Pendekar Dari Hoa-San Chapter 15 Karma Berujung Ajal (Tamat)

Sian Kim merasa betul-betul menyesal ketika sekarang racun telah mulai mempengaruhi paru-paru serta jantung Ciauw In yang menyebabkan pemuda itu kini harus sering kali menyedot sapu tangannya. Pemuda ini sendiri merasa heran dan tidak mengerti kenapa sering kali dia terserang di bagian dadanya oleh perasaan yang membuatnya lemas dan lemah, baik tubuh mau pun semangatnya, dan baru merasa segar kembali sesudah dia mencium bau harum kembang dari sapu tangan Sian Kim itu.

Sudah dua puluh hari lebih dia terserang racun yang hebat ini tanpa menyadarinya dan hanya tinggal beberapa hari saja nyawanya dapat bertahan. Akan tetapi hal ini dia tidak tahu, dan Sian Kim yang tahu dengan baik merasa tersiksa hatinya. Tanpa disengaja dan disadarinya, gadis ini ternyata sudah mencintanya dengan sungguh-sungguh, bukan cinta berdasarkan nafsu busuknya!

Pemuda ini amat jauh bedanya dengan semua pemuda yang mencintanya, karena cinta pemuda ini kepadanya bukan berdasarkan nafsu, akan tetapi betul-betul cinta murni yang membuat pemuda itu rela berkorban nyawa untuknya. Hal ini membuat dia menjadi amat terharu dan bersedih.

Dia telah banyak ditolong oleh Ciauw In dan sekarang keadaannya sudah terjepit. Banyak orang gagah di kalangan kang-ouw yang memusuhi dan tengah mencari-carinya. Dengan Ciauw In di sampingnya ia akan menghadapi semua itu secara tabah, akan tetapi bagai mana kalau Ciauw In tewas karena racun itu?

Dua hari lamanya mereka melarikan diri semenjak mereka berhasil merobohkan Gui Im Tojin dan Bong Hin. Pada waktu itu mereka tiba di sebuah dusun dan bermalam di dalam hotel kecil.

Kembali Ciauw In terserang oleh racun itu hingga ia rebah tak berdaya, sedangkan Sian Kim duduk menangis di sampingnya sambil menggunakan sapu tangan baru yang masih keras bau kembangnya untuk membuat pemuda itu segar kembali.

“Moi-moi, entah penyakit apa yang menyerang diriku. Akan tetapi jangan kau bersedih, aku pasti akan sembuh kembali," kata pemuda itu sambil menggenggam tangan Sian Kim dengan hati terharu dan mencinta.

Ia mengira bahwa Sian Kim menangis karena besarnya cinta kasih gadis itu kepadanya, tidak tahu bahwa gadis itu sedang menyesali perbuatannya sendiri.

Akhirnya Ciauw In tertidur dengan Sian Kim masih duduk di pinggir pembaringan. Melihat wajah pemuda yang gagah perkasa itu, bukan main sedih dan terharunya hati Sian Kim. Dia sendiri tidak dapat tidur, hanya menatap wajah Ciauw In dengan air mata berlinang-linang.

“Ciauw In, jangan kau tinggalkan aku...,” demikian hatinya bersambatan. Namun rintihan hatinya ini tak terdengar oleh siapa pun juga.

Setelah pemuda ini mendekati saat-saat yang akan membuatnya menghembuskan nafas terakhir, baru ia tahu bahwa sebetulnya ia mencinta pemuda ini dengan sepenuh hatinya. Cinta yang belum pernah terasa olehnya, karena cintanya kepada sekian banyak kekasih yang dulu-dulu hanyalah cinta main-main belaka.

Tiba-tiba dia mendengar suara kaki menginjak genteng di atas kamarnya. Dengan cepat Sian Kim meniup padam api lilin yang menyala di atas meja. Dia menggoyang-goyang tubuh Ciauw In dan ketika pemuda itu bangun, ia berbisik dengan suara penuh ketakutan,

"Koko, ada orang di atas genteng...”

Kini Ciauw In telah sehat kembali berkat sapu tangan hijau yang sering kali ditempelkan pada hidungnya oleh Sian Kim. Maka, cepat mereka mengambil pedang dan melompat keluar dari jendela kamar dan terus melompat ke atas genteng. Dengan hati amat terkejut mereka melihat banyak orang di atas genteng itu dan terdengar seorang di antara mereka berseru,

“Penjahat-penjahat kejam, kalian hendak lari ke mana?!”

Setelah tangan orang yang berseru itu bergerak, melayanglah tiga batang piauw ke arah Ciauw In dan Sian Kim. Akan tetapi dengan mudah sekali Ciauw In dan Sian Kim dapat memukul jatuh piauw itu dengan pedang mereka dan tidak lama kemudian mereka telah dikeroyok oleh enam orang yang ternyata adalah tokoh-tokoh Kun-lun-pai yang datang hendak membalas dendam atas kematian Gui Im Tojin dan Bong Hin!

Mereka ini adalah suheng dan sute dari Gui Im Tojin dan tingkat mereka di Kun-lun-pai telah menduduki tingkat kedua dan ketiga, maka tentu saja kepandaian mereka hebat dan tangguh. Ciauw In segera membetot tangan Sian Kim dan mengajak kekasihnya segera melompat turun dari genteng untuk melarikan diri.

"Penjahat Hoa-san dan perempuan rendah! Kalian hendak lari ke mana?!”

Orang-orang Kun-lun-pai itu mengejar. Akan tetapi tiba-tiba dari tempat gelap di mana kedua orang muda tadi berlari, menyambar segenggam Hek-lian-ciam (Jarum Teratai Hitam) ke arah mereka. Ternyata bahwa senjata senjata rahasia yang amat lembut ini dilepas oleh Sian Kim yang jarang mempergunakannya kalau tidak amat terdesak.

Para pengejar itu cepat mengelak, akan tetapi dua orang telah kena terserang jarum yang amat berbahaya itu karena mengandung racun yang amat jahat hingga mereka berteriak keras dan roboh terguling. Ciauw In dan Sian Kim mempergunakan kesempatan ini untuk berlari terus di dalam gelap.

“Jangan khawatir, Kim-moi, aku akan terus membelamu...” demikianlah ucapan Ciauw In terdengar berkali-kali ketika keduanya berlari cepat, ada pun jawaban Sian Kim hanyalah isak tangis tertahan.

Mereka berlari terus, tidak berani menunda sekejap pun juga, karena maklum bahwa apa bila mereka tersusul maka pertempuran hebat akan terjadi dan belum tentu mereka dapat mengalahkan imam-imam Kun-lun-pai yang kosen itu.

Pada keesokan harinya, di waktu matahari mulai muncul, Ciauw In dan Sian Kim masih saja berlari-lari mengambil jalan kecil yang sunyi di pinggir sebuah hutan. Mereka merasa lelah sekali dan merasa agak lega karena tempat itu sunyi sehingga mereka akan dapat mengaso melepas lelah untuk beberapa lama.

Akan tetapi mereka kecewa, karena dari depan tiba-tiba saja muncul sepasukan penjaga keamanan yang terdiri dari barisan tentara dikepalai oleh seorang perwira yang nampak gagah dan didampingi pula oleh beberapa orang gagah yang ketika telah dekat mereka kenal sebagai Lo Sun Kang dari Go-bi-pai dan Hwat Siu Hwesio dari Siauw-lim-pai!

"Menyerahlah untuk menerima pengadilan!" seru Lo Sun Kang dengan suara ketus.

"Siapa takut kepadamu?!” bentak Sian Kim yang sudah mencabut keluar pedangnya dan diturut pula oleh Ciauw In.

Segera dua orang itu dikepung dan terjadi pertempuran mati-matian. Biar pun tadi merasa lelah sekali, akan tetapi melihat betapa keselamatan kekasihnya kini terancam bahaya, semangat Ciauw In lantas berkobar lagi. Dia mengamuk bagaikan seekor naga terluka. Pedangnya berkelebatan cepat, didampingi oleh sinar pedang Sian Kim yang amat ganas sehingga kembali kedua orang ini menjatuhkan beberapa korban di antara para anggota tentara yang kurang tinggi ilmu silatnya.

Akan tetapi pemimpin barisan itu bersama Lo Sun Kang dan Hwat Sin Hwesio merupakan lawan yang benar-benar tangguh. Ciauw In dan Sian Kim terpaksa melompat jauh dan kembali melarikan diri ke dalam hutan. Para musuhnya terus mengejar dari belakang.

Dengan perasaan bingung kedua orang muda yang sudah terkurung oleh banyak lawan itu melarikan diri ke dalam hutan yang amat luas itu. Sambil memegang tangan Ciauw In, Sian Kim mengeluh,

"Koko, kau maafkan aku yang menyeretmu ke dalam keadaan yang demikian sengsara..."

"Hush, jangan berkata demikian, moi-moi..."

"Koko, kalau kau tidak membela aku, kalau saja kau tidak... tidak mencintaku... tentu kau akan hidup bahagia dan selamat..." Tak tertahan lagi Sian Kim menangis sambil masih berlari-lari, “aku... aku tak berharga kau bela mati-matian, koko... aku... aku orang busuk dan kejam...”

"Diamlah, moi-moi diamlah... masih ada harapan bagi kita untuk dapat melepaskan diri dari kepungan mereka... jangan kuatir, ada aku di sini yang akan membelamu!”

Baru saja ucapan ini selesai dikeluarkan, mendadak dari atas pohon menyambar turun bayangan seorang tua dan tahu-tahu di depan mereka sudah berdiri seorang tua yang tinggi kurus serta berjubah kuning. Inilah Kim Kong Tojin, orang yang sudah menduduki tingkat kelas satu dari Kun-lun-pai!


"Hoa-san Taihiap dan Hek-lian Niocu! Dosa-dosa kalian telah terlalu besar maka terpaksa hari ini pinto akan melanggar pantangan membunuh, kecuali kalau kalian mau menyerah dengan baik-baik.”

"Siapakah totiang dan kenapa pula memusuhi kami?” tanya Ciauw In yang terkejut sekali melihat gerakan kakek ini ketika melompat turun, karena maklum bahwa itulah gerakan orang yang memiliki ilmu ginkang yang lebih tinggi tingkatnya dari kepandaiannya sendiri!

"Pinto adalah Kim Kong Tojin dari Kun-lun-pai dan tentu tak perlu pinto jelaskan lagi dosa apa yang telah kalian perbuat terhadap Kun-lun-pai.” Sambil berkata demikian, tosu itu mencabut pedangnya dari pinggang.

Mendengar ini, Ciauw In maklum bahwa sekali ini ia harus bertempur mati-matian untuk menentukan mati atau hidup, maka ia segera berkata kepada Sian Kim,

"Kim-moi, kau larilah sendiri, biar aku yang menghadapi totiang ini. Kau masih memiliki kesempatan, larilah secepatnya dari sini dan mintalah perlindungan kepada suhu-ku di Hoa-san. Beliau seorang yang berhati mulia, tentu akan menolong seorang yang sudah insyaf dari kesalahan-kesalahannya. Larilah, kekasihku, jangan sampai kau turut menjadi korban pula.”

Sian Kim bukannya menurut permintaan Ciauw In, bahkan sekarang tiba-tiba menangis terisak-isak dengan amat sedihnya. Hatinya hancur luluh mendengar ucapan ini dan dia pun sadar betapa dia membikin celaka pemuda ini, telah melakukan perbuatan yang amat jahat.

Pemuda semulia ini telah ia seret ke dalam jurang kehinaan, sementara cinta pemuda ini kepadanya benar-benar suci murni! Ahh, ia menyesal sekali, akan tetapi telah terlambat. Maka ia lalu membentak tosu itu sambil menyerang.

"Tosu keparat! Jangan banyak cakap, kalau kau ada kepandaian, bunuhlah kami berdua."

Tosu itu tersenyum mengejek dan menangkis dengan pedangnya. Tangkisan ini demikian kuatnya hingga tangan Sian Kim terasa bagaikan lumpuh sehingga gadis itu merasa amat kaget dan buru-buru menarik kembali pedangnya lalu menyerang lagi dengan ganas akan tetapi hati-hati. Ciauw In maklum bahwa kekasihnya tak akan dapat menangkan tosu itu, maka ia pun lalu maju menyerang.

Walau pun dikeroyok dua, tosu itu ternyata benar-benar lihai sekali. Ilmu pedang Kun-lun Kiam-hoat memang belum tentu bisa menandingi Hoa-san Kiam-hoat dalam hal kelihaian dan kecepatannya. Akan tetapi dalam hal lweekang dan ginkang, tosu ini mempunyai kepandaian yang lebih tinggi tingkatnya dari pada kepandaian dua orang anak muda itu, maka pedangnya merupakan sinar yang bercahaya menyambar-nyambar dan mendesak Sian Kim dan Ciauw In!

Sementara itu, teriakan-teriakan para pengejar makin lama semakin terdengar jelas dari tempat pertempuran itu! Ciauw In merasa putus harapan mendengar itu. Untuk melarikan diri dari tosu ini bukanlah hal yang mudah, maka ia lalu berkata kepada Sian Kim,

"Moi-moi, mari kita mengadu jiwa dengan tosu ini!”

Sian Kim maklum akan maksud Ciauw In. Maka, dia membarengi pemuda itu membuat serangan yang nekat terhadap tosu itu tanpa mempedulikan pertahanan sendiri!

Diserang secara hebat oleh dua orang yang memiliki ilmu pedang cukup tinggi, tentu saja Kim Kong Tojin merasa terkejut dan sibuk. Ia menangkis pedang Sian Kim dan rangsekan pedang Ciauw In ke arah pergelangan tangannya membuat ia terpaksa mesti melepaskan pedangnya dan mengirim pukulan dengan tangan kiri ke arah Ciauw In, yang tentu akan tepat mengenai dada pemuda itu apa bila Sian Kim tidak menolongnya dengan lemparan segenggam jarum teratai hitam ke arah tosu itu! Kim Kong Tojin cepat menggulingkan diri ke atas tanah untuk mengelak sambaran senjata halus yang amat berbahaya ini dan saat itu digunakan oleh Sian Kim dan Ciauw In untuk melarikan diri ke dalam hutan!

Melihat kenekatan dua orang yang tidak segan-segan mengadu jiwa itu, dan mengingat pula akan bahayanya jarum-jarum beracun dari Sian Kim, Kim Kong Tojin jadi merasa ragu-ragu untuk mengejar karena hutan itu memang liar dan penuh pohon-pohon hingga mudah bagi yang dikejar untuk melakukan serangan tiba-tiba. Ia memungut pedangnya dan menanti datangnya para pengejar lain, tiada hentinya mengagumi ilmu pedang kedua orang muda itu.

Sementara itu, dengan napas tersengal-sengal, Ciauw In dan Sian Kim berlari terus dan ketika mereka tiba di sebuah padang rumput, tiba-tiba Ciauw In roboh terguling!

Sian Kim menjerit dan menubruk pemuda itu.

"Koko... kau kenapakah? Apakah kau terluka?"

Ciauw In menggelengkan kepalanya.

"Tidak... moi-moi, sama sekali aku tidak terluka... akan tetapi... penyakit lama... isi dadaku terasa lemas... kosong...” pemuda itu merebahkan kepalanya sambil memandang kepada Sian Kim yang menangis tersedu-sedu dan memeluki dadanya.

"Koko... koko... ampunkan aku, koko... akulah yang membuatmu begini...”

Ciauw In mengangkat tangannya yang lemas dan merangkul pinggang Sian Kim.

"Hush... jangan berkata begitu, adikku... aku sayang padamu... kau... larilah cepat-cepat tinggalkan aku... kau masih terlampau muda dan... cantik untuk tewas di sini..."

"Koko...!" Sian Kim tak dapat mengeluarkan kata-kata lain lagi karena ia merasa lehernya seakan-akan tercekik. Kemudian ia bisa menekan perasaannya dan berkata dengan mata penuh air mata.

“Koko, dengarlah pengakuanku. Aku... akulah pembunuhmu, aku... aku tahu bahwa hari ini adalah hari terakhir bagimu. Akulah yang menyebabkan kematianmu, koko, aku yang membunuhmu dengan ini..." Ia mengeluarkan sapu tangan hijau dari balik baju di bagian dadanya.

Ciauw In tersenyum, mengulurkan tangan yang lemas dan mengambil sapu tangan itu yang terus ditempelkan pada hidungnya hingga ia menjadi agak kuat lagi.

"Kau boleh bilang... sesuka hatimu, moi-moi... akan tetapi aku... aku tetap cinta padamu sampai nafas terakhir...”

Saat itu merupakan saat yang paling sengsara dan menghancurkan hati bagi Sian Kim, perasaan yang belum pernah dirasakan selama hidupnya. Ia menyesal sekali, menyesal bukan main.

Kalau dulu-dulu dia dapat insaf dan menjadi orang baik-baik, dia tentu akan dapat hidup sebagai seorang isteri yang amat berbahagia di samping seorang suami seperti Ciauw In ini...! Ia dicinta sepenuh jiwa oleh pemuda ini dan ternyata... ia pun mencinta Ciauw In diluar kemauan dan kesadarannya sendiri.

Dan ia mengetahui hal ini setelah terlambat, setelah pemuda ini sekarang berada dalam cengkeraman maut dan tidak dapat ditolong lagi! Sian Kim tak kuat menahan kesedihan hatinya dan makin hancur hatinya melihat betapa air muka Ciauw In makin lama semakin membiru!

“Koko, jangan kau tinggalkan aku...!" Ia menjerit dan sambil mendekap kepala pemuda itu pada dadanva ia menangis keras.

Pada saat itu, datanglah dua orang ke tempat itu dan memandang Sian Kim dengan muka penuh rasa benci.

"Perempuan keparat! Akhirnya kami dapat bertemu dengan kau di sini!” terdengar satu bentakan keras.

Pada saat Sian Kim menengok, ia melihat Bwee Hiang dan Ong Su berdiri di situ dengan senjata di tangan! Dua orang musuh besarnya, bahkan ketiga-tiganya dengan Ciauw In, sekarang telah berada di hadapannya!

Ciauw In juga mendengar dan mengenal bentakan Bwee Hiang tadi, karena itu dia lalu menggerakkan kepalanya menengok. Biar pun ia tak dapat menggerakkan tubuhnya lagi, akan tetapi ia masih dapat menggerakkan leher untuk menengok. Ketika melihat kepada kedua adik seperguruannya, ia berkata dengan lemah kepada Sian Kim,

"Kim-moi... kau larilah... jangan kau lawan mereka... janganlah kau ganggu sumoi dan sute-ku... larilah kau, kekasihku... selamat... selamat...”

Dan tiba-tiba leher Ciauw In lemas dan kedua matanya tertutup lalu kepalanya terkulai!

"Kokooo...!!”

Sian Kim menjerit ngeri, lantas menubruk Ciauw In yang sudah menghembuskan nafas terakhir. Dengan muka pucat Sian Kim lalu bangkit berdiri dengan pedang di tangan.

Pada saat itu, para pengejar yang dipimpin oleh Kim Kong Tojin juga sudah tiba di tempat itu dan mereka semua lalu mengurung Sian Kim dengan senjata siap di tangan masing-masing. Sian Kim memandang pada mereka semua dengan mata sayu dan muka pucat, kemudian dia menatap muka Bwee Hiang dan suaranya terdengar tak bernada ketika dia berkata,

"Bwee Hiang, aku tahu bahwa kau dan semua orang datang hendak menangkap atau membunuhku! Sekarang, setelah terlambat, kuakui bahwa aku telah hidup sebagai orang jahat! Kau sudah membunuh ayahku dan kini terbuka mataku bahwa ayahku memang jahat pula! Kalian semua berhak membunuhku dan memang orang seperti aku pantas dibunuh, akan tetapi... dia ini...” ia menunjuk ke arah mayat Ciauw In yang menggeletak di bawah kakinya, "dia ini seorang gagah... seorang yang melakukan kejahatan bukan atas kehendak sendiri... Dia sangat mencintaku... dengarkah kalian semua? Dia mencintaku! Mencinta dengan tulus ikhlas dan suci murni! Dan aku... aku yang membunuhnya... aku yang meracuninya..." air matanya jatuh berderai, "akan tetapi aku cinta kepadanya...! Ya, aku cinta kepadanya dan aku ingin mati sebagai mempelainya...! Kalian jangan sia-siakan jenazahnya, jangan sia-siakan jenazah Hoa-san Taihiap, suamiku! Kuburlah jenazahnya baik-baik, tentang mayatku, aku tidak peduli. Aku seorang jahat, kalian boleh hancurkan mayatku kalau kalian kehendaki, atau beri makan kepada anjing, aku tak peduli!”

Setelah berkata demikian, ia menggerakkan pedangnya dan Kim Kong Tojin berseru.

"Tahan dia!”

Akan tetapi terlambat, pedang di tangan Sian Kim telah membabat leher sendiri sehingga hampir putus dan tubuhnya terguling roboh di atas tubuh Ciauw In! Darah menyembur keluar dari lehernya, membasahi tubuhnya sendiri dan tubuh Ciauw In.

Bwee Hiang menggunakan kedua tangan untuk menutupi matanya dan ia pun menangis terisak-isak, sedangkan Ong Su mengepal-ngepal tinjunya. Pikirannya tidak karuan dan hatinya merasa gemas, marah, menyesal, dan juga kasihan dan bersedih.

Bwee Hiang lalu mempergunakan sapu tangannya, menyusuti air matanya, lalu sambil menghadapi semua orang, terutama Kim Kong Tojin, ia menjura dan berkata,

"Cuwi sekalian yang mulia! Kita sama-sama mendengar ucapan terakhir dari perempuan yang jahat dan biang keladi semua mala petaka ini dan karenanya tentu cuwi sekalian maklum pula bahwa betapa pun besar kesalahan yang sudah dilakukan oleh suheng-ku yang kini telah tewas, namun sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan perguruan kami Hoa-san-pai! Orang yang berdosa sudah menemui ajalnya dan kami berdua murid Hoa-san-pai mewakili suhu menghaturkan maaf sebesarnya atas segala dosa yang telah dilakukan oleh mendiang suheng kami itu!”

Kemudian, sambil berusaha menahan mengucurnya air mata, Bwee Hiang melanjutkan kata-katanya,

“Dan kami mohon kepada cuwi sekalian untuk mengijinkan kami berdua mengurus kedua jenazah ini baik-baik."

Kim Kong Tojin menarik napas panjang dan berkata,

"Ahh, memang orang-orang muda harus berhati-hati terhadap perasaan sendiri, terutama menjaga nafsu jahat yang selalu hendak menonjolkan diri, menguasai hati serta fikiran. Kalau iman kurang teguh dan kuat, maka beginilah jadinya, seperti Hoa-san Taihiap yang tadinya terkenal gagah perkasa dan budiman, ternyata runtuh imannya saat menghadapi seorang wanita cantik yang jahat! Anak-anak muda, tentu saja kami tidak akan pernah menghubungkan peristiwa ini dengan perguruan Hoa-san-pai, hanya pinto merasa turut menyesal atas kegagalan Ho Sim Siansu memilih murid...”

Setelah berkata demikian, tosu ini lalu meninggalkan tempat itu, diikuti oleh semua tokoh Kun-lun-pai. Para tentara pemerintah yang melakukan pengejaran juga bergegas pergi meninggalkan tempat itu untuk membuat laporan kepada atasan mereka.

Ong Su dan Bwee Hiang lalu mengubur jenazah Sian Kim dan Ciauw In, dijadikan dua makam yang berdampingan. Diam-diam Ong Su makin kagum terhadap sumoi-nya yang selain gagah perkasa, juga berbudi mulia ini.

Dan Bwee Hiang diam-diam juga mengakui bahwa apa bila dibandingkan, meski pun Ong Su tidak segagah dan setampan Ciauw In, akan tetapi ji-suheng-nya ini jauh lebih jujur, sederhana, dan beriman teguh sehingga tak mungkin tersesat seperti Ciauw In!

Mereka lalu kembali untuk membuat laporan kepada Ho Sim Siansu.

Ketika pertapa tua itu mendengar peristiwa itu, ia memeramkan matanya untuk beberapa lama dan menggunakan kekuatan batinnya untuk dapat menahan gelora kedukaan yang menggelombang di dalam dadanya. Suaranya terdengar lemah ketika ia berkata,

“Jadikanlah peristiwa suheng-mu ini sebagai contoh, Bwee Hiang dan Ong Su. Memang tak selamanya kepandaian mendatangkan kebaikan dan kebahagiaan, semua tergantung dari orang yang memiliki kepandaian itu. Lebih berguna seorang berkepandaian rendah yang berhati bersih dari pada seribu orang berkepandaian tinggi namun berhati kotor, karena kepandaiannya itu hanya akan mendatangkan kejahatan dan mala petaka belaka. Oleh karena itu, kelak didiklah anak-anakmu agar menjadi orang yang beriman teguh dan mempunyai batin yang bersih, kuat menghadapi segala macam godaan dunia yang akan menjerumuskan diri sendiri ke jurang kesesatan!”

Sesudah banyak menerima petuah dari Ho Sim Siansu, Bwee Hiang dan Ong Su lalu menuju ke kota Keng-sin untuk memberi keputusan tentang perjodohan mereka kepada orang tua masing-masing yang sudah lama menanti-nanti di kota itu.

Keputusan mereka itu menggirangkan hati ibu Bwee Hiang dan kedua orang tua Ong Su yang segera sibuk memilih hari dan bulan baik untuk melangsungkan pernikahan kedua orang muda itu.....

T A M A T
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar