Jaka Lola Jilid 15

Andai kata Bhok Hwesio tidak dikotori oleh dendam dan nafsu, kiranya dia akan mampu mencapai tingkat yang bahkan lebih tinggi dari pada yang pernah dicapai oleh semua tokoh Siauw-lim-pai karena memang pada dirinya terdapat bakat yang amat besar.

Thian Ti Losu baru sadar akan kehebatan bekas suheng-nya ini sesudah pertandingan berjalan selama lima puluh jurus. la terdesak hebat dan sinar tongkatnya selalu terbentur membalik oleh hawa pukulan lawan yang kuat sekali.

Akan tetapi, bagi tokoh Siauw-lim-pai ini, kiranya membela kebenaran merupakan tugas hidup dan merupakan pegangan sehingga dia tidak merasa gentar menghadapi apa pun. Mati dalam membela kebenaran adalah mati bahagia.

la mengerahkan tenaga dan memutar tongkatnya lebih cepat, berusaha sekuatnya untuk menghancurkan benteng hawa pukulan yang terus menghimpitnya itu. Dengan gerakan melingkar tongkatnya melepaskan diri dari tekanan ujung lengan baju, lalu dari samping dia mengirim tusukan ke arah lambung. Gerakan ini boleh dikatakan nekat karena dalam menyerang, dia membiarkan dirinya tidak terlindung. Jika lawannya membarengi dengan serangan balasan, walau pun tongkatnya akan mencapai sasaran dia sendiri tentu akan celaka.

Bhok Hwesio mengeluarkan dengus mengejek. la tidak mempergunakan kesempatan itu untuk balas menyerang, melainkan cepat sekali kedua ujung lengan baju dia sentakkan ke samping dan pada lain saat tongkat itu sudah terlibat oleh ujung lengan baju, sedang ujung kedua menotok ke arah leher lawannya.

Thian Ti Losu kaget luar biasa, mengerahkan tenaga untuk merenggut lepas tongkatnya. Namun hasilnya sia-sia, tongkatnya seperti sudah berakar dan tak dapat dicabut kembali. Sementara itu, ujung lengan baju kiri Bhok Hwesio seperti seekor ular hidup sudah amat dekat meluncur.

Terpaksa sekali, untuk dapat menyelamatkan diri, Thian Ti Losu melepaskan tongkatnya dan melempar tubuh ke belakang sambil bergulingan. la selamat dari totokan maut, tetapi tongkatnya telah dirampas lawan. Bhok Hwesio tertawa pendek, tangannya lalu bergerak dan... tongkat itu amblas ke dalam tanah sampai tidak kelihatan lagi!

"Thian Ti Losu, terang kau bukanlah lawanku. Sekali lagi, cepatlah kau pergi dan jangan menggangguku lagi, aku akan maafkan kekurang ajaranmu untuk terakhir kali mengingat bahwa kau hanya menjalankan perintah. Nah, pergilah!"

Namun, mana Thian Ti Losu sudi mendengarkan kata-kata ini? Melarikan diri dari tugas hanya karena takut kalah atau mati adalah perbuatan pengecut dan akan mencemarkan nama baiknya dan terutama sekali, nama besar Siauw-lim-pai. Mati dalam menunaikan tugas jauh lebih mulia dari pada hidup sebagai pengecut yang mencemarkan nama baik Siauw-lim-pai.

Sekarang Bhok Hwesio bekas suheng-nya, menganjurkan dia menjadi pengkhianat atau pengecut. Thian Ti Losu menengadahkan mukanya ke atas, tertawa bergelak kemudian mengerahkan seluruh lweekang-nya dan di lain saat dia sudah menerjang maju dengan kepala yang mengepulkan uap di depan, menubruk Bhok Hwesio.

Inilah jurus mematikan yang berbahaya bagi lawan dan diri sendiri! Karena jurus seperti ini, yang menggunakan kepala untuk menghantam tubuh lawan, merupakan tantangan untuk mengadu tenaga terakhir untuk menentukan siapa akan menang dan siapa harus mati. Kalau dielakkan, hal ini akan menunjukkan kelemahan yang diserang, tanda bahwa dia tidak berani menerima tantangan adu nyawa. Bagi seorang jagoan, apa lagi seorang tokoh besar seperti Bhok Hwesio, tentu saja ini merupakan hal yang akan memalukan sekali.

"Huh, kau keras kepala!" ejek Bhok Hwesio sambil berdiri tegak, perutnya yang gendut besar ditonjolkan ke depan.

Bagaikan seekor lembu mengamuk, Thian Ti Losu menyeruduk ke depan, kepalanya dia arahkan perut bekas suheng-nya.

"Cappp!"

Kepala hwesio itu bertemu dengan perut suheng-nya dan menancap atau lebih tepat lagi amblas ke dalam ketika perut itu menggunakan tenaga menyedot. Hebatnya, tubuh Thian Ti Losu lurus seperti sebatang kayu balok. Kedua tangannya bergerak hendak memukul atau mencengkeram, namun Bhok Hwesio yang sudah siap mendahuluinya, mengetuk kedua pundaknya.

Terdengar suara tulang patah dan kedua lengan Thian Ti Losu menjadi lemas seketika, tergantung pada kedua pundak yang sudah patah sambungan tulangnya. Bhok Hwesio masih meneruskan gerakan tangannya. Tiga kali dia mengetuk punggung Thian Ti Losu dan tubuh yang tegak lurus itu menjadi lemas, tanda bahwa tenaganya lenyap. Ada pun kepala tokoh Siauw-lim-pai itu masih menancap di ‘dalam’ perut Bhok Hwesio.

"Nah, pergilah!" seru Bhok Hwesio.

Perutnya yang tadinya menyedot itu lalu dikembungkan dan... tubuh Thian Ti Losu yang sudah lemas itu terlempar ke belakang sampai lima meter lebih jauhnya, roboh di atas tanah dalam keadaan setengah duduk.

Thian Ti Losu maklum apa yang telah menimpa dirinya. Bhok Hwesio sudah melakukan tindakan yang amat kejam, bukan membunuhnya melainkan mematahkan tulang kedua pundak, tulang punggung dan menghancurkan saluran hawa sakti di punggung sehingga mulai saat itu dia tidak akan mungkin lagi mempergunakan Iweekang atau sinkang dan sudah menjadi seorang tapa daksa selama sisa hidupnya!

"Manusia keji...!" katanya terengah-engah sambil menahan nyeri, akan tetapi sepasang matanya masih memandang tajam, "bunuh saja aku sekalian..."

"Huh-hu-huh, Thian Ti Losu. Kau benar-benar seorang yang tak kenal budi. Aku sengaja tidak membunuhmu agar kau dapat kembali ke Siauw-lim-pai dan membuktikan bahwa kau seorang yang setia dan dapat menunaikan tugas sampai batas kemampuan terakhir. Dan kau masih mengomel?"

"Lempar saja dia ke dalam jurang!" kata Bo Wi Sianjin yang masih merasa penasaran dan marah karena tadi dia terbanting masuk ke dalam tanah oleh tokoh Siauw-lim-pai itu.

"Heeeiii...! Mana dia...?!"

Seruan Maharsi itu membuat Bhok Hwesio dan Bo Wi Sianjin menengok. Baru sekarang mereka teringat akan diri gadis cucu Raja Pedang ketua Thai-san-pai itu.

"Wah, dia melarikan diri. Hayo kejar, dia penting sekali harus kita tawan!" Bhok Hwesio berseru.

Ketiga orang kakek ini segera meloncat dan lenyap dari tempat itu mengejar Lee Si, meninggalkan Thian Ti Losu yang hanya dapat memandang dengan hati mendongkol. la ditinggal dalam keadaan cacad, bersama mayat dua orang temannya, yaitu Sung Bi Tosu tokoh Kun-lun-pai dan Leng Ek Cu tokoh Kong-thong-pai.

Ke manakah perginya Lee Si? Apakah betul dugaan Bhok Hwesio tadi?

Pada saat gadis ini melihat bahwa di antara para kakek sakti itu timbul pertengkaran, dia maklum bahwa kehadirannya di situ sangat berbahaya dan bahwa saat itu merupakan kesempatan baik sekali baginya. Diam-diam ia menyelinap pergi pada saat pertandingan pertama terjadi. Setelah menyelinap di antara pepohonan dia lalu berlari cepat sekali, sengaja mengambil jalan melalui hutan-hutan lebat.

Sepuluh hari kemudian, Lee Si yang kali ini berlari menuju ke timur tanpa disengaja tiba di sebuah kota. Di tempat ini barulah dia mendapat kenyataan dari keterangan yang dia dapat bahwa selama ini dia telah salah jalan dan tersesat amat jauh.

Kota ini adalah Kong-goan, sebuah kota di Propinsi Secuan sebelah utara, cukup besar dan ramai, di lembah Sungai Cia-ling. Karena ketika tiba di kota ini hari sudah menjelang senja, setelah mendapatkan keterangan itu Lee Si lalu menyewa sebuah kamar di rumah penginapan yang kecil akan tetapi cukup bersih. Sehabis makan dia berjalan keluar dari kamarnya, terus ke depan rumah penginapan dengan maksud hendak keliling kota.

Tiba-tiba ia mengangkat muka dan hatinya berdebar. Entah apa sebabnya, saat bertemu pandang dengan seorang pemuda yang kebetulan lewat di depannya, hatinya berdebar dan mukanya terasa panas. Lee Si bingung dan heran sendiri.

Pemuda itu tampan sekali, mukanya putih dan halus seperti muka wanita, alisnya hitam tebal. Pakaiannya sederhana saja akan tetapi tak menyembunyikan tubuhnya yang kuat dan tegap. Gerak-geriknya jelas membayangkan ‘isi’, yaitu bahwa orang muda ini tentu memiliki kepandaian.

Agaknya yang kemasukan aliran ‘stroom’ aneh bukan hanya Lee Si karena pemuda itu yang tadinya berjalan dengan kepala menunduk, tiba-tiba saja mengangkat mukanya dan memandang Lee Si, bahkan setelah lewat, beberapa kali dia masih menengok sehingga dua pasang mata bertemu dan sinarnya seakan-akan menembus jantung!

Sejenak Lee Si berdiri termenung, memeras otak dan mengingat-ingat di mana ia pernah bertemu dengan pemuda tadi dan mengapa dia menjadi tertarik seperti ini. Akan tetapi tetap saja dia tidak dapat ingat di mana dan bila dia pernah melihat wajah itu, wajah yang seakan-akan tidak asing baginya dan yang membuat darah di tubuhnya berdenyut lebih cepat dari biasanya.

Akan tetapi setelah melihat betapa pemuda itu beberapa kali menengok memandangnya, timbul kemarahan di hati Lee Si. Betapa pun juga, pemuda itu amat kurang ajar, berani memandanginya seperti itu. Selain kurang ajar juga mencurigakan.

Lee Si cepat kembali memasuki kamarnya untuk mengambil pedangnya, dan tidak lama kemudian tubuhnya sudah berkelebatan di atas genteng yang mulai gelap dan langsung mengejar ke arah perginya pemuda tadi. Gerakannya cepat dan gesit sekali sehingga sebentar saja dia sudah melihat pemuda itu berjalan perlahan melalui jalan kecil yang gelap, kemudian terus keluar kota sebelah timur.

Siapakah pemuda tampan itu? Bukan pemuda biasa. Pemuda itu adalah Kwa Swan Bu, putera tunggal Pendekar Buta Kwa Kun Hong. Sudah lama sekali kita meninggalkan Pendekar Buta dan anak isterinya.

Setelah suami isteri beserta putera mereka ini pindah kembali ke tempat lama, yaitu di Liong-thouw-san, Swan Bu tidak begitu dimanja lagi seperti ketika dia berada di Hoa-san. Dia sangat tekun berlatih ilmu kepandaian di bawah bimbingan ayah bundanya, terutama sekali ayahnya.

Pada suatu hari, masih pagi-pagi sekali seperti biasa, Swan Bu turun dari puncak Liong-thouw-san dan pergi ke lereng sebelah kanan di mana terdapat jembatan tambang yang menghubungkan Liong-thouw-san dengan dunia luar. la duduk di atas sebuah batu besar dan memandang ke timur.

Sudah menjadi kesukaan Swan Bu untuk menanti munculnya matahari yang merah dan besar. Kadang kala dia memandang dengan hati penuh kerinduan, bukan rindu kepada matahari melainkan kepada dunia ramai. Bagi seorang pemuda seperti dia, tentu saja tinggal di puncak Liong-thouw-san hanya bersama ayah bundanya, merupakan keadaan yang kadang-kadang menyiksanya, tersiksa oleh kesunyian dan rindu dengan keramaian dunia.

Tentu saja Kwa Kun Hong dan isterinya, Kwee Hui Kauw, maklum dan dapat merasakan kesunyian hidup putera mereka, dan maklum pula betapa besar hasrat di hati Swan Bu untuk meninggalkan puncak itu dan merantau di dunia ramai. Akan tetapi, mereka selalu melarangnya dengan alasan bahwa tingkat kepandaiannya masih jauh dari cukup untuk dijadikan bekal merantau di dunia ramai karena di sana terdapat banyak sekali penjahat-penjahat yang berilmu tinggi.

Selagi Swan Bu masih duduk termenung sambil menikmati bola merah besar yang mulai tampak muncul dari balik puncak sebelah timur, tiba-tiba saja dia dikejutkan oleh sesosok bayangan manusia yang bergerak cepat meloncat ke sana ke mari. Jelas bahwa orang itu datang mendaki puncak itu yang memang tidak mudah dilalui.

Swan Bu tetap duduk tak bergerak, memandang penuh perhatian. Dari jarak sejauh itu, dan di dalam cuaca pagi yang masih remang-remang, dia tidak dapat mengenali siapa adanya orang yang datang ini. Terang bukanlah penduduk di sekitar Pegunungan Liong-thouw-san, karena tidak ada penduduk gunung yang dapat bergerak secepat itu.

Timbul kegembiraan di hati Swan Bu. Tentu seorang di antara anak murid Hoa-san-pai! Siapa lagi kalau bukan orang Hoa-san-pai yang datang berkunjung ini? Hatinya gembira karena semua anak murid Hoa-san-pai telah dia kenal baik.

Swan Bu melihat betapa orang itu meloncat ke atas jembatan tambang. Sesungguhnya bukanlah jembatan, melainkan sehelai tambang yang direntang dari seberang jurang dan untuk melalui ‘jembatan’ ini, orang harus memiliki kepandaian dan ginkang. Sekali saja terpeleset, mulut jurang yang menganga lebar mengerikan telah menanti di bawah untuk menelan lenyap tubuh si penyeberang yang jatuh!

Swan Bu dapat melihat betapa tambang itu bergoyang sedikit ketika orang tadi meloncat di atasnya dan kini berlari melalui tambang. Bergoyangnya tambang ini saja sudah cukup dijadikan ukuran oleh Swan Bu bahwa ginkang si pendatang ini belum begitu sempurna.

Teringat dia betapa ibunya melatih ginkang dan tambang inilah yang dijadikan ukuran. Selama dia belum dapat berlari-lari di atas tambang tanpa menggoyangkan tambang itu sedikit pun juga, dia diharuskan terus berlatih! Tentu saja sekarang dia dapat berlari-lari di atas tambang itu tanpa menggoyangkan tambang itu sama sekali.

Setelah orang itu datang mendekat, Swan Bu terheran-heran. Orang itu adalah seorang pemuda, sebaya dengannya. Seorang pemuda yang tampan, pakaiannya indah, pedang yang bersarung indah tergantung di pinggang, kepalanya ditutup sebuah topi lebar yang dihias sehelai bulu merak, membuat wajahnya tampak makin tampan.

Yang membuat Swan Bu terheran-heran adalah bahwa dia sama sekali tidak mengenal orang ini. Orang ini bukanlah anak murid Hoa-san-pai! Dia cepat berdiri dan menghadang di situ.

Sesudah melompat ke seberang setelah melalui jembatan tambang, pemuda itu melihat Swan Bu dan cepat dia menghampiri. Wajahnya yang tampan itu berseri dan mulutnya tersenyum. Cepat dia mengangkat kedua tangan memberi salam sambil berkata,

"Kalau tidak salah dugaanku, saudara ini adalah Kwa Swan Bu, putera dari paman Kwa Kun Hong, bukan?"

Kening Swan Bu berkerut dan dia menjadi makin curiga. Akan tetapi dengan hati tabah dia menjawab, "Dugaanmu betul. Siapakah engkau dan apa maksudmu mendaki puncak Liong-thouw-san?"

Pemuda itu tersenyum, tidak marah oleh sikap Swan Bu yang tidak manis. "Aku Bun Hui dari Tai-goan, ayahku adalah sahabat baik ayahmu."

"Ayahmu siapakah? She Bun...? Apakah ada hubungannya dengan Bun Lo-sianjin ketua Kun-lun-pai?"

"Beliau adalah kakekku!" seru Bun Hui gembira. "Ayahku adalah Jenderal Bun Wan yang bertugas di Tai-goan, dengan ayahmu terhitung sahabat baik."

Swan Bu lalu mengangguk-angguk. Tahulah dia sekarang siapa adanya pemuda tampan berpakaian indah dan mewah tetapi sikapnya ramah dan sederhana ini.

Tentu saja dia telah banyak mendengar tentang tokoh-tokoh di dunia kang-ouw dari ayah bundanya, baik tokoh-tokoh yang tergolong kawan mau pun yang tergolong lawan. Juga sudah sering kali ayah bundanya menyebut-nyebut nama keluarga Bun dari Kun-lun-pai, malah dia pun tahu bahwa ibu dari pemuda ini masih terhitung bibinya sendiri karena ibu pemuda ini adalah adik angkat ibunya. Jadi mereka berdua masih dapat disebut saudara misan.

Dia segera menjura dan berkata, "Maafkan penyambutanku yang kaku karena aku tidak tahu sebelumnya. Kiranya saudara adalah puteranya paman Bun Wan. Betul dugaanmu, aku adalah Kwa Swan Bu. Bolehkah aku mendengar urusan penting apa gerangan yang mendorong saudara datang ke sini jauh-jauh dari Tai-goan? Kuharap saja tidak terjadi sesuatu yang buruk atas diri paman berdua di Tai-goan."

Bun Hui tersenyum, girang hatinya mendapat kenyataan bahwa ternyata Swan Bu tidak sesombong tampaknya tadi.

"Gembira sekali hatiku dapat bertemu muka denganmu, adik Swan Bu. Sudah lama aku mendengar akan dirimu dari ayah bundaku, dan aku tahu bahwa usia kita sebaya, hanya aku lebih tua beberapa bulan saja darimu. Jangan kau khawatir, ayah bundaku dalam keadaan baik-baik saja. Kedatanganku ini diutus oleh ayah, selain untuk menyampaikan hormat kepada ayah bundamu, juga untuk memberi peringatan bahwa kini sudah mulai bermunculan musuh-musuh besar yang berusaha membalas dendam."

Berubah wajah Swan Bu yang tampan. Alisnya yang tebal hitam itu berkerut, matanya memancarkan sinar kemarahan. "Hemmm, kakak Bun Hui, berilah tahu kepadaku, siapa gerangan musuh-musuh yang berusaha untuk membalas dendam kepada ayah?"

"Ayahku lebih mengetahui akan hal itu dan agaknya ayah telah mencatat secara lengkap dalam suratnya yang kubawa untuk ayahmu. Sejauh pengetahuanku, agaknya penghuni Ching-coa-to yang telah mengumpulkan kekuatan untuk memusuhi ayahmu. Juga ada... orang dari Go-bi-san..."

Melihat keraguan Bun Hui, Swan Bu makin tertarik. "Siapakah dia, Twako? Juga musuh besar ayah?"

Bun Hui menelan ludah dan mengangguk. Beratlah hatinya untuk menyebut nama Siu Bi. Dia tidak ingin melihat Siu Bi bermusuhan dengan Liong-thouw-san, dan terlebih lagi dia tidak ingin dia melihat Siu Bi menjadi korban karena sudah pasti gadis itu akan menemui bencana kalau berani memusuhi Pendekar Buta.

"Ia datang dari Go-bi-san di mana terdapat dua orang bekas musuh besar ayahmu, yaitu Hek Lojin serta muridnya, The Sun. Mereka ini memiliki kepandaian hebat dan agaknya tak akan mau berhenti sebelum dapat membalas kekalahan mereka belasan tahun yang lalu."

"Hemmm, dan penghuni Ching-coa-to itu, siapakah?"

"Sepanjang pengetahuanku, kini di sana menjadi sarang Ang-hwa-pai yang dipimpin oleh ketua mereka yang berjuluk Ang-hwa Nio-nio. Juga ada bekas jagoan di istana selatan yang memiliki julukan Ang Mo-ko, juga amat lihai biar pun tidak sehebat Ang-hwa Nio-nio kepandaiannya. Masih banyak lagi teman-teman mereka yang tidak kuketahui."

"Twako, di manakah letaknya Ching-coa-to? Di mana pula tempat tinggalnya Ang Mo-ko dan apakah orang-orang Go-bi-san itu sudah turun gunung? Mereka berkumpul di mana sekarang?"

Bun Hui memandang curiga. "Adikku yang gagah, agaknya engkau bernafsu sekali ingin mengetahui tempat mereka, mau apakah kau?"

"Tidak apa-apa, twako. Bukankah lebih baik kalau mengetahui kedudukan dan keadaan lawan?"

Bun Hui lalu memberi tahu di mana letak Ching-coa-to. "Mungkin Ang Mo-ko yang tidak tentu tempat tinggalnya itu pun kini sudah berada di Ching-coa-to. Tentang orang-orang Go-bi-san, aku sendiri tidak tahu pasti di mana mereka berada. Hanya... kabarnya sudah turun gunung."

Benar-benar berat hati Bun Hui untuk bicara mengenai Siu Bi, dan ini pula yang sangat menggelisahkan hatinya di dalam perjalanan itu karena dia merasa khawatir kalau-kalau ayahnya memberi tahu perihal Siu Bi di dalam suratnya kepada Pendekar Buta.

"Twako, silakan kau naik ke puncak menghadap ayah dan ibu. Apa bila mereka bertanya tentang aku, tolong katakan bahwa aku hendak turun gunung mencegah kutu-kutu busuk itu mengganggu ketenteraman Liong-thouw-san!"

"Ehh, adik Swan Bu... jangan begitu... tak boleh tergesa-gesa dan berlaku sembrono...!" Bun Hui berseru gugup.

Namun Swan Bu tersenyum dan dagunya mengeras membayangkan kekerasan hatinya. "Mengapa jangan? Bukankah lebih baik kita mendahului lawan supaya jangan memberi kesempatan kepada mereka untuk bergerak? Apakah artinya aku menjadi putera tunggal ayah ibu jika aku tidak becus membasmi musuh-musuh ayah dan ibu sehingga bangsat-bangsat itu tidak akan berani mengganggu orang tuaku? Selamat berpisah, Twako dan terima kasih atas pemberi tahuanmu. Bila mana selesai tugasku, aku pasti akan mampir di Tai-goan untuk menghaturkan terima kasih kepada ayah bundamu."

Bun Hui menyesal bukan main mengapa dia tadi banyak bicara kepada pemuda yang berwatak keras itu. Cepat-cepat dia mendaki ke atas puncak agar dapat memberi tahu kepada paman serta bibinya sehingga mereka akan dapat mencegah Swan Bu turun gunung.

la maklum bahwa Swan Bu tentu memiliki kepandaian yang tinggi, akan tetapi mana bisa pemuda ini menghadapi musuh-musuh tangguh itu jika hanya seorang diri? Baru Siu Bi, gadis remaja itu saja sudah demikian hebat kepandaiannya, apa lagi musuh-musuh lain yang lebih tua usianya. Ia juga sudah mendengar betapa Ang-hwa Nio-nio memiliki ilmu yang amat tinggi.

Tergesa-gesa dia mendaki puncak melalui tangga tambang. Pada saat dia tiba di depan pondok, dia melihat seorang lelaki berusia sebaya ayahnya sedang duduk di atas bangku menjemur diri di bawah sinar matahari pagi. Di sebelahnya duduk seorang wanita sebaya ibunya, lebih tua sedikit, cantik sekali, keduanya bercakap-cakap dengan sikap tenang.

Meski sudah sering kali dia mendengar ayahnya menyanjung-nyanjung dan memuji-muji Pendekar Buta, namun Bun Hui belum pernah bertemu muka dengan pendekar itu atau pun isterinya. Akan tetapi, melihat kesederhanaan mereka yang sekarang sedang duduk di depan pondok, dia dapat menduga bahwa mereka tentulah paman dan bibinya itu.

Apa lagi sekarang jelas kelihatan betapa sepasang mata laki-laki setengah tua itu tidak pernah berkedip dan ketika dia berjalan mendekat, tampak olehnya betapa kedua mata itu kosong tak berbiji! Sebatang tongkat kayu yang bersandar pada bangku laki-laki buta itu menarik perhatiannya. Diam-diam tengkuknya meremang sebab ia sering mendengar dari ayahnya tentang keampuhan tongkat itu yang telah merobohkan banyak tokoh besar dunia kang-ouw.

Kini mereka berhenti bercakap-cakap dan menengok ke arahnya. Terkejut hati Bun Hui pada waktu bertemu pandang dengan sepasang mata nyonya itu. Alangkah tajam, penuh wibawa dan seakan-akan menembus langsung ke dalam dadanya! Seakan-akan mata nyonya itu mewakili pula mata suaminya yang buta sehingga kekuatan pandangannya bagaikan pandangan mata dua orang digabung menjadi satu.

Segera dia maju dan menjatuhkan diri berlutut di hadapan mereka tanpa mempedulikan tanah yang agak basah oleh embun pagi dan mengotori celana pakaiannya yang indah.

"Bangunlah, Hui-ji (anak Hui), tak perlu kau terlalu sungkan. Lihat, pakaianmu kotor oleh tanah basah!" Wanita itu, Kwee Hui Kauw, menegur Bun Hui.

Bun Hui tercengang. Bagaimana nyonya itu dapat mengetahui bahwa dia adalah Bun Hui? Selamanya baru kali ini dia bertemu muka dengan suami isteri pendekar ini!

"Betul kata isteriku, orang muda. Kau bangkit dan duduklah, mari kita bicara yang enak."

"Paman... Bibi... mohon ampun sebesarnya... saya telah berbicara dengan adik Swan Bu dan..."

Pendekar Buta Kwa Kun Hong tersenyum, menggerakkan tangannya mencegah pemuda itu melanjutkan kata-katanya. "Dan dia pergi turun gunung? Tidak apa, anakku. Memang sudah waktunya dia turun gunung dan menambah pengalaman. Lebih baik kau serahkan surat ayahmu kepadaku."

Untuk kedua kalinya Bun Hui tercengang. Bagaimana suami isteri itu dapat mengetahui semuanya? Dapat tahu bahwa dia datang membawa surat ayahnya, tahu pula tentang perginya Swan Bu turun gunung dan tahu bahwa dia itu Bun Hui padahal baru kali ini bertemu muka.

Satu-satunya jawaban yang menerangkan keanehan ini hanyalah bahwa suami isteri ini tentu tadi sudah melihat kedatangannya dan mendengar percakapannya dengan Swan Bu, tanpa dia sendiri mengetahui akan kehadiran mereka! Ini saja sudah membuktikan kelihaian mereka!

la segera mengambil surat ayahnya dan menyerahkannya kepada Kwa Kun Hong. Tak enak hatinya, sebab bagaimana dia dapat menyerahkan surat kepada seorang yang buta kedua matanya? Untuk memberi tahu bahwa surat sudah dia keluarkan, bibirnya lantas bergerak hendak bicara agar paman yang buta itu dapat mengetahui.

Tapi sebelum dia membuka mulut, Kun Hong sudah menggerakkan tangannya menerima surat itu dengan gerakan sewajarnya seperti seorang yang tidak buta. Seakan-akan dia betul-betul melihat surat itu dan menerimanya tanpa ragu-ragu lagi. Tentu saja Bun Hui menjadi kaget setengah mati dan mulailah dia meragukan kebutaan Kwa Kun Hong.

Akan tetapi keraguannya lenyap ketika Kun Hong menyerahkan surat itu kepada isterinya untuk dibaca. Dengan suaranya yang halus dan merdu Kwee Hui Kauw membaca surat itu yang isinya hampir sama dengan apa yang telah diceritakan Bun Hui kepada Swan Bu tadi, hanya bedanya bahwa di dalam surat itu juga disebut nama Siu Bi sebagai seorang musuh besar yang mengancam hendak membuntungi tangan Pendekar Buta serta anak isterinya!

Kwa Kun Hong tersenyum pahit dan berkata lirih sesudah isterinya selesai membaca, "Hemmm, benci-membenci, dendam-mendendam, permusuhan, bunuh-membunuh, apa senangnya hidup bila dunia penuh dengan amukan nafsu ini? Isteriku, aku sudah bosan dengan segala urusan itu. Mudah-mudahan saja Swan Bu akan dapat mengingat semua nasehatku dan tidak suka menanam bibit permusuhan dengan siapa pun juga di dunia ini..."

"Tak perlu digelisahkan semua itu," jawab isterinya dengan suara tetap tenang, halus dan merdu, "Orang lain boleh meracuni hati sendiri dengan menanam kebencian, orang lain boleh mengikat diri dengan dendam dan permusuhan, akan tetapi kita yang sadar akan penyelewengan hidup itu tidak akan menuruti bujukan nafsu dan setan. Orang membenci kita, orang memusuhi kita, asalkan kita tak membenci dan tidak memusuhi mereka, maka kitalah yang menang. Bukanlah begitu kata-katamu sendiri? Nah, kalau ada yang hendak memusuhi kita, biarkan saja mereka datang. Kalau boleh, kita peringatkan mereka, kita sadarkan mereka, kalau tidak, apa boleh buat, selama masih hidup kita wajib membela diri. Kalau kita yang diberi anugerah hidup tidak mau melakukan kewajiban membela dan menjaga diri, berarti kita kurang terima dan tak bisa menghargai anugerah itu. Bukankah begitu apa yang sering kau katakan, suamiku?"

Kwa Kun Hong menarik nafas panjang, kepalanya mengangguk-angguk. Bun Hui berdiri bengong, hatinya terharu sekali dan tak kuat dia menentang wajah kedua orang itu yang membuatnya tunduk lahir batin.

Baru kali ini selama hidupnya dia menyaksikan keadaan penuh damai, penuh cinta kasih, penuh pengertian dan penuh kata-kata yang memiliki arti begitu dalam pada sepasang suami isteri. la menunduk dan sikap serta kata-kata suami isteri itu saja sudah lebih dari cukup untuk membuat hati anak muda ini menjadi kagum dan tunduk.

"Hui-ji, kami sangat berterima kasih kepada ayahmu yang penuh perhatian dan tentu juga kepadamu yang sudah melakukan perjalanan sejauh ini. Kuharap kau suka beristirahat di sini barang sepekan, agar kita dapat bercakap-cakap dan kami bisa mendengar ceritamu tentang keadaan orang tuamu dan juga keadaan dunia ramai," kata Kwa Kun Hong.

"Saya akan mentaati perintah Paman dan sementara itu, saya yang muda dan bodoh banyak mengharapkan petunjuk-petunjuk dari Paman dan Bibi."

Senang hati suami isteri itu melihat sikap dan mendengar kata-kata yang amat baik dari Bun Hui. Begitulah, pemuda ini tinggal sampai sepuluh hari di puncak Liong-thouw-san dan selama itu, selain menceritakan segala hal tentang keadaan di kota raja dan lain-lain yang ditanyakan kedua orang tua itu, juga dia menerima banyak petunjuk-petunjuk yang amat diperlukan untuk menyempurnakan kepandaian silatnya, terutama ilmu pedangnya Kun-lun Kiam-sut banyak mendapat kemajuan oleh petunjuk Kwa Kun Hong…..

********************

Sementara itu, Kwa Swan Bu sudah berlari cepat sekali turun dari puncak. Dia merasa agak bersalah karena tidak berpamitan kepada ayah bundanya, akan tetapi dia sengaja meninggalkan pesan saja kepada Bun Hui karena dia dapat menduga bahwa meski pun ayahnya tidak akan melarangnya, akan tetapi ibunya tentu akan menyatakan keberatan. Sudah sering kali dia menyatakan ingin turun gunung dan selalu dicegah ibunya yang berkata bahwa kepandaiannya kurang cukup untuk dipakai menjaga diri dari gangguan orang-orang jahat yang banyak terdapat di dunia kang-ouw.

Sekarang Swan Bu tak ragu-ragu lagi. Tadinya, memang dia meragu dan membenarkan ibunya, maka dia menunda keinginan hatinya untuk turun gunung. Akan tetapi begitu melihat Bun Hui, keraguannya lenyap.

Dari gerakan Bun Hui pada saat menyeberangi jembatan tambang, jelas tampak olehnya bahwa tingkat kepandaiannya tidak kalah oleh tingkat yang dimiliki Bun Hui. Kalau Bun Hui sudah diperbolehkan ayahnya melakukan perjalanan jauh seorang diri, mengapa dia tidak boleh? Pendapat ini lebih diperkuat lagi oleh dorongan hatinya yang menjadi panas mendengar betapa orang tuanya diancam oleh banyak bekas musuh lama.

Pada suatu hari sampailah dia di kota Kong-goan di tepi Sungai Cia-ling. la bermaksud untuk melanjutkan perjalanan melalui Sungai Cia-ling, terus ke selatan sampai di Sungai Yang-ce-kiang kemudian melanjutkan perjalanan ke timur melalui sungai besar itu.

Akan tetapi, pada waktu dia tiba di tepi sungai dan hendak menyewa perahu yang suka mengantarnya sampai ke Sungai Yang-ce-kiang, dia melihat dua orang pengemis tengah menggotong seorang pengemis lain yang agaknya sakit keras, wajahnya pucat, tubuhnya lemah dan dari mulutnya keluar darah.

Tadinya Swan Bu tak mau mencampuri urusan orang lain sungguh pun sekilas pandang tahulah ia bahwa kakek pengemis yang digotong itu telah terluka hebat di sebelah dalam tubuhnya. Akan tetapi perhatiannya segera tertarik pada waktu dia melihat pakaian para pengemis yang penuh tambalan itu.

Pakaian penuh tambalan itu berwarna-warni dan berkembang-kembang. Teringat ia akan cerita ayahnya bahwa perkumpulan pengemis Hwa-i Kaipang (Perkumpulan Pengemis Baju Kembang) adalah suatu perkumpulan pengemis yang patriotik dan ayahnya sendiri menjadi ketua kehormatan!

"Lopek, berhenti dulu! Biarkan aku mencoba untuk menolong orang tua yang menderita luka pukulan Ang-see-ciang ini!"

Dua orang pengemis yang menggotong si sakit memandang curiga. Akan tetapi kakek pengemis yang terluka itu membuka mata, memandang heran, lalu berkata dengan nafas terengah-engah, "Turunkan aku... biarkan Kongcu ini memeriksaku..."

Dua orang pengemis itu terheran, akan tetapi mereka tidak berani membantah. Tubuh kakek itu tidak jadi dimasukkan ke dalam perahu, akan tetapi diletakkan di atas tanah pasir.

Swan Bu tidak mau membuang banyak waktu lagi. Jalur-jalur merah pada leher itu jelas menampakkan tanda korban pukulan Ang-see-ciang (Tangan Pasir Merah). Dia segera menghampiri, berlutut dan menggunakan jari telunjuk serta jari tengah kanannya untuk menotok dua kali pada pundak kanan kiri, kemudian sekali dia menekan punggung dan mengurutnya ke bawah sambil mengerahkan tenaga, kakek itu terbatuk dan muntahkan segumpal darah merah yang sudah mengental, sebesar kepala ayam.

Dua orang pengemis yang menggotong tadi terkejut sekali dan mereka melompat maju, malah sudah mengepal tinju siap untuk menerjang Swan Bu.

"Kau... kau membunuh Susiok (Paman Guru)...!" bentak seorang di antara mereka sambil menubruk maju dan memukul.

Swan Bu yang maklum bahwa orang ini salah duga, tidak mempedulikannya. Tubuhnya yang masih berjongkok itu bergerak sedikit dan... penyerangnya langsung terlempar ke depan, melalui atas pundaknya kemudian terbanting ke air sungai sehingga air muncrat tinggi dan orang itu gelagapan sambil berenang ke pinggir.

Kawannya hendak menyerang, tapi tiba-tiba kakek yang sakit tadi membentak, "Goblok! Apa mata kalian sudah buta?"

Si pengemis kedua tidak jadi menyerang, sedang pengemis pertama yang telah berhasil berenang ke pinggir, sekarang memandang dengan heran, juga girang. Kiranya kakek pengemis yang tadinya sudah empas-empis nafasnya, sekarang sudah bangkit duduk, malah dengan perlahan lalu bangun berdiri dan menjura ke depan Swan Bu!

"Orang muda yang gagah perkasa, kau sudah menolong nyawa seorang pengemis tua bangka yang tiada gunanya. Sicu, bolehkah aku mengetahui namamu?"

"Lopek, tidak usah banyak sungkan. Bukankah Lopek bertiga ini orang-orang dari Hwa-i Kaipang?"

Pertanyaan Swan Bu ini disambut biasa saja oleh tiga orang kakek itu karena memang Hwa-i Kaipang bukan perkumpulan yang tidak terkenal, apa lagi mudah saja diketahui dari pakaian mereka. Kakek itu mengangguk dan menjawab,

"Tak keliru dugaanmu, Sicu. Aku adalah kakek Toan-kiam Lo-kai (Pengemis Tua Pedang Pendek), sebuah julukan yang kosong melompong, dan dua orang ini adalah murid-murid keponakanku. Sicu masih begini muda sudah luas pandangannya, sekali pandang tahu akan bekas pukulan Ang-see-ciang, siapakah nama Sicu yang mulia dan dari perguruan mana?

"Lopek, mari kita bicara di tempat yang enak," kata Swan Bu sambil mengerling ke arah orang-orang yang banyak berkumpul karena tertarik oleh kejadian ini.

Toan-kiam Lo-kai dapat menangkap isyarat ini, dia lalu menggerakkan kedua lengannya ke arah orang-orang di situ sambil berkata, "Saudara-saudara harap sudi meninggalkan kami agar kami dapat bicara leluasa."

Heran, orang-orang itu segera pergi tanpa banyak membantah lagi. Hal ini membuktikan kepada Swan Bu bahwa di daerah ini agaknya Hwa-i Kaipang bukan tidak mempunyai pengaruh. Setelah semua orang pergi, Swan Bu berkata,

"Lopek, ketahuilah bahwa aku she Kwa bernama Swan Bu, dari Liong-thouw-san...”.

Serta merta kakek itu bersama kedua orang murid keponakannya lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Swan Bu!

"Ah, kiranya Siauw-hiap (Pendekar Muda) yang telah menolong saya! Ah, sungguh suatu kebetulan yang sangat membesarkan hati. Bagaimana kabarnya dengan Taihiap berdua di Liong-thouw-san?"

"Ayah dan ibuku baik-baik saja, terima kasih."

"Kiranya putera ketua kehormatan kita!" Kakek itu hampir bersorak kegirangan. "Kalau begitu tidak heran jika sekali pandang saja sudah tahu akan luka pukulan Ang-see-ciang! Wah, Siauwhiap tentu telah mewarisi ilmu kepandaian yang sakti dari Taihiap, ilmu silat dan ilmu pengobatan!"

"Ahh, aku yang muda dan masih hijau mana mampu mewarisi semua kepandaian ayah. Sudahlah, tidak ada gunanya segala puji-memuji ini. Lopek, lebih baik sekarang engkau ceritakan kepadaku, mengapa kau sampai terluka hebat oleh pukulan Ang-see-ciang dan siapakah pemukulmu, apa pula sebab-sebabnya?"

Toan-kiam Lo-kai menarik nafas panjang.

"Siauwhiap, perubahan besar telah terjadi pada Hwa-i Kaipang sejak suhu Hwa-i Lo-kai meninggal dunia. Apa lagi sesudah Kwa-taihiap diketahui tidak pernah turun dari puncak Liong-thouw-san. Hwa-i Kaipang tidak dipandang mata lagi orang-orang kang-ouw. Tentu kau sudah mendengar dari ayahmu bahwa sudah semenjak dahulu, perkumpulan Hwa-i Kaipang bukan perkumpulan pengemis biasa saja. Selain itu para anggotanya memiliki tugas untuk menolong kaum lemah yang tertindas, bahkan ikut pula menjaga keamanan kota dari gangguan para penjahat. Akan tetapi, dengan kedatangan pembesar dari kota raja yang bertugas mengumpulkan tenaga-tenaga suka rela untuk membangun terusan dan tembok besar atas perintah kaisar, banyak anak buah Hwa-i Kaipang ditangkapi dan dipaksa menjadi sukarelawan. Orang-orang biasa, terutama yang kaya, dibebaskan asal bisa membayar uang tebusan. Bukankah hal ini menggemaskan?"

"Hemmm, pembesar macam itu sepatutnya diberi hajaran!" kata Swan Bu.

"Itulah! Kami sudah berusaha memberi peringatan kepada Lo-ciangkun (komandan Lo) yang memimpin pengerahan bantuan itu, akan tetapi kami malah dianggap memberontak terhadap perintah kaisar! Karena percekcokan ini, terjadilah keributan dan pertengkaran yang berekor pertempuran."

"Ahh, kalau begitu keliru juga, Lopek. Tidak baik melawan dengan kekerasan, hal itu bisa menimbulkan kesan bahwa Hwa-i Kaipang sudah memberontak."

Kakek itu mengangguk-angguk. "Memang benar, tetapi kami pun harus membela anak buah kami yang sudah ditahan dan dipaksa, serta membebaskan pula orang-orang muda miskin yang tidak mampu membayar uang tebusan dan ditahan juga. Mereka itu, untuk memberi makan keluarganya saja sudah setengah mati. Sesudah mereka ditangkap dan dibawa pergi untuk kerja paksa yang disebut suka rela itu, keluarganya tentu akan mati kelaparan!”

"Akan tetapi kita dapat mengambil jalan lain, misalnya menemui komandan itu secara langsung."

"Hal itu sudah kulakukan dan hasilnya aku terluka parah inilah, Siauwhiap. Komandan itu dibantu oleh seorang iblis wanita yang sangat lihai, seorang pendatang baru dari barat. Kabarnya karena munculnya wanita itu maka para pembesar di daerah ini amat berubah, berani berlaku sewenang-wenang. Orang-orang gagah yang mencoba menentangnya, semua tewas atau roboh oleh Ang-jiu Toanio, iblis wanita itu. Karena ingin menyingkirkan biang keladi penyalah-gunaan kekuasaan dengan mengandalkan orang kuat itu, sengaja aku mendatangi Ang-jiu Toanio dan kesudahannya aku terluka..."

Sudah bergolak darah Swan Bu mendengar ini. Akan tetapi dia pun terheran, mengapa seorang wanita tua, seorang tokoh kang-ouw, membantu pembesar she Lo itu.

"Lopek, mari kau antarkan aku pergi menemui Lo-ciangkun itu. Biarkan aku yang bicara dengannya, apa bila dia masih bertindak sewenang-wenang dan hendak mengandalkan Ang-jiu Toanio, biar aku akan coba-coba menghadapinya."

Girang hati kakek itu. "Akan tetapi, harap kau suka berhati-hati, Siauwhiap. Ketahuilah, Ang-jiu Toanio benar-benar luar biasa sekali. Tinggalnya di kuil rusak di sebelah selatan kota, keadaannya penuh rahasia, seperti iblis saja. Tidak ada orang yang pernah dapat memasuki kuil itu. Semua orang gagah, termasuk aku sendiri, roboh di halaman kuil oleh pukulan-pukulan Ang-see-ciang yang luar biasa."

"Biar aku akan mencobanya, Lopek. Mari!"

Toan-kiam Lo-kai dengan hati besar lalu mengiringi Swan Bu menuju ke rumah gedung tempat tinggal Lo-ciangkun. Gedung besar itu dijaga beberapa orang pengawal yang bersenjata tombak dan golok. Begitu para penjaga itu melihat Toan-kiam Lo-kai, mereka terkejut dan panik. Baru kemarin pengemis tua itu telah membikin onar dan mereka yang tidak melihat sendiri sudah mendengar bahwa pengemis itu telah dirobohkan oleh Ang-jiu Toanio, bagaimana sekarang berani muncul di gedung ini lagi?

"He, berhenti! Kalian siapa dan mau apa?" bentak mereka dan berbarislah belasan orang pengawal menjaga di depan pintu, sebagian lagi lari ke dalam untuk melaporkan kepada Lo-ciangkun.

"Aku hendak bicara dengan Lo-ciangkun. Kalian ini para penjaga harap jangan bikin ribut, aku tidak ada urusan dengan kalian. Lebih baik lekas melaporkan kepada Lo-ciangkun bahwa aku Swan Bu minta bicara dengannya," kata Swan Bu dengan tenang, kemudian dia melangkah terus maju melalui pintu gerbang menuju ke ruangan depan.

Para pengawal itu hanya mengurung, namun tidak berani menghalangi, terutama sekali mereka takut terhadap Toan-kiam Lo-kai yang diam saja, hanya melirik ke kanan dan kiri dengan matanya yang sipit.

"Orang muda, berhenti, tidak boleh masuk! Apa kami harus menggunakan kekerasan?!" Komandan jaga membentak dan mengacung-acungkan tombaknya.

"Apa bila Lo-ciangkun tidak mau keluar menemuiku, aku akan terus maju mencarinya ke dalam rumah sampai ketemu, soal kekerasan, terserah kalau hendak menggunakannya!" jawab Swan Bu, masih tetap tenang dan kakinya masih bergerak maju.

Pengemis tua itu diam-diam merasa khawatir dan mengikuti dari belakang. Dia anggap perbuatan Swan Bu itu biar pun gagah berani, akan tetapi sembrono sekali. Bagaimana boleh memasuki mulut harimau secara begini sembrono?

Tentu saja terhadap para penjaga itu dia tidak takut sama sekali, tetapi dia pun maklum bahwa selain Lo-ciangkun sendiri seorang pandai, juga di situ terdapat banyak jago yang tangguh. Siapa tahu kalau-kalau wanita iblis itu berada di situ pula.

Para penjaga itu sudah mengurung dan bersiap menerjang dengan senjata mereka yang berkilauan tajam. Akan tetapi tiba-tiba mata mereka silau oleh gulungan sinar putih yang panjang berkelebatan, disusul suara nyaring.

Sinar itu segera lenyap dan hanya tampak tangan pemuda itu bergerak mengembalikan pedang ke belakang punggung dan... belasan batang tombak di tangan para pengawal itu tinggal gagangnya saja! Dengan gerakan yang sulit diikuti mata saking cepatnya, dan dengan cara yang amat luar biasa, pemuda itu telah mencabut pedang dan membuntungi belasan batang tombak tanpa mereka ketahui.

Malah cara pemuda itu tadi mencabut pedang, menggerakkan, kemudian menyimpannya kembali, tak seorang pun di antara mereka dapat melihat jelas. Seperti sulap saja.

Toan-kiam Lo-kai sendiri mengangguk-angguk dan bukan main kagum di hatinya. Itulah gerakan ilmu pedang yang luar biasa, kesaktian yang hanya mungkin dimiliki oleh putera Pendekar Buta.

"Kalian lihat, aku tidak berniat buruk, buktinya leher kalian tidak putus. Aku hanya ingin bicara dengan Lo-ciangkun!" kata pula Swan Bu, suaranya tetap tenang.

Paniklah para penjaga itu, untuk mundur mereka takut meninggalkan tugas, maju pun jeri menghadapi pemuda yang luar biasa itu. Mereka hanya berdiri mengurung di ruangan depan itu, muka pucat dan badan gemetar. Swan Bu dan pengemis tua itu duduk di atas bangku yang banyak terdapat di ruangan itu.

"Lekas laporkan kepada Lo-ciangkun!" tiba-tiba pengemis itu membentak, suara galak.

"Sudah lapor... sudah lapor...,“ seorang penjaga menjawab ketakutan.

Tiba-tiba pintu sebelah dalam terbuka lebar dan muncullah seorang laki-laki tinggi kurus. Pria berpakaian perwira ini di dampingi oleh empat orang yang tinggi tegap, berpakaian ringkas dengan sikap seperti jagoan-jagoan.

"Ada apakah ribut-ribut di sini...? Ehh, kau berani datang lagi? Benar-benar kau hendak memberontak!" bentak perwira tinggi kurus itu sambil melotot ke arah Toan-kiam Lo-kai.

Swan Bu cepat bangun berdiri, tegak dan gagah. "Kaukah yang disebut Lo-ciangkun?" tanyanya, suaranya nyaring.

Komandan itu memandang marah. "Betul, aku Lo-ciangkun. Orang muda, kau tampan dan gagah, jangan kau ikut-ikut jembel pemberontak ini..."

"Lo-ciangkun, Lopek ini hanya mengantar aku ke sini. Akulah yang sengaja datang ingin bicara denganmu tentang perbuatan sewenang-wenang yang kau lakukan di kota ini dan daerahnya. Kau memaksa orang-orang yang tidak mampu memberi uang tebusan untuk kerja paksa mengerjakan tembok besar dan terusan, dengan alasan bahwa itu adalah perintah kaisar. Orang-orang miskin, pengemis-pengemis, kau paksa serta kau tahan, akan tetapi mereka yang mampu membayar uang tebusan, yang mampu menyogok kau bebaskan. Benarkah ada perbuatan sewenang-wenang macam ini?"

Walau pun sejak kecil Swan Bu tinggal di gunung-gunung, pertama di Hoa-san kemudian pindah ke Liong-thouw-san, namun dia banyak mendengar dari ayah bundanya tentang keadaan kota raja dan sejarahnya.

Wajah perwira itu menjadi merah saking marahnya.

"Keparat, kau ini mempunyai kedudukan apa berani bicara macam itu kepadaku? Anak kecil yang masih ingusan dan belum tahu apa-apa, sikapmu yang kurang ajar ini akan mencelakakan kau sendiri. Mengingat akan usiamu yang muda, biarlah kuampuni. Hayo pergi dan jangan banyak rewel lagi!"

Diam-diam Swan Bu berpikir…..

Traktiran: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan) ataupun bisa melalui via Trakteer yang ada dibawah

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar