Pendekar Dari Hoa-San Chapter 05 Pertarungan Dua Harimau Betina

Lo Sun Kang makin merasa yakin akan kelihaian lawan ini, karena itu ia lalu mengambil senjatanya yang paling dia andalkan, yakni sebatang tombak yang disebut Coa-kut-chio atau Tombak Tulang Ular karena tombak ini melengkung-lengkung seperti tubuh ular dan di ujungnya terpecah dua seperti bentuk mulut ular yang terbuka. Ujung yang bercabang ini gunanya untuk menggigit atau menangkap senjata lawan untuk diputar dan kemudian dirampasnya dan dalam hal permainan tombak ini Lo Sun Kang benar-benar merupakan seorang ahli yang lihai.

Sementara itu, di antara semua orang yang memandang ke arah Sian Kim dengan rasa kagum, terdapat pula seorang pemuda yang tiba-tiba merasa betapa dadanya berdebar keras. Pemuda ini adalah Ciauw In, murid Hoa-san-pai itu.

Selama ini, belum pernah Ciauw In tertarik terhadap seorang wanita, bahkan sumoi-nya sendiri, Bwee Hiang, yang dia tahu menaruh hati kepadanya, diterimanya dengan dingin. Akan tetapi, semenjak saat Sian Kim melompat naik ke atas panggung, ia memandang dengan mata terbelalak dan terbakarlah hatinya oleh api asmara.

Ia memandang kepada dara baju hitam itu bagaikan melihat seorang bidadari baru turun dari kahyangan. Gadis itu benar-benar merupakan kenyataan dari pada gadis impiannya, demikian cantik jelita dan terutama sekali kerlingan mata gadis itu membuat ia betul-betul roboh.

Bwee Hiang memang tiada hentinya memandang kepada suheng-nya yang telah mencuri hatinya ini, maka gadis ini pun bisa melihat betapa cahaya dalam mata Ciauw In berubah ketika dara baju hitam itu naik ke panggung. Sebagai seorang wanita yang berperasaan halus, Bwee Hiang dengan hati kuatir telah dapat menduga bahwa suheng-nya ini tertarik kepada Sian Kim, maka diam-diam ia merasa panas hati.

Sementara itu, kedua orang muda di atas panggung sudah mulai bertempur dan segera setelah keduanya menggerakkan senjata di tangan masing-masing, terdengarlah sorakan penonton yang merasa sangat gembira karena kepandaian kedua orang itu benar-benar hebat luar biasa.

Tidak lama kemudian, sorakan-sorakan itu tiba-tiba terhenti dan mereka ini memandang dengan mulut ternganga serta napas tertahan! Ternyata bahwa ilmu pedang dara baju hitam itu benar-benar menakjubkan sekali karena sesudah bertempur kurang lebih lima belas jurus, tiba-tiba gadis itu berseru nyaring. Gerakan pedangnya berubah sedemikian rupa sehingga kini sinar pedangnya berkelebat dan menyambar-nyambar demikian ganas hingga tubuhnya sama sekali tertutup dan sinar pedang itu kini mengurung Lo Sun Kang dengan ganasnya!

Ciauw In mengeluarkan seruan tertahan karena ia merasa heran dan kagum sekali, akan tetapi ada juga perasaan ngeri dalam hatinya karena ilmu pedang gadis itu benar-benar ganas sekali. Setiap gerakan merupakan serangan maut yang sukar ditangkis!

Kalau saja yang manghadapinya bukan Lo Sun Kang murid pertama dari Pek Bi Hosiang, tentu dalam beberapa gerakan saja ia akan roboh! Akan tetapi Lo Sun Kang melakukan perlawanan sekuat tenaga dan tombak tulang ular di tangannya digerakkan secepatnya untuk mengimbangi serangan lawan yang datang bergelombang itu.

Akan tetapi Lo Sun Kang hanya dapat bertahan saja oleh karena sama sekali tidak diberi kesempatan untuk membalas. Pedang Sian Kim terlalu cepat gerakkannya hingga tidak ada ketika sama sekali bagi Lo Sun Kang untuk mengadakan serangan balasan. Tiap kali tombaknya berhasil menangkis pedang lawan, maka pedang yang tertangkis itu bukan terpental kembali kepada si pemegang, akan tetapi terpental miring merupakan serangan susulan yang otomatis!

Belum pernah Lo Sun Kang menghadapi lawan setangguh ini, karena itu ia benar-benar merasa gugup dan kagum. Tetapi sebagai seorang murid pertama dari cabang persilatan Go-bi-pai, murid Pek Bi Hosiang yang sudah terkenal sebagai tokoh besar, tentu saja ia ingin menjaga nama perguruannya.

Sayang sekali bahwa Lo Sun Kang berhati lemah. Ia tidak tega untuk membalas dengan serangan kejam pula terhadap lawannya yang cantik jelita ini. Perasaan bahwa ia sedang bertanding menghadapi seorang lawan wanita dalam sebuah pertandingan persahabatan, selalu mencegahnya untuk bersikap keras dan kejam.

Dia tidak ingat bahwa lawannya tidak menggunakan perasaan semacam ini, dan bahwa lawannya selalu menyerangnya dengan sungguh-sungguh. Andai ia juga menggunakan kenekatan ini, sebenarnya masih belum tentu ia akan dapat menang, apa lagi karena ia berlaku sungkan-sungkan, tentu saja makin lama ia makin terdesak hebat.

Ada pun Sian Kim makin lama makin ganas ilmu pedangnya dan mendesak hebat sekali, sama sekali tidak mau memberi kelonggaran. Pada suatu ketika, Lo Sun Kang melihat pedang lawan membacok ke arah kepalanya dengan gerakan cepat sekali. Dia segera menggunakan ujung tombaknya untuk ‘menangkap’ pedang itu dan untuk itu tombaknya segera diputar cepat untuk merampas pedang.

Akan tetapi, pada saat itu, dengan gerakan tidak terduga dan cepat sekali, kaki kiri dara baju hitam itu bergerak mendupak ke arah dadanya dengan kecepatan luar biasa! Lo Sun Kang yang sedang mengerahkan seluruh perhatian untuk merampas pedang lawan yang berbahaya itu, tidak menyangka sama sekali dan tidak berdaya menghindarkan diri dari dupakan ini, maka cepat ia mengerahkan lweekang-nya untuk melindungi dadanya yang disambar kaki!

"Dukkk!” tendangan itu tepat mengenai dada dan tubuh Lo Sun Kang terhuyung-huyung mundur, wajahnya menjadi pucat sekali!

Pemuda ini lalu menjura di depan Sian Kim dan berkata, "Lihiap, kau benar-benar lihai, aku Lo Sun Kang mengaku kalah!”

Kemudian, tanpa menanti jawaban, ia melompat turun ke bawah panggung dan setelah tiba di depan Pek Bi Hosiang, ia muntahkan darah merah dan roboh pingsan!

Dengan tenang dan masih tersenyum, Pek Bi Hosiang berkata kepada murid-rnurid lain, “Bawa ia ke dalam dan beri kim-tan (obat)!"

Sementara itu, Sian Kim yang mendapat kemenangan dan menerima tepuk tangan pujian dari para penonton, berdiri dengan tenang dan senyumnya tidak pernah meninggalkan mulutnya. Ia mengangguk-angguk keempat penjuru sambil mengangkat kedua tangannya memberi hormat sebagai pernyataan terima kasih atas pujian para penonton. Ia belum mau turun oleh karena maklum bahwa untuk dapat memasuki babak kedua, dia harus menangkan sebuah pertandingan lagi.

Cauw ln sudah merasa gatal-gatal tangannya untuk dapat mencoba kepandaian bidadari yang menarik hatinya itu, dan sudah bangkit berdiri hendak melompat naik ke panggung. Akan tetapi, tiba-tiba Bwee Hiang telah mendahuluinya dan gadis ini sudah melompat ke atas panggung terlebih dulu, menghadapi Sian Kim yang memandangnya dengan mata tajam.

Terpaksa Ciauw In duduk kembali dengan kecewa, dan ia berkata kepada Ong Su.

“Mengapa kau tidak melarang dia nalk? Gadis baju hitam itu lihai sekali dan sumoi takkan dapat menang terhadapnya!"

Ong Su yang ditegur itu menarik napas panjang dan menjawab, "Sumoi agaknya marah sekali dan penasaran melihat cara bertempur yang kejam dari gadis baju hitam itu!”

Ciauw In mengerutkan keningnya. Kejam? Menurut pandangannya, Sian Kim tidak kejam, tetapi menggunakan taktik untuk mencapai kemenangan yang memang wajar dilakukan dalam sebuah pertandingan!

Memang, hati seorang muda yang sudah tergoda asmara, takkan melihat atau tidak mau melihat keburukan orang yang dicintainya! Dia tadi ingin naik ke panggung menghadapi Sian Kim bukan dengan maksud hendak merebut kemenangan, akan tetapi untuk dapat berhadapan dan menguji kepandaian gadis yang menarik hatinya itu.

Sementara itu, begitu berhadapan dengan Sian Kim, Bwee Hiang segera meloloskan sepasang pedangnya dan berkata keras menahan marahnya,

"Sobat yang gagah perkasa, biarlah aku mencoba ilmu pedangmu yang ganas itu!"

Ketika Pek Bi Hosiang menyebut nama Bwee Hiang untuk memperkenalkannya kepada penonton, berubahlah air muka Sian Kim. Gadis baju hitam ini seakan-akan kurang jelas mendengar nama yang sudah disebut oleh tokoh Go-bi-pai itu, maka dengan suaranya yang merdu dan halus ia bertanya kepada Bwee Hiang,

“Nona manis, siapakan namamu tadi? Tadi kurang jelas terdengar olehku.”

“Aku adalah Gak Bwee Hiang, anak murid Hoa-san-pai!” jawab Bwee Hiang.

Semua orang yang berada di sana, yang merasa amat kagum akan kelihaian Sian Kim, menduga-duga siapakah adanya gadis ini dan siapa pula gurunya. Walau pun Pek Bi Hosiang sendiri tidak tahu ilmu pedang apakah yang dimainkan oleh dara baju hitam yang sudah berhasil mengalahkan murid pertamanya itu. Juga Ciauw In yang menduga-duga dengan hati tertarik tidak pernah menduga bahwa sebetulnya dara baju hitam ini bukan lain ialah pangcu atau ketua dari Hek-lian-pang!

Gadis inilah yang menjadi ketua Hek-lian-pang yang telah diobrak-abrik olehnya bersama kedua orang saudara seperguruannya. Bahkan Gu Mo Ong yang tewas dalam tangan Bwee Hiang itu adalah ayah dari Sian Kim!

Ilmu pedang yang dimainkannya tadi adalah ilmu pedang ciptaan seorang pengemis tua yang menjadi guru Sian Kim, pengemis perantau bertubuh tinggi yang sekarang sudah meninggal dunia. Dengan demikian, maka ilmu pedangnya ini adalah ilmu pedang tunggal yang tidak dikenal orang lain dan hanya dapat dimainkan oleh Sian Kim sendiri!

Sudah setahun lamanya dara baju hitam ini memimpin Hek-lian-pang. Dia menggantikan ayahnya yang sudah tua dan karena memang ilmu silatnya jauh lebih tinggi dari pada ilmu silat ayahnya, maka baik ayahnya sendiri mau pun semua anggota Hek–lian-pang mengangkatnya menjadi ketua perkumpulan.

Akan tetapi, Gu Sian Kim ini mempunyai darah perantau dan karena semenjak kecil ia ikut suhu-nya merantau, maka ia tidak tahan untuk berdiam saja di rumah. Kedudukan sebagai ketua perkumpulan Hek-lian-pang tidak menarik hatinya, maka sering kali ia pergi meninggalkan ayah dan anak buahnya untuk merantau.

Ketika ia kembali ke Ban-hong-cun, ia mendengar tentang kematian ayahnya dan banyak anak buahnya. Ketika mendengar bahwa yang membasmi perkumpulan Hek-lian-pang dan yang membunuh ayahnya adalah seorang anak murid Hoa-san-pai yang bernama Gak Bwee Hiang beserta kedua orang suheng-nya yang bernama Lie Ciauw In dan Ong Su, ia merasa marah sekali. Ia bersumpah untuk mencari dan membalas dendam sakit hati ini, hendak membunuh ketiga orang murid Hoa-san-pai!

Oleh karena itu, ketika tadi melihat dan mendengar nama Ong Su naik ke atas panggung, diam-diam ia memperhatikan. Ia datang ke tempat ini bukan sengaja mencari tiga orang musuhnya, akan tetapi hanya untuk mencari nama dan mencoba kepandaiannya. Tidak disangka sama sekali bahwa di tempat ini dia akan bertemu dengan ketiga orang yang dicari-carinya, maka sudah tentu saja ia diam-diam merasa girang bukan main.

Kini menghadapi Gak Bwee Hiang yang menjadi pembunuh ayahnya dan menjadi musuh besarnya, ingin sekali terjang dia membunuh musuh ini. Akan tetapi kecerdikan otaknya membuat ia berlaku tenang dan membatasi diri, menahan amarahnya yang memuncak dan yang membuat sepasang matanya yang indah itu seolah-olah mengeluarkan cahaya berapi sehingga Bwee Hiang sendiri merasa terkejut.

Sian Kim maklum bahwa ia berada di antara orang-orang gagah yang tak boleh dibuat permainan, maka kalau saja ia berlaku keras dan kasar terhadap musuh besarnya ini dan sampai membunuhnya, tentu tokoh-tokoh besar seperti Pek Bi Hosiang, Gui Im Tojin, Lan Lau Suthai dan yang lain-lain takkan tinggal diam dan kalau sampai terjadi hal ini, maka keadaannya akan berbahaya sekali! Ia merasa jeri untuk dianggap musuh oleh sekalian orang gagah dari dunia kang-ouw, maka ia manahan kemarahan hatinya seberapa dapat.

Sian Kim merasa lega ketika tadi melihat dan menyaksikan kepandaian Ong Su yang biar pun cukup lihai, akan tetapi tidak terlalu berbahaya baginya dan ia merasa sanggup untuk menewaskan pemuda itu dalam sebuah pertempuran. Kini ia hendak menguji ketinggian ilmu pedang musuh besar yang berada di hadapannya, kemudian setelah mencoba lagi kepandaian murid pertama dari Hoa-san, barulah dia akan turun tangan, akan tetapi tidak di tempat ini!

Demikianlah, setelah mendapat jawaban yang memastikan bahwa gadis yang kini berada di depannya ialah musuh besarnya yang bernama Gak Bwee Hiang, untuk melenyapkan keraguannya, ia berkata sambil memaksa sebuah senyum manis.

"Adikku yang baik, ketika aku menuju ke tempat ini, aku mendengar tentang tiga orang muda anak murid Hoa-san-pai yang membuat nama besar di kota Ban-hong-cun, tidak tahu apakah mereka yang gagah perkasa itu kau dan saudara-saudaramu?”

Melihat sikap Sian Kim yang mengajaknya mengobrol ini, Bwee Hiang merasa heran dan juga tidak sabar.

"Benar, memang benar aku dan kedua suheng-ku. Sobat, marilah kita mulai, sekarang bukan waktunya untuk mengobrol!"

Sian Kim tersenyum dan mencabut pedangnya.

"Baik, baik. Kau majulah!”

Bwee Hiang yang merasa tak senang kepada dara jelita berbaju hitam ini, tanpa sungkan-sungkan lagi lalu mainkan siangkiam-nya dan menyerang hebat. Sian Kim menangkis dan dia hanya mempertahankan diri saja karena hendak mengukur sampai di mana kelihaian musuh besarnya ini.

Setelah bertempur belasan jurus, tahulah ia mengapa ayahnya tewas di tangan Bwee Hiang. Memang ilmu pedang Hoa-san-pai yang dimainkan oleh sepasang pedang gadis ini benar-benar tangguh! Sesudah mengukur kehebatan serangan Bwee Hiang, Sian Kim mulai membalas dan kini pedangnya berputar hebat mendesak sepasang pedang Bwee Hiang dengan sangat kuatnya.

Bwee Hiang terkejut sekali. Cepat ia membela diri oleh karena sekarang lawannya telah mengeluarkan ilmu pedangnya yang ganas dan yang tadi telah merobohkan murid tertua dari Go-bi-pai! Diam-diam Bwee Hiang mengakui keunggulan ilmu pedang lawannya yang aneh ini, dan betapa pun dia mainkan sepasang pedangnya dengan cepat, tetap saja ia terdesak hebat!

Sebaliknya, Sian Kim yang melihat pertahanan lawannya ini, tahu bahwa meski pun kalau menghadapi seorang lawan seorang dia pasti akan dapat merobohkan mereka ini, akan tetapi apa bila mereka berdua maju mengeroyoknya, Bwee Hiang dengan siangkiam-nya dan Ong Su dengan toyanya, belum tentu ia mampu menang! Belum lagi diperhitungkan seorang suheng mereka yang belum ia ketahui sampai di mana tingkat kepandaiannya.

Mengingat akan hal ini, Sian Kim berlaku hati-hati dan ia tidak mau membinasakan Bwee Hiang dalam pertandingan ini. Walau pun dia akan berhasil membunuh musuh besar ini, tentu dia tidak akan kuat menghadapi keroyokan kedua suheng dari Bwee Hiang!

Dia hanya mengeluarkan ilmu pedang yang dinamakannya sendiri Hek-lian Kiam-sut, dan mempergunakan keunggulan permainannya untuk mendesak keras dan mempermainkan Bwee Hiang. Pada jurus ketiga puluh satu, dia berhasil menggunakan ujung pedangnya untuk menowel pita rambut Bwee Hiang sehingga pita itu putus dan rambut Bwee Hiang terurai di atas pundaknya.

Akan tetapi, hal ini malah menambah kemarahan Bwee Hiang yang menganggap bahwa lawannya terlalu menghina dan mempermainkan dirinya. Dengan nekat ia maju menyerbu dengan sepasang pedangnya, namun kembali Sian Kim mengeluarkan kepandaiannya. Pedangnya berkelebat dan…

“Brettt!” ujung pedang itu berhasil mampir di baju Bwee Hiang pada bagian dada hingga robek!

Bukan main marahnya Bwee Hiang oleh karena perbuatan ini hampir saja mendatangkan malu besar pada dirinya. Untung bahwa yang terobek hanyalah baju luar dan tak sampai menembus baju dalamnya yang berwarna merah. Kalau baju dalamnya ikat terobek, tentu akan terlihatlah dadanya!

Hal ini dianggapnya penghinaan yang luar biasa besarnya. Maka, sambil memekik marah Bwee Hiang lalu menyerang dengan lebih hebat, mengeluarkan seluruh kepandaiannya untuk mengadu nyawa!

Menghadapi amukan ini, terpaksa Sian Kim juga mengerahkan kepandaiannya, karena ia hanya lebih unggul setingkat saja dari Bwee Hiang dan tak mungkin baginya untuk dapat mempermainkan gadis itu sesuka hatinya. Sesudah dia mengerahkan tenaga serta ilmu pedangnya, perlahan akan tetapi tentu, Bwee Hiang mulai mundur-mundur dan berkelahi sambil mundur terputar. Beberapa kali ia terdesak sampai ke pinggir panggung sehingga tiap saat dapat saja dia tergelincir jatuh!

Para penonton yang melihat pertandingan ini, menjadi tegang dan cemas sekali. Biar pun mereka yang tidak mengerti ilmu silat, dapat merasa bahwa pertandingan kali ini di antara dua orang gadis yang merupakan harimau betina itu, bukanlah pertandingan main-main belaka.

Juga Ciauw In merasa gelisah sekali melihat hal ini. Pemuda ini sudah berdiri dari tempat duduknya dan memandang penuh kekuatiran. Ia merasa menyesal mengapa sumoi-nya begitu keras hati dan tidak tahu diri. Sudah seharusnya sumoi-nya itu melompat turun dari panggung menerima kalah. Kenapa sumoi-nya menjadi demikian pemarah dan tidak mau mengalah?

Sian Kim merasa penasaran juga melihat kebandelan Bwee Hiang dan karena serangan-serangan Bwee Hiang juga amat berbahaya, terpaksa ia mendesaknya lagi dan mengirim serangan-serangan mematikan. Pada suatu ketika, serangan Sian Kim datang demikian cepat sehingga ketika tertangkis, api memancar keluar dari kedua pedang yang sedang bertemu.

Bwee Hiang merasa betapa tangannya gemetar. Selagi dia hendak membalas serangan itu, Sian Kim mendahuluinya dengan serangan kilat ke arah lehernya! Bwee Hiang masih mampu menangkis serangan ini, akan tetapi dia terhuyung dan hampir jatuh, sedangkan Sian Kim tidak mau memberi hati dan menubruk!

Pada saat itu, terdengar suara keras, "Sumoi, kau sudah kalah!"


Sian Kim merasa betapa pundaknya ditolak orang sehingga ia terdorong mundur sampai tiga langkah, sedangkan orang yang datang memisah itu, sekali pegang tangan Bwee Hiang sudah berhasil menarik gadis itu melompat turun panggung. Kemudian orang itu melompat kembali ke atas panggung menjura kepadanya dan berkata dengan halus,

“Nona, harap kau maafkan sumoi-ku yang keras hati itu."

Sian Kim memandang dan ia tertegun. Yang berdiri di depannya adalah seorang pemuda yang tampan sekali, bersikap sopan santun dan mempunyai sepasang mata yang sangat tajam bagaikan sepasang bintang pagi! Sian Kim memang memiliki kelemahan terhadap pemuda-pemuda tampan, maka tak terasa lagi hatinya tergoncang.

Akan tetapi ia teringat bahwa pemuda ini tentulah suheng dari Bwee Hiang yang bernama Lie Ciauw In. Diam-diam ia merasa terkejut dan mengeluh. Dari dorongan pemuda ini tadi saja sudah membuktikan akan kelihaiannya dan kekuatan lweekang-nya yang luar biasa. Maka ia membalas menjura dan berkata,

“Tidak ada yang harus minta maaf, sudah biasa terjadi perebutan kemenangan dalam sebuah pibu!”

Setelah berkata demikian, Sian Kim lalu melompat turun dan duduk di tempatnya semula, menunggu dimulainya pertandingan babak kedua sebagai hasil kemenangannya dua kali berturut-turut itu. Dia mengharapkan untuk dapat bertanding dan mengukur kepandaian Ciauw In dalam babak kedua nanti.

Sementara itu, Ciauw In yang belum bertanding, masih berdiri menanti datangnya lawan. Kebetulan sekali masih ada dua orang peserta yang tidak mewakili partai persilatan, dan seorang di antara mereka lalu melompat naik ke panggung. Akan tetapi ternyata bahwa ia bukanlah lawan Ciauw In yang lihai. Dalam sebuah pertempuran pendek, dalam belasan jurus saja peserta ini dapat dikalahkan oleh Ciauw In yang berhasil menotok pundaknya!

Peserta kedua dan yang terakhir melompat naik kemudian mengajak Ciauw In bertanding pedang. Ciauw In mencabut pedangnya dan semua orang, termasuk Pek Bi Hosiang pula, memandang penuh perhatian oleh karena ia pun ingin sekali melihat lihainya Hoa-san Kiam-hoat ciptaan Ho Sim Siansu yang belum diperlihatkan itu.

Pada waktu Bwee Hiang bermain siang-kiam, walau pun gerakan ini menurut ilmu pedang Hoa-san, akan tetapi telah banyak dirubah dengan permainan sepasang pedang. Karena Hoa-san Kiam-hoat sebetulnya harus dimainkan dengan pedang tunggal maka permainan Bwee Hiang tidak sangat mengesankan.

Lawan Ciauw In ternyata mempunyai ilmu pedang campuran yang cukup tangguh dan gerakannya kuat. Akan tetapi, menghadapi ilmu pedang yang dimainkan Ciauw ln, ia tidak berdaya dan belum sampai dua puluh jurus, pedangnya telah dapat dibikin terpental ke udara oleh babatan Ciauw In!

Tepuk-sorak menyambut kemenangan Ciauw In ini, dan juga Pek Bi Hosiang diam-diam memuji kehebatan ilmu pedang Hoa-san, sungguh pun ia belum mendapatkan bukti yang jelas akan kehebatan ilmu pedang itu karena Ciauw In belum mendapat kesempatan untuk memainkan ilmu pedang ini sampai sehebat-hebatnya, berhubung lawannya tadi bukanlah merupakan lawan yang cukup kuat untuk mengimbangi kepandaiannya.

Maka selesailah sudah babak pertama dan orang-orang yang keluar sebagai pemenang ada lima orang, yaitu Ciu Hai Eng murid perempuan dari Go-bi-pai, Bong Hin murid utama dari Kun-lun-pai, Tan Bi Nio murid perempuan dari Thai-san-pai, Gu Sian Kim, dan Lie Ciauw In. Jadi tiga pendekar wanita dan dua pendekar pria!

Pek Bi Hosiang yang bijaksana lalu mengadakan keputusan bahwa di antara lima orang itu, harus bertanding menurut kelamin masing-masing untuk menetapkan pemenang pria dan wanita yang kemudian akan berhadapan untuk memperebutkan gelar juara!

Ciu Hai Eng lalu melompat ke atas panggung, disusul oleh Tan Bi Nio. Pek Bi Hosiang merasa kecewa sekali bahwa yang menang dalam babak pertama tadi adalah muridnya kedua ini, karena kalau yang menang itu murid pertamanya yaitu Lo Sun Kang yang dikalahkan oleh Sian Kim, tentu kedudukan Go-bi-pai lebih kuat. Kini Ciu Hai Eng yang menghadapi Tan Bi Nio, murid pertama dari Thai-san-pai, mendapatkan lawan yang berat sekali.

Benar saja, setelah keduanya mulai menggerakkan senjata masing-masing, yakni Ciu Hai Eng menggerakkan pedangnya dan Tan Bi Nio mainkan siang-kek atau sepasang tombak pendek bercagak yang lihai, segera terlihat bahwa kepandaian Tan Bi Nio lebih menang setingkat.

Sepasang siangkek-nya mendesak pedang Ciu Hai Eng dengan hebat. Biar pun Hai Eng mempertahankan diri dan nama perguruannya sekuat tenaga, namun sesudah bertempur mati-matian, pada jurus ketiga puluh siangkek di tangan kanan Tan Bi Nio dapat menjepit pedang lawan dan memutarnya sedemikian rupa sehingga terpaksa Ciu Hai Eng melepas pedangnya dan mengaku kalah.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar