Pendekar Dari Hoa-San Chapter 06 Lahirnya Hoa-san Taihiap

Gu Sian Kim kemudian menggantikan Ciu Hai Eng dan kehadirannya disambut oleh para penonton dengan tepuk sorak riuh rendah! Hampir semua penonton laki-laki merasa amat kagum melihat kepandaian dan terutama sekali melihat kecantikan Sian Kim, dan karena yang kini dihadapinya juga seorang gadis cantik laksana Tan Bi Nio, sudah tentu mereka yang menonton merasa senang dan gembira sekali. Mereka telah menyaksikan kelihaian Tan Bi Nio dan sudah dibikin kagum pula oleh permainan pedang Sian Kim, maka dapat menduga bahwa kini pasti akan terjadi pertempuran yang luar biasa ramainya!

Sementara itu, Ciauw In yang kembali ke tempat duduknya, disambut oleh Bwee Hiang dengan muka merengut. Gadis ini hampir menangis dan sedang dihibur oleh Ong Su dengan bisikan-bisikan perlahan. Ciauw In ingin sekali menegur sumoi-nya ini, akan tetapi ia tidak mau membikin malu sumoi-nya di depan umum, maka menunda niatnya dan akan menegur setelah mereka meninggalkan tempat itu.

Sedangkan Bwee Hiang juga diam saja, bahkan tidak mau memandang muka Ciauw In. Gadis ini merasa tak enak hati dan marah sekali, karena hatinya telah dipengaruhi oleh rasa iri dan cemburu besar terhadap Sian Kim.

Sementara itu, pertempuran antara Tan Bi Nio dan Sian Kim sudah mulai berlangsung dengan hebatnya. Sepasang siang-kek dari murid Thai-san-pai itu memang lihai sekali dan memiliki gerakan yang kuat dan cepat, sedangkan ilmu pedang Sian Kim memang mempunyai gerakan istimewa cepatnya. Karena itu, setelah kedua orang gadis gagah ini mengeluarkan kepandaian masing-masing, tentu saja sinar senjata mereka berkelebatan menyilaukan mata yang menontonnya!

Sian Kim adalah seorang gadis yang memiliki kecerdikan luar biasa. Ia tidak mempunyai permusuhan dengan Tan Bi Nio dan tidak ingin pula menanam permusuhan dengan gadis ini oleh karena, ia tahu bahwa Tan Bi Nio adalah anak murid Thai-san-pai yang tersohor dan ternama. Apa bila dia sampai menjatuhkan Tan Bi Nio dengan ilmu pedangnya yang ganas tanpa mengenal ampun, setidaknya tentu ia akan dibenci oleh Tan Bi Nio beserta golongannya.

Oleh karena itu, kini menghadapi Tan Bi Nio, biar pun kalau mau dia bisa mendapatkan kemenangan dengan segera, akan tetapi dia sengaja menyimpan tipu-tipu silatnya yang terlihai dan ganas, dan hanya mainkan pedangnya dengan gerakan lemah gemulai dan indah serta sedap dipandang.

Memang Sian Kim cantik jelita dan mempunyai potongan tubuh yang menggiurkan. Maka kini setelah ia mengeluarkan gaya gerakan yang indah, tentu saja ia mendapat sambutan tepuk tangan yang riuh rendah.

Pada jurus kelima puluh, setelah keduanya merasa cukup lelah, Tan Bi Nio yang merasa penasaran oleh karena biasanya dia merasa sepasang siangkek-nya paling baik untuk melawan orang berpedang, tapi kini ternyata tak berdaya menghadapi permainan pedang Sian Kim, lalu berseru keras,

“Awas serangan!”

Dan benar saja, siangkek-nya sekarang berubah gerakannya, menjadi kuat serta cepat. Siang-kek itu bertubi-tubi menghujani serangan. Senjata tombak pendek di tangan kirinya selalu memancing-mancing dan menyerang hebat, akan tetapi ini hanyalah merupakan serangan palsu belaka.

Pada waktu senjata di tangan kiri meluncur ke arah iga Sian Kim, gadis baju hitam ini menangkis dengan pedang. Akan tetapi tiba-tiba senjata itu ditarik mundur dan tombak di tangan kanannya yang menyerang dengan hebatnya, menyerampang pinggang Sian Kim yang ramping!

Sian Kim tidak menjadi gugup menghadapi serangan tiba-tiba yang berbahaya ini. Sambil berseru keras dan nyaring, tiba-tiba tubuhnya mencelat ke atas dengan gerak loncat Pek-liong Seng-thian atau Naga Putih Terbang ke Langit! Tubuhnya berjungkir balik dengan kepala di bawah dan kaki di atas, dan dari atas ia melayang turun dengan serangan hebat yang mirip dengan serangan pedang Sin-liong Pok-sui atau Naga Sakti Menyambar Air.

Gerakan serangan ini indah bukan main. Ikat pinggang Sian Kim yang berwarna merah itu berkibar di udara, sedangkan sebagian rambutnya terlepas dari sanggulnya sehingga berkibar-kibar pula amat indahnya. Semua orang menjadi kagum melihatnya.

Tan Bi Nio yang bersikap tenang menerima serangan ini dan menggunakan kesempatan yang amat baik ini untuk mengelak ke kiri, lalu selagi tubuh Sian Kim meluncur turun, ia membarengi dengan serangan kedua siang-kek ke arah leher dan pinggang lawan sambil membarengi mengangkat kaki menendang!

Bukan main hebatnya serangan Tan Bi Nio ini. Ciauw In yang melihatnya mengeluarkan seruan tertahan karena kuatir akan keselamatan dara jelita itu sehingga membuat Bwee Hiang menjadi makin merengut dan cemburu.

Namun, semua penonton yang tadinya menahan napas dengan berkuatir sekali, tiba-tiba bersorak-sorak memuji karena Sian Kim sudah mendemonstrasikan kepandaiannya yang benar-benar mengagumkan. Ketika tubuhnya meluncur turun akibat serangannya dengan gerak tipu yang mirip dengan Sin-liong Pok-sui tadi gagal, tiba-tiba ia menekuk tubuhnya dan dengan gerakan loh-be yakni gerakan membalik dengan cepat, ia telah mencelat lagi ke atas sebelum tubuhnya tiba di bawah!

Gerakan ini menggagalkan tendangan Tan Bi Nio, juga sekaligus mengelakkan sambaran senjata lawan pada lehernya. Sedangkan sambaran senjata tombak ke arah pinggangnya dapat didupaknya dengan sebelah kakinya! Cepat bukan main gerakan ini hingga Bi Nio sendiri tidak pernah menyangkanya, maka tendangan kaki lawan itu tepat mengena pada jari tangan yang memegang senjata tombak. Maka, tanpa dapat dicegah lagi, tombaknya terlepas dan ia melompat mundur dengan muka merah.

"Aku menerima kalah!" katanya.

Sian Kim yang sudah melompat turun, kemudian menghampiri Bi Nio, memungut tombak lawannya dan mengembalikannya. Ia lalu memeluk pundak Bi Nio sambil berkata dengan senyum manis.

"Cici, ilmu siangkek-mu betul-betul membuat aku kagum sekali. Maafkan kelancanganku tadi."

Melihat sikap ini, Tan Bi Nio merasa terharu dan juga girang. Ia pun balas memeluk dan berkata, “Ah, betapa pun juga, kepandaianku masih belum dapat dibandingkan dengan kehebatan ilmu pedangmu."

Keduanya kemudian turun dari panggung bersama-sama untuk memberi tempat kepada peserta lain.

Menurut keputusan Pek Bi Hosiang, maka kini Ciauw In harus menghadapi Bong Hin, murid kepala dari Kun-lun-pai. Tentu saja Bong Hin sebagai murid kepala termuda dari Kun-lun-pai, memiliki ilmu silat tinggi sekali sebagaimana yang sudah dibuktikannya tadi sehingga dengan amat mudahnya ia mengalahkan dua orang peserta luar.

Diam-diam Bong Hin tadi memperhatikan gerakan pedang Ciauw In, dan dia mendapat kenyataan bahwa Hoa-san Kiam-hoat dari pemuda itu sungguh-sungguh tangguh maka ia merasa bahwa dalam kepandaian dalam main senjata, belum tentu ia akan memperoleh kemenangan.

Oleh karena ini, dia mendapat akal. Dia adalah seorang ahli dalam ilmu Tiat-ciang-kang, yakni Telapak Tangan Besi. Kedua telapak tangannya sudah dilatih semenjak dia masih kecil sehingga telapak tangannya mempunyai kekuatan dan kehebatan yang tidak takut menghadapi serangan senjata tajam. Ia berani memapaki bacokan golok dengan telapak tangannya dan merampas golok itu!

Maka, mengandalkan ilmu silat tangan kosong dari Kun-lun-pai dan ilmu Tiat-ciang-kang ini, ia lalu mendahului Ciauw In dengan kata-kata ramah.

“Saudara gagah dari Hoa-san, karena perguruan kita saling bersahabat, maka marilah kita main-main sebentar dengan bertangan kosong saja.”

Ciauw In tersenyum dan ia dapat menduga bahwa lawannya ini tentulah mempunyai satu keistimewaan yang khusus dalam kepandaian silat tangan kosong. Sesudah melihat dan memandang dengan teliti, dia dapat melihat telapak tangan lawan yang kehitam-hitaman itu, maka diam-diam ia terkejut.

Akan tetapi, sebagai seorang murid Hoa-san-pai yang menjunjung tinggi nama perguruan sendiri, tentu saja ia tidak menjadi gentar menghadapi lawan ini. Sambil menganggukkan kepala ia lalu meloloskan sarung pedangnya dan melemparkannya ke arah Ong Su yang menyambutnya. Kemudian dengan tenang ia maju menghadapi Bong Hin dan memasang kuda-kuda dengan gerakan Heng-Pai Kwan-Im atau Memuja Dewi Kwan Im Dengan Tangan Miring!

Melihat betapa lawannya sudah memasang bhesi, Bong Hin tidak berlaku sungkan lagi, maka ia pun berseru, “Awas pukulan!”

Bong Hin lalu memajukan kakinya dan menyerang dengan gerak tipu Pai-in Cut-sui atau Mendorong Awan Keluar Puncak! Ia mendorong dengan telapak tangannya yang berisi tenaga Tiat-ciang-kang hingga belum juga dorongannya mengenai tubuh Ciauw In, angin dorongan itu telah terasa kekuatannya!

Ciauw In cepat mengelak dan miringkan tubuh, lalu membalas dengan pukulan tangan kiri dengan gerak tipu Hong-tan Tiam-ci atau Burung Hong Mementangkan Sebelah Sayap. Pukulannya tidak keras, akan tetapi di dalamnya mengandung tenaga lweekang yang menggetarkan dada Bong Hin walau pun pukulan itu belum mengenai tubuhnya!

Bong Hin merasa terkejut sekali karena tidak pernah disangkanya bahwa lawannya ini memiliki lweekang yang hebat. Ia tidak tahu bahwa di samping ilmu pedangnya yang lihai, Ciauw In juga mendapat gemblengan dan latihan Ho Sim Siansu sehingga memiliki ilmu pukulan Kim-san-ciang atau Tangan Bubuk Emas! Tenaga luar biasa yang telah berada di kedua tangannya ini dapat dipergunakan untuk menghadapi ilmu-ilmu kekuatan tangan seperti Tiat-ciang-kang, Ang-see-jiu dan lain-lain!

Dengan cepat Bong Hin mengelak sambil menggunakan tangannya menyampok lengan Ciauw In. Akan tetapi Ciauw In tidak mau membiarkan lengan tangannya beradu dengan telapak tangan lawan yang lihai itu, maka dia memutar lengannya dan mempergunakan telapak tangannya untuk membentur telapak tangan lawan ini!

Dua telapak tangan beradu, membawa tenaga raksasa yang akibatnya membuat mereka terpental mundur hingga tiga langkah! Keduanya amat kaget dan maklum akan kelihaian lawan, terutama sekali Bong Hin yang tadinya tidak menyangka akan ilmu yang dimiliki Ciauw In. Sesudah benturan telapak tangan ini, dia segera maklum bahwa dia tak dapat mengandalkan Tiat-ciang-kang untuk merobohkan lawan, maka ia berlaku amat hati-hati dalam gerakannya.

Ternyata bahwa dalam hal kepandaian silat tangan kosong, mereka berimbang sekali, biar pun harus diakui bahwa ginkang atau ilmu meringankan tubuh Ciauw In masih lebih tinggi setingkat sehingga gerakannya lebih gesit. Akan tetapi ilmu silat Kun-lun-pai amat tangguhnya, terutama sekali dalam daya tahan seolah-olah Ciauw In menghadapi tembok baja yang kokoh kuat saja!

Pukulan demi pukulan dikeluarkan, tendangan melayang silih berganti, siasat dilawan tipu, kekuatan beradu kekuatan dan banyak sekali gerakan silat mereka keluarkan dalam usaha menjatuhkan lawan. Akan tetapi mereka sama kuatnya sehingga lima puluh jurus telah lewat tanpa ada tanda-tanda siapa yang akan menang!

Bong Hin menjadi amat penasaran, dan perasaan inilah yang akhirnya membuat ia harus menderita kekalahan. Karena merasa penasaran, maka ia menjadi nekat dan melakukan serangan yang berbahaya, tidak saja berbahaya bagi lawan, akan tetapi juga berbahaya bagi dirinya sendiri.

Ia menggunakan serangan yang disebut Pai-san To-hai atau Menolak Gunung Menguruk Laut! Gerakan ini luar biasa hebatnya sebab dilakukan dengan kedua tangan mendorong disertai sebelah kaki menendang. Sekaligus ada tiga serangan yang dilancarkan kepada lawannya!

Ciauw In berlaku waspada dan cepat menjatuhkan diri ke kiri untuk menghindarkan diri dari serangan berbahaya itu, dan karena dia melihat kesempatan terbuka, secepat kilat kakinya menendang ke arah lutut kaki kiri Bong Hin yang masih berdiri. Ketika itu kaki kanan Bong Hin masih terangkat dalam tendangannya tadi. Maka, saat lutut kaki kirinya ditendang, tak ampun lagi ia roboh terguling!

Secara jujur jago muda dari Kun-lun-pai ini mengakui keunggulan Ciauw In dan turun dari panggung sambil terpincang-pincang. Ciauw In berdiri di atas panggung dengan gembira sekali, tidak hanya karena tepukan tangan para penonton yang memujinya, akan tetapi terlebih karena dengan kemenangannya ini ia mempunyai kesempatan menghadapi Sian Kim, dara jelita yang menarik hatinya itu!

Sebaliknya, Sian Kim juga merasa girang oleh karena kini ia mendapat kesempatan pula untuk menghadapi pemuda yang menjadi seorang di antara tiga orang musuh besarnya. Dia dapat mengukur kepandaian lawan ini! Segera setelah mendapat tanda dari Pek Bi Hosiang, ia pun melompat ke atas panggung, disambut dengan senyum malu-malu oleh Ciauw In.

“Lie-taihiap, harap kau suka perlihatkan Hoa-san Kiam-hoat kepadaku!” kata nona baju hitam itu sambil mencabut keluar pedangnya yang berkilau tajam.

"Nona, aku hanya minta agar kau berlaku murah hati kepadaku!" jawab Ciauw In sambil memberi tanda ke bawah.

Ong Su mencabut keluar pedang suheng-nya, kemudian melemparkan pedang itu ke arah Ciauw In. Semua penonton terkejut melihat betapa pedang yang dilempar oleh Ong Su itu meluncur bagaikan anak panah menuju ke tubuh Ciauw In!

Namun sambil tersenyum tenang Ciauw In mengulurkan tangan kanan dan menyambut pedang itu. Tidak pada gagangnya, melainkan pada ujungnya yang runcing dengan jalan menjepit di antara jari-jari tangannya!

Tepuk tangan menyambut demonstrasi yang sangat hebat ini. Ong Su memang sengaja melakukan hal ini untuk memberi ‘muka terang’ kepada suheng-nya. Di puncak Hoa-san mereka memang sudah sering mengadakan latihan menyambut pedang terbang ini!

"Gerakan Kwan lm Menjepit Jarum itu sungguh bagus!" Sian Kim memuji.

Ciauw In merasa kagum melihat betapa nona cantik itu mengenal gerakan tangannya. Maka ia berlaku amat hati-hati karena maklum bahwa kini ia menghadapi seorang lawan yang memiliki ilmu pedang luar biasa lihainya.

Juga para penonton termasuk tokoh-tokoh besar yang hadir di situ, maklum pula bahwa pertandingan terakhir yang akan menentukan siapa juara ahli silat muda pada pertemuan ini, memandang dengan hati amat tertarik. Ilmu pedang yang tadi dimainkan oleh Sian Kim memang mereka kagumi sebagai ilmu pedang lihai yang belum pernah dilihat oleh mereka, sedangkan ilmu pedang Ciauw In adalah ilmu pedang baru dari Hoa-san-pai yang juga tidak pernah mereka saksikan, sungguh pun setiap tokoh persilatan telah tahu dan mendengar akan kehebatan ilmu pedang ciptaan Ho Sim Siansu itu.

Sekali lagi Sian Kim mengangguk sambil mengerling dengan matanya yang indah dan bibirnya tersenyum memikat hati, kemudian ia lalu berseru, "Lie-taihiap, lihat pedang!"

Dan mulailah ia membuka serangannya sambil tidak menghentikan senyum manis yang menghias bibirnya.

Ciauw In menangkis dan segera membalas serangan itu dengan gerak tipu Kong-ciak Kai-bwee atau Burung Merak Buka Ekor. Pedangnya digoyang-goyang di depan muka lawan untuk membingungkan lawannya, lalu secepat kilat dia melanjutkan serangannya dengan gerak tipu Ayam Emas Mematuk Permata. Pedangnya meluncur cepat ke arah tenggorokan lawannya! Kedua gerakan ini dilakukan Ciauw In untuk mencoba kecepatan dan kewaspadaan.

Sian Kim merasa kagum melihat gerakan ini. Ia pun lalu bergerak cepat dan melakukan gerak tipu Dewi Cantik Mengebut Kipas. Gerakan ini menangkis serangan lawan dan sekaligus membarengi dengan pedang yang terpental karena tangkisan itu diluncurkan ke bawah membabat pingggang Ciauw In.

Pemuda ini berseru memuji kecepatan Sian Kim dan cepat mengelak sambil melompat mundur. Setelah serangannya gagal, Sian Kim juga mundur dua langkah untuk mencari posisi yang lebih baik. Ia maklum akan kehebatan ilmu pedang lawan, maka tidak berani berlaku sembrono dan tidak mau menyerang lebih dulu, menanti saja diserang oleh lawan untuk kemudian membalas dengan reaksi dan gaya reflex yang mengagumkan. Dengan jalan demikian, ia tidak terlalu menaruh diri di tempat dan kedudukan berbahaya, karena itu dapat mengukur dan menimbang keadaan lawannya dari pada kalau menyerang dulu dan tidak dapat melihat perubahan gerakan lawan.

Ada pun Ciauw In bukan karena jeri, akan tetapi oleh karena memang hatinya tidak tega untuk mendesak nona cantik itu! Akan tetapi, pada waktu melihat betapa gadis itu pun melangkah mundur, ia maklum bahwa gadis itu amat hati-hati. Maka, ia lalu tersenyum dan mulai menyerang dengan desakan hebat. Ia mulai keluarkan tipu-tipu yang paling hebat dari Hoa-san Kiam-hoat untuk menguji lawannya ini.

Sebaliknya Sian Kim dengan penuh perhatian melihat perubahan gerakan pedang Ciauw In dan mengimbanginya dengan permainan yang sama cepatnya sehingga sebentar saja tubuh kedua orang ini seolah-olah menjadi satu, tertutup oleh dua gulungan sinar pedang yang bergulung-gulung dan bergumul seakan-akan dua ekor naga yang saling lilit dengan hebatnya!

Pecahlah sorak sorai dari para penonton. Bahkan para tokoh besar yang menyaksikan pertempuran ini diam-diam merasa kagum sekali karena ilmu pedang kedua orang muda itu benar-benar merupakan ilmu pedang yang sukar dicari tandingannya. Akan tetapi, Bwee Hiang dan Ong Su yang sudah paham akan Hoa-san Kiam-hoat ketika melihat gerakan-gerakan Ciauw In, diam-diam merasa kecewa sekali.

Terutama sekali Bwee Hiang. Dengan muka pucat ia memandang jalannya pertempuran dan dia merasa hatinya sakit sekali karena ternyata bahwa Ciauw In agaknya sengaja berlaku lambat dan lunak serta tidak mengeluarkan seluruh kepandaiannya!

Gadis ini maklum kalau suheng-nya itu benar-benar menghendaki kemenangan, bukan hal yang sukar baginya. Akan tetapi, suheng-nya itu sengaja berlaku lambat-lambatan, seakan takut kalau-kalau pedangnya melukai lawannya! Hal ini hanya dapat disebabkan oleh satu hal saja, yakni bahwa suheng-nya telah jatuh hati kepada gadis baju hitam yang cantik jelita itu!

Dan hal ini memang benar! Meski pun ilmu pedang Sian Kim luar biasa sekali, cepat, ganas, dan kuat gerakannya, akan tetapi ia masih belum berdaya menghadapi Hoa-san Kiam-hoat. Gadis yang cerdik ini pun maklum akan hal itu, dia sendiri merasa heran mengapa pada setiap kali lawannya telah terdesak hebat dan terdapat kesempatan untuk merobohkannya, mendadak tekanan pedang lawan itu mengendur sehingga ia mendapat ketika untuk memperbaiki posisi dan kedudukannya!

Akhirnya ia dapat juga menduga bahwa tentu pemuda yang tampan ini tidak tega untuk melukainya! Diam-diam hatinya berdebar keras dengan perasaan girang dan gembira sekali. Tadinya Sian Kim mengeluh di dalam hati karena memang ternyata ilmu pedang Ciauw In ini sangat hebat dan dalam hal lweekang serta ginkang, ia masih kalah sedikit oleh pemuda ini, karena itu harapannya untuk menuntut balas atas kematian ayahnya menipis.

Tetapi setelah timbul dugaannya bahwa pemuda ini agaknya tertarik oleh kecantikannya, dia mulai menggunakan siasat lain. Dengan bibir selalu tersenyum, dia pun mendesak Ciauw In dan sengaja menarik kembali pedangnya sebelum pedang itu mendekat tubuh lawannya, dan gerakan ini ia maksudkan untuk memberi tanda kepada Ciauw In bahwa ia pun merasa tidak tega melukai pemuda itu!

Dan Ciauw In terkena oleh muslihat ini! Ia percaya bahwa gadis baju hitam ini membalas perasaannya dan diam-diam ia pun merasa girang dan berbahagia sekali! Ia lalu sengaja mengeluarkan kepandaiannya dan bergerak cepat sekali.

Pada waktu Sian Kim menyerangnya dengan tipu Hui-eng Bok-thou atau Elang Terbang Menyambar Kelinci, ia sengaja membiarkan sampai pedang nona itu berada amat dekat dengan lehernya, kemudian tiba-tiba saja ia memutar pedangnya yang segera menempel pada pedang nona itu karena tenaga lweekang-nya ia kerahkan untuk ‘menyedot’ pedang lawan, lalu selagi Sian Kim mengerahkan tenaga untuk membetot kembali pedangnya, Ciauw In mengulur tangan kirinya yang seakan-akan hendak menyerang leher lawannya.

Sian Kim terkejut sekali dan mengira bahwa pemuda itu benar-benar hendak mencelakai dirinya. Akan tetapi ketika ia memandang, ternyata tangan pemuda itu melayang naik ke arah kepalanya dan menyendal pita rambutnya yang berwarna merah! Kalau dia mau, gadis ini dapat mengelak dan menundukkan kepalanya, akan tetapi sambil tersenyum ia sengaja membiarkan pitanya terampas.

Kemudian keduanya melompat mundur dan dengan muka kemerah-merahan serta mata mengerling disertai bibir tersenyum semanis-manisnya, ia berkata dengan suara merdu,

"Lie-taihiap, aku mengaku kalah!"

Lie Ciauw In seolah-olah tidak mendengar suara tepuk sorak para penonton yang ramai menyambut kemenangannya ini, karena hatinya penuh dengan kegembiraan dan gairah ketika melihat betapa gadis itu sengaja tidak mau mengelak, seakan-akan membiarkan pitanya terampas. Kemudian, melihat kerling dan senyum itu, hatinya benar-benar masuk dalam perangkap asmara!

Terdengar suara Pek Bi Hosiang yang mengumumkan bahwa Ciauw In, anak murid dari Hoa-san-pai menjadi juara atau pemenang. Maka Ciauw In lalu menghampiri orang tua itu untuk menghaturkan terima kasih sambil menjura penuh hormat. Sementara itu, Sian Kim melompat turun dan kembali ke tempat duduknya.

"Cu-wi," berkata Pek Bi Hosiang dengan suara keras hingga terdengar oleh semua orang sungguh pun bagi Ciauw In, Sian Kim, dan Bwee Hiang suara itu terdengar setengahnya saja!

"Dengan berakhirnya pertandingan barusan, maka selesai pulalah pibu persahabatan ini. Sebagai mana cuwi saksikan sendiri, maka Lie Ciauw In murid Ho Sim Siansu di Hoa-san mendapat kemenangan dan oleh karena ilmu pedangnya memang hebat, maka patutlah ia mendapat kemenangan ini dan dianggap sebagai jago muda yang paling pandai!”

Terdengar suara tepuk tangan riuh menyambut pengumuman ini. Akan tetapi tetap saja bagi tiga orang muda yang sedang tenggelam dalam lamunan masing-masing itu, pidato ketua Go-bi-pai tidak begitu menarik perhatian.

Ciauw In masih berdebar-debar karena girang dan beberapa kali ia melirik ke arah tempat duduk Sian Kim. Sedangkan Sian Kim yang memang selain tertarik oleh wajah cakap pemuda itu juga sengaja hendak menjalankan siasat menggunakan kecantikannya untuk mencapai maksudnya, yakni membalas dendam, sedang duduk termenung memikirkan bagaimana akal yang harus digunakan selanjutnya.

Sementara itu, Bwee Hiang yang melihat dengan jelas bahwa twa-suheng-nya yang ia cinta itu benar-benar telah jatuh hati kepada Sian Kim, duduk dengan wajah muram. Dia menahan-nahan kesedihan hatinya.

"Cu-wi sekalian yang mulia," terdengar Pek Bi Hosiang melanjutkan pidatonya. "Dengan kemenangan jago muda Lie Ciauw In itu, maka sudah sepatutnya kalau pinceng atas nama semua cabang persilatan yang diwakili oleh cu-wi sekalian, memberi nama julukan Hoa-san Taihiap kepadanya!”

Kemudian, sekali lagi Pek Bi Hosiang menghaturkan terima kasih kepada mereka yang sudah datang meramaikan pertemuan persahabatan ini, juga memesan kepada semua pendekar-pendekar muda itu untuk menyampaikan rasa hormat dan terima kasih kepada suhu-suhu mereka. Maka, berangsur-angsur bubarlah semua tamu, kembali ke tempat mereka masing-masing.

Ketika Ciauw In memandang ke arah Sian Kim, ia menjadi terkejut dan kecewa karena gadis itu tidak kelihatan lagi, entah telah pergi ke mana. Ia mencari-cari dengan matanya, dan baru sadar ketika merasa tangannya disentuh orang. Ia menengok dan ternyata Ong Su telah memegang lengannya dan berkata dengan wajah berseri,

"Suheng, kionghi! Kau telah mendapat julukan yang hebat sekali. Hoa-san Taihiap! Ahh, suhu tentu akan girang sekali mendengar hal ini!"

Akan tetapi, seperti seorang yang kehilangan, mata Ciauw In masih terus mencari-cari dan ucapan Ong Su itu hanya diterima dengan senyum tawar saja.

"Twa-suheng, kau mencari siapakah? Dia sudah pergi dari sini, tak perlu dicari-cari lagi!” tiba-tiba Bwee Hiang berkata dengan ketus.

Mendengar suara ini, barulah Ciauw In sadar dan dengan muka merah karena malu, ia pura-pura bertanya, "Ehh, siapa yang dicari? Aku tidak mencari siapa-siapa!"

Bwee Hiang tersenyum menyindir. “Bagus sekali kalau tidak mencari siapa-siapa. Marilah kita pulang, suhu tentu menanti-nanti kita!"

Ciauw In terpaksa ikut mereka meninggalkan Kui-san. Ciauw In merasa seakan-akan ia kehilangan sesuatu, akan tetapi ia malu untuk menyatakan kekecewaannya ini. Mereka bertiga turun gunung dan melakukan perjalanan cepat menuju ke Hoa-san…..

********************

Pada keesokan harinya, ketiga murid Hoa-san-pai itu bermalam di sebuah dusun. Bwee Hiang agaknya telah hilang kemarahannya dan ia mulai tertawa-tawa lagi, kembali sifat gembiranya seperti semula. Juga Ong Su tiada hentinya membicarakan pertemuan para orang gagah itu dan menyatakan kekagumannya pada jago-jago muda yang dianggapnya lihai.

Mereka duduk di ruang depan hotel di mana mereka bermalam dan selagi mereka asyik bicara, tiba-tiba nampak berkelebat bayangan hitam. Ketika mereka bertiga menengok, ternyata bahwa seorang gadis berpakaian hitam telah berdiri di dekat mereka.

Gadis ini bukan lain ialah Sian Kim, dara jelita yang lihai ilmu silatnya itu! Akan tetapi kini wajah dara yang manis itu nampak muram, seakan-akan ia menderita kesusahan besar.

“Nona Sian Kim!” tak terasa pula terluncur seruan girang ini dari mulut Ciauw In.

Wajah pemuda ini berseri-seri dan kedua matanya memancarkan cahaya gembira ketika tiba-tiba ia melihat nona yang telah merampas hatinya itu berdiri di depannya. Kembali Bwee Hiang merasa betapa dadanya sakit melihat sikap suheng-nya ini.

Sementara itu, ketika mendengar sebutan Ciauw In, mendadak wajah Sian Kim menjadi merah, akan tetapi ia menahan senyumnya sehingga bibirnya nampak manis sekali.

“Sam-wi yang gagah perkasa, harap suka memberi maaf jika aku mengganggu kalian,” kata Sian Kim sambil memberi hormat.

“Ahh, tentu saja tidak mengganggu, nona. Silakan duduk! Kebetulan sekali kita bertemu di sini, sebetulnya kau hendak pergi ke manakah?” berkata Ciauw In yang tiba-tiba menjadi peramah sekali, berbeda dengan sikap biasanya yang amat pendiam hingga kali ini Ong Su sendiri yang jujur dan tidak pernah menyangka sesuatu sampai menjadi terheran dan memandang dengan melongo kepada suheng-nya.

“Terima kasih,'' kata Sian Kim yang lalu mengambil tempat duduk menghadapi mereka bertiga. "Aku memang sengaja datang menyusul kalian untuk bertemu!"

“Ada keperluan apa kau mencari kami?" tiba-tiba Bwee Hiang bertanya sambil matanya memandang tajam.

Sian Kim balas memandang kepada Bwee Hiang. Kalau saja pertemuan ini terjadi pada waktu siang hari, tentu ketiga murid dari Hoa-san itu akan melihat betapa sepasang mata Sian Kim yang indah itu mengeluarkan cahaya yang mengerikan ketika ia memandang kepada Bwee Hiang. Cahaya kebencian yang besar, pandangan mata yang dipenuhi nafsu membunuh.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar