Raja Pedang Chapter 27

Kho Ping Hoo
-------------------------------
----------------------------
Kaki gunung sebelah utara itu sangat indah pemandangannya. Penuh pohon berkembang dan rumput menghijau, juga di situ mengalir sebuah sungai kecil yang amat jernih airnya, penuh batu-batu hitam yang beraneka macam bentuknya. Kalau di pandang dari lereng, tampak betapa indah dan suburnya tanah kaki gunung ini, menggirangkan hati Beng San yang menuruni lereng dengan cepat sekali.

Akan tetapi, setelah tiba di kaki gunung, dia merasa bulu tengkuknya berdiri. Keadaannya memang indah, akan tetapi amat menyeramkan. Begitu sunyi. Sunyi melengang melebihi sunyinya kuburan.

Daun-daun pohon bergoyang-goyang tertiup angin, kembang-kembang memenuhi ranting, rumput-rumput hijau yang tidak pernah terinjak kaki nampak subur menggemuk, suara air gemercik seperti dendang lagu yang tak kunjung henti. Akan tetapi, kesunyian itu adalah kesunyian yang mencekam dan amat menyeramkan.

Tak ada seekor pun burung kelihatan terbang, tiada seekor pun binatang kelihatan berlari, bahkan tidak ada seekor pun jengkerik berbunyi. Tempat yang indah, namun seakan-akan tempat yang mati, tempat yang terkutuk di mana hawa maut selalu mengancam semua yang hidup!

Hanya sebentar saja keseraman mencekam hati Beng San. Segera dia dapat menguasai dirinya dan melangkah maju dengan tenang dan cepat. Dari atas tadi dia sudah melihat ada sebuah pondok kayu di antara pohon-pohon dekat sungai dan sekarang dia tujukan langkahnya ke arah pondok itu. Ia berjalan, makin dekat dengan pondok makin banyaklah dia mendapatkan bukti yang menyebabkan keadaan daerah itu demikian sunyi.

Di sepanjang jalan, dan banyak yang sudah tertutup oleh rumput-rumput hijau, ia melihat banyak sekali tulang-tulang berserakan, kerangka-kerangka binatang besar mau pun kecil seakan-akan semua penghuni hutan itu telah tewas karena bencana yang maha dahsyat. Makin dekat dengan pondok, dia mulai melihat kerangka-kerangka manusia yang sudah kering, sudah rusak dan ada pula yang masih baru. Beng San menekan debar jantungnya dan melangkah terus sampai ke depan pintu pondok.

Dilihatnya asap keluar dari jendela pondok itu dan tercium bau yang amat aneh menusuk hidungnya. Bau yang luar biasa, disebut wangi namun ada bau tak enaknya, seperti bau obat-obatan yang sedang dimasak.

"Teecu Tan Beng San mohon untuk bertemu dengan Locianpwe keturunan Yok-ong yang budiman.” Beng San berseru tanpa mengerahkan khikang-nya, dengan suara biasa saja.

Terdengar suara cekikikan di dalam pondok itu. "Hi-hi-hik! Tidak ada keturunan Yok-ong (Raja Obat) yang budiman di sini. Yang ada Setan Obat, dan sama sekali tidak budiman! Hi-hi-hik!"

Suara itu menyeramkan sekali terdengar di tempat sesunyi itu.

"Teecu mohon pertolongan locianpwe Setan Obat untuk menolong nyawa sahabat teecu yang terluka dan terkena racun."

Kembali terdengar suara ketawa seperti tadi, disusul kata-kata yang parau, "Tidak ada Setan Obat penolong nyawa di sini, yang ada Setan Obat Pencabut Nyawa (Toat-beng Yokmo)! Hi-hi-hik!"

Mendongkol hati Beng San, juga dia merasa gelisah. Terang bahwa orang di dalam itu adalah seorang yang mempunyai sifat suka mempermainkan nyawa orang pula.

"Kalau begitu, biarlah teecu mohon bertemu dengan Toat-beng Yok-mo untuk bicara."

Pintu pondok yang tertutup tiba-tiba terbuka mengeluarkan suara berderit, dan seorang kakek bongkok berkepala botak keluar sambil membawa sebuah panci yang mengebulkan uap. Panci itu dari besi dan di bawahnya sampai merah membara, akan tetapi kakek itu memegang panci begitu saja, padahal dapat dibayangkan betapa panasnya. Dari sini saja sudah dapat diketahui betapa lihainya kakek buruk rupa ini.

Matanya yang besar sebelah, sebelah lagi sipit seperti meram, memandang kepada Beng San yang masih terus berdiri di depan pintu sambil memondong tubuh Bun Lim Kwi yang pingsan.


"Hi-hi-hi, orang muda nekat. Sudah tahu aku Setan Obat Pencabut Nyawa, masih nekat hendak bertemu. Apakah kau mau menyerahkan jantungmu dan jantung temanmu yang sudah hampir mati karena racun itu untuk kutambahkan ke dalam panci ini?"

Dia menggerak-gerakkan panci sehingga isinya berlompatan ke atas. Beng San bergidik ketika melihat isi panci itu adalah potongan-potongan daging berwarna merah kebiruan. Benarkah itu jantung-jantung manusia?

"Toat-beng Yok-mo locianpwe, aku datang ke sini untuk mohon pertolonganmu mengobati temanku yang sakit ini," kata Beng San.

"Goblok! Siapa mau mengobati? Aku hendak mengambil jantungmu dan jantung temanmu itu. Aku mau lihat siapa berani menghalangi Setan Obat Pencabut Nyawa!" kata orang itu sambil tertawa-tawa.

Beng San memutar otaknya. Jelas sudah baginya bahwa orang ini apa bila bukan orang yang luar biasa anehnya, tentulah seorang yang miring otaknya. Kalau melihat sikap dan mendengar kata-katanya, tentu orang ini sombong bukan main dan selalu mengandalkan kepandaiannya sendiri. Maka dia lalu mengambil keputusan untuk memanaskan hatinya.

"Hemmm, kiranya aku salah alamat. Ternyata kau bukanlah Yok-mo seperti yang sudah didengung-dengungkan orang kang-ouw. Kau hanyalah tukang membunuh, sama sekali tak becus mengobati orang. Janganlah kau pura-pura menggunakan dan memalsu nama keturunan Yok-ong. Tak tahu malu.”

Mata kanan yang lebar itu makin terbelalak sedangkan yang kiri semakin sipit. Mulutnya menyeringai memperlihatkan gigi yang tinggal tiga buah atas bawah itu.

"Orang muda, aku memang keturunan Yok-ong dan akulah Toat-beng Yok-mo. Mengobati orang ini saja apa susahnya? Dia terkena racun kelabang yang digunakan orang di ujung senjata rahasia. Tentu dia sudah terluka di punggungnya. Kemudian..." la mengarahkan pandangnya kepada muka Bun Lim Kwi, “kemudian masih ditambah lagi dengan racun Ular Merah, hebat sekali, tidak saja racun itu memasuki perutnya, juga memasuki seluruh tubuh melalui luka. Hihh, tiga hari lagi dia bakal mampus!"

Sampai ternganga mulut Beng San mendengarkan kata-kata yang cocok ini. Dia mulai percaya bahwa orang di depannya ini benar-benar seorang ahli dalam pengobatan. Sekali melihat saja dia sudah dapat membuka rahasia penyakit yang diderita Lim Kwi. Tetapi pemuda yang cerdik ini sengaja memperlihatkan senyum mengejek.

"Ahh, kau hanya ngawur saja. Semua orang juga bisa bicara sesukanya tentang penyakit orang. Tetapi aku tetap tidak percaya kalau kau dapat mengobati penyakitnya. Apa lagi penyakit karena keracunan begini hebat, sedangkan orang masuk angin biasa saja aku sangsi apakah kau bisa mengobati sampai sembuh!"

Kakek bongkok ini membanting-banting kaki, marah sekali. "Anak setan! Jangankan baru sakit macam ini, orang mati pun aku bisa bikin hidup lagi!"

"Uhh, siapa percaya omongan ini? Jika kau bisa buktikan, bisa menyembuhkan temanku ini, aku mau berlutut padamu dan mengakui bahwa kau benar-benar keturunan Yok-ong yang pandai seperti dewa. Tetapi kalau kau tidak becus, kau tidak lain hanyalah penjual lagak yang kosong melompong belaka.”

"Bawa dia masuk, bawa dia masuk... buka matamu dan lihat bagaimana dalam waktu singkat Toat-beng Yok-mo menyembuhkannya sama sekali!" kakek itu membentak sambil terbongkok-bongkok masuk ke dalam pondoknya membawa panci itu.

Diam-diam Beng San tersenyum girang. Akalnya sudah berhasil. Segera dia melangkah masuk ke dalam pondok tanpa ragu-ragu lagi. Pondok itu ternyata cukup lega dan terang karena bagian atapnya dapat dibuka sehingga cahaya matahari dapat menyinar masuk. Akan tetapi kotor sekali, penuh dengan tulang belulang, daun kering, akar-akaran yang bertumpuk di meja, di lantai dan di semua tempat. Di pojok terdapat sebuah dipan bambu.

"Letakkan di sini!"

Beng San menurunkan tubuh Lim Kwi di atas dipan itu dan berdiri agak menjauhi untuk memberi kesempatan kepada orang aneh itu memeriksa.

Akan tetapi, kakek itu sama sekali tidak melakukan pemeriksaan. Dia bahkan langsung membuka pakaian atas pemuda itu dengan cara kasar, yakni merobek baju yang dipakai Lim Kwi begitu saja seperti orang merobek kertas tipis. Dengan kasar juga kakek ini lalu membalikkan tubuh Lim Kwi sehingga tubuh pemuda itu menelungkup.

Sebentar dia memeriksa luka-luka di punggung, kemudian mengeluarkan satu bungkusan dari saku bajunya yang lebar. Ternyata itu adalah bungkusan jarum-jarum panjang terbuat dari emas dan perak. Setelah memandang sejenak penuh perhatian, kakek ini kemudian menusuk-nusukkan tujuh belas batang jarum di leher, kedua pundak sepanjang punggung dan di antara tulang iga.

Beng San memandang penuh perhatian. Dia kagum bukan main melihat cara kakek itu menusuk-nusukkan jarum yang demikian cepat, bertenaga dan tepat mengenai jalan-jalan darah tertentu.

Kakek bongkok itu melangkah tiga tindak ke belakang, kemudian dari situ dia melompat ke depan dan menggunakan jari telunjuknya menotok belakang kepala Lim Kwi. Dengan gerakan cepat sekali kakek itu melangkah mundur lagi, melompat menotok lagi lain jalan darah berkali-kali. Makin lama makin cepat dia bergerak sehingga dalam waktu beberapa menit saja dia sudah menotok hampir semua jalan darah yang tidak tertusuk jarum-jarum emas dan perak di bagian belakang tubuh Lim Kwi.

Sesudah melakukan totokan-totokan selama setengah jam, dia terengah-engah serta dari ubun-ubun kepalanya mengepul uap putih. Dengan lemas dia lalu mencabuti jarum-jarum itu, lalu membalikkan tubuh Lim Kwi hingga telentang.

Beng San berdecak kagum. Sekarang muka Lim Kwi sudah mulai merah, napasnya tidak lemah seperti tadi.

Setelah kakek bongkok itu beristirahat sejenak, kembali ia menggunakan jarum-jarumnya menusuk-nusuk dan menancap-nancapkan seperti tadi di tujuh belas tempat, akan tetapi kini di bagian depan badan Lim Kwi. Seperti tadi pula, dia menotok terus-menerus dengan gerakan cepat.

Setelah selesai dan mencabuti semua jarum, kakek itu terengah-engah menghadapi Beng San, lalu berkata parau, "Hi-hi-hik, kau lihat? Penyakitnya sudah sembuh, sebentar lagi semua racun di badannya akan keluar!"

Beng San masih belum percaya, akan tetapi tiba-tiba terdengar Lim Kwi mengeluh dan muntah-muntah. Yang dimuntahkan hanya cairan racun dan seluruh tubuhnya seolah-olah mengebul panas. Anehnya, keringat yang keluar dari tubuhnya berwarna agak biru, itulah racun yang keluar bersama keringatnya!

Dengan tenang kakek itu lalu menjejalkan tiga buah butir pil hijau ke dalam mulut Lim Kwi, mendorongnya dengan jari telunjuknya sehingga tiga butir pil itu terus memasuki perut. Tidak sampai satu jam kemudian, Lim Kwi sudah tenang, mukanya merah dan membuka matanya! la nampak heran sekali, akan tetapi ketika hendak bangun duduk, dia pusing dan meramkan mata.

"Saudara Bun Lim Kwi, kau rebahlah saja dulu. Baru saja kau disembuhkan oleh tabib dewa Toat-beng Yok-mo keturunan Yok-ong!" seru Beng San girang bukan main. Akan tetapi kegirangannya lenyap seketika terganti kekagetan ketika melihat kakek itu sudah memegang sebatang pedang yang tajam dan runcing sambil tertawa-tawa.

"Ehh, ehh... kau mau apa dengan pedang itu?" Beng San bertanya dan merasa seram.

"Hi-hi-hik! Toat-beng Yok-mo namaku. Setan Obat Pencabut Nyawa Aku mengobati untuk bertanding dengan penyakit, bukannya untuk menyembuhkan orang. Siapa yang sembuh oleh obatku, harus kucabut nyawanya dengan pedangku. Tadi aku mengobati, sekarang aku mencabut nyawa, hi-hi-hik, nyawamu dan nyawa dia."

"Kakek yang baik, mengapa begitu? Mengobati orang sakit artinya memberi pertolongan dan hal ini sudah menjadi kewajiban setiap manusia yang hidup di dunia ini, harus saling tolong-menolong! Ada pun urusan mencabut nyawa, kurasa ini bukanlah urusan manusia. Hanya Thian yang menitahkan Giam-lo-ong (Raja Maut) yang mempunyai hak mencabut nyawa manusia. Kau sudah menolong temanku dari bahaya maut, kenapa malah hendak membunuhnya sekarang?"

"Hi-hi-hik, belum pernah ada orang yang kusembuhkan lalu kubiarkan tetap hidup. Tidak terkecuali dia ini."

"Janganlah, Locianpwe. Biarlah aku yang menjadi penggantinya. Jangan kau bunuh dia."

"Hi-hi-hik! Aneh, aneh... tapi kebetulan. Aku membutuhkan jantung orang, dan jantung dia ini kurang bersih setelah tadi terserang racun. Jantungmu lebih bersih dan baik, bagus! Boleh diganti, boleh ditukar. Dia boleh hidup, kau penggantinya dan jantungmu harus kau berikan kepadaku. Eh, orang muda, selama hidupku belum pernah aku mendengar orang mau menukar diri mewakili orang mati. Apakah betul-betul kau mau menggantikan orang ini untuk kuambil jantungnya?" Ujung pedang itu sudah menodong dada Beng San.

Beng San tenang-tenang saja. Ia tersenyum dan berkata, "Ucapan seorang laki-laki tidak akan ditarik kembali, Locianpwe. Aku sudah bersusah payah berusaha menolong dia ini, maka tak akan kulakukan setengah-setengah. Kalau memang kau membutuhkan jantung, biarlah aku mewakilinya. Kau harus berjanji akan melepaskan dan tidak lagi mengganggu orang ini dan kau boleh mengambil jantungku, yaitu kalau kau bisa."

Ucapan terakhir dari Beng San ini rupa-rupanya tidak diperhatikan oleh kakek yang sudah terheran-heran dan juga kegirangan itu. "Baik, boleh... aku berjanji tak akan mengganggu orang ini. Nah, bersiaplah kau menghadiahkan jantungmu yang segar kepadaku!"

"Kau ambillah sendiri kalau dapat!" jawab Beng San, dan seluruh urat syaraf di tubuhnya sudah menegang, siap untuk melawan kakek ini dengan seluruh tenaga dan kemampuan yang dimilikinya.

"Hi-hi-hik, orang muda yang aneh, yang sinting..."

Pedangnya diayun-ayun ke atas seperti orang menakut-nakuti. Mendadak Bun Lim Kwi meloncat dari dipan itu dan menyerang kakek bongkok dengan pukulan-pukulan hebat.

"Siluman tua! Tak boleh kau membunuh penolongku!"

Dari gerakan-gerakannya, ternyata pemuda Kun-lun-pai ini sudah sembuh sama sekali. Serangannya hebat bukan main dan terpaksa kakek bongkok itu meloncat mundur sambil terkekeh-kekeh tertawa.

"Hi-hi-hik, bukankah manjur sekali pengobatanku?"

"Saudara Bun, jangan serang dia. Dia adalah penolongmu, tadi telah mengobatimu," kata Beng San mencegah.

"Aku tahu, tapi dia siluman jahat, hendak membunuhmu. Tidak bisa aku berpeluk tangan saja!"

"Hi-hi-hik, anak Kun-lun-pai, hi-hi-hik. Biarlah aku mencoba sampai di mana kehebatan latihan dari Pek Gan Siansu si mata putih!" Sambil berkata begitu kakek ini menyimpan pedangnya dan melompat keluar. "Marilah, mari sini orang muda Kun-lun-pai, boleh kau coba-coba, hi-hi-hik!"

Bun Lim Kwi yang tadi telah sadar dan melihat betapa kakek ini hendak membunuh Beng San, segera turun tangan menolong. Sekarang dia melompat keluar untuk melayani kakek aneh itu. Beng San berdebar dan ikut lari keluar.

"Siluman jahat, aku tidak rela diwakili oleh saudara ini. Jika kau hendak membunuh dan mengambil jantungku, kau cobalah. Mati dalam pertempuran bukanlah apa-apa dan kau baru gagah kalau membunuh seorang yang dapat melawanmu. Saudara ini tidak pandai silat, bagaimana kau punya muka untuk membunuhnya begitu saja?"

"Hi-hi-hik, orang muda. Kau seperti orok kemarin sore yang masih merah berani mencoba aku? Hi-hi-hik, kau sambutlah ini."

Biar pun bongkok dan gerak-geriknya seperti orang tua lemah, akan tetapi tiba-tiba kakek itu sudah mengirim serangan yang luar biasa cepatnya. Lim Kwi kaget sekali, akan tetapi sebagai murid Kun-lun yang sudah matang kepandaiannya, dia cepat mengelak kemudian membalas dengan serangan yang tak kalah dahsyatnya.

Beng San memandang cemas. la maklum bahwa biar pun Lim Kwi cukup pandai, namun kiranya tak akan mungkin dapat menangkan kakek itu yang ternyata adalah seorang ahli Iweekeh dan ahli totok yang lihai sekali. la sendiri merasa sangsi dan ragu-ragu apakah dia harus membantu Lim Kwi ataukah tidak.

Bingung dia menghadapi peristiwa ini dan tidak dapat cepat-cepat mengambil keputusan bagaimanakah dia harus bertindak. Dia memang harus menolong Lim Kwi seperti pernah dulu dipesankan oleh mendiang ayah pemuda itu, akan tetapi dengan melawan kakek bongkok ini, bukankah hal itu merupakan suatu perbuatan yang tidak bijaksana?

Kakek itu betapa pun juga sudah menolong Lim Kwi, tanpa ragu lagi dia mau mengakui bahwa kakek itu telah merenggut nyawa Lim Kwi dari cengkeraman maut. Kalau sekarang mereka melawan kakek itu, bukankah itu berarti seorang rendah budi yang tak ingat akan budi kebaikan orang?

Tapi sebaliknya kalau dipikirkan lagi, kakek itu hendak membunuhnya dan Lim Kwi justru melawan untuk menolongnya. Karena itu, apakah sekarang dia harus diam saja melihat Lim Kwi terdesak? Benar-benar Beng San menjadi bingung sekali. Pemuda ini mengambil keputusan untuk menolong Lim Kwi apa bila keselamatan pemuda itu terancam.

Bun Lim Kwi benar-benar telah bertekad bulat untuk membela Beng San dengan taruhan nyawanya. Tadi ketika dia sadar dari pingsan, dia mendengar semua pembelaan Beng San kepadanya dan dia pun segera dapat menarik kesimpulan bahwa setelah dia roboh dalam pertandingan dengan Thio Eng di dalam hutan, tentu telah ditolong oleh Beng San dan dibawa ke rumah tabib setan ini.

Dia merasa amat terharu mendengar betapa Beng San rela mewakilinya untuk mati di tangan kakek setan itu dan diam-diam Lim Kwi pun kagum akan pandangan gurunya yang sangat tepat tentang diri Beng San. Memang pemuda luar biasa. Biar pun tidak memiliki kepandaian silat, namun nyalinya besar dan budinya luhur.

Maka sekarang dia hendak membalas budi itu, kalau perlu dia rela berkorban, mati dalam tangan kakek bongkok untuk menolong Beng San. Lim Kwi maklum bahwa lawannya ini tangguh bukan main, memiliki tenaga Iweekang yang luar biasa besarnya sedangkan ilmu silatnya juga amat aneh.

Pertempuran berlangsung makin hebat. Kakek itu selalu tertawa-tawa dan seakan-akan mempermainkan Lim Kwi. Dengan rasa penasaran pemuda Kun-lun ini lalu mengeluarkan pukulan-pukulan Pek-lek-jiu (Tangan Kilat) yang dia warisi dari gurunya. Kedua tangannya menyambar-nyambar, tulangnya berkerotokan dan angin pukulannya terasa panas!

"Hi-hi-hik! Inikah Pek-Iek-ciang-hoat dari Kun-lun-pai?" Kakek itu tertawa mengejek sambil memapaki pukulan kedua tangan Lim Kwi dengan tangan terbuka.

Dua pasang tangan bertemu dan saling tempel, tak dapat dilepaskan lagi. Dua orang itu, seorang pemuda dan seorang kakek bongkok, kini mengadu tenaga Iweekang.

Sebentar saja Lim Kwi merasa betapa telapak tangannya tergetar dan makin lama makin dingin. Tenaga Pek-lek Ciang-hoat yang dia miliki terasa makin lemah dan hampir buyar. Keadaannya sangat berbahaya karena sebagai seorang ahli, pemuda ini maklum bahwa setelah tenaganya habis, dia akan terluka hebat di dalam tubuhnya, luka yang mungkin akan merenggut nyawanya. Akan tetap dia mengerahkan seluruh tenaganya dan berlaku nekat.

"Yok-mo, jangan bunuh dia...!"

Beng San menghampiri dua orang yang sedang adu tenaga secara mati-matian itu, lalu menepuk pundak Lim Kwi dua kali sambil berkata, "Saudara Bun, dia penolongmu, jangan serang dia!"

Meski hanya merupakan dua tepukan perlahan, akan tetapi sebenarnya Beng San sudah mengerahkan hawa tenaga Yang dari tubuhnya. Tenaga yang maha dahsyat ini tersalur melalui pundak Lim Kwi, terus melaju ke arah kedua lengannya. Akibatnya hebat sekali. Dua pasang lengan yang saling tempel itu langsung terlepas seperti direnggutkan tenaga yang tak tampak.

Lim Kwi tak dapat mempertahankan diri dan roboh terguling di atas lantai, pingsan! Tadi dia mengerahkan tenaga Iweekang seluruhnya dan setelah secara mendadak tenaganya tidak mendapatkan sasaran, dia kehabisan tenaga dan pingsan. Ada pun kakek bongkok itu terdorong mundur terhuyung-huyung.

"Ayaaa...!" seru kakek itu terheran-heran dan kaget bukan main.

Pada saat itu terdengar bunyi lengking tinggi dan tiba-tiba berkelebat bayangan putih yang menyambar ke arah Toat-beng Yok-mo! Bayangan itu ternyata adalah bayangan seorang gadis remaja berpakaian serba putih yang menggunakan sebatang pedang mengkilap dan langsung menyerang kakek bongkok itu.

Toat-beng Yok-mo mengeluarkan suara gerengan keras. Hanya dengan menggulingkan tubuh di atas tanah dia dapat menyelamatkan diri dari serangan yang luar biasa hebatnya dari gadis itu. Gadis itu terus melanjutkan serangannya yang membuat Beng San berdiri melongo karena gerakan-gerakan itu adalah Yang-sin Kiam-sut yang dimainkan dengan amat hebat dan mendekati kesempurnaannya!

Ada pun Toat-beng Yok-mo yang tadi belum hilang kagetnya karena serangan tenaga yang luar biasa, sekarang menjadi makin kaget lagi menyaksikan ilmu pedang gadis ini. Ia memang mempunyai musuh yang amat dibencinya sejak dahulu, yaitu Song-bun-kwi dan sekarang melihat gadis yang menyerangnya itu, dia maklum bahwa kalau Song-bun-kwi muncul dia bisa celaka. Sambil berseru keras seperti binatang liar, kakek ini meloncat jauh lalu pergi dengan amat cepatnya.

Gadis itu berdiri tegak, tidak mengejar, menyimpan pedangnya kembali lalu membalikkan tubuh memandang ke arah Beng San. Juga pemuda ini berdiri terpaku memandang gadis baju putih itu. Keduanya seperti terpesona.

Tadi Beng San tidak mengenal gadis ini karena pakaiannya yang serba putih. Sekarang setelah mereka berhadapan, dengan jelas dia melihat sepasang mata itu, sepasang mata yang takkan pernah terlupa olehnya selama dia hidup. Hidung itu, mulut itu... Bi Goat, si bocah gagu!

"Bi Goat...?!" Beng San setengah berlari menghampiri.

Gadis itu yang tadinya masih agak ragu-ragu setelah mendengar suara ini lalu lari pula menghampiri Beng San. Kini mereka berhadapan, Beng San yang merasa terharu dan bahagia memegang kedua pundak gadis itu.

"Bi Goat... benar kau Bi Goat,” katanya dengan napas memburu.

Gadis itu tersenyum, nampak giginya yang berderet rapi dan berkilauan, tapi kedua mata yang indah itu bercucuran air mata. Kemudian Bi Goat menubruk dan merangkul leher Beng San sambil menangis di atas dada pemuda itu!

"Bi Goat... ahh, tak dinyana kita bertemu di sini... kenapa kau begini sedih? Kenapa? Dan kau... kau berkabung? Bi Goat, apakah yang terjadi...?" Beng San bertanya dengan suara gemetar.

Inilah orang yang selama ini menjadi kembang mimpinya, yang tidak pernah lepas dari ingatannya, orang yang sejak kecilnya sudah mau berkorban untuknya. Melihat gadis ini menangis terisak-isak sehingga baju di bagian dadanya basah oleh air mata gadis itu, Beng San terharu sekali dan tak dapat menahan turunnya dua butir air mata.

"Bi Goat... anak baik, sayang... jangan menangis..."

Beng San makin terharu ketika mengingat bahwa gadis ini tidak dapat bicara, maka dia lalu mengelus-elus rambut yang hitam panjang itu. Tidak karuan rasa hati Beng San. la menduga bahwa tentu telah terjadi sesuatu yang hebat maka gadis ini memakai pakaian berkabung.

Seingatnya, Bi Goat paiing suka mengenakan pakaian berwarna merah, kenapa sekarang berpakaian serba putih? Apakah ayahnya, Song-bun-kwi telah mati? Teringat akan ini, dia makin sedih dan hatinya terharu. Dia memeluk gadis itu penuh kasih sayang.

Bi Goat mereda tangisnya, kemudian diambilnya sehelai sapu tangan putih dari saku baju sebelah dalam dan diberikannya sapu tangan sutera putih itu kepada Beng San. Di atas sapu tangan sutera putih ternyata ada tulisan, huruf-huruf memakai benang hitam yang disulam indah dan berbunyi:

Kau hanyut...
sungai membawamu pergi jauh,
entah mati ataukah masih hidup.
Aku berkabung untukmu...
sampai kita bertemu kembali,
entah di dunia ataukah di akhirat
.

Membaca tulisan ini, Beng San makin terharu. Dipeluknya Bi Goat, didekapnya kepala itu ke dadanya, dibisikkan mulutnya ke telinganya, "Bi Goat, alangkah mulia hatimu... ahhh, alangkah suci cinta kasihmu..."

Sampai lama dua orang muda ini diam, kediaman penuh bahagia, menikmati kebahagiaan yang bergelora di dalam hati masing-masing. Beng San seakan-akan lupa akan diri Bun Lim Kwi yang masih pingsan di atas tanah.

Tiba-tiba Bi Goat melepaskan diri dari pelukan, memegang kedua tangan Beng San, lalu tertawa-tawa dengan mata masih basah oleh air mata. Dipandangnya Beng San dari atas sampai ke bawah, berkali-kali seperti masih belum percaya bahwa dia betul-betul sudah bertemu dengan Beng San!

Sikap kekanak-kanakan ini makin mengharukan hati Beng San, mengingatkan dia bahwa gadis ini tidak dapat bicara. Akan tetapi, juga telah membuyarkan cekaman rasa keharuan tadi, membuat dia teringat akan keadaannya.

Kemudian Bi Goat sambil tertawa-tawa memberi isyarat kepada Beng San supaya tinggal saja di situ dan dia sendiri segera lari memasuki pondok Toat-beng Yok-mo. Entah apa yang dilakukan di dalam, akan tetapi ketika dia keluar kembali ternyata ia telah berganti pakaian!

Buntalan kecil yang tadi menempel pada punggungnya ternyata adalah pakaian berwarna merah berkembang-kembang indah sekali, yang sekarang dipakainya sebagai pernyataan bahwa perkabungannya telah berakhir! Kedua orang itu kembali saling berpegang tangan dan saling berpandangan.

"Kau jelita, Bi Goat... kau hebat...,” hanya demikian Beng San dapat berkata lirih.

Bi Goat tidak bisa bicara, akan tetapi jari-jari tangan mereka yang saling remas itu cukup mewakili kata-kata, menyatakan perasaan hati yang hanya dimengerti dan hanya mampu dirasakan oleh mereka berdua.

"Bi Goat, bagaimana kau bisa datang ke sini dan kenapa pula kau memusuhi Toat-beng Yok-mo?" Beng San bertanya.

Mendengar ini Bi Goat seperti kaget, seperti baru teringat akan hal penting. Dia menarik tangannya dan menggurat-gurat dengan jari telunjuk ke atas tanah. Ternyata ia menulis beberapa huruf sebagai pengganti kata-katanya.

Kami tinggal di lereng Min-san. Kini aku harus mengejar Yok-mo. Kita pasti akan bertemu kembali. Selamat berpisah!

Demikianlah bunyi tulisan itu dan sebelum Beng San sempat berkata-kata, gadis itu sudah merangkul lehernya sekali lagi, lalu tertawa dan berlari cepat sekali pergi dari situ. Sekejap mata saja sudah tidak kelihatan lagi.

"Bi Goat...!"

Beng San hendak mengejar, akan tetapi tiba-tiba dia mendengar suara orang mengeluh. Ketika dia menengok, ternyata Bun Lim Kwi telah sadar kembali dan bangkit berdiri.

"In-kong (Tuan Penolong), syukur bahwa Thian masih melindungi kita..." kata Bun Lim Kwi sambil menjura dengan hormat. "Tadi ada seorang gagah menolongku, di manakah dia sekarang dan siapakah dia gerangan?"

Melihat sikap pemuda itu demikian menghormatnya, dengan gugup Beng San membalas hormatnya dan berkata, "Saudara Bun, kuharap dengan sangat jangan kau menyebutku tuan penolong. Sudah sepatutnya jika manusia hidup di dunia ini saling tolong menolong, maka apa artinya kita meributkan soal pertolongan? Kalau kita hendak berbicara tentang pertolongan, maka takkan ada habisnya. Katakanlah aku menolongmu, kemudian Yok-mo menolongmu pula, lalu kau juga menolongku dari ancaman Yok-mo, dan terakhir sekali pendekar wanita murid Song-bun-kwi tadi menolong kita. Sebutlah saja aku Beng San... ehhh, Tan Beng San."

Bun Lim Kwi nampak terheran-heran. "Murid Song-bun-kwi...? Sungguh aneh, bagaimana muridnya mau menolongku... "

Beng San tidak suka banyak bicara mengenai Bi Goat, maka dia segera membelokkan percakapan, "Saudara Bun, aku mendapatkan kau menggeletak di hutan dalam keadaan terluka hebat di punggungmu. Siapakah yang melukaimu?”

Bun Lim Kwi menghela napas panjang, nampak berduka sekali. "Aku sendiri tidak tahu, tapi yang jelas bukan dia..."

"Dia siapakah?"

Kembali pemuda Kun-lun-pai itu menarik napas panjang.

"Saudara Beng San yang budiman, aku benar-benar berterima kasih kepadamu dan aku tidak akan menyimpan rahasia terhadapmu. Setelah aku dan suhu pergi dari Hoa-san, suhu terus pulang ke Kun-lun dan aku... hemmm, terus terang saja aku ingin mencari bekas susiok-ku Kwee Sin. Tiba-tiba muncul nona baju hijau yang menyerangku di puncak Hoa-san itu. Dia menuduh bahwa mendiang ayahku dan pamanku membunuh ayahnya dan berkeras hendak membalas kepadaku. Ahhh..." Lim Kwi menghela napas, kelihatan berduka sekali. "Aku tidak ingin bermusuhan dengannya, aku sudah mengalah... tapi dia mendesak terus, aku lari, dia mengejar. Terpaksa aku mempertahankan diri. Setelah itu ada orang menyerangku dari belakang secara menggelap, entah siapa karena aku roboh tak ingat lagi. Tahu-tahu sudah berada di sini."

Beng San mengerutkan keningnya dan hatinya diam-diam lega bahwa ternyata sekarang bukan Thio Eng yang melakukan penyerangan menggelap menggunakan senjata rahasia mengandung racun yang demikian keji. Ia sayang kepada Thio Eng, kasihan kepada nona itu, maka dia senang mendengar bahwa bukan gadis itulah yang melakukan penyerangan curang dan keji.

"Tentu ada orang ke tiga yang berbuat curang," katanya. "Saudara Bun, aku melihat kau menggeletak di hutan itu. Lalu kubawa kau kembali ke Hoa-san dan Lian Bu Tojin sudah berusaha keras menolongmu, menggunakan ular-ular pemberian Giam Kin. Celaka sekali, ular-ular itu sama sekali bukanlah Ngo-tok-coa yang mengandung obat pemunah racun, malah sebaliknya. Setelah diobati dengan ular-ular itu, kau bertambah payah. Ternyata Giam Kin yang jahat itu telah menipu Hoa-san-pai."

Tercengang juga Bun Lim Kwi mendengar ini. "Ah, memang tepat sekali wawasan suhu... sebenarnya Hoa-san-pai adalah tempat orang-orang baik. Aku yang dianggap musuh masih mereka usahakan untuk menolong... hemmm, kenyataan ini makin menguatkan hasrat hatiku hendak mencari Kwee Sin sampai dapat. Dialah yang bertanggung jawab menerangkan segala keruwetan ini, termasuk urusanku dengan nona Thio Eng..."

"Tapi akulah yang sudah berjanji untuk mencari Kwee Sin..."

"Tidak, saudara Beng San. Kau sudah terlalu banyak menanam budi serta melakukan kebaikan terhadap Kun-lun-pai dan kami berterima kasih sekali. Akan tetapi untuk mencari Kwee Sin adalah tanggung jawabku karena dia adalah bekas murid Kun-lun-pai juga. Aku hanya mohon petunjuk-petunjukmu."

Beng San menjadi tertegun. la tidak tahu bahwa Lim Kwi teringat akan pesan suhu-nya agar supaya mendengarkan nasihat Beng San. Dia sendiri menganggap Beng San hanya sebagai seorang pemuda sastrawan yang berhati mulia dan sudah memberi pertolongan kepadanya dengan taruhan nyawanya sendiri. Tentu saja Beng San terheran mengapa seorang pemuda segagah Lim Kwi sampai tidak malu-malu minta petunjuknya.

"Saudara Bun, aku seorang lemah dan bodoh dapat memberi petunjuk apakah? Hanya kuharap saja kau berlaku hati-hati. Penyerangan gelap atas dirimu itu sudah membuktikan bahwa kau diincar oleh musuh-musuh gelap. Menurut kabar, Kwee Sin sudah memihak pemerintah penjajah yang sedang hendak digulingkan oleh para pejuang, maka mencari dia sama artinya dengan memasuki goa harimau dan lubang naga. Apa lagi kalau mereka mengetahui bahwa kau anak murid Kun-lun-pai yang hendak menangkap Kwee Sin, tentu kau dikurung bahaya."

Bun Lim Kwi menjura dan memberi hormat. "Nasihat-nasihatmu akan kuingat selalu. Dan semoga saja kelak Thian memberi kesempatan kepadaku untuk membalas semua budi kebaikanmu, saudara Beng San. Perkenankan sekarang aku melanjutkan perjalanan."

Beng San menjadi semakin suka kepada pemuda Kun-lun-pai yang sangat sopan dan merendah ini. Diam-diam dia membenarkan dirinya sendiri yang hendak memenuhi pesan terakhir dari ayah pemuda ini. Mereka berpisah dan Beng San tidak menahannya lebih lama lagi.

Beng San masih selalu gelisah jika memikirkan perginya Bi Goat yang sedang mengejar Toat-beng Yok-mo. la sendiri menghadapi banyak urusan penting. Di samping dia harus mencari Kwee Sin, juga dia berkewajiban merampas kembali Liong-cu Siang-kiam dan di sana masih ada pula orang yang dia duga adalah kakaknya dan yang sekarang agaknya menjadi kaki tangan Mongol pula. Apa lagi sekarang muncul Bi Goat yang melakukan pengejaran terhadap seorang berbahaya seperti Toat-beng Yok-mo. Dia harus membantu dan melindungi gadis gagu itu.

Dengan cepat Beng San berlari mengejar untuk menyusul Bi Goat. Akan tetapi sampai berjam-jam dia tidak melihat bayangan gadis itu mau pun bayangan Toat-beng Yok-mo. Tentu dua orang yang berkejaran itu telah mengambil jalan lain.

Beng San kecewa. Rindu hatinya terhadap Bi Goat masih menebal, karena pertemuan yang hanya sebentar itu tidak mencukupi baginya. Aku harus ke sana, pikirnya. Harus ke Min-san.

Dia teringat akan Song-bun-kwi dan menjadi ragu-ragu. Bukankah orang sakti itu selalu memusuhinya? Bahkan bermaksud membunuhnya apa bila tidak dapat merampas Im-sin Kiam-sut? Akan tetapi, dia sekarang bukanlah dia dahulu. Dia tidak takut, kalau perlu dia akan melawan Song-bun-kwi, asal dia bisa dapat bertemu dengan Bi Goat!

"Ah, tugasku masih banyak. Kenapa aku selalu teringat dia? Setelah semua tugas selesai dikerjakan, baru aku akan mencari Bi Goat."

Setelah mencela diri sendiri Beng San menghentikan usahanya mencari dan mengejar Bi Goat. Urusan untuk merampas kembali Liong-cu Siang-kiam bukan urusan yang terlalu mendesak, tak perlu dia tergesa-gesa. Akan tetapi urusan mencari Kwee Sin adalah yang paling mendesak, kemudian urusan tentang kakaknya, Tan Beng Kui. Dan dia maklum bahwa untuk mencari dua orang ini dia harus berani memasuki kota raja.

Kwee Sin kabarnya bekerja sama membantu Ngo-lian-kauw, yang menjadi kaki tangan Mongol. Ada pun orang yang dia duga kakaknya itu datang ke Hoa-san-pai bersama Pangeran Mongol Souw Kian Bi.

Setelah menetapkan hatinya, Beng San lalu mulai melakukan penyelidikan untuk mencari Kwee Sin.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar