Pendekar Buta Jilid 31

Dia cepat mengalihkan perhatian pada wanita itu. Hatinya berdebar karena sungkan dan ragu ketika jari-jari tangannya meraba tubuh seorang wanita yang masih muda. Apa lagi setelah dia melakukan pemeriksaan teliti, dia mendapat kenyataan bahwa wanita ini telah terkena senjata rahasia yang sangat halus di dadanya dan berada dalam keadaan yang membahayakan keselamatan nyawanya. Dia bingung dan ragu.

"Apa boleh buat, demi menolong nyawanya." Akhirnya dia menggerutu seorang diri.

Cepat dia menurunkan buntalannya dan digeledahnya saku-saku bajunya, kemudian dia mengeluarkan sebatang jarum perak. Tanpa ragu-ragu lagi karena maklum bahwa kalau terlambat akan berbahaya bagi wanita ini, dia segera merobek baju wanita itu di bagian dadanya. Rabaan jari-jari tangannya menyatakan bahwa kulit dada itu telah ditembusi tiga batang jarum kecil yang rupanya mengandung bisa yang mendatangkan hawa panas.

"Hemmm, agaknya racun ular," Kun Hong bergumam sendiri setelah dia memencet luka itu, mengeluarkan sedikit darah dan diciumnya darah di jarinya.

Cepat dia mengerahkan kepandaiannya, menusuki beberapa jalan darah dengan jarum peraknya untuk mencegah racun itu menjalar. Dari detak jantung dia mendapat kenyataan yang menimbulkan harapan bahwa racun itu belum menjalar sampai ke dalam jantung. Pada tusukan terakhir di dekat leher, tubuh wanita itu bergerak dan terdengar ia mengeluh perlahan sekali, akan tetapi disusul suaranya penuh kekagetan.

"Aduhhhh... tua bangka keparat... ehh... heeeee, siapa kau, lepaskan aku...!"

Berdebar jantung Kun Hong karena telinganya serasa mengenal suara ini, akan tetapi dia lupa lagi siapa dan di mana.

“Tenanglah, Nona, aku berusaha mengobatimu," katanya dengan suara dingin dan halus.

"Kau...? Ahh, kau... Kwa Kun Hong Pendekar buta..."

Kini teringatlah Kun Hong. Kiranya nona ini adalah Giam Hui Siang, ‘siocia’ yang amat galak dari Ching-coa-to. Kalau begitu, apakah lelaki yang pingsan ini pemuda Kun-lun-pai, Bun Wan itu? Ah, apa bedanya? Hal itu tak penting baginya, yang penting hanya bahwa dia harus mengobati dua orang yang terancam bahaya maut ini, siapa pun juga mereka.

"Harap kau diam dan jangan bergerak, Nona. Dadamu telah terkena senjata rahasia yang mengandung racun ular, biar kukeluarkan tiga batang jarum ini."

Hui Siang mengeluh, akan tetapi ia benar-benar tidak bergerak sekarang. Dua tangannya ia pergunakan untuk menutupi mukanya karena biar pun ia tahu bahwa Kun Hong adalah seorang buta dan tidak dapat melihatnya, akan tetapi sebagai seorang gadis tentu saja ia menjadi jengah dan malu sekali karena bajunya terobek seperti itu dan Kun Hong sedang meraba-raba kulit tubuh bagian dada!

Karena maklum bahwa dia berlomba dengan waktu untuk menolong gadis ini, Kun Hong cepat-cepat mengerahkan tenaga lweekang-nya, menggunakan hawa sinkang disalurkan ke telapak tangan, kemudian telapak tangannya dia tempelkan ke atas luka-luka di dada itu dengan tenaga ‘menyedot’. Dia menekan perasaan hatinya untuk melupakan perasaan tangannya yang meraba bagian tubuh yang dirahasiakan itu, membekukan perasaan ini dengan keyakinan bahwa dia tidak memiliki kehendak lain kecuali sebagai ahli obat yang hendak menolong nyawa seseorang.

Usahanya berhasil baik. Tiga batang jarum yang telah menancap sampai tidak kelihatan lagi di dalam dada itu, kini tersembul dan dapatlah Kun Hong menjepit serta mencabuti keluar ketiganya. Akan tetapi tidak ada darah mengucur keluar.

Kagetlah Kun Hong. Hal ini hanya menjadi bukti bahwa racun itu telah bekerja, darah telah membeku dan tidak dapat keluar karena tertutup oleh gumpalan darah matang yang kotor oleh racun. Kalau saja dia bisa mendapatkan beberapa macam daun obat yang memiliki sifat menghisap, nona ini akan cepat tertolong. Akan tetapi dia tidak mempunyai daun itu dan untuk mencarinya, tidaklah mudah, apa lagi dia seorang buta.

"Nona, kau maafkanlah aku, tidak ada jalan lain mengeluarkan racun dari dalam luka di dadamu kecuali dihisap dengan mulut. Kau diam sajalah, tidak lama tentu sembuh."

Terpaksa sekali, tanpa mempedulikan apa-apa lagi karena khawatir kalau-kalau racun itu akan semakin meresap ke dalam, Kun Hong menundukkan mukanya, dan menggunakan mulutnya menyedot luka-luka di dada itu sambil mengerahkan tenaga sinkang.

Andai kata seorang biasa yang melakukan hal ini, kiranya akan makan waktu lama sekali. Akan tetapi Kun Hong bukanlah orang biasa, tenaga sinkang-nya hebat sekali sehingga sekali sedot saja dia sudah menghisap bersih racun pada satu luka. Setelah meludahkan darah mati yang dihisapnya, darah segar sudah mulai keluar dari luka kecil pertama itu. Kun Hong lalu menyedot luka ke dua, kemudian ke tiga.

Dapat dibayangkan betapa jengah dan malunya Hui Siang. Tentu saja ia bisa mengenal kehebatan jarum-jarumnya sendiri dan andai kata ia membekal obat penawarnya, tentu ia tak sudi diobati secara demikian oleh Kun Hong. Akan tetapi apa daya, ia lupa membawa obat bekalnya, dan ia pun tahu bahwa jalan satu-satunya untuk menolongnya memang seperti yang dilakukan Kun Hong itulah.

Teringat ia akan keadaan cici angkatnya dahulu ketika diobati oleh Kun Kong dan hatinya tertusuk. Mulailah timbul penyesalannya akan sikap-sikapnya dahulu terhadap Hui Kauw dan Kun Hong. Pendekar Buta ini ternyata benar-benar seorang manusia yang berbudi luhur, yang mengobati siapa saja tanpa pamrih sesuatu. Buktinya, sebelum ia sadar, tentu si buta ini tidak mengenalnya siapa.

Betapa pun juga, merasa betapa muka dan mulut orang buta itu menempel di dadanya, Hui Siang tak dapat menahan rasa malunya. Dia menutupi muka dengan kedua tangan, mukanya yang tadinya pucat sekarang menjadi merah seperti udang rebus.

Ketika Kun Hong sedang menghisap luka ke tiga atau yang terakhir, dan tubuhnya sedang berlutut itu, tiba-tiba terdengar bentakan keras dan...


“Desss…!”

Sebuah tendangan kilat yang sangat kuat membuat tubuh Kun Hong terlempar beberapa meter jauhnya kemudian jatuh terguling-guling. Baiknya Kun Hong keburu mengerahkan lweekang-nya sehingga dia tidak terluka, hanya terlempar dan bergulingan saja.

Tadi dia hanya mendengar bentakan itu, akan tetapi karena seluruh perhatian sedang ditujukan kepada pengobatan, sedang sinkang-nya pun sedang disalurkan kepada mulut yang menyedot, dia tidak sempat membela diri.

Ketika dia cepat melompat bangun, Kun Hong mendengar suara Bun Wan yang penuh kemarahan. "Kwa Kun Hong jahanam besar! Dulu kau telah menghancurkan hubunganku dengan perbuatanmu yang tidak tahu malu terhadap Cui Bi, kini kembali kau melakukan penghinaan terhadap diri Hui Siang! Kun Hong kau benar-benar seorang berhati binatang, sampai matamu menjadi buta masih saja kau merupakan manusia iblis. Kali ini aku tidak akan suka menerima penghinaan begitu saja. Keparat!"

"Wan-koko... jangan menuduh yang bukan-bukan...!" Suara Hui Siang sangat lemah dan tercampur isak.

Nona ini sudah dapat bangun dan tadi saking kagetnya dia tidak mampu bicara, hanya cepat-cepat menutup bajunya yang robek. Dadanya masih terasa nyeri, akan tetapi tidak sesak lagi dan kekuatannya sudah pulih. Dengan mata terbelalak dia melihat betapa Kun Hong terguling-guling dan begitu mendengar suara Bun Wan, barulah dia sadar kembali bahwa kekasihnya itu telah salah duga.

Akan tetapi Bun Wan tidak mendengar ucapan Hui Siang ini karena pada saat itu dia sedang marah bukan main. Siapa orangnya yang tidak akan marah kalau begitu dia sadar dari pingsannya melihat apa yang dilakukan Kun Hong terhadap kekasihnya tadi? Dengan amarah meluap-luap dia sudah melompati Kun Hong dan mengirim serangan mati-matian, tidak mempedulikan punggungnya yang masih terasa ngilu dan nyeri.

Mendadak terdengar suara lengking tinggi dan rajawali emas sudah menerjang Bun Wan, menggantikan Kun Hong yang masih berdiri termangu-mangu. Burung itu marah sekali.

Biar pun hanya seekor binatang, dia tadi mengerti bahwa sahabatnya sedang mengobati atau menolong dua orang yang menjadi korban keganasan Hek Lojin, akan tetapi kenapa yang ditolong oleh sahabatnya itu kini berbalik menyerang Kun Hong? Maka marahlah dia dan serta merta gerakan Bun Wan tadi segera dia sambut dengan kepakan sayap dan cengkeraman kukunya yang runcing.

Bun Wan kaget sekali, namun dia tidak kehilangan akal. Melihat bahwa gerakan burung ini mengandung kekuataan luar biasa besarnya, dia segera menjejak tanah dan tubuhnya melayang ke belakang, terluput dari pada serbuan burung itu. Rajawali emas memekik lagi dan menerjang maju, lebih hebat dari pada tadi.

"Kim-tiauw-ko, jangan...!" Kun Hong berseru dan cepat tubuhnya mencelat ke arah burung rajawali.

Burung itu meragu ketika mendengar teriakan Kun Hong, menunda serbuannya dan di lain saat lehernya telah dirangkul oleh Kun Hong.

"Jangan serang dia...," kata pula Kun Hong, suaranya sedih.

"Kun Hong, kau manusia tidak tahu malu!" kembali Bun Wan memaki dengan dada turun naik saking marahnya. "Apakah kau tak bisa mendapatkan lain wanita kecuali calon-calon isteriku? Apakah karena matamu menjadi buta maka tidak ada wanita sudi kepadamu? Kami sedang pingsan, namun engkau hendak menggunakan kesempatan ini berlaku hina kepada Hui Siang. Benar-benar iblis berujud manusia, jahanam! Kalau memang laki-laki, hayo kita mengadu nyawa, seorang di antara kita harus menggeletak mampus di sini!"

Kun Hong hanya tersenyum sedih dan menundukkan mukanya. Sementara itu wajah Hui Siang menjadi pucat sekali ketika mendengar ucapan kekasihnya ini. Cepat ia memegang lengan Bun Wan dan diguncang-guncangkan seperti seorang membangunkan seseorang dari pada mimpi buruk.

"Wan-koko, diamlah...! Sudah, diamlah jangan bicara dulu...!" Setelah Bun Wan selesai memaki-maki Kun Hong, baru dia berkata, "Wan-koko, kau salah duga... ahh, bagaimana kau bisa menjatuhkan tuduhan sekeji itu kepadanya? Wan-koko, kau lihat ini..."

Ia membuka bajunya yang robek itu sehingga tampaklah luka bekas jarum-jarum itu pada kulit dadanya yang putih halus. "Aku tadi terluka oleh tiga batang jarumku sendiri, aku pingsan dan pasti aku tidak akan dapat berkumpul lagi dalam keadaan hidup denganmu kalau tidak ada dia yang menolongku. Dia tidak berlaku kurang ajar, Koko... ahh, jangan salah duga... dia tadi berbuat begitu untuk menghisap keluar darah yang sudah terkena racun. Tanpa usahanya itu, darah beracun akan menjalar terus dan merusak jantungku. Wan-koko... kau sadarlah..."

Bun Wan merasa seakan-akan mendengar halilintar menyambar di hari terang. Ketika dia mendengar ini, matanya berkedip-kedip dan mulutnya melongo sambil menatap Kun Hong yang membelai-belai leher kim-tiauw.

Dia tadi merasa kepalanya nanar dan pening. Kini dia menggoyang-goyangkan kepalanya untuk mengusir rasa pusing itu. Kemudian dia merangkul leher Hui Siang dan mendekap kepala gadis itu pada dadanya, matanya dimeramkan dan ketika dibuka kembali tampak dua butir air mata menitik turun.

"Kun Hong..." suaranya serak, hampir tidak terdengar, "...Kun Hong... biar pun aku melek ternyata aku lebih buta dari padamu. Maafkan aku, Kun Hong..."

Kun Hong tersenyum, bukan senyum sedih lagi, dia gembira dan juga terharu. Sekaligus dia melupakan sikap Bun Wan yang menyakitkan hati tadi. Untuk melenyapkan suasana tidak enak, serta merta dia bertanya,

"Bun Wan, siapakah kakek keji yang merobohkan kalian tadi?"

Bun Wan masih dalam keadaan terpukul dan terharu, maka suaranya masih menggetar ketika dia menjawab, "...aku... aku tidak kenal, dia mengaku bernama Hek Lojin."

Diam-diam Kun Hong terkejut. Pernah dia mendengar ceritera Hui Kauw bahwa The Sun pemuda cerdik dan sakti itu adalah murid Hek Lojin. Hemm, pantas begitu lihai, kiranya guru The Sun, pikirnya.

"Kenapa dia menyerang kalian dan merobohkan secara keji?"

Orang yang merasa sudah melakukan sesuatu yang salah, dan merasa amat menyesal akan kesalahannya yang membuat dia nampak tidak baik itu, tentu akan selalu berusaha mengemukakan alasan segi baiknya untuk menutupi kesalahannya tadi, atau setidaknya mengurangi kesan-kesan buruk akibat kesalahannya. Apa lagi kalau orang itu memang memiliki watak yang angkuh.

Demikian pula dengan Bun Wan. Ia adalah seorang pemuda keturunan ketua Kun-lun-pai, selamanya menjunjung tinggi kegagahan, merasa bahwa dia sebagai keturunan pendekar dan patriot, maka kesalahan tadi amat memalukan dan membuatnya menyesal. Sekarang mendengar pertanyaan Kun Hong, terbukalah kesempatan untuk menonjolkan diri, untuk menonjolkan segi-segi baik dari dirinya.

"Karena... agaknya dia berpihak kepada kaisar kemudian membenciku sebab mendengar bahwa aku adalah utusan raja muda di utara. Dia menghina Kun-lun-pai, memaki-maki mendiang kakek guru dan para tokoh Kun-lun yang dikatakannya para pemberontak. Aku marahi, tetapi dia lihai... bukan lawan aku dan Hui Siang."

Berubah wajah Kun Hong mendengar ucapan ini, hatinya berdebar keras dan dia menjadi sangat terharu. Alangkah jauh menyeleweng pikirannya terhadap Bun Wan selama ini. Kiranya pemuda ini adalah seorang pejuang pula, malah seorang yang amat penting, yaitu utusan Raja Muda Yung Lo! Bahkan inilah orangnya yang dimaksudkan untuk menerima surat rahasia itu.

Dalam sekelebatan saja otaknya mengingat-ingat dan bekerja. Ahh, tidak aneh, semenjak dulu memang orang-orang Kun-lun-pai selalu membantu perjuangan dan sudah terkenal kecerdikan mereka melakukan pekerjaan penyelidikan atau mata-mata. Masih teringat dia akan ceritera ayahnya mengenai diri Pek-lek-jiu Kwee Sin, bekas tunangan ibunya, tokoh Kun-lun-pai yang juga menjadi seorang tokoh mata-mata amat lihai dan cerdik.

Kiranya pemuda ini menyelundup ke Ching-coa-to hanya untuk mempelajari keadaan dan menyelidiki keadaan para tokoh kang-ouw sampai kepada tokoh-tokoh jahatnya! Agaknya dalam menjalankan tugasnya ini, pemuda gagah itu tersandung batu asmara dan terlibat tali-talinya yang ruwet dengan Hui Siang! Dia menjadi terharu sekali, lalu cepat-cepat dia mengulurkan tangan memegang tangan Bun Wan.

"Wah, aku sampai lupa. Saudara Bun Wan, kau duduklah bersila. Kau harus mendapat pengobatan cepat-cepat karena lukamu di dalam akibat pukulan pada punggungmu cukup parah." Ucapannya kini terdengar halus dan penuh sayang.

Bun Wan merasa akan hal ini, akan tetapi dia tidak membantah karena dia pun maklum akan bahayanya luka oleh tamparan tangan kakek sakti tadi. Cepat dia duduk bersila dan membiarkan Kun Hong mengobatinya.

Pendekar Buta itu bersila pula di belakangnya, menempelkan kedua telapak tangan pada punggung dan leher Bun Wan sambil mengerahkan sinkang-nya. Bun Wan dapat merasa betapa dari kedua telapak tangan itu menjalar hawa yang panas dan dingin, hawa panas dari telapak tangan kanan dan hawa dingin dari yang kiri.

Diam-diam dia kagum bukan main dan menjadi terharu. Alangkah hebat dan baiknya hati Pendekar Buta ini dan alangkah buruk nasibnya. Diam-diam dia melamun. Urusan dahulu dengan Cui Bi terbayang dalam benaknya. Dan teringatlah dia akan urusannya sendiri dengan Hui Siang.

Seperti juga dia dan Hui Siang, Pendekar Buta ini dahulu terlibat oleh tali asmara dengan Cui Bi, tanpa dia ketahui bahwa Cui Bi telah ditunangkan dengannya sehingga percintaan itu berakhir secara amat menyedihkan. Sekarang, kembali dia tadi sudah mendatangkan penghinaan, menuduhnya yang bukan-bukan.

Padahal Kun Hong hanya menolong Hui Siang, mungkin merenggut nyawa kekasihnya itu dari pada tangan maut. Dan dia sudah menghinanya, menuduh yang bukan-bukan seperti yang pernah dia lakukan beberapa tahun yang lalu di puncak Thai-san, seperti yang dia lakukan pula belum lama ini di Ching-coa-to, menuduh Kun Hong mempermainkan Hui Kauw. Ternyata yang mendatangkan pikiran yang bukan-bukan terhadap diri Pendekar Buta ini hanyalah akibat sakit hati karena urusan Cui Bi saja, membuat Pendekar Buta ini selalu salah dalam pikirannya.

Ternyata semua itu tidak benar. Kun Hong benar-benar seorang pendekar yang bersih dan sekarang ditambah lagi dengan bukti bahwa betapa pun sudah berkali-kali dihina olehnya kini Pendekar Buta itu duduk bersila di belakangnya mengerahkan tenaga dalam untuk menyembuhkannya! Tidak terasa lagi bebetapa butir air mata mengalir turun dari pelupuk mata Bun Wan.

Apa bila dia ingat sekarang, dengan pikiran baru karena kesadarannya, dialah orangnya yang tanpa disengaja telah menggagalkan hubungan antara Kun Hong dan Cui Bi, dialah orangnya yang tanpa disengaja telah menghancurkan kebahagiaan Kun Hong. Semua itu masih dia tambah dengan sengaja untuk menghinanya, mendakwanya yang bukan-bukan, menanam bibit kebencian di dalam hatinya sendiri.

Dan kini Kun Hong membalasnya dengan kebaikan, dengan pertolongan besar, mungkin dengan penyelamatan nyawa dia dan Hui Siang karena siapa tahu kalau-kalau dia dan kekasihnya tidak dibunuh kakek sakti itu karena kedatangan Kun Hong! Dia akan segera bertanya tentang ini setelah selesai pengobatan itu. Sekarang tidak mungkin Pendekar Buta itu diajaknya bicara karena dia tahu bahwa Kun Hong tengah mengerahkan tenaga sinkang untuk menyembuhkannya.

Semakin lama hawa panas itu semakin membakar di samping hawa dingin yang terasa menusuk-nusuk. Kedua hawa itu berputaran di sekitar punggungnya dan mendatangkan rasa nikmat luar biasa, mengusir rasa pegal dan sesak di dadanya.

"Untung lweekang-mu sudah kuat sekali," akhirnya Kun Hong berkata sambil melepaskan kedua tangannya, "sehingga pukulan itu dapat tertahan olehmu."

Kun Hong bangkit berdiri dan menarik napas panjang. Bun Wan juga berdiri dan selagi ia hendak menghaturkan terima kasihnya sambil bertanya mengenai munculnya Kun Hong, Pendekar Buta itu sudah mendahului berkata,

"Bun Wan, kaukah orang yang diutus Raja Muda Yung Lo untuk menerima surat rahasia peninggalan mendiang kaisar tua?"

Bun Wan kaget. Sebelum pertemuannya dengan Kun Hong sekarang ini, kalau dia ditanya demikian, sudah tentu dia akan menyangkal keras. Akan tetapi tadi dia sudah mengaku, maka dia menjawab tanpa ragu lagi, "Betul!"

Kun Hong tersenyum.

"Lama sekali aku mencari-cari orangnya, mengharapkan kedatangannya, kiranya engkau malah orang itu. Jangan kau khawatir, Bun Wan. Surat itu selama ini berada di tanganku dan sekarang sudah diantarkan kepada Raja Muda Yung Lo."

Kaget dan herannya Bun Wan tidak kepalang besarnya sampai dia melongo.

"Apa kau bilang? Kau tahu surat wasiat itu?"

"Tentu saja aku tahu. Paman Tan Hok sendiri yang berkata kepadaku sebelum beliau meninggal. Surat itu disimpan secara rahasia di dalam mahkota kuno dan..."

"Tetapi mahkota itu terampas oleh nona Loan Ki..."

"Heee? Kau bilang Loan Ki?" Kini Kun Hong yang terheran-heran.

Bun Wan lalu menceriterakan perebutan mahkota itu antara dia dan Loan Ki yang dibantu oleh seorang pemuda aneh dan kemudian dibantu pula oleh Hui Kauw sehingga terpaksa dia meninggalkan mahkota itu kepada mereka.

Kun Hong tersenyum girang, mengangguk-angguk. "Bagus, Loan Ki tidak seperti ayahnya, ada juga jiwa pahlawan di dalam dadanya, ha-ha-ha! Lucunya, kau dan mereka itu telah memperebutkan mahkota dengan tujuan yang sama, karena mereka pun tidak rela kalau surat itu terjatuh ke tangan kaisar yang sekarang. Dan yang lebih lucu lagi, kalian semua memperebutkan mahkota yang kosong karena surat itu sudah berada padaku. Sekarang telah dibawa oleh Sin Lee dan isterinya ke utara."

Bukan main girangnya hati Bun Wan dan di samping kegirangan yang luar biasa karena surat rahasia penting itu sudah diselamatkan dan berhasil dikirimkan ke utara, juga dia menjadi kagum dan terharu terhadap Kun Hong. Siapa kira, Kun Hong yang buta dan yang dahulu dia pandang rendah ini tidak saja menjadi penolongnya, malah telah berjasa menyelamatkan surat wasiat itu!

Kekagumannya yang memuncak membuat dia lalu merasa betapa jahat dan rendahnya sikapnya kepada Kun Hong, betapa besar dosanya terhadap orang buta itu. Penyesalan yang luar biasa menyelubungi hati Bun Wan.

Dia berdiri tegak, tetesan air mata masih membasahi pipinya. Dengan perasaan menyesal dia memandang Kun Hong yang masih saja tersenyum-senyum di depannya itu. Dalam pandangannya, senyum di wajah yang tidak berbiji mata itu mendatangkan perasaan yang menusuk-nusuk jantungnya, menimbulkan iba yang menjadi-jadi.

Dia teringat akan Kun Hong sebelum buta, seorang pemuda tampan dan halus, seorang pemuda yang dengan gagah berani menghadapi lawan-lawan berat di puncak Thai-san. Dan karena dia tidak mau mengalah, karena dia membeberkan rahasia di depan orang banyak, Kun Hong yang tampan dan bermata tajam seperti mata burung rajawali emas itu kini menjadi buta! Bun Wan merasa betapa dadanya perih laksana ditusuk pisau.

"Saudara Kun Hong, kiranya kau adalah seorang pendekar besar yang patut kusembah dan kujunjung tinggi. Ah, selama ini aku benar-benar telah buta. Kedua mataku tidak ada gunanya sama sekali, tidak dapat melihat siapa adanya engkau ini. Apa lagi kalau aku ingat bahwa kebutaan kedua matamu adalah karena aku... ah, dan kau sudah menolong keselamatan nyawaku dan nyawa Hui Siang... dan kau pun sudah menyelamatkan surat wasiat... benar-benar aku menyesal. Tidak patut aku menjadi keturunan Kun-lun-pai!"

Suara terakhir ini mengandung isak tertahan.

"Hushhh, kau jangan bicara seperti itu, Saudara Bun Wan. Tidak perlu kau membongkar-bongkar peristiwa lama. Kebutaanku adalah sudah dikehendaki Thian Yang Maha Kuasa, tidak perlu siapa pun menyesalkan. Kau seorang pendekar, seorang keturunan pahlawan, kau patut menjadi tokoh Kun-lun-pai."

"Ah, ucapanmu ini menunjukkan kebersihan hatimu, bahwa kau tidak pernah mendendam, dan aku selama ini... ah, Saudara Kun Hong, selama hidupku aku akan terus menyesal dan penyesalanku tidak akan pernah berakhir tanpa pengorbanan!"

"Saudara Bun Wan, jangan...!"

Kun Hong hanya dapat menduga dengan perasaannya yang halus saja bahwa pemuda Kun-lun yang berhati keras itu akan melakukan sesuatu yang ‘gila’. Akan tetapi karena matanya buta, tidaklah dapat dia melihat apa yang akan dilakukannya itu, maka dia hanya dapat mencegah dengan mulut.

Terdengar gerakan cepat disusul pekik Hui Siang, "Wan-koko...! Ah, Wan-koko... kenapa kau lakukan ini...?" Gadis itu menangis.

Kun Hong hanya berdiri pucat, tidak tahu bahwa untuk menyatakan penyesalan hatinya, dengan nekat Bun Wan sudah menggunakan jari tangannya mencokel keluar sebuah biji matanya sebelah kanan! Darah keluar dari lubang mata kanannya itu, akan tetapi pemuda itu dengan tegak masih berdiri, ditangisi oleh Hui Siang yang menjadi kebingungan tidak karuan.

"Ha-ha-ha-ha, Saudara Kun Hong. Puaslah hatiku kini. Untuk membutakan kedua mataku seperti yang telah kau lakukan, aku tak sanggup karena ilmu kepandaianku tidak mungkin setinggi tingkatmu. Aku masih membutuhkan mataku yang sebelah lagi demi... demi... Hui Siang..."

"Ahhh...!"

Pucat wajah Kun Hong dan sekali berkelebat dia sudah berada di hadapan Bun Wan. Tangannya meraba muka pemuda Kun-lun-pai itu dan tahulah dia kini bahwa pemuda itu benar-benar telah melakukan perbuatan gila, telah membutakan mata kanannya sendiri!

"Kau gila...! Bun Wan, mengapa kau lakukan ini?"

Dengan suara gemetar Bun Wan berkata, "Kau pun telah membutakan kedua matamu, karena aku! Dan kau berani membutakan mata biar pun kau seorang yang tidak bersalah dan kau masih mampu menjalani hidup ini dengan gagah perkasa, bahkan masih dapat menolong kami yang bermata! Kalau kau berani sehebat itu, apa artinya aku yang hanya berani membutakan sebelah mata karena penyesalanku dan karena dosa-dosaku...?"

"Gila...! Bocah gila...!"

Kun Hong cepat menotok jalan darah di tengkuk Bun Wan, kemudian dia menggunakan tongkatnya untuk mencoret beberapa huruf di dekat kakinya sambil menahan keharuan hatinya. Dengan suara serak dia pun berkata, "Kau carilah obat yang kutulis ini, kau pakai mengobati matamu... ahhh, tidak kusangka akan begini... Bun Wan, Hui Siang, selamat tinggal..."

Cepat-cepat Kun Hong membalikkan tubuh dan pergi dari situ agar tak tampak oleh dua orang itu betapa ada dua titik air mata menetes turun dari pelupuk matanya yang sudah kosong. Burung rajawali emas mengeluarkan suara merintih panjang, terbang di atasnya dan mengikutinya pergi dari situ, dipandang oleh Bun Wan yang masih berdiri tegak dan yang ditangisi Hui Siang yang memeluknya.

Di bawah, di depan kaki pemuda Kun-lun-pai itu, di atas batu yang sangat keras, terdapat huruf-huruf coretan dalam, tadi dibuat oleh tongkat Kun Hong, menggores dalam seperti dipahat saja…..

********************

Sudah sebulan lebih Kong Bu beserta isterinya, Li Eng, meninggalkan puncak Min-san. Sebulan yang lalu, secara tiba-tiba seperti juga pada saat perginya, kakek Song-bun-kwi muncul di Min-san.

Tadinya Kong Bu dan Li Eng menyambut kedatangannya dengan gembira sekali. Akan tetapi alangkah kaget dan kecewa hati mereka ketika dengan muka cemberut kakek itu berkata pendek,

"Kalian dengar baik-baik. Thai-san-pai telah diserbu orang, dirusak binasakan, dan banyak muridnya yang tewas. Adikmu Cui Sian diculik orang, sekarang ayahmu Tan Beng San dan isterinya meninggalkan Thai-san untuk mencari jejak musuh dan Cui Sian. Kau, Kong Bu, sebagai putera ketua Thai-san-pai, apa bila tidak cepat turun gunung membalas sakit hati ayahmu ini, kau akan menjadi dua kali puthauw (durhaka), selain goblok tidak bisa mempunyai keturunan juga durhaka karena tidak tahu budi orang tua." Hanya demikian saja kakek itu bicara, lalu membalikkan tubuh lari pula turun gunung.

Kong Bu dan isterinya saling pandang dengan muka pucat. Mereka tahu bahwa kakek itu masih saja penasaran dan marah karena mereka tidak mempunyai keturunan. Sakit hati mereka dikata-katai seperti itu oleh kakek mereka dan Li Eng yang biasanya tabah dan keras hati itu sudah menangis.

"Eng-moi," Kong Bu menghibur sambil memeluk isterinya, "sabarlah, sudah tidak aneh lagi kalau kakek bersikap seperti itu. Memang beliau seorang yang berwatak keras dan aneh."

Li Eng menggelengkan kepala. "Bukan itu... bukan itu..." kata Li Eng menahan isak. "Aku bersumpah, sebelum aku dapat melihat adik Cui Sian kembali kepada orang tuanya dan sebelum mampu membalas musuh-musuh Thai-san-pai, aku tidak akan mau pulang ke Min-san."

Kong Bu mengangguk. "Baiklah, mari kita turun gunung dan membantu ayah mencari adik Cui Sian sekalian membalas musuh-musuh itu."

Demikianlah, sepasang suami isteri ini lalu turun gunung, meninggalkan puncak Min-san dan mulai melakukan penyelidikan di dunia kang-ouw. Semenjak mereka menikah empat tahun yang lalu, baru kali ini mereka melakukan perjalanan berdua, turun gunung. Dengan heran mereka mendapatkan kenyataan alangkah menyenangkan perjalanan ini, alangkah menggembirakan!

Perjalanan ini mengingatkan mereka akan pertemuan pertama mereka dahulu, pertemuan yang aneh, lucu dan mesra. Pada pertemuan pertama itu keduanya juga masing-masing sedang merantau seperti sekarang ini, begitu bertemu saling bermusuhan mengadu ilmu kepandaian sampai berjam-jam lamanya karena ilmu silat mereka memang setingkat.

Akhirnya Li Eng dapat dikalahkan dan dijadikan tawanan oleh Kong Bu, ke mana-mana dipondong di luar kemauan Li Eng. Kemudian, dengan menggunakan akal, Li Eng dapat merobohkan Kong Bu dan bertukar peranan. Li Eng yang sekarang menawan Kong Bu dan karena tidak sudi memondong tawanannya, ia lalu menyeretnya di sepanjang jalan.

Semua peristiwa ini terbayang oleh sepasang suami isteri itu, menimbulkan kegembiraan besar dan kini mereka saling pandang dengan amat mesra, dengan kasih sayang baru. Kenangan masa lalu itu membangkitkan kembali kasih mesra di antara mereka.

Memang sesungguhnya sangatlah tidak baik kalau suami isteri melupakan hal-hal seperti ini. Tinggal di rumah saja bertahun-tahun, hidup sebagai alat-alat mati, segalanya sudah teratur dan selalu begitu-begitu tanpa perubahan, tiap hari terulang kembali tanpa muncul hal-hal baru, tanpa melihat hal-hal baru, akan mudah mendatangkan rasa bosan.

Tanpa disadari akan membuat suami isteri itu merasa bahwa mereka terikat oleh beban rumah tangga yang membuat mereka tunduk terbungkuk-bungkuk, menyeret mereka menjadi hamba dari pada keseragaman yang mereka ciptakan sendiri, memaksa mereka menjadi sebagian dari pada bangunan mesin rumah tangga yang mereka bentuk sendiri.

Tubuh ini milik dunia, dan sudah menjadi sifat dunia selalu menghendaki yang baru dan mengubur yang lama. Oleh karena tubuh ini milik dunia maka tubuh ini pun seperti halnya dunia, menghendaki pula hal-hal yang baru, selalu rindu dan mencari sesuatu yang baru.

Begitu pula dengan suami isteri. Karena mereka hanya manusia-manusia yang bertubuh, dengan sendirinya mereka pun membutuhkan hal-hal yang baru untuk mempertahankan kebahagiaan rumah tangganya. Mereka sendirilah yang harus menciptakan hal-hal baru ini, harus pandai mencari suasana yang baru karena hal ini akan membangkitkan gairah hidup, akan menambah terang cahaya kebahagiaan rumah tangga, akan memperbarui atau mempertebal kasih mesra di antara mereka sendiri (dalam bahasa Jawa disebut ambangun trisno).

Suami isteri harus pandai memilih saat-saat di mana mereka dapat memisahkan diri dari pada keseragaman tiap hari itu, berdua saja untuk sementara memisahkan diri dari pada suasana sehari-hari yang selalu begitu-begitu saja sehingga membosankan
.

Demikianlah, dengan kepergian mereka turun gunung, tanpa disengaja Kong Bu dan Li Eng sudah menciptakan suasana baru. Tidak mengherankan apa bila mereka merasakan kebahagiaan dan kegembiraan luar biasa dalam perjalanan ini, seakan-akan mereka kini memasuki hidup baru yang jauh berbeda dari pada kehidupan mereka sehari-hari yang begitu-begitu saja di puncak Min-san.

Biasanya setiap hari mereka hanya mengenal hal-hal seperti ini, yaitu bangun pagi-pagi, melatih para murid, bekerja di ladang, melatih murid-murid lagi, malamnya berlatih sendiri, mengaso, tidur. Demikianlah acara tunggal mereka setiap hari. Pemandangan alam yang dilihat pun itu-itu juga. Kasihan, kan?

Sekarang, begitu keduanya turun gunung, mereka memasuki suasana baru. Hawa baru, pemandangan baru, pendengaran baru dan semuanya ini menyiram bunga kebahagiaan yang tadinya agak melayu oleh kebosanan. Bersinar-sinar mata mereka, bibir mereka pun tersenyum-senyum, kemerahan pipi Li Eng pada saat memandang suaminya, amat mesra pandang mata Kong Bu pada saat menatap wajah isterinya, dan keduanya mendapatkan kebagiaan baru dalam perjalanan ini.

Seperti juga yang telah dilakukan oleh kakek mereka, juga oleh suami isteri Thai-san-pai dan oleh Sin Lee dan isterinya, suami isteri Min-san ini pun melakukan penyelidikan di dunia kang-ouw. Banyak sudah tokoh kang-ouw yang mereka datangi untuk dimintakan keterangan, kalau-kalau ada di antara mereka yang mendengar siapa-siapa yang telah menyerbu Thai-san. Akan tetapi tak ada seorang pun di antara mereka yang mengetahui akan peristiwa itu dan karenanya juga tidak dapat menduga-duga siapa yang memusuhi Thai-san.

Malah berita ini lalu mengejutkan dan menggegerkan dunia kang-ouw, karena kejadian itu sudah pasti akan berekor panjang. Siapa mereka yang begitu berani mati mengganggu Thai-san-pai? Dengan hati berdebar dan tegang, para tokoh kang-ouw kini menanti-nanti datangnya ledakan dahsyat akibat kejadian ini, karena tentu saja tidak boleh tidak pihak Thai-san-pai akan melakukan pembalasan!

"Tidak ada lain jalan, isteriku," kata Kong Bu ketika mereka berdua sedang mengaso pada tengah hari yang terik di bawah pohon besar, "kita harus mendatangi tempat tinggal para musuh Ayah. Penyerbuan di Thai-san itu agaknya dilakukan penuh rahasia sehingga tidak ada yang tahu. Menurut pendapatku, mereka yang menyerbu Thai-san-pai pasti keluarga atau pun handai-taulan dari musuh-musuh ayah. Tanpa dasar dendam sakit hati, siapakah orangnya yang berani dan mau menyerbu Thai-san-pai sedangkan ayah terkenal sebagai seorang pendekar besar?"

Li Eng sedang duduk melonjorkan kedua kakinya dan tubuhnya bersandar pada batang pohon itu, kedua matanya dimeramkan. Agaknya ia nampak lelah sekali dan mengantuk. Mendengar ucapan suaminya, ia menjawab,

"Memang agaknya begitu, akan tetapi yang lebih jelas lagi adalah bahwa mereka yang menyerbu itu tentu orang-orang yang memiliki ilrnu kepandaian tinggi. Kalau tidak, mana mampu mereka mengganggu Thai-san-pai?"

Kong Bu setuju dengan pendapat isterinya ini. Ayahnya adalah Raja Pedang yang sukar dicari bandingannya di dunia kang-ouw, ibu tirinya juga seorang pendekar pedang wanita yang berilmu tinggi. Kalau bukan orang-orang sakti, takkan mungkin berani mengganggu ke sana, apa lagi sampai berhasil merusak binasakan dan menculik Cui Sian.

Ia mengingat-ingat mereka yang dahulu memusuhi ayahnya. Siauw-ong-kwi tokoh utama dari utara dan muridnya, Siauw-coa-ong Giam Kin, keduanya sudah sama tewas dalam pertemuan di Thai-san. Toat-beng Yok-mo juga sudah tewas, begitu pun Pak Thian Lo-cu dan Hek-hwa Kuibo.

Tokoh-tokoh utama dunia persilatan sudah banyak yang tewas dan di antara empat besar yaitu Song-bun-kwi dari barat, Swi Lek Hosiang dari timur, Siauw-ong-kwi dari utara dan Hek-hwa Kui-bo dari selatan, kini yang masih hidup hanya kakeknya, Song-bun-kwi dan Swi Lek Hosiang.

Akan tetapi Tai-lek-sin Swi Lek Hosiang bukanlah orang yang termasuk menjadi musuh ayahnya. Ada pun kakeknya, walau pun dahulu memusuhi ayahnya, akan tetapi sekarang tidak mungkin lagi, malah membantu. Siapakah pula orang sakti yang dapat menyerbu ke Thai-san? Terbayanglah wajah Hek-hwa Kui-bo yang jahat dan dia mengingat-ingat siapa sanak keluarga nenek iblis ini.

Tiba-tiba dia meloncat bangun dan menepuk-nepuk pahanya. "Wah, kalau bukan mereka siapa lagi?"

Mendengar suara suaminya ini, Li Eng lalu membuka kedua matanya yang mengantuk, terheran-heran melihat sikap suaminya yang seperti keranjingan itu.

"Ehh, kau teringat siapakah?" tanyanya, terganggu karena tadi dia hampir pulas saking nikmatnya mengaso di bawah pohon yang teduh dan dikipasi angin semilir.

"Ketemu sekarang, Eng-moi! Tentu mereka, wah, siapa lagi kalau bukan mereka?"

Li Eng kini melempangkan punggungnya, duduknya tidak bersandar lagi, matanya sudah terbuka lebar menatap wajah suaminya. "Duduklah yang baik, bicara yang benar! Siapa yang kau maksudkan? Kau seperti sedang teringat kepada kekasihmu yang dulu saja."

"Eh, ehh, tiada hujan tiada angin tiba-tiba saja kau cemburu?" Kong Bu segera duduk di dekat isterinya dan merangkul lehernya. "Sejak dahulu kekasihku hanya kau, ada siapa lagi? Aku bukan sedang teringat akan kekasih, melainkan teringat akan murid mendiang Hek-hwa Kui-bo, yaitu ketua Ngo-lian-kauw yang berjuluk Kim-thouw Thian-li. Kau tentu masih ingat akan dia, bukan? Nah, dia sudah tewas tetapi Ngo-lian-kauw masih berdiri, kabarnya malah makin kuat. Orang-orang Ngo-lian-kauw lihai, juga licin dan curang sekali. Mereka patut dicurigai. Kurasa, setidak-tidaknya mereka tentu bercampur tangan dalam penyerbuan Thai-san-pai."

Li Eng mengerutkan keningnya yang hitam panjang, lalu mengangguk-angguk. "Betul juga katamu, kalau mengingat mereka, aku pun curiga. Perkumpulan iblis itu dapat melakukan kejahatan yang bagaimana pun juga."

"Aku tahu sarangnya!" Kong Bu berkata cepat. "Ngo-lian-kauw (Perkumpulan Agama Lima Teratai) berpusat di lembah Sungai Huai, di sebelah barat kota raja dan sebelah utara kota Ho-pei. Li Eng, hayo kita berangkat sekarang juga."

Kong Bu melompat berdiri lagi, akan tetapi dia memandang heran kepada isterinya yang masih saja duduk bermalas-malasan, malah sambil menguap dan mengulet isterinya kini kembali bersandar kepada batang pohon. Kong Bu memegang tangan Li Eng, menarik-nariknya mengajak bangun. "Hayo, bangunlah...!"

Tetapi dia menjadi keheranan ketika melihat Li Eng sama sekali tidak mau bangun berdiri, malah merenggut tangannya.

"Ihhh, kenapakah kau ini?" Kong Bu cepat berlutut lagi dekat isterinya. "Kenapa malas benar? Atau... tidak enakkah badanmu?"

"Entahlah, aku malas... ngantuk. Kita mengaso dulu, biarlah aku tidur, hari masih amat panas, aku ogah melakukan perjalanan. Di sini enak sekali, sejuk dan nyaman. Nanti saja kalau sudah teduh kita melanjutkan perjalanan, mengapa sih buru-buru amat?”

Kong Bu memandang amat terheran-heran. Ini bukan watak Li Eng sehari-hari, pikirnya. Biasanya, isterinya adalah seorang wanita yang lincah, yang selalu bergerak bagai burung walet, tak mau diam apa lagi bermalas-malasan seperti ini. Apakah yang terjadi? Kenapa isterinya mengalami prerubahan watak begini aneh?

"Eng-moi, sakitkah kau...?" Dengan penuh kasih sayang Kong Bu meraba jidat isterinya.

Akan tetapi Li Eng mengipatkan tangan itu dan berkata, suaranya agak kaku, "Jangan ganggu aku! Aku mau tidur, aku tidak sakit apa-apa!" Dan ia tidak mau pedulikan lagi pada suaminya karena matanya sudah meram dan ia benar-benar berusaha untuk tidur.

Kong Bu tercengang, lalu duduk termenung menatapi wajah isterinya. Benar-benar luar biasa. Kenapa Li Eng jadi berangasan seperti ini? Tampaknya hendak marah-marah, akan tetapi anehnya, sebentar saja isterinya itu telah pulas, bisa diketahui dari pernapasannya yang panjang.

Kong Bu terpaksa menahan sabar, menunda keberangkatannya ke sarang Ngo-lian-kauw untuk menyelidiki perkumpulan itu yang dia duga tentu mempunyai saham besar dalam peristiwa penyerbuan Thai-san-pai.

Memang panas hawa pada tengah hari yang amat terik itu. Biar pun sinarnya ditangkis oleh dahan-dahan pohon, tapi sinar yang menerobos dari celah-celah daun menyilaukan mata. Nyaman berlindung di bawah pohon itu, dan Kong Bu perlahan-lahan mengantuk juga setelah lama dia memandang wajah isterinya yang sudah tidur pulas dengan aman tenteramnya.

Akan tetapi selagi dia layap-layap hendak pulas, dia terbangun lagi. Cepat dia duduk dan memperhatikan. Tidak salah, ada orang bernyanyi-nyanyi di tengah hutan. Suara orang itu makin lama makin jelas, tanda bahwa orang yang bernyanyi itu sedang berjalan menuju ke mari. Suaranya parau dan keras, akan tetapi kata-kata dalam lagu yang dinyanyikan itu menarik perhatian Kong Bu.

Dia memperhatikan. Mendengar suara nyaring itu diam-diam dia dapat menduga bahwa orang yang lewat di hutan dan bernyanyi ini tentulah seorang berkepandaian.

Kemenangan melahirkan kesombongan
menimbulkan benci permusuhan
hidup tak tenteram lagi.
Kekalahan melahirkan penasaran
menimbulkan dendam memupuk pembalasan
hidup tak tenteram lagi.
Yang melempar jauh-jauh kemenangan mau pun kekalahan
dialah orang bahagia.
Yang dikagumi dan dikehendaki para bijak budiman
adalah kemenangan batin!

Suara orang yang bernyanyi itu kini tidak semakin dekat, tanda bahwa orang itu agaknya juga berhenti, akan tetapi terus bernyanyi. Sehabis bernyanyi dengan suara parau seperti kaleng diseret, terdengar dia terbahak-bahak dan terkekeh-kekeh tertawa,

"Ha-ha-he-he-he, pendeta-pendeta palsu, hwesio-hwesio menggelikan! Indah-indah bunyi sajaknya, bagus-bagus pitutur dan ayat-ayat sucinya. Apa yang lebih suci di antara segala ayat dari pada yang terdapat dalam kitab-kitabnya? Tetapi, ayat-ayatnya tetap suci, para pelakunya yang kotor, heh-heh-heh, mulut menghambur ayat-ayat suci tangan melakukan perbuatan-perbuatan kotor!"

Diam-diam Kong Bu terkejut. Ingin sekali dia melihat macam apa orangnya yang dapat menyanyikan kata-kata sehebat itu lalu bicara seorang diri yang agaknya ditujukan untuk mengejek para hwesio yang biasanya melakukan sembahyang dan berdoa dengan lagu seperti itu. Tetapi dia menunda maksud hatinya karena takut kalau-kalau akan membikin orang itu tidak senang, apa lagi pada saat itu dia bernyanyi pula dengan suaranya yang parau dan kacau seperti suara katak buduk di hari hujan.

Mengenal keadaan orang lain memang bijaksana
mengenal diri sendiri barulah waspada.
Mengalahkan orang lain memang kuat badannya
mengalahkan diri sendiri barulah kuat batinnya
.

"He-he-heh, segala tosu bau, bisa saja menyanyikan ayat-ayat To-tek-keng. Akan tetapi hanya mulut... mulut...! Lidah tidak bertulang, orang nampak manis pada mulutnya, gigi nampak putih berkilat. Tetapi lihat di baliknya! Kotor... kotor... palsu! Ha-ha-ha-he-he-he, hwesio-hwesio dan tosu-tosu sama saja, setali tiga uang. Mulut dan hati bagaikan bumi dengan langit, kata-kata dan perbuatan seperti terang dengan gelap!"

Terdengar suara orang itu mendekat lagi. Entah bagaimana, Kong Bu mendapat perasaan aneh seperti membisikinya bahwa terhadap orang ini dia tak boleh main-main. Lebih baik menjauhinya atau lebih baik tidak mengenalnya.

Dia sudah banyak mengenal tokoh aneh, kakeknya sendiri pun seorang yang dijuluki iblis. Akan tetapi orang ini mencaci dan mengejek para pendeta, baik pendeta hwesio (Buddha) mau pun pendeta tosu (Agama To) sambil menyanyikan ayat-ayat suci mereka. Orang yang sudah membenci semua pendeta, meski pun mengejek kepalsuan mereka, pastilah bukan orang sembarangan dan dia mendapat firasat bahwa orang ini amatlah berbahaya.

Celakanya, agaknya orang itu melangkahkan kakinya menuju ke tempat dia dan isterinya mengaso. Kong Bu bukanlah seorang penakut, jauh dari pada itu. Dia seorang pendekar gagah perkasa yang tidak pernah mengenal arti takut. Dia seorang asuhan kakek iblis Song-bun-kwi.

Akan tetapi pada saat itu dia lalu membaringkan diri di dekat isterinya dan pura-pura tidur pulas ketika orang yang bernyanyi-nyanyi itu sudah makin dekat. Dia sengaja berbaring miring, matanya mengintai dari balik bulu mata…..
Terima Kasih atas dukungan dan saluran donasinya🙏

Halo, Enghiong semua. Bantuannya telah saya salurkan langsung ke ybs, mudah-mudahan penyakitnya cepat diangkat oleh yang maha kuasa🙏

Traktiran: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan) ataupun bisa melalui via Trakteer yang ada dibawah

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar