Rajawali Emas Chapter 11

Li Cu merasa betapa tenaga dorongannya tadi mendatangkan rasa dingin yang sangat menyakitkan di dadanya. Dan pada saat itu juga, dia mencoba untuk mengelak dengan cara menggulingkan tubuhnya, akan tetapi tetap saja pukulan yang datang itu mengenai pundaknya, membuat tubuhnya terpental lebih jauh dari pada Beng San!

Terdengarlah suara orang menggereng seperti binatang buas, gerengan orang yang tadi memukul. Pukulan itu sebenarnya ditujukan ke arah punggung Beng San. Baiknya pada saat itu Li Cu siuman dan pukulan orang inilah yang membuat ia menjerit dan mendorong tubuh Beng San. Bahkan pukulan itu sesudah tidak mengenai tubuh Beng San, malah mengenai dirinya sendiri.

Beng San melompat bangun dengan kaget sekali. Tadi seluruh perhatiannya dia tujukan untuk mengobati Li Cu sehingga kesadaran gadis itu pun tidak diketahuinya. Karena itu, kedatangan orang yang menyerangnya secara diam-diam itu pun sama sekali tidak dia ketahui.

Kini dia merasa kaget sekali setelah tadi tubuhnya didorong ke pinggir oleh Li Cu, kaget bukan main karena dia melihat ayah mertuanya, Song-bun-kwi Kwee Lun sudah berdiri di depannya seperti seorang iblis mengerikan. Pakaian ayah mertuanya yang semenjak dia ikut ke Min-san dahulu sudah menjadi biasa seperti seorang kakek petani, sekarang dia lihat kembali seperti dulu lagi, yaitu pakaian putih, pakaian berkabung! Anehnya lagi, di dada kakek ini tergantung seorang bayi dalam gendongannya, bayi yang nampaknya tidur nyenyak.

"Gak-hu (Ayah Mertua)..."

"Bangsat! Laki-laki mata keranjang, kau pergi meninggalkan isteri untuk main gila dengan perempuan lain?" bentak Song-bun-kwi Kwee Lun dengan kemarahan meluap-luap.

“Tidak... tidak demikian... Gak-hu, harap jangan salah sangka...! Dia telah menyedot racun Ngo-hwa dari Hek-hwa Kui-bo... aku berusaha menyedot keluar racun itu dan...”

Song-bun-kwi menggereng lagi. "Apa pun juga alasanmu, anakku tidak akan dapat hidup lagi!" Mendadak ia menyerang dengan hebatnya, menghantam kepala mantunya itu.

Semenjak dahulu Beng San memang tidak suka terhadap Song-bun-kwi yang memang pernah hidup sebagai seorang yang keji. Malah sudah beberapa kali Beng San hampir dibunuhnya pada waktu pemuda ini masih kecil.

Sekarang pun ia menjadi marah karena disangka yang bukan-bukan oleh mertuanya ini dan malah sekarang ia diserang dengan pukulan maut. Akan tetapi ketika ia mendengar kalimat terakhir ‘anakku tak dapat hidup lagi’, ia merasa matanya gelap dan jantungnya serasa berhenti berdetik.

"Apa katamu?!" bentaknya dan tangannya menangkis.

Tangkisan ini amat hebat, membuat tubuh Song-bun-kwi seketika terpental ke belakang dan hampir roboh! Teringat akan kepandaian Beng San yang memang sudah amat hebat, Song-bun-kwi maklum bahwa ia tidak akan mampu mengalahkan mantunya ini.

Maka Song-bun-kwi menyeringai keji dan berkata penuh geram. "Kau pembunuh anakku, lain kali aku pasti akan mencarimu untuk mengadu nyawa!" dan setelah berkata demikian kakek ini menggereng kemudian lari cepat sekali membawa bayi dalam gendongannya.

Untuk sesaat Beng San berdiri dengan muka berubah hijau karena hatinya gelisah bukan main. Kemudian ia teringat akan bayi di gendongan mertuanya itu. Ia menghitung-hitung dalam benaknya dan teringat bahwa sudah lewat beberapa bulan sejak waktu kandungan isterinya tiba saatnya dilahirkan. Anak itu tadi....? Apa yang terjadi?

Tiba-tiba seperti orang gila Beng San memekik. "Bi Goat...!"

Dan tubuhnya melesat seperti seekor burung terbang, pergi dari tempat itu.

Sementara itu, terjadi keanehan pada diri Li Cu. Seperti dituturkan di atas tadi, setelah mendorong tubuh Beng San ke samping, pukulan yang dilakukan oleh Song-bun-kwi lalu mengenai pundak Li Cu yang membuat tubuh Li Cu terlempar.

Pukulan itu bukan pukulan biasa, karena tadi Song-bun-kwi sengaja melakukan pukulan dari Ilmu Yang-sin-hoat untuk membunuh Beng San, mantunya. Pukulan itu mengandung hawa Yang-kang yang amat kuat. Biar pun sudah dielakkan oleh Li Cu, pukulan itu tetap mengenai pundaknya dan terasalah hawa yang luar biasa panasnya menjalari tubuhnya.

Hawa panas ini lalu bertemu dengan sisa hawa dingin yang masih mengeram di tubuhnya, yang masih belum disedot keluar oleh Beng San. Dua hawa dahsyat ini bertemu dan... buyarlah keduanya. Pukulan maut dari Song-bun-kwi tadi malah sudah menyembuhkan sama sekali penderitaan Li Cu akibat racun asap Hek-hwa Kui-bo!

Tadinya hati Li Cu penuh dengan kemarahan dan ia menganggap bahwa Beng San sudah berlaku jahat dan kurang ajar kepadanya, sudah menciuminya di waktu ia pingsan! Bukan main sakit hatinya pada saat itu. Akan tetapi setelah ia mendengar pengakuan Beng San kepada Song-bun-kwi tadi bahwa perbuatannya itu adalah usaha untuk menolongnya dari bahaya maut, tak terasa pula air matanya jatuh berderai dan ia terisak-isak.

Hatinya terharu bukan main. Sudah terlalu sering ia menyangka Beng San sebagai orang jahat, sebagai laki-laki yang kurang ajar, laki-laki mata keranjang. Dan ternyata ia sudah menuduh yang bukan-bukan, telah memasukkan fitnah terhadap diri Beng San ke dalam pikirannya. Padahal sudah berkali-kali Beng San menolongnya, menolong keselamatan nyawanya dengan hati tulus ikhlas. Apa lagi ketika ia melihat keadaan Beng San, hatinya ikut hancur.

Li Cu menyambar pedangnya yang ditinggalkan Beng San di dekatnya, lalu melompat dan lari mengejar Beng San yang sudah lari jauh dengan kecepatan laksana terbang itu. Tak dapat ia menyusul Beng San, akan tetapi ia dapat menduga bahwa orang muda itu tentu pergi ke Min-san.

Sebetulnya ia boleh tak usah pedulikan Beng San. Akan tetapi ada sesuatu yang terjadi di dalam hatinya. Ia setengah dapat menduga bahwa telah terjadi sesuatu yang mengerikan pada diri isteri Beng San. Ia seperti melihat awan gelap di atas mengancam Beng San.

Di samping ini, ia merasa bahwa ia harus selalu berdekatan dengan orang itu. Tak dapat lagi ia ditinggalkan, tak dapat lagi ia berpisah. Ia merasa kasihan kepada Beng San, juga kasihan kepada... dirinya sendiri karena hidupnya pasti akan merana dan sunyi kalau dia harus berjauhan dengan Beng San.

"Beng San...," rintihnya sambil mengusap air matanya yang berderai turun membasahi pipinya. "Ya Tuhan... mengapa aku menjadi begini...?" ia mengeluh bingung.

Tidak semestinya ia mengejar Beng San. Seharusnya ia kembali, seharusnya ia malah meninggalkan Beng San jauh-jauh. Setanlah yang menggodanya ini, setan yang sudah membisikkan hal-hal yang tak boleh ia lakukan. Tapi... ahhh, mengapa hatinya bulat-bulat menyerah? Mengapa kakinya seperti tidak mau disuruh pergi ke lain jurusan?

Ia teringat ayahnya, lalu bersambat lirih, "Ayah... anakmu telah gila... telah gila..."

Sementara itu kedua kakinya terus berlari cepat, menuju Min-san! Di dunia ini, apakah yang lebih berkuasa dan aneh dari pada cinta? Apakah yang lebih gila dari pada orang muda yang sudah mabok madu asmara? Cinta kasih atau asmara sudah banyak sekali menimbulkan cerita dan peristiwa yang lebih aneh dari pada dongengan!

Dengan pakaian compang-camping, rambut awut-awutan, muka pucat kurus, serta mata merah, setelah melakukan perjalanan terus-menerus, akhirnya Beng San sampai juga di puncak Min-san.

Ketika ia memasuki halaman rumahnya, dua orang pelayan wanita yang masih tinggal di situ hampir-hampir tak mengenalnya. Sampai lama mereka memandang dengan bengong dan curiga, karena laki-laki muda yang berdiri di hadapan mereka itu lebih patut menjadi seorang pengemis yang liar dari pada tuan muda mereka yang tampan.

"Bi Goat... mana Bi Goat...?" Suara Beng San serak, entah sudah berapa ribu kali kalimat pertanyaan ini keluar dari mulutnya di sepanjang perjalanan pulang. "Mana isteriku? Mana nyonya muda...?"

Setelah mendengar pertanyaan ini barulah dua orang pelayan tua itu merasa yakin bahwa yang berdiri di depan mereka sekarang ini adalah ‘tuan muda’ mereka.

"Siauw-ya (Tuan Muda)...!" keduanya kemudian menjatuhkan diri berlutut dan menangis bersaing keras.

"Apa yang terjadi? Mana nyonya muda. Dia kenapa?"

Akan tetapi dua orang pelayan itu menangis makin keras.

Beng San tak sabar lagi. Sekali melompat dia telah memasuki rumah dan berlari-lari di dalam semua ruangan dan kamar, membuka dan menutup pintu seperti orang mengejar sesuatu. Seluruh bagian rumah, sampai ke kamar mandi, dia masuki namun sunyi sepi, tidak ada satu orang pun manusia lagi kecuali dua orang pelayan wanita yang sedang menangis tersedu-sedu itu.

Akhirnya terpaksa Beng San kembali ke ruangan depan di mana dua orang pelayan itu menangis. Tubuh Beng San menggigil, matanya berputaran, jantungnya serasa berhenti berdetik.

"Mana dia? Mana Bi Goat? Katakanlah, mana Bi Goat? Ahhh... kuhancurkan kepalamu jika tidak bicara!" ia mengguncang-guncang pundak seorang pelayan yang menjadi amat ketakutan.

Dengan muka pucat keduanya berhenti menangis, kemudian dengan suara terputus-putus mereka bercerita, "Mula-mula datang seorang nyonya yang bernama Kwa Hong... dia naik burung menakutkan... dia melahirkan anak di sini ditolong oleh Nyonya Muda... setelah dia dan anaknya pergi, Nyonya Muda jatuh sakit... tidak pernah sehat lagi, lalu datang Lo-ya (Tuan Tua) yang tadinya diminta Nyonya Muda pergi menyusul Siauw-ya... tetapi Lo-ya pulang tanpa Siauw-ya. Nyonya Muda semakin sedih... lalu melahirkan dan... dan... tidak kuat... Nyonya Muda meninggal dunia..." Tak dapat tertahan lagi dua orang pelayan itu menangis terisak-isak.

Beng San meramkan matanya, meringis kesakitan. Dadanya sebelah kiri serasa tertusuk, ubun-ubun kepalanya berdenyut-denyut. Ia sudah tak bisa menangis lagi, lehernya bagai dicekik dan bibirnya yang putih seperti kertas itu bergerak-gerak perlahan, lalu berhenti bergerak, ternganga dan pandang matanya jauh ke depan tak bersinar, seakan-akan dia sudah menjadi tubuh tak bernyawa, kehilangan semangatnya.

"Siauw-ya... Siauw-ya..." Pelayan yang tertua menubruk kaki Beng San, tak tahan melihat majikannya berhal demikian itu.

Beng San bergerak perlahan lalu terdengar suara dari mulutnya, suara yang terdengar seperti suara dari jauh.

"Di mana makamnya... di mana dikuburnya...?"

"Maafkan hamba, Siauw-ya... karena Lo-ya sudah pergi membawa anak bayi itu, hamba sekalian terpaksa mengajak saudara-saudara dari kaki gunung untuk mengubur jenazah Nyonya Muda di pekarangan belakang rumah secara sederhana..."

Beng San lalu melangkah perlahan dan lemas, menuju ke pekarangan belakang, diikuti dua orang pelayan yang masih menangis terisak-isak. Akhirnya ia berdiri tegak di depan sebuah kuburan yang masih baru, kuburan sederhana yang tidak diberi batu nisan, hanya ditanami pohon bunga mawar gunung kesukaan Bi Goat dan pohon kembang itu sudah mulai berbunga.

"Bi Goat... ampun... isteriku... ampun..." Beng San roboh ke depan, mukanya terbanting dan terbenam pada gundukan tanah kuburan.

Dua orang pelayan itu cepat-cepat menolong Beng San yang sudah pingsan sambil turut menangis. Akan tetapi setelah siuman kembali Beng San menyuruh dua orang pelayan itu pergi meninggalkannya seorang diri di kuburan isterinya.

Malam itu hujan turun deras, akan tetapi Beng San tidak beralih dari tempatnya, tidak bergerak dan terus-menerus terdengar suaranya memanggil-manggil nama Bi Goat dan minta ampun.

Semenjak saat ia roboh pingsan di kuburan isterinya, sampai berhari-hari ia tidak pernah pergi meninggalkan tempat itu, tak pernah makan tak pernah tidur! Beberapa kali dua orang pelayan yang setia itu datang menangis dan membujuk-bujuknya, namun Beng San malah marah-marah dan mengusir mereka pergi dari depannya.

Sepuluh hari kemudian tubuh Beng San telah menjadi kurus sekali dan wajahnya pucat kehijauan, matanya semakin liar. Hanya karena tubuhnya yang terlatih dan mengandung tenaga luar biasa itu saja yang membuat ia masih dapat bertahan.

Dua orang pelayan itu sudah tak berdaya lagi, tidak berani mendekati Beng San karena tuan muda ini marah-marah kalau di ‘ganggu’. Mereka menjadi putus asa dan merasa ngeri kalau membayangkan betapa pada suatu pagi mereka akan melihat tuan muda itu menggeletak dalam keadaan tak bernyawa karena kelaparan di kuburan itu.

Akan tetapi, seperti juga kelahiran tak akan ada, kematian juga tidak akan menimpa diri seorang manusia kalau Tuhan belum menghendakinya. Demikian pula dengan Beng San. Orang muda ini bukannya sengaja bermaksud membunuh diri, akan tetapi ia sudah tidak peduli akan keadaan sekelilingnya, ingatannya sudah berubah akibat tekanan batin yang amat hebat.

Kedukaan yang hebat serta penyesalan yang bertubi-tubi menghantam batinnya. Tak kuat ia menahannya sehingga ia bagaikan orang yang sudah tidak waras lagi otaknya. Namun agaknya Tuhan Maha Pengasih suka mengampunkan dosanya.

Malam hari itu hujan turun rintik-rintik. Hawa di Puncak Min-san bukan main dinginnya. Di depan kuburan Bi Goat, Beng San sedang duduk bersila menghadapi kembang mawar yang sudah rontok dari tangkainya, mengeluh dan bersambat dengan suara lirih,

"Bi Goat, isteriku. Kau begitu mulia, begitu suci cintamu kepadaku... dahulu kau sampai rela hendak mengorbankan nyawamu untukku..., ah, Bi Goat, tidak kelirukah kau memilih aku? Aku tidak berharga mendapatkan cintamu... aku seorang yang rendah. Aku telah mengadakan hubungan dengan Hong-moi... menjadi ayah dari anak Hong-moi, tapi aku tidak berterus terang kepadamu... Bi Goat... aku laki-laki mata keranjang, laki-laki berhati lemah yang mudah runtuh menghadapi wanita cantik.” Ia berhenti sebentar dan terdengar isaknya tertahan.

"Bi Goat, mengapa kau belum juga datang? Marahkah kau kepadaku? Sudah sepatutnya kau marah... aku minta ampun, Goat-moi... aku telah berdosa padamu. Sekarang kuakui semua dosaku... betul, aku telah berlaku serong... aku merusak hidup Hong-moi, malah sebelum itu... aku pernah mencinta Thio Eng. Ahh, aku laki-laki mata keranjang, dan aku hampir runtuh pula pada saat bertemu dengan Nona Cia Li Cu... hatiku mencinta mereka semua itu, ahhh... padahal kau… begitu suci cintamu... aku berdosa, ampunkan aku..."

Sesosok bayangan muncul di belakang kuburan itu. Bayangan seorang wanita cantik yang berbaju merah! Perlahan-lahan bayangan ini melangkah maju dan terdengar suaranya lirih menggetar ditimpa suara hujan gerimis di malam gelap.

"Beng San..."

Perlahan-lahan Beng San mengangkat kepalanya. Matanya yang pedas dan merah itu ia gosok-gosok, kemudian ia menubruk maju, berlutut dan merangkul kaki wanita itu.

"Ahh, Bi Goat... akhirnya kau datang juga...? Bi Goat, ampunkan aku... ampunkan aku...."

Wanita itu mengucurkan air mata sehingga air mata itu bercampur dengan hujan gerimis yang menimpanya, mengalir di sepanjang pipinya. Jari tangannya mengelus-elus rambut kepala Beng San dan ia berkata terharu.

"Bi Goat sejak dulu mengampunimu... Beng San..."

"...ahhh, betulkah? Betulkah kau sudi mengampuni dosaku? Aku sudah gila... aku sudah gila... aku... aku menyakiti hatimu... sudikah kau mengampuniku?"

"Aku mengampuni semua kesalahanmu...," jawab wanita itu, "...asal saja... asal saja kau suka menurut segala kata-kataku."

"Aku akan taat, akan kuturut semua, demi Tuhan. Aku bersumpah akan mentaati segala perintahmu, biar kau suruh masuk ke lautan api sekali pun!"

"Kalau begitu, bangunlah dan mari kita masuk ke rumah, tak baik berhujan-hujan di sini, hayo kau ikuti aku, Beng San!"

Beng San bangun berdiri, tersenyum-senyum dan wanita itu makin terharu ketika melihat betapa wajah laki-laki itu berubah seperti wajah seorang anak kecil yang diampuni orang tuanya karena kenakalannya.

"Aku ikut... aku ikut...," kata Beng San yang kemudian berjalan di belakang wanita itu, terhuyung-huyung saking lemas badannya.

Wanita baju merah itu segera memegang lengannya dan membantunya berjalan menuju ke rumah itu. Dua orang pelayan sudah menyambut di pintu belakang, nampak kelegaan pada wajah mereka.

"Ahh, syukur, Nona. Syukur kau berhasil...," kata mereka.

"Ssttt..." Wanita itu mencegah mereka berbicara. "Lekas sediakan air panas dan pakaian Siauw-ya, kemudian sediakan makanan yang lunak... jangan lupa hangatkan arak..."

Sambil tersenyum gembira dua orang pelayan itu pergi menyiapkan permintaan wanita itu. Beng San benar-benar menurut sekali terhadap wanita yang dianggapnya Bi Goat itu. Disuruh membersihkan tubuh dan menukar pakaian, ia menurut seperti anak kecil, disuruh makan bubur panas dia pun menurut saja. Kemudian dia pun tidak membantah ketika disuruh tidur di kamarnya sendiri, diselimuti oleh wanita itu yang duduk di pinggir ranjang dan yang melayaninya dengan penuh perhatian.

Siapakah wanita baju merah itu? Benarkah dia Bi Goat? Tidak mungkin! Bi Goat sudah mati, sudah dikubur. Ia bukan lain adalah Li Cu!

Seperti dituturkan pada bagian depan, Li Cu tak dapat menahan hati dan kakinya sendiri menyusul Beng San di Min-san. Ia kalah cepat oleh Beng San, maka baru sepuluh hari kemudian ia tiba di puncak Min-san.

Bukah main sedih dan terharu hatinya ketika ia mendengar penuturan dua orang pelayan itu tentang keadaan Beng San. Ia mengaku menjadi sahabat baik Beng San dan Bi Goat.

Setelah ia mendengar penuturan dua orang pelayan itu, serta-merta pada hari itu juga ia pergi menyusul Beng San ke kuburan. Akhirnya dia berhasil membujuk Beng San pulang, sungguh pun perih hatinya karena Beng San hanya mau menuruti permintaannya setelah mengira bahwa dia adalah Bi Goat!

Bulan-bulan berikutnya merupakan masa yang amat sulit bagi Li Cu. Ingatan Beng San benar-benar telah berubah, atau telah kehilangan ingatannya sehingga ia menjadi seperti anak kecil saja, anak kecil yang amat manja. Akan tetapi kemanjaan ini tertuju kepada… isterinya, kepada Bi Goat!

Dia telah lupa segalanya, keinginannya hanyalah berdekatan dengan Bi Goat, tidak boleh ditinggalkan sebentar juga. Dan yang lebih hebat lagi, dia agaknya telah lupa akan semua kepandaiannya. Beberapa kali Li Cu mencobanya, tapi Beng San benar-benar tidak ingat lagi bagaimana caranya bersilat, sungguh pun tenaga murni dalam tubuhnya masih tetap kuat dan tidak ikut lenyap.

Cia Li Cu merupakan keturunan orang-orang yang terkenal keras hati. Agaknya watak ini diwariskan oleh nenek moyangnya, yaitu Ang I Niocu, pendekar wanita sakti yang terkenal keras hati. Sekali mengambil keputusan tak akan dapat diubah lagi, sekali menjatuhkan hati takkan dapat pula diubah.

Setelah hatinya dikecewakan Beng Kui dan membuat ia benci sekali kepada suheng-nya itu, barulah ia sadar bahwa semenjak dahulu sebetulnya ia tidak pernah mencinta Beng Kui. Perasaannya dahulu terhadap Beng Kui hanyalah kagum saja karena semenjak kecil suheng-nya itu selalu lebih tinggi segala-galanya dari pada dirinya sendiri, juga dalam ilmu silat. Maka begitu ia melihat watak yang buruk di dalam diri Beng Kui, apa lagi karena ia dikesampingkan dan suheng-nya menikah dengan wanita lain, rasa kagumnya sekaligus buyar dan otomatis ia pun tidak ada rasa suka kepada kakak seperguruan itu.

Terhadap Beng San lain lagi perasaannya. Sebetulnya lebih banyak perasaan terharu dan iba akan nasib orang muda itu dari pada kekaguman. Malah sering kali ia merasa gemas kepada Beng San. Anehnya, bukan gemas karena perlakuan pemuda itu kepadanya, tapi gemas karena Beng San begitu banyak kekasihnya!

Memang cinta itu aneh sekali. Mendatangkan cemburu, kadang-kadang mendatangkan benci! Semua ini hanya dapat terasa oleh mereka yang menjadi korban panah asmara. Demikian hebat kekerasan asmara sehingga mampu menundukkan seorang gadis seperti Li Cu yang terkenal keras hati, yang berubah menjadi demikian jinak, demikian telaten dan sabar dalam merawat orang yang dicintanya.

Benar-benar bukan ringan pekerjaan Li Cu ini. Terutama sekali tekanan batin yang harus dideritanya. Bayangkan, betapa beratnya bagi perasaan seorang gadis yang sedang jatuh cinta untuk merawat orang yang dicintanya itu dan mendengarkan kekasihnya itu setiap saat memuji-muji dan menyatakan cinta kasihnya kepada seorang wanita lain. Lebih hebat lagi bagi Li Cu, Beng San menyatakan cinta kasih kepadanya karena menganggap dia Bi Goat!

Sering kali dia harus menahan-nahan air matanya karena hatinya bagaikan ditusuk-tusuk rasanya. Kadang kala terbayang pula senyum di bibirnya yang manis dan cahaya harapan di matanya yang indah itu ketika Beng San dalam ketidak sadarannya ‘mengaku’ kepada Bi Goat bahwa dia tertarik kepada Li Cu! Sungguh pun hanya sedikit sekali pengakuan cinta ini, namun sudah merupakan setetes embun menyegari bunga yang kekeringan di dalam hati Li Cu.

Betapa pun juga, Li Cu adalah seorang gadis yang patut dipuji kebersihan dan kekuatan batinnya. Biar pun ia jatuh cinta kepada Beng San dan berbulan-bulan tinggal serumah dengan pemuda itu, namun gadis itu tetap dapat mempertahankan garis pemisah, tetap ia dapat mencegah terjadinya pelanggaran susila yang terdorong oleh iblis nafsu yang memabokkan.

Bagi Li Cu, cintanya murni dan timbul dari hati nurani yang bersih. Ia hanya mempunyai sebuah keinginan, yaitu merawat orang yang dicintanya, melihatnya sembuh dan harapan terakhir adalah harapan semua wanita yang tengah jatuh cinta, yaitu berhasil merebut hati kekasihnya, berhasil membuat dirinya dicinta kembali berlipat ganda dan akhirnya dapat menjadi seorang isteri yang terkasih. Hal ini mudah saja ia pertahankan oleh karena kini Beng San benar-benar amat penurut dan mentaati segala kehendaknya.

Dua orang pelayan setia itu masih merasa bersyukur dan berterima kasih sekali kepada Li Cu yang sekarang mereka anggap sebagai pengganti nyonya muda, sungguh pun mereka diam-diam merasa heran kenapa seorang nona cantik dan muda suka bersikap demikian baiknya terhadap Beng San.

Namun sebagai orang-orang yang sudah berpengalaman akhirnya mereka dapat menarik kesimpulan bahwa semua itu adalah akibat dari pada asmara yang mendalam dan suci. Maka tanpa ragu-ragu lagi mereka pun lalu bercerita kepada Li Cu akan segala yang mereka ketahui tentang diri Beng San dan Bi Goat. Malah mereka memperingatkan nona itu supaya berhati-hati karena mereka berdua itu takut sekali kalau-kalau lo-ya-cu, yaitu Song-bun-kwi Kwee Lun kembali dan mengamuk lagi.

"Entah bagaimana nasib bayi puteri Siauw-ya yang belum diberi nama itu," pelayan tertua menutup kisahnya. "Semoga saja dia tidak menjadi korban keganasan Lo-ya yang sudah demikian kalap. Hamba benar-benar kuatir, ahh... kalau Lo-ya pulang... apa yang terjadi?"

"Tenanglah, tidak perlu kuatir. Kematian Bi Goat bukanlah karena kesalahan Beng San. Pula andai kata dia datang dan mau menang sendiri, ada aku di sini untuk melindungi Beng San," kata Li Cu dengan suara yang gagah.

Akan tetapi sesungguhnya hatinya kecut-kecut kalau ia memikirkan kakek itu. Ia maklum bahwa kata-katanya di depan para pelayan itu hanya omong besar saja, karena kalau disuruh sungguh-sungguh menghadapi kakek Song-bun-kwi yang sakti itu, sedikit sekali harapan dia akan menang. Oleh karena inilah pedang Liong-cu-kiam tak pernah terpisah dari tubuhnya, selalu terpasang pada belakang punggungnya untuk menjaga dari segala kemungkinan.

Sampai tiga bulan lebih Li Cu dengan tekun dan sabar merawat Beng San. Kesehatan Beng San sebetulnya sudah pulih, akan tetapi hanya kesehatan jasmani saja, ingatannya masih belum sembuh sama sekali.

Pagi hari itu, seperti biasa Li Cu mengajak Beng San duduk di taman bunga di sebelah kiri rumah. Setiap pagi gadis ini mengajak Beng San berjemur matahari pagi di tempat itu. Dan seperti biasa, dengan sikap manja sekali Beng San merebahkan diri di atas bangku panjang dan kepalanya telentang di atas pangkuan Li Cu!

Dengan kasih mesra gadis ini mengusap-usap rambut Beng San sambil menatap wajah yang nampak bodoh itu.

"Beng San, masih belum ingatkah kau? Masih belum ingat benarkah bahwa aku adalah Li Cu?" perlahan Li Cu bertanya dengan suara lirih dan hati-hati sekali.

Beng San tersenyum, "Bi Goat, jangan kau menggoda aku. Kau sudah tahu bahwa aku suka kepada Nona Cia Li Cu, bahwa aku tertarik dan kagum sekali kepadanya, lalu kau sekarang menggodaku, ya?"

Seperti biasanya kalau mendengar kata-kata ini, Li Cu merasa tertusuk jantungnya. Dia menggigit bibirnya, matanya menjadi sayu, akan tetapi ia menguatkan hatinya dan berkata lemah-lembut.

"Beng San, aku sungguh bukan Bi Goat. Aku Cia Li Cu, Beng San, dan aku pun suka kepadamu, tapi... tapi jangan kau menyangka aku Bi Goat. Bi Goat sudah... sudah mati...," hati-hati sekali ia mengucapkan kata-kata ini sambil menatap tajam-tajam muka orang di atas pangkuannya itu dan tangannya membelai dengan halus.

Beng San serentak bangkit dan duduk, kedua tangan Li Cu dipegangnya lalu ia berlutut di atas tanah.

"Bi Goat, isteriku, jangan kau mempermainkan aku. Kalau Bi Goat sudah mati bagaimana kau bisa berada di sini? Bi Goat, aku memang berdosa kepadamu, ampunkanlah aku... aku menurut segala kehendakmu, tapi... tapi jangan kau marah, jangan tinggalkan aku..."

Li Cu menarik napas panjang dan menggoyang-goyang kepalanya. Tidak ada kemajuan sama sekali. Jika sudah merengek-rengek minta ampun begini Beng San tidak mau sudah kalau belum dia ampunkan. Terpaksa dia pun berkata, "Sudahlah, aku ampunkan kau."

Dengan girang Beng San rebah lagi dengan kepala di atas pangkuan Li Cu. Ia tersenyum-senyum dengan wajah berseri girang.

Li Cu makin terharu melihat ini. Selama berbulan-bulan ini Beng San memasuki kamarnya yang terpisah, dan hal ini pun selalu diturut oleh Beng San meski dengan wajah kelihatan berduka sekali! Li Cu sendiri mulai merasa ragu-ragu akan kekuatan pertahanan hatinya sendiri. Ia makin kasihan kepada Beng San.

Selama berbulan-bulan menggantikan kedudukan Bi Goat ini, tampaklah jelas olehnya bahwa Beng San sama sekali bukanlah laki-laki mata keranjang perusak wanita seperti yang telah ia dengar dari suheng-nya. Buktinya, terhadap isteri sendiri saja Beng San begini lemah lembut, menaruh hormat dan tidak mau bersikap menang sendiri. Apa lagi terhadap wanita lain?

Peristiwa yang terjadi antara Beng San dan Kwa Hong tentu terdorong oleh sesuatu, tidak sewajarnya. Beng San pernah bercerita kepadanya tentang itu, dikatakannya bahwa Beng San dan Kwa Hong lupa diri karena pengaruh racun yang sengaja ditaruh dalam makanan oleh musuh dalam ketentaraan Mongol. Tapi Beng San hanya menyebut nama Pangeran Souw Kian Bu.

Ada pun tentang pengalaman Beng San dalam asmara dengan Thio Eng, dan dengan dia sendiri, ahh, ia tidak percaya bahwa Beng San sengaja berlaku sebagai seorang pemuda mata keranjang. Dia sama sekali tidak mau percaya bahwa Beng San berwatak kotor, rendah atau cabul.

"Beng San, cobalah kau ingat-ingat, apakah kau benar-benar lupa akan kepandaian ilmu silatmu?"

Beng San tertawa, matanya berseri jenaka. "Bi Goat, jangan kau goda aku seperti itu! Kau tahu bahwa aku adalah seorang kutu buku, seorang yang sejak kecil hanya mempelajari kitab-kitab filsafat. Kitab To-tek-keng aku hafal di luar kepala. Kau pun boleh tanya tentang Su-si Ngo-keng, tentang filsafat hidup dan pelajaran agama. Akan tetapi ilmu silat? Huh, untuk apa ilmu silat itu? Hanya untuk menakut-nakuti orang, menyombongkan diri sendiri dan paling banyak hanya bisa menjadi kepandaian tukang-tukang pukul dan buaya-buaya darat, tukang-tukang berkelahi saja!"

Sekali lagi Li Cu menarik napas kecewa. Ia tadinya tidak percaya sehingga ia pernah menyerang Beng San. Ternyata menghadapi sebuah pukulan biasa saja Beng San tidak mampu menghindarkan diri. Akan tetapi lweekang di tubuhnya masih tetap ada dan kuat sungguh pun agaknya Beng San lupa pula bagaimana untuk menyalurkan hawa murni di tubuhnya itu.

Tadinya ada pikiran padanya untuk melatih Beng San, akan tetapi pikiran ini ia buang lagi ketika ia teringat betapa tingkat kepandaian Beng San sebetulnya sudah jauh melampaui dirinya sehingga kalau sekarang Beng San menerima pendidikan mulai pertama dari dia, apakah akan jadinya? Jangan-jangan malah pelajaran itu menyeleweng dan tidak cocok dengan hawa murni di tubuh Beng San.

Ia menunduk dan memandang wajah yang tampan itu. Ah, kalau ia teringat betapa dahulu Beng San dengan berani mati menyerbu ke sarang Ho-hai Sam-ong, mati-matian datang untuk menolongnya! Bila ia teringat akhir-akhir ini betapa Beng San tanpa mempedulikan diri sendiri telah menyedot asap beracun yang berada di dadanya, menyedot begitu saja dari mulut ke mulut!

Ahh, ia tidak saja berhutang budi, juga berhutang nyawa. Hanya dapat ia balas dengan cinta kasih. Kalau sudah mengenangkan itu semua, ingin ia mendekap kepala itu, ingin membelainya dan menunjukkan kasih sayangnya. Akan tetapi Li Cu menahan hatinya, hanya memandang dengan wajah sayu dan mata redup setengah dikatupkan.

Gadis ini sama sekali tidak tahu bahwa sudah semenjak ia keluar bersama Beng San dari dalam rumah tadi, sepasang mata menyaksikan semua yang terjadi antara dia dan Beng San. Sepasang mata yang tajam, dilindungi alis tebal yang kadang kala mengerut, kadang bergerak-gerak. Sepasang mata itu kadang kala menjadi redup terharu, kadang-kadang menyorotkan api kemarahan. Sepasang mata milik seorang laki-laki tua yang tampan dan gagah perkasa, seorang pendekar yang bukan lain adalah Bu-tek Kiam-ong (Raja Pedang Tanpa Tandingan) Cia Hui Gan, ayah dari Cia Li Cu!

Dan baru saja, dari lain jurusan, datang pula seorang tokoh lainnya yang gerakannya demikian ringan sehingga tidak terdengar oleh Si Raja Pedang sekali pun. Orang ini pun mengintai dan matanya yang liar menjadi makin berputaran marah pada saat ia melihat adegan mesra itu, yaitu Beng San rebah telentang di bangku dengan kepalanya di atas pangkuan seorang dara cantik jelita yang mengelus-elus rambutnya!

Orang ini bukan lain adalah Song-bun-kwi Kwee Lun Si Setan Berkabung! Song-bun-kwi Kwee Lun masih dapat mendengar tanya jawab antara Li Cu dan Beng San tentang ilmu silat tadi dan kegirangan hatinya bukan main ketika ia mendengar bahwa Beng San telah hilang ingatannya dan telah hilang atau terlupa pula ilmu silatnya.

"Si keparat Beng San! Kau telah kehilangan kepandaianmu, dan sekarang kau juga akan kehilangan nyawamu yang harus menghadap Bi Goat untuk menebus dosa," demikian katanya dalam hati.

Tiba-tiba ia melompat keluar sambil tertawa bergelak. Tanpa berkata apa-apa serentak ia maju menubruk dan menghantam dada Beng San yang rebah telentang di atas bangku.

Li Cu berseru panjang. Sebagai seorang ahli silat tingkat tinggi, tubuh gadis ini otomatis bergerak dan ia mendorong tubuh Beng San sekuat tenaga sambil ia sendiri melompat ke belakang dan mencabut pedangnya.

Biar pun tubuhnya sudah terdorong dan terlempar dari bangku, tetap saja punggung Beng San keserempet pukulan Song-bun-kwi. Beng San terpelanting hingga terguling-guling sambil muntahkan darah segar dari mulutnya. Baiknya lweekang di tubuhnya masih ada dan secara otomatis tenaga dalam ini bekerja untuk menahan atau melindungi tempat yang terpukul, maka Beng San hanya mengalami luka ringan di sebelah dalam saja dan nyawanya selamat.

Di dalam tubuh Beng San terkandung dua hawa yang amat besar, hawa Im dan Yang, dua hawa yang bertentangan akan tetapi telah teratur kedudukannya. Berbeda dengan orang lain, bila terpukul dan menderita luka dalam, muntah darah berarti membahayakan. Sebaliknya, dengan muntah darah ini bagi Beng San malah menyatakan bahwa tenaga di dalam tubuhnya sudah bekerja dan darah yang dimuntahkan itu sajalah yang menjadi akibat pukulan tadi.

Melihat Beng San muntah darah, Li Cu kaget setengah mati dan mengira bahwa Beng San pasti terluka parah. Ia marah bukan main dan pedangnya lalu diputar ke depan.

"Song-bun-kwi manusia iblis! Kau keji dan curang. Kalau memang kau ada kepandaian, mengapa menyerang orang sakit? Majulah, akulah musuhmu!"


Pedangnya menyambar-nyambar ke depan dan sekejap mata saja gulungan sinar pedang mengurung Song-bun-kwi dengan hebatnya. Song-bun-kwi tertawa bergelak, pedangnya cepat menangkis dari samping lalu ia berkata,

"Perempuan tak tahu malu! Aku hendak membunuh mantuku sendiri yang telah menjadi penyebab kematian anakku, yang telah meninggalkan anakku untuk bermain gila dengan segala perempuan busuk, kau menghalangi ada hubungan apakah? Apakah kau kekasih barunya?"

Kemarahan Li Cu membuat dia hampir menangis mendengar caci-maki kotor ini. Akan tetapi dia harus membela Beng San, membela nyawanya juga membela nama baiknya.

"Song-bun-kwi, kau seorang kakek tua bangka yang sudah mau mati tetapi ucapanmu seperti orang gila atau seperti anak kecil saja! Beng San bukan menjadi sebab kematian Bi Goat. Selama ini dia pergi karena dia membantu Kaisar untuk membasmi orang-orang jahat yang akan memberontak. Dia dimintai bantuan oleh Pek-lian-pai dalam tugas yang mulia. Yang menyebabkan kematian anakmu adalah iblis wanita Kwa Hong. Kalau kau memang mendendam, mengapa kau tidak mencari dan membalas kepada Kwa Hong? Andai kata kau hendak membalas kepada Beng San, sebagai orang gagah kau pun harus menanti sampai dia sembuh dulu agar dia dapat melayanimu. Apakah kau sudah berubah menjadi pengecut?"

Song-bun-kwi mengeluarkan suara menggereng hebat, matanya liar. "Kwa Hong akan kubunuh, Beng San akan kubunuh, dan kau yang membelanya akan kubunuh lebih dulu!" Setelah berkata demikian ia menubruk maju dan menyerang dengan pedangnya.

Pedangnya bergerak menusuk kemudian ditarik ke bawah. Kalau serangan ini berhasil tentu korbannya akan terbelah dada dan perutnya, Namun dengan gerakan lincah dan indah sekali Li Cu sudah mengelak ke kanan, tubuhnya berputar seperti orang menari kemudian membabat dengan pedangnya ke arah pedang lawan. Ia hendak mengandalkan ketajaman Liong-cu-kiam untuk mematahkan senjata lawannya.

Akan tetapi Song-bun-kwi bukanlah seorang tokoh yang masih hijau. Ia cukup mengenal Liong-cu-kiam. Biar pun yang ia pegang juga sebatang pedang yang baik dan kuat, akan tetapi ia tidak berani mengadukan pedangnya secara langsung dengan Liong-cu-kiam. Ia hanya menyampok pedang lawannya yang ampuh bukan main itu dari samping dengan pedangnya sehingga peraduan kedua pedang pada bagian tajamnya dapat dihindarkan.

Serang-menyerang lalu terjadi dengan amat serunya dan mati-matian. Ilmu kepandaian Song-bun-kwi hebat bukan main, dia adalah tokoh besar dalam dunia persilatan. Biar pun Li Cu juga telah mewarisi ilmu pedang yang sakti, namun ia kalah pengalaman bertempur biar pun di tangannya ada pedang pusaka Liong-cu-kiam.

Song-bun-kwi tidak mengenal ampun, mendesak terus sambil mengeluarkan jurus-jurus yang paling hebat karena ia maklum bahwa lawannya biar pun hanya merupakan seorang gadis muda namun cukup lihai dan berbahaya. Malah kakek ini di samping pedangnya yang dimainkan dengan Ilmu Pedang Yang-sin Kiam-sut yang dicampur ilmu pedangnya sendiri, juga mulai melancarkan pukulan-pukulan maut dengan tangan kiri, menggunakan pukulan jarak jauh yang bukan main dahsyatnya.

Tiap kali pukulan ini datang, Li Cu merasa sambaran angin yang hebat ke arahnya. Ia terkejut sekali dan maklum bahwa biar pun pukulan lawan tidak mengenai tubuhnya, hawa pukulan itu kalau tepat mengenai bagian berbahaya, bisa mendatangkan celaka. Maka ia selalu mengelak kalau diserang pukulan ini. Hal ini membuat keadaannya terhimpit.

"Heeei, jangan serang isteriku! Ehhh, kakek yang baik, orang setua engkau seharusnya memberi contoh yang baik kepada orang muda, mengapa malah suka berkelahi? Heee! Hati-hati, jangan main-main dengan pedang yang begitu tajam, jangan-jangan kau nanti mencelakai isteriku!" Beng San berteriak-teriak penuh kekuatiran.

Tadi ia agak nanar, malah ia setengah pingsan oleh pukulan yang membuat ia muntah darah. Tetapi setelah ia dapat bangun, ia segera berteriak-teriak melarang Song-bun-kwi menyerang ‘isterinya’.

Mana Song-bun-kwi mau pedulikan dia? Makin hebat Song-bun-kwi mendesak sehingga pada suatu saat Li Cu harus terhuyung-huyung ke belakang, hampir saja menjadi korban pukulan mautnya. Beng San tak dapat menahan kesabarannya lagi, ia melangkah maju dan menudingkan telunjuknya.

"Orang tua, mengapa kau begini nekat? Isteriku pandai main pedang, kalau sampai dia marah... hemmm, apakah kau sudah bosan hidup?"

Song-bun-kwi kaget juga menyaksikan sikap Beng San ini. Dilihat sikapnya yang begitu berani, agaknya pemuda ini masih memiliki kepandaiannya. Sejenak ia tertegun dan ini membuat gerakannya menjadi agak kalut dan terlambat sehingga Li Cu bisa memperbaiki kedudukannya dan gadis yang tadinya terdesak itu kini berbalik dapat balas menyerang.

"Bagus, Beng San. Kau majulah, pukul dia mampus dengan ilmu saktimu!" Li Cu berseru keras.

Song-bun-kwi makin bingung dan kaget, dikiranya Beng San sungguh-sungguh hendak menyerangnya. Kembali kesempatan ini digunakan oleh Li Cu untuk mainkan pedangnya dan...

"Brettt…!" ujung baju kakek itu terbabat putus!

Song-bun-kwi kaget sekali dan cepat ia melompat ke arah Beng San sambil mengayun pedangnya. Girang hatinya ketika mendapat kenyataan bahwa sama sekali Beng San tidak dapat mengelak, malah Li Cu yang menangkisnya serangan ini.

"Aha, kalian mau menipu aku? Ha-ha-ha, kalian harus mampus sekarang juga!"

Dengan ucapan ini Song-bun-kwi mendesak makin hebat sehingga Li Cu menjadi sibuk menangkis dan mengelak. Sekali pundaknya terkena pukulan tangan kiri Song-bun-kwi sehingga gadis itu terpaksa menggulingkan diri dan terus bergulingan menjauhkan diri dari Song-bun-kwi. Akan tetapi sambil tertawa-tawa kakek ini mengejar terus dengan pedang diangkat, siap untuk membacok.

"Tranggg!"

Pedang Song-bun-kwi terpental dan biar pun pedang itu tidak terlepas dari pegangannya dan ia cepat dapat melompat mundur, namun lengannya agak di atas pergelangan telah tergores pedang di tangan Bu-tek Kiam-ong.

Cia Hui Gan yang sudah berdiri dengan gagah di situ. Pendekar pedang inilah yang tadi menangkis bacokan Song-bun-kwi untuk menolong nyawa puterinya.

Melihat datangnya Raja Pedang ini, Song-bun-kwi mendengus marah, "Huh, kau juga mau ikut-ikut urusanku?"

"Song-bun-kwi iblis tua! Melihat puterinya hendak dibunuh orang, bagaimana seorang ayah bisa diam saja?"

Sejenak Song-bun-kwi tertegun. Ia maklum akan kehebatan ilmu pedang Cia Hui Gan, maka dia tidak berani berlaku sembrono. Kemudian ia menoleh ke arah Beng San yang berdiri bengong di pinggiran.

"Bagus, kau betul sekali, Kiam-ong. Anakku dibunuh orang, mana aku bisa diam saja?" Sambil berkata demikian ia lalu menubruk ke depan dan menyerang Beng San dengan pedangnya.

Melihat itu Li Cu kembali menggerakkan senjatanya menangkis serangan kakek itu. Kali ini Song-bun-kwi terlalu bernafsu dalam serangannya, maka pedangnya bertemu secara telak sekali dengan pedang di tangan Li Cu. Dengan mengeluarkan bunyi nyaring, pedang di tangan Song-bun-kwi terbabat putus menjadi dua potong oleh Liong-cu-kiam!

"Li Cu, jangan mencampuri urusan mereka!" Cia Hui Gan membentak anaknya, mukanya menjadi merah dan malu melihat sikap puterinya itu.

Akan tetapi, Li Cu dengan pedang di tangan berdiri memandang ayahnya dengan mata bersinar. "Ayah, Beng San tidak pernah membunuh anak Song-bun-kwi yang mati karena melahirkan. Beng San bahkan sangat mencintanya. Mana bisa aku membiarkan orang membunuhnya? Kalau Song-bun-kwi menantang Beng San dalam keadaan seperti biasa, aku pun tidak peduli. Akan tetapi sekarang Beng San sedang sakit, sama sekali tidak dapat melawan!"

Song-bun-kwi marah sekali, akan tetapi juga gentar. Menghadapi gadis itu saja sudah payah untuk mencapai kemenangan, apa lagi sekarang muncul ayahnya yang tentu saja tidak membiarkan ia mengganggu Li Cu.

Pada saat itu terdengar suara tangis seorang anak tak jauh dari situ. Mendengar suara ini Song-bun-kwi mengeluarkan gerengan-gerengan marah, lalu ia melompat pergi ke arah suara tangisan anak kecil itu. Dari jauh terdengar suaranya,

"Bu-tek Kiam-ong, kau mengandalkan nama besarmu untuk bersikap sewenang-wenang. Tunggulah, kelak aku akan mencarimu di Thai-san!"

Sejenak hening. Ayah dan anak itu saling berpandangan. Si ayah dengan sinar mata penuh kemarahan, Si anak tenang-tenang saja akan tetapi tarikan mukanya jelas-jelas membayangkan keteguhan hatinya.

"Li Cu, apa artinya semua ini?" akhirnya suara si ayah terdengar memecah kesunyian.

"Artinya, Ayah, bahwa aku cinta kepada Beng San dan sisa hidupku akan kuhabiskan di sampingnya," jawab gadis itu dengan suara penuh ketetapan hati.

Bu-tek Kiam-ong Cia Hui Gan mengerutkan keningnya. "Tapi... tapi ia seorang gila..."

"Dia tidak gila, Ayah. Hanya kehancuran hati membuat ia demikian. Ia kematian isterinya yang tercinta dan ia merasa berdosa besar terhadap isterinya sehingga kesedihannya itu membuat ia kehilangan ingatan. Akan tetapi... dia seorang berbatin mulia, Ayah, telah beberapa kali menyelamatkan nyawaku tanpa mempedulikan keselamatan diri sendiri. Aku ingin membalas budinya dan..."

"Tapi dia tidak menganggapmu sebagai Cia Li Cu..."

"Memang dia menganggap aku sebagai isterinya yang sudah meninggal dunia. Dan ini lebih mempertebal keyakinanku betapa setia hatinya, penuh cinta kasih murni. Aku tak dapat meninggalkannya, Ayah, karena hal itu berarti dia akan celaka."

"Li Cu, apa kau juga sudah menjadi gila? Anakku hendak mengorbankan sisa hidupnya untuk seorang gila? Tidak mungkin! Kakak kandungnya seorang berwatak durhaka dan busuk, adiknya pun tak akan jauh bedanya. Dia harus mampus saja dari pada merusak hidupmu!"

Tiba-tiba sinar terang berkelebat dan tahu-tahu kakek ini sudah menerjang ke arah Beng San yang berdiri melongo melihat perdebatan antara ayah dan anak itu.

"Ayah...!" Li Cu bergerak dan…

"Tranggg!"

Bunga api berpijar, pedang Liong-cu-kiam di tangan Li Cu terlepas menancap di atas tanah, akan tetapi pedang di tangan Cia Hui Gan sudah patah menjadi dua potong.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar