Raja Pedang Chapter 32

Kho Ping Hoo
-------------------------------
----------------------------
Lian Bu Tojin masih duduk bersila meramkan mata. Dia terluka hebat dan juga mendapat guncangan batin yang berat. Kwa Tin Siong dan Liem Sian Hwa tidak kelihatan, sudah lari turun gunung. Kwa Hong, Thio Ki, dan Kui Lok sudah tertawan, dibawa lari oleh musuh. Tinggal Thio Bwee seorang yang sekarang berlutut di depan kakek Hoa-san-pai ini sambil menangis. Hari itu Hoa-san-pai benar-benar mengalami pukulan hebat, pukulan dari luar dan dari dalam.

Bun Lim Kwi berdiri di dekat gurunya, menundukkan muka ikut berduka. Pek Gan Siansu mengelus-elus jenggotnya dan memandang kepada Beng San yang juga berdiri bingung karena tidak tahu ke mana perginya para murid Hoa-san-pai yang lain.

"Adik Beng San...!" Seruan ini adalah suara Tan Hok yang datang berlari-lari.

Beng San juga girang dan dua orang ini saling berpelukan.

"Syukur kau dan teman-temanmu keburu datang, Tan-twako, kalau tidak..."

Tan Hok memandang ke arah tubuh-tubuh yang tergeletak malang melintang di tanah itu. Dia menarik napas panjang.

"Anjing-anjing Mongol itu benar-benar keji dan sayang sekali tidak dari dulu Hoa-san-pai turut berjuang. Lebih sayang lagi semua ini hanya gara-gara ada murid Kun-lun-pai yang roboh di bawah pengaruh kecantikan wanita..." la menuding ke arah mayat Kwee Sin.

”Jangan kau bicara sembarangan!" Thio Bwee tiba-tiba meloncat dan memandang Tan Hok dengan marah. "Apa kau sangka hanya kau dan orang-orang Pek-lian-pai saja yang patriotik dan gagah? Paman Kwee Sin biar pun kelihatan bersalah, akan tetapi sebetulnya semua itu dia lakukan demi menjalankan tugasnya sebagai seorang pejuang. Dia adalah pemimpin di kota raja, terkenal dengan sebutan Si-enghiong..."

"Apa...?!" Tan Hok membelalakkan matanya. "Dia... dia itu Si-enghiong? Si-enghiong dan Ji-enghiong adalah orang-orang yang memimpin gerakan kami di kota raja... orang-orang kepercayaan Ciu-taihiap! Betulkah ini...?"

Pek Gan Siansu memuja, "Siancai... siancai..." ia pun menarik napas panjang. "Sungguh bangga hati tua ini mendengar bahwa Kwee Sin ternyata adalah seorang pejuang besar. Bangga dan sedih serta malu bahwa pinto telah begitu buta sehingga tidak bisa mengenal murid sendiri! Ahh, Kwee Sin... Kwee Sin... tidak berharga pinto menjadi gurumu..."

Tiba-tiba Thio Bwee berseru. “Ehh, mana dia? Mana dia Ji-enghiong...?"

Tan Hok makin kaget. "Apa?! Ji-enghiong juga di sini? Mana dia?"

Semua orang mencari-cari dan mengingat-ingat, akan tetapi mereka tadi tidak melihat lagi adanya nona Lee Giok atau yang disebut Ji-enghiong oleh Kim-thouw Thian-li.

"Betulkah Ji-enghiong tadi di sini? Siapakah dia?" Tan Hok bertanya lagi, terheran-heran. Sedangkan Beng San juga tertegun mendengar terbukanya rahasia ini, ingin benar dia mendengar keterangan Ji-enghiong pula.

Lian Bu Tojin berdiri perlahan-lahan, lalu memandang Tan Hok dan teman-temannya yang berdiri di belakangnya. Melihat tadi Beng San berpelukan dengan Tan Hok, kakek ketua Hoa-san-pai ini bertanya, "Beng San, siapakah tuan ini?"

Beng San menjura. "Totiang, dia ini adalah teman teecu yang gagah perkasa. Namanya Tan Hok dan dialah pemimpin pasukan gerilya Pek-lian-pai yang patriotik."

Lian Bu Tojin mengangguk-angguk, ”Ah, kiranya. Tan-enghiong. Terima kasih atas semua bantuanmu. Agaknya Tan-enghiong juga mengenal dua orang pemimpin di kota raja yang disebut Ji-enghiong dan Si-enghiong."

"Tentu saja mengenal, Totiang. Hanya mengenal nama, akan tetapi dua orang tokoh itu adalah termasuk atasan saya. Kiranya Si-enghiong adalah murid Kun-lun-pai, sungguh menggembirakan sekali dan sekaligus mengubah pandangan kami terhadap Kun-lun-pai. Akan tetapi... siapakah yang mengatakan bahwa dia adalah Si-enghiong?"

"Tak bisa diragukan lagi. Pasukan pemerintah tadi menyerbu ke sini justru karena mereka hendak menangkap Ji-enghiong dan Si-enghiong. Si-enghiong adalah... murid Pek Gan Siansu, Kwee Sin. Ada pun Ji-enghiong, menurut pengakuan tadi adalah seorang nona muda yang bernama Lee Giok dan sekarang entah pergi ke mana karena agaknya tadi menghilang ketika terjadi pertempuran.”

Mendengar ini, segera Tan Hok bersama teman-temannya dengan penuh penghormatan mengangkat jenazah Kwee Sin lalu merawat serta mengurusnya penuh penghormatan sebagaimana layaknya seorang pemimpin. Juga para tosu Hoa-san-pai mengurus semua mayat dan orang-orang yang terluka.

Dalam hal ini, Lian Bu Tojin membuktikan keluhuran pribudinya dengan memerintahkan anak muridnya untuk mengurus juga mayat-mayat serdadu Mongol, bahkan mengobati mereka yang luka dan membiarkan mereka pergi dengan aman.

Beng San yang tidak melihat murid-murid Hoa-san-pai, mengajukan pertanyaan kepada Thio Bwee, "Adik Bwee, kenapa aku tidak melihat Hong-moi dan dua orang saudaramu Thio Ki dan Kui Lok? Dan ke mana pula perginya Kwa-lo-enghiong dan bibi gurumu?"

Ditanya begini, tiba-tiba Thio Bwee menangis lagi dan tidak dapat menjawab.

Lian Bu Tojin yang menjawab, "Beng San, hari ini Hoa-san-pai mengalami kehancuran. Kwa Hong, Thio Ki, dan Kui Lok tertawan musuh dan ditangkap. Ada pun Kwa Sin Tiong dan Sian Hwa, ehh, mereka juga lari dalam kekacauan tadi."

Mendengar ini, berubah muka Beng San. "Hong-moi tertawan musuh? Juga saudara Thio Ki dan Kui Lok? Ahh, celaka! Biar kuusahakan pertolongan..." Beng San lari turun dari puncak.

"Lim Kwi, kau bantulah dia!" bisik Pek Gan Siansu.

"Saudara Beng San, tunggu!” Tubuh Lim Kwi melesat mengejar Beng San.

Juga Tan Hok meloncat dan mengejar. "Adik Beng San, tunggu dulu...!"

Akan tetapi aneh sekali, biar pun Beng San kelihatannya hanya lari biasa saja sedangkan dua orang yang mengejarnya ini meloncat dan menggunakan ilmu lari cepat, sebentar saja tubuh Beng San sudah lenyap dan sama sekali tidak mereka ketahui ke mana arah larinya. Terpaksa Tan Hok dan Lim Kwi kembali ke puncak.

"Lian Bu totiang," berkata Tan Hok dengan suara menghibur orang tua yang kelihatan berduka itu. "Harap Totiang jangan khawatir. Adik Beng San bukanlah orang biasa, tentu dia akan berusaha sekuat tenaga untuk menolong murid-murid Hoa-san-pai yang tertawan itu. Andai kata dia tak berhasil, percayalah, saya akan mengerahkan teman-teman untuk pergi menolong mereka. Sekarang sudah jelas bahwa murid Kun-lun-pai sudah menjadi pemimpin pejuang, yaitu mendiang Kwee-enghiong. Dan sekarang Hoa-san-pai juga telah dimusuhi penjajah, maka tidak ada jalan lain kecuali melanjutkan cita-cita Kwee-enghiong. Alangkah baiknya kalau mulai sekarang Hoa-san-pai dan Kun-lun-pai ikut serta membantu perjuangan rakyat."

Mendengar ucapan pemimpin gerilya Pek-lian-pai yang gagah dan bersemangat ini, Lian Bu Tojin dan Pek Gan Siansu saling pandang. Lian Bu Tojin menarik napas panjang dan berkata.

"Sebetulnya, semenjak rakyat memberontak terhadap penindasan pemerintah penjajah, kami semua anggota Hoa-san-pai sudah merasa simpati dan bahkan pinto sendiri sudah memberi perintah kepada para anak murid supaya membantu perjuangan. Siapa kira pinto kena diakali oleh Pangeran Souw Kian Bi yang dahulu secara pengecut telah menculik dua orang cucu muridku. Akan tetapi, dengan adanya penyerbuan hari ini, jelas bahwa mereka memusuhi kami dan kami sekarang akan mengerahkan semua tenaga untuk ikut membantu perjuangan mengusir penjajah-penjajah Mongol dari tanah air."

"Bagus, Lian Bu toyu!" Pek Gan Siansu berseru gembira. "Aku sendiri harus menebus kesalahan serta kebodohanku karena tak dapat mengenal Kwee Sin, dan mulai sekarang Kun-lun-pai juga akan menggabungkan diri dengan para pejuang.”

Bukan main girangnya hati Tan Hok mendengar ini. Segera dia menjura dengan hormat lalu menceritakan keadaan perjuangan, sampai di mana kemajuan gerakan barisan rakyat dan bagian mana yang kiranya membutuhkan bantuan dari dua partai persilatan itu…..

********************

Dengan melakukan perjalanan cepat dan tak mengenal lelah Beng San mengejar barisan pemerintah yang telah menawan Kwa Hong, Thio Ki dan Kui Lok. Akan tetapi biar pun dia sudah berhasil menyusul barisan yang sisanya tinggal beberapa puluh orang saja itu, dia tidak melihat adanya tiga orang muda murid Hoa-san-pai yang tertawan. Ia menjadi heran dan juga curiga di samping merasa gelisah sekali kalau mengingat akan nasib mereka, apa lagi kalau dia memikirkan Kwa Hong.

Malam hari itu dia terus berlari cepat, akan tetapi belum juga dia dapat menyusul mereka yang membawa tawanan-tawanan itu. Dia menduga bahwa tentulah Hek-hwa Kui-bo dan muridnya yang melarikan tawanan-tawanan itu, maka dapat demikian cepat larinya.

Untuk melenyapkan keraguannya, dia menangkap seorang serdadu yang sedang berjalan bertiga dengan teman-temannya sambil menggotong seorang teman mereka yang terluka. Serdadu-serdadu itu terheran-heran dan sangat ketakutan ketika dalam keadaan gelap itu berkelebat bayangan hitam dan tahu-tahu salah seorang di antara mereka sudah lenyap tak berbekas dan tak meninggalkan suara apa-apa!

"Am... ampunkan hamba..." Serdadu itu meratap-ratap ketika dia merasa betapa tubuhnya dibawa melompat tinggi dan diletakkan di atas ranting-ranting pohon yang tingginya bukan main dan bergoyang-goyang hampir tak kuat menahan tubuhnya.

Dia mengira bahwa tentu dirinya diculik oleh iblis karena semenjak tadi penculiknya tidak bicara. Muka penculik itu juga tidak kelihatan karena selain gelap, juga serdadu itu sudah tidak mampu menggerakkan kepalanya untuk menengok dan melihat wajah orang yang mengempitnya.

"Hemmm, kau masih ingin hidup? Kau sudah membantu orang-orang berdosa, menculik tiga orang muda dari Hoa-san-pai, sekarang kau hendak kutinggalkan di sini biar jatuh dan mampus! Ha-ha-ha!" Beng San mengerahkan lweekang-nya sehingga suaranya terdengar besar menyeramkan dan menusuk telinga.

"Ampunkan hamba... hamba hanyalah tentara biasa, hanya mentaati perintah.”

"Hayo katakan, siapa yang membawa pergi tiga orang muda itu? Cepat mengaku, kalau tidak akan kucabut nyawamu sedikit demi sedikit!"

Orang itu semakin percaya bahwa yang mengganggunya ini tentu iblis, karena sekarang suara itu terdengar tinggi melengking, jauh bedanya dari tadi, dan terdengar suara tetapi tidak kelihatan orangnya pula.

"Mereka... mereka dibawa oleh Giam kongcu dan rombongannya..."

"Ke mana?"

”Ke markas besar di Tiang-bun-kwi...”

"Di mana letaknya Tiang-bun-kwi?"

Saking takutnya serdadu itu sampai tidak dapat memikirkan bahwa kalau yang bertanya iblis kiranya akan tahu pula ke mana tawanan-tawanan itu dibawa pergi. Akan tetapi dia sudah terlampau takut sehingga tak dapat mempergunakan pikiran sehat pula.

"Di sebelah barat kota raja..." Dia menahan jeritnya karena merasa tubuhnya terjatuh ke bawah. la tidak tahu bahwa Beng San menariknya dan membawanya turun.

Tahu-tahu pada esok harinya dia siuman dari pingsannya dan berada di bawah sebatang pohon besar lagi tinggi. Tentu saja dia makin percaya bahwa semalam dia diganggu setan maka dia lari secepat mungkin dari tempat itu!

Sementara itu, Beng San menjadi girang setelah mendengar bahwa tiga orang tawanan itu dibawa oleh rombongan Giam Kin ke Tiang-bun-kwi. Segera dia melakukan pengejaran di malam hari itu juga.

Perjalanan jauh itu tak membuat dia lemah semangat, dia hanya berhenti mengaso kalau lapar perutnya tidak dapat dipertahankan lagi dan hanya berhenti mengaso sejenak untuk melemaskan urat-urat kakinya. Pada keesokan harinya, menjelang malam tibalah dia di Tiang-bun-kwi.

Beng San kaget dan khawatir sekali ketika melihat keadaan Tiang-bun-kwi. Dusun di luar kota raja ini ternyata merupakan markas besar yang amat kuat, menjadi pusat penjagaan kota raja sebelah barat. Dalam penyelidikannya dia mendengar bahwa di situ berkumpul sedikitnya sepuluh ribu orang serdadu pemerintah yang setiap hari berpatroli melakukan penjagaan untuk mencegah penyerbuan lawan dari sebelah barat. Dan Kwa Hong beserta dua orang suheng-nya dibawa ke markas yang kuat ini!

Betapa pun hebatnya berita yang dia dengar tentang Tiang-bun-kwi, Beng San tidak takut. Untuk menolong ketiga orang itu, terutama sekali Kwa Hong, dia rela berkorban nyawa. Setelah hari menjadi gelap, dia berhasil menyusup ke dalam benteng besar, kemudian bersembunyi di balik wuwungan yang tinggi dan gelap.

Dia mendengar ribut-ribut dan melihat banyak tentara hilir-mudik dan sibuk sekali, seperti terjadi sesuatu yang sangat penting. Lalu disusul suara terompet dan tambur. Lapat-lapat terdengar oleh Beng San suara mereka yang menyatakan bahwa ada tamu agung akan datang mengunjungi benteng itu.

Terdengar kaki-kaki kuda dari luar dan... berdebar jantung Beng San saat melihat bahwa yang datang adalah Tan Beng Kui bersama Pangeran Souw Kian Bi, didahului pengawal membawa bendera kebesaran dan diiringkan pengawal bersenjata lengkap.

Beberapa orang perwira yang dipimpin komandan benteng itu sendiri lantas menyambut kedatangan Souw Kian Bi dan Tan Beng Kui. Melihat dari cara mereka memberi hormat kepada dua orang pendatang ini dapat diketahui bahwa di samping Souw Kian Bi yang kedudukannya sebagai Pangeran Mongol, juga Tan Beng Kui memiliki kedudukan tinggi dan penting.

Sakit hati Beng San melihat kakak kandungnya itu dihormati sebagai seorang pembesar pemerintah Mongol yang dalam pandangan matanya malah sebaliknya, yaitu sebagai antek atau anjing pemerintah penjajah.

Melihat betapa setelah turun dari kuda rombongan itu memasuki sebuah ruangan, dengan hati-hati Beng San lalu melompat ke atas genteng di depan. Setelah mencari-cari dengan teliti dari atas, akhirnya dia tahu bahwa rombongan itu duduk dalam sebuah ruangan yang lebar dan amat terang.

la membongkar genteng dan akhirnya, dapat juga pemuda itu mengintai ke bawah dengan hati-hati. Dilihatnya banyak orang dalam ruangan yang luas itu dan kaget juga dia melihat bahwa Hek-hwa Kui-bo dan Siauw-ong-kwi juga berada di ruangan yang luas itu. Tidak ketinggalan Kim-thouw Thian-li dan Giam Kin yang agaknya sekarang rapat hubungannya dengan ketua Ngo-lian-kauw itu, buktinya mereka duduk berdekatan dan Giam Kin sering kali tersenyum-senyum kepada ketua Ngo-lian-kauw yang masih cantik itu. Beberapa orang perwira duduk pula di situ, sedangkan sekeliling ruangan terjaga oleh tentara yang memegang tombak.

"Saya menghaturkan banyak terima kasih kepada Ji-wi Locianpwe yang telah membantu penumpasan para pemberontak sehingga berhasil dengan terbunuhnya Kwee Sin yang ternyata adalah Si-enghiong pemimpin pemberontak. Jasa Ji-wi dan para saudara tentu akan saya catat untuk diberi pahala," kata Pangeran Souw Kian Bi.

"Sayang sekali, Ji-enghiong yang ternyata adalah nona Lee Giok itu tak dapat tertangkap atau terbunuh," kata Beng Kui mencela.

"Perempuan hina itu diam-diam telah lari tanpa diketahui orang selagi pertempuran hebat terjadi. Kalau tidak demikian, mana dia mampu terlepas dari tanganku?" Hek-hwa Kui-bo mendengus.

Siauw-ong-kwi tertawa bergelak. “Kui-bo, kau sendiri ketika itu repot menghadapi seorang pemuda sastrawan gila, mana kau ada kesempatan menangkap gadis yang diam-diam menjadi pemimpin pemberontak itu? Ha-ha-ha!"

"Iblis tua bangka, jangan sombong kau. Menghadapi seorang pemuda gila, mana aku sudi turun tangan? Sebaliknya, kau hampir tak sempat bernapas saat menahan pedang ketua Kun-lun-pai!" balas Hek-hwa Kui-bo marah.

"Sudahlah, hal yang sudah terjadi tak perlu diributkan pula," kata Tan Beng Kui, suaranya tegas. "Biar pun dia sebagai Ji-enghiong amat merugikan kita, setelah dia lari pergi, apa artinya seorang musuh seperti nona muda itu? Pula, kita sekarang dapat mengerahkan pasukan pergi menangkap orang tuanya. Dengan menahan orang tuanya, apakah nona itu akhirnya tidak akan menyerahkan diri?"

Pangeran Souw Kian Bi menggebrak meja dengan marah, mengagetkan semua orang. "Keparat betul! Siapa kira di kota raja sudah berkeliaran demikian banyaknya mata-mata pemberontak. Tan-ciangkun, aku belum lagi memberi tahukan kepadamu. Setelah timbul dugaanku bahwa Lee Giok adalah Ji-enghiong, aku cepat-cepat menyuruh orang-orangku pergi menangkap orang tua she Lee itu, akan tetapi ternyata rumahnya telah kosong. Ia sekeluarga telah lari minggat dari kota raja pada malam hari itu juga."

Tan Beng Kui mengeluarkan seruan kaget. "Aihhh, kiranya begitu? Celaka betul, kalau begitu tentu ada kaki tangan pemberontak di kota raja yang telah memberi tahukan lebih dahulu kepada mereka.

"Segala usaha kita sudah digagalkan!" Pangeran Souw Kian Bi mengerutkan kening dan suaranya penuh penyesalan. "Penyerbuan ke Hoa-san-pai sudah mengorbankan banyak serdadu dan mengakibatkan permusuhan baru dengan pihak Hoa-san dan Kun-lun. Hal ini benar-benar tidak baik sekali, apa lagi kalau dilihat hasilnya hanya dapat menawan tiga orang anak murid Hoa-san-pai yang tidak berarti."

"Selain tiga orang muda itu, kami masih menawan dua orang anggota Pek-lian-pai," kata komandan yang memimpin pasukan Mongol tadi, nada suaranya mengandung penonjolan jasa.

"Huh! Apa artinya dua orang anjing Pek-lian-pai? Hayo gusur mereka semua ke sini! Adili mereka sekarang juga, aku sendiri hendak memeriksanya!" seru Pangeran Mongol yang mengepalai usaha pembasmian para pemberontak itu dengar suara marah.

Semua orang yang berada di situ, kecuali Hek-hwa Kui-bo dan Siauw-ong-kwi bersama murid-murid mereka yang tetap tinggal tenang-tenang saja, menjadi gugup juga melihat kemarahan pangeran yang berpengaruh ini. Aba-aba dikeluarkan dan beberapa orang serdadu pergi dari situ dengan sigapnya untuk menggusur para tawanan.

Yang mula-mula sekali diseret ke ruangan itu adalah seorang laki-laki setengah tua yang bertubuh kurus kecil dan bermata tajam, yang wajahnya terluka parah. Kedua lengannya dibelenggu di belakang tubuhnya, dan kini dia didorong-dorong masuk oleh empat orang serdadu.

"Berlutut kau!" Seorang serdadu mendorong sambil menekan tengkuknya untuk memaksa dia berlutut di depan Souw Kian Bi dan Tan Beng Kui beserta para perwira yang duduk di situ.

Orang itu terhuyung-huyung hampir roboh, namun dia dapat menguasai dirinya sehingga tidak sampai terjatuh, lalu berdiri tegak menghadapi pangeran itu dan teman-temannya. Matanya terbuka lebar memandang penuh kebencian, tubuhnya yang kecil kurus tegak lurus, sedangkan dadanya terangkat dibusungkan, sedikit pun tidak kelihatan takut-takut apa lagi menghormat.

"Paksa jahanam ini supaya berlutut!" Tan Beng Kui membentak.

Dua orang tentara melangkah maju dan mulailah mereka memukul dan menekan untuk memaksa orang itu berlutut. Akan tetapi semua usaha mereka sia-sia belaka. Sampai orang itu roboh karena tidak tahan lagi akan pukulan-pukulan, tetap saja dia tidak mau berlutut!

"Ha-ha-ha, biarkan dia begitu," Pangeran Souw Kian Bi tertawa kagum. "Kau benar-benar gagah perkasa. Siapakah namamu?"

Sambil menggigit bibir menahan sakit, orang itu yang sudah dapat bangkit dan kini duduk di atas lantai karena tidak kuat berdiri lagi, menjawab dengan suara kasar dan tegas.

"Aku Gouw Bun anggota pimpinan regu Pek-lian-pai. Sekarang aku sudah tertawan, mau bunuh boleh bunuh!"

Kembali Pangeran Souw Kian Bu tertawa. "Orang she Gouw, kau benar-benar gagah dan patut menjadi prajurit. Usiamu paling banyak empat puluh tahun, tentu kau meninggalkan keluargamu. Apakah kau tidak ingin hidup serta mendapat kedudukan mulia dan mewah? Ingat, aku dapat mengampunimu dan malah dapat mengangkatmu menjadi perwira kalau kau suka memberi keterangan tentang dua orang yang kalian sebut sebagai Si-enghiong dan Ji-enghiong."

"Huh, kau kira kami orang-orang Pek-lian-pai dapat disamakan dengan orang-orang Han yang sudah suka menjadi anjing-anjing penjilat pantat penjajah Mongol? Kami adalah para laki-laki sejati. Sudah berani berjuang demi tanah air dan bangsa, masa kami takut mati? Kau tentulah Pangeran Souw Kian Bi, Pangeran Mongol yang sudah tersohor menentang perjuangan kami. Sekarang aku Gouw Bun telah kau tawan, boleh bunuh. Ingat saja kau dan antek-antek serta anjing-anjingmu, bahwa perjuangan rakyat akhirnya pasti menang dan manusia-manusia macam kalian akhirnya tentu akan terbasmi!"

Bukan main marahnya Souw Kian Bi. Wajahnya yang tampan menjadi merah.

"Bawa dia keluar, robek jadi empat dengan empat ekor kuda!" perintahnya kepada para penjaga.

Beng San yang mendengarkan di atas genteng merasa ngeri dan timbul keinginan hatinya untuk menolong. la sudah mendengar tentang cara-cara menghukum yang amat keji dari pangeran ini, di antaranya hukuman robek menjadi empat potong.

Hukuman ini dilakukan dengan cara mengikat dua lengan dan dua kaki orang itu pada empat ekor kuda yang kemudian dicambuk supaya lari ke arah empat jurusan. Dengan cara seperti ini, tubuh orang yang ditarik ke empat jurusan oleh kuda-kuda kuat itu akan robek menjadi empat potong. Bagaimana dia dapat membiarkan hal ini terjadi pada diri seorang patriot yang gagah perkasa?

“Harus kutolong dia,” pikir Beng San dengan hati berdebar.

la maklum bahwa untuk menolong orang itu sama sekali tidak sukar, akan tetapi untuk berhasil meloloskan diri dari tempat berbahaya itu masih amat menyangsikan. Apa lagi kalau orang-orang sakti di dalam itu keluar semua dan menghalanginya.

Tiba-tiba dia melihat cahaya berkelebat dalam ruangan itu. Tubuh Gouw Bun yang tadinya diseret-seret oleh para penjaga itu roboh tak berkutik lagi dengan dada kiri tertembus pedang, sedangkan Tan Beng Kui nampak memasukan lagi pedangnya yang sedikit pun tidak bernoda darah, lalu dia duduk kembali dengan tenang.

Beng San bengong setengah mati. Bukan main hebatnya gerakan kakak kandungnya itu. Mencabut pedang langsung menyerang dan tepat menusuk ke arah jantung, dilakukan demikian cepat dan tepatnya sehingga dia sendiri sampai silau matanya memandang, apa lagi melihat betapa pedang itu sama sekali tidak bernoda darah, benar-benar merupakan gerakan ilmu pedang yang luar biasa lihainya.

"Hebat... hebat... itulah ilmu pedang yang hebat!" terdengar Siauw-ong-kwi memuji.

"Mirip gerak tipu ilmu pedangku! Hem... Tan-ciangkun, siapa yang mengajarkan gerakan itu kepadamu?" kata Hek-hwa Kui-bo.

Diam-diam Beng San juga merasa heran oleh karena dia tadi pun merasa betapa gerakan ilmu pedang tadi mempunyai persamaan, setidaknya dasarnya tidak berbeda dengan ilmu pedangnya, Im-yang Sin-kiam-sut.

"Ah, segala ilmu pedang pungutan dari jalanan, mana ada harganya mendapat perhatian Locianpwe?" jawab Tan Beng Kui merendah kepada Hek-hwa Kui-bo.

Nenek ini masih penasaran dan hendak bertanya lagi, akan tetapi ia didahului Pangeran Souw Kian Bi yang bertanya dengan suara tak senang.

"Tan-ciangkun, kenapa kau membunuhnya? Apa kau tidak suka mendengar dia kujatuhi hukuman tadi?"

Tan Beng Kui tersenyum sambil menjura kepada Souw Kian Bi. "Harap Taijin maafkan kepadaku. Aku tadi tak kuat menahan kemarahan menyaksikan kesombongan sikap setan pemberontak itu, maka telah berani turun tangan sendiri untuk melampiaskan kemarahan. Baru puas hatiku kalau sudah membunuhnya dengan tangan sendiri."

Souw Kian Bi tersenyum juga. "Agaknya luar biasa bencimu kepada orang Pek-lian-pai. Ha-ha-ha..." Lalu kepada para penjaga, pangeran ini memberi perintah supaya membawa pergi mayat itu dan menyeret masuk orang kedua.

Hati Beng San panas dan perih. Ia merasa amat kecewa melihat kenyataan betapa kakak kandungnya memusuhi para pejuang yang dianggapnya pemberontak. Melihat kakak kandungnya sendiri dengar ganas membunuh seorang Pek-lian-pai yang demikian gagah perkasa dan patriotik, sungguh membuat Beng San merasa penasaran, kecewa dan marah. Kalau kau tak dapat mengubah pendirian, agaknya aku sendiri akan memusuhimu, pikirnya sambil memandang kepada kakak kandungnya yang sudah kembali duduk di sebelah Souw Kian Bi dan melihat orang kedua yang sudah diseret masuk.

Orang ini masih muda, belum tiga puluh tahun usianya. Tubuhnya besar dan tampak kuat, mukanya gagah. Dilihat tubuh dan mukanya, benar-benar jauh bedanya dengan orang pertama tadi. Akan tetapi alangkah jauh pula bedanya sikap orang ini dengan yang tadi.

Begitu diseret masuk, orang ini sudah mengeluh panjang pendek dan tanpa diperintah lagi dia sudah menjatuhkan diri berlutut di depan Pangeran Souw Kian Bi. Melihat sikap ini saja sudah muak perut Beng San.

"Siapa namamu dan apa yang ingin kau katakan setelah kau tertawan?" tanya Pangeran Souw Kian Bi, agaknya gembira melihat sikap tawanan ini.

"Hamba Bhe Ti Gi, hamba... hamba mohon pengampunan Taijin... hamba adalah seorang bekas pedagang di Kwi-bin, hamba... hamba hanya ikut-ikutan saja di Pek-lian-pai, bukan apa-apa... hamba mohon ampun..." Orang itu lalu menangis ketakutan.

"Pengecut hina!" Beng San memaki dalam hatinya dan ingin sekali dia menampar muka orang itu.

Akan tetapi Souw Kian Bi tertawa bergelak lalu bertanya, suaranya halus. "Bhe Ti Gi, gampang memberi ampun. Akan tetapi kau harus memberi keterangan tentang dua orang pemimpinmu di kota raja, yaitu Ji-enghiong dan Si-enghiong. Apa saja yang kau ketahui tentang mereka?”

Dengan muka berseri penuh harapan orang itu mengangkat muka dan berkata. "Tentu saja hamba tahu mengenai diri mereka itu, Taijin! Akan tetapi, sesudah hamba memberi keterangan, betulkah hamba akan diampuni dan dibebaskan?"

"Sraaattt!"

Sinar pedang menyilaukan mata ketika Beng Kui mencabut pedangnya dan membentak, "Bedebah kau! Keparat berlidah ular! Tak usah kau memutar-mutar omongan, kalau tahu tentang mereka berdua, lekas kau ceritakan. Soal pengampunan tak perlu disebut-sebut!" Pedangnya tergetar di tangannya membuat tawanan itu menjadi pucat sekali.


Hemmm, Benar-benar dia benci kepada para pejuang, pikir Beng San. Akan tetapi kali ini hatinya tidak panas karena memang dia pun benci kepada Bhe Ti Gi yang berwatak khianat dan pengecut itu.

"Am... ampun..." Bhe Ti Gi gemetar seluruh tubuhnya, "hamba... hamba memang tahu tentang Ji-enghiong dan Si-enghiong... memang semenjak bertahun-tahun mereka sudah terkenal sebagai pemimpin-pemimpin rahasia di kota raja. Banyak mereka memberi tahu kepada kami tentang keadaan pertahanan pasukan pemerintah. Tapi tak seorang pun di antara kami semua yang tahu bahwa Si-enghiong adalah Kwee Sin murid Kun-lun-pai sedangkan Ji-enghiong adalah nona yang bernama Lee Giok itu..."

"Nah, berterus terang lebih baik," kata Tan Beng Kui sambil menyimpan pedangnya lagi. "Katakan sekarang ke mana larinya nona Lee Giok atau Ji-enghiong itu, jawab dan jangan membohong!"

"Hamba... hamba mana tahu...? Hamba hanyalah anggota biasa... hamba tidak tahu dan mohon ampun..."

"Hemmm, tikus macam ini untuk apa dilayani lagi, Taijin? Tak patut diberi ampun, lebih baik dihukum mampus saja agar semua anggota Pek-lian-pai yang mendengar menjadi ketakutan," kata pula Tan Beng Kui dengan suara kejam.

Souw Kian Bi tertawa lalu memberi perintah kepada para penjaga. "Beri hadiah seratus kali rangketan!"

Bhe Ti Gi mengeluh dan memohon ampun, akan tetapi dengan kasar para penjaga lalu memaksa dia menelungkup, kemudian terdengar suara gebukan berkali-kali diseling jerit kesakitan tawanan itu.

"Goblok! Kenapa memukul seperti orang kelaparan tak bertenaga lagi? Pukul yang keras, pada punggungnya!" bentak Tan Beng Kui.

Kasihan juga Bhe Ti Gi. Pukulan tadi saja kalau dilanjutkan sampai seratus kali, tentu dia takkan tahan. Sekarang karena teguran Tan Beng Kui, algojo yang melakukan hukuman ini memperkeras pukulannya sehingga dia menjerit-jerit seperti babi disembelih diiringi suara ketawa para perwira dan serdadu. Baru empat puluh kali saja tulang punggungnya sudah patah-patah dan dia berkelojotan lalu tak berkutik lagi.

Souw Kian Bi memberi perintah supaya mayat kedua ini pun disingkirkan dari situ, lalu dia menyuruh para penjaga dengan suara keras.

"Bawa masuk tiga orang murid Hoa-san-pai!"

Berdebar jantung Beng San mendengar perintah ini. Tadi melihat penyiksaan terhadap diri Bhe Ti Gi, timbul juga perasaan kasihan di hatinya, namun ditahan-tahankannya karena dia maklum bahwa menolong Bhe Ti Gi berarti mendatangkan bahaya besar bagi dirinya sendiri. Sedangkan tujuan utama kedatangannya ke tempat itu adalah untuk menolong murid-murid Hoa-san-pai terutama Kwa Hong, maka dia menahan sabar memalingkan muka tidak mau memandang penyiksaan itu.

Kini mendengar bahwa murid-murid Hoa-san-pai hendak dibawa masuk, dia memandang penuh perhatian dan bersiap-siap menolong. la telah memperhitungkan bahwa kiranya di tempat seperti ini tak mungkin baginya untuk menolong tiga orang itu sekaligus, maka dia mengambil keputusan untuk menolong Kwa Hong seorang lebih dahulu, baru kemudian merencanakan pertolongan Thio Ki dan Kui Lok.

Tiga orang muda itu, Kwa Hong, Thio Ki dan Kui Lok, digiring masuk ruangan. Seperti juga yang lain-lain, mereka dibelenggu kedua lengan mereka ke belakang. Akan tetapi ketiga orang ini bersikap gagah, melangkah maju dengan kepala dikedikkan dan dada dibusungkan sedangkan sepasang mata mereka memandang tajam ke depan, penuh sikap menantang.

Diam-diam Beng San kagum sekali melihat sikap tiga orang murid Hoa-san-pai ini. Dan jantungnya berdebar ketika dia melihat wajah Kwa Hong yang cantik jelita itu agak pucat, sepasang mata yang biasanya berseri dan bening itu kini berkilat-kilat penuh kemarahan. Kwa Hong, kau gagah dan cantik sekali, bisik hatinya dan keinginannya untuk menolong gadis ini makin menggelora, kalau perlu akan dia pertaruhkan nyawanya.

Agaknya karena maklum bahwa tiga orang muda ini bukanlah tergolong pemberontak dan terdiri dari orang-orang gagah perkasa, para penjaga tidak berlaku kasar seperti terhadap yang lain tadi. Mereka bertiga berdiri tegak di depan Souw Kian Bi dengan sikap angkuh dan berani.

"Ha-ha-ha, murid-murid Hoa-san-pai benar-benar sombong! Hemmm, hendak kulihat nanti kalau kalian sudah menggeletak tak berkepala lagi, apakah kalian masih dapat bersikap sombong seperti sekarang ini," kata Pangeran Souw Kian Bi dengan suara mengejek untuk menyembunyikan perasaannya yang tersinggung oleh sikap tiga orang muda ini. "Dan hendak kulihat juga apakah tua bangka Lian Bu Tojin yang melanggar janjinya itu dapat menolong kalian. Ha-ha-ha!"

"Manusia berbatin rendah!" terdengar suara Kwa Hong memaki, suaranya nyaring sekali. "Siapakah yang takut akan mati? Anak murid Hoa-san-pai tidak takut mati dan kalau kau si hina hendak membunuh kami, silakan, silakan. Tak perlu kau menyebut-nyebut nama besar guru kami. Adalah kau yang berbuat hina, dulu kau telah menculik aku dan suci-ku dan kau gunakan itu untuk memaksa suhu berjanji untuk tidak membantu kaum pejuang. Akan tetapi, kiranya kau yang melanggar janji. Kau datang membawa anjing-anjingmu menyerbu Hoa-san. Hemmm, mati sebagai orang gagah seribu kali lebih baik dari pada hidup sebagai manusia rendah macam engkau!”

Hampir saja Beng San bertepuk tangan memuji ketika mendengar ucapan dan melihat sikap Kwa Hong yang amat gagah perkasa ini. Souw Kian Bi memukul meja di depannya sehingga terdengar suara keras.

"Perempuan liar. Di sini kau masih hendak bersikap gagah-gagahan? Hemmm, hukuman mati masih terlampau ringan bagimu setelah kau berani mengeluarkan ucapan kurang ajar tadi. Lihat nanti, aku akan membikin kau menjadi lebih hina dari pada yang paling hina. Aku akan memberikan kau sebagai barang permainan sepasukan tentaraku yang paling rendah pangkatnya. Ha-ha-ha-ha!" Suara ketawa Pangeran Souw Kian Bi menyeramkan sekali.

Beng San melihat betapa wajah Kwa Hong menjadi semakin pucat dan tubuh gadis itu menggigil, akan tetapi tetap saja gadis itu rmemandang kepada pangeran ini dengan mata mendelik. Beng San bergidik ketika mendengar ucapan pangeran itu dan melihat betapa serdadu-serdadu yang berdiri di barisan belakang lantas tertawa-tawa dan saling berbisik dengan sikap kurang ajar sekali. Juga dia melihat Kui Lok dan Thio Ki menjadi pucat.

Thio Ki menoleh ke arah Kwa Hong, lalu berkata. "Sumoi, berkatalah sedikit halus, ingat bahwa kita telah berada di tangan musuh. Biarlah aku menyerahkan nyawaku untuk keselamatanmu." Kemudian pemuda ini berkata kepada Souw Kian Bi, "Taijin, kami tiga orang murid Hoa-san-pai tidak gentar menghadapi hukuman mati. Akan tetapi, demi peri kemanusiaan, jangan menjatuhkan hukuman yang demikian hina dan rendah kepada sumoi-ku. Kalian boleh menghukum aku, boleh mencincang hancur tubuhku, akan tetapi, bebaskanlah sumoi-ku ini. Biarlah badanku menjadi penggantinya."

Kui Lok cepat berkata, "Tidak! Akulah yang bersedia menggantikan hukuman Hong-moi. Taijin, aku cinta pada Hong-moi, jangan ganggu dia, biarlah kau jatuhkan hukuman yang sehebat-hebatnya kepada diriku saja asal kau bebaskan Hong-moi!"

"Lok-te, tutup mulutmu! Hong-moi adalah tunanganku, calon isteriku. Kwa Supek sudah merencanakan untuk menjodohkan dia dengan aku. Maka sebagai tunangannya, akulah yang patut membelanya dengan pengorbanan jiwa.”

"Siapa bilang bertunangan? Hal itu belum resmi dan Hong-moi sendiri pun belum pernah menerimanya. Dia tidak mencinta padamu, dan aku... cintaku kepadanya lebih besar dan suci!"

Beng San menggeleng-geleng kepalanya. Tolol mereka berdua, pikirnya. Masa di dalam keadaan seperti itu mereka masih memperebutkan cinta kasih Kwa Hong?

Juga Kwa Hong menjadi gemas sekali. "Ji-wi Suheng mengapa meributkan urusan itu? Apa pun hukumannya, akhirnya orang mesti mati. Siapa takut mati?"

Sementara itu, kelihatan Tan Beng Kui berbisik-bisik kepada Pangeran Souw Kian Bi dan pangeran itu lalu mengangguk-angguk dan tersenyum seperti iblis. Diam-diam Beng San mendongkol sekali.

Celaka, pikirnya. Kakak kandungnya itu ternyata jahat dan berbisa melebihi ular, tentu dia sudah mengajukan usul yang amat keji untuk menghukum tiga orang murid Hoa-san-pai ini. Akan tetapi dia merasa belum saatnya untuk turun tangan, dia masih hendak melihat perkembangannya terlebih jauh.

Souw Kian Bi sudah tertawa lagi, suara ketawanya licik, lalu dia pun berkata, "Seorang di antara kalian berani dan rela berkorban?” tanyanya jelas ditujukan kepada Thio Ki dan Kui Lok.

"Aku rela berkorban nyawa untuk sumoi!" kata Thio Ki.

"Tidak, lebih baik aku saja. Aku akan mati seribu kali untuk menolong Hong-moi yang tercinta," kata Kui Lok.

Pangeran itu tertawa lagi. "Bagus, kalian ini orang-orang muda yang mabuk cinta. Jika seorang di antara kalian mati, yang lain akan bebas dan pergi bersama nona ini menjadi suaminya. Nah, sekali lagi, siapa di antara kalian mau mati dan mermberikan nona ini kepada yang lain?"

Wajah dua orang saudara itu seketika menjadi pucat, mulut mereka terbuka tapi tak ada suara keluar. Sampai lama mereka diam saja dan hanya suara ketawa Souw Kian Bi dan Tan Beng Kui yang terdengar. Diam-diam Beng San gemas sekali kepada dua orang muda murid Hoa-san-pai itu. Benar-benar tolol dan mau saja dijadikan bahan kelakar.

"Sekarang keputusanku begini," berkata pula Souw Kian Bi setelah berkedip main mata kepada Tan Beng Kui. "Kalian berdua boleh bertanding dan nona ini akan aku berikan kepada pemenang pertandingan."

Setelah berkata demikian, pangeran ini mencabut pedangnya dan dengan dua kali tebas terbebaslah belenggu yang mengikat tangan kedua orang muda itu.

"Ambilkan dua batang pedang," katanya lagi.

Dua orang penjaga maju menyerahkan dua batang pedang kepada Thio Ki dan Kui Lok. Seperti orang dalam mimpi tanpa disadari lagi dua orang muda itu menerima pedang di tangan, sinar mata mereka penuh dendam dan nafsu membunuh!

"Thio-suheng dan Kui-suheng, apakah kalian telah gila?" teriak Kwa Hong dengan gemas sekali. "Sesudah bersenjata tidak segera menghancurkan musuh, malah saling gempur sendiri. Mana kegagahan kalian?"

Dua orang muda itu nampak ragu-ragu mendengar ucapan gadis yang mereka cinta ini. Akan tetapi mereka jeri untuk menyerang musuh yang begitu banyaknya. Pula, mereka dapat berbuat apakah dengan adanya lawan yang selain banyak juga sakti-sakti itu? Setelah Pangeran Mongol ini sekarang menjanjikan kebebasan dan diri Kwa Hong kepada pemenang, bukankah ini jalan satu-satunya untuk dapat bebas bagi mereka, setidak-tidaknya bagi dua orang di antara mereka?

"Sumoi, urusan dirimu di antara kami memang tidak pernah akan beres tanpa adanya keputusan terakhir. Salah seorang di antara kami harus mati lebih dulu agar yang hidup dapat memperoleh dirimu," kata Thio Ki dengan suara tegas. "Kui Lok, kau mulailah!"

Kui Lok meragu sejenak, akan tetapi segera dia memandang kepada Kwa Hong dan berkata, "Adik Hong, kalau aku yang kalah dan mati, biarlah kau hidup bahagia dengan Suheng."

Setelah berkata demikian pedangnya menyambar. Dia sudah mulai membuka serangan. Thio Ki cepat menangkis dan segera dua orang pemuda murid Hoa-san-pai ini sudah saling serang dengan hebat dan seru.

Dengan air mata berlinang Kwa Hong melihat pertempuran ini. la merasa amat menyesal dan kecewa akan kebodohan dua orang suheng-nya itu yang begitu tolol sehingga mau dipermainkan oleh Pangeran Mongol, kecewa melihat suheng-suheng-nya itu di dalam tahanan musuh masih meributkan soal cinta dan masih saling memperebutkan dirinya.

Dahulu, ketika masih berada di Hoa-san, ia kadang-kadang merasa bangga dan senang melihat dua orang pemuda ini bersaing untuk merebut hatinya, akan tetapi sekarang ia merasa malu sekali akan sikap mereka. la anggap mereka itu berwatak rendah.

Air matanya makin deras mengalir keluar dan terbayanglah wajah Beng San. Alangkah jauh bedanya dua orang suheng-nya ini dengan Beng San. Kalau saja ia tertawan musuh bersama Beng San, kiranya takkan begini jadinya. Takkan begini sikap Beng San yang tak pernah meninggalkan lubuk hatinya. Teringat akan Beng San air matanya makin deras mengucur.

Alangkah rindu hatinya untuk bertemu sekali lagi dengan pemuda itu sebelum ia tewas di tangan musuh, sebentar saja untuk menyatakan perasaan cinta kasihnya.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar