"Yo-twako... nah, aku pun menyebutmu Yo-twako, seperti Cui Sian tadi. Yo-twako..."
“Hemmm…”
"Waduh, kau senang ya kusebut Yo-twako?"
"Tentu saja senang, Bi-moi. Kau hendak berkata apa tadi?"
"Yo-twako, apakah kau suka kepadaku?"
Yo Wan tersentak kaget. Benar-benar gila! Mana ada seorang gadis bertanya tentang hal ini seperti orang bertanya mengenai perut lapar atau tubuh lelah saja. Begitu biasa dan sederhana! Begitu langsung dan terus terang. Apakah tidak luar biasa?
"Tentu saja, Bi-moi. Aku... aku… suka kepadamu."
"Betul? Tidak bohong? Jangan-jangan di mulut bilang begitu, di hati berbunyi lain!"
"Sungguh mati, Bi-moi. Aku memang suka padamu, suka betulan, tidak main-main dan tidak bohong!"
"Betul suka? Dan kau mau menolongku, mau membantuku?"
"Tentu saja!"
Siu Bi memegang kedua tangan Yo Wan dan meloncat-loncat kecil seperti orang menari, wajahnya berseri, matanya bersinar-sinar, kedua pipinya merah, bibirnya yang manis dan merah membasah itu sedikit terbuka, terhias oleh senyum. Bukan main cantik manisnya, membuat Yo Wan terpesona dan tubuhnya serasa dingin.
"Yo-koko yang baik, koko yang perkasa. Terima kasih! Aku pun suka sekali kepadamu! Yo-twako, mari kau bantu aku untuk mencari Pendekar Buta dan membuat perhitungan, membalas sakit hati kakek Hek Lojin!"
Kepala Yo Wan serasa disambar geledek. Mampuslah kau sekarang! Mau rasanya dia menggejil (memukul dengan buku jari) kepalanya sendiri. Mampus kau si sembrono! Cih, terbujuk dan tertipu oleh kanak-kanak! Ingin dia marah marah kepada diri sendiri, marah kepada Siu Bi. Akan tetapi dia tidak tega memarahi dara yang begini gembira ria dan bahagia. Dia harus berlaku cerdik. Boleh juga membohong demi keselamatan hubungan mereka, demi kesenangan Siu Bi.
"Tentu saja aku akan membantumu dalam segala hal, Bi-moi. Tetapi mari kita duduk dulu dan kau ceritakan padaku riwayat hidupmu. Siapakah kakekmu yang bernama Hek Lojin itu? Dan mengapa kau memusuhi Pendekar Buta? Kemudian, kau juga belum ceritakan bagaimana kau yang tadinya terculik oleh anggota Ang-hwa-pai itu tahu-tahu bisa bebas dan kelihatannya tidak dimusuhi lagi di Ching coa to”.
Siu Bi duduk di atas rumput, wajahnya masih berseri. "Engkau baik sekali, Yo-twako. Aku sekarang takkan marah lagi padamu. Maafkan kelakuanku yang sudah-sudah, ya?"
Yo Wan terharu. Seorang gadis yang baik, baik sekali pada dasarnya. Kasihan, agaknya tidak mendapatkan pendidikan sebagaimana mestinya di waktu kecil.
"Tidak ada yang perlu dimaafkan, adikku. Kau seorang gadis yang baik sekali.”
"Sebetulnya aku tidak suka menceritakan riwayatku kepada siapa pun juga, Twako. Akan tetapi kepadamu... lain lagi."
Aduhhh, jantung Yo Wan serasa cesssss... bagai direndam air es. la memandang wajah itu dan kedua matanya seakan-akan bergantung pada bibir yang bergerak-gerak lincah.
"Aku mau ceritakan semua, akan tetapi kau harus berjanji akan memberi pelajaran ilmu silat kepadaku, Twako."
"Ilmu silat? Tapi... ilmu silatmu sudah hebat sekali!"
"Hebat apanya? Cara engkau menghindarkan pedangku tadi. Bukan main! Aku ingin kau mengajarkan aku cara mengelak seperti itu, Twako."
Yo Wan terkejut, Si-cap-it Sin-po atau ilmu langkah ajaib itu dia pelajari dari Pendekar Buta! Mana boleh diajarkan kepada orang lain, apa lagi kepada orang yang jelas berniat memusuhi Pendekar Buta? Tetapi dia segera mendapat sebuah pikiran yang cerdik dan bagus, maka dia mengangguk. "Baiklah, nanti kuajarkan itu kepadamu!"
Siu Bi mulai dengan ceritanya secara singkat. "Aku anak tunggal seorang janda, sampai sekarang aku tak tahu siapa ayahku sebab ibu merahasiakannya. Aku lalu diambil anak oleh ayah angkatku, juga aku menerima pelajaran dari kakek guruku, yaitu Hek Lojin itu. Semenjak kecil aku belajar silat di Go-bi-san dan kakek Hek Lojin amat sayang padaku. Dia kehilangan lengannya, buntung sebatas siku kiri, dibuntungi oleh Pendekar Buta saat bertempur melawannya. Karena kakek amat baik padaku, dia sudah menurunkan semua ilmunya kepadaku dan aku sudah bersumpah sebelum dia meninggal dunia bahwa aku pasti akan mencari Pendekar Buta kemudian membalaskan dendam hatinya dengan cara membuntungi lengan Pendekar Buta dan anak isterinya."
"Mengapa kakekmu bertempur dengan Pendekar Buta? Apakah dia tidak menceritakan kepadamu sebab-sebabnya sehingga kau dapat mengerti apakah sebetulnya kesalahan Pendekar Buta terhadap kakekmu?" Dengan hati-hati dan secara berputar, Yo Wan lalu bertanya dengan maksud mengingatkan gadis ini bahwa tidak baik mengancam hendak membuntungi lengan orang-orang tanpa tahu kesalahan mereka yang sesungguhnya.
Akan tetapi dia keliru. Siu Bi menggerakkan alisnya yang hitam panjang dan kecil seperti dilukis. "Apa peduliku tentang itu? Bukan urusanku! Urusan antara mendiang kakek dan Pendekar Buta, tiak ada sangkut-pautnya dengan aku. Urusanku dengan Pendekar Buta hanya untuk membalaskan sakit hati kakek yang sudah dibuntungi lengannya, tentu saja berikut tambahan bunganya karena kakek sudah menderita puluhan tahun lamanya. Ada pun bunganya adalah lengan isteri dan anak Pendekar Buta."
Jawaban ini membuat Yo Wan menggeleng-gelengkan kepalanya sambil menarik nafas panjang.
"Ehh, kau tidak setuju? Bukankah kau bilang hendak membantuku menghadapi mereka?"
Cepat Yo Wan menjawab. "Memang, aku akan membantumu dalam segala hal, Bi-moi. Akan tetapi, aku hanya ingin mengatakan bahwa tugasmu itu sama sekali bukanlah hal yang mudah dilaksanakan. Pendekar Buta Kwa Kun Hong ialah seorang pendekar besar yang sangat sakti. Isterinya pun memiliki ilmu kepandaian tinggi, juga puteranya. Mereka bertiga merupakan keluarga yang sukar sekali dilawan, apa lagi dikalahkan secara yang kau katakan tadi, membuntungi lengan mereka. Wahhh, hal ini kurasa tak akan mungkin dapat kau lakukan."
"Hemmm, Yo-twako, kenapa kau begini kecil hati dan penakut? Aku sih sama sekali tidak takut! Apa lagi ada kau di sampingku yang akan membantuku, Menghadapi iblis-iblis dari neraka pun aku tidak takut! Kau tak usah khawatir, Twako. Kalau kita sudah berhadapan dengan mereka, biarkan aku menghadapi mereka sendiri. Kau tak usah ikut campur atau turun tangan. Terserah kepadamu apakah kau mau membantuku kalau melihat aku kalah oleh mereka. Aku hanya minta kau temani aku ke Liong-thouw-san. Bagaimana?"
Yo Wan merasa kasihan sekali dan hatinya tidak tega untuk menolak. Sungguh seorang gadis yang patut dikasihani. Tidak tahu siapakah ayahnya? Adakah kenyataan yang lebih pahit dari ini?
"Bi-moi, aku sendiri merasa heran mengapa ibumu merahasiakan siapa adanya ayahmu. Akan tetapi, siapakah itu ayah angkatmu?"
"Dia suami ibu!"
"Ahhh...!" Tak dapat Yo Wan menahan seruannya ini, karena memang sama sekali tidak disangka-sangkanya. Melihat gadis itu memandang tajam karena seruan kagetnya, dia cepat-cepat menyambung. "Kalau begitu, dia itu bukan ayah angkatmu, melainkan ayah tirimu. Begitukah?"
Siu Bi mengangguk, lalu terus menundukkan mukanya. Betapa pun juga, hatinya tertusuk dan merasa sakit. Semenjak kakeknya terbunuh oleh The Sun dan ia mendengar bahwa orang yang selama itu ia anggap ayahnya ternyata bukan ayahnya sejati, timbul rasa tak senang, bahkan benci kepada diri ayah tirinya itu.
"Benar, dia itu ayah tiriku, namanya The Sun. Selama ini aku memakai she The, padahal bukan... ehh, kau kenapa?”
Ketika mengangkat muka memandang, Siu Bi melihat betapa Yo Wan melompat berdiri tegak, mukanya pucat bukan main dan sepasang matanya memandang padanya dengan terbelalak. Cepat dia menghampiri dan hendak memegang pundak pemuda itu sambil berkata gemas, "Yo-twako, kau kenapa? Sakitkah kau?"
"Tidak... tidak... jangan sentuh aku!" teriak Yo Wan sambil melompat mundur.
"Yo-twako, kenapakah...?” Siu Bi benar-benar gelisah melihat keadaan Yo Wan yang seperti tiba-tiba menjadi gila itu.
"Kenapa?" suara Yo Wan parau dan tiba-tiba dia tertawa, tetapi seperti mayat tertawa. "Huh-huh-huh kenapa katamu? Ayah tirimu itu, The Sun itu adalah pembunuh ibuku!" Sesudah berkata demikian, Yo Wan berkelebat dan sebentar saja dia sudah lenyap dari depan Siu Bi.
Gadis ini tercengang, berusaha mengejar, akan tetapi hatinya sendiri terlampau tegang sehingga kedua kakinya menjadi lemas. la berusaha memanggil, akan tetapi tidak ada suara yang dapat keluar dari mulutnya. Kemudian ia bersungut-sungut dan berbisik lirih, penuh kemarahan dan kegemasan.
"The Sun, kau benar-benar telah merusak hidupku... aku benci padamu... aku benci...!" dan gadis ini lalu menangis terisak-isak di bawah pohon.
Sementara itu, dengan hati perih dan perasaan tidak karuan Yo Wan berlari-larian cepat sekali, menjauhkan diri sejauh mungkin dari gadis yang ternyata adalah anak tiri dari The Sun. Dan anak tiri musuh besarnya yang sudah menghina ibunya dan menyebabkan kematian ibunya ini, sekarang bermaksud akan membuntungi lengan suhu dan subo-nya serta putera mereka…..!
********************
Tan Kong Bu bersama isterinya, Kui Li Eng dengan penuh kebahagiaan menikmati hidup mereka di puncak Min-san. Para pembaca cerita Rajawali Emas tentu sudah mengenal siapa adanya suami isteri pendekar ini, yang keduanya memiliki ilmu kepandaian sangat tinggi.
Tan Kong Bu adalah putera Raja Pedang Tan Beng San, sedangkan isterinya, Kui Li Eng adalah puteri dari Kui Sanjin ketua Hoa-san-pai. Yang laki-laki putera ketua Thai-san-pai, yang wanita puteri ketua Hoa-san-pai. Tentu saja mereka merupakan pasangan yang hebat. Akan tetapi, suami isteri ini lebih suka bersunyi diri, menjauhkan keramaian dunia, memperdalam ilmu dan menerima belasan orang murid di Min-san sehingga kelak akan muncul sebuah partai persilatan baru yang terkenal, yaitu Min-san-pai.
Walau pun belasan orang anak murid Min-san-pai itu merupakan anak-anak pilihan yang berbakat sehingga rata-rata mereka itu dapat mewarisi kepandaian yang diturunkan oleh kedua suami isteri pendekar ini, namun mereka itu tidak dapat menyamai kemajuan yang diperoleh puteri tunggal guru mereka.
Tan Kong Bu dan isterinya memang hanya mempunyai seorang anak perempuan yang diberi nama Tan Lee Si. Seorang gadis yang kini berusia sembilan belas tahun, cantik dan berwajah agung, berwatak keras seperti ibunya dan jujur seperti ayahnya. Biar pun merupakan anak tunggal, Lee Si tidak biasa dimanja dan ia dapat berdiri dengan teguh di atas kaki sendiri, dalam arti kata segala sesuatu ingin ia putuskan dan laksanakan sendiri sehingga meski pun masih amat muda, namun ia telah mempunyai pandangan luas dan ketabahan yang luar biasa.
Ilmu silat yang dimiliki Lee Si memang aneh, merupakan percampuran dari ilmu kedua orang tuanya. Ayahnya, Tan Kong Bu, memiliki ilmu warisan dari mendiang Song-bun-kwi Kwee Lun, terutama sekali Ilmu Silat Yang-sin-kun! Ada pun ibunya, Kui Li Eng, mewarisi ilmu silat asli dari Hoa-san-kun. Karena dia menerima gemblengan dari ayah bundanya, maka Lee Si tentu saja paham akan kedua ilmu itu, bahkan kedua ilmu yang sudah sangat mendarah daging di tubuh dan urat syarafnya itu telah bercampur dan terciptalah ilmu silat campuran yang aneh dan lihai.
Ayahnya memberi hadiah sebuah pedang yang bersinar kuning, sebuah pedang pusaka ampuh yang bernama pedang Oei-kong-kiam. Ada pun ibunya yang merupakan seorang ahli senjata rahasia Hoa-san-pai, setelah melatih puterinya dengan ilmu senjata rahasia, menghadiahi sekantung gin-ciam (jarum perak).
Tidak sembarang ahli silat mampu mempergunakan gin-ciam ini, karena jarum-jarum itu amatlah lembutnya, jika dipergunakan hampir tidak mengeluarkan suara dan sukar diikuti pandangan mata. Cara menggunakannya harus mengandalkan sinkang dan latihan yang masak.
Pada suatu pagi yang cerah, Lee Si berlatih ilmu silat pedang di dalam kebun di belakang rumahnya. Sejak kemarin dia melatih jurus campuran dari Yan-sin-kiam jurus ke delapan dengan Hoa-san Kiam-sut jurus ke lima. Kedua jurus ini mempunyai persamaan, akan tetapi mengandung daya serangan yang amat berlainan sehingga kalau kedua jurus ini dapat dikawinkan, akan merupakan jurus yang ampuh.
Akan tetapi Lee Si menemui kesulitan. Setiap kali dia memainkan kedua jurus ini dalam gerakan campuran, ia merasakan dadanya sesak. Beberapa kali sudah ia mencoba dan akhirnya ia kembali menyarungkan pedangnya di punggung, kemudian berdiri tegak dan mengumpulkan nafas, suatu ilmu berlatih nafas secara aneh yang pernah diajarkan oleh ayahnya untuk mengerahkan tenaga Yang-kang. Beberapa menit kemudian ketika sesak pada dadanya sudah lenyap, dia membuka matanya dan menarik nafas panjang. Pada saat itu terdengarlah suara orang perlahan,
"Anak baik, mengapa kau tidak mencoba dengan barengi cara Pi-ki Hu-hiat (Tutup Hawa Lindungi Jalan Darah)? Jurusmu itu terlalu kacau dan berbahaya, jika diulang-ulang bisa membahayakan diri sendiri."
Lee Si menengok dan tampaklah olehnya seorang lelaki berusia kurang lebih lima puluh tahun duduk berjongkok di atas tembok kebun. Orang itu dapat berada di sana tanpa ia ketahui sudah membuktikan bahwa dia adalah seorang yang berkepandaian tinggi.
Lee Si berpandangan luas. Walau pun hatinya tidak senang ada orang tak dikenal berani menegur dan malah memberikan nasehat kepadanya yang berarti bahwa orang itu telah memandang rendah, namun ia dapat menekan perasaannya dan berkata,
"Orang tua, siapakah kau dan apa perlunya kau berada di sini mengintai orang?"
Laki-laki itu tersenyum dan wajahnya yang tenang itu berseri. "Aku adalah sahabat baik ayahmu, sengaja datang ke Min-san. Kebetulan tadi aku sempat mendengar sambaran angin pedangmu, membuat aku tertarik sekali dan secara lancang menonton. Gerakan-gerakanmu menyatakan bahwa kau tentulah puteri Kong Bu."
Keterangan ini dapat diterima, akan tetapi karena Lee Si belum pernah bertemu dengan orang ini dan sering kali ia mendengar dari ayah bundanya bahwa mereka dahulu banyak dimusuhi orang-orang jahat di dunia kang-ouw, maka ia tetap menaruh curiga.
"Maaf, Lopek (Paman Tua), kalau memang kau adalah seorang tamu dari ayah, kenapa tidak langsung masuk saja dari pintu depan? Sebelum bertemu dengan ayah, maaf kalau saya tidak berani melayanimu lebih jauh."
Orang itu tertawa. "Ha-ha-ha-ha, bagus sekali! Puteri Kong Bu benar-benar seorang yang berhati-hati dan tidak sembrono. Ketahuilah, anak baik, aku datang dari Thai-san. Beri tahukan ayahmu bahwa... ahhh, itu dia sendiri datang!"
Lee Si menengok dan kagumlah dia akan kelihaian orang tua itu. Benar saja, bayangan ayahnya tampak berkelebat keluar dari pintu belakang. Begitu ayahnya melihat laki-laki yang berjongkok di atas pagar tembok, dia tercengang sejenak, kemudian terdengar dia berseru girang,
"Haiii... bukankah ini suheng (kakak, seperguruan) Su Ki Han yang datang berkunjung?" Suara Kong Bu keras dan nyaring.
Pendekar ini biar pun usianya sudah empat puluh tahun lebih, masih tampak muda dan gagah. la tertawa dan dengan beberapa kali lompatan saja dia sudah berada di dalam kebun. Tak lama kemudian berkelebat bayangan yang gesit dari seorang wanita cantik.
"Lihat siapa yang datang berkunjung ini!" Kong Bu berseru.
Wanita itu berdiri memandang, lalu tersenyum manis dan sepasang matanya yang masih bening itu bersinar-sinar. "Ahh, kiranya seorang tamu agung dari Thai-san!" Kui Li Eng wanita ini, juga berlompatan dalam kebun.
Lee Si menjadi girang sekali. Ia pun cepat memberi hormat kepada laki-laki yang sudah melompat turun dari atas pagar tembok dan kini berpelukan dengan Kong Bu itu. "Sudah lama saya mendengar nama Supek, harap maafkan kekurang ajaran saya tadi."
"Wah, kau anak nakal. Apakah tadi kau sudah berlaku kurang ajar kepada Su-suheng?" bentak Kong Bu.
"Ehh, jangan galak-galak, Sute. Dia anak baik, baik sekali, sama sekali tidak nakal atau kurang ajar. Malah aku yang tidak tahu diri, menerobos memasuki rumah orang melalui kebun belakang seperti maling dan mulutku yang gatal ini berani memberi komentar atas latihannya bermain pedang."
"Bagus sekali! Hayo cepat kau haturkan terima kasih kepada Supek-mu atas petunjuknya yang berharga!" kata Li Eng kepada puterinya.
Lee Si kembali menjura dengan hormat. "Supek, saya haturkan banyak terima kasih atas petunjuk Supek tadi yang tentu akan saya coba dan saya perhatikan."
Su Ki Han menggoyang-goyang kedua tangannya ke atas. "Wah-wah, kalian ini memang orang-orang yang berjiwa satria, pandai merendah diri. Pantas saja anak ini demikian maju dan hebat kepandaiannya, kiranya bermodalkan sikap merendahkan diri yang amat baik untuk mencapai kemajuan! Petunjukku tadi masih belum nampak buktinya, belum juga dicoba, bagaimana patut ditebus dengan ucapan terima kasih?"
"Supek, sebenarnya telah berhari-hari saya bingung menghadapi dua jurus yang hendak saya satukan itu, tapi belum menemukan jalan pemecahannya. Malah dada saya terasa sesak ketika bernafas."
"Kau memang sangat bandel!" Kong Bu mencela puterinya. "Ilmu silatku dan ilmu silat Ibumu semenjak dulu memang berlawanan, sudah berkali-kali Ibumu dan aku bertanding, selalu tiada yang menang tiada yang kalah. Bagaimana bisa kau satukan?"
"Ayah dan Ibu buktinya bisa bersatu, mengapa ilmunya tidak bisa?"
"Ehh, anak gila...!" Li Eng berseru dengan muka menjadi merah sekali.
"Ha-ha-ha, anak kalian ini memang benar. Meski pun ilmu silat itu berlawanan sifatnya, namun bukan tak mungkin dapat disatukan, asal pandai mengaturnya. Sifat Im dan Yang memang berlawanan, inilah yang menjadikan segala apa di dunia ini. Bukankah dalam kitab Ya-keng disebut bahwa IT IM IT YANG WI CI TO (sebuah Im dan sebuah Yang, itulah yang disebut TO)? Kekuasaaan alam selalu bekerja berdasarkan Im dan Yang, dua unsur berlawanan yang saling menarik juga saling menolak, saling menghancurkan tetapi juga saling menghidupkan. Dan dengan adanya perpaduan Im dan Yang, barulah tercipta Ngo-heng, sari pati dari SUI HO BOK KIM THO (air, api, kayu, logam, tanah). Cara kerja Ngo-heng pun berdasarkan Im dan Yang, saling menghidupkan juga saling mematikan. Air akan menghidupkan kayu, kayu menghidupkan api, api menghidupkan tanah, tanah menghidupkan logam, dan logam menghidupkan air. Sebaliknya, air mematikan api, api mematikan logam, logam mematikan kayu, kayu mematikan tanah, dan tanah mematikan air. Tentu saja arti kata menghidupkan boleh diganti menghasilkan, ada pun mematikan boleh memusnahkan atau memakan habis. Wah, aku jadi ngacau terus... ha-ha-ha!"
"Bagus, bagus, Supek. Saya mulai dapat menangkap rahasia Im dan Yang!" teriak Lee Si sambil bertepuk tangan kegirangan.
"Supek-mu adalah murid tertua dari kakekmu, tentu saja dia telah mewarisi Ilmu Im-yang Sin-hoat," kata Kong Bu tersenyum.
Kembali sambil tertawa Su Ki Han mengangkat kedua lengannya ke atas menolak pujian itu. "Kalau tentang ilmu kepandaian silat, mana bisa aku dibandingkan dengan Ayah dan Ibumu? Anak baik, kalau belajar ilmu silat, ayah bundamu inilah gurunya. Akan tetapi jika hanya mempelajari teori tentang Im Yang, mungkin aku akan dapat memberi penjelasan. Karena tadi kulihat bahwa gerakanmu dalam mempersatukan dua jurus itu mengandung hawa Im dan Yang, dua hawa yang berlawanan, maka kau gagal dan dadamu merasa sesak. Satu-satunya cara untuk mengatasi hal ini hanyalah dengan Pi-ki Hu-hiat, karena dengan demikian kau akan dapat mengatur dua hawa yang berlawanan itu secara teratur dan bergiliran sehingga dapat menghasilkan jurus yang lihai dan sukar diduga lawan."
"Lee Si, sesudah mendapat petunjuk dari Supek-mu, mengapa tidak segera dicoba agar apa bila ada kekurangannya dapat minta penjelasan lagi?" kata Li Eng kepada puterinya. Ibu yang amat mencinta puterinya ini tentu saja menggunakan setiap kesempatan untuk kepentingan dan keuntungan puterinya.
"Singgg...!" Sinar kuning berkelebat ketika Lee Si mencabut pedang Oei-kong-kiam.
"Supek, mohon petunjuk Supek apa bila ada kekeliruan," katanya.
Sekali lagi, seperti yang sudah ia lakukan di luar tahu ayah bundanya selama beberapa hari ini tanpa hasil, ia bersilat mainkan jurus yang digabung itu. la mentaati petunjuk Su Ki Han dan sambil bersilat ia mengerahkan Ilmu Menutup Hawa Melindungi Jalan Darah. Gerakan kedua jurus itu ia satukan dan... ia berhasil melakukannya dengan baik.
"Ehh, seperti Yang-sin-kiam jurus ke delapan!" seru Kong Bu.
"Tidak, seperti jurus ke lima dari Hoa-san Kiam-sut!" seru Li Eng.
Dengan girang sekali Lee Si menghentikan gerakannya lantas bersorak, "Aku berhasil! Ayah, Ibu, memang itu tadi jurus ke delapan dari Yang-sin-kiam digabung dengan jurus ke lima dari Hoa-san Kiam-sut. Supek, terima kasih."
Mereka tertawa-tawa dengan girang.
"Wah, kita ini tuan dan nyonya rumah macam apa?" Kong Bu tiba-tiba berseru mencela diri sendiri dan isterinya "Ada tamu agung yang datang, bukan lekas-lekas disambut dan dijamu, malah direpotkan dengan anak kita. Inilah kalau kita terlalu memanjakan anak!"
"Ahh, di antara saudara sendiri, mana ada aturan sungkan-sungkan segala macam?" Su Ki Han membantah.
Akan tetapi dia segera mengikuti mereka memasuki rumah di mana pemilik rumah cepat menyuguhkan minuman dan menanyakan keselamatan ayah bunda mereka di Thai-san. Tan Kong Bu adalah putera Raja Pedang Tan Beng San dan mendiang Kwee Bi Goat. Nyonya Tan Beng San yang sekarang, yaitu Cia Li Cu, ibu Tan Cui Sian adalah ibu tiri Kong Bu.
"Keadaan suhu dan subo (ibu guru) sehat-sehat dan selamat. Juga Thai-san-pai semakin berkembang, tidak pernah terjadi hal-hal yang buruk."
"Supek, mengapa bibi Cui Sian tidak ke sini? Saya sudah kangen betul. Sepuluh tahun sudah tak pernah bertemu dengannya. Tentu dia lihai sekali dan cantik jelita, ya?"
"Karena bibimu itulah maka hari ini aku berada di sini. Sumoi sudah sebulan lebih turun gunung ketika datang putera Bun-goanswe yang mengabarkan bahwa ada anak murid Hek Lojin yang sedang mencari Pendekar Buta untuk membalas dendam. Malah putera Jenderal Bun itu pun menceritakan pula bahwa kini ada kawanan penjahat yang bernama Ang-hwa-pai, bermarkas di Pulau Ching-coa-to dan dipimpin oleh Ang-hwa Nio-nio serta banyak orang sakti lainnya. Mereka juga tengah mengumpulkan tenaga untuk menyerbu Liong-thouw-san. Dalam perjalanannya ke Liong-thouw-san untuk memberi kabar, putera Jenderal Bun itu sengaja mampir ke Thai-san, seperti yang dipesankan oleh ayahnya. Mendengar berita ini, suhu menjadi tidak enak hatinya. Permusuhan berlarut-larut yang kini mengancam keselamatan keluarga Pendekar Buta sebenarnya terjadi karena suhu, sedangkan Pendekar Buta, Kwa-taihiap, hanya membantu suhu. Maka aku lalu disuruh turun gunung, mencari sumoi untuk bersama-sama pergi ke Liong-thouw-san, bila perlu membantu Kwa-taihiap menghadapi musuh-musuh yang menyerbu."
Mendengar ini, Kong Bu malah tertawa. "Ah, ayah terlalu mengkhawatirkan keselamatan Kwa Kun Hong, sungguh lucu! Suheng, di jaman ini siapakah orangnya yang akan dapat mengalahkan Pendekar Buta dan isterinya? Bila ada yang sakit hati dan ingin membalas dendam, biarkan saja mereka pergi menandingi Pendekar Buta, biar mereka tahu rasa. Ingin aku melihat mereka itu seorang demi seorang dirobohkan."
"Biar pun Paman Hong sudah buta, tapi penjahat-penjahat itu akan dapat berbuat apakah terhadapnya? Akan tetapi, ayah mertua benar juga. Adik Cui Sian tentu akan mendapat pengalaman yang amat berharga bila sempat menyaksikan paman Kun Hong menghajar para penjahat yang hendak menyerbu ke Liong-thouw-san."
Ucapan Li Eng ini disertai suara yang mengandung kebanggaan. Kwa Kun Hong masih terhitung pamannya seperguruan, oleh karena itu dia patut berbangga akan kelihaian dan ketenaran nama pamannya.
Su Ki Han tersenyum mendengar kata-kata suami isteri ini. Ternyata mereka ini masih sama dengan dahulu, tabah, berani dan gagah perkasa, juga jujur kalau bicara. Suami isteri yang cocok sekali, pantas mempunyai puteri sehebat Lee Si.
"Memang tak dapat disangkal bahwa Kwa-taihiap memiliki kepandaian yang sakti. Suhu sendiri sering kali memuji-mujinya, apa lagi karena sumber ilmu kepandaian Kwa-taihiap dan suhu adalah sama, yaitu dari kitab pusaka Im-yang Bu-tek Cin-keng. Akan tetapi menurut suhu, sekarang banyak bermunculan orang-orang sakti di dunia hitam, apa lagi yang datang dari barat dan utara. Kaisar sendiri sampai bersusah payah dalam usahanya memperkuat serta memperbaiki Tembok Besar untuk mencegah perusuh dari barat dan utara. Namun, banyak tokoh-tokoh sakti mereka itu yang berhasil menerobos masuk dan selain melakukan penyelidikan untuk mengukur keadaan, juga mereka banyak menjalin hubungan dengan tokoh-tokoh hitam di sini. Karena itulah, menurut suhu, sudah tiba saatnya kita semua harus bangkit, siap sedia membela negara dan bangsa menghadapi mereka itu. Pada saat ini, agaknya pribadi Pendekar Buta menjadi pusat perhatian para tokoh hitam yang banyak menaruh dendam. Karena itu, Kwa-taihiap boleh diumpamakan sebagai umpan untuk memancing datang tokoh-tokoh itu dan kita harus membantunya membasmi mereka agar negara ini bersih dari gangguan mereka. Bagaimana pendapat, Sute?"
Kong Bu mengangguk-angguk. "Ayah, selalu berpandangan luas. Tentu saja kami di sini, biar pun hanya terdiri dari kami bertiga dan beberapa belas anak murid yang kaku dan bodoh, selalu siap membantu apa bila diperlukan."
"Bagus!" Li Eng menyambung. "Belasan tahun pedangku tinggal bersembunyi di dalam sarungnya, membuat aku menjadi malas. Berilah aku lawan yang jahat dan kuat, dan kegembiraan lama akan timbul kembali!"
"Wah-wah, kau kambuh lagi? Apa tidak takut ditertawakan anakmu? Kita sudah tua, tidak perlu menonjolkan semangat seperti di waktu muda." Kong Bu menggoda isterinya.
"Ayah, aku setuju dengan Ibu. Ibu gagah dan bersemangat, mengapa dicela? Dan aku percaya, kalau Ibu ikut terjun, segala macam penjahat itu mana berani menjual lagak?" Lee Si membela ibunya.
Su Ki Han tertawa bergelak. "Anak baik, apa bila Ibumu tidak begitu bersemangat dan gagah perkasa, mana bisa menjadi isteri Ayahmu? Sute berdua, kedatanganku ke sini, seperti sudah kukatakan tadi, adalah hendak mencari sumoi. Tadinya kusangka bahwa sumoi mengunjungi kalian. Apakah sumoi tak pernah datang ke sini?"
"Tidak, Su-suheng."
"Heran sekali, ke mana dia pergi? Apakah ke Lu-liang-san, ke rumah sute Tan Sin Lee? Ataukah pergi ke Hoa-san-pai? Dalam penyelidikanku, pernah dia terlihat di dekat daerah Taingpan, malah kabarnya dia telah pergi mengunjungi Pulau Ching-coa-to! Akan tetapi sekarang dia tidak berada di sana, malah ketika kutanyakan kepada Bun-goanswe, juga tidak singgah di sana."
"Mana bisa mencari seorang yang sedang merantau? Suheng, lebih baik kau mendahului ke Liong-thouw-san dan menanti di sana. Akhirnya Cui Sian tentu juga akan singgah ke sana."
"Memang senang sekali melakukan perantauan seorang diri seperti Cui Sian. Dengan sebatang pedang menjelajah seribu gunung, memberi kesempatan kepada pedang untuk menghadapi seribu macam kesulitan. Wah, kau takkan berhasil mencarinya, Su-suheng. Memang sebaiknya kau menanti di Liong-thouw-san. Kelak kalau dia muncul di sini, tentu akan kuberi tahu," kata Li Eng dengan wajah berseri.
Nyonya ini dahulunya merupakan seorang gadis yang lincah dan suka sekali merantau. Tadi dia teringat akan masa mudanya dan timbul kegembiraannya.
"Cui Sian tidak seperti kau!" sela Kong Bu. "Kau dahulu selalu mencari perkara. Kalau semua gadis muda seperti kau akan kacaulah dunia. Ada gadis seperti kau lima saja, pasti dunia kang-ouw akan geger." Mereka tertawa-tawa lagi.
Pertemuan dengan murid kepala Thai-san-pai ini ternyata mendatangkan kegembiraan luar biasa dan mereka bertiga lalu bercakap-cakap sambil tertawa-tawa sampai hampir semalam suntuk. Banyak arak dan daging melewati tenggorokan mereka, dan ketiganya tidak memperhatikan lagi betapa sore-sore Lee Si sudah masuk ke kamarnya.
Baru pada keesokan harinya suami-isteri ini mendapat kenyataan bahwa puteri mereka tidak berada di dalam kamarnya dan bahwa pembaringannya tak pernah ditiduri malam itu. Di atas meja dalam kamar Lee Si terdapat kertas bertulisan huruf-huruf halus yang berbunyi,
TURUN GUNUNG MENCARI BIBI CUI SIAN
"Bocah lancang!" seru Kong Bu yang cepat memanggil murid-muridnya yang tinggal di puncak dalam bangunan lain.
Para murid yang berjumlah tiga belas orang ini juga tidak ada yang melihat bila Lee Si pergi turun gunung, karena malam hari itu, tahu bahwa suhu dan subo mereka menjamu seorang tamu dari Thai-san, maka para murid ini tidak berani berada di dalam bangunan tempat tinggal mereka.
"Mengapa ribut-ribut? Biarkan dia turun gunung mencari pengalaman. Dia bukan anak kecil lagi," kata Li Eng yang tidak puas melihat suaminya seperti seekor ayam kehilangan anaknya.
"Meski pun dia sudah dewasa dan kepandaiannya cukup, tetapi dia masih hijau. Dunia ini banyak sekali orang jahat, bagaimana kalau dia tertimpa bencana?"
"Ahhh, kau sebagai ayah terlalu memanjakannya! Apa bila dia tidak digembleng dengan kesulitan dan bahaya, mana patut menjadi puteri kita?"
Su Ki Han menjadi tidak enak. "Ahhh, akulah gara-garanya. Kalau tidak muncul di sini, agaknya Lee Si tidak akan pergi turun gunung. Biarlah aku minta diri sekarang dan akan kususul dia!"
"Jangan menyalahkan dirimu sendiri, Suheng. Memang sudah lama anak itu ingin sekali turun gunung, tetapi selalu ditahan ayahnya. Sekarang ada kesempatan dan ada alasan, yaitu untuk mencari bibinya, Cui Sian, biar sajalah," kata Li Eng menghibur.
Juga Kong Bu menghibur, menyatakan bahwa bukan kesalahan Su Ki Han yang sudah menyebabkan Lee Si pergi. Akan tetapi Su Ki Han tetap pamit dan segera turun gunung dengan maksud mengejar Lee Si dan membujuk anak perempuan itu pulang ke puncak Min-san. Atau setidaknya ia bisa mengamat-amati dan menjaganya. Akan tetapi, betapa pun cepat dia menggunakan ilmunya lari turun gunung, tetap dia tak dapat menyusul Lee Si.
Gadis ini bukanlah orang bodoh dan ia pun tahu bahwa ayahnya tidak suka membiarkan ia pergi. Oleh karena itu, malam tadi ia berangkat dengan cepat dan menyusup-nyusup hutan, tidak mau melalui jalan besar.
Karena baru kali ini ia turun gunung dan ia tidak ingin ayahnya dapat mengejar lantas memaksanya kembali, ia sengaja turun dari lereng sebelah barat dan sesukanya ia lari tanpa tujuan sehingga tanpa ia sadari, gadis ini melakukan perjalanan menuju ke barat! Dari Pegunungan Min-san ke barat, melalui daerah pegunungan yang tak ada habisnya, dan beberapa pekan kemudian gadis ini masih belum terbebas dari daerah pegunungan karena ternyata ia telah masuk daerah Pegunungan Bayangkara!
Penduduk dusun di pegunungan ini adalah orang-orang gunung yang sama sekali tidak pernah meninggalkan daerah pegunungan. Karena itu tak seorang pun yang dijumpainya dapat menerangkannya ke mana jalan menuju ke Liong-thouw-san atau ke kota raja.
Hanya ada dua tempat di dunia ini yang menarik hati Lee Si dan yang mendorong dia turun gunung, yaitu pertama di Liong-thouw-san karena ia ingin sekali berjumpa dengan paman dari ibunya yang terkenal dengan nama Pendekar Buta, dan kedua, ia ingin sekali menyaksikan bagaimana keadaan kota raja yang hanya pernah didengarnya dari cerita ibunya.
Pada suatu hari, ketika ia menuruni sebuah puncak di Pegunungan Bayangkara dan baru saja keluar dari sebuah hutan, ia mendengar suara aneh. Suara melengking tinggi dan suara seperti seekor katak buduk ‘bernyanyi’ di musim hujan. Sebagai puteri suami-isteri pendekar yang berilmu tinggi, ia segera dapat menduga bahwa suara-suara itu tentulah suara yang keluar dari mulut orang-orang sakti yang mengerahkan khikang tinggi.
Cepat dia menyusup di antara pepohonan dan mengintai. Betul seperti telah diduganya, dari balik batang pohon dia mengintai dan melihat ada dua orang laki-laki aneh sedang berhadapan.
Yang melengking tinggi dan nyaring, lebih nyaring dari pada lengking suara ayahnya bila mengerahkan khikang, adalah seorang kakek berjenggot pendek yang tubuhnya sangat tinggi, lebih dua meter tingginya. Laki-laki ini berpakaian seperti orang asing, jubahnya berwarna kuning dan kepalanya dibungkus kain sorban warna kuning pula. Telinganya memakai anting-anting, dan melihat bentuk hidungnya yang panjang melengkung serta kulitnya yang agak coklat gelap, terang bahwa si jangkung ini adalah seorang asing.
Ada pun orang kedua yang memasang kuda-kuda dengan kedua lutut ditekuk setengah berjongkok dan mengeluarkan suara berkokok bagai suara katak buduk, adalah seorang kakek yang tubuhnya pendek gemuk berkepala gundul, kumisnya persis seperti tikus dan jenggotnya pendek.
Dengan hati tertarik Lee Si memandang. Pasangan kuda-kuda kakek pendek gendut itu baginya tidaklah asing. Itu adalah pasangan kuda-kuda yang sangat umum dan banyak dilakukan oleh ahli silat dari utara.
Akan tetapi pasangan kuda-kuda si jangkung itulah yang amat mengherankan hatinya. Si jangkung itu berdiri dengan kedua kaki terpentang lurus, berdirinya bukan menghadapi lawan melainkan miring sehingga lawannya berada di sebelah kanannya, kedua lengan dikembangkan dengan jari-jari terbuka. Mukanya bagai orang kemasukan setan dan dari mulutnya keluarlah bunyi lengkingan yang kadang-kadang mendesis-desis.
Lee Si dapat menduga bahwa kedua orang itu tentu sedang berada dalam tahap awal pertandingan. Dia tidak mengenal mereka, juga tidak tahu mengapa dua orang aneh ini seperti hendak bertempur, maka dia hanya mengintai dan menjadi penonton.
Tiba-tiba si pendek gendut makin merendahkan tubuhnya dan terdengar suara berkokok dari mulutnya semakin dalam, kemudian kedua tangannya mendorong ke depan. Kedua lengan itu tampak menggetar, penuh dengan tenaga mukjijat yang menerjang ke depan. Si tinggi itu menggerakkan kedua lengan seperti orang menangkis, namun tetap saja dia terhuyung ke kiri, mukanya berubah merah sekali.
Lee Si terkejut bukan kepalang. Hebat si pendek itu. Entah ilmu pukulan jarak jauh apa yang diperlihatkan tadi, akan tetapi terang bahwa si jangkung sudah terdesak hebat dan keadaannya berbahaya.
Mendadak si jangkung mengeluarkan suara melengking tinggi. Tubuhnya berjungkir balik tiga kali dan tahu-tahu dia telah melayang ke tempat yang tadi, kemudian dua lengannya bergerak dari atas kepala ke bawah seperti orang sedang menekan. Dari kedua lengan yang panjang ini lalu menyambar hawa pukulan sakti yang membuat debu mengebul di depan kakinya!
Si pendek gendut yang menerima serangan ini dengan dua tangannya, kali ini langsung terdorong mundur sampai satu meter lebih. Hanya dengan melempar tubuh ke belakang kemudian bergulingan seperti bola karet ia bisa mematahkan daya serangan lawan yang menggunakan pukulan jarak jauh mengandalkan tenaga mukjijat.
Keduanya lalu melompat dan berdiri berhadapan dalam keadaan biasa. Keduanya agak pucat dan si pendek gendut tertawa dengan suaranya yang parau dan dalam.
"Ha-ha-ha-ha, sobat Maharsi, sungguh hebat bukan main pukulanmu tadi. Aha, agaknya inilah Pai-san-jiu (Pukulan Mendorong Gunung) yang terkenal hebat itu!"
"Hemmm, Bo Wi Sianjin, kami orang-orang barat hanya mempunyai sedikit hasil latihan, mana dapat disamakan dengan engkau, seorang tokoh utara yang hidupnya menentang keadaan alam yang buas dan kuat? Sudah lama aku mendengar bahwa Ilmu Pukulan Katak Sakti darimu tiada bandingnya dan ternyata hari ini aku telah membuktikan sendiri kehebatannya. Kalau kau tidak memandang persahabatan, agaknya aku tadi takkan kuat menahan!"
"Ha-ha-ha-ha, kau orang barat memang pandai sekali mengelus hati merayu perasaan dengan pujian muluk! Bagiku, tidak ada kesenangan yang melebihi bertanding ilmu untuk membuktikan sampai di mana hasil jerih payah yang kita derita selama puluhan tahun. Akan tetapi, karena kita perlu sekali menyatukan tenaga menghadapi lawan yang lihai, biarlah aku bersabar dan kelak masih banyak waktu bagi kita untuk memuaskan hati dan menengok siapakah di antara kita yang lebih berhasil."
"Hemmm, aku selalu akan mengiringi keinginan hatimu, Sahabat. Akan tetapi betul sekali kata-katamu tadi, sekarang kita perlu menghimpun tenaga. Lawan-lawan kita bukanlah orang-orang yang mudah dikalahkan," jawab si jangkung dengan bahasa yang terdengar kaku namun cukup jelas bagi Lee Si yang masih mengintai sambil mendengarkan.
"Engkau benar, Maharsi. Kau katakan tadi bahwa kau menerima permintaan bantuan dari adik seperguruanmu Ang-hwa Nio-nio? Jadi sekarang kau hendak pergi mengunjunginya ke Ching-coa-ouw (Telaga Ular Hijau)?"
"Betul, Sianjin. Adikku Kui Ciauw itu sekarang sudah menjadi ketua Ang-hwa-pai di Pulau Ching-coa-to. Memang dulu telah kujanjikan akan membantu dia sebab dua orang adikku Kui Biauw dan Kui Siauw telah tewas di tangan Pendekar Buta beserta teman-temannya. Dan kau sendiri, kukira turun dari pegunungan utara untuk urusan kematian suheng-mu Ka Chong Hoatsu. Bukankah begitu?"
"Betul, Maharsi. Kakak seperguruanku itu tewas di tangan Raja Pedang yang sekarang menjadi ketua Thai-san-pai.”
"Hemmm, lawan kita memang berat. Pendekar Buta walau pun masih muda akan tetapi kepandaiannya luar biasa sekali. Untuk menghadapinya maka selama hampir dua puluh tahun aku melatih dengan Pai-san-jiu."
Si pendek gendut itu mengangguk-angguk. "Sama halnya dengan aku, Sahabat. Bu-tek Kiam-ong Tan Beng San memiliki ilmu kepandaian yang lihai, terutama ilmu pedangnya Im-yang Sin-kiam. Karena itulah maka aku menyembunyikan diri selama dua puluh tahun lebih, khusus untuk melatih Ilmu Pukulan Katak Sakti guna menghadapinya. Semoga jerih payah kita tidak akan sia-sia dan roh-roh saudara kita akan dapat tenteram."
Lee Si yang mendengarkan percakapan ini menjadi terkejut sekali. Baiknya dia seorang gadis yang cukup cerdik dan tidak sembrono. Dia dapat menduga bahwa dua orang ini merupakan lawan-lawan yang sangat tangguh, maka dia tidak mau sembarangan keluar dari tempat persembunyiannya.
Pada saat itu pula terdengar suara orang tertawa bergelak, tepat di belakang Lee Si dan sebelum gadis ini sempat berbuat sesuatu, pundaknya sudah dicengkeram orang dan ternyata yang menangkapnya adalah seorang hwesio yang sudah sangat tua, mukanya pucat bagaikan mayat, tubuhnya tinggi besar dan kedua matanya selalu meram seperti orang buta. Bajunya yang terbuat dari kain kasar itu terbuka lebar pada bagian dadanya sehingga memperlihatkan sebagian perut yang gendut.
"Tokoh-tokoh utara dan barat diintai bocah di luar tahu mereka, benar-benar aneh!" kata hwesio itu dengan suara tak acuh, kemudian tangannya bergerak dan... tubuh Lee Si melayang ke arah dua orang aneh itu seperti sehelai daun kering tertiup angin!
Tentu saja Lee Si yang tadinya sudah kaget, kini menjadi takut setengah mati. la maklum bahwa tubuhnya melayang ke arah dua orang aneh itu dan tidak tahu bagaimana akan jadinya dengan dirinya.
Tentu saja dengan mempergunakan ginkang, setelah kini terbebas dari pegangan hwesio sakti itu, dia dapat melayang ke samping untuk melarikan diri. Akan tetapi dia pun cukup maklum bahwa hal ini akan sia-sia belaka. Tak mungkin dia melarikan diri dari tiga orang aneh ini kalau mereka tidak menghendaki demikian.
Dia teringat akan cerita ayah bundanya tentang keanehan tokoh-tokoh kang-ouw di dunia persilatan. Jalan satu-satunya bagi dia hanya menyerah tanpa mengeluarkan kepandaian sehingga tiga orang itu akan merasa malu untuk mengganggu seorang lawan yang tidak memiliki kepandaian seimbang. Ia harus menggunakan kecerdikan sebab kepandaiannya takkan dapat menolongnya. Oleh karena inilah, ia hanya memutar agar dalam melayang ini ia dapat memandang kepada kedua orang tokoh dari barat itu…..