Kemudian dengan perasaan kagum dan bangga Cui Sian tertawa, memecah suasana yang tercekam oleh kesunyian itu.
"Wah-wah, mengapa kita jadi menyimpang jauh dari persoalan pokok? Bukankah kita tadi bicara tentang bajak-bajak itu?"
Yo Wan juga tertawa. Hatinya gembira karena dia dapat menangkap suara kekasihnya yang mengandung kekaguman dan kebanggaan.
"Kita tidak menyimpang karena apa yang kita bicarakan tadi juga ada hubungannya dengan para bajak. Aku tidak membenci mereka, namun kasihan terhadap kebodohan dan penyelewengan mereka. Aku akan merasa lebih bersyukur apa bila mereka itu dapat diinsyafkan dan dapat ditunjukkan jalan benar. Kalau hal ini tidak berhasil, tentu saja kita harus mencegah mereka melakukan kejahatan, mempergunakan kepandaian kita. Tetapi baiknya kalau tidak terpaksa sekali untuk mempertahankan diri, tak perlu membunuh lain orang."
"Wah, nasehat Yo-twako sama benar dengan nasehat ayah,” kata Swan Bu lagi.
"Memang aku murid ayahmu, tentu saja sependirian."
Malam itu tidak terjadi sesuatu, tetapi pada keesokan harinya pagi-pagi sekali menjelang subuh, di waktu ayam hutan ramai berkokok, tiba-tiba terjadi penyerbuan besar-besaran dari pihak bajak laut. Para penjaga malam di perkemahan pasukan kota raja yang hanya berjumlah dua puluh orang lebih, tak dapat menahan serbuan ratusan bajak itu sehingga dalam waktu beberapa puluh menit saja dua puluh orang lebih penjaga itu telah tewas. Ributlah keadaan pasukan ketika dalam keadaan masih nanar karena baru bangun tidur secara mendadak menghadapi musuh-musuh menyerbu itu.
"Wah, agaknya Yosiko tidak memegang janjinya!" seru Cui Sian marah sambil mencabut pedangnya setelah para orang muda gagah itu berkumpul di ruangan depan.
"Belum tentu," jawab Yo Wan. "Mari kita berpencar. Kita menahan serbuan mereka dari empat penjuru, membantu Bun Hui yang sudah pergi lebih dulu mengatur pasukannya."
Orang-orang muda itu lalu berloncatan ke luar di dalam cuaca yang masih gelap itu. Hwat Ki dan sumoi-nya berlari ke arah barat untuk menahan gelombang serangan bajak laut dari arah ini. Cui Sian berlari ke arah utara sedangkan Yo Wan berlari ke selatan. Swan Bu sendiri yang semenjak malam tadi gelisah memikirkan Siu Bi, kini menghilang seorang diri dengan tujuan untuk mencari kekasihnya di antara para bajak laut.
Hebat perang kecil yang terjadi pada pagi buta yang masih gelap itu. Banyak anggota pasukan pemerintah roboh karena hujan anak panah, akan tetapi sesudah orang-orang muda perkasa itu keluar turun tangan, keadaan berubah dan banyak bajak laut yang roboh dan banyak pula yang mengundurkan diri.
Akan tetapi tidak seorang pun di antara para muda perkasa itu melihat Yosiko. Bahkan pimpinan bajak laut yang lain hanya dua orang yang muncul, yaitu Thio Kong dan Yauw Leng, sedangkan yang dua orang lagi, Bong Ji Kiu dan adiknya Bong Kwan yang lengan kanannya kemarin buntung oleh serangan kilat Swan Bu juga sama sekali tidak tampak batang hidungnya.
Bun Hui memimpin anak buahnya mengamuk dan mengejar bajak-bajak yang melarikan diri. Karena tidak melihat Yosiko memimpin mereka, setelah merobohkan Thio Kong, Bun Hui membentak kepala bajak yang terluka ini, "Hayo katakan, di mana adanya Hek-san Pangcu Yosiko?"
Biar pun sudah terluka parah, Thio Kong masih tertawa mengejek, "Kau takkan melihat dia hidup lagi! Dia menjadi tawanan Bong Ji Kiu di dalam goa di tepi laut!"
Bukan main kagetnya hati Bun Hui. Di samping terkejut dan khawatir akan keselamatan Yosiko, diam-diam dia juga merasa lega. Ternyata gadis itu tidak mengingkari janji, tidak mengkhianatinya, melainkan menjadi tawanan bawahannya sendiri yang memberontak!
"Hayo kau tunjukkan aku di mana goa tempat ia ditawan!" bentaknya sambil mengempit tubuh Thio Kong yang terluka dan membawanya lari.
Pasukannya itu ikut pula mengejar para bajak, dan selebihnya lalu mengikuti komandan mereka ke tepi laut. Di depan sebuah goa yang besar dan gelap, Bun Hui berhenti.
Dengan napas empas-empis Thio Kong berkata, "Di sanalah tempatnya... Bong-twako berpesan bahwa kau sendiri harus memasuki goa melawannya kalau kau ingin bertemu dengan Yosiko. Jika kau membawa pasukanmu menyerbu, dia akan dibunuh...” Setelah berkata demikian, Thio Kong roboh pingsan.
Bun Hui memerintahkan anak buahnya untuk menawan Thio Kong. Dia lalu menghampiri mulut goa. Goa ini lebar, akan tetapi gelapnya bukan main. Dari luar tidak tampak apa pun, hanya hitam gelap menyeramkan, agaknya ada terowongannya. Goa batu karang itu merupakan mulut naga yang mengerikan dan tahulah Bun Hui bahwa memasuki goa ini merupakan bahaya besar. Akan tetapi mengingat akan nasib Yosiko di tangan Bong Ji Kiu, tak mungkin dia berdiam diri saja di luar goa.
Pada saat itu, Yo Wan dan Hwat Ki berlari-lari menghampiri Bun Hui. Dua orang muda ini tadinya bersama Cui Kim dan Cui Sian yang saling bertemu sesudah mereka berhasil mengundurkan para bajak laut. Akhirnya Yo Wan mengajak Hwat Ki untuk membantu Bun Hui, sedangkan Cui Sian mengajak Cui Kim untuk mengejar ke lain jurusan sambil mencari Swan Bu yang belum tampak.
Pada waktu Yo Wan dan Hwat Ki sampai di tempat itu, Bun Hui sudah mulai meloncat memasuki goa setelah dia memerintahkan anak buahnya menjaga di luar.
"Bun-lote! Mau ke mana kau?" Yo Wan berteriak heran.
Akan tetapi Bun Hui yang khawatir kalau-kalau Yo Wan dan Hwat Ki akan merintanginya jika mendengar bahwa Yosiko tertawan di dalam dan hanya dia seorang diri yang boleh masuk, tidak mempedulikan seruan ini dan terus melompat ke dalam.
Yo Wan bukan seorang sembrono. Segera dia menghampiri seorang kepala regu dan bertanya apa maksudnya semua itu.
"Siauw-ciangkun masuk goa untuk menolong nona Yosiko yang menjadi tawanan bajak!" Orang itu menerangkan cepat. "Orang lain tak boleh masuk..."
Yo Wan cepat melompat ke depan goa, lalu berteriak, "Bun-lote! Kembalilah cepat, kau terjebak...!"
Akan tetapi terlambat sudah. Terdengar suara keras dan dari sebelah atas di dalam goa itu mendadak runtuhlah batu-batu karang yang besar dan berat menutupi mulut goa di mana tadi Bun Hui berlari masuk! Debu mengebul tinggi keluar dari goa disertai pecahan-pecahan batu yang berhamburan ke sana ke mari.
Yo Wan menggerakkan kakinya melompat keluar sehingga terhindar dari hujan batu kecil yang hancur beterbangan tertimpa batu karang besar dari atas itu.
Selagi Yo Wan, Hwat Ki dan para perajurit tertegun dan gelisah, tiba-tiba terdengar suara nyaring dari belakang, "Apa yang terjadi? Mana Yosiko anakku?"
Ketika Yo Wan menengok, ternyata yang datang ini adalah wanita setengah tua yang pernah menguji kepandaiannya, yaitu Tan Loan Ki, ibu dari Yosiko. Wanita ini wajahnya pucat, agaknya sudah mendengar tentang perang antara pasukan pemerintah dengan anak buah bajak laut, dan kini mencari Yosiko.
"Dia tertawan oleh Bong Ji Kiu dan berada di dalam goa ini. Bun-ciangkun, komandan pasukan sedang berusaha menolongnya, akan tetapi dia terjebak ke dalam goa," kata Yo Wan.
Wanita itu mengeluarkan seruan marah keras sekali, lalu tiba-tiba ia lari dari tempat itu! Yo Wan tidak mempedulikannya lagi, lalu maju dan bersama Hwat Ki memimpin para prajurit untuk membongkar runtuhan batu-batu dari atas yang menutup goa…..
********************
Bagaimanakah Yosiko bisa tertawan oleh Bong Ji Kiu? Betulkah ia tertawan? Memang sebetulnya begitu.
Setelah kalah bertanding melawan Bun Hui, hati gadis ini marasa kagum sekali dan dia sudah mengambil keputusan untuk membubarkan orang-orangnya dan mencuci tangan, menyerah kepada Bun Hui yang bersikap baik terhadap dirinya.
Dia tidak pedulikan anak buahnya yang tampak tidak puas. Dengan kata-kata singkat ia berkata kepada Bong Ji Kiu dan yang lain-lain,
"Aku lelah sekali. Biarlah malam ini aku mengaso dan besok pagi kau kumpulkan semua kawan, aku mau bicara penting sekali. Jangan bergerak dan jauhkan diri dari pasukan kota raja agar tidak terjadi bentrokan."
Yang kelihatan tidak puas sekali adalah Bong Ji Kiu. Adik kandungnya sudah kehilangan lengan kanan dan kini pemimpin ini tampaknya tidak mempedulikan, bahkan tadi dalam pertandingan kelihatan mengalah terhadap musuh!
Malam itu Yosiko tidur di dalam pondoknya, bersama Siu Bi. Gadis ini tak dapat tidur, apa lagi ketika ia tadi mendengar dari Yosiko tentang Swan Bu yang masih berada bersama pasukan kota raja. Bahkan Yosiko memuji-muji Swan Bu dan juga menceritakan betapa pemuda buntung itu dengan hebatnya sudah membuntungi lengan kanan Bong Kwan yang menghinanya.
"Pilihanmu tak keliru, Siu Bi. Putera Pendekar Buta itu hebat. Akan tetapi, Bun-ciangkun lebih hebat. Mereka memang orang-orang yang mengagumkan," demikian kata Yosiko menutup ceritanya sebelum gadis kepala bajak itu pulas.
Siu Bi tidak dapat pulas, hatinya gelisah. Mungkin sekali kekasihnya akan salah sangka, mengira bahwa dia sekarang menjadi bajak pula membantu Yosiko. Padahal ia bersama Yosiko karena tadinya hendak bersama-sama memusuhi Cui Sian. Aku harus pergi dari sini, pikirnya. Tidak ada gunanya lagi berkumpul dengan Yosiko.
Tiba-tiba saja Siu Bi mencium sesuatu yang harum sekali. la menjadi curiga dan cepat ia mengerahkan sinkang menahan nafas. Dilihatnya Yosiko bernapas panjang dan tenang dalam tidurnya.
Ada asap kekuningan memasuki kamar itu dari celah-celah dinding. Siu Bi makin curiga. Dengan masih menahan napasnya, ia mengguncang-guncang tubuh Yosiko. Akan tetapi alangkah heran dan kagetnya ketika ia melihat Yosiko membuka sedikit matanya akan tetapi gadis itu lemas dan tidak mampu bangun.
"Asap beracun!" bisik Siu Bi kaget.
Cepat ia mencabut pedangnya dan meloncat turun dari pembaringan, terus menerjang ke arah pintu. Ternyata di depan pintu sudah menunggu banyak anak buah bajak, dipimpin oleh Bong Ji Kiu yang langsung menyerangnya dengan pengeroyokan.
Siu Bi memutar pedangnya, akan tetapi karena ia memang sudah mengambil keputusan untuk pergi dari tempat itu, sesudah berhasil merobohkan dua orang pengeroyok, ia lalu melompat ke dalam gelap, terus melarikan diri. Kemudian dia mendengar keributan dan perang tanding antara bajak-bajak laut melawan pasukan pemerintah di dalam hutan itu. la tetap bersembunyi.
Ada pun Yosiko yang sudah menjadi korban asap beracun itu, sama sekali tidak dapat melawan ketika Bong Ji Kiu membelenggu dan memanggulnya pergi. Andai kata gadis ini tidak berada dalam keadaan tidur pulas, seperti halnya Siu Bi, tentu ia takkan menjadi korban. Akan tetapi dalam keadaan pulas, ia telah menyedot asap beracun dan terbius dalam keadaan setengah pingsan.
Ketika melihat anak buahnya terdesak hebat dan banyak yang tewas, akhirnya Bong Ji Kiu maklum bahwa pihaknya akan kalah. Maka dia lalu menibawa Yosiko lari ke dalam goa rahasia dan berhasil menjebak masuk Bun Hui. Dia hendak menggunakan Bun Hui dan Yosiko untuk menjadi jaminan menyelamatkan diri.
Sementara itu, Swan Bu yang lebih dulu menyerbu ke daerah musuh dalam usahanya mencari Siu Bi, menjadi gelisah karena dia tidak melihat gadis itu di antara para bajak. Juga dia tidak melihat Yosiko. Pemuda ini mengamuk dan setiap orang bajak yang berani menghadangnya tentu roboh dengan sekali gerakan.
Banyak sudah dia merobohkan anak buah bajak, menangkap mereka dan bertanya di mana adanya kekasihnya, Siu Bi. Akan tetapi para bajak itu tidak ada yang tahu, atau tidak ada yang mau memberi tahu sehingga Swan Bu menjadi makin bingung.
Akhirnya dia dikepung oleh belasan orang bajak yang dipimpin oleh kepala bajak Yauw Leng yang bertubuh tinggi besar dan memegang sepasang pedang. Yauw Leng kemarin ikut dengan rombongan Yosiko, oleh karena itu dia mengenal pemuda buntung ini yang kemarin telah membuntungi lengan kanan temannya, Bong Kwan. Maka melihat pemuda ini, marahlah Yauw Leng dan ingin membalas dendam sahabatnya. la lalu mengerahkan anak buahnya mengepung.
Akan tetapi kasihan bajak-bajak kecil itu. Mereka seakan-akan merupakan serombongan laron yang menerjang api lilin. Api itu hanya bergoyang-goyang, sama sekali tak padam, akan tetapi laron-laron itu satu demi satu roboh!
Swan Bu berpikir bahwa sebagai pemimpin bajak, tentu orang tinggi besar yang kemarin datang bersama Yosiko ini sedikitnya tahu akan Siu Bi. Maka dia segera mempercepat permainan pedangnya, merobohkan para bajak dan dengan gerakan yang tak tersangka-sangka dia meloncat ke depan Yauw Leng yang tadinya hanya memberi komando dari jarak aman.
Bajak laut itu kaget luar biasa. Tak disangkanya pemuda buntung itu dengan mudahnya dapat menembus kepungan belasan orang anak buahnya dan tahu-tahu telah berkelebat di depannya. Dia cepat menggerakkan sepasang pedangnya menyerang, pedang kanan menyerang tubuh lawan, pedang kirinya menyerang bagian atas. Gerakannya cepat dan ganas bukan main, tenaganya besar sehingga sepasang pedangnya mengeluarkan bunyi berdesingan.
Akan tetapi bajak laut dengan sepasang pedang yang dahsyat itu, yang biasanya jarang menemukan lawan, sekarang menemui lawan yang ilmu kepandaiannya jauh lebih tinggi dari padanya. Walau pun Swan Bu sudah kehilangan lengan kirinya, namun kalau baru lawan setingkat bajak laut ini, biar pun ada sepuluh orang macam Yauw Leng kiranya dia takkan kalah.
Pedang Kim-seng-kiam berkelebat bagaikan halilintar menyambar, dari mulutnya keluar bentakan yang menggetarkan jantung, kemudian terdengar bunyi nyaring dan tahu-tahu sepasang pedang di tangan Yauw Leng telah patah-patah, disusul pekik kesakitan ketika bajak itu tertotok roboh oleh gagang pedang Swan Bu.
Para anak buah bajak berteriak-teriak menyerbu, namun sekali memutar pedang, empat orang bajak laut roboh. Kemudian Swan Bu menyambar tubuh Yauw Leng dan sekali dia berkelebat, lenyaplah dia dari depan para bajak laut yang menjadi kebingungan karena kehilangan pimpinan. Akhirnya mereka lari cerai-berai ketika melihat pasukan pemerintah sudah berlari-lari dari lain jurusan dengan senjata diacung-acungkan penuh ancaman!
"Hayo katakan, di mana adanya nona Siu Bi yang tadinya bersama ketuamu Yosiko? Lekas katakan yang sebenarnya, kalau tidak... akan kucincang hancur tubuhmu!" Swan Bu mengancam sesudah dia berada di tempat sunyi dan membanting tubuh bajak itu ke bawah.
Yauw Leng mengeluh panjang, lalu berkata, "Dia... dia tertawan oleh... Bong Kwan yang kemarin kau buntungi lengannya! Dia tentu akan tewas oleh Bong Kwan yang sakit hati kepadamu kalau tidak lekas kau tolong..."
"Di mana dia? Di mana bangsat itu dan di mana Siu Bi ditawan?" tanya Swan Bu dengan gugup.
"Apa gunanya aku memberi tahu kalau kau akhirnya toh membunuhku? Berjanjilah dulu bahwa kau tak akan membunuhku, baru aku mau menunjukkan tempatnya."
Karena amat khawatir akan keadaan Siu Bi, Swan Bu segera berkata, "Baiklah kau akan kubebaskan. Lekas tunjukkan tempatnya."
Swan Bu menotok bebas bajak itu dan menyeret tangannya diajak lari ke tempat yang ditunjukkan oleh Yauw Leng. Tibalah mereka di depan batu-batu karang di pinggir laut, di mana terdapat banyak sekali goa-goa batu karang yang liar. Kadang kala kalau ombak laut besar, air laut sampai di mulut goa-goa ini, sehingga batu-batu karang di tempat ini amat runcing, tajam dan licin.
"Di sinilah tadi malam Bong Kwan membawa Siu Bi. Kau carilah sendiri ke dalam goa itu, aku tidak berani," kata Yauw Leng.
Cepat bagaikan kilat menyambar, tangan kanan Swan Bu menotok Yauw Leng roboh. “Akan kubuktikan, kalau kau tidak membohong, kau kubebaskan. Akan tetapi awas kalau kau bohong!"
Dengan pedang di tangan, Swan Bu segera meloncat memasuki goa itu dengan gerakan tangkas. la meloncat ke atas batu-batu karang yang runcing, terus memasuki goa yang amat dalam itu.
"Siu Bi...!” la memanggil.
Tidak ada jawaban kecuali gema suaranya dari dalam goa. Swan Bu meloncat ke atas batu karang sebelah dalam lagi.
"Siu Bi...!"
Mendadak telinganya menangkap suara yang terdengar dari jauh.
"Swan Bu...!"
Itulah suara Siu Bi! Tidak salah lagi! Gemetar kaki Swan Bu mendengar suara ini, suara yang sulit diketahui dari mana datangnya, akan tetapi terpengaruh oleh keterangan Yauw Leng tadi, dia menduga bahwa suara itu pasti datang dari dalam goa ini. Dengan cepat dia meloncat terus, memasuki bagian yang gelap.
Tiba-tiba saja terdengar angin menyambar dari kanan kiri. Swan Bu terkejut, pedangnya bergerak cepat, diputar sedemikian rupa sehingga dia berhasil menangkis banyak anak panah yang beterbangan dari kanan kiri menyambarnya. Anak-anak panah itu runtuh ke bawah dan dia kembali meloncat ke depan. Sekali lagi dia menangkis sambaran senjata-senjata gelap yang terbang dari depan.
Mendadak terdengar suara keras dan asap hitam tebal memenuhi tempat itu. Swan Bu terbatuk-batuk dan cepat menahan napas, maklum bahwa asap itu beracun. Akan tetapi karena tempat itu gelap bukan main, saat meloncat ke atas batu karang di sebelah kanan yang kelihatan hanya hitam saja, dia pun tergelincir.
Pada saat itu pula dia merasa pundak kanannya sakit. Sebatang senjata piauw sudah menancap di pundaknya. Tak tertahan lagi Swan Bu roboh terguling, tubuhnya terbanting di atas batu-batu karang yang runcing dan tajam. Lalu sunyi senyap!
Bagaikan terbang cepatnya, Siu Bi datang berlari-lari. la tadi mendengar suara Swan Bu yang memanggil dirinya dan dia sudah menjawab dengan menyerukan nama pemuda itu sambil berlari ke arah datangnya suara. Pada saat dia tiba di depan goa, dari dalam goa berlompatan empat orang bajak yang tadi bersembunyi di situ dan menghujankan anak panah kepada Swan Bu. Siu Bi marah sekali. Melihat Yauw Leng menggeletak dalam keadaan tertotok, pedangnya menyambar dan putuslah leher kepala bajak itu.
Empat orang bajak menjadi marah, beramai mereka menyerbu. Namun Siu Bi memutar pedangnya dan hanya dalam beberapa menit saja empat orang bajak itu sudah roboh tanpa bernyawa lagi, tubuh mereka mandi darah!
"Swan Bu!” Siu Bi menjerit ke dalam goa.
Tiba-tiba dari dalam goa itu terdengar suara orang tertawa bergelak, menyeramkan suara ini.
"Ha-ha-ha, Manis! Kau mencari kekasihmu? Si buntung lengan? Ha-ha-ha, dia ada di sini. Masuklah!" Siu Bi terkejut. Itulah suara Bong Kwan yang katanya kemarin dibuntungi lengannya oleh Swan Bu. la tidak percaya dan memanggil lagi.
"Swan Bu...!"
"Ha-ha-ha, kau tidak percaya? Lihat, apakah ini?"
Dari dalam goa itu lalu melayang sebatang pedang yang mengkilap putih, menyambar ke arah Siu Bi. Dengan amat cekatan Siu Bi menyambar pedang itu dengan tangan kirinya. Tangannya menggigil. Itulah pedang Kim-seng-kiam, pedang kekasihnya!
"Swan Bu...!"
"Masuklah kalau hendak menemui kekasihmu!" kembali suara Bong Kwan mengejek.
Pada saat itu, Cui Sian dan Cui Kim datang berlari-lari. Melihat Siu Bi dengan sepasang pedang sedang berdiri di depan goa, timbullah kemarahan mereka berdua. Gadis liar ini telah bersekutu dengan Yosiko dan terang bahwa Yosiko sudah bersikap curang, sudah melanggar janji secara diam-diam melakukan penyerbuan yang akhirnya menewaskan banyak perajurit. Terang bahwa Siu Bi ini membantu penyerbuan Yosiko.
"Gadis jahat!" Cui Sian melompat maju hendak menyerang, tapi kemudian dia mengenal pedang Kim-seng-kiam di tangan Siu Bi.
"Ehh, itu pedang Kim-seng-kiam milik Swan Bu! Di mana dia? Kau apakan dia?!" Cui Sian membentak.
Muka Siu Bi pucat sekali. "Dia... dia... entah bagaimana keadaannya, tapi... dia... dia di dalam goa ini, ditawan...!" Sambil berkata demikian, Siu Bi lalu melompat memasuki goa dengan sepasang pedang di tangan.
"Swan Bu...!" Dia berseru lagi sambil berlari dan berloncatan dari batu karang ke batu karang sebelah dalam.
Mendadak terdengar ledakan keras dan asap hitam memenuhi tempat di sebelah dalam goa di mana Siu Bi sedang berdiri. Gadis ini menjadi limbung, pandang matanya gelap dan dalam keadaan matanya gelap dan dalam keadaan setengah sadar itu, tiba-tiba dia merasa dadanya sakit sekali. la pun terhuyung-huyung dan terbanting roboh di samping Swan Bu yang menggeletak pingsan di antara batu-batu karang.
"Swan Bu...," Siu Bi merintih lemah, merangkak dan merangkul pemuda itu.
Cui Sian dan Cui Kim terkejut sekali. Mereka lalu meloncat masuk pula dengan pedang terhunus, bergerak hati-hati sekali. Cui Sian di depan, Cui Kim di belakangnya.
"Mundur...!" Ciui Sian berteriak sambil melompat keluar lagi ketika dia mencium bau yang memuakkan, bau asap hitam yang masih tergantung tebal di dalam goa. Terpaksa dua orang gadis ini melompat keluar lagi dan berdiri bingung.
Tiba-tiba berkelebat bayangan dan tahu-tahu di depan goa itu sudah berdiri sepasang suami isteri yang gagah perkasa. Mereka ini bukan lain adalah Pendekar Buta sendiri bersama isterinya. Kedatangan mereka ini sebetulnya bersama Tan Loan Ki.
Seperti kita ketahui, Tan Loan Ki mencari Pendekar Buta untuk memaksa pendekar ini menjodohkan muridnya, Yo Wan dengan puterinya, Yosiko. Mendengar permintaan yang aneh ini, Pendekar Buta yang kebetulan bertemu di jalan dengan Tan Loan Ki sepulang mereka dari Thai-san, segera ikut dengan wanita aneh itu.
Perjalanan dilakukan cepat bukan main karena biar pun sudah setengah tua, Tan Loan Ki masih berwatak keras dan tidak mau kalah. Maka dia seakan-akan mengajak suami isteri dari Liong-thouw-san itu berlomba adu lari cepat!
Setibanya di daerah Po-hai, melihat kekacauan dan peperangan, Tan Loan Ki merasa khawatir sekali dan cepat-cepat dia mencari puterinya sehingga dia bertemu Yo Wan di depan goa di mana puterinya tertawan. Sedangkan Pendekar Buta dan isterinya, sudah mendengar keterangan dari para perajurit bahwa Swan Bu putera mereka juga berada di situ, malah ikut bertempur. Atas petunjuk para prajurit inilah mereka berdua mencari dan akhirnya mereka bertemu dengan Cui Sian dan Cui Kim yang sedang berloncatan keluar dari dalam goa yang penuh asap hitam beracun!
"Cui Sian... apa yang terjadi? Apakah kau melihat Swan Bu?" tanya Hui Kauw, isteri Pendekar Buta, tak sabar lagi.
"Saya khawatir... Swan Bu berada di dalarn goa... dan Siu Bi baru saja meloncat masuk untuk mencarinya, akan tetapi agaknya... agaknya dia mengalami kecelakaan. Goa ini penuh asap hitam beracun..."
"Ahhh...!" Hui Kauw mencabut pedangnya dan bergerak hendak meloncat masuk, akan tetapi cepat Kwa Kun Hong si Pendekar Buta menyambar lengan isterinya.
"Tunggu! Biarlah aku yang masuk!" katanya dan sebelum isterinya sempat membantah, tubuhnya sudah bertindak ke depan, dengan hati-hati sekali kakinya melangkah masuk, meraba-raba dengan kedua kakinya. Segera dia mencium bau asap hitam yang beracun.
"Bahan ledak berbahaya..." katanya perlahan.
Pendekar Buta kemudian menggerak-gerakkan kedua tangannya, mendorong ke dalam goa. Asap hitam itu yang tadinya mengambang di dalam goa menjadi buyar, terdorong oleh angin pukulan dahsyat yang memenuhi goa. Karena dorongan ini, asap itu segera terbang keluar goa dan sebentar saja habislah asap hitam itu.
Lalu dari dalam goa menyambar senjata-senjata rahasia piauw, bagaikan hujan lebatnya. Namun, hanya dengan gerakan kedua tangannya yang mengeluarkan angin pukulan luar biasa, semua piauw itu terpental, ada pula yang membalik dan menyambar lebih cepat lagi ke dalam goa. Terdengar pekik kesakitan ketika piauw-piauw beracun itu menyambar tubuh Bong Kwan sendiri yang segera terjungkal dari atas batu karang di sudut goa dan tewas seketika itu juga.
Pada saat itu, matahari telah naik tinggi dan sinarnya memasuki goa. Hui Kauw, Cui Sian dan Cui Kim sudah berani memasuki goa setelah asap hitam itu buyar semua.
"Swan Bu...!" Hui Kauw menjerit ketika melihat puteranya yang sekarang sudah buntung lengannya itu menggeletak bagaikan mayat, dipeluki oleh Siu Bi yang tubuhnya mandi darah.
Sekali lagi Kun Hong mencegah isterinya, malah dia segera berjongkok dan memeriksa puteranya dengan rabaan tangannya. Hati lega karena luka pada pundak puteranya tidak berbahaya. Swan Bu hanya pingsan karena ketika tadi terguling, kepalanya tertumbuk oleh batu. Hanya keadaan Siu Bi yang payah. Ketika Kun Hong memeriksanya sebentar, pendekar ini mengerutkan keningnya.
"Biarkan dia sebentar...," katanya, hatinya penuh keharuan. Tiga batang piauw beracun yang menancap di dada Siu Bi tak mungkin dapat dicegah pengaruhnya lagi.
"Swan Bu...," Siu Bi berbisik, tetap merangkul leher pemuda itu erat-erat.
"Swan Bu... aku hanya punya engkau..."
Ucapan ini terdengar gemetar dan lemah, mendatangkan rasa haru pada mereka yang menyaksikan dan mendengar. Mata gadis itu penuh air mata, akan tetapi sinarnya sudah redup. Jari-jari tangannya dengan lemah meraba-raba muka Swan Bu yang masih rebah pingsan.
"Swan Bu... aku tidak punya apa-apa lagi... hanya ingin punya engkau... masa tidak boleh...? Swan Bu... kenapa diam saja...? Kau marah kepadaku? Swan Bu... ah, kau... kau terluka... kau mati? Aku pun ikut... Swan Bu... aku ikut!" Gadis itu lalu berkelojotan, menjerit-jerit, "Aku ikut! Aku ikut!"
Pelukannya mengeras, akan tetapi hanya sebentar. Tubuhnya lalu menjadi lemas dan kata-kata terakhir yang keluar dari bibirnya hanya helaan napas dan bisikan, "Swan Bu kekasihku... aku... ikut..."
Terdengar sedu-sedan dari kerongkongan Hui Kauw yang memeluk dua tubuh itu, tubuh Siu Bi yang sudah tak bernyawa lagi dan tubuh Swan Bu yang masih pingsan. Juga Cui Sian menangis terisak-isak, ingat betapa tadinya ia membenci Siu Bi. Baru kini dia sadar betapa Siu Bi patut dikasihani, seorang gadis yatim piatu yang hidup sebatang kara di dunia ini, tidak punya apa-apa, tidak punya orang yang dikasihinya, tidak punya harapan. Sekali lagi ia sadar betapa benar pendapat kekasihnya, Yo Wan. Ada pun Cui Kim berdiri bengong, air matanya juga membasahi pipinya.
"Sudahlah, mari kita angkat keluar mereka. Swan Bu perlu diobati," kata Pendekar Buta.
Hui Kauw memondong tubuh puteranya, Cui Sian memondong mayat Siu Bi dan mereka keluar dari goa itu, terus menuju ke perkemahan di dalam hutan. Di sepanjang jalan Hui Kauw menangis sesunggukan, menangisi puteranya yang sudah kehilangan lengan kiri, dan menangisi Siu Bi yang betapa pun juga sampai di akhir hidupnya membuktikan cinta kasih dan pengorbanan yang besar kepada Swan Bu.
Hanya Pendekar Buta yang berjalan dengan muka tunduk itu diam-diam berterima kasih kepada Tuhan bahwa Tuhan sudah mengatur sedemikian rupa demi kebaikan. Memang sebaiknya begini. la tahu bahwa puteranya mencintai Siu Bi, tetapi dia tahu pula bahwa demi kebenaran, demi menjaga kerukunan keluarga, demi mencuci bersih nama serta kehormatan keluarga Raja Pedang, Swan Bu harus berjodoh dengan Lee Si.
Dengan pengerahan tenaga para prajurit, dan dia sendiri pun menggunakan kepandaian dirinya untuk menggulingkan batu-batu yang besar dan berat, akhirnya sejam kemudian Yo Wan berhasil membongkar batu-batu karang yang tadi telah menutupi goa. Cepat dia menerjang masuk dan apa yang dia lihat?
Tempat itu kini sudah terang, diterangi oleh dua buah obor yang dipasang di kanan kiri. Di atas sebuah batu karang halus tampak duduk seorang wanita yang bukan lain adalah Tan Loan Ki, duduk sambil tersenyum-senyum. Di depannya berlutut dua orang yang bergandeng tangan, Bun Hui dan Yosiko! Ada pun di sudut ruangan goa itu menggeletak mayat si cambang bauk Bong Ji Kiu, lehernya putus! Yo Wan berdiri tertegun, namun hatinya merasa lega.
Apakah yang terjadi? Kiranya pada waktu Bun Hui memasuki goa itu, Bong Ji Kiu cepat menggerakkan sebuah alat rahasia sehingga runtuhlah batu-batu dari atas menutupi goa. Sebagian dari batu-batu itu menimpa Bun Hui yang cepat melompat ke dalam akan tetapi karena keadaan gelap, dia tidak dapat menghindarkan serangan Bong Ji Kiu.
Sambaran golok Bong Ji Kiu melukai pahanya dan sebuah tendangan tepat mengenai dadanya membuat Bun Hui terpelanting dan roboh tidak dapat bangun pula. Kemudian Bong Ji Kiu menyalakan obor dan dengan hati penuh kegelisahan Bun Hui kini melihat betapa Yosiko benar benar berada di situ, terbelenggu kaki tangannya!
"Ha-ha-ha, kau berani datang untuk melihat kekasihmu? Kau mencinta Yosiko, bukan? Ha-ha, bagus sekali. Kau saksikanlah betapa nona manis ini menjadi isteriku, kemudian kau mampus! Kau kira akan dapat mengalahkan Kim-bwee-liong Bong Ji Kiu? Ha-ha-ha!" Kemudian secara kasar kepala bajak ini memeluk dan menciumi Yosiko.
"Bangsat! Kalau kau memang laki-laki, jangan mengganggu wanita! Hayo kita bertanding secara laki-laki, jangan menggunakan kecurangan!" Bun Hui memaki sambil merangkak bangun dengan susah payah. Dia berhasil berdiri sesudah mengambil pedangnya, lalu meloncat menggunakan sebelah kaki menyerang kepala bajak itu.
Sambil tertawa Bong Ji Kiu menangkis dengan goloknya. Tangkisannya keras sekali dan karena Bun Hui masih pening, luka di pahanya parah, serta dadanya masih membuat napasnya sesak, tangkisannya ini saja cukup membuat pedangnya terlepas dan kembali dia terguling roboh karena tendangan lawan.
"Ha-ha-ha, macam kau berani melawan aku?" Bong Ji Kiu melangkah maju dengan golok di tangan.
"Bong Ji Kiu!" Yosiko berseru keras. "Jika kau bunuh dia, aku bersumpah akan mencari kesempatan menghancurkan kepalamu sampai lumat!"
"Ha-ha-ha, kiranya kau benar-benar mencinta bocah ini? Ahh, Yosiko, kau benar-benar aneh sekali dan mengecewakan hati. Sepatutnya kau, anak bajak laut, berjodoh dengan bajak laut pula. Akan tetapi kau memang tak kenal budi, tak menghargai kawan sendiri. Dulu Shatoku, murid ayahmu sendiri tewas di tangan Tan Hwat Ki dan kau tidak peduli, padahal Shatoku amat mencintamu. Juga kau tak mau pedulikan lamaranku, sebaliknya kau malah mencinta bocah ini, padahal dia ini adalah komandan pasukan kerajaan yang sengaja datang hendak membasmi kita! Ahh, di mana kegagahan ayahmu? Mana rasa setia kawanmu?" Setelah berkata demikian, Bong Ji Kiu menggunakan sehelai tambang untuk mengikat kaki tangan Bun Hui yang sudah tidak berdaya lagi kemudian dia meraih hendak memeluk Yosiko lagi untuk menyiksa hati Bun Hui.
"Jangan sentuh aku! Dengar, Bong Ji Kiu, aku hanya bersedia menjadi isterimu kalau kau membebaskan Bun Hui dan jangan menyentuhku di depannya. Bila kau tetap melanggar pantangan ini, walau pun kau akan memaksaku, pasti akan tiba waktunya aku merobek dadamu dan mengeluarkan jantungmu!"
"Ha-ha-ha, baiklah, Manisku. Akan tetapi tidak bisa aku membebaskan dia sekarang. Dia harus ikut dengan kita ke pantai dan ke perahu. Aku akan membawamu lari ke pulau selatan di mana kita dapat membuat sarang baru yang aman, sebagai suami isteri bajak laut. Dia harus menjamin keselamatan kita sampai kita berlayar, barulah dia kubebaskan. Mari, mari kita pergi, Manisku!"
Bong Ji Kiu memondong tubuh Yosiko dan menyeret tubuh Bun Hui melalui terowongan yang kasar sehingga dapat dibayangkan betapa tersiksanya Bun Hui.
Diam-diam Yosiko cemas sekali. Terowongan rahasia ini adalah peninggalan kakeknya dahulu, tak ada yang tahu kecuali dia dan ibunya, dan anak buahnya. Agaknya Kamatari telah membocorkan rahasia ini sehingga kini digunakan oleh Bong Ji Kiu untuk menjebak Bun Hui dan untuk melarikan diri melalui terowongan rahasia. Kalau sampai Bong Ji Kiu dapat menggunakan Bun Hui sebagai jaminan, agaknya apa yang dikatakan bajak ini akan terlaksana!
Akan tetapi, tiba-tiba terdengar suara ketawa yang menyeramkan. Bong Ji Kiu terkejut bukan main sehingga pondongannya terlepas dan tubuh Yosiko terguling ke dekat tubuh Bun Hui. Bajak laut itu menghunus golok besarnya dan membentak,
"Siluman dari mana berani mengganggu Kim-bwee-liong?"
"Bong Ji Kiu, kematian sudah di depan mata masih berani berlagak?"
Suara itu terdengar aneh karena bercampur dengan kumandangnya, seperti suara yang datang dari alam lain.
"Keluarlah dan makan golokku ini...!" Tiba-tiba suara Bong Ji Kiu terhenti dan matanya terbelalak lebar ketika dia melihat bayangan berkelebat dan tahu-tahu Tan Loan Ki telah berdiri di depannya dengan pedang di tangan!
"Toa... Toanio...! Saya terpaksa menangkap Yosiko karena dia berkhianat dan bersekutu dengan pasukan kota raja, dan... dan ini... komandan pasukan juga sudah saya… saya tangkap..."
"Setan kaul Keparat! Anakku boleh memilih jodoh siapa pun juga, peduli apa dengan kau? Hayo berlutut menerima kematian!"
Menggigil sepasang kaki Bong Ji Kiu. “Tidak, Toanio... ini tidak adil! Aku... aku..." Akan tetapi terpaksa dia menghentikan kata-katanya.
Dengan amarah yang meluap-luap Tan Loan Ki sudah menerjangnya dengan serangan kilat. Terpaksa Bong Ji Kiu melawan dengan memutar goloknya. Terjadilah pertempuran mati-matian yang amat seru di dalam ruangan goa yang kini diterangi obor itu.
Bong Ji Kiu berlaku nekat, akan tetapi mana mungkin dia bisa menandingi Tan Loan Ki? Belum tiga puluh jurus, sambaran pedang merobek kulit lengan dan hampir membuntungi pergelangan tangannya sehingga golok besarnya terbang.
"Ti... tidak... Toanio... ampun...”
Bong Ji Kiu meloncat ke belakang dengan tubuh gemetaran dan muka pucat. Akan tetapi Tan Loan Ki menghampirinya dengan mata yang berapi-api dan langkah-langkah lambat sampai akhirnya Bong Ji Kiu tak dapat lari lagi karena punggungnya menyentuh dinding di sudut. Pedang Tan Loan Ki berkelebat, hanya tampak cahayanya dan tahu-tahu tanpa dapat sambat lagi Bong Ji Kiu terguling dengan kepala terpisah dari tubuh!
Tan Loan Ki cepat membebaskan dua orang muda itu dan dengan gembira sekali Yosiko menceritakan semuanya kepada ibunya.
"Ibu, aku memilih dia ini menjadi suamiku. Kalau tidak dijodohkan dengan Bun Hui, aku lebih baik mati! Ibu, hanya sekali ini permintaanku kepadamu, aku harap kau suka untuk mengabulkan."
"Hemmm... kau bocah aneh. Mula-mula Tan Hwat Ki, kemudian Yo Wan, dan sekarang Bun Hui komandan pasukan kota raja. Bagaimana ini?"
"Dulu aku tidak tahu, Ibu. Kukira hanya laki-laki yang dapat mengalahkan aku saja yang patut menjadi jodohku, tetapi setelah mendengarkan nasehat Yo Wan, dan mendengar pula penuturan Siu Bi, aku... aku tahu bahwa tanpa cinta tidak mungkin menjadi isteri orang. Dan aku... aku mencinta Bun Hui!"
Bukan main girang hati Bun Hui mendengar pengakuan ini, pengakuan yang begini terus terang, terbuka, membayangkan kejujuran dan kepolosan hati gadis ini. Yo Wan benar, pikirnya, gadis ini jujur dan baik, hanya liar karena pengaruh pendidikan dan lingkungan.
"Bun Hui, kau anak siapa?"
"Ibu, dia itu cucu ketua Kun-lun-pai, bukan sembarang pemuda!" Yosiko yang menjawab cepat.
"Ehhh?" Tan Loan Ki tercengang. "Kalau begitu, kau ini putera Bun Wan?"
"Betul, Bibi," jawab Bun Hui, girang dan heran bahwa ibu Yosiko ini kiranya mengenal ayahnya.
"Hemmm, dia juga baik dan boleh saja. Tapi... eh, Bun Hui, anakku mencintamu, apakah kau juga cinta kepadanya?"
"Tentu saja dia cinta kepadaku, Ibu, dia... dia membujukku untuk insyaf dan dia hendak membawaku ke Tai-goan...”
"Diam kau! Harus dia sendiri yang menjawab. Bagaimana, Bun Hui? Apakah kau benar mencinta Yosiko?"
"Saya... saya mencintanya, Bibi."
Yosiko meloncat dan memegang tangan Bun Hui, wajahnya berseri-seri gembira dan ia mengguncang-guncang lengan itu. "Betulkah itu, Bun Hui? Ahhh, alangkah bahagia dan leganya hatiku. Tadinya... tadinya kukira kau tidak mencintaiku... dan aku sudah khawatir sekali..."
Tan Loan Ki tertawa dan berkata, "Anak-anakku, aku girang melihat kalian bahagia. Bun Hui, kau tidak memberi hormat kepada ibu mertuamu?"
Bun Hui dengan muka merah, dengan tangan masih digandeng Yosiko, segera berlutut di depan wanita itu. Mereka berbahagia, tidak peduli akan suara hiruk-pikuk dari Yo Wan dan para prajurit yang membongkar batu-batu di depan goa.
Demikianlah, ketika akhirnya Yo Wan menerjang masuk dengan hati penuh kekhawatiran menyaksikan adegan yang tenteram bahagia, yang membuatnya bengong terlongong keheranan!
Bajak laut menjadi kocar-kacir setelah kehilangan pimpinan. Apa lagi ketika Tan Loan Ki dan Yosiko keluar dan menyerukan perintah agar mereka menyerah, sebagian besar di antara mereka lalu membuang senjata dan berlutut, menyerah.
Bun Hui cukup bijaksana untuk menyerahkan urusan mereka kepada Yosiko dan ibunya yang membubarkan Hek-san-pang dan perkumpulan bajak laut yang lain. Selanjutnya harta kekayaan yang ada oleh Yosiko dibagi-bagikan kepada mereka dengan peringatan agar mereka memulai hidup baru, jangan melakukan kejahatan lagi.
Ada pun Swan Bu setelah sadar dan melihat kekasihnya, Siu Bi, telah meninggal karena membelanya, menjadi berduka sekali. Akan tetapi sebagai seorang yang telah menerima gemblengan batin dari orang tuanya, apa lagi di situ terdapat pula Pendekar Buta yang menasehati dan menghiburnya, dia dapat menerima kenyataan pahit yang menimpa dan mendukakan hatinya.
Sejak saat itu, Swan Bu berubah menjadi seorang yang pendiam, seorang yang masak jiwanya, dan biar pun dia kehilangan lengan kiri dan kehilangan Siu Bi yang dikasihinya, dia mendapatkan pengalaman hidup yang membuatnya menjadi seorang yang kuat lahir batin.
Orang-orang gagah ini berpisahan dari daerah pantai Po-hai ketika para bajak laut sudah dibubarkan. Bun Hui kemudian memimpin sisa pasukannya ke kota raja, tentu saja selain membawa kemenangan lahir juga kemenangan batin, karena di sebelahnya turut pula Yosiko serta ibunya, sedangkan di dalam sakunya terdapat sebuah surat dari Pendekar Buta untuk ayahnya, surat yang membantu dan mengusulkan supaya Bun Wan dapat memperkenankan perjodohan antara Bun Hui dan Yosiko.
Tan Hwat Ki bersama sumoi-nya, yang masing-masing menyimpan rahasia kebahagiaan sendiri, yang dalam perjalanan kali ini telah menemukan cinta kasih mereka satu kepada yang lain, buru-buru kembali ke Lu-liang-san dengan pengharapan besar mendapat restu ayah dan guru mereka, dengan lamunan dan cita-cita yang muluk-muluk!
Pendekar Buta bersama isteri serta puteranya kembali ke Liong-thouw-san. Tentu saja Swan Bu membawa keperihan hati karena dia harus meninggalkan Siu Bi di dalam gundukan tanah kuburan di dalam hutan tepi pantai.
la merasa kasihan sekali kepada kekasihnya ini. Sampai mati pun harus bersunyi sendiri, dikubur di tempat sunyi. la baru mau pergi bersama ayah bundanya setelah menemani kuburan Siu Bi semalam suntuk, di mana dia duduk bersemedhi di dekat gundukan tanah kuburan baru itu.
Masih terngiang di telinganya ketika dia mulai sadar, dia sempat mendengar jeritan Siu Bi berkali-kali, "Swan Bu, aku ikut... aku ikut...!"
Kenangan ini akhirnya membesarkan hatinya karena ketika dia melakukan perjalanan pulang, dia merasa seakan-akan Siu Bi benar-benar mengikutinya. Biar pun bukan Siu Bi dalam kenyataan, atau bayangannya, akan tetapi setidaknya cinta kasih gadis itu selalu mengikutinya!
Sebelum pergi, Pendekar Buta memanggil Yo Wan, lalu berkata di depan Cui Sian yang menundukkan mukanya karena jengah. "Muridku, Yo Wan. Sebagai wakil orang tuamu, aku telah membicarakan urusan perjodohanmu dengan Tan Beng San locianpwe. Beliau berkenan menjodohkan Cui Sian denganmu. Segala hal sudah kami rundingkan dengan masak-masak, dan sekarang, kau ajaklah calon isterimu itu kembali ke Thai-san. Kelak pada saat pernikahan kalian, sudah pasti aku akan datang ke sana menghadirinya. Yo Wan, aku merasa bangga kepadamu dan aku sungguh-sungguh merasa bahagia bahwa dahulu aku ikut mendidikmu sehingga sekarang kau menjadi seorang yang benar-benar tak mengecewakan. Arwah ibumu akan ikut bahagia, muridku."
Yo Wan tak dapat menjawab, hanya berlutut dan memeluk kaki gurunya itu dengan air mata bertitik yang cepat dihapusnya. "Banyak terima kasih atas budi kebaikan Suhu dan Subo. Semoga Thian yang akan membalasnya kalau teecu tidak mampu membalas."
Maka berangkatlah Yo Wan dan Cui Sian berdua, sebagai orang-orang terakhir yang meninggalkan tempat itu menuju ke Thai-san, tentu saja dengan hati penuh kebahagiaan dan perjalanan itu menjadi perjalanan yang paling menyenangkan selama hidup mereka, karena bukankah di depan mereka terbentang masa depan yang penuh madu?
Memang bagi orang muda tidak ada kebahagiaan yang lebih besar selain kebahagiaan menghadapi hidup baru berdampingan, membina rumah tangga bersama, mendayung biduk rumah tangga mengarungi samudera hidup, menempuh gelombang dan ombak samudera bersama-sama, menuju pantai cita-cita yaitu keluarga bahagia. Susah sama diderita, senang sama dirasa, berat sama dipikul, ringan sama dijinjing.
Biarlah kita mendoakan mereka itu, Bun Hui dan Yosiko, Hwat Ki dan Cui Kim, Swan Bu dan Lee Si, serta Yo Wan dan Cui Sian, semoga orang-orang muda yang gagah perkasa, pengabdi kebenaran dan keadilan itu, akan menjadi pasangan suami isteri yang rukun dan menurunkan manusia-manusia yang selalu akan sadar dan ingat.
Sadar sebagai manusia yang harus bertindak dengan dasar peri kemanusiaan, dan ingat selalu pada Yang Maha Kuasa. Hanya manusia yang sadar dan ingat demikianlah yang akan menjadi manusia-manusia berguna bagi dunia dan akhirat…..
T A M A T