Pendekar Dari Hoa-San Chapter 04 Kesombongan Membawa Petaka

ONG SU adalah seorang yang jujur. Dia maklum bahwa kalau mau, tadi gadis itu telah dapat mengalahkannya, dan bahwa gadis itu telah berlaku mengalah. Maka kini melihat betapa pedang gadis itu terlepas dari pegangan karena sampokan toyanya, ia pun lalu melepaskan toyanya itu dari pegangan hingga jatuh ke atas lantai panggung!

Ciu Hai Eng tersenyum dan menjura.

"Ong-enghiong, tenagamu besar sekali, aku mengaku kalah."

Ong Su buru-buru membalas dengan menjura dalam. Ketika para penonton menyambut kemenangannya dengan tepuk sorak, ia lalu mengangkat kedua tangannya ke atas dan berkata dengan suara keras.

“Bukan siauwte yang menang, akan tetapi nona inilah yang menang! Aku mengaku kalah!” Setelah berkata demikian, ia menjura lagi kepada Hai Eng dan berkata,

“Enci yang gagah, aku benar-benar mengaku kalah dan terima kasih atas kemurahan hatimu tadi!”

Setelah berkata demikian, Ong Su mengambil toyanya dan melompat turun kembali ke tempat duduknya semula di dekat Ciauw In dan Bwee Hiang.

"Ji-suheng, sikapmu tadi benar-benar baik dan membanggakan hatiku," kata Bwee Hiang.

Sedangkan Ciauw In hanya mengangguk-angguk sambil berkata, “Dia memang lihai ilmu pedangnya."

Para juri yang terdiri dari Pek Bi Hosiang, Gui Im Tojin serta Lan Lau Suthai juga tahu akan hasil pertarungan tadi, maka pada babak pertama ini Ciu Hai Eng dinyatakan keluar sebagai pemenang. Dia diperbolehkan duduk mengaso dan menanti untuk masuk dalam babak kedua! Tepuk sorak ramai menyambut kemenangan Hai Eng ini dan gadis itu lalu duduk di tempatnya sendiri dan diam-diam merasa kagum akan kejujuran hati Ong Su, murid Hoa-san-pai yang lihai ilmu toyanya itu.

Ketika peserta lain dipersilakan naik, wakil Bu-tong-pai yang bernama Ong Hwat Seng, pemuda yang menjadi wakil tunggal dari partai Bu-tong itu melompat ke atas panggung. Ia sengaja melakukan gerak lompat Garuda Sakti Melayang Naik, sebuah gerakan yang amat indah dipandang.

Sambil melompat, ia membuka kedua lengannya ke kanan kiri bagaikan sayap garuda, dua kakinya ditekuk ke atas seolah-olah cakar garuda hendak menyambar dan tubuhnya seakan-akan telungkup di udara. Ketika tubuhnya turun ke atas papan panggung luitai (panggung tempat bersilat), kedua kakinya diturunkan dan hinggap di atas papan, begitu ringannya bagaikan seekor burung kecil saja! Tentu saja gerakannya ini disambut oleh tepuk sorak penonton yang merasa kagum sekali.

Dengan lagak dibuat-buat pemuda ini lalu menjura ke empat penjuru, kemudian berdiri mengangkat dada dan bertolak pinggang, menunggu datangnya lawan! Ong Hwat Seng memang tampan dan gagah orangnya, serta memiliki kesombongan besar. Hal ini adalah karena ia masih amat muda, belum lebih dari dua puluh tahun dan karena dia memang berasal dari keluarga bangsawan yang kaya raya, maka sifat ini tidak begitu membuat heran. Akan tetapi, harus diakui bahwa dia memiliki bakat baik sekali dan ilmu silatnya amat lihai sehingga Bu-tong-pai merasa bangga mempunyai seorang murid muda seperti dia.

Seorang peserta lain yang tidak mewakili partai, yakni Kam Sui Hong, saat melihat lagak pemuda di atas panggung, tidak dapat menahan hatinya lagi. Sambil berkata "maaf!” ia melompat naik ke atas panggung dan menghadapi Ong Hwat Seng sambil menjura.

“Saudara Ong dari Bu-tong-pai, siauwte Kam Sui Hong minta pengajaran!” katanya.

"Saudara Kam Sui Hong, baru tadi aku mengenal namamu, akan tetapi aku belum tahu dari manakah kau berasal, dan kau mewakili cabang persilatan manakah?” Pertanyaan ini diajukan dengan senyum dikulum. Nampaknya Ong Hwat Seng ini memandang rendah sekali.

Melihat lagak ini, Bwee Hiang yang melihat betapa Ong Su memandang dengan mata tak senang, segera menggoda ji-suheng-nya itu.

"Ong suheng, saudaramu itu benar-benar memalukan!"

Ong Su memandang kepada Bwee Hiang dengan merengut. "Saudara siapakah? Siapa sudi mempunyai saudara seperti dia?”

Bwee Hiang tersenyum. “Dia juga she Ong, sama seperti she-mu sendiri, setidak-tidaknya kau masih ada hubungan saudara dengan dia.”

Makin panaslah hati Ong Su. la bangkit berdiri dan hendak melompat ke atas panggung, akan tetapi tangannya segera dipegang oleh suheng-nya.

"Sute, kau hendak pergi ke manakah?" tanya Ciauw In.

“Biar aku naik ke panggung dan melawan orang sombong itu!"

“Hush! Jangan kau begitu, sute. Kau tadi sudah mengaku kalah, dan karenanya kau tidak berhak lagi untuk naik ke panggung. Kau lihat, orang sombong itu kurasa tidak akan kuat menghadapi Kam Sui Hong itu!”

Juga Bwee Hiang membujuk dan berkata, “Ong-suheng, aku tadi hanya bicara main-main saja, apakah kau tidak bisa memaafkan?”

Luluh lagi kemarahan Ong Su dan dinginlah rasa panas yang membakar hatinya ketika mendengar ucapan Bwee Hiang ini, maka dia menarik napas panjang dan duduk kembali di tempatnya.

Sementara itu, ketika mendengar pertanyaan Ong Hwat Seng yang sombong, Kam Sui Hong lalu tersenyum dan menjawab,

“Saudara Ong Hwat Seng, kau mewakili partai Bu-tong-pai yang ternama, maka tentu kau lihai sekali. Akan tetapi aku tak mewakili siapa pun juga, kecuali diriku sendiri. Aku hanya perantau bodoh yang karena gembira melihat pertemuan ini, lalu melupakan kebodohan sendiri dan ingin menambahkan pengalaman dalam pertandingan pibu persahabatan ini."

"Sayang sekali. Kalau begitu, aku berada dalam keadaan dan kedudukan yang rugi. Bila menang, maka kemenangan itu tidak dapat mengharumkan nama partaiku, kalau kalah, aku akan malu sekali."

Bukan main panas hati Kam Sui Hong mendengar ini. "Tak usah kau merasa ragu-ragu, saudara Ong. Ketahuilah, meski bodoh akan tetapi aku adalah keturunan langsung dari Kam Ek locianpwe yang mencipta ilmu silat Ang-sin-tiauw Kun-hoat (Ilmu Silat Rajawali Merah).”

Mendengar pengakuan ini, kagetlah Ong Hwat Seng dan juga semua orang kini menaruh perhatian besar kepada Kam Sui Hong. Nama Ang-sin-tiauw Kun-hoat bukanlah nama ilmu silat yang tidak terkenal.

“Bagus, kalau begitu biarlah aku belajar kenal dengan Ang-sin-tiauw Kun-hoat!" seru Ong Hwat Seng dengan suara garang dan ia lalu maju menyerang.

Kam Sui Hong berlaku waspada dan segera mengelak lalu membalas dengan serangan yang tak kalah hebatnya. Pertempuran kali ini berbeda dengan yang tadi-tadi, oleh karena dilakukan dengan tangan kosong. Walau pun mereka bertempur dengan tangan kosong, akan tetapi tidak kalah ramainya dengan pertempuran yang sudah-sudah. Kedua orang itu sama kuat, sama cepat, dan ilmu silat keduanya memang tinggi.

Ilmu silat Bu-tong-pai mempunyai gerakan dan tendangan kaki yang kuat dan lihai, maka Ong Hwat Seng mempunyai ilmu tendangan yang sangat berbahaya. Selain kepandaian menendang ini, dia pun ahli tiam-hoat (ilmu menotok jalan darah) dari Bu-tong-pai yang disebut coat-meh-hoat.

Ilmu tiam-hoat (totok) ini tidak sama dengan ilmu totok dari cabang Siauw-lim-pai yang disebut Tiam-hwee-louw. Apa bila tiam-hoat dari Siauw-lim-pai digunakannya harus tepat dan mencari urat-urat penting, adalah coat-meh-hoat dari Bu-tong-pai tidak mencari urat, namun di mana saja totokan itu mengenai tubuh akan mendatangkan kelumpuhan pada lawan.

Akan tetapi, ilmu silat turunan yang dimiliki oleh Kam Sui Hong bukanlah ilmu silat biasa saja dan Ang-sin-tiauw Kun-hoat ini telah mengandung pukulan-pukulan lihai dari Hun-kin Coh-kut atau ilmu pukulan untuk memutuskan otot dan melepaskan tulang lawan. Juga pemuda ini sudah mempelajari ilmu kebal Tiat-pouw-san (Baju Besi) yang membuatnya kebal terhadap segala totokan yang datangnya tidak tepat dan kuat. Malah senjata tajam yang mengenai badannya, asal datangnya tidak telak sekali dan tidak dilakukan dengan tenaga lweekang yang tinggi, takkan dapat melukainya!

Karena itu dapat dibayangkan alangkah hebatnya pertempuran itu. Sebetulnya, menurut imbangan kepandaian mereka, Ong Hwat Seng seharusnya mendapat kemenangan, oleh karena ilmu kepandaiannya masih setingkat lebih tinggi, juga gerakannya memiliki banyak variasi yang tidak terduga. Akan tetapi, oleh karena ia sombong, maka dia memandang rendah dan juga dia terlalu banyak berlagak untuk mendemonstrasikan gerakannya agar supaya nampak indah.

Sudah tiga kali ia berhasil memasukkan jari tangannya dan mengirim serangan totokan, akan tetapi totokan-totokan ini dapat ditahan oleh kekebalan tubuh Kam Sui Hong hingga meleset dan tidak melukainya. Hal itu membuat Ong Hwat Seng menjadi panasaran dan marah.

Maka, sambil berseru keras ia kemudian mengeluarkan kepandaian simpanannya, yakni tendangan berantai Siauw-cu-twi. Tendangan yang amat lihai ini dilakukan dengan kedua kaki dipentang sedikit sambil badan agak merendah ke bawah, kemudian secara tiba-tiba ia melompat ke atas kira-kira satu setengah kaki tingginya, lalu kaki kirinya menendang dengan lutut ditekuk, disusul dengan sambaran tendangan kaki kanan, dilakukan secara berulang-ulang dan bergantian, bertubi-tubi ditujukan ke arah anggota berbahaya pihak lawan! Inilah tendangan maut yang sangat berbahaya dan sekali saja tendangan itu bisa mengenai sasaran, jiwa Kam Sui Hong takkan tertolong lagi!

Melihat keganasan serangan lawan yang seakan-akan lupa bahwa mereka hanya berpibu secara bersahabat itu, Kam Sui Hong menjadi terkejut. Ia lalu mencoba mengelak, akan tetapi ia merasa kewalahan menghadapi tendangan berantai yang lihai, itu. Maka sambil menggunakan kedua tangan untuk menyampok tiap tendangan yang datang, ia terhuyung mundur. Satu kali tendangan itu meleset mengenai pahanya hingga terasa sakit sekali.

Menurut patut, Ong Hwat Seng seharusnya menghentikan serangannya karena dengan terdesaknya lawan dan berhasilnya tendangan ke arah paha, dia sudah boleh dianggap menang. Akan tetapi, pemuda ini agaknya masih belum puas kalau belum merobohkan lawan, maka ia tidak mau berhenti dan terus melancarkan serangan tendangannya!

Oleh karena tertendang pahanya, sebelah kaki Kam Sui Hong menjadi lemas. Akibatnya, ia jatuh berlutut dan ini merupakan satu pembelaan diri yang tidak disengaja, oleh karena untuk menghadapi tendangan Siauw-cu-twi memang paling tepat harus merendahkan diri dan menyembunyikan tubuh bagian bawah yang berbahaya.

Dengan keadaan itu, maka tendangan Ong Hwat Seng menyambar ke atas kepalanya dan kesempatan itu digunakan dengan baik oleh Kam Sui Hong yang segera mengulur tangan, lalu menangkap belakang kaki lawan dan mendorongnya sekuat tenaga ke depan sehingga Ong Hwat Seng yang sedang menendang itu tanpa ampun lagi lantas telempar sampai terjatuh di bawah panggung!

Tepuk sorak riuh rendah menyambut kemenangan Kam Sui Hong oleh karena diam-diam semua orang berpihak kepadanya dan tidak senang melihat lagak Ong Hwat Seng yang terbanting ke bawah panggung. Sesudah merayap bangun dengan muka meringis, Ong Hwat Seng lalu berjalan cepat meninggalkan tempat itu sambil setengah berlari-lari!

"Ong-sicu, tunggu...!” Pek Bi Hosiang berteriak memanggil pemuda itu.

Akan tetapi Ong Hwat Seng hanya menengok sebentar dan menjawab, "Aku sudah kalah, mau apa lagi!" dan terus berlari pergi.

Pek Bi Hosiang menghela napas dan berkata, "Ah, kenapa Bu-tong-pai mengirim seorang murid seperti dia?"

Akan tetapi, ia lalu menarik muka gembira dan memberi tanda agar supaya pertandingan pibu dilangsungkan.

Kam Sui Hong biar pun mendapat kemenangan, akan tetapi ia telah menderita luka pada pahanya yang biar pun tidak berbahaya, akan tetapi tak memungkinkan kepadanya untuk menghadapi seorang lawan baru. Krena itu, sambil menjura kepada Pek Bi Hosiang dia berkata.

"Locianpwe, teecu yang bodoh sudah membuat onar, maka harap suka dimaafkan dan teecu menganggap bahwa barusan teecu tidak berada pada pihak yang menang. Biarlah selanjutnya teecu menjadi penonton saja, karena teecu tidak kuat lagi untuk menghadapi seorang saudara lain."

Orang-orang memuji sikap pemuda yang halus serta sopan ini, bahkan ketiga anak murid Hoa-san-pai memandangnya dengan kagum.

"Seorang pendekar muda yang gagah perkasa dan patut dicontoh," kata Ong Su.

Oleh karena dalam pertandingan yang baru terjadi tak ada pihak yang dianggap menang, maka lalu muncullah jago muda dari Kun-lun-pai yang bernama Bong Lee, yakni murid kedua dari Kun-lun-pai.

Baru sejenak Bong Lee berada di atas panggung, tiba-tiba berkelebat bayangan orang gundul dan ternyata bahwa Hwat Sui Hwesio wakil dari Siauw-lim-pai telah berada di atas panggung menghadapi Bong Lee sambil menjura dengan sikap hormat. Hwesio ini meski pun masih muda, akan tetapi pada wajahnya nampak kesabaran besar seakan-akan dia telah puluhan tahun menjalani penghidupan suci.

"Sahabat dari Kun-lun-pai, untuk menambah kegembiraan marilah pinceng melayanimu main-main sebentar," katanya.

Dari gerakan ketika melompat ke atas panggung tadi saja sudah dapat diketahui bahwa hwesio muda ini tak boleh dipandang ringan, maka Bong Lee sambil membalas menjura lalu berkata.

“Siauw-suhu, harap berlaku murah hati kepadaku."

Kemudian dia maju menyerang sambil mengeluarkan ilmu silat Kun-lun-pai yang cepat. Kedua kakinya tiada hentinya berlompat-lompatan ke kanan kiri dengan gerakan cepat, sedangkan kedua tangannya pun bergerak-gerak membingungkan lawan dengan banyak pukulan-pukulan pancingan dan palsu.

Inilah ilmu silat Pek-wan Sin-na atau Ilmu Silat Lutung Putih yang benar-benar luar biasa. Ilmu silat ini tidak mengandalkan keteguhan kedudukan kaki, akan tetapi mengandalkan kecepatan serta keringanan kaki untuk melakukan serangan mendahului lawan dengan mempunyai banyak sekali gerakan-gerakan palsu untuk memancing dan membingungkan lawan!

Sebetulnya apa bila menghadapi seorang yang kurang tenang hatinya, biar pun orang itu memiliki kepandaian yang lebih tinggi, ilmu silat ini mungkin akan dapat mengalahkannya. Akan tetapi dalam menghadapi hwesio muda itu, ternyata Bong Lee telah salah taksir. Dia tidak tahu bahwa Hwat Sui Hwesio telah lama menjadi hwesio dan tiap hari meyakinkan ilmu batin dan semedhi hingga ia menjadi tenang sekali.

Maka, pada saat melihat betapa lawannya menggunakan ilmu silat yang amat cepat dan membingungkan, Hwat Sui Hwesio segera persatukan seluruh perhatiannya dan berlaku waspada sambil mainkan ilmu silat Lo-han Kun-hoat, yaitu ilmu silat cabang Siauw-lim-pai yang sudah terkenal keteguhannya itu. Dengan gerakan-gerakan yang mantap dan penuh tenaga, walau pun nampak sangat lambat, akan tetapi setiap kali pukulan asli dari lawan menyambar, dengan enak dan mudah saja Hwat Sui Hwesio dapat mengelak atau pun menangkis, bahkan membalas dengan serangan-serangan cukup berbahaya.

Akibatnya, Bong Lee harus mengakui keunggulan jago dari Siauw-lim itu ketika sebuah gerakan kaki yang menyapu membuat tubuhnya terguling. Dengan cepat hwesio itu lalu menggunakan kedua tangannya untuk membangunkan lawannya.

“Terima kasih atas pengajaranmu, Siauw-suhu,” kata Bong Lee yang kemudian segera mengundurkan diri.

Setelah Bong Lee, murid kedua dari Kun-lun-pai ini melompat turun, maka berkelebatlah satu bayangan hijau dari bawah panggung dan tahu-tahu seorang gadis berpakaian serba hijau sudah berdiri di depan Hwat Siu Hwesio. Inilah pendekar wanita Tan Bi Nio, murid pertama dari Thai-san-pai atau suci (kakak seperguruan) dari Kui Ek Li yang tadi sudah dikalahkan oleh Ciu Hai Eng murid Go-bi-pai. Kalau dibandingkan dengan kepandaian Kui Ek Li, maka kepandaian Tan Bi Nio ini menang jauh dan setingkat lebih tinggi. Dengan sikap sopan ia mengajak pibu hwesio Siauw-lim-si itu dengan menggunakan senjata.

Hwat Sui Hwesio segera menyetujuinya dan mengeluarkan senjatanya, yakni sebatang toya. Ada pun Tan Bi Nio adalah seorang ahli senjata siang-kek, yakni sepasang tombak pendek yang ujungnya bercagak.

Pertempuran kali ini betul-betul mengagumkan karena keduanya mempunyai ketenangan yang sama dan juga lweekang masing-masing agaknya setingkat. Akan tetapi kemudian ternyata bahwa Tan Bi Nio masih lebih unggul dalam hal kecepatan gerakan.

Hwat Sui Hwesio memainkan ilmu toya Hok-houw Kun-hoat, yakni ilmu toya penakluk harimau yang sangat terkenal dari cabang Siauw-lim. Akan tetapi lawannya yang sudah banyak mengalami pertempuran itu tahu bagaimana harus menghadapi toyanya. Setelah pertempuran berjalan dengan sangat serunya selama hampir lima puluh jurus, sebatang tombak bercagak di tangan kirinya berhasil merobek ujung lengan baju hwesio itu yang segera melompat mundur dan menjura mengaku kalah.

Sambutan penonton terhadap kemenangan ini meriah sekali karena semua orang merasa suka sekali melihat Tan Bi Nio yang di samping cantik, juga tinggi ilmu silatnya dan tidak sombong lagaknya. Ada pun Hwat Sui Hwesio, setelah mengaku kalah, kemudian duduk kembali ke tempat semula dengan tenang dan sikap biasa.

Dari pihak Siauw-lim hanya dia sendiri yang datang oleh karena sesungguhnya pihak Siauw-lim tidak begitu bernafsu untuk ikut dalam pibu ini. Kedatangan Hwat Sui Hwesio hanyalah untuk menghormat dan memenuhi undangan Pek Bi Hosiang saja.

Setelah wakil Siauw-lim-si kalah, naiklah seorang peserta lain yang tidak mewakili cabang persilatan, akan tetapi sebagai perseorangan lain, yang hendak mencari pengalaman dan persahabatan. Peserta ini adalah seorang tinggi besar dengan muka hitam. Dia adalah seorang penduduk di kaki bukit Kui-san yang bertenaga besar.

Akan tetapi ternyata bahwa peserta ini hanya bertenaga besar saja dan tidak memiliki ilmu silat yang tinggi. Maka, setelah bertempur dengan tangan kosong melawan Tan Bi Nio, baru belasan jurus saja ia sudah terlempar lagi turun ke bawah panggung!

Dengan kemenangan berturut-turut ini, Tan Bi Nio berhak memasuki babak kedua dan ia pun lalu melompat turun untuk mengaso dan menanti sampai babak kedua dimulai.

Pemenang-pemenang selanjutnya dalam babak pertama ini adalah Bong Hin, yaitu murid pertama dari Kun-lun-pai yang merobohkan dua orang peserta dari luar, dan juga Lo Sun Kang murid pertama dari Go-bi-pai yang telah mengalahkan seorang peserta dari luar.

Pada saat Lo Sun Kang masih berdiri menanti lawan yang kedua, dan Ciauw In hendak melompat naik untuk menghadapi murid Go-bi-pai yang lihai itu, tiba-tiba bayangan hitam yang amat gesit gerakannya melompat naik menghadapi Lo Sun Kang dengan tersenyum manis. Bayangan ini bukan lain adalah gadis baju hitam yang tadi dikagumi oleh Bwee Hiang, karena bersikap gagah dan berwajah cantik jelita.

Memang, dara berbaju hitam ini benar-benar manis dan jelita sekali. Rambutnya panjang hitam digelung menjadi dua bukit rambut di kanan kiri, diikat dengan sutera kuning yang melambai ke bawah. Kulit mukanya yang putih kemerahan itu kelihatan lebih putih dan menarik oleh karena pakaiannya yang hitam seluruhnya.

Hidungnya mancung dan mulutnya kecil dengan bibir berbentuk indah berwarna merah segar. Terutama sepasang matanya amat indah bentuknya dan bening sekali, akan tetapi dari situ terpancar sinar yang tajam berpengaruh.

Para penonton memandang kagum dan juga Lo Sun Kang merasa agak sungkan dan malu-malu menghadapi nona cantik ini. Ia segera menjura dengan hormat, sementara itu suara Pek Bi Hosiang yang memperkenalkan tiap peserta yang naik panggung, terdengar menyebut nama peserta ini sebagai Gu Sian Kim.

"Bolehkah siauwte mengetahui, lihiap ini anak murid dari manakah?” tanya Lo Sun Kang.

Sambil tetap bersenyum manis, Sian Kim menjawab, "Lo-taihiap, sebetulnya memalukan sekali untuk menuturkan keadaanku, dan sesungguhnya aku amat lancang dan tak tahu kebodohan sendiri berani naik ke sini, karena sesungguhnya aku tidak mewakili cabang persilatan dari mana pun juga. Kepandaianku hanyalah ilmu silat pasaran belaka dan kedatanganku ini hendak mohon pengajaran darimu."

Lo Sun Kang adalah seorang murid terpandai dari Pek Bi Hosiang yang sudah banyak merantau sehingga ia banyak kenal orang-orang pandai di dunia persilatan. Akan tetapi ia belum pernah mendengar nama Sian Kim, maka ia memandang sambil menduga-duga.

Ia maklum bahwa orang yang sekali-kali tak boleh dipandang rendah tentang ilmu silatnya ialah orang-orang yang nampaknya lemah seperti para pendeta dan para wanita, terlebih lagi apa bila mereka ini pandai merendahkan diri. Maka melihat Sian Kim, ia mendapat dugaan bahwa dara ini tentu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi.

"Lihiap harap jangan terlalu merendahkan diri,” Lo Sun Kang berkata. "Tidak tahu lihiap hendak mengadakan pibu dengan tangan kosong atau bersenjata?”

"Aku pernah mempelajari sedikit permainan pedang dan karena sudah lama mendengar bahwa perguruan Go-bi-pai memberi pelajaran delapan belas macam senjata yang lihai kepada murid-muridnya, harap taihiap sudi memberi pelajaran padaku dengan semacam senjata yang biasa kau gunakan, agar pengalamanku lebih luas dan terbuka mataku yang bodoh dan sempit pandangan.”

Sambil berkata demikian, Sian Kim meloloskan pedang yang tergantung di pinggangnya dan semua orang berseru kagum karena ternyata bahwa pedangnya mengeluarkan sinar tanda bahwa pedang itu adalah sebuah pedang pusaka yang ampuh.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar