Pendekar Dari Hoa-San Chapter 09 Bantuan Salah Alamat

"Kau benar-benar aneh dan... nakal, nona," katanya.

Pada saat itu mereka telah sampai di depan hotel dan keduanya lalu masuk kembali ke dalam hotel melalui genteng. Sebelum mereka kembali ke kamar masing-masing, Sian Kim memandang dengan mata penuh daya memikat.

Akan tetapi Ciauw In hanya berkata, "Nona, kuharap kau tidak menyebutku taihiap lagi. Kita telah menjadi sahabat baik dan tidak enak kalau kau memanggilku seperti terhadap orang yang baru berkenalan saja. Kau membuat aku menjadi sungkan."

Ucapan ini saja sudah merupakan kemenangan setindak bagi Sian Kim. Oleh karena itu, sambil memandang dengan muka semanis-manisnya, ia berkata dan tersenyum,

“Baiklah. Kalau begitu, biarlah aku menyebutmu twako (kakak) saja. Nah, selamat malam dan selamat bermimpi, Lie-twako!”

Setelah berkata begitu, sambil berlari-lari dan tertawa-tawa kecil ia memasuki kamarnya. Sebelum menutup pintu kamar, kembali dia mengerling ke arah Ciauw In dengan penuh arti.

Ciauw ln memasuki kamarnya sendiri dan setelah mengganti pakaian, ia merebahkan diri di atas pembaringan. Benar saja, malam itu dia bermimpi melihat kamar gadis hartawan yang dimasukinya tadi, akan tetapi yang rebah di atas pembaringan bukanlah gadis itu, melainkan Sian Kim! Sian Kim dengan memakai baju pengantin dan ia sendiri memasuki kamar dalam pakaian mempelai laki-laki!

Sama sekali ia tidak tahu bahwa penjahat yang mendatangi gedung itu dan yang telah dibunuh oleh Sian Kim, sesungguhnya adalah seorang bekas anak buah Hek-lian-pang, bahkan pernah pula menjadi kekasih Sian Kim!

Oleh karena inilah maka penjahat tadi merasa ketakutan dan terkejut melihat Sian Kim muncul. Gadis baju hitam ini selalu mengancam kepada setiap laki-laki kekasihnya untuk dibunuh apa bila berani-bermain dengan wanita lain…..

********************

Semenjak peristiwa malam itu, sikap Sian Kim terhadap Ciauw In makin berani dan makin menggiurkan hati Ciauw In. Gadis ini selalu menyebutnya ‘Lie-twako’ dengan suara yang mempunyai nada istimewa halus dan merdunya, panggilan yang hanya dapat diucapkan oleh mulut seorang kekasih yang tercinta.

Perjalanan mereka pada keesokan harinya terasa lebih menggembirakan. Kata-kata yang dikeluarkan di antara mereka makin mesra, juga lirikan mata masing-masing makin penuh arti dan perasaan.

Ketika mereka tiba dl kota Kiang-sun-ok, dengan mudah saja mereka mencari gedung tempat tinggal Hopak Sam-eng. Untuk membuat Ciauw In percaya, dengan sengaja Sian Kim mencari keterangan kepada pelayan hotel di mana tempat tinggal Hopak Sam-eng, padahal tentu saja ia tahu di mana letak gedung itu, oleh karena sudah berbulan-bulan ia tinggal di dalam gedung itu sebagai kekasih Liok Seng.

Ciauw In lalu mengajak Sian Kim untuk segera mendatangi musuh-musuh besar itu dan membuat perhitungan, akan tetapi Sian Kim menolak dan berkata,

"Lie-twako, kita tidak perlu tergesa-gesa. Hopak Sam-eng merupakan tritunggal yang lihai sekali, apa lagi ditambah pula dengan bangsat muda Liok Seng itu, mereka benar-benar merupakan lawan yang tangguh. Jika kita datang terang-terangan pada waktu siang dan menghadapi mereka, aku kuatir kalau-kalau kita akan gagal dan tak berhasil merobohkan mereka. Lebih baik kita datang menyerbu di waktu malam dan menyerang mereka selagi mereka tidak bersedia."

Ciauw In tidak setuju dengan pendapat ini dan sebetulnya Sian Kim hanya mengeluarkan ucapan ini untuk membakar hatinya saja.

“Nona, hal seperti itu tidak patut dilakukan oleh orang-orang gagah. Lebih baik kita datang secara berterang, dan betapa pun juga, kau jangan kuatir. Aku akan membantumu sekuat tenaga, biar pun aku harus berkorban jiwa!”

“Terima kasih, Lie-twako, kau memang seorang yang berhati mulia. Kalau begitu, biarlah aku mengirim surat tantangan kepada mereka itu!”

Sebelum Ciauw In menjawab, Sian Kim sudah menulis sebuah surat dan memberikan itu kepada pelayan hotel sambil memberi hadiah beberapa potong uang perak.

“Berikan surat ini kepada Hopak Sam-eng!" perintahnya.

Pelayan itu merasa gembira sekali oleh karena hadiah yang dia terima untuk tugas itu jumlahnya lebih besar dibandingkan gajinya sebulan di hotel itu! Ia membungkuk-bungkuk menerima surat itu sambil menghaturkan terima kasihnya, lalu pergi dengan cepat untuk menyampaikan surat itu kepada Hopak Sam-eng yang tinggal di sebelah utara, di dalam sebuah gedung yang mempunyai pekarangan amat luasnya.

Sesudah beberapa lama, pelayan itu datang kembali dengan muka pucat dan datang-datang ia menuturkan pengalamannya dengan suara masih diliputi ketakutan.

“Aduh, siocia, hampir saja aku tidak dapat pulang! Liok toaya yang menerima suratmu menjadi marah-marah dan memaki-maki kalang kabut. Bahkan hampir saja ia memukulku karena dikatakan berani membawa surat itu kepadanya. Untung saja masih ada siauwya yang menghalangi kehendaknya. Ia terus memaki-maki dan akhirnya menyatakan bahwa besok jam delapan dia akan menanti siocia di depan rumahnya!”

Sian Kim tersenyum saja mendengar ini dan menyuruh pelayan itu pergi.

“Lie-twako, mulai sekarang mereka telah bersiap sedia dan selanjutnya aku yang bodoh hanya mengharapkan bantuanmu.”

"Jangan kuatir, nona. Aku akan membelamu terhadap mereka," jawab Ciauw In dengan tenang.

Pada keesokan harinya, setelah makan pagi, Ciauw In dan Sian Kim berangkat menuju ke rumah Hopak Sam-eng. Dari jauh mereka telah melihat empat orang berdiri di depan rumah besar itu sambil bertolak pinggang dan memandang pada Sian Kim dengan mata menyatakan kemarahan besar.

Dari jauh Sian Kim menunjuk mereka dan memperkenalkan mereka kepada Ciauw In.

“Twako, mereka bertiga itu adalah Liok Sui, Liok Ban dan Liok Bu Tat, Hopak Sam-eng yang lengkap. Sedangkan orang muda itu adalah bajingan yang sudah menghinaku, yang bernama Liok Seng, putera dari Liok Bu Tat."

Ciauw In memandang dengan penuh perhatian. Ketiga jagoan dari Hopak itu semuanya bertubuh tinggi besar dan berwajah kereng dan galak sekali. Jelas terlihat bahwa mereka itu mempunyai tenaga yang amat kuat.

Liok Sui dan Liok Ban memegang sebatang toya, ada pun Liok Bu Tat membawa pedang yang tergantung di pinggangnya. Liok Seng adalah seorang muda yang berwajah tampan dan berpakaian merah, sikapnya lemah lembut, akan tetapi kedua matanya galak seperti mata ayahnya.

Begitu mereka tiba di depan Hopak Sam-eng, Liok Bu Tat menuding kepada Sian Kim dan membentak sambil tersenyum menyindir,

“Bagus, Gu Sian Kim! Kau datang mengantar nyawamu!"

Juga Liok Sui dan Liok Ban memandang dengan marah, bahkan Liok Sui, saudara tertua dari Hopak Sam-eng yang terkenal berwatak keras dan galak, segera memaki,

"Perempuan rendah! Agaknya bebarapa kali hajaran dari kami itu masih belum membuat kau kapok! Sekarang kau datang lagi hendak mengacau, maka sudah sepatutnya kali ini kau dibikin mampus!"

Sementara itu, ketika melihat betapa bekas kekasihnya ini nampak makin jelita saja, Liok Seng menjadi panas hati ketika melihat Sian Kim datang bersama seorang pemuda yang tampan. Ia segera mencabut pedangnya dan dengan nada marah berkata,

"Perempuan sundal! Kau datang membawa-bawa kekasihmu yang baru?” Sambil berkata demikian, ia melangkah maju dan menudingkan pedangnya ke arah muka Ciauw In.

Ciauw In semenjak tadi menahan-nahan marahnya, akan tetapi ketika mendengar ucapan Liok Seng ini, ia tidak tahan lagi dan segera membentak,

"Tutup mulutmu yang kotor!"

"Ha-ha-ha!" Liok Seng tertawa. "Bagus sekali, Sian Kim. Kekasihmu ini betul-betul berani membelamu dan bahkan agaknya seorang yang sopan-santun sekali!”

"Ini adalah Lie-twako atau Hoa-san Taihiap, seorang pemuda yang sopan dan mulia, tidak seperti kau, bajingan rendah!” Sian Kim balas memaki.

Akan tetapi Liok Seng yang dimakinya hanya tertawa bergelak dan berkata,

"Bagus, bagus! Kau memang pandai memilih kekasih, akan tetapi sebentar saja kau tentu akan merasa bosan pula kepada kekasih sopan ini!"

"Bangsat bermulut busuk! Kalau kau tidak berhenti memaki, akan kupukul mulutmu yang jahat!" kembali Ciauw In membentak dengan marah sekali.

Kini Liok Seng maju dua langkah dan menghadapi Ciauw In sambil menggerak-gerakkan badannya.

"Kau disebut Hoa-san Taihiap? Haa! Jangan kau menjadi sombong karena bisa menjadi kekasih perempuan sundal ini, sobat! Kau tahu, sebelum kau kenal padanya, akulah yang lebih dahulu menjadi sahabatnya yang baik sekali. Bukan hanya kau yang dapat memiliki perempuan ini! Ha-ha-ha, karena itu jangan kau berlagak sombong."

"Bangsat bermulut keji!" Sian Kim berteriak sambil mencabut pedangnya. "Lie-twako, kau jagalah tiga orang tua bangka ini, biar aku memberi hajaran kepada anjing ini!"

Setelah berkata demikian, Sian Kim lalu melompat dengan pedangnya, menyerang Liok Seng yang segera menangkis.

Hopak Sam-eng melihat betapa Liok Seng diserang oleh Sian Kim, maklum bahwa orang muda itu bukanlah tandingan Sian Kim. Karena itu mereka segera menggerakkan senjata masing-masing dan melompat untuk menghadapi Sian kim. Akan tetapi tiba-tiba mereka melihat cahaya pedang berkelebat dan tahu-tahu pemuda yang disebut Hoa-san Taihiap itu telah menghadang di depan mereka dengan pedang di tangan!

“Ha-ha-ha-ha! Agaknya kau pun ingin mampus!” berkata Liok Sui yang segera menyerang dengan toyanya.

Serangan ini hebat sekali datangnya karena ia ingin sekali pukul membikin roboh lawan ini atau setidaknya ingin mendesaknya agar supaya kedua adiknya dapat membantu Liok Seng yang sedang didesak oleh Sian Kim. Serangan toya ini adalah gerak tipu Ouw-liong Chut-tong atau Naga Hitam Keluar Goa, yaitu salah satu gerakan dari cabang persilatan Siauw-lim-si. Toyanya menyabet pinggang, ada pun ujung yang dipegangnya siap untuk dibalikkan dan memukul dada apa bila sabetan itu dapat ditangkis atau dielakkan!

Sementara itu, Liok Ban dan Liok Bu Tat maklum bahwa kakak mereka itu cukup kuat untuk menghadapi pemuda itu, maka mereka tidak bantu mengeroyok, melainkan segera melompat untuk menerjang Sian Kim.

Akan tetapi, baik Liok Sui mau pun kedua orang adiknya itu menjadi amat terkejut ketika tiba-tiba tubuh Ciauw In berkelebat dan lenyap dari depan Liok Sui dan sekaligus ia telah memutar pedangnya di depan Liok Ban dan Liok Bu Tat! Gerakan Ciauw In ini cepat luar biasa sehingga ketiga orang she Liok itu menjadi tercengang. Ternyata bahwa Ciauw In benar-benar memenuhi permintaan Sian Kim dan dapat menahan tiga jago Hopak itu!

Mereka menjadi marah sekali dan maklum pula bahwa pemuda ini tidak boleh dipandang ringan, karena itu sekaligus mereka lalu maju menyerang dengan hebat dari tiga jurusan! Ketiga orang jago Hopak ini memang pernah mempelajari ilmu silat Siauw-lim-si dan juga ilmu silat Bu-tong-pai, maka kepandaian mereka cukup tangguh dan kuat.

Akan tetapi, menghadapi Ciauw In mereka kecele sekali karena ternyata bahwa setelah pemuda itu mainkan ilmu pedangnya, pedang di tangan pemuda itu seakan-akan berubah menjadi puluhan batang dan yang sekaligus bisa menghadapi mereka dengan ganasnya. Inilah kehebatan Hoa-san Kiam-hoat yang sudah membikin kagum banyak jago-jago silat dari seluruh cabang persilatan ketika dimainkan di puncak Kui-san!

Sementara itu, Liok Seng yang sedang didesak hebat oleh Sian Kim, merasa sibuk sekali. Ia mencoba untuk mempertahankan diri dengan pedangnya sambil berharap kedatangan ayah atau kedua pamannya untuk membantu. Akan tetapi, jangankan hendak membantu dirinya, baru membela diri mereka sendiri dari sambaran-sambaran pedang Ciauw In saja mereka telah merasa repot sekali!

Sudah dua kali Liok Seng mendapat tusukan yang menyerempet di pundak dan pahanya hingga pakaian di bagian itu telah penuh darah. Ia menjadi ketakutan dan gelisah sekali, maka tanpa malu-malu ia lalu berseru,

"Ayah... pek-hu... tolonglah...!”

Sian Kim tertawa bergelak yang tentu akan membuat Ciauw ln merasa seram sekali kalau saja ia tidak sedang mencurahkan seluruh perhatiannya untuk menghadapi ketiga jagoan Hopak yang kosen itu.

"Liok Seng, kau boleh merengek-rengek minta tolong, ha-ha-ha-ha, akan tetapi, sekarang pasti kau akan mampus di tanganku!”

Sambil berkata demikian Sian Kim lalu memperhebat gerakan pedangnya, melancarkan serangan-serangan maut ke arah Liok Seng!

"Sian Kim... ingatlah kau tahu bahwa aku mencintaimu! Tegakah kau membunuhku yang pernah pula kau cinta...?”

Akan tetapi oleh karena kuatir kalau ucapan Liok Seng ini terdengar oleh Ciauw In, Sian Kim menjawab ucapan ini dengan tusukan-tusukan yang lebih gencar pula. Tentu saja kepandaian Sian Kim yang jauh lebih tinggi ini, ditambah pula oleh nafsunya membunuh, membuat Liok Seng tak berdaya lagi dan ketika pedang di tangan Sian Kim dengan tepat sekali menusuk dan menembusi dadanya, ia memekik ngeri dan roboh, terus tewas pada saat itu juga!

Ketiga jago Hopak yang mendengar pekik serta melihat betapa anak muda itu roboh dan tewas di tangan Sian Kim, menjadi marah dan segera mengerahkan seluruh tenaga untuk mengalahkan Ciauw In. Liok Sui dan Liok Ban mainkan toya mereka dengan cepat hingga kedua batang toya itu seakan-akan berubah menjadi dua ekor ular besar yang hidup dan bergulung-gulung hendak menelan tubuh Ciauw In, sedangkan Liok Bu Tat yang merasa marah dan sedih melihat putera tunggalnya binasa, segera memutar-mutar pedangnya, mencari kesempatan untuk meninggalkan Ciauw In dan menerjang Sian Kim.

Akan tetapi, Ciauw In yang tahu akan hal ini segera menjaga dengan pedangnya hingga serangan-serangan balasannya yang cukup cepat itu membuat Liok Bu Tat tidak memiliki kesempatan untuk menyerang Sian Kim. Ia kemudian mencurahkan seluruh perhatiannya untuk mendesak Ciauw In, oleh karena dia pikir lebih baik mengalahkan pemuda lihai ini terlebih dahulu sebelum mengeroyok Sian Kim.

Hopak Sam-eng adalah jago-jago golongan tua yang selain bertenaga besar dan memiliki kepandaian tinggi, juga sudah mempunyai banyak sekali pengalaman pertempuran. Kini, karena mereka bertempur secara nekat dan mati-matian, maka desakan mereka hebat luar biasa sehingga sibuk juga bagi Ciauw In untuk bisa mengalahkan mereka. Terpaksa ia mainkan ilmu pedang Hoa-san Kiam-hoat sebaik-baiknya, mengeluarkan tipu-tipu yang terlihai dari ilmu pedang itu. Pedangnya terputar cepat dan tubuhnya tertutup sama sekali oleh sinar pedangnya yang putih dan berkilauan cahayanya.

Sementara itu, aneh sekali, Sian Kim setelah berhasil membunuh Liok Seng, lalu duduk di bawah pohon, menonton pertempuran yang sedang berjalan seru itu dan sama sekali tak bermaksud membantu Ciauw In! Bagi ketiga jago Hopak, memang aneh melihat hal ini, sungguh pun mereka merasa lega, karena kalau Sian Kim maju pula membantu Ciauw In, mereka pasti akan roboh dalam waktu singkat! Ada pun Ciauw In tidak merasa menyesal melihat hal ini karena ia memang hendak memperlihatkan kepandaian dan pembelaannya kepada gadis yang dicintainya itu.

Sebetulnya hal ini memang disengaja oleh Sian Kim. Bila seandainya Ciauw In terbinasa dalam pertempuran ini, berarti dia akan kehilangan seorang musuh yang sangat tangguh dan ditakuti sehingga selanjutnya ia akan mudah menghadapi Bwee Hiang dan Ong Su. Juga sebetulnya ia tidak mempunyai permusuhan besar dengan Hopak Sam-eng, karena dibunuhnya kekasihnya dulu itu pun kini sudah merupakan peristiwa yang hampir terlupa olehnya.

Sekarang pertempuran terjadi dengan benar-benar seru dan ramai. Biar pun ilmu pedang Ciauw In benar-benar hebat, akan tetapi tandingannya kali ini merupakan tandingan yang terhebat dan terkuat baginya.

Pemuda Hoa-san ini belum memiliki cukup pengalaman dalam pertempuran menghadapi musuh-musuh tangguh, ada pun tiga orang musuhnya sudah memiliki kepandaian tinggi, baik lweekang-nya mau pun gerakan ilmu toya dan pedangnya kuat sekali. Pemuda itu diam-diam mengeluh dan kini tidak merasa heran lagi mengapa Sian Kim yang lihai tidak mampu mengalahkan mereka ini.

Juga pengeroyokan mereka dilakukan secara sangat teratur. Kedudukan mereka selalu merupakan segi tiga yang bergerak hidup, karena setiap kali seorang di antara mereka mengubah kedudukan, dua orang yang lain segera cepat mengatur kedudukan masing-masing sehingga mereka selalu merupakan segi tiga yang mengurungkan secara rapat sekali.

Liok Sui dan Liok Ban yang memegang toya selalu berusaha menyerang dari jarak jauh, sedangkan Liok Bu Tat yang merasa sakit hati dan nekat karena kematian puteranya itu, menyerang dari jarak dekat sambil mendapat perlindungan dan bantuan dari kedua orang kakaknya.

Diserang secara begini, sibuk juga Ciauw In menghadapi mereka. Dia sudah keluarkan seluruh kepandaiannya dan hanya karena mengandalkan ginkang atau ilmu meringankan tubuh yang lebih tinggi tingkatnya dari ketiga orang lawannya, barulah ia dapat menjaga dan tidak dapat dirobohkan, sungguh pun ia merasa sangat lelah karena menghadapi tiga senjata yang menyerangnya secara bergantian dan bertubi-tubi.

Ciauw In mulai mencari siasat. Di antara ketiga lawannya, yang paling dekat dengannya dan mudah dicapai hanyalah Liok Bu Tat seorang. Ia maklum bahwa mereka bertiga itu saling membantu dan saling menjaga sehingga kalau dia menyerang seorang, maka dua orang yang lain lalu serentak menyerangnya untuk menggagalkan serangannya kepada orang pertama.

Dia dapat memperhitungkan bahwa apa bila ia terus menerus menjaga diri, ia akan kalah karena tentu ia akan kehabisan tenaga. Maka ia lalu mengambil keputusan nekat untuk mencari kemenangan. Setelah beberapa kali memperhatikan cara penyerangan mereka, akhirnya tibalah kesempatan itu.

Pada ketika itu, pedang Liok Bu Tat menusuk dadanya dari depan, sedangkan toya di tangan Liok Sui menyerampang kakinya, serta toya dari Liok Ban menghantam ke arah belakang kepalanya! Melihat kedudukan mereka pada waktu melakukan penyerangan ini, Ciauw In cepat mengambil keputusan nekat.

Dia menangkis pedang Liok Bu Tat dengan menggetarkan pedangnya, lantas membalas dengan tusukan sambil melompat ke atas untuk menghindarkan diri dari serampangan toya Liok Sui. Ada pun pada saat itu, toya Liok Ban telah menghantam ke arah belakang kepalanya.

Apa bila ia harus menangkis atau mengelak kemplangan toya, terpaksa ia harus menarik kembali serangannya terhadap Liok Bu Tat dan ia tak mau melakukan hal ini. Sebaliknya, ia lalu miringkan kepalanya dan menerima kemplangan toya itu dengan bahu kirinya pada pangkal lengan yang berdaging sambil mengerahkan lweekang-nya!

Ia memperhitungkan dengan cepat dan cermat sehingga ketika tusukan pedangnya pada Liok Bu Tat dapat dielakkan oleh lawan dan toya Liok Ban menghantam bahunya dengan keras, tubuhnya terlempar ke arah Liok Bu Tat dengan tepat sekali. Ia lalu menggerakkan pedangnya sambil meminjam tenaga dorongan toya yang menghantam bahunya itu untuk menubruk Liok Bu Tat yang sama sekali tidak menyangka akan hal ini!

Hampir berbareng terjadinya hal itu, yakni ketika toya mengemplang bahunya, tubuhnya segera terpelanting dan sesaat kemudian pedangnya berhasil menusuk leher Liok Bu Tat yang roboh mandi darah dan tewas di saat itu juga!

Akan tetapi, Ciauw In merasa betapa bahunya menjadi sakit dan linu sehingga tangan kirinya menjadi kaku dan sukar digerakkan lagi! Akan tetapi ia telah mendapat hati karena berhasil merobohkan Liok Bu Tat, maka ia cepat maju kembali dan memutar pedangnya secara hebat dan ganas.

Sebaliknya, Liok Ban yang tadinya merasa sangat girang karena berhasil menghantam bahu lawan dengan toya, menjadi terkejut sekali melihat betapa pemuda itu seakan-akan tidak merasakan dan tidak terluka sama-sekali, padahal kemplangan toyanya tadi cukup keras untuk bisa menghancurkan batu karang!

Ia hanya merasa betapa toyanya membal kembali seakan-akan memukul karet. Dan lebih terkejut lagi ketika ia melihat betapa hasil kemplangannya ini bahkan dipergunakan oleh pemuda lihai itu untuk menewaskan adiknya! Juga Liok Sui merasa kaget dan karena ini, kedua saudara she Liok itu menjadi kacau permainan toyanya.

Tanpa adanya Liok Bu Tat yang merupakan penyerang dekat dari bagian depan, maka permainan mereka menjadi kacau balau dan dengan mudah Ciauw In akhirnya berhasil mempergunakan gerak tipu Tiang-ging-king-thian atau Pelangi Panjang Melengkung Di Langit dan merobohkan Liok Ban. Pedangnya sudah melukai pundak Liok Ban sehingga orang ini roboh dengan pundak hampir putus!

Liok Sui yang paling lihai di antara ketiga Hopak Sam-eng, dengan amat marah dan nekat mengadakan perlawanan dan segera mengeluarkan ilmu toya Hok-houw Kun-hoat, yaitu Ilmu Toya Penakluk Harimau dari cabang Siauw-lim-si. Akan tetapi, dengan seorang diri tentu saja ia merupakan lawan yang lunak bagi Ciauw In, sungguh pun pemuda ini telah merasa lelah sekali dan bahu kirinya seakan-akan telah mati!

Sambil mengertak gigi dan bergerak cepat, Ciauw In mengirim serangan-serangan yang paling lihai dari Hoa-san Kiam-hoat. Akhirnya dia berhasil pula membuat toya lawannya terpental ke atas, dan sebuah tendangan kakinya ke arah perut membuat Liok Sui jatuh terguling-guling dan tak berkutik lagi.

Ciauw In terhuyung-huyung. Kini setelah tiga lawannya roboh baru terasa bahunya yang amat sakit itu dan juga kelelahan tubuhnya. Sian Kim memburu dan memeluk pundaknya.

“Bagaimana, twako, sakitkah pundakmu?" tanya gadis ini.

Sambil menahan sakit, Ciauw In memandang kepada wajah gadis ini dengan mesra, lalu berkata perlahan,

"Tidak apa-apa, biar berkorban nyawa pun aku bersedia untuk membelamu...” Kemudian ia roboh pingsan dalam pelukan Sian Kim!

Gadis ini segera melepaskan tubuh Ciauw In yang lantas roboh terguling di atas tanah. Ia mencabut pedangnya dan melompat ke arah tubuh Liok Ban dan Liok Sui yang masih pingsan akan tetapi belum mati. Dua kali ia menggerakkan pedang untuk membunuh dua orang itu, kemudian dengan pedang yang sudah berlumuran darah di dalam tangan, ia menghampiri tubuh Ciauw In yang masih menggeletak tak bergerak!

la mengangkat pedangnya dan telah siap untuk menusuk dada Ciauw In. Kesempatan itu memang baik sekali baginya. Sekali saja ia menusuk, akan tamatlah riwayat Ciauw In dan dia tidak usah terlalu takut menghadapi dua orang murid Hoa-san yang lain, yang sudah membunuh ayahnya dan menghancurkan Hek-lian-pang.

Akan tetapi, senyum di bibir Ciauw In membuat ia menunda tusukannya dan ia berpikir. Pemuda ini telah masuk dalam perangkapnya. Baru tadi sebelum pingsan ia menyatakan bersedia berkorban nyawa untuk membelanya! Bukankah ucapan itu merupakan sebuah pernyataan cinta kasih yang besar?

Kalau dipikir-pikir lagi, yang menjadi musuh besarnya sesungguhnya hanya Bwee Hiang seorang diri. Ciauw In hanya terbawa-bawa oleh sumoi-nya itu. Dan dari pada membunuh pemuda yang lihai ini, lebih baik kalau ia dapat memperalatnya untuk menjaga dirinya dan bahkan kalau mungkin, untuk mengalahkan Bwee Hiang dan Ong Su! Dan pula, demikian Sian Kim berpikir sambil menatap wajah pemuda yang tampan itu, sukar mendapatkan seorang kekasih setampan segagah pemuda pendekar Hoa-san ini!

Akhirnya Sian Kim memasukkan kembali pedangnya ke dalam sarung pedang. Pada saat dia hendak mengangkat tubuh Ciauw In yang masih pingsan, tiba-tiba saja pemuda itu menggerakkan tubuhnya dan siuman dari pingsannya. Sian Kim cepat-cepat membantu pemuda itu bangun.

Sekelebatan Ciauw In dapat melihat bahwa dua orang lawannya yang tadi ia robohkan, kini sudah tewas akibat tusukan pedang yang dapat ia duga tentulah perbuatan Sian Kim. Selagi ia hendak menegur, datanglah orang-orang dari kota itu ketika mendengar tentang terjadinya perkelahian yang mengorbankan jiwa empat orang manusia.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar