi dua oang perwira itu sudah maju menerjang sehingga terjadilah saling serang. Pada gebrakan pertama, dengan marah kedua perwira mengirim pukulan dengan tangan hingga terdengar suara keras. Keduanya terhuyung ke belakang dan baju besi perisai di depan dada mereka ternyata sudah retak-retak! Akan tetapi tubuh mereka rupanya cukup kebal dan kuat sehingga tidak mengalami luka hebat. Sekarang mereka mencabut pedang masing-masing dan siap untuk bertanding, sedangkan pasukan kedua belah pihak juga sudah berlari-lari untuk saling terjang.

Dua bayangan yang gesit sekali melayang turun dari atas batu. Mereka ini adalah Sian Ti Tojin dan Lian Ci Tojin. Laksana burung garuda yang besar mereka melayang turun, Sian Ti Tojin menghadapi perwira utara ada pun sute-nya menghadapi perwira selatan. Begitu kedua orang tosu ini menggerakkan tangan mereka, pedang kedua orang perwira itu telah dapat mereka rampas sehingga dua orang perwira itu menjadi kaget dan melongo.

"Ji-wi Ciangkun adalah tamu-tamu, mengapa tidak mengindahkan kedaulatan tuan rumah dan hendak membikin kacau Kun-lun-pai?" Kiang Tojin dari atas batu berseru menegur.

Han Tek Thai menjura dan berkata, "Maafkan kami yang terburu nafsu..."

"Apa? Kun-lun-pai hendak membela kaum pemberontak?" bentak perwira tinggi besar dari selatan.

Menyaksikan sikap kedua orang perwira yang saling bermusuhan ini, Thian Seng Cinjin menghela napas dan mengelus-elus jenggotnya. "Siancai..., kehendak Tuhan terjadilah...! Kembalikan pedang mereka!"

Lian Ci Tojin dan Sian Ti Tojin mengembalikan pedang mereka lalu melangkah mundur, namun masih bersiap-siap untuk bergerak apa bila tamu-tamu yang tidak dikehendaki ini membikin kacau lagi.

"Ji-wi Ciangkun dari utara dan selatan, dengarkan baik-baik omongan pinto! Pinto Thian Seng Cinjin ketua Kun-lun-pai selama hidup tak suka berbohong dan apa yang akan pinto katakan ini hendaknya ji-wi sampaikan kepada junjungan ji-wi masing-masing!"

Suara Thian Seng Cinjin terdengar jelas sekali walau pun kakek ini bicara perlahan saja. Suaranya penuh dengan wibawa sehingga bukan hanya dua orang perwira itu saja yang mendengarnya penuh perhatian, bahkan seluruh pasukan kedua pihak yang tadinya telah bersiap-siap untuk saling hantam, sekarang tak berani mengeluarkan suara, memandang kakek itu dan mendengarkan kata-katanya.

Dengan gerakan sangat tenang Thian Seng Cinjin mengeluarkan sebatang pedang kayu dari balik jubahnya dan mengangkat pedang itu tinggi di atas kepala sambil berkata,

"Hendaknya Ji-wi Ciangkun ketahui bahwa kami pihak Kun-lun-pai sama sekali tidak tahu akan pusaka-pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong, juga tidak tahu-menahu tentang kitab Thai-yang Tin-keng itu! Satu-satunya benda peninggalan Sin-jiu Kiam-ong yang ada pada kami hanyalah pedang Siang-bhok-kiam ini karena kami pun tidak menghendaki pusaka-pusaka yang lainnya. Pedang ini sudah ada di wilayah Kun-lun-pai selama puluhan tahun dan setelah berada di tangan kami, tak akan kami serahkan kepada siapa pun juga. Nah, kiranya sudah jelas keterangan kami, harap Ji-wi Ciangkun sekarang membawa pulang pasukan masing-masing karena kami melarang pasukan Ji-wi bertempur di wilayah kami. Apa bila larangan yang menjadi hak Kun-lun-pai ini dilanggar, maka terpaksa kami turun tangan tanpa memandang bulu, tanpa memihak siapa pun juga!"

Tiba-tiba terdengar suara ketawa seperti kaleng dipukul disusul suara keras, "Ha-ha-ha! Tosu tua bangka, berikan Siang-bhok-kiam kepadaku!"

"Tidak, aku lebih berhak!"

"Berikan kepadaku!"

"Padaku!"

Semua tosu Kun-lun-pai terkejut dan kiranya berturut-turut di situ sudah muncul banyak orang-orang kang-ouw yang mempergunakan kesempatan selagi semua tosu Kun-lun-pai bersiap menghadapi dua pasukan yang bermusuhan itu, menyelinap masuk dan tiba di tempat itu!

Melihat tokoh-tokoh Siauw-lim-pai, Hoa-san-pai dan Kong-thong-pai bersama orang-orang kang-ouw yang semenjak dulu mengejar-ngejar Sin-jiu Kiam-ong, para tokoh Kun-lun-pai ini tidak mengambil pusing. Akan tetapi melihat orang yang tadi mengeluarkan suara tawa dan dua orang lain di dekatnya, Thian Seng Cinjin sendiri menjadi terkejut dan maklum bahwa sekali ini Kun-lun-pai benar-benar menghadapi saat gawat.

Suara tertawa tadi keluar dari mulut seorang kakek tinggi besar yang tubuhnya berkulit hitam bagaikan arang, matanya lebar, putih dan telinganya seperti gajah. Tubuh hitam itu berbulu dan di pinggangnya tergantung rantai baja terhias dua buah tengkorak manusia. Ketua Kun-lun-pai mengenal orang ini yang bukan lain adalah Pak-san Kwi-ong datuk dari utara!

Dan tak jauh dari situ, berdiri sambil tersenyum-senyum, tampak Pat-jiu Sian-ong kakek tua renta yang bertubuh kecil kate, berkepala besar dengan muka sempit, mengebut-ngebut lehernya dengan sebuah kebutan hudtim dengan sikap tenang sabar seolah-olah dia benar-benar seorang dewa!

Sedikit di belakang kelihatan nenek yang menyeramkan, menyeringai sehingga gigi yang besar-besar itu menonjol keluar. Mukanya berwarna merah darah, rambut riap-riapan dan pakaiannya serba hitam. Nenek yang menjadi datuk di timur, yang namanya tidak kalah terkenalnya dari Pat-jiu Sian-ong datuk barat atau pun Pak-san Kwi-ong datuk utara, yaitu Ang-bin Kwi-bo!

Thian Seng Cinjin yang biasanya tenang itu kini harus menarik napas panjang agar dapat menekan guncangan hatinya, sedangkan para muridnya, kecuali Kiang Tojin yang masih tenang pula seperti gurunya, semua menjadi pucat wajahnya. Tiga orang datuk golongan hitam telah hadir di situ, berarti bahwa urusan ini bukan main-main lagi!

Tidak hanya para tosu Kun-lun-pai yang menjadi gelisah, bahkan pasukan-pasukan dari utara dan selatan juga tercengang menyaksikan munculnya banyak orang-orang aneh ini, ada pun dua orang perwira yang memimpin pasukan masing-masing, tak berani bergerak. Mereka maklum bahwa sekali ini mereka sedang bertemu dengan tokoh-tokoh kang-ouw yang biasanya aneh-aneh wataknya dan kejam-kejam sekali perbuatanya, maka mereka menjadi berhati-hati dan tidak ada yang berani bergerak.

"Pak-san Kwi-ong," kata Thian Seng Cinjin dengan suara sabar, "kiranya engkau ikut pula mengunjungi Kun-lun-pai! Kata-katamu tadi kurang jelas bagi pinto, harap kau ulangi lagi, apakah benar kedatanganmu ini untuk meminta pedang Siang-bhok-kiam ini?" Dia lalu mengangkat lagi pedang kayu itu tinggi-tinggi di atas kepalanya.

Kiang Tojin melihat dengan hati geli betapa semua mata ditujukan ke arah pedang kayu itu, mengingatkan dia akan mata segerombolan anjing kelaparan yang melihat sepotong tulang!

"Ha-ha-ha, benar sekali! Kalau bukan untuk pedang itu, apa kau kira aku datang karena kangen kepadamu? Ha-ha-ha!" jawab Pak-san Kwi-ong.

"Baik sekali. Kalau begitu akan kutanya pula yang lain. Ang-bin Kwi-bo, sekarang engkau juga ikut muncul, jauh-jauh datang dari timur. Apakah kehendakmu mengunjungi pinto dan perkumpulan pinto?"

"Cih, tosu bau! Siapa sudi mengunjungimu? Aku datang hanya untuk mengambil Siang-bhok-kiam dari tanganmu!" Ang-bin Kwi-bo menjawab sambil memandang dengan mulut mengilar ke arah pedang kayu di tangan ketua Kun-lun-pai itu.

"Jika begitu kehendakmu sama dengan Pak-san Kwi-ong. Dan bagaimana dengan engkau Pat-jiu Sian-ong? Apakah engkau pun menginginkan pedang kayu yang tak berharga ini?"

"Hemm, kalau tidak berharga masa diperebutkan, Totiang?" jawab kakek ini dengan suara yang halus dan ramah, akan tetapi kehalusan ini malah menimbulkan sesuatu yang amat menyeramkan. "Kalau tidak berharga, engkau pun jangan terlalu pelit, lebih baik diberikan saja kepadaku."

"Bagaimana dengan para enghiong yang hadir di sini? Apakah kedatangan Cu-wi ini pun untuk memiliki Siang-bhok-kiam?"

"Benar, serahkan kepadaku!"

"Padaku saja!"

"Padaku...!"

Ribut sekali suara mereka itu sehingga sambil tersenyum pahit Thian Seng Cinjin segera mengangkat tangan kirinya, memberi isyarat agar mereka tidak berteriak-teriak. Keadaan mereka itu bagi kakek ketua Kun-lun-pai ini seperti anak-anak kecli yang patut dikasihani. Ia lalu berkata dengan penuh kesabaran,

"Kasihan sekali Sin-jiu Kiam-ong! Setelah mati, barangnya masih dipakai rebutan. Cu-wi sekalian! Benda ini hanya ada sebuah, tapi yang menginginkan begitu banyak, bagaimana baiknya? Kalau dibiarkan, tentu kita semua akan menggunakan kekerasan saling gempur sehingga akan banyak roboh korban yang tidak ada gunanya. Pinto tidak menghendaki permusuhan, tidak menghendaki darah tertumpah di tanah Pegunungan Kun-lun-san yang suci. Oleh karena itu, biarlah pinto menguji, siapa yang paling kuat maka dia yang akan memiliki Siang-bhok-kiam. Tak boleh menggunakan kekerasan, dan siapa pun juga yang berani menggunakan kekerasan, maka dia akan dikeroyok oleh semua yang hadir di sini. Bagaimana?"

Walau pun tokoh-tokoh besar yang menjadi datuk kaum sesat seperti tiga orang Bu-tek Sam-kwi (Tiga Iblis Tak Terlawan) ini pun menjadi gentar. Mereka itu maklum bahwa bila seorang di antara mereka menggunakan kekerasan lalu dikeroyok oleh semua yang hadir, biar pun mereka itu ditambah tiga kepala dan enam tangan pun takkan menang!

Apa lagi kakek ketua Kun-lun-pai bersama tokoh-tokoh Kun-lun-pai yang hadir itu, adalah lawan-lawan yang takkan mudah dikalahkan. Karena itulah, tiga orang datuk ini kemudian mengangguk-ngangguk dan semua menyatakan setuju sambil berteriak-teriak,

"Akur, akur!"

"Syukur kalau Cu-wi sekalian setuju. Nah, sekarang pedang Siang-bhok-kiam berada di tanganku. Bila mana di antara Cu-wi ada yang mampu mengambilnya dari tanganku, tidak menggunakan penyerangan kasar tapi hanya menggunakan tenaga untuk merampasnya, berarti pedang ini berjodoh dengannya."

Setelah berkata demikian, tubuh kakek ini melayang turun dari atas batu besar itu, diikuti lima orang muridnya yang lain karena dua orang muridnya sudah turun. Kini kakek ini berdiri di tempat yang luas, dan ketujuh orang muridnya, dikepalai oleh Kiang Tojin, siap melindungi guru mereka, berdiri di belakang guru ini membentuk setengah lingkaran.

Sikap ini saja sudah memberi tahu kepada semua yang hadir bahwa siapa yang hendak menggunakan kecurangan, atau untuk memiliki pedang itu menyerang tubuh Tian Seng Cinjin, tentu tujuh orang tokoh Kun-lun-pai ini sekaligus akan turun tangan melindungi guru mereka dan menyerang dia yang bermain curang!

"Nah, silakan!" kata pula Thian Seng Cinjin yang sudah memegang gagang pedang kayu itu erat-erat dengan tangan kanannya, sedangkan tangan kirinya dengan jari-jari terbuka ditempelkan di pusarnya sendiri, sikap yang amat baik untuk mengerahkan sinkang yang disalurkan ke tangan kanan untuk mempertahankan pedang itu.

Sebagian besar para tokoh kang-ouw yang hadir di situ sudah mengenal, atau setidaknya sudah mendengar akan kehebatan kakek yang menjadi ketua Kun-lun-pai ini, seorang di antara para lo-cianpwe yang sukar dicari tandingangannya di waktu itu, maka mereka ini menjadi jeri.

"Maafkan aku!" Tiba-tiba Han-ciangkun pemimpin pasukan utara sudah melangkah maju dan pada saat yang sama perwira tinggi besar yang memimpin pasukan selatan juga sudah maju. Akan tetapi mereka ini sama sekali bukan bermaksud mencoba kekuatan Thian Seng Cinjin, karena Han-ciangkun berkata, "Kalau berhasil merampas pedang kayu ini, apakah akan bisa mendapatkan Thai-yang Tin-keng?"

"Kalau bisa, aku pun akan mencoba!" kata perwira selatan tak mau kalah.

Kiang Tojin mewakili suhu-nya menjawab, "Sudah kami katakan bahwa kami tidak tahu menahu tentang kitab itu. Siapa berhasil merebut pedang menggunakan kekuatan hanya akan memiliki pedang Siang-bhok-kiam ini dan selebihnya kami tidak akan mencampuri urusan lainya!"

"Kalau begitu, buat apa pedang kayu bagi kami?" Perwira selatan berkata kecewa sambil mundur, lantas diturut pula oleh perwira utara yang melihat bahwa tak akan ada gunanya merampas pedang kayu.

"Nanti dulu, Thiang Seng Cinjin!" Tiba-tiba saja Pak-san Kwi-ong berkata dengan suaranya yang keras. "Andai kata aku maju dan berhasil dan merampas pedang Siang-bhok-kiam, apakah pedang itu menjadi milikku?"

"Begitulah yang sudah diputuskan Suhu," jawab Kiang Tojin.

"Dan yang lain-lain tidak boleh merampas dari tanganku?"

"Selama Locianpwe berada di sini, kami akan menjamin bahwa tak akan ada orang yang mengganggu tanpa berhadapan dengan kami. Tentu saja mereka berhak pula mencoba merampasnya dari tangan Locianpwe tanpa menggunakan kekerasan. Sudah diputuskan oleh suhu bahwa tidak boleh dipergunakan kekerasan di wilayah Kun-lun-pai. Tentu saja di luar wilayah Kun-lun-pai, bukan menjadi kewajiban kami lagi untuk mencampuri urusan siapa pun juga."

"Ha-ha-ha, cukup adil! Nah, biar kucoba tenagamu, Thian Seng Cinjin!"

Sambil tertawa-tawa Pak-san Kwi-ong melangkah maju, kemudian memasang kuda-kuda di depan kakek yang menjadi ketua Kun-lun-pai itu. Dua orang datuk hitam yang lain tidak sekasar tokoh hitam ini. Mereka, seperti Ang-bin Kwi-bo dan Pat-jiu Sian-ong, lebih cerdik dan lebih hati-hati.

Mereka itu tidak dapat mengukur sampai di mana tingkat kepandaian dan sampai di mana kekuatan sinkang ketua Kun-lun-pai ini. Sebaliknya, mereka sudah tahu sampai di mana kekuatan Pak-san Kwi-ong yang kalau dibandingkan dengan mereka setingkat. Karena itu mereka itu merasa lebih ‘sip’ untuk menanti. Mereka baru akan mencoba kalau Pak-san Kwi-ong gagal, atau baru akan berusaha merampas pedang itu dari tangan datuk hitam utara itu andai kata pedang dapat dirampas oleh Pak-san Kwi-ong.

Semua orang memandang dengan penuh ketegangan ke arah dua orang kakek yang kini sudah siap mengadu tenaga untuk memperebutkan pedang kayu itu. Sejenak mereka hanya berdiri saling tatap dengan pandang mata penuh mengeluarkan getaran karena penuh dengan tenaga sinkang. Kemudian, perlahan-lahan Pak-san Kwi-ong mengangkat tangan kanan dan menggenggam tubuh pedang kayu yang gagangnya dipegang oleh Thian Seng Cinjin, sedangkan tangan kirinya ditumpangkan ke atas sebuah di antara dua tengkorak yang tergantung di pinggangnya.

Dua orang kakek itu kelihatannya hanya diam saja seperti arca, akan tetapi sebenarnya mereka sudah mulai mengerahkan tenaga sinkang yang disalurkan melalui lengan kanan terus ke pedang kayu, saling dorong, dan saling membetot pedang. Dua tenaga sinkang raksasa yang tidak nampak saling bertemu dengan hebatnya, kedua lengan tergetar dan pedang kayu itu tergetar lebih hebat lagi, sampai bergoyang-goyang mengeluarkan suara berkeretekan, kemudian...

"Prokkkk...!" pedang itu hancur menjadi berkeping-keping!

Terdengar seruan-seruan kaget dari semua yang menonton pertandingan itu, malah muka Thian Seng Cinjin sendiri menjadi pucat. Pak-san Kwi-ong yang biasanya tertawa-tawa itu kini terbelalak memandangi bagian pedang yang atas, yang kini telah pecah-pecah, telah menjadi kepingan kayu-kayu tak berguna di tangannya.

Kiang Tojin, Ang-bin Kwi-bo dan Pat-jiu Sian-ong masing-masing sudah melangkah maju dan mengambil beberapa kepingan kayu yang berhamburan di atas tanah, lalu mereka meneliti kepingan-kepingan kayu itu, menciumnya.

"Ahhhhh...!"

"Kayu biasa...!"

"Sama sekali bukan kayu mukjijat!"

"Tidak harum bagian dalamnya!"

"Bukan Siang-bhok-kiam...!" Seruan Kiang Tojin yang terakhir inilah yang membuat semua orang tercengang dan saling pandang. Thian Seng Cinjin sendiri melongo, memandang gagang pedang di tangannya dan baru ternyata olehnya bahwa gagang pedang itu kasar buatannya.

"Bu... bukan... Siang-bhok-kiam...?" tanyanya gagap.

Kiang Tojin berlutut di depan suhu-nya. "Benar, suhu. Teecu telah kena diakali Cia Keng Hong! Pedang itu tadi sama sekali buka Siang-bhok-kiam!"

"Bagaimana kau bisa merasa begitu yakin bahwa pedang itu bukan Siang-bhok-kiam?" tanya Thian Seng Cinjin dan mukanya menjadi merah karena malu.

Masa dia seorang tokoh besar, ketua Kun-lun-pai, sampai bisa diakali oleh seorang bocah yang masih ingusan seperti murid Sin-jiu Kiam-ong itu? Yang lain-lain, termasuk ketiga orang Bu-tek Sam-kwi para datuk golongan hitam itu mendengarkan penuh perhatian.

"Teecu yakin. Pedang ini terbuat dari kayu pohon yang tumbuh di sini, yang memang agak wangi baunya. Pedang ini tidak mungkin Siang-bhok-kiam karena menurut kabar, pedang Siang-bhok-kiam terbuat dari pada kayu yang kerasnya melebihi baja, sedangkan pedang ini terbuat dari kayu biasa. Sekarang mengertilah teecu mengapa bocah itu memberikan pedang ini kepada kita secara demikian mudah!"

"Bocah setan!" Tiba-tiba Lian Ci Tojin memaki. "Aku sudah tahu bahwa dia bukan manusia baik-baik! Ilmunya menyedot sinkang saja sudah menunjukkan bahwa dia seorang calon iblis! Dan Twa-suheng begitu percaya kepadanya! Sungguh memalukan sekali!"

"Lian Ci, diam kau!" Thian Seng Cinjin membentak dengan suara nyaring karena malu dan marah. Di depan orang-orang luar yang begitu banyak, dia tidak senang sekali mendengar muridnya itu menyalahkan saudara sendiri.

Tiba-tiba Pak-san Kwi-ong tertawa bergelak. "Ha-ha-ha-ha! Alangkah lucunya! Para tosu hidung kerbau di Kun-lun-pai sampai kena dikentuti oleh murid Sin-jiu Kiam-ong, seorang bocah yang masih ingusan! Betapa lucunya, tentu hal ini akan menjadi buah percakapan menggembirakan di dunia kang-ouw. Dan tahukah kalian bahwa bocah yang telah menipu kalian itu kini bersenang-senang main gila dengan dua orang gadis cantik murid Lam-hai Sin-ni? Ha-ha-ha, benar-benar bocah itu melebihi gurunya dalam segala hal! Kita semua telah tertipu, akan tetapi yang benar-benar makan kotoran yang dilempar anak itu adalah para tosu Kun-lun-pai!"

Wajah Thian Seng Cinjin sebentar merah sebentar pucat. Pukulan batin ini sangat hebat karena selamanya baru sekali inilah Kun-lun-pai mengalami hal yang benar-benar sangat memalukan. Ia pun merasa tak senang kepada Kiang Tojin karena sebenarnya penipuan ini terjadi karena rasa sayang Kiang Tojin terhadap Keng Hong. Andai kata tidak begitu mendalam kasih sayang muridnya itu terhadap Keng Hong, tentu tak begitu mudah ditipu karena sudah ada kecurigaan.

Karena marah, ketua Kun-lun-pai ini lalu berkata kepada Sian Ti Tojin dan Lian Ci Tojin, justru dipilihnya dua orang di antara muridnya yang tadi menentang Kiang Tojin.

"Sian Ti dan Lian Ci! Sekarang juga pinto perintahkan kalian berdua pergi mencari dan menangkap Cia Keng Hong, membawa dia ke sini!"

"Baik, Suhu!" jawab dua orang tosu itu yang segera pergi meninggalkan tempat itu dengan langkah lebar.

Kiang Tojin hanya memandang dengan hati prihatin karena dia sendiri pun tidak mengerti mengapa Keng Hong sampai berani melakukan penipuan seperti itu. Kalau begitu pedang Siang-bhok-kiam tentu masih dipegang oleh anak itu, dan entah disembunyikan di mana. Karena kalau pedang itu dibawa-bawa, dia merasa yakin bahwa pedang itu tentu sudah dirampas tokoh kang-ouw yang sakti.

Akan tetapi seperti telah dilakukan para tokoh kang-ouw yang semua datang menyerbu ke Kun-lun-pai, hal ini menandakan bahwa mereka juga tidak berhasil mendapatkan Siang-bhok-kiam dari Keng Hong.

Kiang Tojin mengerti bahwa suhu-nya sangat marah dan kecewa padanya, maka dia diam saja, maklum bahwa sekali ini dia memang salah, perhitungannya meleset dalam menilai diri Keng Hong.

Karena hatinya merasa kesal, Kiang Tojin lalu berkata lantang kepada para tamu yang tak dikehendaki itu,

"Cu-wi sekalian membuktikan dengan mata sendiri betapa kami pihak Kun-lun-pai sendiri telah tertipu juga, bahwa di sini sekarang sudah tidak ada apa-apa lagi yang menyangkut warisan Sin-jiu Kiam-ong. Harap Cu-wi meninggalkan tempat ini karena di antara kita sudah tidak ada urusan apa-apa lagi!"

Sambil tertawa-tawa, Bu-tek Sam-kwi berkelebat pergi, diikuti pula para tokoh kang-ouw yang pergi mengambil jalan masing-masing, tetapi dapat dimengerti bahwa isi hati mereka tak banyak berbeda, yaitu selain kecewa, juga masing-masing tentu mengambil ketetapan hati untuk mencari Cia Keng Hong, satu-satunya orang yang menjadi kunci rahasia dan dapat membawa mereka kembali menuju ke simpanan pusaka warisan Sin-jiu Kiam-ong.

Juga kedua pasukan dari utara dan selatan itu cepat pergi kembali ke asal masing-masing tanpa bertanding. Hal ini memang lucu karena dalam keadaan biasa, dua pasukan yang bermusuhan itu tentunya akan berperang mati-matian. Agaknya karena mereka bertemu dengan tokoh-tokoh yang sakti itu, hati mereka menjadi kuncup, takut kalau orang-orang sakti itu menjadi marah dan membantu salah satu pihak apa bila mereka mengadakan perang di tempat itu.....

********************
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar