Jaka Lola Jilid 10

Namun sekarang, dara remaja yang menjadi tawanan dua orang pembantu itu ternyata dapat menahan terjangan Ouwyang Kongcu sampai begitu lama tanpa terlihat terdesak! Tentu saja hal ini tidak mengherankan bagi Ouwyang Kongcu dan bagi Ang-hwa Nio-nio karena kedua orang ini cukup maklum bahwa dua orang pembantu mereka sama sekali bukanlah lawan gadis ini. Mereka dapat menawannya tentu karena hasil dari Ang-tok-san yaitu bubuk racun merah yang dapat membius lawan.

Mendengar seruan Ang-hwa Nio-nio, Ouwyang Lam menjadi ragu-ragu. Betapa pun juga, dia belum kalah dan biar pun dia tidak dapat mendesak gadis itu, namun sebaliknya dia pun tidak terdesak. Mereka sama kuat dan hal ini membuat hatinya gembira dan kagum bukan main. Selama hidup belum pernah ia bertemu dengan seorang gadis yang begini hebat.

Tadinya dia sama sekali tidak mengira bahwa Siu Bi akan begini kosen sehingga dapat mengimbangi permainan silatnya. Tentu saja hal ini membuat rasa sayangnya terhadap Siu Bi makin menebal. la tidak tega untuk mempergunakan ilmu silat yang lebih dahsyat, khawatir kalau-kalau melukai Siu Bi dan membikin gadis itu menjadi sakit hati. la hendak membaiki gadis ini, hendak memikat hatinya karena dia betul-betul jatuh hati yang baru pertama kali ini dia alami.

Akan tetapi, di pihak Siu Bi, seruan itu merupakan tanda bahaya. Jika lawannya memiliki ‘simpanan’ yang belum dikeluarkan, ini berbahaya. la tidak mau didahului, maka tiba-tiba Siu Bi mengeluarkan seruan nyaring laksana pekik burung elang dan kedua lengannya bergerak aneh, diputar-putar secara luar biasa.

Segera tampak sinar menghitam menyambar-nyambar. Dari dua lengan itu tampak uap hitam dan Ouwyang Lam merasakan sambaran hawa pukulan yang amat dahsyat. Ketika dia menangkis, lengannya terasa panas sekali dan nyeri sampai menembus ke ulu hati. Kagetlah dia dan sambil terhuyung-huyung dia mundur ke belakang dengan muka pucat.

Akan tetapi karena maklum bahwa lawannya ini betul-betul hebat, mempunyai simpanan ilmu dahsyat yang baru sekarang ini dikeluarkan, segera Ouwyang Kongcu mengerahkan tenaga mengusir rasa nyeri, berbareng dia membentak keras dan tubuhnya mumbul ke atas, lalu menukik ke bawah melakukan penyerangan balasan. Inilah sebuah jurus dari Ilmu Silat Hui-seng Kun-hoat, ilmu silat Bintang Terbang yang di samping gerak-geriknya hebat sekali, juga mengandung hawa pukulan beracun, racun ang-tok (racun merah)!

Pada waktu Siu Bi menangkis dengan tenaga Hek-in-kang, keduanya terhuyung mundur dengan muka berubah. Tahulah mereka bahwa masing-masing kini sudah mengeluarkan kepandaian dan tenaga simpanan. Ilmu Pukulan Hek-in-kang yang mengandung racun hitam kini bertemu tanding dengan hawa pukulan racun merah.

Akan tetapi keduanya menyesal bukan main karena apa bila dilanjutkan, mereka berdua terpaksa akan mempergunakan dua macam ilmu dahsyat ini dan akibatnya, yang kalah tentu akan celaka, apa bila tidak tewas paling sedikit tentu akan terluka parah di sebelah dalam tubuh!

"Tahan dulu...!" Tiba-tiba Ang-hwa Nio-nio berseru.

Tubuhnya segera melayang menengahi kedua orang muda yang sedang bertanding itu. Karena nenek ini menggunakan kedua tangan mendorong, dua orang muda itu terpaksa meloncat ke belakang.

"Kau mau mengeroyok?" Siu Bi mendahului membentak.

Bentakan yang merupakan gertak belaka karena sesungguhnya di dalam hati ia merasa khawatir kalau-kalau nenek ini benar-benar mengeroyoknya. Kalau benar demikian, biar pun ia tidak akan mundur, akan tetapi boleh dipastikan bahwa ia akan kalah dan roboh.

Dalam pertemuan tenaga dengan pemuda itu tadi saja sudah dapat ia bayangkan bahwa tidak akan mudah baginya mengalahkan Ouwyang Lam. Apa lagi kalau nenek ini yang agaknya malah lebih lihai lagi dari pada si pemuda, turun tangan mengeroyoknya.

Akan tetapi Ang-hwa Nio-nio tidak bergerak menyerang. Wajahnya kereng dan suaranya berwibawa, "Bocah, kau jangan sombong terhadap Ang-hwa Nio-nio! Kau tadi mainkan Hek-in-kang, orang tua Hek Lojin masih terhitung apamukah?"

Siu Bi kaget. Baru kali ini semenjak ia turun gunung, ada orang yang mampu mengenal Hek-in-kang. Banyak orang lihai dia temui, termasuk Jenderal Bun, isterinya, puteranya dan Si Jaka Lola. Akan tetapi mereka semua tidak mengenal ilmunya. Bagaimana nenek genit ini dapat mengenal Hek-in-kang? Malah tahu pula bahwa Hek-in-kang adalah ilmu mendiang kakeknya, Hek Lojin yang dikenalnya pula?

Setelah nenek ini mengetahui semuanya, agaknya tidak perlu lagi berbohong, malah dia hendak menyombongkan kakeknya yang dia tahu amat lihai dan sangat terkenal di dunia kang-ouw.

"Hek Lojin adalah kakekku. Mau apa kau tanya-tanya?" jawab Siu Bi dengan nada suara sombong dan tidak mau kalah.

”Kakekmu?!" Keriput-keriput pada wajah nenek itu semakin mendalam. ”Bagaimana bisa jadi? Maksudmu kakek guru? Kau mengenal The Sun?"

Berdebar jantung Siu Bi. Terang bahwa nenek ini bukanlah orang asing bagi ayah dan kakeknya. Biar pun di dalam hati ia tidak mau lagi mengakui The Sun sebagai ayahnya karena ia pun maklum sekarang bahwa The Sun memang bukan ayahnya, akan tetapi agaknya nama The Sun dan Hek Lojin akan dapat menolongnya pada saat itu.

Meski pun Siu Bi seorang yang amat tabah dan tidak takut mati, namun ia bukan gadis bodoh. la sangat cerdik dan ia maklum bahwa saat ini ia berada di sarang harimau. la berada di pulau orang, musuh-musuhnya lihai dan berjumlah banyak. Nekat memusuhi mereka berarti mati. Maka ia lalu menekan perasaannya dan menjawab,

"Dia adalah ayahku." Segan hatinya menyebut nama The Sun, maka ia hanya menyebut ‘dia’ saja.

Tiba-tiba terjadi perubahan hebat pada muka nenek itu. Sejenak dia memandang Siu Bi dengan mata terbelalak, mulut ternganga, lalu perlahan-lahan kedua mata itu menitikkan air mata dan ia kemudian lari merangkul Siu Bi sambil menangis! Tentu saja Siu Bi jadi tercengang keheranan.

"Aihhh, siapa kira... kita adalah orang-orang sendiri, anakku...!"

Meremang bulu tengkuk Siu Bi dan tiba-tiba saja perutnya menjadi mulas mendengar ini karena timbul dugaan yang mengerikan dalam hatinya. Jangan jangan... jangan jangan... dia tidak saja bukan anaknya The Sun, akan tetapi juga bukan anak ibunya dan... dan... perempuan mengerikan ini adalah ibu kandungnya!

Dengan muka pucat diam-diam dia berdoa semoga dugaan ini tidak benar adanya. Akan tetapi hatinya demikian risau, membuat tenggorokannya serasa tercekik sehingga ia tidak mampu bertanya apa yang dimaksudkan oleh nenek ini dengan kata-kata ‘orang-orang sendiri’ tadi.

Adalah Ouwyang Lam yang juga amat terheran-heran itu yang mengajukan pertanyaan, "Nio-nio, apakah artinya ini? Siapakah Nona ini?"

Ang-hwa Nio-nio tersenyum dibalik air matanya, melepaskan pelukan dan menggandeng tangan Siu Bi.

"Mari kita pulang, mari... kita adalah orang sendiri. Mari dengarkan semua keteranganku di rumah... ahhh, untung tadi kau keluarkan Hek-in-kang itu, anakku..."

Mual rasa perut Siu Bi mendengar nenek ini menyebutnya ‘anakku’. Akan tetapi karena bekas lawan bersikap begini ramah, tak mungkin ia mempertahankan sikap bermusuhan lagi. Betapa pun juga, ia masih ragu-ragu. Siapa tahu ada apa-apanya di balik sikap aneh ini. Siapa tahu ada kutang di balik baju… ehh, udang di balik batu!

"Sungguh aneh sekali sikapmu, Paicu. Kalau memang benar aku ini orang sendiri, masa orang-orangmu memperlakukan aku sedemikian rupa? Ini penghinaan besar yang tiada taranya, menjadikan aku tawanan berhari-hari dan membelenggu kaki tangan.”

"Ohhh, mereka tidak tahu...."

"Kalau pun tidak tahu, bila sudah melakukan penghinaan kepada orang sendiri, apa yang akan kau lakukan kepada mereka?"

Ang-hwa Nio-nio segera sadar dan mengedikkan kepalanya, memutar tubuh memandang ke sana ke mari mencari-cari. Akhirnya dia dapat menemukan mereka dengan pandang matanya, si rambut putih dan si brewok. Seakan-akan dari pandang matanya itu keluar perintah, karena tanpa kata-kata lagi kedua orang ini sudah maju dan menjatuhkan diri berlutut!

"Kami... kami betul-betul tidak tahu...," kata si rambut putih, suaranya sudah gemetar tak karuan.

"Kalian menghina puteri sahabat baikku The Sun, kalian sudah menjadikan cucu murid orang tua Hek Lojin sebagai tawanan? Ahh, kalau di Ang-hwa-pai masih ada orang-orang macam kalian, perkumpulan kita takkan dapat lama berdiri tegak."

Tiba-tiba, tanpa peringatan lagi, kedua tangan Ang-hwa Nio-nio bergerak. Terdengar jerit dua kali dan tubuh dua orang pembantu itu lantas terjengkang ke belakang, mata mereka mendelik, muka mereka berubah merah laksana darah dan nafas mereka sudah putus! Kedua orang itu sudah terkena pukulan jarak jauh yang mengandung tenaga beracun ang-tok sepenuhnya!

Ang-hwa Nio-nio tersenyum ketika menoleh kepada Siu Bi. "Nah, itulah hukuman mereka yang berani menghinamu, anakku. Mari, mari... marilah ikut bibi Kui Ciauw, sahabat baik ayahmu..."

Siu Bi merasa begitu lega, seolah-olah batu sebesar gunung yang tadi menindih hatinya diangkat orang ketika mendengar ucapan terakhir itu. Kiranya nenek ini yang bernama Kui Ciauw, berjuluk Ang-hwa Nio-nio, adalah sahabat baik ‘ayahnya’, jadi bukanlah ibu kandung seperti yang ia khawatirkan. Oleh karena hati yang lega dan puas ini, dia tidak membantah lagi ketika digandeng pergi, malah ia tersenyum kepada ‘bibi Kui Ciauw’ dan membalas senyum Ouwyang Lam yang berjalan di sebelahnya!

Sikap Kui Ciauw atau Ang-hwa Nio-nio terhadap Siu Bi itu sebetulnya bukan dibuat-buat, juga tidaklah aneh. Belasan tahun yang silam wanita ini bersama dua orang saudaranya disebut Ang-hwa Sam-cimoi (Tiga Kakak Beradik Bunga Merah). Mereka bertiga bekerja sama dengan The Sun dan Hek Lojin, melakukan perang terhadap Pendekar Buta dan kawan-kawannya.

Kemudian mereka semua ini dikalahkan oleh Pendekar Buta, malah dua orang adiknya tewas, The Sun terluka hebat dan Hek Lojin buntung sebelah lengannya. Oleh karena itulah, maka begitu mendengar bahwa gadis ini adalah puteri The Sun dan cucu murid Hek Lojin, sikap Ang-hwa Nio-nio seketika berubah. la menganggap Siu Bi sebagai orang segolongan yang menaruh dendam kepada Pendekar Buta.

Dia tadi sudah menyaksikan betapa kepandaian Hek Lojin telah diwariskan kepada gadis ini, maka sebagai orang segolongan, tentu saja dia menganggap gadis ini amat penting untuk bersama-sama menghadapi musuh besar mereka, yaitu Pendekar Buta. Tentu saja mendapatkan tenaga bantuan seperti gadis ini jauh lebih berharga dari pada orang-orang seperti si rambut putih dan si brewok, maka sebagai pengganti mereka, ia rela menerima Siu Bi dan menewaskan dua orang pembantu itu untuk menyenangkan hati Siu Bi.

Siu Bi kagum bukan main ketika melihat bangunan-bangunan indah di atas pulau dan memasuki gedung besar tempat tinggal Ang-hwa Nio-nio serta Ouwyang Lam. Perabot rumah serba indah dan mahal, gambar-gambar indah, tulisan-tulisan dengan sajak-sajak kuno menghias dinding, membuat gedung itu kelihatan seperti sebuah istana.

Setelah mereka bertiga duduk di ruang tengah dan para pelayan cantik menghidangkan minuman, Ang-hwa Nio-nio mulai bercerita, "Anak baik, ketahuilah, aku adalah Ang-hwa Nio-nio atau ketua dari Ang-hwa-pai, namun kau boleh menyebutku bibi Kui Ciauw saja, karena aku adalah sahabat baik dan teman seperjuangan dengan ayahmu. Dia ini adalah muridku, Ouwyang Kongcu atau Ouwyang Lam, muridku yang tersayang, dan karenanya dia ini masih terhitung saudara segolongan denganmu. Anak baik, siapa namamu tadi?

"Namaku Siu Bi."

"The Siu Bi, hemmm, bagus sekali. Tak kunyana bahwa The Sun bisa memiliki seorang anak secantik engkau. Dan ilmu kepandaianmu juga hebat, agaknya bahkan lebih hebat dari pada ayahmu sendiri. Siu Bi, apakah ayah dan kakekmu sama sekali tidak pernah bercerita tentang aku?"

Dengan jujur Siu Bi menggeleng kepalanya, dan Ang-hwa Nio-nio mengerutkan alisnya. "Ah, bagaimana mereka bisa begitu cepat melupakan aku? Tidak ingat akan perjuangan bersama dan penderitaan senasib? Siu Bi, anakku yang baik, apakah mereka juga tidak pernah bicara tentang Pendekar Buta?"

Mendengar disebutnya musuh besarnya ini, bangkitlah semangat Siu Bi. "Aku memang sengaja turun gunung untuk mencari Pendekar Buta. Aku hendak membalaskan dendam mendiang kakek dan membuntungi lengan tangan Pendekar Buta sekeluarga."

Berubah wajah Ang-hwa Nio-nio. "Tadi kau bilang... mendiang kakek? Apakah Hek Lojin si orang tua sudah meninggal?"

Siu Bi mengangguk dan wanita itu meramkan sepasang matanya. "Ahh, sungguh sayang sekali. Akan tetapi, sekarang ada kau penggantinya, anakku. Biarlah, mari sama-sama kita menggempur Pendekar Buta, kita hancurkan kepalanya, kita cabut keluar jantungnya untuk kita pakai sembahyang kepada roh-roh yang penasaran!"

Siu Bi boleh jadi seorang gadis yang luar biasa tabah, akan tetapi mendengar ancaman menyeramkan ini dia bergidik juga. "Bibi, aku sudah bersumpah hendak mencarinya dan dengan tanganku sendiri aku akan membuntungi lengannya, juga lengan isterinya serta anak-anaknya."

"Aku akan membantumu..."

"Aku tidak perlu bantuan, Bibi. Aku sendiri cukup untuk menghadapinya."

"Dia lihai sekali."

"Tidak peduli. Aku tidak takut!"

Ang-hwa Nio-nio membelalakkan kedua matanya. Dia tak berdaya menghadapi gadis ini yang begini sukar untuk diajak berunding. Dia mulai tidak sabar dan hal ini dapat dilihat oleh Ouwyang Lam yang segera berkata sambil tersenyum.

”Tentu saja adik Siu Bi tidak takut. Masa terhadap seorang musuh yang kedua matanya buta saja takut? Kalau takut kan bukan orang gagah namanya! Akan tetapi kami yang lemah memerlukan bantuan dan kami mohon bantuan adik Siu Bi yang gagah perkasa untuk bersama-sama menghadapi Pendekar Buta. Kita memiliki kepentingan bersama dan kita sama-sama bersakit hati terhadap dia."

Enak didengar ucapan Ouwyang Lam ini dan seketika hati Siu Bi pun dapat dikalahkan. Gadis ini menjadi tidak enak sendiri mendengar dia diangkat-angkat dan mereka berdua yang ia tahu tidak kalah lihai itu merendahkan diri. Untuk menghilangkan rasa tidak enak ini ia bertanya. "Mengapakah kalian juga bermusuh dengan Pendekar Buta? Kalau kakek sudah terang dibuntungi lengannya."

Ang-hwa Nio-nio girang melihat hasil bujukan dan kata-kata halus muridnya, maka kini ia yang memberi penjelasan.

"Siu Bi, agaknya kakek dan ayahmu tidak memberi penuturan yang lengkap kepadamu. Ketahuilah bahwa belasan tahun yang lalu, sebelum kau dilahirkan, ayahmu merupakan musuh besar Pendekar Buta, dan karena ayahmu tidak sanggup menangkan musuhnya, maka kakekmu Hek Lojin datang membantu. Tetapi ternyata kakekmu juga kalah, malah lengannya dibuntungi. Ada pun aku sendiri, bersama dua orang adik perempuanku, juga memusuhi Pendekar Buta untuk membalas dendam suci (kakak seperguruan) kami, akan tetapi dalam pertempuran itu, dua orang adikku tewas, hanya aku seorang yang berhasil menyelamatkan diri. Karena itulah, aku kemudian bersumpah untuk membalas dendam atas kematian saudara-saudaraku dan juga atas kekalahan para kawan segolonganku, termasuk ayah dan kakekmu. Dengan demikian, bukankah kita ini orang sendiri dan satu golongan?"

Siu Bi diam-diam terkejut sekali. Tidak disangkanya bahwa Pendekar Buta sedemikian lihainya sehingga dikeroyok begitu banyak orang sakti masih dapat menang! Dia semakin ragu-ragu, apakah dia akan dapat menangkap musuh besar itu? Dan mulailah ia melihat kenyataan akan pentingnya bekerja sama dengan orang-orang pandai seperti Ang-hwa Nio-nio dan muridnya yang tampan ini. Apa lagi dengan adanya Ang-hwa Nio-nio akan lebih mudah baginya untuk bisa mengenal kelemahan-kelemahan lawan karena Ang-hwa Nio-nio pernah bertempur menghadapi Pendekar Buta.

"Kau betul, Bibi. Maafkan keraguanku tadi. Kalau begitu, marilah kita berangkat bersama ke Liong-thouw-san mencari musuh besar kita."

Ang-hwa Nio-nio tertawa. "Hi-hi-hik, kau benar-benar seorang gadis yang keras hati dan penuh semangat Siu Bi. Tak mudah menyerbu ke Liong-thouw-san. Kita harus lebih dulu menghubungi teman-teman segolongan. Banyak yang akan suka ikut menyerbu ke sana untuk menyelesaikan perhitungan lama. Di antaranya ada pamanku Ang Moko yang telah menyanggupi. Di samping itu, kau harus membantu kami lebih dahulu, karena pada saat ini kami sedang menunggu kedatangan musuh-musuh kami yang datang dari Kun-lun. Sebagai orang segolongan, tentu kau tidak suka melihat kami dihina orang dan tentu kau mau membantu kami, bukan?"

"Tentu saja, Bibi. Akan tetapi tidak enaklah membantu sesuatu tanpa mengetahui pokok persoalannya. Mengapa kau bermusuhan dengan orang-orang Kun-lun itu? Aku pernah mendengar dari kakek bahwa Kun-lun-pai adalah sebuah partai persilatan yang besar."

Ang-hwa Nio-nio menarik nafas panjang dan mengangguk-angguk, "Sebetulnya, dengan Kun-lun-pai langsung kami tak mempunyai urusan. Yang menjadi biang keladinya adalah Bun-goanswe sehingga menyeret Kun-lun-pai berhadapan dengan kami."

"Jenderal Bun di Tai-goan?" tanya Siu Bi, kaget.

Tercenganglah Ang-hwa Nio-nio dan Ouwyang Lam mendengar ini. "Kau kenal dia?"

"Tidak kenal, tapi aku tahu. Pernah aku dijadikan tahanan di sana karena aku membantu para petani yang ditindas."

"Dia memang sombong!" kata Ouwyang Lam. "Puteranya juga sombong sekali. Dumeh (mentang-mentang) jenderal itu putera dari ketua Kun-lun-pai dan sahabat baik Pendekar Buta, sama sekali tidak memandang mata kepada orang-orang seperti kita!"

Mendengar bahwa Jenderal Bun itu adalah sahabat baik musuh besarnya, tentu saja Siu Bi menjadi makin tak senang kepada keluarga Bun.

"Apakah yang terjadi?" tanyanya.

"Ketahuilah, adik Siu Bi. Kami dari Ang-hwa-pai selalu melakukan hubungan baik dengan para pembesar, malah kami tak pernah berlaku pelit. Semua pembesar dari yang rendah sampai yang tertinggi di wilayah ini, apa bila mengalami kesukaran, tentu minta bantuan kami dan tidak pernah kami menolak mereka. Akan tetapi, Jenderal Bun dan puteranya itu malah menghina kami, dan ada empat orang anak buah Ang-hwa-pai mereka tangkap dan mereka jatuhi hukuman. Tiga orang anak buah kami yang melawan mereka bunuh. Coba kau pikir, bukankah mereka itu sudah bertindak sewenang-wenang mengandalkan kedudukan dan kepandaian?"

"Hemmm, lalu apa yang terjadi?"

"Agaknya urusan ini terdengar oleh ketua Kun-lun-pai yang menjadi ayah dari Jenderal Bun. Kun-lun-pai mengirim utusan memberi teguran kepada partai kami, dinyatakan oleh partai Kun-lun bahwa sesudah negara menjadi aman, tidak semestinya kami mengacau. Tentu saja aku tidak sanggup menahan kemarahan mendengar pernyataan yang amat memandang rendah ini, kumaki utusan itu dan terjadi pertandingan yang mengakibatkan utusan Kun-lun-pai itu tewas. Karena itu, dalam beberapa hari ini kurasa akan datang pula utusan Kun-lun-pai ke sini. Apa bila terjadi keributan dengan pihak Kun-lun-pai yang sombong, kuharap saja kau suka membantu kami, adik Siu Bi."

Siu Bi kembali mengangguk-angguk. Dia sendiri memang tidak suka kepada Jenderal Bun, apa lagi karena jenderal itu adalah sahabat musuh besarnya. Dengan Kun-lun-pai ia tak mempunyai hubungan apa-apa, sedangkan orang-orang Ching-coa-to ini merupakan orang segolongan dengannya, sama-sama musuh besar Pendekar Buta.

"Baiklah, tentu aku akan membantu. Setelah melihat lurah Bhong yang jahat itu dan sikap Jenderal Bun, aku pun tidak suka kepada para pembesar itu. Kalau mereka keterlaluan harus kita lawan."

Hidangan yang mewah dikeluarkan oleh para pelayan cantik dan tiga orang ini berpesta pora. Diam-diam Siu Bi merasa girang juga karena nenek dan pemuda itu benar-benar sangat ramah kepadanya, bahkan pesta itu diadakan untuk menghormatinya! la merasa beruntung bisa bertemu dengan Ang-hwa Nio-nio dan Ouwyang Lam, sebab jelas bahwa pertemuan ini akan mendekatkan ia pada hasil gemilang tujuan perjalanannya.

Juga di samping ini, ia tertarik dan suka kepada Ouwyang Lam yang tampan, gagah perkasa dan sangat manis budi terhadapnya. Tidak mengecewakan mempunyai seorang sahabat seperti dia, pikirnya.

Baru saja mereka selesai makan dan minum, seorang penjaga berlari masuk, memberi laporan bahwa ada dua orang tosu sedang menyeberangi telaga dan datang berkunjung ke pulau.

"Mereka mengaku datang dari Kun-lun-pai dan minta bertemu dengan Paicu," penjaga itu mengakhiri laporannya.

Ouwyang Lam meloncat berdiri. "Biarkan aku saja yang pergi menemui mereka," katanya kepada Ang-hwa Nio-nio, kemudian menoleh kepada Siu Bi. "Adik Siu Bi, adakah hasrat main-main dengan orang-orang Kun-lun-pai?"

Dasar Siu Bi berwatak nakal dan pemberani. Mendengar bahwa dua orang Kun-lun-pai datang ke pulau ini, tentu dengan maksud mencari perkara, dia menjadi ingin tahu dan gembira sekali kalau dia dipercaya mewakili tuan rumah. Dia menoleh ke arah Ang-hwa Nio-nio yang tersenyum kepadanya dan berkata,

"Pergilah, Siu Bi, dan bergembiralah bersama kakakmu Ouwyang Lam."

Pemuda itu sudah meloncat ke luar, diikuti Siu Bi dan dua orang muda ini berlari-lari menuju ke pantai. Benar saja seperti yang dilaporkan oleh penjaga tadi, di pantai berdiri dua orang tosu setengah tua yang sikapnya kereng dan angker. Perahu mereka yang kecil telah berada di darat dan tak jauh dari tempat itu tampak orang-orang Ang-hwa-pai berjaga-jaga sambil memasang mata penuh perhatian.

Semenjak terjadi peristiwa ada utusan Kun-lun-pai tewas di situ, mereka telah menerima perintah dari ketua mereka supaya jangan bertindak sembrono apa bila bertemu dengan orang-orang Kun-lun-pai, akan tetapi langsung melaporkan pada ketua. Inilah sebabnya mengapa para anggota Ang-hwa-pai tidak mengganggu dua orang tosu itu.

Saat melihat munculnya dua orang muda-mudi yang tampan dan cantik jelita, dua orang tosu itu menjadi tercengang dan saling pandang. Apa lagi ketika melihat dua orang muda itu langsung menghampiri mereka kemudian menatap mereka sambil tersenyum-senyum mengejek.

Ouwyang Lam segera bertanya, "Apakah Ji-wi (Kalian) tosu dari Kun-lun-pai?"

Tosu yang bertahi lalat besar di bawah mulutnya menjawab, "Betul, orang muda. Pinto (Aku) adalah Kung Thi Tosu dan ini sute Kung Lo Tosu. Kami berdua mentaati perintah ketua kami mengantar seorang suheng (kakak seperguruan) kami menyampaikan pesan ketua kami kepada Ang-hwa-pai. Oleh karena itu, harap kau orang muda suka memberi tahu kepada Ang-hwa-pai bahwa kami datang berkunjung."

Ouwyang Lam tertawa. "Totiang berdua tak perlu sungkan-sungkan. Kalau ada perkara, beri tahukan saja kepadaku. Aku Ouwyang Lam mewakili ketua kami dan segala urusan cukup kalian bicarakan dengan aku."

"Hemmm, begitukah?" Kung Thi Tosu berkata sambil menatap tajam wajah Ouwyang Lam. "Sudah lama pinto mendengar nama Ouwyang Kongcu. Kedatangan kami ini tidak lain akan menanyakan tentang suheng kami yang beberapa hari yang lalu datang ke sini. Di manakah suheng kami itu?"

Wajah yang tampan itu menjadi muram. "Totiang, apa kau kira aku ini seorang gembala keledai maka kau tanya-tanya kepadaku mengenai keledai yang hilang? Sudahlah, lebih baik kalian pergi, cari di tempat lain. Pulau kami bukan tempat bagi para tosu."

Meski pun terdengar lemas akan tetapi jawaban ini sangat menghina dan menyakitkan hati karena menyamakan suheng mereka dengan keledai! Kung Lo Tosu yang bermuka kuning menjadi semakin pucat mukanya ketika dia melangkah maju dan berkata dengan suara keras.

"Orang muda she Ouwyang bermulut lancang! Kami dari Kun-lun-pai tidak biasa menelan hinaan-hinaan tanpa sebab. Ketua kami mendengar tentang sepak terjang Ang-hwa-pai yang mengacau ketenteraman, kemudian ketua kami mengutus suheng dan kami berdua untuk datang mengunjungi kalian guna memberi peringatan secara halus, mengingat kita sama-sama partai persilatan. Akan tetapi suheng yang sangat hati-hati dan tidak ingin kalian salah paham, menyuruh kami menanti di seberang dan suheng seorang diri yang datang ke sini empat hari yang lalu. Suheng tidak kelihatan kembali, maka kami datang menyusul. Kiranya datang-datang kami hanya kau sambut dengan ucapan menghina. Orang muda, lekas katakan di mana adanya Kun Be Suheng”.

Berubah wajah Ouwyang Lam, agak merah karena dia menahan kemarahannya.

”Aku tidak tahu yang mana itu suheng-mu, akan tetapi beberapa hari yang lalu memang ada seseorang kurang ajar yang mengacau di sini. Karena dia tidak mau disuruh pergi, terpaksa aku turun tangan dan dia sudah tewas.”

”Keparat! Jadi kau... kau membunuh suheng...?" Kun Thi Tosu kini pun menjadi marah sekali. "Kalau begitu Ang-hwa-pai memang benar-benar jahat sekali, membunuh seorang utusan..."

Ouwyang Lam tertawa mengejek. "Tosu bau, dengarlah baik-baik. Kalau terjadi sesuatu pertengkaran atau pun pertempuran, jelas bahwa yang salah adalah orang yang datang menyerbu. Aku membela tempatku sendiri yang hendak dikacau orang lain, mana bisa dianggap jahat? Adalah kalian ini yang bukan orang sini, datang-datang mengeluarkan omongan besar, kalianlah yang jahat!"

"Ang-hwa-pai partai gurem yang baru muncul berani memandang rendah Kun-lun-pai! Benar-benar keterlaluan. Bocah sombong, kau harus mengganti nyawa suheng!”

Ouwyang Lam menoleh ke arah Siu Bi. "Kau lihatlah, betapa menjemukan. Apa kau mau membantuku melempar mereka ke dalam telaga?"

Siu Bi sudah biasa dengan watak aneh kasar dan liar. Watak kakeknya, Hek Lojin, jauh lebih kasar, liar dan aneh lagi. Semenjak tadi dia pun sudah jemu menyaksikan tingkah orang-orang Kun-lun-pai ini dan dalam pertimbangannya, Ouwyang Lam berada di pihak benar.

Orang dihargai karena sikapnya, karena kebenarannya, dan sama sekali bukan karena kedudukannya, atau karena partainya yang besar. Dalam urusan ini Kun-lun-pai terlalu memandang rendah terhadap Ang-hwa-pai, tidak semestinya mencampuri urusan partai orang lain, apa lagi menegur. Orang-orang Kun-lun-pai mencari penyakit sendiri dengan sikap tinggi hati dan takabur.

"Mari...!" kata Siu Bi, juga dengan senyum mengejek.

Dua orang tosu itu sudah marah sekali mendengar betapa suheng mereka yang datang di pulau ini sebagai utusan, telah ditewaskan. Serentak mereka menerjang maju, dengan maksud untuk menangkap pemuda sombong ini untuk ditawan dan dipaksa ikut mereka ke Kun-lun, dihadapkan kepada ketua mereka agar diadili.

Akan tetapi mereka keliru apa bila mengira bahwa mereka akan dapat merobohkan dan menangkap Ouwyang Lam dengan mudah. Begitu pemuda itu menggerakkan kaki dan tangan, dia telah menyambut terjangan kedua orang ini dengan pukulan dan tendangan yang dahsyat, memaksa dua orang tosu itu mengelak sambil menyusul dengan serangan dari samping.

Akan tetapi, pada saat itu pula Siu Bi sudah membentak nyaring dan menerjang Kung Lo Tosu sehingga terpaksa tosu ini bertanding melawan Siu Bi. Hal ini tidak mengecilkan hati kedua orang tosu Kun-lun-pai. Siu Bi hanya seorang gadis remaja, juga Ouwyang Lam yang mereka pernah dengar sebagai Ouwyang Kongcu yang terkenal kiranya hanya seorang pemuda biasa saja. Dengan cepat mereka memainkan kaki dan tangan sambil mengeluarkan Ilmu Silat Kun-lun-pai.

Mereka adalah tosu-tosu tingkat ke empat di Kun-lun-pai, ilmu kepandaian mereka tinggi. Meski pun mereka percaya bahwa suheng mereka tewas, akan tetapi mereka mengira bahwa tewasnya sang suheng itu adalah karena pengeroyokan, sama sekali tidak pernah menyangka bahwa tewasnya Kung Be Tosu adalah karena bertanding satu lawan satu dengan pemuda ini!

Setelah bergebrak beberapa jurus, barulah kedua orang tosu itu kaget dan mendapatkan kenyataan bahwa kedua orang lawannya ternyata lihai bukan main. Jangankan hendak menangkap, menyerang saja mereka tidak mampu lagi, hanya dapat mempertahankan diri, menangkis dan mengelak ke sana ke mari karena kedua orang muda itu mendesak mereka dengan pukulan-pukulan yang cepat dan luar biasa.

Kung Lo Tosu menjadi kabur matanya melihat sinar hitam bergulung-gulung dari kedua lengan lawannya, dan pukulan-pukulan gadis remaja ini mengandung hawa yang panas bukan main. Ada pun Kung Thi Tosu juga bingung menghadapi sinar merah dari pukulan Ouwyang Lam, kepalanya pening mencium bau harum yang aneh.

"Adik Siu Bi, kalau kita bunuh mereka, mereka tidak akan dapat mengingat-ingat akan kelihaian kita. Hayo berlomba lempar mereka ke telaga!" Ouwyang Lam berkata sambil tertawa.

Siu Bi memang tidak mempunyai maksud untuk membunuh lawannya karena ia sendiri tidak mempunyai permusuhan apa-apa dengan tosu Kun-lun-pai. Mendengar ajakan ini, ia berseru keras dan tahu-tahu ia telah berhasil mencengkeram pundak lawannya dan dengan hentakan cepat ia melemparkan tubuh Kung Lo Tosu ke air telaga di depannya.

Tepat pada saat itu juga, Ouwyang Lam berhasil pula melemparkan lawannya sehingga tubuh dua orang tosu Kun-lun-pai ini melayang dan terbanting ke dalam air yang muncrat tinggi-tinggi. Mereka gelagapan, tenggelam dan beberapa saat kemudian timbul kembali megap-megap, berusaha berenang akan tetapi tak berani ke pinggir karena para anggota Ang-hwa-pai sudah berdiri di situ sambil tertawa bergelak.

"Mereka sudah diberi hajaran, biarkan mereka pergi," kata Siu Bi, kakinya bergerak dan... perahu kecil itu sudah ditendangnya sampai terbang melayang ke air, dekat kedua orang tosu yang gelagapan itu.

Cepat mereka berenang mendekati dan meraih perahu, terus mendayung perahu dengan kedua tangan mereka di kanan kiri perahu. Perahu bergerak perlahan ke tengah telaga, diikuti sorak-sorai dan ejekan para anggota Ang-hwa-pai.

Dapat dibayangkan alangkah malunya Kung Thi Tosu dan Kung Lo Tosu. Mereka terus berusaha sedapat mungkin menggerakkan perahu tanpa dayung, menjauhi pulau dengan muka sebentar pucat sebentar merah. Setelah perahu mereka bergerak sampai tengah telaga, jauh dari pulau itu, barulah mereka menyumpah-nyumpah dan mengancam akan melaporkan hal ini kepada ketua mereka.

"Pemuda jahanam, gadis liar!" Kung Thi Tosu memaki gemas. "Awas kalian orang-orang Ang-hwa-pai, Kun-lun-pai tidak akan mendiamkan saja penghinaan ini!"

"Sudahlah, Suheng. Mari kita gerakkan perahu mendarat dan cepat-cepat kita kembali ke Kun-lun untuk melapor kepada sucouw (kakek guru)." Kung Lo Tosu menghibur.

Mereka terus mendayung perahu menggunakan kedua lengan. Karena mereka memiliki kepandaian tinggi dan tenaga mereka besar, walau pun perahu hanya didayung dengan tangan, perahu dapat meluncur cepat menuju ke darat.

Tiba-tiba saja dari sebelah kanan terlihat meluncur sebuah perahu kecil. Penumpangnya hanya seorang wanita muda yang berdiri di tengah perahu dan menggerakkan dayung ke kanan kiri sambil berdiri saja. Akan tetapi perahunya dapat meluncur laksana digerakkan tenaga raksasa!

Melihat ini saja, dua orang tosu itu dapat menduga bahwa gadis yang cantik dan gagah ini tentulah seorang berilmu. Sebaliknya, gadis itu pun dapat mengerti bahwa dua orang tosu yang mendayung perahu dengan hanya memakai tangan itu tentulah orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi.

Kung Thi Tosu dan Kung Lo Tosu tidak mempedulikan gadis itu, malah mereka segera membuang muka. Mereka menyangka bahwa gadis yang lihai ini tentulah juga anggota Ang-hwa-pai, sama dengan gadis remaja yang tadi merobohkan Kung Lo Tosu. Mereka tak mau mencari penyakit, tak mau mencari gara-gara, maka lebih aman membungkam dan pura-pura tidak melihat.

Akan tetapi, tidak demikian dengan gadis itu. la sengaja memotong jalan, menghadang perahu mereka. Karena tidak ingin perahu mereka bertumbukan, terpaksa kedua tosu itu menahan lajunya perahu dan memandang.

Yang berdiri di tengah perahu kecil itu adalah seorang gadis yang masih muda, seorang gadis yang cantik manis. Senyumnya selalu menghias bibir, sepasang matanya nampak tajam serta berpengaruh, dan di balik kecantikan itu tersembunyi kegagahan. Tubuhnya ramping padat, pakaiannya sederhana dan rambutnya yang hitam dikuncir ke belakang, melambai-lambai tertiup angin telaga.

Dengan mempergunakan dayung, gadis itu menahan perahunya, memberi hormat sambil membungkuk dalam-dalam dan mengangkat kedua tangan yang memegang dayung ke depan dada, lalu berkata, suaranya halus merdu membayangkan watak yang halus pula.

"Maaf, Ji-wi Totiang. Bukan maksudku mengganggu Ji-wi, tetapi saya mohon bertanya, telaga ini telaga apakah namanya dan pulau di depan itu pulau apa, siapa yang tinggal di sana?"

Kung Thi Tosu dan sute-nya saling pandang, kemudian Kung Thi Tosu bertanya, "Nona bukan orang sana? Bukan anggota Ang-hwa-pai?"

Sekarang gadis itu yang memandang heran, "Bukan, Totiang. Kalau saya orang pulau itu, masa masih bertanya-tanya. Saya seorang pelancong yang tertarik akan keindahan telaga ini, dan ingin sekali tahu nama telaga dan pulau itu."

"Wah, kalau begitu lebih baik Nona lekas-lekas pergi dari tempat ini. Sangat berbahaya, Nona. Pulau di depan itu adalah Ching-coa-to, pusat perkumpulan Ang-hwa-pai. Kami berdua tosu dari Kun-lun-pai baru saja terlepas dari bahaya maut."

"Akan tetapi tidak terlepas dari penghinaan hebat!" sambung Kung Lo Tosu.

Gadis itu tampak mengerutkan alisnya yang hitam dan bagus bentuknya.

"Di sepanjang perjalanan sudah banyak kudengar sepak terjang yang sewenang-wenang dari Ang-hwa-pai. Siapa sangka sampai-sampai berani melakukan penghinaan terhadap Kun-lun-pai. Kiranya Ji-wi Totiang adalah anak murid Kun-lun-pai? Harap Ji-wi Totiang sudi menceritakan kepada saya apakah yang telah terjadi antara Ji-wi dan Ang-hwa-pai?"

"Nona siapakah? Pinto tidak dapat menceritakan hal ini kepada orang luar yang tidak pinto kenal, maaf," kata Kung Thi Tosu.

Nona itu mengangguk. "Memang seharusnya begitu. Akan tetapi biar pun Ji-wi Totiang tidak mengenal saya, tentu Bun Lo-sianjin ketua Kun-lun-pai tak akan asing mendengar nama saya dan tak akan marah kepada Ji-wi kalau mendengar bahwa Ji-wi menceritakan urusan ini kepada seorang gadis bernama Tan Cui Sian dari Thai-san."

Dua orang tosu itu belum pernah mendengar nama Tan Cui Sian, akan tetapi tentu saja mereka tahu apa artinya Thai-san-pai bagi Kun-lun-pai. Ketua Thai-san-pai yang berjuluk Bu-tek Kiam-ong (Raja Pedang Tiada Lawan) merupakan sahabat baik ketua mereka dan kalau nona ini datang dari Thai-san, berarti seorang sahabat pula. KungThi Tosu lalu menjura dan memberi hormat.

"Ternyata Nona dari Thai-san-pai, maaf kalau tadi pinto ragu-ragu. Di antara sahabat sendiri, tentu saja pinto suka menceritakan urusan ini yang membuat hati menjadi sakit dan penasaran."

Kung Thi Tosu lalu bercerita tentang semua peristiwa yang telah terjadi. Suheng mereka yang menjadi utusan Kun-lun-pai dibunuh, dan mereka sendiri menerima hinaan dari dua orang muda yang amat lihai.

Sepasang mata gadis itu bersinar tajam, kerut keningnya mendalam. "Hemmm, terlalu sekali mereka itu. Apakah yang Ji-wi Totiang hendak lakukan sekarang?"

"Kami hendak pulang dan melaporkan hal ini kepada ketua kami."

"Memang sebaiknya begitu. Ini adalah urusan antara Kun-lun-pai dan Ang-hwa-pai, tentu saja saya tidak berhak mencampuri, tapi ingin sekali saya bertemu dengan pemuda dan gadis yang telah menghina Ji-wi. Mereka itu kurang ajar sekali dan terlalu mengandalkan kepandaian, hemmm..."

"Harap Nona jangan main-main di tempat ini. Mereka itu benar-benar lihai. Baru yang muda-muda saja sudah begitu lihai, belum lagi ketua mereka, Si nenek Ang-hwa Nio-nio. Juga anggota mereka jumlahnya banyak sekali, jahat-jahat pula. Lebih baik Nona cepat meninggalkan tempat ini agar jangan sampai mengalami penghinaan."

Gadis itu tersenyum. "Saya justru ingin mereka itu datang menghina saya. Selamat jalan, Totiang. Mendayung perahu hanya dengan tangan tentu tidak dapat cepat. Biarlah saya membantu sebentar!”

Sesudah berkata demikian, nona ini menggunakan dayungnya yang panjang itu untuk mendorong perahu kedua tosu. Tenaga dorongannya kuat bukan main sehingga perahu ini seakan-akan digerakkan tenaga raksasa, meluncur ke depan dengan amat cepatnya.

Kung Thi Tosu dan sute-nya kaget, heran dan juga girang sekali. Perahu nona itu sudah menyusul dan terus dia mendorong-dorong perahu di depan. Dengan cara begini, benar saja, dua orang tosu itu dapat mencapai daratan dalam waktu singkat. Mereka meloncat ke darat, memberi hormat ke arah nona berperahu yang sudah kembali menggerakkan perahunya ke tengah telaga.

Kung Thi Tosu menarik nafas panjang. "Sute, perjalanan kita kali ini benar-benar sudah membuka mata kita bahwa kepandaian kita sama sekali belum ada artinya. Dalam waktu sehari kita sudah bertemu dengan tiga orang muda yang mempunyai kepandaian jauh melampaui kita. Aku berjanji akan berlatih lebih tekun lagi kalau kita sudah kembali ke gunung," Mereka lalu membalikkan tubuh dan melakukan perjalanan secepatnya pulang ke Kun-lun-pai.

Siapakah sebenarnya gadis lihai berperahu itu? Dia bukanlah seorang pelancong biasa. Para pembaca cerita Pendekar Buta tentu masih ingat akan nama ini, Tan Cui Sian. Gadis ini adalah puteri dari ketua Thai-san-pai, Si Raja Pedang Tan Beng San dan si pendekar wanita Cia Li Cu yang sekarang sudah menjadi kakek-kakek dan nenek-nenek, memimpin perkumpulan Thai-san-pai yang makin maju dan terkenal. Suami isteri ini telah berusia empat puluh tahun lebih ketika Cui Sian terlahir, maka mereka sekarang menjadi tua setelah puteri mereka berusia dua puluh tiga tahun.

Sebagai puteri sepasang pendekar besar yang memiliki ilmu kesaktian, tentu saja sejak kecilnya Cui Sian telah digembleng dan mewarisi kepandaian mereka berdua sehingga kini Cui Sian menjadi seorang gadis yang sakti. Wataknya pendiam seperti ayahnya, keras seperti ibunya, cerdik dan luas pandangannya.

Hanya satu hal yang menjengkelkan ayah bunda Cui Sian, yang membuat ibunya sering kali menangis sedih, yaitu watak bandel gadis ini mengenai perjodohan. Banyak sekali pendekar-pendekar muda, bangsawan-bangsawan berkedudukan tinggi yang tergila-gila kepadanya. Sudah banyak pula datang lamaran atas dirinya dari orang-orang muda yang memenuhi syarat, baik dipandang dari watak baiknya, kepandaian tinggi dan kedudukan yang mulia. Namun semua pinangan itu ditolak mentah-mentah oleh Cui Sian!

"Ibu, aku tidak mau terikat oleh perjodohan! Aku... aku tidak mau seperti enci Cui Bi...," demikian keputusan Cui Sian di depan ayah bundanya, lalu lari memasuki kamarnya.

Ketua Thai-san-pai bersama isterinya saling pandang. Si Raja Pedang ini mengelus-elus jenggotnya yang panjang sambil berkali-kali menarik nafas, memandang isterinya yang menjadi basah pelupuk matanya. Teringatlah mereka pada mendiang Tan Cui Bi, puteri mereka pertama yang tewas menjadi korban asmara gagal.

Dalam cerita Rajawali Emas dituturkan betapa mendiang Cui Bi yang sudah ditunangkan dengan Bun Wan (sekarang Jenderal Bun di Tai-goan) terlibat jalinan asmara dengan Kwa Kun Hong (Pendekar Buta) sehingga karena gagal, Cui Bi lalu membunuh diri dan Kun Hong membutakan matanya sendiri! Cerita tentang Cui Bi ini agaknya membuat hati Cui Sian sekarang menjadi ngeri, membuat dia tidak mau berbicara tentang perjodohan, bahkan membuat dia seperti membenci perjodohan.

"Dia menjadi takut bayangan sendiri, takut akan terulang kesedihan dan mala petaka yang menimpa diri cici-nya. Biarlah, kita serahkan saja kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, karena betapa pun juga, jodoh adalah kehendak Tuhan, tak dapat dipaksakan. Kalau dia sudah bertemu jodohnya, tak usah kita paksa lagi, dia tentu akan mau sendiri," demikian kata-kata hiburan ketua Thai-san-pai kepada isterinya.

"Tapi... tapi... tahun ini dia sudah berusia dua puluh tiga tahun..." Isterinya tidak dapat melanjutkan kata-katanya, menahan isak dan menghapus air mata.

Kembali Bu-tek Kiam-ong Tan Beng San menarik nafas panjang. "Di dalam perjodohan, usia tidak menjadi soal, isteriku. Beberapa kali anak kita itu mohon untuk diberi ijin turun gunung dan kita selalu melarangnya karena khawatir kalau-kalau terjadi hal seperti yang telah menimpa diri Cui Bi. Kurasa inilah kesalahan kita. Biarkan ia turun gunung, biarkan ia mencari pengalaman, siapa tahu dalam perjalanannya, ia akan bertemu |odohnya. Dia kini sudah dewasa dan mengenai kepandaian, kurasa kita tidak perlu mengkhawatirkan keselamatannya. Cui Sian mampu menjaga diri."

Pernyataan suaminya bahwa si anak mungkin bertemu jodohnya dalam perantauan, melunakkan hati nyonya ketua Thai-san-pai ini. Dan alangkah girang hati Cui Sian ketika ibunya malam hari itu memberi tahu bahwa dia sekarang diperkenankan turun gunung melakukan perantauan. Dari ibunya dia menerima pedang Liong-cu-kiam yang pendek dan dari ayahnya ia dibekali pesan,

"Kau sudah mencatat semua alamat dari sahabat-sahabat ayah bundamu. Jangan lupa untuk mampir dan menyampaikan hormat kami kepada mereka. Terutama sekali jangan lupa mengunjungi Liong-thouw-san, Hoa-san, Kun-lun dan kalau kau pergi ke kota raja, jangan lupa singgah di rumah Jenderal Bun."

"Bekas tunangan cici Cui Bi?" Cui Sian mengerutkan kening.

Ayahnya tertawa. "Apa salahnya? Dahulu tunangan, tetapi sekarang hanya merupakan sahabat baik, karena Bun Wan adalah putera Kun-lun, sedangkan ketua Kun-lun-pai itu adalah sahabat baikku."

Setelah menerima nasehat-nasehat dan pesan supaya hati-hati dari ibunya, berangkatlah Cui Sian turun gunung, membawa bekal pakaian serta emas secukupnya, dengan hati gembira tentu saja.

Demikianlah sekelumit riwayat gadis yang kini berada di telaga itu, dekat Ching-coa-to dan bertemu dengan dua orang tosu Kun-lun-pai. Karena Kun-lun-pai adalah partai besar yang bersahabat dengan ayahnya, tentu saja Cui Sian menganggap kedua orang tosu itu sebagai sahabat dan dia ikut merasa mendongkol sekali ketika mendengar hinaan yang diderita orang-orang Kun-lun-pai dari dua orang muda Ching-coa-to. Setelah mengantar kedua orang tosu Kun-lun itu ke darat, Cui Sian lalu mendayung perahunya kembali ke tengah telaga, menyeberang hendak melihat-lihat sekeliling pulau.

Sementara itu, Ouwyang Lam dan Siu Bi tertawa-tawa di pulau setelah mereka berhasil melemparkan kedua orang tosu ke dalam air.

"Jangan ganggu, biarkan mereka pergi!" teriak Ouwyang Lam kepada anggota-anggota Ang-hwa-pai sehingga beberapa orang yang tadinya sudah bermaksud melepaskan anak panah, terpaksa membatalkan niatnya.

Siu Bi juga merasa gembira sekali. Dia sudah membuktikan bahwa dia suka membantu Ang-hwa-pai dan sikap Ouwyang Lam benar-benar menarik hatinya. Pemuda ini sudah pula membuktikan kelihaiannya, maka tentu dapat menjadi teman yang baik dan berguna dalam menghadapi musuh besarnya.....
Terima Kasih atas dukungan dan saluran donasinya🙏

Halo, Enghiong semua. Bantuannya telah saya salurkan langsung ke ybs, mudah-mudahan penyakitnya cepat diangkat oleh yang maha kuasa🙏

Traktiran: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan) ataupun bisa melalui via Trakteer yang ada dibawah

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar