Raja Pedang: Penutup

Kho Ping Hoo
-------------------------------
----------------------------
Alangkah herannya semua tamu ketika melihat betapa pemuda yang mengerikan ini biar pun gerakan-gerakannya kacau-balau, dan amat buruk kalau dibandingkan ilmu pedang Li Cu, namun selalu gulungan sinar pedang Li Cu dapat ditahannya dan dipukul kembali.

Bahkan dengan gerakan-gerakan selanjutnya Beng San mulai mendesak Li Cu dengan Ilmu Pedang Im-yang Kiam-sut yang luar biasa lihai. Ternyata dasar ilmu pedang mereka adalah satu sumber, hanya pecahan Im-yang Kiam-sut lebih ruwet dan kuat. Apa lagi karena dalam diri Beng San sudah terdapat sari tenaga Im dan Yang, maka setiap kali pedang bertemu, Li Cu merasa seluruh tubuhnya panas dingin dan gemetar.

Cia Hui Gan menonton pertempuran ini dengan mata bersinar-sinar dan timbul rasa suka dan kagumnya pada Beng San. Pemuda inilah yang sebetulnya bisa mengatasi anaknya, malah agaknya akan dapat mengalahkan dia sendiri.

Bukankah ilmunya itu ilmu peninggalan Bu Pun Su? la sudah mendengar bahwa Yang-sin Kiam-sut terjatuh ke tangan Song-bun-kwi dan Im-sin Kiam-sut jatuh ke tangan Hek-hwa Kui-bo. Akan tetapi kenapa pemuda ini demikian mahir Im-yang Sin-kiam-sut?

Sayang bahwa anaknya sudah memiliki pilihan hati sendiri, yaitu muridnya yang pertama. Kalau tidak begitu... "ahhh, pemuda ini benar-benar hebat!”

Selagi Beng San dan Li Cu bermain pedang dengan amat berhati-hati karena keduanya maklum akan kelihaian lawan, sedangkan Beng San juga merasa segan untuk melukai gadis jelita ini, tiba-tiba terdengar suara hiruk-pikuk seakan akan gunung itu meletus.

Kemudian dari bawah puncak nampak berlari-lari seorang lelaki yang dikejar oleh banyak orang. Setelah tiba di tempat itu, ternyata orang itu adalah Tan Beng Kui yang menderita beberapa luka ringan pada pundak dan lengannya. Darah membasahi bajunya.

Begitu sampai di tempat itu dan melihat Beng San masih bertanding melawan Li Cu, Beng Kui melompat maju dan membentak, "Beng San, berani kau kurang ajar di sini?!"

Beng San terkejut dan melompat mundur. Sebelum dia menjawab, para pengejar sudah sampai di tempat itu pula dan kelihatan Pangeran Souw Kian Bi bersama belasan orang perwira lain. Pangeran ini kelihatan marah sekali dan begitu tiba di depan Tan Beng Kui dia memaki.

"Manusia tak kenal budi! Jadi ternyata engkau telah mengkhianati kami dan ternyata kau pula yang selama ini disebut Ji-enghiong? Baguslah, bagus...! Kau melarikan diri ke sini, Ha-ha-ha! Kau kira sebagai Ji-enghiong kau sudah merasa dirimu yang paling pandai dan siasatmu selama ini sudah mengacaukan kerajaan? Pengkhianat Tan Beng Kui! Sekarang puncak ini sudah dikurung oleh selaksa orang prajuritku! Kau harus tahu, kau dan semua orang yang ada di sini, kecuali saudara-saudara yang membantu kerajaan, akan dibasmi habis! Ha-ha-ha!"

Semua orang menjadi terkejut luar biasa, apa lagi ketika mendengar sorakan dan melihat bahwa di lereng gunung sudah kelihatan banyak sekali tentara negeri mengurung tempat itu. Kekagetan ini bukan hanya karena ancaman si Pangeran Mongol, tapi terutama sekali mereka yang sudah mengenal Beng Kui merasa kaget saat mendengar kenyataan bahwa Tan Beng Kui ternyata adalah Ji-enghiong yang terkenal sebagai seorang pemimpin para pejuang di kota raja!

Ketika Pangeran Souw Kian Bi melihat Lee Giok di situ, dia tertawa lagi, suara ketawanya seperti iblis.

"Ha-ha-ha-ha-ha! Lee Giok, nyonya Liong, bagus sekali kau pun sudah bersiap menerima mampus di sini. Tubuhmu akan kuserahkan kepada para prajurit, kemudian kau akan dicincang hancur dan kuberikan kepada anjing! Kau dahulu mengaku sebagai Ji-enghiong untuk mengelabui mataku, kiranya antara kau, Beng Kui, dan Kwee Sin terdapat kerja sama mengepalai para mata-mata di kota raja. Kau ternyata adalah adik seperguruan Tan Beng Kui si keparat murid si Raja Pedang. Ha-ha-ha, semua julukan yang muluk-muluk akan hancur lebur pada hari ini."

Tan Beng Kui yang kelihatan gagah dan sangat bersemangat, berdiri dengan kedua kaki terpentang, matanya bersinar-sinar dan dia pun menjawab, "Pangeran Souw Kian Bi! Kau terlampau memandang rendah para pejuang. Kau kira kali ini akan dapat menghancurkan kami? Huh, manusia serendah engkau mana mungkin mampu menghancurkan kekuatan perjuangan rakyat? Kau bilang di puncak ini terkurung oleh prajurit-prajuritmu? Ha-ha-ha, apa kau kira percuma saja aku bertahun-tahun berjuang di kota raja? Bukan kami yang akan kau hancurkan, sebaliknya kau dan pasukan-pasukanmu itulah yang akan hancur. Kau lihat!"

Beng Kui mengeluarkan panah api, dilepaskan ke atas dan sinar biru melesat ke udara. Tak lama kemudian terdengar suara tambur dan terompet disusul sorak-sorai menggegap gempitakan puncak.

"Lihat, Pangeran Souw Kian Bi. Lihatlah baik-baik, puluhan ribu teman-teman kami sudah mengurung di kaki gunung, siap menggempur pasukan-pasukanmu!"

Tidak hanya Souw Kian Bi yang menengok, akan tetapi semua orang melihat ke bawah dan betul saja, seperti ular naga besar tampak pasukan pejuang sudah merayap ke atas dan sudah mulai diadakan pertempuran di bawah gunung.

"Dan kau tidak pernah mimpi bahwa pada saat ini di kota raja terjadi pula penyerbuan, Pangeran. Kau tidak ada tempat lagi untuk maju atau mundur. Ha-ha-ha!" Tan Beng Kui tertawa dan pangeran itu membentak marah.

"Kau bohong!"

Akan tetapi tiba-tiba dari bawah berlari naik seorang anggota tentara kerajaan. Wajahnya pucat dan napasnya sengal-sengal ketika dia melapor, "Lapor pada Pangeran. Ada berita bahwa kota raja sudah diduduki musuh..."

Saking marahnya Pangeran Souw Kian Bi lalu menggerakkan pedangnya dan... robohlah pelapor ini dengan dada tertusuk pedang. Perbuatan pangeran ini seakan-akan menjadi tanda dimulainya pertempuran.

Tan Beng Kui sudah mengambil pedang dari tangan seorang pelayan, kemudian dengan gerakan yang luar biasa cepatnya dia menyerang Souw Kian Bi. Belasan orang pengikut pangeran itu pun bergerak, akan tetapi mereka segera disambut oleh Lee Giok, Li Cu, dan dua belas orang pelayan.

Pertempuran antara Souw Kian Bi dan Tan Beng Kui tidak berjalan lama. Sebentar saja pedang di tangan Beng Kui sudah berhasil membacok leher pangeran itu yang menjerit dan roboh binasa. Pengikut-pengikutnya juga roboh seorang demi seorang. Pertempuran di bawah dan di lereng gunung makin menghebat. Semua tamu telah berdiri dan menjadi tegang.

Beng San semenjak tadi berdiri memandang kakaknya. Air matanya bercucuran di kedua pipinya. Tangannya yang memegang Liong-cu-kiam gemetar. Alangkah gagahnya kakak kandungnya. Alangkah hebatnya. Kiranya kakaknya yang selama ini dia anggap sebagai pengkhianat, ternyata adalah Ji-enghiong pemimpin pejuang di kota raja! Jadi Kwee Sin, Lee Giok dan lain-lain itu adalah bawahan-bawahannya!

Dan kakaknya ternyata adalah murid kepala dari Raja Pedang yang memiliki kepandaian lebih lihai dari pada Li Cu. Hebat! Kenyataan ini menampar hatinya. Apa bila dahulu dia memandang rendah kakaknya, sekarang dia merasa betapa rendah dan hina dirinya kalau dibandingkan dengan Beng Kui.

Sekarang sesudah seluruh musuh-musuhnya tewas, Tan Beng Kui lalu menoleh kepada Hek-hwa Kui-bo, Kim-thouw Thian-li, Siauw-ong-kwi, dan juga Giam Kin. Sikapnya amat mengancam, "Kalian empat orang kaki tangan Pangeran Souw Kian Bi, apakah kini kalian hendak menuntut balas?" tantangnya.

"Beng Kui, jangan lancang!" tegur Cia Hui Gan. "Mereka adalah tamu-tamu yang sedang menghadiri perebutan gelar."

Baik Hek-hwa Kui-bo mau pun Siauw-ong-kwi semenjak tadi sudah menjadi gelisah dan gentar. Menghadapi seorang Tan Beng Kui atau bahkan Cia Hui Gan bagi mereka tentu saja tidak menjadikan takut, akan tetapi karena mereka tadinya membantu pemerintah dan sekarang berhadapan dengan para pejuang, nyali mereka sudah menjadi kecil.

"Perebutan gelar sudah berubah menjadi pertempuran urusan kerajaan, biarlah kami pergi saja," kata Siauw-ong-kwi yang cepat meninggalkan tempat itu bersama Giam Kin.

"Aku pun pergi saja, lain kali bertemu kembali!" berkata pula Hek-hwa Kui-bo yang cepat pergi diikuti Kim-thouw Thian-li.

Beng Kui sekarang menghadapi Beng San. Wajahnya nampak keras dan marah.

"Bocah gila, apa kau masih tetap hendak mengikuti perebutan gelar Raja Pedang pula? Huh, manusia rendah semacam engkau, yang menghancurkan kehidupan seorang gadis baik-baik, kau tidak berharga melawan Suhu dan kau terlalu kotor melawan Sumoi. Kalau kau masih penasaran, hayo kau lawanlah aku! Kalau kau tidak berani, kau kembalikan pedang itu kepada Sumoi!" Sikap Beng Kui angkuh sekali dan dia memandang Beng San amat rendah.

Air mata yang mengalir turun di kedua pipi Beng San semakin deras ketika mendengar kakak kandungnya yang gagah perkasa itu memakinya dan menyebut-nyebut mengenai urusan Kwa Hong. Hatinya bagaikan diremas-remas. Dengan muka kehijauan dan suara gemetar dia bertanya.

"Kui-ko... mengapa kau menaruh racun...? Kenapa kau melakukan semua itu kepadaku... kau... kau yang ternyata seorang patriot dan pejuang mulia ini...? Kenapa?"


"Goblok kau. Bodoh! Kalau tidak karena aku, bukankah sekarang kau telah menjadi mayat di benteng itu?" Yang menaruh racun bukan aku, melainkan Pangeran Souw Kian Bi. Aku diamkan saja karena menurut pandanganku, kau sudah terlampau untung untuk berjodoh dengan dia. Siapa kira, kau... kau meninggalkannya. Alangkah rendahnya!"

"Aduh... Beng Kui koko, aku... aku mencinta gadis lain... aku… aku telah menjadi korban racun..."

"Jangan sebut aku koko lagi. Pendeknya, kau mau merebut gelar Raja Pedang atau tidak? Lekas sebelum habis sabarku!"

Mendadak Beng San mengangkat dadanya dan berkata, "Aku tidak peduli akan segala sebutan Raja Pedang. Aku tidak suka pula bertempur dengan siapa pun juga, tidak mau ikut bertempur denganmu. Akan tetapi, aku harus mengambil kembali sepasang Liong-cu Siang-kiam, aku sudah bersumpah di depan suhu."

"Keparat! Sumoi, tolong pinjam pedangmu!"

Li Cu menyerahkan pedang pendek di tangannya. Begitu memegang Liong-cu-kiam yang pendek, Beng Kui segera menerjang maju menyerang dengan dahsyat.

Beng San kagum melihat gerakan kakak kandungnya yang ternyata jauh lebih hebat dan kuat dari pada gerakan Li Cu. Akan tetapi karena dia tidak suka melawan, dia cepat mengelak dan hanya terus mengelak atau menangkis dengan Liong-cu Siang-kiam yang panjang.

Sementara itu, Li Cu mendekati ayahnya. Tangan gadis ini dingin sekali ketika menyentuh tangan ayahnya. Cia Hui Gan berbisik.

"Li Cu, aku malu sekali menjadi Raja Pedang. Sekali ini, kalau orang muda adik Beng Kui itu mau, kita semua akan dapat dia kalahkan dengan ilmu pedang Im-yang Sin-kiam-sut yang tulen. Apa bila dia mau, mudah saja dia mengalahkan suheng-mu. Aaahhh, sayang sekali..."

"Apanya yang sayang, Ayah? Kenapa kau tidak turun tangan membantu Suheng?"

"Hush, masa aku harus berlaku begitu rendah? Lihat, adiknya itu benar-benar aneh, tidak melawan sama sekali, entah apa maksudnya." Tiba-tiba wajah Raja Pedang Cia Hui Gan menjadi pucat karena benar-benar terjadi hal yang luar biasa.

Pada saat pedang Beng Kui menyambar dalam sebuah serangan kilat, Beng San sengaja memasang pundaknya dan hanya menangkis sedikit. Beng Kui sendiri sampai terkejut, mengapa Beng San sengaja menerima sambaran pedangnya? Pundak pemuda itu lantas terbabat dan terkupas kulit berikut sedikit dagingnya. Darah mengalir deras membasahi baju.

"Koko, dalam hal ilmu pedang aku mengaku kalah. Kau dan suhu-mu patut disebut Raja Pedang. Buktinya pundakku sudah terluka!" seru Beng San.

Akan tetapi tiba-tiba dia melakukan gerakan yang amat aneh yang sekaligus mematikan daya tahan Beng Kui. Pedang di tangan Beng Kui tertempel pada pedangnya, tidak dapat digerakan atau ditarik kembali, kemudian tangan kiri Beng San cepat melakukan dua kali totokan ke arah tangan kanan kakaknya.

Beng Kui merasa tangannya lumpuh dan sebelum dia sempat mencegah, pedang pendek Liong-cu-kiam sudah berpindah ke tangan Beng San!

Beng San lalu melangkah mundur. Dengan dua batang pedang Liong-cu-kiam di tangan, dia memandang kakaknya dengan air mata bercucuran, kemudian dia berlari pergi tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

Terdengar seruan Song-bun-kwi, "Ehh, Bi Goat, kau mau pergi ke mana?!"

Baru sampai di lereng gunung, di lereng sebelah sananya di mana tidak ada perang yang terjadi, Beng San merasa ada angin menyambar lewat dan tahu-tahu Bi Goat sudah berdiri di depannya. Gadis ini terus memeluknya dan menangis, berkata, "ah-ah-uh-uh" tidak karuan. Lemas seketika hati Beng San menghadapi kekasihnya ini.

"Bi Goat... kekasihku... pujaan hatiku, jangan... jangan kau mengejarku. Janganlah kau mencegah kepergianku... aku terlampau hina dan terlampau rendah untukmu, Bi Goat..."

Mendengar ini, makin menjadi tangis Bi Goat dan makin erat dia mendekap Beng San.

"Aduh, Bi Goat... kau menghancurkan hatiku. Relakan aku, Bi Goat, aku... aku... ahh, aku malah tidak pantas lagi hidup di dunia ini..."

Bi Goat seperti hendak menjerit-jerit, tetapi yang keluar dari mulutnya hanya ah-ah-uh-uh saja. Akhirnya gadis itu menjadi lemas dan... roboh pingsan di dalam pelukan Beng San.

Tentu saja pemuda ini menjadi kaget sekali. la cepat-cepat duduk di atas tanah sambil memangku kepala Bi Goat, digoyang-goyangnya tubuh nona itu sambil terus dipanggil-panggilnya penuh kekhawatiran.

"Bi Goat... Bi Goat... jangan mati...!" la seperti orang gila dan menangis seperti anak kecil.

Tiba-tiba gadis itu bergerak dan terdengar suara yang merdu, "Beng San... kalau kau pergi... lebih baik aku mati saja...”.

Beng San terkejut seperti disengat ular berbisa. la menoleh ke kanan kiri dan melihat di sebelah kirinya Song-bun-kwi berdiri dengan muka yang pucat sekali. Sekilas pertemuan pandang mata antara dia dan Song-bun-kwi terjadi persamaan pengertian akan apa yang mereka berdua dengar tadi.

"Beng San... Beng San, jangan tinggalkan aku..."

"Bi Goat, kau bicara," Beng San melompat bangun dan memeluk gadis itu, lupa semua kedukaan hatinya.

"Bi Goat, anakku! Akhirnya kau dapat bicara lagi! Ha-ha-ha-ha-ha!” Song-bun-kwi tertawa terbahak-bahak, kemudian... menangis. “Ha-ha-ha, benar juga si setan Yok-mo, setelah mengalami kekagetan, kau bisa bicara lagi..."

"Ayah... kalau kau tidak menahan Beng San supaya selalu di sampingku, aku tidak saja akan gagu lagi, malah aku akan mati di bawah kakimu!"

"Ya, ya, baik begitu. Heh, Beng San! Apakah kau mencinta Bi Goat?"

"Betul, Locianpwe, akan tetapi aku terlampau hina... aku... aku berdosa dan telah..."

"Stop! Mana ada manusia tak berdosa di dunia ini? Dosaku seribu kali lebih besar dari pada dosamu! Jangan pedulikan manusia-manusia sombong itu. Hayo kau ikut kami ke Gunung Min-san dan hidup bahagia di sana. Ha-ha-ha, anakku kini bisa bicara, anakku mendapat suami yang hebat. Dan sebentar lagi aku akan menimang cucuku yang mungil. Ha-ha-ha, orang she Kwee, pantaskah kau menerima kurnia sebesar ini?”

Bi Goat menggandeng tangan Beng San yang menurut saja diajak oleh ayah dan anak itu. Akan tetapi baru saja mereka tiba di kaki gunung, di depan mereka berdiri tiga orang menghadang. Mereka ini adalah Cia Hui Gan, Tan Beng Kui, dan Cia Li Cu.

"Cia Hui Gan, mau apa kau menghadang kami?" Song-bun-kwi yang sedang gembira hatinya itu bertanya sambil tertawa-tawa. "Apa kau mau bicara urusan gelar Raja Pedang lagi?"

Merah muka jago pedang Thai-san itu. "Song-bun-kwi, aku orang tua hanya mengantar anak-anak, merekalah yang mempunyai urusan."

Sementara itu, Beng Kui sudah melangkah maju mendekati Beng San, lalu terdengar dia berkata, "Beng San, kau tak boleh membawa lari sepasang pedang Liong-cu Siang-kiam itu. Pedang-pedang itu adalah milik kami, harus kau kembalikan kepada aku dan Li Cu!"

Beng San melihat betapa sikap kakak kandungnya ini masih amat tinggi hati dan agaknya masih memandang rendah kepadanya, sikap seorang pejuang gagah perkasa, seorang jantan dan ksatria yang sudah membuktikan darma baktinya kepada tanah air, pendeknya sikap seorang mulia terhadap seorang yang dianggap rendah.

Tadi dia berkukuh merampas pedang karena dia menganggap bahwa di dunia ini bagi hidupnya hanya satu itulah yang penting. Akan tetapi sekarang setelah dia bertemu Bi Goat, melihat Bi Goat sembuh dari penyakit gagu, melihat Bi Goat dan ayahnya sudi menerimanya dan dia menghadapi kehidupan baru yang penuh kebahagiaan bersama Bi Goat, dia tidak hendak mengukuhi pedang-pedang itu lagi. Setelah ada Bi Goat, dia tidak membutuhkan apa-apa lagi di dunia ini. Dengan tenang tanpa bicara apa-apa Beng San menurunkan sepasang pedang dari punggungnya.

"Ha-ha-ha, mudah amat!" Song-bun-kwi tertawa mengejek. "Orang sudah mengambilnya dengan mengandalkan kepandaian, sekarang jika hendak merampas kembali juga harus mengandalkan kepandaian!"

Beng Kui dan Li Cu saling pandang. Di dalam hati dua orang muda ini sudah mengakui bahwa mereka tak akan menang bertanding melawan Beng San. Setelah diam sejenak, Beng Kui berkata, "Beng San, kau dengarlah. Sepasang pedang itu merupakan syarat dan tanda perjodohanku dengan Li Cu sumoi. Kau kembalikan kepada kami dan sebagai gantinya, aku akan menutup mulut dan tidak mengenalmu lagi."

Mendengar ucapan ini, Bi Goat dan ayahnya menjadi marah. Mana ada aturan seperti ini? Orang diharuskan berlaku baik, tapi balasannya malah tidak akan dikenal lagi. Tapi Beng San segera menurunkan Liong-cu Siang-kiam dan berkata dengan suara gemetar.

"Beng Kui koko, terimalah Liong-cu Siang-kiam ini dan anggap sebagai sumbangan untuk perjodohanmu dari adikmu yang hina ini. Akan tetapi ini hanya sebagai titipan, tiga tahun kemudian harus kau kembalikan kepadaku."

Beng Kui merasa mendongkol sekali, akan tetapi tanpa menjawab sesuatu dia menerima sepasang pedang itu dan memberikan yang pendek kepada Li Cu. Dua pedang itu serupa benar, hanya yang sebuah panjang dan terukir huruf ‘jantan’ sedangkan yang ke dua pendek dan terukir huruf ‘betina’.

Setelah menerima sepasang pedang ini dan tanpa mengucapkan terima kasih, Beng Kui segera mengajak Li Cu pergi dari situ. Melihat hal ini, Song-bun-kwi dan Bi Goat menjadi makin gemas. Betapa sombongnya orang yang dipuji-puji sebagai Ji-enghiong pemimpin pejuang itu. Sombong, tinggi hati dan merasa diri sendiri paling jempol.

Cia Hui Gan agaknya juga merasa tak enak hati melihat sikap murid atau calon mantunya itu. "Song-bun-kwi, kau menjadi saksinya. Mulai sekarang aku Cia Hui Gan tidak berani menggunakan gelar Raja Pedang lagi, kalau ada orang masih mempersoalkan gelar Raja Pedang, maka biarlah aku mengakui bahwa orang muda adik kandung muridku inilah yang patut diberi gelar Raja Pedang. Selamat berpisah sampai jumpa pula!" Kaki jago pedang ini mengenjot tanah dan tubuhnya berkelebat lenyap dari situ.

”Ha-ha-ha! Mantuku Raja Pedang. Benar mantuku Raja Pedang dan aku akan siarkan hal ini ke seluruh dunia kang-ouw. Siapa saja yang tak mau menerimanya akan kuhancurkan kepalanya!" Sambil tertawa-tawa dan berteriak-teriak, kakek ini mengajak Beng San dan Bia Goat melanjutkan perjalanan ke Min-san.

Sambil berjalan di samping Bi Goat yang menggandeng tangannya, terjadi perubahan pada diri Beng San. Wajahnya tidak seram seperti tadi lagi, warna mukanya telah berubah biasa, bahkan sepasang matanya bersinar-sinar gembira.

Kakak kandungnya ternyata seorang patriot, seorang pemuda yang harum namanya, yang dikagumi dan dipuji orang gagah seluruh negeri. Dan kakaknya telah mempunyai calon jodoh yang sedemikian cantik dan gagahnya seperti Cia Li Cu. Ia girang melihat kakaknya akan hidup bahagia.

Dia sendiri melihat titik terang dalam hidup mendatang. Kebahagiaan bagi dirinya segera menjelang datang bagaikan sang surya yang mengintai dari balik awan gelap yang mulai tertiup pergi oleh angin. Dengan Bi Goat di sampingnya dia sanggup untuk melanjutkan hidup, sanggup untuk menempuh semua kesulitan dan sanggup untuk terus tersenyum. Dia akan memandang dunia yang penuh duri ini, penuh derita hidup ini dari segi-segi keindahannya.

Tanpa disadarinya dia mempererat gandengannya. Bi Goat merasakan dan gadis ini pun makin erat memeluk lengan Beng San sambil melirik dan tersenyum manis. Ketika Beng San memandang, dia melihat kedua pipi gadis itu terhias dua butir air mata yang turun perlahan-lahan. Air mata bening, air mata kebahagiaan.....

T A M A T
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar