Jaka Lola Jilid 16

Melihat sikap ini, Lo-ciangkun bukanlah seorang yang sangat kejam dan menggunakan kedudukannya bertindak sewenang-wenang. Buktinya masih memperlihatkan kesabaran terhadap seorang pemuda seperti dia, padahal menurut pendapat umum, sikapnya tadi itu sudah tentu merupakan pelanggaran yang tidak boleh diampuni lagi terhadap seorang pembesar pemerintah.

"Lo-ciangkun, para lopek dari Hwa-i Kaipang sudah berusaha untuk memberi peringatan kepadamu bahwa sepak terjangmu ini sudah melanggar keadilan, akan tetapi kau malah menggunakan kedudukanmu untuk menindas mereka dengan alasan memberontak. Kau insyaflah dan ubahlah peraturan yang tidak adil itu sebelum terlambat!”.

“Orang muda sombong!" teriak seorang di antara empat jagoan tinggi besar itu.

Tanpa perlu komando lagi, empat orang itu sudah menerjang maju dengan golok besar di tangan. Jelas bahwa mereka ini hendak membunuh Swan Bu dan si pengemis tua.

"Lopek, jangan ikut-ikut!" kata Swan Bu.

Mendengar ini, Toan-kiam Lo-kai enak-enakan duduk saja menonton dan tubuh Swan Bu berkelebat cepat ke depan didahului gulungan sinar perak dan... keempat orang itu roboh malang-melintang, golok mereka terbabat buntung dan lengan mereka tergurat pedang sampai berdarah, sedangkan dada mereka masing-masing sudah tercium ujung sepatu Swan Bu.

"Anjing-anjing tukang menyiksa orang!" Toan-kiam Lo-kai berkata sambil tertawa. "Tidak lekas mengempit ekor dan lari, apa mau tunggu digebuk lagi?"

Empat orang itu masih belum kehilangan rasa kagetnya. Mereka terbelalak memandang ke arah Swan Bu, kemudian lari tunggang-langgang ke luar!

"Lo-ciangkun, kau saksikan sendiri betapa aku bertekad untuk membela pendirianku, bila perlu dengan pertumpahan darah, karena yang kulakukan ini adalah demi nasib ribuan orang yang tidak berdosa," kata Swan Bu, berdiri tegak dan gagah.

Para pengawal yang berdiri di dekat dinding mengurung tempat itu, hanya terbelalak dan tidak berani berkutik, menanti komando komandan mereka.

Akan tetapi Lo-ciangkun tidak memberi komando itu, malah menarik nafas panjang, lalu menggerakkan tangan berkata, "Mereka sudah pergi, sekarang boleh kita bicara. Orang muda, kau ini siapakah dan hak apakah yang kau miliki untuk mencampuri tugasku?"

"Aku Kwa Swan Bu, hanya rakyat biasa. Kau seorang pembesar yang digaji dengan uang hasil keringat rakyat, karena itu setiap orang berhak untuk menilai dan mencela tugasmu jika kau menyeleweng, ketahuilah bahwa pada puluhan tahun yang lalu, nenek moyang dan ayahku berjuang mati-matian membela negara dan rakyat, bahkan ayahku ikut pula membantu perjuangan kaisar sekarang, namun tidak murka akan kedudukan. Pamanku seorang pejuang yang besar jasanya, sekarang menjadi Jenderal Bun yang terkenal jujur dan berwibawa sebagai jaksa agung di Tai-goan. Sedangkan kau ini, mungkin tak pernah ikut berjuang, tetapi setelah sekarang menemukan pangkat sedikit saja lalu kau gunakan untuk memeras rakyat jelata, berlaku sewenang-wenang mengandalkan kedudukanmu. Hemmm, mana bisa aku mendiamkan saja kau membunuhi rakyat yang tidak berdosa?"

Pucat wajah Lo-ciangkun. Tentu saja dia amat mengenal siapa adanya Bun-goanswe di Tai-goan. Ternyata pemuda perkasa ini adalah keponakan jenderal itu! Dengan tubuh lemas dia menjatuhkan diri duduk di atas bangkunya.

"Siapa membunuh ? Mereka itu disuruh bekerja, dijamin..."

"Omong kosong!" Kini Toan-kiam Lo-kai yang bicara. "Mereka meninggalkan anak isteri yang harus makan setiap hari. Kalau mereka dibawa pergi, anak isterinya harus makan apa? Pula, di tempat kerja mereka hampir tidak diberi makan."

"Sudahlah... sudahlah, semua itu terjadi akibat terpaksa..." akhirnya Lo-ciangkun berkata dengan muka pucat. "Bukan salahku... bukan salahku...." Dia menutupi mukanya seperti orang ketakutan.

"Lo-ciangkun, tidak perlu main sandiwara lagi, apa artinya semua ini?" Swan Bu berkata, keningnya berkerut.

"Kau lihat empat orang tadi... mereka bukanlah orangku, mereka adalah orang-orang... dia..."

"Dia siapa?" Swan Bu mendesak, terheran-heran melihat pembesar itu begitu ketakutan.

"Peraturan dari kota raja sudah cukup adil. Memang yang dapat menyumbangkan harta boleh dibebaskan dari kerja suka rela, dan uang itu diperlukan untuk menjamin para suka relawan serta menjamin keluarga mereka yang ditinggalkan selama tiga bulan sebelum diganti dengan rombongan lain. Semua sudah diatur, orang yang sakit tak akan dipaksa, hanya yang sehat dan tidak mempunyai pekerjaan penting... tapi... tapi... di daerah ini... dikuasai dia... kami terpaksa menyerahkan uang tebusan, bila tidak... ahhhh!" Pembesar itu tiba-tiba roboh terguling.

Swan Bu cepat-cepat melompat ke luar melalui sebuah jendela sambil menendang daun jendela. Pedangnya merupakan gulungan sinar putih menerjang keluar dan terdengarlah jeritan di luar jendela. Seorang bermuka kuning yang kecil pendek roboh mandi darah.

"Siapakah kau?! Mengapa menyerang Lo-ciangkun dengan jarum beracun?" Swan Bu membentak,

"Aku... aku... atas perintah... Toanio...!" Orang itu berhenti bicara dan nafasnya putus.

Kiranya terjangan Swan Bu tadi tidak saja melukai lehernya, akan tetapi juga beberapa batang jarum beracun yang tadi sudah meluncur masuk, kena ditangkis pedangnya lalu membalik dan melukai si penyambit sendiri.

Geger di ruangan itu. Lo-Ciangkun rebah dengan muka biru dan nafas putus!

Toan-kiam Lo-kai berkata lirih, "Nah, agaknya Ang-jiu Toanio dan orang-orangnya yang tadi turun tangan. Siauwhiap, terang bahwa para pembesar itu diperas dan dipaksa oleh Ang-jiu Toanio. Sekarang, apa yang hendak kau lakukan?"

"Lopek, agaknya wanita yang bernama Ang-jiu Toanio itu memiliki banyak kaki tangan. Yang menyambit jarum itu tentulah kaki tangannya yang tidak menghendaki Lo-ciangkun membuka rahasia. Lopek, harap kau suka kumpulkan kawan-kawanmu Hwa-i Kaipang dan kita menyerbu ke kuil itu. Biarkan aku menghadapi Ang-jiu Toanio dan kalau anak buahnya bergerak, kau dan teman-teman membasmi mereka."

Gembira wajah kakek itu. "Baik, Siauwhiap. Sedikitnya ada tujuh orang temanku di sini, cukup untuk membasmi setan-setan itu."

Demikianlah, pada petang hari itu juga Swan Bu melakukan perjalanan ke kuil di sebelah selatan kota setelah siang tadi dia menyelidiki tempat itu. Dan secara kebetulan sekali dia bertemu dengan Lee Si yang bermalam di kamar hotel.

Swan Bu terkejut sekali dan merasa heran mengapa hatinya menjadi tidak karuan ketika sepasang matanya bentrok dengan sepasang mata yang seperti mata burung hong itu. Beberapa kali dia menengok, sehingga akhirnya dia merasa malu kepada diri sendiri dan mempercepat langkahnya meninggalkan nona cantik jelita yang sedang berdiri di depan pintu rumah penginapan itu.

Dari gerak-gerik si nona dia dapat menduga bahwa gadis jelita itu tentulah bukan orang sembarangan. Mungkin seorang tamu rumah penginapan itu, dan melihat kebebasannya, tentu seorang wanita kang-ouw. Akan tetapi karena dia menghadapi urusan besar, Swan Bu mengusir bayangan nona itu dari ingatannya dan dia langsung menuju ke kuil tua yang berdiri sunyi di pinggir kota.

Setelah tiba di depan kuil yang sunyi itu, dia berhenti. la maklum bahwa di kanan kiri kuil, bersembunyi di balik pohon-pohon, terdapat Toan-kiam Lo-kai yang berjaga-jaga sambil menyembunyikan diri. Hati Swan Bu jadi meragu. Kuil itu sudah tua, kotor dan agaknya kosong.

Jangan-jangan Ang-jiu Toanio yang menjadi biang keladi penindasan di kota Kong-goan sudah melarikan diri. Tak mungkin, pikirnya. Wanita itu tentu memiliki kepandaian tinggi, sebelum bertanding melawannya mana mungkin mau lari?

Tempat itu menyeramkan, sunyi seperti kuburan akan tetapi tidak gelap karena berada di tempat terbuka sehingga matahari yang sudah hampir menyelam itu masih menerangi halaman depan. Halaman kuil tadinya tertutup pagar tembok yang tinggi, tetapi karena pagar tembok itu banyak yang runtuh, sekarang menjadi terbuka dan di sana-sini tampak ada pintu yang terbentuk dari tembok runtuh berlubang. Rumah tua yang menyeramkan, kotor dan sunyi, patutnya menjadi tempat tinggal siluman-siluman.

Tiba-tiba dari pintu yang butut itu keluarlah seorang wanita tua, wanita yang tersenyum-senyum dan sanggul rambutnya dihias oleh setangkai bunga merah. Wanita itu setibanya di halaman kuil berkata, suaranya penuh ejekan,

"Bocah she Kwa, kau masih berani datang ke sini? Lihatlah di sebelah kiri kuil di mana teman-temanmu sudah mendapat hukuman!"

Mendengar ini, Swan Bu terkejut, teringat akan Toan-kiam Lo-kai dan teman-temannya anggota Hwa-I Kaipang.

Dengan gerakan cepat dia melompat dan berlari ke arah kiri kuil dan... wajahnya berubah merah sekali. Nenek itu ternyata tidak membohong. Di pelataran pinggir itu tampak tujuh mayat bergelimpangan, di antaranya adalah Toan-kiam Lo-kai dan yang enam lagi jelas anggota Hwa-i Kaipang karena pakaian mereka semua penuh tambalan berkembang!

Dengan kemarahan memuncak Swan Bu lari kembali ke depan kuil, berdiri di luar tembok dan menghadap nenek yang masih berada di situ dari balik pecahan pagar tembok.

"Apakah kau yang bernama Ang-jiu Toanio?" tanya Swan Bu, suaranya ditekan supaya tidak terdengar menggigil saking marahnya. "Dan kaukah yang membunuh tujuh orang Hwa-i Kaipang itu?"

Nenek itu tersenyum, kembang merah di atas kepalanya bergoyang-goyang. "Dan kau Kwa Swan Bu putera Pendekar Buta Kwa Kun Hong, bukan? Hi-hik-hik, kebetulan sekali kita berjumpa di sini. Di sini aku disebut Ang-jiu Toanio, akan tetapi di tempatku aku adalah Ang-hwa Nio-nio, ketua Ang-hwa-pai, musuh besar ayahmu. Kau berani masuk ke sini dan mengadu kepandaian melawanku?"

Bila tadi Swan Bu sudah marah sekali, sekarang serasa meledak dadanya. Kiranya inilah orang yang mengumpulkan teman-teman untuk menyerbu Liong-thouw-san? Kebetulan sekali!

"Siapa yang takut padamu? Orang semacam kau inikah yang hendak menantang ayah? Ha-ha-ha-ha, nenek tua hampir mampus, tidak usah dengan ayah ibu, cukup dengan aku puteranya!"

Sekali menggerakkan kakinya, tubuh Swan Bu sudah melayang masuk dan menghadapi Ang-hwa Nio-nio yang sudah siap memasang kuda-kuda dengan sikap mengejek itu.

Pembaca tentu heran mengapa Ang-hwa Nio-nio, ketua Ang-hwa-pai di Ching-coa-to itu bisa berada di Kong-goan? Ini bukanlah hal kebetulan karena memang sengaja Ang-hwa Nio-nio beserta rombongannya datang ke Kong-goan ini untuk menyambut suheng-nya, Maharsi. Kedatangan Ang Mo-ko, bekas tokoh pengawal istana dari kaisar sebelumnya, juga ikut, demikian pula Ouwyang Lam dan Siu Bi.

Seperti kita ketahui, gadis ini menangis ketika ditinggalkan Si Jaka Lola Yo Wan setelah dia mengaku bahwa dia adalah puteri angkat The Sun. Dalam keadaan berduka ini dia diketemukan oleh Ang-hwa Nio-nio dan rombongannya yang tentu saja mempergunakan kesempatan bagus ini untuk membujuknya, kembali menggabungkan diri dengan mereka untuk menghadapi musuh besarnya, Pendekar Buta.

Tadinya Siu Bi menyandarkan harapannya pada bantuan Yo Wan, akan tetapi setelah Yo Wan ternyata adalah musuh besar ayah tirinya dan tidak mungkin mau membantunya, memang paling baik baginya adalah menggabungkan diri dengan rombongan Ang-hwa Nio-nio yang kuat.

Kong-goan, Ang-hwa Nio-nio dan rombongannya mengambil tempat di kuil tua itu karena memang di tempat itulah dia berjanji dalam pesannya kepada Maharsi untuk menyambut kedatangan suheng-nya dari barat ini. Dan tentu saja, untuk melayani segala keperluan mereka, Ang-hwa Nio-nio diikuti pula oleh serombongan anak buahnya yang cukup kuat.

Karena pada dasarnya memang penjahat, di Kong-goan Ang-hwa Nio-nio segera melihat kesempatan baik untuk mendapatkan uang banyak ketika datang pembesar dari kota raja untuk mengumpulkan orang yang dijadikan suka relawan yang pada masa itu dibutuhkan sekali untuk memperbaiki bangunan tembok besar dan saluran air.

Kong-goan terletak amat jauh dari kota raja, merupakan kota yang terpencil dan dengan kepandaiannya yang tinggi Ang-hwa Nio-nio mampu menguasai pembesar-pembesar itu, mengancam mereka untuk melakukan pemerasan dalam kesempatan mengumpulkan tenaga-tenaga kerja paksa. Mudah saja ia lakukan hal ini tanpa khawatir akan terganggu, sebab ia menaruh beberapa orang anak buahnya untuk ‘menjaga’ para pembesar yang bersangkutan, di antaranya Lo-ciangkun.

Tentu saja mula-mula dia mendapatkan tentangan hebat, namun sesudah banyak orang roboh oleh pukulan tangannya yang berubah merah, ia mendapat julukan Ang-jiu Toanio (Nyonya Besar Tangan Merah) dan tak seorang pun beran membantahnya lagi.

Akhirnya para pengemis Hwa-i Kaipang mendengar mengenai hal ini dan turun tangan. Akan tetapi mereka roboh pula di tangan Ang-jiu Toanio atau Ang-hwa Nio-nio bersama teman-temannya yang amat lihai itu.

Demikianlah ringkasan tentang kehadiran Ang-hwa Nio-nio di Kong-goan. Kita kembali ke depan kuil di mana Swan Bu sedang berhadapan dengan nenek itu.

Swan Bu maklum bahwa lawannya ini lihai, namun melihat nenek itu tidak menggunakan senjata, dia pun tak mau mengeluarkan Gin-seng-kiam yang tersimpan di balik jubahnya. Matanya yang tajam memandang ke arah kedua tangan nenek itu yang perlahan-lahan berubah merah ketika nenek itu mengerahkan Ang-see-ciang.

Swan Bu tidak menjadi gentar, dia telah mendengar banyak tentang Tangan Pasir Merah ini dari ayah bundanya dan karenanya ia pun maklum bagaimana harus menghadapinya. Cepat-cepat dia menyalurkan sinkang di tubuhnya dan ‘mengisi’ dua lengannya dengan tenaga lemas yang mengandung Im-kang hingga kedua tangannya menjadi lunak halus dan gerakannya mengeluarkan hawa dingin seperti es.

Akan tetapi sebelum nenek itu menyerangnya, Swan Bu mendengar ada gerakan orang di sebelah belakangnya. Segera dia menggeser kakinya, mengubah kuda-kuda menjadi miring dan matanya mengerling ke arah luar.

Kiranya di tempat itu telah berdiri belasan orang anggota Ang-hwa-pai yang memegang senjata, berjajar menutup jalan keluar, di antara mereka terdapat empat orang yang dia robohkan di gedung Lo-ciangkun! Mengertilah dia bahwa dia kini berada di goa harimau dan harus berjuang mati-matian sebab agaknya lawan berusaha sungguh-sungguh untuk menjebaknya dan tidak memberi kesempatan kepadanya untuk lolos dari tempat itu.

Pada saat itu juga, muncul pula tiga orang dari pintu kuil. Mereka ini bukan lain adalah Ouwyang Lam, Siu Bi, dan seorang kakek yang pakaiannya serba merah dan mukanya tersenyum-senyum. Usianya sudah sangat tua, sedikitnya tujuh puluh lima atau delapan puluh tahun, memegang sebatang tongkat bambu yang digunakan menunjang tubuhnya yang agak bongkok. Kakek ini bukan lain adalah Ang Mo-ko, seorang tokoh yang cukup terkenal selama puluhan tahun di kota raja.

Sejenak Swan Bu tertegun ketika bertemu pandang dengan gadis yang cantik jelita itu. Teringat dia akan pertemuannya di depan rumah penginapan tadi. Hampir serupa gadis ini dengan gadis tadi, tetapi malah lebih jelita, terutama sepasang matanya yang begitu lincah dan tajam.

Siu Bi juga memandang Swan Bu penuh perhatian, pandang matanya menjadi bimbang dan ragu. Inikah putera Pendekar Buta? Betulkah seperti yang dia dengar dari Ang-hwa Nio-nio bahwa putera tunggal Pendekar Buta akan datang menyerbu? Dan pemuda yang luar biasa tampan dan gagahnya inikah musuh besarnya? Diam-diam Siu Bi tertegun dan terpesona. Belum pernah ia melhat seorang pemuda sehebat ini.

Wajahnya berkulit halus putih kemerahan seperti wajah perempuan, akan tetapi alisnya yang tebal hitam, dagunya yang berlekuk sedikit tengahnya, pandang mata yang amat berwibawa, dada bidang yang membayangkan kekuatan, semua itu membayangkan sifat jantan yang mengagumkan. Akan tetapi teringat lagi bahwa pemuda ini adalah putera musuh besar yang akan dibalasnya, matanya bernyala penuh kebencian.

Swan Bu dengan tenang menghadapi pengepungan ini, bahkan dia tersenyum karena memang hatinya girang sekali mendapat kenyataan bahwa musuh-musuh orang tuanya ternyata adalah orang-orang jahat.

"Ang-hwa Nio-nio, memang betul kata-katamu tadi. Amat kebetulan kita dapat bertemu di sini karena sebenarnya aku hendak pergi ke Ching-coa-to untuk mewakili orang tuaku yang kabarnya hendak kau cari dan kau tantang. Sekarang, melihat sepak terjangmu dan kawan-kawanmu, hatiku lega bukan main. Kiranya macam beginilah musuh-musuh orang tuaku, atau lebih tepat lagi, orang-orang yang memusuhi orang tuaku karena aku yakin bahwa orang tuaku tidak akan mau mencari permusuhan. Apa bila orang-orang yang memusuhi orang tuaku jahat-jahat belaka, jelas bahwa di waktu dahulu orang tuaku tidak berada di pihak yang salah."

Baru saja Swan Bu menutup mulutnya, Ang-hwa Nio-nio sudah menerjang maju sambil membentak, "Bocah sombong rasakan tanganku!"

Kedua tangannya yang sudah berubah menjadi merah itu menerjang maju dan mengirim pukulan beruntun. Jangan dipandang rendah pukulan ini karena inilah pukulan-pukulan Ang-see-ciang yang amat hebat. Jangankan sampai tangan-tangan merah itu mengenai tubuh lawan, baru hawa pukulannya saja sudah cukup untuk merobohkan lawan yang tidak begitu tinggi ilmu kepandaiannya. Kedua tangan yang merah itu terbuka jari-jarinya, agak melengkung dan hawa pukulan yang menyambar dari telapak tangan itu sangat panas seperti api membara.

Akan tetapi Swan Bu yang sudah mengerahkan Im-kang pada kedua lengannya, bahkan sengaja kakinya melangkah maju dan menyambut pukulan-pukulan itu dengan tangkisan lengannya. Dia hendak menguji kekuatan lawan sambil sekaligus juga memperlihatkan kepandaiannya.

Nenek itu girang, juga heran sekali melihat pemuda ini berani menerima Ang-see-ciang. Ia pastikan bahwa pemuda itu tentu akan roboh dalam segebrakan saja. la menambah tekanan pada kedua lengannya.

"Duk! Dukkk!!"

Dua kali lengan mereka bertemu susul-menyusul dalam waktu yang singkat sekali dan hasilnya... Ang-hwa Nio-nio melompat ke belakang dua meter jauhnya sambil meringis kesakitan karena kedua lengannya serasa akan patah, sedangkan pemuda itu masih berdiri tetap dan tenang, biar pun diam-diam dia kaget karena kedua pundaknya serasa tergetar, tanda bahwa nenek itu benar-benar hebat kepandaiannya.

"Bibi Kui Ciauw, biarkan aku menghadapi musuh besarku ini!"

Tiba-tiba saja Siu Bi sudah melompat ke depan Swan Bu dengan pedang Cui-beng-kiam di tangannya. Sikapnya sangat angkuh ketika dia menggerak-gerakkan pedang di depan dada sambil membentak,

"Orang she Kwa, bersiaplah kau untuk menerima hukuman dariku atas dosa ayahmu!"

Swan Bu mengerutkan keningnya. Sombongnya anak ini, pikirnya. Menyebut Ang-hwa Nio-nio bibi, tentu keponakannya dan karena itu, tentu bukan orang baik-baik. Akan tetapi ucapan Siu Bi tadi membuat dia penasaran.

"Memberi hukuman adalah urusan mudah, tapi jelaskan apa dosa ayahku dan hukuman apa yang hendak kau jatuhkan kepadaku," jawabnya tenang.

Tak enak juga hati Siu Bi menyaksikan sikap begini tenang. Segala gerak-gerik pemuda ini membayangkan seorang gagah yang baik, tiada cacad celanya sehingga hatinya tidak senang. Andai kata putera Pendekar Buta ini seorang pemuda berandalan dan kurang ajar, hatinya akan lebih senang untuk memusuhinya. Akan tetapi ia mengeraskan hatinya dan membentak,

"Ayahmu si buta itu sudah membuntungi lengan kakekku Hek Lojin, oleh karena itu aku telah bersumpah untuk membalas dendam, membuntungi lengan Pendekar Buta beserta anak isterinya. Karena kau adalah puteranya, sekarang aku akan membuntungi sebelah lenganmu agar roh kakekku dapat tenteram!"

Swan Bu tersenyum mengejek. "Roh orang jahat mana mungkin tenteram keadaannya? Tentu sudah dilempar ke neraka dan selamanya akan terbakar api derita! Apa bila ayah membuntungi lengan kakekmu, itu berarti bahwa kakekmu adalah orang jahat...!”

"Setan, lancang amat mulutmu!" Siu Bi menjerit sambil menggerakkan pedangnya disusul dengan pukulan tangan kirinya. Hebat serangan ini, pedangnya menjadi segulung sinar hitam menuju leher dan tangan kirinya membayangkan uap hitam menerjang dada.

"Aihhh, ganas...!" Diam-diam Swan Bu mengeluh. Cepat dia melempar diri ke belakang berjumpalitan sambil mencabut pedang Gin-seng-kiam.

"Trang! Tranggg!!"

Sepasang pedang hitam dan putih bertemu, bunga api berpijar menyilaukan mata dan Siu Bi, seperti halnya Ang-hwa Nio-nio tadi, melompat ke belakang dengan lengan kanan serasa lumpuh. Ternyata bahwa dia kalah kuat dalam tenaga sinkang sehingga dalam pertemuan senjata tadi hampir saja dia melepaskan pedangnya.

"Jangan takut, Bi-moimoi, aku membantumu!" seru Ouwyang Lam yang sudah melompat maju, siap mengeroyok.

"Aku tidak membutuhkan bantuanmu!" bentak Siu Bi masih mendongkol dan penasaran karena sekali tangkis saja ia hampir keok tadi. Kalau dalam segebrakan saja dia sudah dibantu Ouwyang Lan dan mengeroyok Swan Bu, bukankah hal ini sangat memalukan dirinya?

"Kau akan kalah, dia lihai...!" kata Ang-hwa Nio-nio yang juga melangkah maju.

Swan Bu menggerak-gerakkan pedang di depan dadanya, tersenyum mengejek, "Hayo kalian keroyoklah! Aku tidak takut dan memang aku tahu, pengecut-pengecut semacam kalian kalau tidak main keroyokan mana berani maju?"

"Pemuda sombong, lihat tongkat!"

Ang Mo-ko sudah menyapu dengan tongkat bambunya. Biar pun tongkat ini terbuat dari bambu yang ringan, ketika menyambar mengeluarkan suara bersiutan sehingga Swan Bu tidak berani memandang ringan. Ia lalu melompat ke atas menyelamatkan diri sambil memutar pedang menangkis pedang Ouwyang Lam yang sudah menusuknya.

Ouwyang Lam adalah seorang pemuda yang amat cerdik. Maklum bahwa tadi gurunya dan juga Siu Bi tidak kuat melawan tenaga Swan Bu, dia tidak mau mengadu pedang, cepat menarik pedangnya dan dari samping dia mengirim bacokan kilat yang juga dapat dielakkan oleh Swan Bu.

Pemuda Liong-thouw-san ini sudah memutar pedang mendahului Ang-hwa Nio-nio yang sudah mengeluarkan pedang pula, akan tetapi serangannya dapat ditangkis oleh ketua Ang-hwa-pai itu. Dari luar mendatangi anak buah Ang-hwa-pai dan sebentar saja Swan Bu sudah dikurung dan dikeroyok banyak orang lawan.

"Tak sudi aku! Tak sudi! Masa satu orang dikeroyok begini banyak. Aku tak sudi dibantu!" berkali-kali Siu Bi berteriak-teriak penuh kemarahan, berdiri di pinggir sambil memegangi pedangnya.

Hatinya kecewa bukan main. Biar pun dia tak akan ragu-ragu untuk membalas dendam, membuntungi lengan kiri pemuda tampan putera Pendekar Buta itu namun ia merasa jijik dan rendah sekali bila harus mengeroyok seorang musuh dengan begitu banyak teman. Sungguh perbuatan yang amat memalukan dan rendah sekali.

Diam-diam ia memperhatikan Swan Bu, mengagumi gerakan ilmu pedangnya yang amat aneh dan kuat, lalu membandingkan pemuda musuh itu dengan Ouwyang Lam. Seperti burung hong dibandingkan dengan burung gagak. Bagaikan seekor naga dibandingkan dengan ular beracun.

Sebetulnya, biar pun dikeroyok begitu banyak lawan, Swan Bu tidak gentar sedikit pun juga, karena andai kata dia terdesak menghadapi tiga orang terlihai di antara mereka, yaitu Ang-hwa Nio-nio, Ang Mo-ko, dan Ouwyang Lam dengan mudah dia akan mampu menerjang keluar menyelamatkan diri.

Akan tetapi, mendengar teriakan Siu Bi tadi, dia tertegun dan merasa bingung. Terang bahwa gadis itu memiliki watak yang gagah perkasa dan sama sekali tidak patut menjadi anggota gerombolan ini. Dan mempunyai seorang musuh yang wataknya begitu gagah perkasa, benar-benar malah mendatangkan rasa gelisah di hatinya.

Ketika Swan Bu mainkan Im-yang Sin-kiam, pedangnya bergulung seperti seekor naga perak menyambar-nyambar dan dalam waktu singkat, lima orang anak buah Ang-hwa-pai roboh terluka tak mampu melawan lagi. Ang-hwa Nio-nio kaget dan kagum, akan tetapi juga penasaran. Kalau sekarang mereka tidak sanggup mengalahkan putera Pendekar Buta, bagaimana mereka akan mampu menyerbu Liong-thouw-san, berhadapan dengan Pendekar Buta sendiri?

Di lain pihak, Swan Bu harus mengakui bahwa ketiga orang lawannya itu benar-benar tangguh sekali. Ilmu pedang Ang-hwa Nio-nio hebat serta ganas, ditambah lagi tangan kirinya yang memainkan selingan pukulan Ang-tok-ciang (Tangan Racun Merah) yang sebetulnya adalah Ilmu Pukulan Ang-see-ciang (Tangan Pasir Merah).

Ilmu silat pemuda tampan pendek itu serupa dengan nenek ini, hanya masih kalah satu tingkat. Ada pun Ang Mo-ko Si Iblis Merah itu juga tidak boleh dipandang ringan. Tongkat bambunya menyambar-nyambar laksana kitiran tertiup angin taufan, mengeluarkan bunyi nyaring dan mengandung tenaga besar.

Andai kata tidak dikeroyok, dengan ilmu pedangnya yang hebat, kiranya Swan Bu akan mampu mengalahkan seorang di antara mereka dengan mudah. Kini, dikeroyok tiga, dia hanya sanggup mengimbangi saja karena melihat kelihaian daya serangan mereka, dia harus lebih mengutamakan gerakannya pada penjagaan diri sehingga daya serangannya sendiri menjadi kurang kuat. Akan tetapi pertahanannya kuat sekali sehingga betapa pun juga kerasnya tiga orang itu menekannya, dia sama sekali tidak terdesak.

Tiba-tiba saja terdengar bentakan nyaring, "Sungguh tak tahu malu serombongan orang melakukan pengeroyokan!"

Lalu tampak berkelebat sesosok bayangan yang ringan sekali, didahului menyambarnya sinar pedang kuning dan robohnya tiga orang anak buah Ang-hwa-pai lainnya. Kiranya yang datang ini adalah seorang gadis yang cantik jelita yang rambutnya dikuncir dua dan tergantung di belakang punggungnya. Gadis ini bukan lain adalah Lee Si.

Seperti telah diceritakan di bagian depan, Lee Si yang merasa curiga melihat gerak-gerik Swan Bu, juga sekaligus tertarik hatinya, diam-diam lalu mengikuti Swan Bu menuju ke sebelah selatan kota. Dia mengintai dari jauh dan ketika Swan Bu melompat masuk ke dalam halaman kuil, kemudian berindap-indap mendekati dan dapat mendengar semua percakapan.

Bukan main kaget dan girang hatinya ketika mendengar bahwa pemuda yang menarik hatinya itu tidak lain adalah putera Liong-thouw-san, putera Pendekar Buta. Benar-benar pertemuan yang sama sekali tidak terduga-duga. Hal ini membuat jantungnya berdebar tidak karuan, membuat la bimbang dan bingung, tidak tahu apa yang harus ia lakukan.

la dapat menduga bahwa putera Liong-thouw-san tentu saja memiliki kepandaian yang luar biasa, yang jauh lebih tinggi dari pada kepandaiannya sendiri, maka ia merasa serba salah untuk turun tangan membantu. Ia khawatir kalau hal itu akan merendahkan, tetapi kalau tidak membantu bagaimana? Maka dia hanya mengintai saja. Kagumlah dia ketika menyaksikan sepak terjang Swan Bu.

Memang sejak kecil Lee Si tidak banyak kesempatan untuk berjumpa dengan keluarga ayah bundanya. Hal ini adalah karena keluarga itu terpencar dan tempat tinggalnya amat jauh. Hanya dengan putera pamannya di Lu-liang-san sajalah pernah ia bertemu sampai tiga kali, ketika ia masih kecil dan yang terakhir ketika ia berusia empat belas tahun.

Putera pamannya di Lu-liang-san itu empat tahun lebih tua darinya, bernama Tan Hwat Ki. Pamannya, Tan Sin Lee ketua Lu-liang-pai itu hanya mempunyai seorang putera. Ada pun keluarga lainnya, biar pun dia sudah banyak mendengar penuturan ayah bundanya dan tahu pula akan nama-nama mereka, tetapi dia jarang sekali, bahkan ada yang tidak pernah bertemu. Di antara mereka yang belum pernah dia temui adalah Kwa Swan Bu inilah.

Tentu saja ia sudah sering kali mendengar ayah bundanya memuji-muji Kwa Kun Hong Si Pendekar Buta yang sakti. Oleh karena itu, ia dapat menduga bahwa putera Pendekar Buta tentu lihai pula. Ternyata sekarang secara kebetulan sekali ia dapat menyaksikan sendiri kepandaian putera Pendekar Buta itu!

Akan tetapi ketika menyaksikan betapa lihainya tiga orang yang mengeroyok Swan Bu, ditambah lagi banyak anak buah Ang-hwa-pai maju dari belakang mencari kesempatan untuk mengirim serangan menggelap, ia tidak dapat tinggal diam lebih lama lagi. Dengan pedang Oie-kong-kiam di tangan ia menerjang sambil membentak nyaring dan akibatnya tiga orang anak buah Ang-hwa-pai roboh oleh sinar pedangnya!

Sekilas pandang ia dapat melihat betapa Swan Bu menoleh kepadanya dan memandang dengan sinar mata penuh keheranan dan juga kaget karena agaknya pemuda itu masih dapat mengenalinya dari pertemuan di depan losmen tadi. Sedetik wajah yang cantik itu menjadi merah, jantungnya berdebar dan untuk menguasai rasa jengah ini Lee Si segera memperkenalkan diri,

"Kita masih orang sendiri, aku Tan Lee Si, ayahku ketua di Min-san!"

Kaget dan girang bukan main hati Swan Bu. Tentu saja dia sudah mendengar nama ini dari ayah bundanya. Ternyata masih saudaranya sendiri. Saudara? Sebenarnya bukan apa-apa. Hanya ayahnya masih terhitung paman guru ibunya Lee Si, sungguh pun usia mereka sebaya. Sebaliknya, ayahnya sebagai orang yang pernah menerima pelajaran dari Raja Pedang kakek gadis ini, masih terhitung paman guru gadis ini sendiri!

"Bagus!" Swan Bu berseru gembira, bukan karena mendapat bantuan melainkan karena mendapat kenyataan bahwa gadis yang tadi membuat hatinya berdenyut aneh ketika dia melihatnya di depan losmen itu kiranya bukanlah orang lain!

"Mari kita basmi kawanan penjahat ini!"

Akan tetapi pada saat itu Siu Bi sudah melompat dengan gerakan gesit sekali, dengan pedang mendahuluinya merupakan sinar kehitaman. Dengan pedang melintang di depan dada Siu Bi menghadapi Lee Si, sejenak pandang matanya menjelajahi gadis Min-san itu dari atas sampai ke bawah, lalu terdengar dia membentak,

"Kau tidak suka akan keroyokan, aku pun sangat membenci keroyokan. Hayo sekarang kita sama-sama muda, sama-sama wanita, tanpa keroyokan, kita mengadu kepandaian!"

Lee Si tadi sudah melihat sikap Siu Bi dan biar pun ia dapat menduga bahwa gadis ini berbeda dengan orang-orang yang lain, namun tetap saja merupakan musuh dan tentu bukan seorang gadis baik-baik. Akan tetapi karena ia tidak memiliki permusuhan dengan Siu Bi, juga bahwa ia hanya mau bertanding untuk membantu Swan Bu yang dikeroyok, maka ia merasa ragu-ragu untuk melayani gadis cantik yang pedangnya bersinar hitam itu.

"Perempuan liar, di antara kita tidak ada permusuhan, perlu apa aku melayani kau?"

Dimaki perempuan liar, tentu saja Siu Bi seketika menjadi naik darah!

"Kau yang liar, kau yang buas, kau yang ganas! Siapa saja yang menjadi sahabat atau keluarga dia itu adalah musuhku. Sambut pedangku!" Dengan gerakan yang amat lincah dan kuat Siu Bi sudah menerjang maju, didahului gulungan sinar hitam pedangnya.

Tentu saja Lee Si juga cepat mengangkat pedangnya menangkis dan beberapa menit kemudian bayangan dua orang gadis yang sama lincahnya ini sudah lenyap, terbungkus oleh gulungan sinar pedang hitam dan kuning yang saling libat, saling dorong dan saling tekan. Pertandingan antara kedua orang dara remaja yang sama gesitnya ini selain amat menegangkan, juga indah sekali dipandang.

Akan tetapi Lee Si segera menjadi kaget sekali ketika beberapa kali tangan kiri Siu Bi melancarkan pukulan Hek-in-kang yang amat kuat. Segera dia menjadi sibuk mengelak karena maklum bahwa pukulan itu adalah semacam pukulan jarak jauh yang berbahaya sekali.

Tahulah dia bahwa lawannya ini memiliki kepandaian yang tinggi lagi jahat. Oleh karena itu ia berlaku sangat hati-hati, kemudian mainkan bagian-bagian Hoa-san Kiam-sut untuk mempertahankan diri serta bagian Yang-sin Kiam-sut untuk balas menyerang. Sayang bahwa penggabungan kedua ilmu pedang itu belum sempurna benar sehingga untuk melayani Cui-beng Kiam-sut dan Hek-in-kang yang memang luar biasa itu ia pun merasa terdesak hebat.

Memang boleh diakui bahwa ilmu silat yang telah dipelajari Lee Si merupakan ilmu silat golongan bersih, karena itu dasarnya lebih kuat dan sifatnya tidaklah liar seperti ilmu silat yang dimiliki Siu Bi. Akan tetapi oleh karena memang tingkat kepandaian Hek Lojin jauh lebih tinggi dari pada tingkat kepandaian Tan Kong Bu dan isterinya, maka tentu saja tingkat Siu Bi juga lebih tinggi dari pada tingkat Lee Si.

Kalau saja Siu Bi tidak mempunyai Ilmu Hek-in-kang dan hanya mengandalkan Cui-beng Kiam-sut, agaknya Lee Si masih sanggup mempertahankan diri. Akan tetapi sekarang Siu Bi mendesaknya dengan Hek-in-kang yang membuat ia sibuk sekali, harus melompat ke sana ke mari mengelak dari sambaran uap hitam itu, ditambah lagi harus menghadapi sinar pedang hitam yang mengurung dirinya dan menutup semua jalan keluar!

Sementara itu, pertempuran antara Swan Bu dengan para pengeroyoknya juga berjalan amat seru. Sekarang tidak ada anak buah Ang-hwa-pai yang berani maju, mereka hanya berjaga-jaga saja karena setiap kali ada yang maju, baru segebrakan saja tentu roboh mandi darah disambar sinar pedang putih di tangan Swan Bu.

Akan tetapi, biar pun pengeroyoknya hanya tiga orang, namun ketiganya adalah ahli-ahli silat kelas tinggi yang memiliki ilmu kepandaian hebat. Swan Bu memang telah mewarisi kesaktian ayah bundanya, akan tetapi dia masih kurang pengalaman bertempur. Andai kata ayahnya berada di situ, tanpa turun tangan membantunya, hanya dengan nasehat-nasehat saja sudah pasti dia akan dapat menangkan pertandingan ini.

Oleh karena kekurangan pengalaman inilah dia kekurangan taktik sehingga kurang dapat menangkap dengan cepat kelemahan-kelemahan lawan, dan terlampau hati-hati dalam menjaga diri sehingga walau pun pertahanannya rapat sekali, namun daya serangannya kurang kuat dan kurang berhasil. Apa lagi pada waktu dengan sudut matanya dia dapat melihat betapa Lee Si sedang terdesak hebat oleh sinar hitam pedang Siu Bi, hatinya menjadi gelisah sekali.

Pada saat itu pula terdengar suara ketawa aneh dan muncullah dua orang kakek, yang seorang tinggi jangkung yang seorang lagi pendek.

"Heh-heh-heh, sudah ada pesta keramaian di sim!" kata si jangkung dengan suaranya yang aneh dan asing.

"Suheng!" Ang-hwa Nio-nio berseru girang sekali ketika mengenal kakek tinggi jangkung itu, yang bukan lain orang adalah Maharsi si pendeta dari barat. Ada pun si pendek itu adalah Bo Wi Sian Jin!

"Bantulah kami menangkap dua bocah setan ini!".

"Heh-heh-heh, Sianjin. Ini Sumoi (Adik Seperguruan). Kau tangkaplah yang betina, biar aku tangkap yang jantan!"

Setelah berkata demikian Maharsi melangkah panjang ke dalam pertempuran, tangannya mencengkeram dan kagetlah Swan Bu ketika tiba-tiba ada angin keras menyambar dari atas dan tahu-tahu lengan yang panjang itu mengancamnya. Cepat-cepat pedangnya dia kibaskan ke atas untuk membuat buntung lengan itu.

"Wah, boleh juga!" Maharsi memuji.

Perlu diketahui bahwa Ilmu Silat Pai-san-jiu dari pendeta barat yang tinggi ini, seperti juga Ilmu Katak Sakti dari Bo Wi Sianjin, adalah ilmu pukulan sakti yang mengandung sinkang tingkat tinggi sehingga pukulan-pukulan dari dua ilmu silat ini tidak perlu harus menyentuh tubuh lawan, dari jauh saja sudah cukup kuat untuk merobohkan lawan yang biasa. Akan tetapi pemuda itu bukan saja tidak terpengaruh banyak oleh sambaran hawa pukulannya, malah masih dapat membabat dengan pedangnya yang cukup berbahaya. Karena inilah Maharsi memuji.

Akan tetapi sambil menarik kembali lengannya, pendeta jangkung ini sudah mengirimkan serangan bertubi-tubi, susul-menyusul dan angin pukulannya menderu-deru seperti angin taufan mengamuk.

Swan Bu benar-benar kaget sekali. Maklumlah dia bahwa si jangkung ini benar-benar amat berbahaya. Apa lagi pada saat itu, Ang-hwa Nio-nio, Ouwyang Lam dan Ang Mo-ko masih terus menerjangnya dengan sengit, maka pemuda Liong-thouw-san ini betul-betul berada dalam keadaan yang amat berbahaya.

Ada pun Lee Si yang menghadapi Siu Bi dan terdesak hebat, tiba-tiba melihat munculnya seorang kakek pendek yang serta merta menggerakkan tangan menyelonong maju dan dengan pukulan-pukulan serta dorongan-dorongan kuat menerjang... Siu Bi, diiringi suara ketawanya terbahak-bahak. Kakek ini adalah Bo Wi Sianjin yang memandang rendah lawan karenanya dia tidak menggunakan Pukulan Katak Sakti, namun mendesak dengan pukulan-pukulan jarak jauh biasa. Akan tetapi dia salah kira dan bukan menyerang Lee Si, malah menerjang Siu Bi.

"Eh-eh-ehh, Locianpwe, bukan dia musuh kita. Yang seorang lagi...!" seru Ouwyang Lam kaget sambil melompat mendekati, meninggalkan Swan Bu yang kini telah terdesak amat hebat itu.

"Hah?! Yang mana?" Bo Wi Sianjin menghentikan serangannya, tertegun dan bingung.

Sementara itu, Siu Bi marah sekali. la tadi sedang mendesak Lee Si, sama sekali tidak membutuhkan bantuan karena ia berada di pihak yang unggul, maka majunya kakek itu baginya merupakan gangguan yang menjengkelkan.

”Aku tidak butuh bantuan! Mundur!" serunya dan pedangnya dikerjakan lebih hebat.

Lee Si yang maklum bahwa dirinya tidak dapat tertolong lagi kalau ada orang lain maju mengeroyok, menjadi gugup dan sebuah pukulan Hek-in-kang dari Siu Bi tidak dapat dia hindarkan, mengenai pundaknya sehingga dia terhuyung-huyung. Kesempatan baik ini digunakan oleh Siu Bi untuk menyapu kaki Lee Si sehingga gadis ini roboh dan sebuah totokan membuatnya lemas tak dapat bergerak lagi.

Swan Bu yang sudah terdesak hebat, melihat robohnya Lee Si, menjadi marah sekali. "Keparat, lepaskan dia!" la membentak.

Tubuhnya laksana kilat menyambar ke arah Lee Si untuk menolong gadis itu. Akan tetapi tiba-tiba dari kanan menyambar tongkat bambu Ang Mo-ko menotok lambung. la cepat menangkis dan melanjutkan gerakannya menolong Lee Si, namun angin menyambar dari kiri dan Swan Bu merasa seolah-olah tubuhnya didorong oleh tenaga yang amat dahsyat.

Swan Bu terlempar dan sebelum dia sempat bergerak, dua buah lengan panjang Maharsi yang tadi memukulnya sudah mencengkeram pundaknya dan menotok jalan darah pada punggungnya, membuat dia tidak berdaya lagi. Sepasang orang muda itu telah tertawan oleh musuh-musuh besarnya.

"Siapakah dia ini?" Maharsi bertanya kepada sumoi-nya sambil menuding ke arah Swan Bu yang sudah rebah miring di atas tanah. Mau tak mau pendeta dari barat itu kagum bukan main karena semuda itu Swan Bu telah memiliki kepandaian yang hebat.

"Suheng," kata Ang-hwa Nio-nio dengan muka berseri. "Kebetulan sekali kau datang dan amat kebetulan memang, karena bocah ini bukan lain adalah putera Pendekar Buta. Ular menghampiri penggebuk, bukan?"

"Sudah terang anak musuh besar, tidak dibunuh tunggu apa lagi?" Ouwyang Lam yang merasa iri melihat ketampanan dan kegagahan pemuda itu, jauh melebihi dirinya, cepat mengangkat pedangnya menusuk ke arah dada Swan Bu.

Swan Bu maklum bahwa nyawanya berada di ujung pedang lawan, namun karena dia tak dapat menggerakkan kaki tangannya, Swan Bu hanya dapat memandang dengan mata tidak berkedip sedikit pun juga.

Orang-orang lain yang berada di situ hanya memandang sambil tertawa, karena pemuda Liong-thouw-san ini memang anaknya musuh besar, berarti musuh pula, apa lagi sudah mengacaukan usaha mereka di Kong-goan, kalau tidak dibunuh mau diapakan lagi?

"Cringgg...!"

Ouwyang Lam kaget dan melompat mundur. Pedangnya yang hampir menancap di dada Swan Bu telah terbentur pedang lain yang telah menangkisnya sehingga muncrat bunga api saking kerasnya benturan itu. Pada waktu semua orang memandang, kiranya yang menangkis itu adalah Siu Bi!

"Eh, kau lagi? Bi-moi, terus terang saja, kau sebetulnya berpihak siapa? Ketika di Ching-coa-to kami hendak membunuh puteri Raja Pedang, kau pun telah menghalangi maksud kami!” kata Ouwyang Lam penasaran.

Sepasang mata yang tajam bening itu berkilat, "Aku berpihak pada diriku sendiri. Bocah ini adalah anak Pendekar Buta, berarti musuh besarku. Aku sudah bersumpah hendak membuntungi lengan Pendekar Buta, isterinya serta anaknya, membuntungi lengannya hidup-hidup! Kalau dia dibunuh, apa artinya membuntungi lengannya lagi?"

"Tapi... tapi bukan kau yang merobohkan dia, kau tidak berhak. Kami yang merobohkan dan menawannya, maka kami yang berhak melakukan apa saja terhadap dirinya!"

"Siapa saja yang membunuh dia berarti ingin menghalang-halangi aku untuk membalas dendam dan melaksanakan sumpahku. Tentang siapa yang merobohkan, memang betul kalian yang merobohkan, akan tetapi perempuan ini aku yang merobohkan. Sekarang aku ingin menukarkan dia dengan anak Pendekar Buta ini. Ouwyang-twako, kau boleh ambil dia, biarkan aku membuntungi lengan anak Pendekar Buta tanpa membunuhnya!"

Ouwyang Lam menengok ke arah Lee Si yang menggeletak telentang. Dalam keadaan tertotok dan telentang di atas tanah itu dengan pakaian kusut, gadis cantik ini kelihatan menarik sekali, sangat menggairahkan hati Ouwyang Lam yang memang berwatak mata keranjang. Segera dia mengilar ketika pandang matanya menjelajahi tubuh Lee Si dan sambil menyeringai dia berkata, "Aku... aku boleh... memiliki dia...?"

Pada saat itu, Bo Wi Sianjin berkata, "Eh, Maharsi, bukankah gadis ini cucu Raja Pedang yang pernah kita kejar?"

Maharsi memandang. "Aha, betul! Betul dia! Wah, Bhok-losuhu tentu akan girang sekali. Sumoi, benar-benar kita telah mendapatkan tawanan penting. Seorang putera Pendekar Buta, yang seorang lagi cucu Raja Pedang. Baiknya kita jangan bunuh mereka, jadikan tangkapan untuk memaksa musuh-musuh besar itu menyerah!"

"Bagus, itu betul sekali!" seru Bo Wi Sianjin karena baik dia mau pun Maharsi sebetulnya masih merasa jeri untuk bertanding melawan Pendekar Buta serta Raja Pedang yang terkenal sakti.

"Suheng, kau tadi menyebut nama Bhok-losuhu? Siapakah yang kau maksudkan?"

Maharsi tertawa. "Siapa lagi kalau bukan Bhok Hwesio itu tokoh besar yang sakti dari Siauw-lim-pai? Dia pun sudah siap untuk membasmi Pendekar Buta dan Raja Pedang dan dia datang bersama kami ke Kong-goan, akan tetapi tentu saja tidak mau ke sini. Kuharap kau suka mengunjunginya di kelenteng sebelah timur kota, Sumoi."

Girang sekali hati Ang-hwa Nio-nio, apa lagi setelah dia diperkenalkan dengan Bo Wi Sianjin sebagai sute dari Ka Chong Hoatsu yang menaruh dendam kepada Raja Pedang. Dengan begini banyaknya orang pandai di pihaknya, tentu akan terlaksana idam-idaman hatinya, yaitu menebus kematian dua orang adiknya…..
Terima Kasih atas dukungan dan saluran donasinya🙏

Halo, Enghiong semua. Bantuannya telah saya salurkan langsung ke ybs, mudah-mudahan penyakitnya cepat diangkat oleh yang maha kuasa🙏

Traktiran: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan) ataupun bisa melalui via Trakteer yang ada dibawah

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar